Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG PENGIKUT ALUR (A SLICE OF LIFE & SEX)

Bidadari pendamping Yas favorit suhu di sini?

  • Inne

  • Dita

  • Ojay


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
2

Suasana riang menyelimuti kehangatan rumah. Ibu yang sudah sembuh kini terlihat kembali garis kebahagiaan di setiap raut mukanya. Teh Ola yang heboh, A Ogoy yang kalem, dan Bibi yang selalu cekatan memperhatikan kami.

Juga aku dan Inne. Kulihat Inne gampang sekali berbaur dengan keluargaku. Teh Ola banyak bercerita tentang diriku, tentang kenakalan-kenakalanku yang membuat dirinya stres. Tak jarang Bibi pun ikut mengomeliku jika Teh Ola sudah menyerah. Aku biasanya akan takluk jika Ibu sudah turun tangan. Rasanya ingin ngibrit saja jika berhadapan langsung dengan Ibu, didampingi Teh Ola yang mengompori Ibu agar lebih-lebih memarahiku, menyebalkan memang. Namun, itu menjadi kenangan dan tawa saat diceritakan kembali dihadapan semuanya.

“Kan aku maennya sama A Ogoy dulu, jadi kebawa-bawa,” belaku di saat mereka bercerita.

“Lah… kenapa jadi saya,” jawab A Ogoy polos.

“Ya emang! Kamu kan sama tongkrongannya!” ucap Teh Ola nyerobot.

Memang, Teh Ola ini orangnya agak ngegas. Sedangkan A Ogoy cenderung kalem, menjadi kontras dan lucu jika memperhatikan keduanya.

“Nih, Neng. Masa berangkat sekolah jam 7 pagi pulangnya jam 7 malem. Sekolah di mana coba?” kata Teh Ola kepada Inne.

“Bilang ke Ibu mah sekolahnya di Afghanistan, Neng,” jawab Ibu tersenyum.

“Kamu mah, ih!” kata Inne tertawa seraya memukul pahaku.

Aku hanya diam saja menyaksikan pembantaian itu. Semuanya tertawa dengan perbincangan yang hangat. Karena kebiasaan, terkadang Inne mencubit atau memukul badanku ketika tertawa.

“Heh bukan muhrim!” ucap Teh Ola.

Aku tersenyum saja karena sudah tahu arah dan gaya candaan Teh Ola.

“Eh! Iya maaf, Teh,” Kata Inne kikuk.

Sontak itu membuat Teh Ola, Ibu dan juga Bibi tertawa terpingkal-pingkal.

“Iiihhh… kenapa sih, Yang?” ucap Inne padaku yang juga ikut tertawa.

“Ayang, ih! Jangan gitu, ih!” ucap Inne yang lagi-lagi memukul pahaku dengan pipi yang memerah.

Inne segera menarik tangannya lagi saat menyadari ia memegangku lagi. Sungguh, ekspresi dan tingkah Inne begitu menggemaskan waktu itu.

“Hahahaha, duh aing mah gemes si Neng nya Bu, haha,” kata Teh Ola kepada Ibu yang sedang tertawa.

“Lucu gitu, Yang. Liat!” sambung Teh Ola pada A Ogoy.

“Ayang atuh ah!” respons Inne yang tak mengerti kenapa semuanya pada tertawa.

Ia menyelundupkan muka ke bahuku karena malu.

“Ututututu si geulis malu…,” Teh Ola tak henti-hentinya.

“Huh alah! Anak Ibu lucu gitu, hahaha,” ucap Ibu yang kemudian memeluk Inne.

Setelah itu, aku pergi keluar rumah, merokok dan menikmati secangkir kopi bersama A Ogoy. Sedangkan Inne dan Teh Ola ke dapur membantu Bibi masak. Aku banyak bercerita dengan A Ogoy, ia adalah seniorku di geng. Bahkan sampai sekarang ia masih aktif sebagai dewan pembina. Tak jarang, kami duduk melingkar gelas berputar bersama. Kami sama-sama professional jika di rumah, karena memegang kartu as masing-masing wkwk. Tapi, sebadeg-badegnya A Ogoy, ia selalu mengajariku tentang tanggung jawab, dan juga menghormati perempuan. Makanya, almarhum ayahku sangat percaya menitipkan Teh Ola kepadanya.

“Syukur, Yas. Ibu sudah srek sama Inne,” tetiba kata A Ogoy.

“Iya, A. Semoga aja Ibu seneng sama Inne,” jawabku.

“Udah pasti itu mah atuh, Yas. Udah keliatan. Teteh juga udah srek.”

“Ah sotoy.”

“Yeh bener, Aa mah tau.”

“Iya atuh, Iyas tempe.”

“Si goblog,” ucapnya seraya memiting kepalaku pelan.

Aku cuman bisa nyengir kuda saat itu.

“Sok yang bener, jangan main-main mulu, seriusin, niatin yang bener, lebar, cakep soalnya. Takut keburu sadar dianya,” sambungnya yang masih memiting kepalaku.

“Siaaappp komandan! Tapi lepasin dulu atuh sakit,” jawabku memelas.

Tak lama dari itu, terdengar suara motor sayup-sayup. Cipeng datang dengan Aldi ke rumahku. Melihatku yang sedang duduk di teras rumah dengan A Ogoy mereka langsung menunduk hormat dan salim.

“A, hehe,” ucap Cipeng kepada A Ogoy.

“A, salim, A,” ucap Aldi.

Mereka salim kepada A Ogoy, kemudian salam kepadaku.

“Kamarana A? Yas?” tanya Cipeng.

“Pada di dalem, lagi masak,” jawabku.

“Masuk we masuk atuh biasanya juga langsung masuk, segala pake basa-basi dulu,” kata A Ogoy.

“Hehehe, iya, A,” jawab mereka kompak.

“Buuu, Biii, Teeeh?” teriak Cipeng di ruang tamu.

“Tah… si Cipeng…,” kata Ibu menghampiri mereka.

“Itu Cipeng, Bu?” tanya Inne.

“Iya, Neng. Emang gitu dia mah da,” jawab Ibu.

“Jelama lieur…,” ucap Teh Ola.

“Kenapa, Teh?” tanya Inne setengah tertawa.

Teh Ola hanya menjawab dengan isyarat tangan dan memiringkannya di kening.

Inne tertawa terbahak-bahak.

“Teteh yakin umur kita gak beda jauh da,” ucap Teh Ola pada Inne.

Mereka berbincang sembari mengupas dan menyiapkan bumbu dapur.

“Iya gitu, Teh?” tanya Inne.

“Ya atuh Teteh sama si Acep ge bedanya 3 taun, Neng,” jawab Bibi.

“Hah? Ih, iya gituuu?” jawab Inne.

“Aku sama Aa bedanya 2 tauuunnn…,” sambungnya.

“Ya nggak apa-apa atuh, Neng. 22 berarti?” tanya Teh Ola.

“Hmmm… nggak,” ucap Inne.

“Lah… lah… 26?”

“Heem… huhu.”

“Hahahahaha ampun si Aa kelakuan,” ucap Teh Ola.

“Beda setaun berarti sama Teteh, Neng,” sambungnya.

“Hah?” jawab Inne kaget.

“Buuu… hahahaha,” teriak Teh Ola memanggil Ibu seraya tertawa.

“Teteeehhhh, ih…,” rengek Inne.

Tak lama Ibu menghampiri ke dapur bersamaan dengan Cipeng dan Aldi.

“Apa, Teh?” tanya Ibu.

“Hahaha, ini, Bu. Teteh beda set… mmmppphhh…,” ucap Teh Ola yang kemudian mulutnya dibekap oleh tangan Inne.

“Nggak, Bu. Nggak, hehe,” kata Inne kepada Ibu.

“Hih hareureuy wae lagi masak teh,” kata Ibu menggelengkan kepala sembari tersenyum.

“Eh, halooo Cipeeenggg… Aldiii…,” kata Inne mengalihkan topik.

Sedangkan Teh Ola masih tertawa terpingkal-pingkal yang tak menyangka bahwa Inne umurnya beda setahun dengan dia. Ketika Inne bersalaman dengan Cipeng dan Aldi. Teh Ola membisikan sesuatu ke Ibu.

“Ampuuunnn… si Aa… hahaha… biarin atuh gak apa-apa gak jadi masalah umur mah,” kata Ibu yang juga tertawa.

“Ih! Teteh mah!” kata Inne dengan ekspresi cemberut.

“Ayaaaanggg…!!!” teriak Inne.

Aku yang mendengar itu langsung menghampirinya ke dapur. Seperti biasa dengan ekspresi datar aku nyelonong bergabung.

“Ada apa euy meni rame gini...,” ucapku.

Pertanyaan polosku mengundang tawa yang ada di situ, hingga A Ogoy pun ikut bergabung ke dapur.

“Naon aya naon ieu teh?” ucap A Ogoy tak kalah datarnya denganku.

“Hahaha itu, Yang, si Neng ternyata beda setaun sama aku,” kata Teh Ola tertawa.

“Ih, si Teteh!” ucap Inne dengan ekspresi kesal tapi tertawa.

Inne reflek memelukku menelusupkan kepalanya di dadaku. Melihat Ibu yang berada di sampingku Inne pun sekaligus memeluk Ibu.

“Tuh… tuh… liat ngadu ke si Aa,” kata Bibi.

“Teh, Teh, liat…,” ucap Cipeng kepada Teh Ola seraya melirik ke arah aku dan Inne. Cipeng bermaksud ke Inne yang memelukku dengan sedikit menekukan lututnya agar kepalanya pas di dadaku sedangkan aku dalam posisi tegak.

Yang ada di dapur saat itu menyadari kode Cipeng hingga tertawa terbahak-bahak. Menyadari itu, Inne pun akhirnya ikut tertawa terbahak-bahak.

“Hahahaha, ya da gimana atuh susah, masa Aa nya yang harus jinjit,” ucap Inne yang semakin erat memeluk aku dan Ibu.

“Dede atuh manggilnya jangan Aa,” celoteh Teh Ola yang tertawa bersama A Ogoy.

Kami tertawa bahagia begitu lepas meskipun dengan candaan-candaan receh. Akhirnya kami pun menikmati makan bersama dengan suguhan masakan Sunda. Nasi liwet beserta kawan-kawannya. Cipeng dan Aldi sudah sering mengalami momen begini dengan keluargaku. Biasanya Cipeng yang akan siap sedia menuruti kemauan Teh Ola, Aldi yang menertawakan Cipeng pun harus kena semprot oleh Teh Ola, dan akhirnya pun membantu Cipeng.

Aku melihat Ibu dan Teteh juga Bibi begitu peduli kepada Inne, terlihat sesekali Inne ingin menyicipi makananku, ia minta disuapi. Sesekali aku suapi. Namun seterusnya malah Ibu dan Teh Ola yang menawarkan diri untuk menyuapi Inne. Dan pada akhirnya makanan di piring Inne tak habis karena kenyang disuapi oleh Ibu dan Teh Ola.

“Peng, abisin nih punya aku,” ucap Inne pada Cipeng seraya kepalanya bersandar di bahuku.

“Atuh, Inn. Kenyang…” jawab Cipeng dengan muka memelas.

“Peeenggg…,” ucap Teh Ola seraya melirik ke arah Cipeng.

“Iya, iya, siap. Sini, Inn. Diabisin sama aku,” ucapnya yang kemudian mengambil piring Inne.

Semuanya tertawa, termasuk A Ogoy yang menepuk-nepuk pundak Aldi.

“Dasar si Cipeng aya-aya wae…,” ucap Ibu.

“Aldi punten ambilin air anget buat Ibu di dapur, Di,” sambung Ibu kemudian kepada Aldi.

“Siap, Bu,” jawab Aldi.

“Sekalian, Di,” ucapku.

“Sekalian juga nggak nih?” tanya Aldi menyenggol Inne yang kini menggelendot kepada Ibu.

“Hahahaha, nggak.”

Seperti itulah kehangatannya. Momen pertama kali Inne bertemu dan membaur bersama keluargaku. Inne menyukainya, ia berkata itu adalah momen yang sulit untuk terlupakan. Bagaimana ia merasa diakui oleh keluargaku, oleh Ibu, oleh Teh Ola. Bahkan, Inne tak sungkan memperlihatkan dirinya yang sebenarnya kepada Ibu dan Teh Ola, sifat Inne yang manja kini tak hanya disuguhkan kepadaku, namun juga kepada mereka. Sifat mengayomi Ibu turun ke Teh Ola, terlihat dari caranya memperlakukan Inne.

“Yang, kayaknya aku bener-bener ngerasain rumah kedua setelah ketemu Ibu dan Teteh,” ucapnya padaku ketika bermain gitar di halaman rumah sore hari.

“Aku suka mereka, aku sayang mereka, kamu gak hanya bikin aku jatuh cinta sama kamu aja, tapi sama keluargamu juga,” sambungnya lagi memeluk pinggangku dari samping seraya menyenderkan kepalanya di bahu.

Aku genggam jarinya seraya mengelus rambutnya yang tertutupi kerudung. Aku menikmati sore yang indah itu bersama Inne, Cipeng dan juga Aldi. Bernyanyi-nyanyi bersama, tertawa, bercerita tentang asyiknya dunia.

Cipeng juga bercerita mengenai Codot, ia banyak berbincang dengan Inne. Aku menyimak dan sesekali melempari Aldi dengan upilku.

“Yas! Geuleuh goblog!” ucap Aldi.

“Apasih, ih!?” tanya Inne?

“Itu si Yassar ngelemparin upil, Inn,” Jawab Aldi.

“Atuh sayaaaanggg… ih!” ucap Inne kesal kepadaku.

Inne pun bercerita bagaimana ia bisa menumbangkan Mas Novian dkk. Inne pun tak begitu mengerti, yang jelas itu adalah leluhur Inne, lebih tepatnya garis keturunan dari ayahnya yang menggerakan badan Inne. Makanya tak lama dari itu Inne jatuh pingsan, karena energinya terkuras habis.

Sebenarnya aku bersikap apatis terhadap hal-hal seperti itu, tapi aku tetap menghargainya. Apatis menurutku bukan tak peduli, melainkan cara pandang yang berbeda dalam memaknai dan memahami. Aku menghormati dan menghargai sepenuhnya atas hal-hal mistis dan metafisika lainnya.

--oOo--​

“Si Neng nanti tidurnya sama Ibu,” ucap Ibu selepas selesai shalat isya berjamaah.

“Iya, Neng. Sama Ibu aja, ya?” Teh Ola menimpali.

“Iya atuh, hehehe,” Jawab Inne memeluk pinggang Ibu seraya melirik ke arahku.

Aku pun tersenyum seraya meraih tangan Ibu untuk salim, A Ogoy, Teh Ola, dan juga Inne.

Saat hendak menyalami Inne, ketika ia akan mencium tanganku, aku dengan cepat mencium tangannya.

“Eh!” ucap Inne melihat aku mencium tangannya, yang seharusnya itu dilakukan olehnya.

“Nanti dulu ada waktunya,” ucapku nyengir.

“Ya iya atuh bener, si Aa yang harusnya salim bukan Neng, hahaha,” kata Teh Ola.

“Ah Teteh mah!” ucap Inne dengan wajah cemberut menggemaskan.

“Hahaha udah atuh, Teh. Kasian si Neng,” kata Ibu seraya mengelus kepala Inne.

Dan ya! Hari itu ditutup dengan kepulangan Cipeng dan Aldi pada pukul 10 malam setelah bercakap-cakap ditemani berbatang-batang rokok dan kopi bersama A Ogoy. Sedangkan Inne selepas shalat isya ia sudah tumbang di kamar Ibu.



*SEE YOU NEXT TIME*
 
menarik ceritanya
 
Sebenarnya bisa saja langsung dibikin tamat jika Uhus-Uhus ingin segera tamat. Masih ada beberapa bagian detail yang rasanya harus disampaikan di dalam cerita hehe. Seperti bagaimana Yas dengan keluarga Inne. Hingga kelanjutan hubungan Yas dan Inne.
 
Hatur nuhun pisan updetna Suhu @Shhh666
Meni asa baretah kitu euy. Akrab pisan suasana keluarga Yas. Cara ceritana alus pisan. Jadi asa ngiluan aya disana wkwkwk
Ulah tamat heula atuh laaahhhh
Bener Hu, kan baru Inne yg ketemu keluarga Yas. Yas blm ketemu keluarga Inne. Ditolak? Diterima? Ada drama? Tah pan penasaran pisan kalo tiba2 tamat :elu:
Ampe nikah deh. Trus ngadongeng poll pollan pas malam pertamana hohoho. Tp jangan pas malam pertama Inne lg palang merah. Kan ga seru dongengna hahahaaaa...
Tp nu pasti mah, jadi teu ngagebugan si Novian teh. Iraha? Masa lewat begitu saja wkwkwk :perang:
Mantap Hu
Monggo dilanjut
 
Hatur nuhun pisan updetna Suhu @Shhh666
Meni asa baretah kitu euy. Akrab pisan suasana keluarga Yas. Cara ceritana alus pisan. Jadi asa ngiluan aya disana wkwkwk
Ulah tamat heula atuh laaahhhh
Bener Hu, kan baru Inne yg ketemu keluarga Yas. Yas blm ketemu keluarga Inne. Ditolak? Diterima? Ada drama? Tah pan penasaran pisan kalo tiba2 tamat :elu:
Ampe nikah deh. Trus ngadongeng poll pollan pas malam pertamana hohoho. Tp jangan pas malam pertama Inne lg palang merah. Kan ga seru dongengna hahahaaaa...
Tp nu pasti mah, jadi teu ngagebugan si Novian teh. Iraha? Masa lewat begitu saja wkwkwk :perang:
Mantap Hu
Monggo dilanjut
Tah panuju pisan kumaha saur mang @bankonk
Mulai ada intrik²na atuh ameh siga dina pilem²..
Hatur nuhun pisan uodatena suhu @Shhh666 mantap tenan
 
Bimabet
menarik lanjut lagi ceritanya
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd