Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG PENGIKUT ALUR (A SLICE OF LIFE & SEX)

Bidadari pendamping Yas favorit suhu di sini?

  • Inne

  • Dita

  • Ojay


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
13

Rapat berjalan dengan lancar dan khidmat. Pimpinan meyebutkan agenda project dengan runtut. Semuanya menyimak, tak lupa kutulis poin-poin penting perihal evaluasi untuk kedepannya. Ya meskipun sudah mengajukan resign, setidaknya ilmunya tak harus ikut-ikutan resign juga. Wkwkwk.

Harus kuakui bahwa tempat ini telah memberikan banyak ilmu hingga bisa sampai ke titik ini. Jangan sampai lupa di mana kau dibentuk. Begitu kalau kata penulis quotes-quotes.

Hingga sampai akhirnya pembahasan memasuki ke bagian internal problem during project.

Pimpinan mulai memeriksa anggaran pemasukan dan pengeluaran selama project berlangsung. Pak Luis menengok ke arahku, tersenyum mengangguk. Akupun demikian.

Kulihat si Novian masih tertunduk, terlihat mengutak-ngatik sesuatu di tangannya. Ketika kuselidiki ternyata ia memutar-mutar pena. Menandakan adanya ketidaktenangan dalam menghadapi situasi.

“Saudara Erlingga Yassar Derrida,” ucap pimpinan.

“Siap pimpinan,” ucapku.

“Apakah benar saudara yang mengepalai project ini?”

“Benar pimpinan.”

Kemudian pimpinan melanjutkan membacakan struktur bagan project. Juga nama si Novian yang disebut oleh pimpinan, mewakili Divisi Promotions yang ia kepalai.

Satu persatu agenda project mulai disebutkan secara runtut, tak jarang pimpinan meminta validasi kepada Pak Luis. Ia menjelaskan dan memvalidasinya, membenarkan setiap agenda kegiatan dan anggaran pemasukan serta pengeluaran.

Si Novian terheran-heran karena laporan yang dibacakan pimpinan tak sesuai dengan apa yang sudah ia rencanakan.

Manipulasi data yang ia lakukan telah gagal. Karena sudah kutangani sebelumnya. Aku masih saja menatapnya. Kini ia melihat ke arahku, sontak aku tersenyum ke arahnya seraya mengangkat alis.

Melihatku yang seperti itu, ia langsung menunduk, wajahnya cemas.

“Menyikapi problem internal yang terjadi di divisi project, kami sudah menginvestigasinya dengan tim. Dan telah menetapkan keputusan final atas kejadian tersebut,” ucap pimpinan rapat waktu itu.

“Saudara Novian Sambora, adakah kendala Divisi Promotions selama project berjalan?” tanya pimpinan pada Mas Novian.

Pimpinan sidang berusaha untuk menanyakan segala sesuatunya dengan runtut. Kulihat Mas Novian sekali-kali gugup dalam menjawab pertanyaan dari pimpinan. Terkadang ia dibantu untuk menjelaskan bersama atasannya. Kuyakin mereka sekongkol, karena yang kutahu atasan Mas Novian juga sempat clash dengan Pak Luis.

Sepintar-pintarnya Mas Novian dan atasannya bersilat lidah, namun rupanya pimpinan lebih cermat. Si Novian sudah tersudutkan. Kali ini ia mengeluarkan strategi lainnya. Yaitu dengan mengkambinghitamkan diriku. Ia menyebut bahwa aku seringkali mengambil keuntungan atas keberhasilan agenda yang sudah dilakukan. Lebih dari itu, ia berjalan menghampiri pimpinan dan memberikan beberapa lembar dokumen yang telah ia persiapkan.

“Bangsat!” Apa lagi yang ia rencanakan, ucapku dalam hati. Aku semakin tajam menatap ke arahnya. Kulihat atasan si Novian tersenyum licik. Pimpinan membaca dokumen yang diserahkan, beberapa lembar foto diriku dan Hasna pun ikut disertakan di bagian lampiran.

“Tenang, Mas Yas. Ikuti saja dulu permainan mereka maunya gimana,” ucap Pak Luis.

Aku tak menjawabnya, hanya mengangguk.

Pimpinan mecermati berkas yang kini telah dibuka satu persatu. Ruangan sidang memanas. Suara bisikan-bisikan bisa kudengar walaupun sayup. Beberapa orang ada yang mencuri-curi pandang ke arahu, kuusahakan agar tetap tenang dan tetap menatap lurus ke arah pimpinan.

“Saudara Yassar, apakah benar yang telah terjadi berdasarkan foto ini?” tanya pimpinan padaku.

“Ya, benar, pimpinan,” ucapku datar dan yakin.

Semua tercekat mendengar pernyataanku. Mungkin mereka mengharapkan penjelasan dan pembelaanku. Namun tak kulakukan, rasanya saat itu aku sudah malas untuk beradu argumen, yang jelas-jelas aku sudah mempunyai bukti.

“Maaf pimpinan, bolehkah saya memberikan bukti juga terkait tuduhan itu?” ucapku pada pimpinan.

“Silahkan, berikan ke sini apa yang anda punya,” balas pimpinan.

Pak Luis menatapku lalu mengangguk. Aku bangkit dari dudukku, perlahan menghampiri meja pimpinan. Tanganku merogoh saku celana dan mengeluarkan tape recorder kecil.

Lalu kutaruh benda itu di meja pimpinan. Itu adalah bukti rekaman perbincangan saat si Novian dan Hasna sewaktu di mobil yang berhasil kumasuki. Tak lupa aku menaruh dokumen yang berisikan data-data yang telah diperbaiki, beserta foto-foto saat Novian dan Hasna sedang bersekongkol.

Setelah memberikan semua data yang kupersiapkan, aku kembali duduk ke kursiku seraya menatap si Novian yang tertunduk.

Raut kekecewaan dapat kulihat baik dari si Novian maupun atasannya. Kurang lebih 30 menit pimpinan merumuskan permasalahan, mereka mendiskusikannya dengan serius. Sampai akhirnya rapat pun diakhiri tanpa ada keputusan lanjut atas kasus itu. Rapat dihentikan atas dasar penyelidikan lebih lanjut dan pertimbangkan untuk dilanjutkan ke meja hijau.

Pak Luis tetap menungguku tak membiarkanku meninggalkan ruang rapat terlebih dahulu. Juga si Novian dan atasannya yang tak berani keluar terlebih dahulu. Takkan kubiarkan si Novian melangkah lebih jauh lagi.

Hingga akhirnya kuputuskan untuk keluar terlebih dahulu. Pak Luis mengikutiku, menenangkanku dengan nasihat yang bijaksana. Aku hanya mengangguk-ngangguk mendengarkan dan menyimaknya dengan baik. Bahkan, ia sampai mengantarkanku ke ruangan.

“Terima kasih, Pak,” ucapku menyalaminya.

“Saya hanya bisa mendampingi, Mas Yassar. Mau bagaimanapun juga kasus itu. Saya percaya performa dan kinerja Mas Yassar sangat ciamik,” balasnya seraya menepuk pundakku.

Di ruanganku masih ada Mas Yudi dan juga Hasna, mereka masih di sini rupanya setelah kurang lebih 2 jam.

Mereka berdua menatapku seakan mengharapkan kabar baik atas diriku. Namun, saat itu aku memilih untuk diam. Langsung menuju ke mejaku dan menghisap rokok.

Hasna dan Mas Yudi sepertinya enggan yang melihat wajahku tak bersedia untuk ditanya-tanyai. Bukannya karena apa, hanya saja waktu itu aku butuh ruang untuk sendiri. Akhirnya kuputuskan untuk merapikan barang, memasukannya ke dalam tas. Laptop, berkas, dan hal penting kumasukkan juga.

“Mas Yud, Hasna, saya duluan ya,” ucapku pada mereka.

“Siap, Pak,” balas Mas Yudi.

“Emmmhhh… Hati-hati, Pak,” balas Hasna.

Kulihat Hasna seperti ingin menyampaikan sesuatu, namun tak kuhiraukan. Kakiku malah tetap melangkah menuju pintu.

Segera kupacu motorku untuk menyegarkan suasana, lalu-lalang lalu lintas seperti biasa, menunjukkan aktivitas yang padat di sore hari.

Saat pertigaan jalan di samping mall besar, entah kenapa mataku tertuju kepada mobil hitam yang muncul dari pertigaan. Sudut mataku menangkapnya, seperti kukenali. Namun lagi-lagi tak kuhiraukan. Motorku tetap melaju ke arah kos. Tempat paling ternyaman terdebest in the sky in the land of down.

Setelah memarkirkan motor, perlahan kunaiki tangga. Langkahku berhenti di pintu kamar Dita lalu mengetuknya. Karena teringat makanan kesukaannya, aku membelikannya meskipun ia tak meminta.

“Neeenggg…,” ucapku seraya mengetuk pintu.

“Hhmmm…, bentar A…,” jawabnya.

Kupikir ia sedang rebahan, atau hendak tidur. Tak lama kudengar Dita membuka kuncinya dari dalam dan membukakan pintu.

“Aa…!!! Ke mana aja ih! Udah berapa hari pulang malem terus,” ucapnya seraya memelukku.

“Iya da sibuk atuh, Neng. Kerjaan,” ucapku.

“Nih, kebab sama thaithea,” sambungku.

“Yeayyy!!! Bisa aja nyogoknya biar Neng gak marah,” ucapnya.

“Haha tadi lewat jalan itu, liat ini langsung inget Neng, beli weh langsung,” ucapku seraya mengacak-ngacak rambutnya.

“Makasiiihhh…,” ucapnya memelukku.

“Bau keringet ih, udah ah mau mandi dulu Aa-nya,” ucapku.

“Atuh ih! Baru ge meluk ih!” protesnya.

“Iya iya nanti ge bisa atuh,” ucapku yang meninggalkannya ke kamar.

Kemudian aku merebahkan diri di kasur, kutatap sekeliling kamar. Mulai berantakan haha, ya maklum…

Kurasakan badanku pegal, lega rasanya, nikmat syekali memang rebahan. Saking nikmatnya sampai membuatku ketiduran. Ketiduran dalam posisi kecapean adalah hal terindah.

Entah berapa lama aku tertidur, dalam tidur sayup-sayup kudengar dan kurasakan ada yang mengelus-ngelus pipiku.

Tidurku gusar, antara sadar dan tidak. Namun belaian itu semakin jelas kurasakan. Jemari halus yang mengelus pipiku.

“Kasep… Bagja Ibu teh ninggal Aa tos dewasa, tanggung jawab, rea nu mikanyaah, Aa sing jumeneng, bagja, jembar rizki beunghar harta tur beunghar hate, sing asak hampura. Jung gera lumaku... Bral gera lumampah.”

“Tampan… Ibu seneng liat Aa udah dewasa, tanggung jawab, banyak yang sayang, semoga Aa sukses, bahagia, banyak rizki, banyak harta, dan berhati besar, semoga jadi pribadi yang pemaaf. Lanjutkan perjuanganmu, Nak.”

Seketika aku terbangun, ibu hadir dalam mimpiku, kulihat di sana ibu begitu cantik, wajahnya tenang dan berseri-seri.

Kuminum segelas air putih seraya berpikir, di sisi lain aku senang, ibu bangga kepadaku. Tapi belum cukup. Jasamu tak akan pernah habis untukku, Bu. Hidupku sekarang belum pantas untuk kaubanggakan, Bu. Tak terasa air mata mengalir, terbayang sosok ibu yang kucinta.

Tak lama, ponselku bergetar. Kulihat Teh Yola menelepon.

“Assalamau’alaikum, Teh,” ucapku.

“Waalaikumsalam. Aa, gimana sehat?” ucap Teh Yola sedikit terisak.

“Alhamdulillah sehat, Teteh kunaon?” balasku.

“Alhamdulillah sehat, Teteh kenapa?”.

“Ibu, A. Ibu lambungnya sakit lagi tadi sore.”

“Terus sekarang gimana, Teh?” tanyaku khawatir.

“Ibu masuk RS. Dibawa ke RS sama Teteh, udah masuk ruangan,” balas Teh Yola dengan suara menahan isak tangis.

Aku tercekat, tenggorokanku kering. Teh Ola yang telah mengenalku sedari kecil, langsung menenangkanku.

“Aa sing sabar, ibu tos di ruangan, di dieu aya Teteh, Bi Asih, jeung A Ogoy. Aa jaga kesehatan didinya nya. Tong melang, ibu mah jeung Teteh di dieu,” ucapnya menguatkanku.

“Aa yang sabar, ibu udah di ruangan, di sini ada Teteh, Bi Asih, sama A Ogoy. Aa jaga kesehatan di sana ya. Jangan khawatir, ibu di sini sama Teteh.”

Teh Ola, begitu aku memanggilnya. Kakak perempuanku. Kami hanya 2 bersaudara. Umur kami hanya berjarak 3 tahun. A Ogoy, ia adalah suami Teh Ola yang sefrekuensi sekali denganku. Almarhum Papap menitipkanku padanya setelah 3 tahun yang lalu Papap berpulang. Lalu Bi Asih, ART teteh yang sudah seperti keluarga sendiri.

“Doain ku Aa ya, ibuna sing kuat,” sambung Teh Ola.

“Doain sama Aa ya, ibunya biar kuat.”

“Teh, Aa tf ya buat biaya ibu,” jawabku.

Setelah berbincang panjang lebar. Hatiku masih belum lega menerima kabar itu.

Aku duduk mematung, membiarkan tetesan air mataku mengalir melewati pipi. Tak ingin lagi aku menahan tangis. Ya! Selalu ada perasaan melankolis ketika menerima kabar tentang orang terdekat.

Aku menarik napas dalam-dalam tak ingin terlalu larut, ini sudah garis takdirnya. Mencoba tegar kembali.

Namun, semuanya runtuh saat kudengar ada yang mengetuk pintu kamarku dan langsung membukanya. Yeay! Itu Inne! Sosok yang belakangan Inne bak hilang ditelan bumi semenjak kejadian itu. Ia menatapku cemas, akupun menatapnya heran.

Ia kemudian buru-buru masuk seraya menutup kembali pintu kamar. Kulihat matanya berkaca-kaca, ia langsung menghampiriku, menghambur, menuju kasur dan langsung memelukku. Aku masih diam. Campur aduk, sulit untuk kujelaskan. Sampai akhirnya aku hanya bisa mematung dalam dekapan Inne.

“Yas, maafin aku…,” ucapnya memelukku yang sedang kosong.

“Aku tadi ke kantor, kata Hasna dan Mas Yudi kamu udah pulang pas aku baru nyampe,” lanjutnya.

“Yaaaasss…,” ucapnya lagi menangis memandangku.

Kini ia memegang wajahku, melihat air mataku yang mengalir. Ingin rasanya waktu itu kuhapus air mata Inne, namun tak berdaya.

Inne menyadari ada yang janggal denganku, ia menggoyangkan bahuku berkali-kali sembari menyebut-nyebut namaku. Aku yang masih saja diam, Inne kemudian melihat ponselku yang masih ada di genggaman tangan. Ia mengambilnya melihat kolom chat dengan Teh Yola yang tak henti-hentinya menguatkanku lewat chat saat telepon berakhir.

Kali ini kulihat ekspresi Inne yang tegar, Inne yang mengayomi, Inne yang keibuan, Inne yang dewasa, lebih tenang dan matang dariku.

Sesekali ia menahan sesenggukan.

“Sayaaanggg… Kuat yaaa…,” ucapnya mencium pipiku.

Aku dipeluknya, kepalaku disenderkan ke dadanya, jemarinya mengusap punggungku, Inne mendekapku dengan sangat nyaman, sesekali ia mengecup keningku, setia menungguku, mendekapku sampai tenang.

Waktu itu Inne benar-benar menenangkanku dengan pelukan. Ia menatapku yang masih tersandar di dadanya. Ia tersenyum begitu cantik, jemarinya masih mengelus pipi dan menyeka air mataku.

Ah Inne! Mau berapa kali kau membuatku jatuh cinta untuk kesekian kalinya setelah musibah menimpa hubungan ini. Pertemuan itu seakan menjadi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang lalu.

“Aku takkan pernah lupa, aku akan ada di sini saat kamu butuh, Yas,” ucapnya menatapku.

Aku yang mendengar itu kembali tertunduk, tak mampu kubendung lagi cucuran air mata.

Aku tak mampu berucap, kecupanku di keningnya waktu itu kuharap mampu mewakili jawabanku padanya. Inne semakin memelukku kencang.

“Setelah berbagai cobaan yang kita alami, semakin yakin bahwa kamu adalah orangnya, Yas. Jangan pergi…,” ucapnya.

Aku mengangguk seraya mengelus pipinya, entah kenapa tak sepatah katapun yang terucap dariku waktu itu.

Ia menatapku, hidung kami menempel. Bibir kami bertemu diselingi dengan lumatan-lumatan dan hisapan lembut.

“Inne Ingwie Lestari, kau punyaku,” ucapku.

Inne mengangguk seraya mengelus pipiku.

Setelah melankolis kami tenang, aku perlahan berangsur. Inne menyodorkan air minum yang telah diminumnya terlebih dahulu. Ya memang seperti itu kebiasaannya, jika aku tak meminumnya ia akan marah dan ngedumel, hahaha.

“Kita ke Bandung yaaa…,” ucap Inne seraya merapikan kerudungnya.

“Kita?” jawabku.

“Iya, aku ikut.”

“Aku 3 hari libur, aku ke sini bawa mobil, baju-baju ada sebagian di mobil, nanti bisa beli, sekalian baju kamu,” sambungnya seolah menunjukkan ia tak ingin diprotes.

“Aku pengen ketemu ibu sama teteh,” tambahnya lagi.

“Udah?” tanyaku.

“Udah hehe, sok kamu mau ngomong apa?” balasnya dengan polos.

“Bandung jauh.”

“Gapapa, asal sama kamu.”

Begitulah Inne, yang sifatnya bisa berubah-ubah sesuai situasi dan kondisi. Ini yang membuatku tak merasa bosan dengannya. Ia pintar memahami situasi dan kondisi dan mampu untuk memainkan perannya.

Ia telah mengetahui bahwa aku tidak ngantor selama proses penyelidikan kasus oleh pihak pimpinan, kurang lebih satu minggu.

Kami pun kemudian berkemas, menyiapkan keperluan. Seperti biasa keperluanku disiapkan oleh Inne dengan cekatan. Waktu itu sekitar pukul 9 malam. Setelah semuanya dipastikan sudah siap. Kuputuskan untuk mandi terlebih dahulu, karena belum sempat mandi gara-gara ketiduran wkwk.

“Jangan lama-lama mandinya udah malem…,” ucap Inne yang sedang merapikan kasur.

“Yaaaa…,” jawabku nyelonong ke kamar mandi.

Segera kuguyur tubuhku dengan air, segar kurasakan disekujur tubuh. Ketika sedang kusabuni badanku, tiba-tiba Inne mengetuk pintu seraya berkata.

“Yang buka, biar gak lama…,” ucapnya.

Deggg… Anjir mandi bareng? Tanyaku dalam hati.

“Yaaanggg ihhh…,” ucapnya lagi.

“Iya bentaaaarrr…,” jawabku sembari melilitkan handuk.

Kubuka pintu dan kulihat Inne telah melilitkan handuk di badannya, mungkin dibalik handuknya ia sudah tak memakai apa-apa lagi.

Melihat pemandangan yang asemlehoy itu aku tertegun, mataku terbelalak, sudah lama tak kupandangi tubuh Inne yang mulus nan bening itu. Melihatku yang seperti itu Inne hanya tertawa kecil.

“Ngedip sayang…,” katanya seraya masuk dan menutup lagi pintunya.

Ah bajingan! Siapa yang tak horny melihat perempuan tinggi semampai yang hanya melilitkan handuk di tubuhnya. Si joni pun ngaceng.

Kali ini, harus tuntas. Ucapku dalam hati haha.

Perlahan kudekati Inne dan kuendus tengkuknya dengan lembut, wanginya menyeruak ke hidungku.

“Ih ayaaaanggg… Kan mau mandiii…,” rengeknya seraya menggelinjang.

“Hehehe lagian segala pengen mandi bareng,” jawabku meledek.

“Ih!” ucapnya mencubit pinggangku.

Tak ingin membuang waktu, kulepaskan handuk yang melilit di badannya hingga mulai terlihat punggung mulus dan pantatnya yang sekal. Dengan reflek Inne menutupi payudaranya yang terbuka bebas.

“Ayang ih!” ucapnya dengan wajah yang memerah.

Kembali kuciumi tengkuknya, kuhisap inci demi inci lehernya, daun telinganya pun tak lepas dari hisapan dan lumatanku. Inne semakin blingsatan. Tanganku kini telah bermain di payudaranya memainkan gunung kembar indahnya, dan memilin-milin putingnya.

Kontiku sengaja digesek-gesekan ke belahan pantatnya.

“Aahhh… Ayaanggg…,” ucap Inne seraya menarik handukku.

Kini kami pun sama, sama-sama telanjang. Haha. Mulutku tak henti-hentinga menyerang leher Inne. Tangan Inne melingkar di kepalaku. Membuat payudaranya semakin bebas dijamah olehku. Tangan kiriku perlahan mengelus perut rampingnya. Inne menggigil, mata sayunya menatapku. Kini tangannya meraih kontiku.

“Aku duluin sebelum kamu nyentuh punyaku,” ucapnya menjulurkan lidah.

Tak kusia-siakan ketika Inne menjulurkan lidahnya kuhisap dalam-dalam. Hingga membuat Inne melenguh bersamaan dengan jemariku menyentuh vaginanya yang telah basah.

Kumainkan klitorisnya yang membuat Inne menggoyangkan pinggulnya, tak ingin kalah Ia pun meremas-remas dan mengocok kontiku.

“Emmhh ayaaangg… Enaak tauu…,” ucapnya dengan ekspresi menggemaskan.

Kini kukecup dan kuhisap payudaranya bergantian, kepala Inne mendongak ke atas. Ciumanku perlahan turun menyusuri perutnya, pusarnya, hingga berhenti di bulu tipisnya yang tercukur rapi. Ia menekan-nekan kepalaku agar lidahku segera menyapu vaginanya.

Kuangkat kakinya sebelah ditumpukan di pundaku. Terlihat vaginanya yang merah rapat basah oleh lendir. Segera kuhisap klitorisnya seraya memasukan jari tengah ke lubang vaginanya.

“Aaahhh… Emmmhhh… Sayaaanggg… Geliii…,” ucapnya di sela desahannya.

Jariku perlahan mengobok-ngobok vaginanya, kuhisap klitorisnya hingga membuat tubuh Inne melengking bergetar.

“Sssrrrr crettt… Creetttt… Crettt…,” vaginanya berkedut dan memyemburkan cairannya di wajahku. Inne ngos-ngosan seperti kehabisan nafas dengan tubuhnya yang masih mengejang karena sisa orgasmenya.

Melihat wajahku basah kuyup, sontak ia memegang kedua pipiku.

“Haha sayaaangg maaf…,” ucapnya seraya mencium dan melumat bibirku.

Inne perlahan jongkok, tangannya meraih kontiku. Tangannya mulai mengocok kontiku dan lidahya menari-nari di lubang kencingku. Buah zakarku dihisap Inne. Membuatku merem melek dibuatnya. Lalu Inne mulai memasukkan kontiku ke mulutnya. Setelah 5 menit mengoralku. Inne bangkit.

“Masukin…,” ucap Inne setengah berbisik.

Kubalikan badan Inne, tangannya bertumpu pada bak mandi. Kakinya kubuka lebar, perlahan kontiku digesek-gesekan ke vaginanya. Namun Inne langsung mengarahkannya ke lubang yang tepat. Kudorong perlahan membelah bibir vaginanya, kurasakan kontiku memasuki dinding rahimnya. Inne mendesah saat kontiku mentok di vaginanya.

“Aaahhh… Ayang pelan-pelan…,” ucap Inne disela-sela desahannya.

Mulai kugoyangkan secara pelan, payudaranya yang bergoyang-goyang tak kudiamkan begitu saja. Tanganku meraihnya, meremasnya. Tempo kunaikan secara berkala. Mengingat pertempuran ini harus cepat karena diburu waktu.

Sekitar 5 menit menggenjot Inne, kontiku nampaknya sudah tak kuat lagi menahan laharnya.

“Yang aku mau keluar…,” ucapku.

“Mmhhh i-iyaaahhh… Terusinnn sayang…,” ucapnya.

“Aku juga mau sampe lagiiii hhh…,” sambungnya yang sudah orgasme 2 kali.

Genjotanku poll maksimal, sehingga membuat Inne tak bisa lagi menahan desahannya, bunyi pahaku dan pantatnya begitu ketara.

“Plok… Plokk… Plokkk…”

“Mmmhhh…,” ucapku yang sudah di ujung tanduk.

Mengetahui aku yang akan keluar Inne malah lebih merapatkan pantatnya ke belakang dan tangannya menjulur ke belakang seperti menahan kontiku agar tak terlepas.

“J-janghhaann dilepass… Aku juga mau keluar lagiii… Ahhhh…” desah Inne.

“Aaarrrgghhhh… Hhhmmmmm… Mmmmhhhh… Hhaahhh…,” ucapku yang ejakulasi di dalam vaginanya.

Kontiku berkedut-kedut menumpahkan laharnya yang banyak di vagina Inne. Sepersekian detik Inne pun mengejang hebat vaginanya menyemprotkan cairan yang kencang hingga membuat kontiku terlepas. Spermaku ikut meleleh bersamaan dengan cairan Inne yang menyemprot.

Aku peluk Inne dari belakang, menciumnya dengan penuh kasih sayang.

“Tetap jadi Mbak-ku yang penuh dengan perhatian dan nasihat sayang,” ucapku.

“Tetap jadi bayi gedeku yang manja dan jadi Mas Yassar yang kukagumi sayang,” balasnya.

Kami pun membersihkan badan masing-masing. Kami bergantian saling menyabuni. Inne begitu telaten membersihkan badanku.

Setelah 10 menit kami keluar dari kamar mandi, kali ini tak ada acara handuk-handukan wkwkwk. Kami keluar dengan keadaan telanjang.

“Yang ini bajunya, ini cenala dalamnya,” ucapnya yang telah menyiapkannya.

Aku terpana, sungguh Inne bagiku perempuan tekomplit yang pernah kutemui. Dan beruntungnya kini sedang kumiliki. Tak pernah bosan aku memandangi tubuhnya. Kulihat ia sangat seksi ketika mempersiapkan peralatanku dengan keadaan tanpa sehelai benang apapun di badannya.

“Astaga sayang… Belum juga 5 menit udah bediri lagi iiii…,” ucapnya.

“Eh! Hehehe,” balasku yang baru menyadari kontiku ngaceng lagi.

“Nanti yaaa sayang... Kita prepare duluuu…,” katanya seakan-akan berbicara pada kontiku seraya mengelusnya.

“Muuaachhh…,” kemudian ia mengecup bibirku.

“Pake gih cdnya sayaaanggg…, biar bobo lagi,” sambungnya.

Setelah ini itu, kami pun sudah siap. Pakaian kami couple. Sengaja Inne telah menyiapkannya. Inne memilihkan kaos Motorhead hitam, Inne pun demikian, hanya saja artwork-nya yang berbeda. Inne memadukan kaosnya dengan manset. Pashmima yang dililit ke leher, serta hyperjeans abu yang senada denganku. Tak lupa Inne pun memasangkan jam tangan dan memyemprotkan minyak wangi ke bajuku.

“Yang, si neng udah tidur belum yah?” tanyanya.

“Liat aja yang,” jawabku.

“Nanti ngambek lagi kalo aku gak nemuin dulu, tau sendiri kan si neng kayak gimana.”

“Iya sok temuin dulu yang, sekalian bilang aja mau ke Bandung,” balasku.

“Iya mau sayang…,” jawabnya menghampiriku yang sedang menyisir rambut.

“Muaaachh… Aku ke si neng dulu,” ucapnya seraya melangkah menuju pintu.

Aku menyiapkan barang bawaan Inne juga punyaku, memastikan barang agar tak ada yang tertinggal. Benar saja. Ponsel milik Inne masih tergeletak di kasurku. Ketika kuraih hpnya tak sengaja kulihat ada notif pesan WhatsApp yang belum dibaca oleh Inne.

Penasaran aku baca tanpa membuka kolom chatnya. Kulihat profil picture-nya, anjing ini si Novian. Karena nomornya tak disave oleh Inne.

“Bu. Saya mohon, Pak Yassar jangan sampai tahu. Ibu pengen berapa pengen apa saya kasih,” tulis si Novian dalam pesannya.

Aku tertawa kecil melihatnya, si pecundang Novian yang memohon-mohon kepada Inne. Pantas saja si Novian begitu ketakutan bila berpapasan atau melihatku.

Saat kuhampiri Inne ke kamar Dita. Kulihat Inne sedang menciumi Dita yang sudah tertidur. Inne membangunkan Dita dengan menciuminya. Haha sungguh, itu membuat perasaan dan suasana hatiku tenang.

“Muahhh bangun muahhh… Sayang bangun heyyy muahhh…,” ucap Inne yang tak henti-hentinya mengganggu Dita.

“Teteh gelitikin aaahhh…,” sambungnya.

“Mmmhhhh… Iihhhh…,” rengek Dita kesal yang belum menyadari bahwa itu adalah Inne.

“Teteeehhh… Aaaaaaa…” teriak Dita yang langsung memeluk Inne.

“Teteh ih! Gak kangen gitu sama neng ih! Meniii udah 30 tahun gak ketemu…,” sambungnya dengan wajah ngambek.

“Ututututuuu…, sayangnya Teteh…, sini-sini peluuukkk…,” ucap Inne seraya memeluk Dita dan mengelus rambutnya.

“Tuh kan, Yang. Apa kata aku juga,” kata Inne padaku seraya mengangkat alis.

Aku menghampiri mereka, menenangkan si bontot. Setelah drama ini itu, akhirnya si bontot luluh. Dan tak ingin lepas dari Inne menggelendot manja.

“Sayang, Teteh sama Aa sekarang mau ke Bandung dulu ya, ibu Aa sakit,” ucap Inne dengan penuh trik bujukan.

“Atuuuuhhhhh… Baru ge ketemuuu… Udah ditinggal lagiii…,” balas Dita kembali merengek di pelukan Inne.

“Neng mau ikut?” timpalku.

“Yuk atuh ikut,” sambung Inne.

“Hmmmm mauuu…,” rengek Dita.

“Ya udah atuh yuk siap-siap sayang,” kata Inne.

“Tapi besok praktikum Aa…,” jawabnya seraya memandangku.

“Kuliah dulu ya sayang, fokus dulu kuliah, nanti udah Neng beres ujiannya kita main lagi ke Bandung, ya, Yang?” ucap Inne seolah meminta persetujuan padaku.

“Iya hayu boleh…,” jawabku.

“Tuh kata Aa juga hayu,” sambung Inne seraya menatap Dita.

“Iya atuh, aaa peluuukkk…,” jawab Dita yang kembali ngedusel di pinggang Inne.

Inne hanya tersenyum melihat tingkah Dita seraya menatapku.

Aku hanya mengangkat alis pada Inne, Inne pun demikian. Ia memanyunkan bibir seakan meminta dicium olehku. Akupun demikian seolah menciumnya meski tanpa menyentuhnya, dan kami pun tertawa.

Dita yang melihat itu protes.

“Yeeeuuuu malah ciuman jarak jauh,” ucap Dita dengan nada meledek.

“Hahaha, apa? Neng mau juga dicium?” tanya Inne.

Dita memanyunkan bibirnya, kemudian Inne mengecup bibirnya.

“Mwahhh…”

“Udah jangan protes,” ucap Inne.

Kemudian mereka tertawa, Dita menatapku dengan sisa tawanya.

“Apa? Mau dicium juga sama Aa?” tanya Inne.

“No, no, no! Gak boleh!”

“Nih diwakilin sama Teteh.”

“Mwahh.”

Aku tertawa melihat tingkah mereka. Tak ada pikiran sedikitpun ketika Inne mencium bibir Dita saat itu adalah sebuah prilaku penyimpangan. Yang kurasakan itu hanyalah sebuah bentuk luapan perasaan sayang dari kakak untuk adiknya. Tak lebih dari itu.

Setelah ini dan itu untuk kesekian kalinya, akhirnya aku dan Inne meluncur ke Bandung jam 11 malam. Dan itu menjadi momen dimana Inne menceritakan tentang si Novian dan Hasna, tentang bagaimana ia menceritakan hal apa yang membuat si Novian parno padaku, juga Hasna yang menjadi kagum pada Inne.

Juga itu menjadi momen pertama kali Inne bertemu dengan keluargaku. Inne... *sebagiantekshilang*

*bersambung*
 
Selalu..selalu dan selalu me nunggu mas yassar dan mba inne
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd