Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG PENGIKUT ALUR (A SLICE OF LIFE & SEX)

Bidadari pendamping Yas favorit suhu di sini?

  • Inne

  • Dita

  • Ojay


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
11

Setelah kejadian itu, suasana di kantor nampak terlihat normal. Seakan tak terjadi apa-apa antara aku, Mas Novian, dan juga Hasna. Semenjak pengalaman alam bawah sadar, emosiku kini semakin stabil meskipun tanpa Inne. Hal yang baru kusadari, aku terlalu menggantungkan kestabilan emosiku kepada Inne, yang jelas ia sama sekali tak mempunyai hak untuk mengatur semua itu. Dengan rasa penyadaran yang matang, tak sama sekalipun aku menyalahkannya. Mau bagaimanapun juga sesuatu kadang terjadi diluar kendali (Ah jadi mengingatkan pada momen hilangnya ponsel Inne di kereta). Dan kali ini kuyakin dikotomi kendali benar-benar perlu. Stoicism is a needed thing that you should know.

Kejadian itu semakin membuatku awas, ya setidaknya kusadari hidup itu tak melulu persoalan puas atau tidak. Melainkan lebih dari itu, melibatkan perasaan humanis. Fungsi otak, otot, dan hati, sudah terbagi-bagi sesuai dengan tupoksinya.

Skip, nanti malah jadi puisi lagi.

Saat aku sedang fokus memeriksa kegiatan project yang belakangan ini banyak data yang tak valid karena ulah si Novian Tai, tak butuh waktu lama kini data yang sebenarnya telah kuamankan di flashdisk.

Masih saja ada orang baik di sekelilingku, yang masih percaya padaku, tak mempan oleh hasutan si Anjing Novian dan Hasna. Rasanya bertolak belakang dengan bagian pembuka awal, hahaha. Tapi yang jelas, memberi pelajaran tak ada salahnya selama kita yang tak menyulut api terlebih dahulu.

“Gimana, Pak? Udah bisa diatasi?” tanya Pak Toni yang ternyata sudah masuk ke ruanganku.

“Aman, Pak,” jawabku tersenyum.

“Wah, bisa-bisanya Pak Yassar masih bisa tersenyum santai di tengah fitnah yang hampir luluh lantah,” katanya menatapku seraya menggelengkan kepala.

“Ya, manusia, Pak. Lengah sedikit, pasti ada saja yang memanfaatkan. Pelajaran aja untuk saya kedepannya,” jawabku diplomatis.

“Kabarnya permasalahan ini sudah sampai ke Pak Luis, Pak.”

“Biarkan, Pak. Kita lihat saja semesta berada di pihak yang mana.”

“Mau kopi atau teh hangat, Pak?” sambungku mengalihkan topik perbincangan.

“Lah, gak usah repot, Pak. Harusnya saya yang ke sini membawa buah tangan,” ucapnya.

“Pak, anda ini masih guru saya. Sampai kapanpun juga, wajib bagi saya untuk melayani guru saya yang membawaku di posisi sekarang.”

“Saya paham, Pak. Jangan jadikan alasan struktural sebagai tameng.”

“Jadi, kopi tau teh, Pak?” sambungku lagi.

“Teh saja, Pak Yassar.”

“Merasa bangga sekaligus terhormat saya, Pak. Usia bukan sebuah alasan untuk dijadikan panutan kan, bukan begitu Pak Yassar?” kali ini Pak Toni yang menyerangku.

“Hahaha keadaan berbalik nih,” ucapku.

“Dengan segala hormat, mari kita rayakan dengan teh hangat, Pak,” kataku seraya memberikan secangkir teh kepadanya.

Kami berbincang cukup lama, ngalor-ngidul khas bapak-bapak. Ya meskipun belum jadi bapak-bapak juga sih, hehe.

Satu persatu tim divisi project mulai berdatangan ke ruanganku. Aku yang mengadakan rapat untuk cek validasi kebocoran anggaran, sekaligus cek progress.

Aku buka rapat itu dengan mode serius namun santai. Semuanya nampak khidmat mengikuti alur rapat. Mulai dari sinkronisasi, sampai validasi. Hingga sampai pembahasan menyinggung Mas Novian. Apalagi mereka telah mengetahui aku sudah diberikan SP-2 oleh atasan. Aku merasa dihargai dan diakui di sana, melihat antusias rekan-rekan kerja yang siap sedia membelaku di hadapan para atasan.

“Yud, gimana progress terdekat?” tanyaku pada Yudi.

“Untuk overall baru 70℅, Pak. Sekitar semingguan lagi rampung,” jawabnya penuh keyakinan.

“Untuk marketing achieve, terkendala di transport, Pak. Kuantitas terlalu melambung, sedangkan income masih dibawah goals,” ucap Pak Edgard.

“Sudah ada solusi atau resolusi mungkin?” tanyaku.

“Saya dengan tim sudah merumuskan, Pak. Tinggal eksekusi,” jawabnya.

Aku banyak memberikan arahan dan instruksi mengenai marketing strategic goals. Dari mulai perencanaan, survei, penekanan dealer, sampai ke tahap final. Semuanya kulihat mengangguk-ngangguk, menandakan bahwa aku juga tak tahu mereka itu ngantuk atau ngangguk, hehe.

Rapat pun selesai, kupersilahkan untuk kembali ke jobdesknya masing-masing, namun tak kularang juga jika masih ada yang betah di ruanganku.

Tak ada Hasna di situ, sudah kurang lebih seminggu ia tak masuk kantor. Yang jelas ia menghilang tak meninggalkan kabar ataupun surat lainnya ke kantor.

Mas Novian? Entah. Rasanya aku sudah tak ingin melihatnya lagi di kantor ini. Hasrat ingin berjibaku begitu tinggi hanya dengan mendengar namanya saja.

Terdengar kabar bahwa para atasan sudah memutuskan tindak lanjut nasibku di kantor ini. Sungguh, pada waktu itu aku tak ingin berbuat lebih. Kuyakinkan saja pada alur semesta. Bukan karena apa, sudah muak dengan pembelaan-pembelaan yang nantinya malah makin memperpanjang pergulatan.

“Manusia, ya! Salah dan benarnya sudah menjadi pemakluman, adapun perihal kebenaran, katanya tak akan pernah mati. Mari kita lihat saja nanti,” ucapku dalam hati setelah menikmati rokok dan kopi di rooftop kantor sembari melihat senja yang menari-nari.

12

“Nice track ball, Pak!” ucap Yudi yang sedang bermain billiard denganku.

“Itungin, Yud. 7 shots sampe bola 9.”

“Siaaappp…,” jawab Yudi antusias.

Ia menghitung tiap kali aku memasukkan bola, memang Yudi seringkali kuajak ke bar untuk sekedar melepas penat dan bermain billiard.

“Tigaaa…,” ucap Yudi yang memperhatikanku sudah melakukan 3 shots.

“Shot ke 4 kayaknya sulit tuh, Pak,” ucapnya yang melihat bola 4 terhalangi oleh bola 8.

Aku hanya tersenyum, seraya meminum Jack Daniels disela-sela mengintip celah untuk melakukan shot.

“Cletrakkk…,” suara bola putih yang tepat mengenai sasaran.

“Beuhhh…, jump shot e metu, suuu, suuu,” ucap Yudi menggelengkan kepala.

“Hahaha, lanjut Yud? Apa mau minum dari sekarang?” tawarku.

“Wes lah, Pak. Aku minum duluan sak durunge pragat, wes pasrah aku wes, kena mental deleng jump shoot e metu, ” katanya pasrah.

Aku tertawa mendengar logat bicaranya yang khas.

“Yud, deleng. Saiki bola terakhir yo,” ucapku yang sedang mengeker bola 9.

“Monggo, Pak. Loki e wes siap ning tanganku, Pak. Tinggal tak tenggak kih,” balasnya menunjukkan ekspresi sangat pasrah.

Aku tertawa puas melihat Yudi yang menenggak habis 5 loki Jack Daniels, kemudian kami menikmati rokok seraya berbincang.

“Meskipun Bapak lebih muda dariku, tapi jujur, Pak. Bapak wes dadi panutanku,” ucap Yudi setelah ia mendegarkan alasanku untuk resign dari kantor.

“Lah, serius, Yud?” tanyaku.

“Ya serius, Pak. Bapak emang patut dijadikan panutan.”

“Serius lebih muda dariku?”

“Oalah, mempermasalahkan umur,” jawabnya dengan eskpresi yang memelas.

“Iyo, Pak. Aku taun 92,” sambungnya.

“Terus kamu tau dari mana saya lebih muda?”

“Yo wis katon, Pak. Ning berkas ana profile Bapak kelahiran 96.”

“Wah pelanggaran.”

“Lah priben, Pak. Wes dadi kerjaanku ngecek-ngecek profil sampeyan,” ucapnya dengan ciri khas muka yang memelas.

Aku tertawa terpingkal-pingkal seraya memegang loki untuk kuminum, namun malah diserobot Yudi karena mengira itu untuknya.

“Haus, Mas?” tanyaku sembari tertawa.

“Lah tak kira buatku, Pak. Hehe,” balasnya.

“Aku cuman bisa mendoakan yang terbaik untuk Bapak. Meskipun saya tahu, rekan-rekan sudah pasti keberatan dengan keputusan resign-nya Bapak,” sambungnya.

“Tapi mohon, Pak. Jangan anggap saya orang lain, saya siap sedia jika Bapak butuh bantuan apapun, saya sudah jadikan Bapak lebih dari panutan, Pak,” tambahnya seraya menepuk pundakku.

“Makasih, Mas. Saya pegang dan saya terima pengakuan Mas Yudi sebagaimana saya pun demikian,” jawabku.

Mas Yudi rupanya memahami alasanku resign, dengan segala pertimbanganku dengan musibah yang menimpa. Setelah project kelar dan setelah dikalkulasi, upaya memulihkan anggaran yang bocor selama 2 minggu berturut-turut akhirnya bisa dikembalikan. Setidaknya menyelesaikan tanggung jawab terlebih dahulu dapat mengurangi alasan pecundangku untuk resign.

“Mas, pengajuan resign sudah disepakati oleh para atasan, tolong intai Mas Novian, juga Hasna,” ucapku.

“Siap laksanakan, Pak.”

“Denger-denger, Hasna juga di SP-2, Pak,” sambungnya.

Begitu mendengarnya, aku tercekat. Apa yang terjadi dengan Hasna?

Setelah kuingat-ingat kembali, sewaktu percakapan Hasna dengan Mas Novian di mobil. Hasna merasa bersalah setelah bertemu dengan Inne.

Ah Inne, dirimu sungguh sulit untuk kuabaikan. Keegoisan enggannya membangun komunikasi kembali menjadi inti persoalan. Dibalik itu, kesibukan dan hak menjadi hal yang tak kalah untuk diperhatikan. Telah kucoba berkali-kali untuk kembali memulai, namun nampaknya waktu yang belum mempertemukan.

Inne yang dewasa, Inne yang open minded, sampai sebegitunya mudah dihasut. Kepercayaan perempuan, yang kutahu mudah rentan. Apalagi sifat Inne yang sebenarnya innocent, yang kutahu Inne tak sebegitu kuat dari dalam. Hanya nampak terlihat kuat dari luar dengan citra dan wibawanya yang sudah melekat.

Bagaimana dengan Dita? Ia sama denganku, mulai terbiasa hidup tanpa perhatian dan suntikan semangat Inne. Meskipun sebenarnya kutahu, tak mudah untuk menganggap semua berjalan baik-baik saja. Kulihat Dita telah tumbuh menjadi perempuan penuh tanggung jawab, namun lama-lama sifatnya sangat mirip dengan Inne. Ah, sampai kapanpun ia akan menjadi adikku.

13

Hari terakhir bekerja di kantor, sebagai karyawan, sebagai leader project, sebagai Marketing Research Manager. Semuanya nampak begitu hangat.

Masih dengan kebiasaan yang sama, ketika melewati lobby, kusempatkan untuk berbincang dengan Dewi.

“Sibuk gitu masih pagi juga,” ucapku.

“Eh, Bapak. Wih…, seger bener, Pak. Agak-agak mirip Bapak-Bapak beneran gitu kalo rambutnya disisir ke belakang gitu, hehehe,” jawabnya.

“Bapak-bapak bujangan lagi nyobain pomade yang nganggur nih, Wi,” jawabku nyengir.

“Ah bisa aja si, Bapak bujangan ini, hehe” ucapnya.

Aku kembali berjalan menuju lift ke lantai 3 menuju ruanganku. Outfit ngantorku tak pernah gagal untuk dilirik oleh karyawan-karyawan perempuan. Aku hanya melemparkan senyum saja saat mereka menyapa.

Bagaimana tidak, setiap malam aku selalu melihat eksplore istagram tentang mix n match outfit dengan nuansa kalem. Wokwokwok.

Saat aku hendak belok menuju ruanganku, kulihat dalam ruangan sebelah barat terdapat Novian yang seketika menyulut emosiku. Kupelankan langkahku, kutatap ia dengan datar. Ketika ia melihatku, sontak ia langsung menundukkan wajah dengan gestur panik.

“What happened to his face?” tanyaku dalam hati. Kulihat matanya ada sisa lebam yang baru sembuh, juga di bagian pelipisnya tertempel hansaplast. Kuputuskan untuk melalui jalur evakuasi yang melewati ruangan si Novian. Masih kuperhatikan wajahnya yang tertunduk, sepertinya seseorang telah menghajar wajahnya beberapa hari yang lalu. Apa lagi masalah yang ia perbuat? Ah entah, yang jelas jemariku belum menyentuh wajahnya sama sekali.

“Cklek” kubuka pintu ruanganku yang ternyata seluruh anggota divisi telah berkumpul. Menantikanku.

“Halo semuanya, selamat pagi,” ucapku dengan tersenyum.

“Pagi, Pak!” jawab semuanya serempak.

Lalu ada Hasna yang tiba-tiba menyimpan satu gelas kopi dan satu gelas air putih. Wait, what? Kuperhatikan di wajah Hasna pun terdapat luka lebam yang masih dapat kukenali meskipun masih bisa disamarkan dengan make up.

Setelah menghilang sekitar 2 minggu, ia kembali dengan wajah seperti itu. Kulihat sejenak ke arah Mas Yudi. Kulihat ia mengangkat alis. Aku diam seolah semuanya baik-baik saja.

“Ini, Pak. Kopinya,” ucap Hasna tanpa menatapku.

“Makasih,” jawabku mengangguk.

Seluruh anggota divisi berkumpul di ruanganku untuk farewell yang ternyata sudah direncanakan jauh-jauh hari. Ya sekitar 1 jam kami berbincang, membahas keberhasilan project yang sempat terpuruk. Kini semuanya has already back to track again. Acara salam-salaman tak terlewatkan, beberapa rekan kulihat tak kuasa menitikan air matanya. Juga aku, terbayang saat masa-masa dibimbing oleh mereka, dan kini meraih keberhasilan bersama meskipun dengan resign-nya diriku. Intinya keputusan resign yang kubulatkan merupakan jalan satu-satunya untuk keselamatan dan keamanan rekan-rekan divisi. Dunia kerja tak semulus jalanan aspal. Yang mulus belum tentu bagus, banyak orang tergelincir di jalan yang mulus karena kelicinannya. Well, a short philosophy to learning by doing.

Saat semua telah selesai, di ruanganku tinggal menyisakan Hasna dan Mas Yudi. Selama Hasna absen, kerjaannya diback-up oleh Mas Yudi. Kini ia sedang sibuk menyusun dokumen.

Sedangkan Hasna, kulihat ia kikuk dan bingung harus bagaimana. Aku yang sibuk menandatangani berkas, juga mengurus segala persuratan resign tak memberikan kesempatan untuknya membuka perbincangan.

Tiba-tiba ia duduk di kursi di depanku. Ia berusaha setenang mungkin meski tangannya tidak.

“Pak…,” ucapnya.

“Ya?” jawabku tanpa menolehnya dan masih tetap menandatangani berkas yang menumpuk.

Mas Yudi melihat ke arahku. Memastikan bahwa aku baik-baik saja. Aku bisa merasakannya meskipun mataku fokus ke berkas.

“Saya sangat menyesal, Pak,” ucapnya.

Aku diam.

“Saya sangat menyesal atas kebodohan saya, saya lancang, saya mengakui semua itu.”

“Saya tidak meminta Bapak untuk memaafkan saya, tapi saya mengakui kalo saya salah dan saya menyesal,” sambungnya.

“Saya sadar semua perbuatan saya selama ini salah setelah bertemu dengan Bu Inne,” kali ini ia mulai terisak-isak menangis.

“Bu Inne orang baik, Pak. Beliau sosok yang bijaksana, hati saya tersentuh semenjak bertemu beliau.”

“Pak Yassar tau? Semenjak kejadian di mobil, saya diperas secara mental dan psikis oleh Pak Novian. Saya diperalat, Pak. Saya buta, tak bisa melihat kebenaran. Nafsu saya hanya tentang uang dan jabatan, saya lakukan apapun demi itu.”

“Pak Novian melecehkan saya, menyiksa saya, saya yang tak bisa melawan seperti Bu Inne hanya bisa menangis, Pak.”

Deggg…, otakku berpikir, setelah mendengar perkataan Hasna, sejenak kuhentikan aktivitasku. Kutatap ia dalam-dalam. Apa yang telah dilakukan si anjing Novian terhadap Inne. Lalu kutarik kesimpulan, lebam di wajah Hasna adalah ulah si keparat Novian anjing. Lalu apakah lebam di wajah si Novian adalah ulah Inne?

Hasna melanjutkan perkataannya.

“Pak, mohon lapor. Mas Yudi, mohon maaf dan terima kasih sudah menggantikan posisi saya dengan baik,” ucapnya menatapku, lalu menatap Mas Yudi.

“Selama 2 minggu ini, mental saya tertekan, Pak. Saya depresi, dan selama itu juga Bu Inne yang mendampingi saya hingga bisa pulih seperti yang Bapak lihat.”

“Saya tau, alasan saya tak bisa dipertimbangkan secara professional.”

“Dan satu lagi, Pak. Jika Bapak berpikir Bu Inne berpaling dari Bapak, maaf, Bu Inne tidak segampang itu untuk dikelabui oleh Pak Novian yang menghalalkan segala cara,” ucapnya terisak-isak.

Aku diam, menundukkan kepala seraya membakar rokok lalu menghisapnya dalam-dalam.

Mas Yudi menghampiri Hasna yang masih terisak sesenggukan, ia menenangkannya.

Tak pernah terpikirkan sebelumnya bahwa Inne bergerak sejauh itu, hatiku berkecamuk. Terpukul, sekaligus merasa bersalah karena tak bisa melindungi Inne. Aku ingkar atas janjiku sendiri yang telah mengikrarkan akan melindunginya. Dengan penjelasan Hasna, malah Inne yang mampu melindungi dirinya sendiri tanpa aku.

Aku marah dengan diriku sendiri, bangsat!

“Permisi…,” kudengar pintu ruangan ada yang mengetuk.

“Masuk,” ucapku.

Kulihat seorang staff karyawan masuk dan menghampiriku.

“Pak, sudah ditunggu di ruangan CEO untuk menghadap,” ucapnya.

Hasna dan Mas Yudi menatapku cemas, aku berdiri dari kursi seraya merapikan dasi dan baju yang kusut.

Lalu mas Yudi bangkit menghampiriku, menghadangku.

“Pak, terima kasih atas ilmu yang sudah Bapak bagikan kepada saya,” ucapnya seraya memegang pundakku dengan mata yang berkaca-kaca.

Aku hanya tersenyum menatapnya, tak kuasa untuk berbicara karena air mata sulit kubendung. Aku balik menepuk pundaknya.

Juga Hasna, yang menghampiriku seraya berucap.

“Terima kasih sudah memberitahu saya perempuan tangguh bernama Bu Inne, Pak,” ucapnya.

Semakin tak bisa kubendung air mata, aku mengangguk pada Hasna seraya berlalu keluar menuju ruang CEO bersama staff karyawan.

“Wah Bapak mempunyai tim yang bagus, ya, Pak,” ucap karyawan itu.

“Kekeluargaannya terasa begitu hangat rupanya,” sambungnya.

“Iya, mereka yang membimbingku,” balasku.

“Ah, Bapak selalu saja rendah hati. Gak mungkin kalo tanpa seorang ketua yang hebat,” ucapnya.

Aku hanya tersenyum. Kami menuju lantai 6. Rasanya hari itu suasana kantor sangat hangat. Hampir semua orang yang kutemui selalu menyapa.

Hingga akhirnya kami sampai di ruangan CEO. Aku tarik napas panjang sebelum memasukinya.

“Mari, Pak,” ucap karyawan itu.

“Cklek…,” ia membukakan pintu dan mempersilakanku masuk.

Kulihat para pejabat tinggi perusahaan telah berkumpul. CEO, COO, CMO beserta jajarannya, termasuk Pak Luis. Ya jelas karena aku berada di divisi marketing. CEO dan COO tak usah dipertanyakan lagi fungsinya apa wokwok. COO merupakan orang ke 2 di perusahaan, yang nantinya akan menjadi juru bicara CEO wkwk. CMO bos tertinggi di bidang marketing, yang telah meng-ACC pengajuan resign-ku setelah melalui beberapa prosedur.

Aku dipersilakan duduk oleh Pak Luis. Dan tak berselang lama, Mas Novian memasuki ruangan beserta atasannya. Aku menatapnya, kembali ia tertunduk tak berani menatap balik ke arahku.

Emosiku memuncak mengingat penjelasan yang dikatakan Hasna di ruanganku. Si anjing itu terlihat berdosa kepadaku. Jangankan balik menatapku. Melihat mimik wajahnya pun ia terlihat pucat pasi.

Kuredam dengan mengambil napas panjang seraya mengendurkan kepalan tanganku.

Aku tak berhenti menatapnya, kulihat ia sejenak menatapku. Kemudian tertunduk lagi. Pertanyaanku menjadi terbalik. Apa yang dilakukan Inne kepada si Novian hingga ia begitu terlihat ketakutan padaku.

"Baik kita mulai rapat ini, rapat ini bertujuan untuk meninjau project dari Divisi Marketing dan Divisi Promotions, adapun hal-hal lain yang bersangkutan selama project berjalan akan dibahas dan dipertimbangkan mengikuti jalannya rapat dan kebijakan prosedur perusahaan," ucap COO membuka rapat.

Rapat dimulai dan *bersambung…*
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd