Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG PENGIKUT ALUR (A SLICE OF LIFE & SEX)

Bidadari pendamping Yas favorit suhu di sini?

  • Inne

  • Dita

  • Ojay


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
15

Dengan secepat kilat aku segera kembali menuju apart Ojay. Entah apa yang ada di pikiranku saat itu hingga akhirnya aku memilih untuk kembali ke apart Ojay.

Pikiranku saat itu hanya tertuju kepadanya, setelah di telepon aku mendengar ia hanya terisak-isak menangis. Tak sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya saat kutanya ia kenapa.

Setengah berlari akhirnya aku sampai ke depan pintu kamarnya.

“Jayyy...” ucapku sembari mengetuk pintu kamarnya pelan.

Tak lama kemudian ia pun membukakan pintu kamarnya. Kulihat matanya sembab, wajahnya kusut, masih lengkap dengan jilbabnya.

Aku masuk memperhatikan Ojay yang masih enggan untuk memberitahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Kemudian aku duduk di tepi kasur, Ojay kembali duduk di atas kasur sembari melipat kedua kakinya ke dada dengan tatapan yang kosong.

“Jayyy...” aku berusaha menenangkannya, tanganku mengelus pundaknya.

Beberapa menit kami masih diam seribu bahasa, tak ada kata yang keluar. Ia pun masih sama, masih dengan tatapannya yang kosong.

Lalu tiba-tiba memberikan ponselnya kepadaku. Aku pun segera meraihnya, kulihat di ponselnya tertera kolom chat dengan Bu Ratna. Kubaca dengan seksama hingga akhirnya aku mengerti kenapa Ojay bisa seperti ini.

Ternyata, ayahnya masuk ke ruang IGD setelah terkena serangan jantung. Bu Ratna memberi tahu Ojay agar tetap tenang. Tak pikir panjang akhirnya aku mencoba untuk memastikan dan menghubungi Bu Ratna dengan menggunakan ponselku.

“Iya, Bu... Iya, ini aku lagi sama Ojay, Bu. Siap-siap, Bu. Iya...” ucapku di telepon.

Rupanya benar, saat itu ayahnya sedang tiduran di kamar. Bu Ratna yang sedang menyiapkan makan malam dan hendak membangunkannya di kamar. Namun, Bu Ratna mendapati suaminya yang sedang mengerang kesakitan sembari tangannya menekan-nekan dadanya.

Sebelumnya ayah Ojay baru beres bermain futsal, mungkin karena terlalu bersemangat hingga kecapean hingga akhirnya memicu serangan jantung. Selama menelepon Bu Ratna tadi, ia menjadi tenang karena mengetahui putrinya sedang bersamaku, ia menitipkannya padaku sampai Ojay bisa benar-benar tenang.

“Ayah udah ditangani, udah ada tindakan juga, Jay...” ucapku.

“Heem...”

“Kamu yang tenang, Jay, aku udah ngirim kenalan kantor di sana untuk jaga di RS.”

“Iya, Mas. Makasih...”

Ia masih diam, sepertinya suasana hatinya masih campur aduk dan berkecamuk. Aku diamkan saja sampai ia benar-benar tenang.

“Jay... aku permisi keluar dulu, pengen ngerokok... nanti kalo ada apa-apa telepon aja...” ucapku padanya.

“Iya, Mas. Ini kartu aksesnya bawa aja, takut akunya ketiduran...”

Sejenak aku melihat matanya, seakan meminta persetujuan lebih.

“Iya ambil aja...” ucapnya meyakinkanku.

Aku segera keluar ke lantai bawah, niat hati ingin menuju mini market terdekat untuk membeli rokok yang sudah mulai habis dan menikmati kopi untuk bisa sedikit mentralkan pikiranku.

“Mbak, garpride 2 bungkus, sama kopinya satu,” ucapku pada kasir.

“Ada lagi, Pak?”

“Nggak, cukup.”

Seperti biasa aku menikmati suasana favorit, nongkrong di depan mini market sembari melihat suasana kota dan kendaraan yang lalu-lalang. Kuraih ponselku untuk menelepon Inne.

“Hallo... Yang...”

“Iya sayang? Udah di rumah? Udah bersih-bersih?”

“Belum, Yang. Ini aku blablablablabla...” aku menjelaskan semuanya kepada Inne.

“Oh gitu, ya udah deh, Yang. Gak papa, yang penting kamu sehat di sana.”

“Iya, Yang. Pasti... how’s your day baby?”

“Aku hari ini banyak kegiatan sayang mulai dari blablablablabla...” Inne bercerita dengan menarik.

Seperti biasa aku selalu suka mendengarkan cerita Inne, penjelasannya selalu terstruktur jadi mendengarnya pun enak, seakan penasaran lebih jauh lagi.

“Hahaha iya gitu sayang... untungnya aku udah kelarin semua. Eh, sayang... keknya aku mulai betah deh di sini, pengajarnya bagus-bagus tau yang. Aku suka education culture nya. Emang gak salah yang Cambridge jadi kampus terbaik...” ucapnya antusias.

“Ya jelas dong, Yang. Budayanya pasti beda, kultur masyarakatnya juga pasti beda. Alhamdulillah kalo kamu betah, Yang... nanti kalo kamu udah pulang ke sini. Kamu wajib ngajarin aku hal baru pokoknya, hehehe.”

“Hahaha aaa sayaaangg masih lamaaa...”

“Aku tungguin kok, sampai upgrade kamu beres...”

“Hehe makasih sayaaanggg...”

“Uang kamu gimana? Aman?”

“Masih aman, Yang. Nanti kalo ada urgent apa-apa aku hubungin kamu kok...”

Tek terasa aku berbincang dengan Inne cukup lama, sekitar kurang lebih 1 jam aku berbincang dengannya di telepon.

“Yaudah sayaaanggg... babay... love u... mmmuuaachhhh...” tutupnya di telepon.

Hatiku merasa lega mendengar Inne baik-baik saja di sana, yang terpenting ia merasa bahagia selama menjalankan aktivitasnya di sana. Aku adalah saksi bagaimana ia berjuang yang awalnya jadi guru SMA biasa, kemudian jadi dosen, hingga kini ia sedang mengemban tugas dari International Indonesian Scholars Associaton dan terpilih menjadi delegasinya di Inggris. Tak menyia-nyiakan kesempatan itu Inne memutuskan untuk sekalian melanjutkan studi S-3 nya di Cambridge. Dengan berbagai pertimbangan dengan keluarganya dan pada akhirnya juga aku. Ya mau tidak mau, tabunganku dengan Inne kusisihkan sebagian untuk menyumbang biaya pendidikannya. Sedangkan gaji Inne dari I-4 disimpan untuk keperluan kami.

Sebetulnya, baik aku dan Inne masing-masing mempunyai financial planningnya sendiri. Kami tak pernah ikut campur dan mengatur penghasilan dan pengeluaran kami. Tapi, jika itu menyangkut financial hubungan, kita pasti membicarakannya. Tak jarang akupun cekcok dengannya gara-gara ketidaksepakatan, wkwk.

*skip*

Setelah menghabiskan 3 batang rokok, ternyata saat sedang menelepon dengan Inne, Ojay meneleponku.

Ia meninggalkan pesan kepadaku.

“Mas... masih di luar? Lagi nelepon Bu Inne ya?”

Aku pun langsung menelepon balik Ojay.

“Halaw salahnikung...”

“Wa’alaikumussalam...”

“Kenapa, Jay?”

“Masih di luar nggak, Mas? Kalo masih, nitip minuman dong yang seger-seger, di kulkas abis...”

“Pengen apa, Jay?”

“Kalo ada Heineken, Mas.”

“Hah?” ucapku kaget.

“Iya... beli agak banyakan aja buat stok juga.”

Anjir aku baru tahu ia doyan ngebir. Ah, ya sudahlah, tanpa fafifu kuiyakan saja permintannya.

Akhirnya aku kembali masuk ke mini market dan mencari-cari minuman itu.

“Mas... Mas... di sini ada Heineken nggak?”

“Oh, nggak ada, Pak.”

Sial, biasanya sih ada mini market yang menyediakan.

Otakku berpikir dengan cepat, hingga akhirnya aku temukan solusi.

Aku langsung menelepon Cipeng, karena dia memang tahu tempat-tempat barang haram tersembunyi manifestasi siluman gang.

“Peng, info depot daerah X dong.”

“Ajiggg... ikut atuh euy...”

“Eh cepetan tangkurak.”

“Santai atuh brayyy kek dikejar pp ae lu...”

“Mau nyekokin anak siapa lu ketek abu jahal?” sambungnya.

“Berisik monyet...”

“Himinsyaitonnirojiiimmm...”

Akhirnya mengirimkan kontak seseorang, dan langsung saja tanpa fafifu part 2 aku langsung meneleponnya.

“Hallo, A. Ini depot X?”

“Iya bener.”

“Bisa delivery nggak, A?”

“Oh bisa-bisa, mau dikirim ke mana, A?”

“Ke minimarket X, depan apartement X yang jalan X...”

“Oh iya, siap A. Apa aja?”

“Heineken 6, vibe black tea nya 1.”

“Oke, A. Siap. Sekitar 15 menit, A.”

Pesanan sudah jadi, tinggal menunggu saja. Aku sengaja memesan vibes untuk sekedar menghangatkan badan atau menemani saat nanti perjalanan pulang ke rumah.

Aku mengirim pesan kepada Ojay untuk memberitahunya.

“Jay, bentar ya, lagi nunggu COD.”

“Oh, iya, lama nggak?”

“15 menitan katanya.”

“Ok.”

*skip*

Akhirnya aku melihat ada seorang yang yang seperti mencari-cari orang, haha. Inisiatif aku menghampirinya.

“A, COD depot yah?”

“Oh iya, A.”

Kemudian ia memberikan totebag hitam padaku.

“Gratis totebag, A. Hehe,” ucapnya.

“Haha siap, berapa jadinya?”

“Semuanya jadi X ribu, A.”

Segera aku membayarnya dan memberikan tips seratus ribu.

“A nuhun nyaaa...” katanya seraya membunyikan klakson.

Segera aku menuju kamar Ojay dengan tanpa fafifu part tilu.

Aku tempelkan kartu ke pintu dan langsung terbuka. Begitu aku masuk aku lihat Ojay baru beres shalat dan masih duduk di atas sejadahnya.

Mengetahui kedatanganku Ojay langsung membalikkan badan.

“Mas, taro aja dulu di kulkas.”

“Oh, iya, Jay.”

Aku menuruti perintahnya. Kulihat ia sedang berdzikir terlihat dari mulutnya dan suaranya yang pelan.

Kemudian ia berdiri, seperti sedang mencari sesuatu. Rupanya ia mengambil kitab suci.

“Masya Allah...” gumamku dalam hati.

Melihat itu sontak aku menjadi kikuk dan bertanya-tanya sendiri.

“Ini bocah tadi minta bir, aku malah beli alkohol lagi...”

Perasaanku seperti dicollabs. Antara takjub, segan, dan ingin mengacungkan kelima jempolku.

Ia masih ingat kepada sang pencipta, masih mengharapkan doa untuk dirinya dan keluarganya. Hatiku terenyuh melihatnya.

“Mas, kalo mau ngerokok jendelanya di buka aja, gak papa. Itu asbaknya di bawah laci...”

“Oh, iya, Jay. Makasih.”

Kemudian ia melantunkan ayat-ayat dari kitab suci dengan suaranya yang merdu. Kuperhatikan bacaannya sangat fasih, makharijul hurufnya sempurna. Pantes sih jebolan pesantren.

Aku duduk di kursi yang kuhadapkan di tepi jendela, aku menghisap rokok melihat kendaraan melaju seperti semut, karena dilihat dari atas. Sungguh pemandangan yang sejuk. Mataku dimanjakan oleh pemandangan malam kota, mulutku dimanjakan oleh kaleng minuman Heineken dan rokok, lalu telingaku dimanjakan oleh suara merdu yang melantunkan ayat kitab suci.

Setelah 15 menit, Ojay lalu menghampiriku setelah sebelumnya mengambil satu kaleng Heineken. Menyeret kursi lain dan duduk di sebelahku. Ikutan menikmati pemandangan malam kota dari jendela.

“Udah?” tanyaku.

“Udah, Mas...”

“Udah tenang?”

“Alhamdulillah...”

“Iya atuh syukur...”

“Mas, itu minuman apa yang tulisannya vibes?” tanyanya.

Anjir, iya lupa aku malah menaruhnya sekalian di kulkas.

“Eeeuuu... itu minuman khusus buat aku. Hehehe,” jawabku gugup.

“Ooohhh... apa sih? Alkohol ya?”

“Iya... hehehe...”

“Ooohhh...”

Kemudian kami saling diam, Ojay beranjak membuka lacinya dan mengeluarkan rokoknya juga.

“Kamu masih ngerokok?” tanyaku.

“Iya, Mas. Kadang-kadang aja sih, kalo lagi banyak pikiran...”

“Oalah, kirain udah berenti pas pertama coba-coba waktu itu bareng temen-temen.”

“Haha, itu aku nggak cocok rokoknya, makanya batuk. Cocoknya aku rokok ini.”

Ia merokok esse change juice.

“Mas, gak mau ngedoain papa juga?” tanyanya tiba-tiba.

“Udah dong.”

“Kapan?”

“Di dalem hati... hehe...”

“Gak sekalian shalat, Mas? Sekalian ngaji?”

Aku cukup tercengang. Lalu bagaikan kebo yang ditutup hidungnya, aku nurut. Menuruti perintahnya untuk shalat.

Lalu aku pergi ke kamar mandi untuk berwudhu dan melaksanakan shalat. Entah mengapa, aku luluh menuruti semua perintahnya. Lagipula itu merupakan perintah kebaikan. Hingga akhirnya aku menunaikan shalat dan melantunkan kitab suci.

Setelah selesai aku kembali duduk di kursi. Kini kulihat Ojay sedang memainkan ponselnya. Aku pun turut meraih ponselku. Kulihat di ponselku menunjukkan pukul 21.00, tapi rasanya aku merasa waktu itu sudah larut.

“Bagus, Mas. Bacaan ngajinya.”

“Ah, apa. Bagusan kamu.”

“Mas dulu mondok?”

“Kalo mondok sih nggak, cuman ngalong aja. Nggak nginep, ikut ngaji di pesantren malemnya doang. Soalnya dulu rumah nenek deket pesantren.”

“Oalah pantesan ngajinya bagus, Mas. Hihi.”

“Masih belum apa-apa kalo dibandingin sama kamu mah atuh, Jay. Hehe.”

“Emang dulu di mana, Mas, pesantrennya?”

“Dulu rumah nenek di Sumedang... dulu pas kecil aku tinggal sama nenek bareng kakak. Karena ibu ngikut bapak tinggal di rumah dinas.”

Kami berbincang menarik waktu itu, membicarakan pengalaman dia di pesantren. Hingga akhirnya aku tahu, ia berasal dari keluarga yang jebolan pesantren semua. Baik keluarga ayah maupun ibunya merupakan produk pesantren semua.

Bila sedikit kusimpulkan, meskipun ia dididik lekat dengan lingkungan pesantren tapi ia masih modern/moderat. Semua corak pemikiran keluarganya agak condong ke liberal/plural, menjunjung tinggi toleransi. INGET YA, NO SARA, TANPA MENYINGGUNG PIHAK MANAPUN.

Pemikirannya cocok denganku mengenai keberagaman keberagamaan, bedanya ia memiliki pondasi yang kuat dan memahami pertanggungjawabannya secara mendalam.

Perbincangan pun ngalor-ngidul. Hingga akhirnya ia penasaran dengan minuman yang kubeli tadi.

Kulihat matanya sayu, efek dari bir yang ia minum.

“Mas... coba siniin minuman yang Mas beli...”

“Eh! Itu alkohol loh, Jay.”

“Ya emang kenapa? Aku penasaran kok...”

Aku memandangnya keheranan.

“Gak papa, Mas. Ini kemaunku sendiri.”

Akhirnya aku mengambil vibes black tea yang kusimpan di kulkasnya. Kemudian menaruhnya di meja.

“Coba-coba minum, Mas. Aku pengen deh liat orang minum alkohol. Hahaha.”

“Aneh-aneh aja ini orang hadeuuhh...”

Aku megambil gelas lagi, dan langsung menuangkannya. Segera kutegak dan membasahi kerongkonganku.

“Ahhh...”

“Enak, Mas?” tanyanya seraya mencium gelas yang masih menyisakan minumannya dikit.

“Baunya sih enak ya, kayak teh gitu...”

“Iya emang rasa black tea, Jay.”

“Aku coba ah, boleh nggak, Mas? Hehe.”

“Jay!”

“Inget ya, ini alkohol. Blablablablablabla...”

Aku menjelaskannya sedetail mungkin, efeknya apa, nanti bagaimana cara mentralisirnya, aku sedikit menyinggung mengenai posisi minuman ini di dalam agama. Pokoknya aku menjelaskan secara detail.

“Ih, Mas kalo ngejelasin sesuatu bisa sampe rinci gitu, yak! Keereennn...” ucapnya.

“Kamu ngerti kan, Jay?”

“Iya iya ngerti, Mas,” ucapnya seraya menuang botol ke gelas.

“Hehehe... coba ah...” Ia meminumnya seperti meminum air putih.

“Uhukkk... uhukk...” Ia terbatuk-batuk sedikit.

“Anget ya, Mas, lewat tenggorokan.”

Aku menjelaskan cara menikmatinya sampai cara meminumnya gimana. Kami kembali berbincang tentang kehidupan. Ia mulai terbiasa menikmati minuman alkohol itu.

Sampai akhirnya ia menceritakan rahasianya kepadaku.

“Aku berusaha memahami ini, Mas. Dan sangat bersyukur sekali karena ada mama dan papa juga kakak yang sangat menyayangiku.”

“Tapi rasa itu selalu ada, Mas. Rasa iri kakak-kakakku padaku yang selalu memuji-muji karena fisikku yang cantik juga kecerdasanku ini,” sambungnya, matanya yang sayu mulai berkaca-kaca.

Melihat itu aku dengan reflek memegang tangannya yang berada di paha kirinya. Ia pun mulai menyenderkan kepalanya di pundakku dan mulai bercerita lagi.

“Di satu sisi aku merasa kasian sama kakak-kakakku. Harusnya mereka yang mendapatkan perhatian lebih dari mama dan papa, karena mereka darah dagingnya. Di sisi lain aku juga gak mau kufur nikmat, Mas.”

Otakku perlahan mencerna setiap perkataan yang keluar dari mulutnya. Kurasakan perlahan bahuku basah, ia menitikan air matanya.

“Aku pernah bilang ke mama sama papa agar mereka lebih memperhatikan kakak-kakakku. Tapi mereka selalu berkilah. Semuanya anak mama dan papa gak ada yang dibeda-bedakan. Kamu anak mama dan papa yang paling membuat bangga, apa salah jika mama dan papa lebih memperhatikanmu.”

“Bahkan mama dan papa pernah nangis sama perkataanku, Mas. Gara-gara aku bilang mama sama papa harus lebih memperhatikan kakak karena mereka darah dagingnya.”

“Mama nangis, A. Gak terima aku ngomong gitu. Mama sama papa udah nganggap aku anak kandungnya, anak kesayangannya melebihi sayang ke anak-anak kandungnya... hiks... hiks... hiks...”

Ojay menangis semakin menjadi, aku usap-usap punggungya secara halus. Mendapatkan perlakuan seperti itu ia semakin merapatkan duduknya padaku hingga lutut kami saling berhimpitan. Ia pun merentangkan tangannya ke arahku dan melanjutkan tangisannya dalam pelukanku.

Tak sepatah katapun yang keluar dari mulutku. Aku merespons setiap ucapannya dengan usapan di punggungnya. Hingga aku memberanikan diri untuk mencium keningnya.

“Makasih, Mas. Udah mau dengerin curhatan aku. Baru, Mas yang tau rahasia ini bahwa aku anak angkat mama sama papa. Temen-temen pun gak ada yang tau, Mas.”

“I’ll keep your concerns, Jay.”

“Makasih, Mas,” balasnya memandanku.

Karena wajah yang saling berdekatan, kembali aku bisa merasakan aroma nafasnya yang membuatku mabuk kepayang. Perlahan kutempelkan hidungku dengan hidungnya. Nafasnya semakin memburu kurasakan. Matanya semakin sayu kurasakan. Bibirnya tersenyum merekah. Kini tangannya sudah melilit leherku dengan mesra.

“May i kiss your lips?” tanyaku.

“Off course...”

Aku tersenyum sembari menggesek-gesekkan hidungku ke bibirnya agar aku bisa lebih merasakan aromanya secara langsung.

Aku kecup pipi kirinya dengan lembut.

“Mwahhh...”

Kulihat bibir Ojay tersenyum merekah, kini ia tertunduk malu bersembunyi di leherku. Kurasakan bibirnya bergerak-gerak di jakunku.

“Mas... aku deg-degan...”

“Hehe, tarik nafas dulu Mbak Bos,” jawabku.

Aku langsung mencium pipi sebelah kanannya, kemudian kedua tanganku membelai kedua pipinya. Kulihat wajahnya begitu cantik, matanya yang sayu perlahan terpejam ketika bibirku perlahan menyetuh bibirnya yang masih tertutup rapat.

“Cuppp...” bibirku mengecup bibirnya yang kering.

Aku semakin berani mengecup bibirnya berulang-ulang kali, sampai akhirnya aku hisap bibir bawahnya dengan lembut. Bibirnya mulai terbuka. Nafasnya semakin memburu.

Aku sempat berpikir, apakah Ojay tidak pernah berciuman sebelumnya. Dia sekaku bocah polos yang baru pertama bibirnya disentuh lelaki.

Nafsuku semakin memuncak. Aku hisap bibirnya secara bergantian atas dan bawah. Aku menjulurkan lidah ke dalam mulutnya. Ia pun sepertinya masih bingung apa yang harus dilakukan.

“Mmmhhh... emmmhhh...” lenguh Ojay.

“Isep lidahnya, sayang...” ucapku.

Mendengarku memanggilnya dengan kata sayang, ia langsung menghisap lidahku dengan ganas sampai aku kesakitan. Hingga akhirnya melepaskan pagutannya.

“Ish... pelan-pelan dong, sakit nih...” kataku.

“Hehe... abisnya, Mas. Sih, panggil aku sayang, jadi greget. Hehe,” balasnya dengan menunduk.

Aku angkat dagunya, dan mulai menikmati bibirnya lagi.

Setelah agak lama berciuman, nampakna ia mulai terbiasa dan sudah bisa memberikan perlawanan yang sengit sampai nafasku terngah-engah dibuatnya.

“Aneh rasanya, Mas. Tapi candu ya, ada kenyel-kenyelnya gitu,” ucapnya polos.

Aku menuntunnya ke kasur, ia pun menyetujuiku. Aku rebahkan badannya yang lumayan semok itu kasur. Aku serang lagi bibirnya, ia pun memberikan pelawanan dengan melilitkan tangannya di leherku. Kadang ia meremas-remas rambutku.

Bosan dengan bibirnya, aku sibak perlahan jilbabnya yang menutupi leher. Aku ciumi perlahan lehernya. Kurasakan ia sedikit kaget, bisa kutebak dari nafasnya yang tersenggal saat bibirku mengenai permukaan kulit lehernya.

“Hmmmpphhh... hhmmmmhhh... mmmhhhh...” ia masih mendesis-desis, masih menahan desahannya.

Lidahku aku keluarkan dan menjilati lehernya dengan penghayatan. Tubuhnya sedikit bergetar ketika lidahku menyapu lehernya. Leherku naik ke atas, menjilati daun telinganya. Ia semakin tak kuasa menahan lonjakan nafsunya, ia sendiri pun bingung harus melakukan apa selain meremas-remas sprei kasurnya.

“Aaahhhh, Masss... geliii... aahhhh... mmhhhhhh...” desahnya yang sudah tak tertahan lagi.

“Enak sayang?” tanyaku.

“hhmmmhhhhh geli, Mas. Hhmmmhhhh...”

Lidahku turun lagi menjilati leher sampai ke daerah tenggorokannya. Kini tanganku tak tinggal diam. Perlahan tangan kiriku menyusuri payudaranya dan meremasnya dengan lembut.

“Aaaaahhhhh, Massss... hhhmmmhhhh...” desahnya saat tanganku meremas payudaranya yang masih tertutup baju.

“Mwahhh... mwahhh.... slllrrppppp... hmmmm... slrrpppp...” aku lumat kembali bibirnya seraya tanganku berusaha melepaskan kancing bajunya.

Desahannya semakin menjadi saat tanganku meremas payudaranya sedikit kencang.

“Aaaahhh... Masss... enak... geliiii... hhhhh... mmmhhh... aahhh...”

Kini kancing bajunya sudah terlepas semua, tanganku mulai bergerilya meraih payudaranya yang sekarang hanya tertutup bra.

“Mmmmhhh... eh! Mas!” ucapnya yang baru tersadar kancingnya sudah terlepas.

“Kenapa sayaaannggg?” jawabku.

Kedua tangannya menyilang di dadanya, matanya yang sayu menatapku.

“Ssshhh... ssstttt...” ucapku seakan membuatnya tenang.

Perlahan kudekatkan lagi wajahku untuk melumat bibirnya.

“Hhhmmpphhh sllrrppp... slrrrpppp... sslrrpppp” ia menghisap lagi bibir dan lidahku.

Air liur kami saling tertukar, hisapan-hisapan yang lembut mampu untuk meluluhkan tangan Ojay untuk tidak menyilangkan lagi di depan payudaranya.

Tanganku pun mulai meraih-raih ke belakang punggungnya untuk mencari kaitan bh nya agar telepas.

“Ckleekkk...” saat tanganku berhasil menarik pengaitnya.

Aku lepaskan pagutan Ojay di bibirku. Kemudian fokusku kualihkan ke payudaranya. Tangan Ojay kembali menutup payudaranya dengan menyilang. Aku tak menyerah, tangannya aku ciumi perlahan dan memberikan kecupan serta jilatan kecil.

“Aaahhh... aaahhh... hmmmhhh...” desah Ojay yang kini tangannya meraih kepalaku.

Tanganku langsung meremas payudaranya yang belum terjamah. Bentuknya sempurna, putingnya agak besar dengan areolanya yang kecil. Itu membuatku semakin tak tahan untuk menghisap putingnya.

“Maaassss... aaahh sayanggg... massss... haahhhh...” erangannya saat putingnya aku hisap.

Kedua tangannya semakin erat menjambak rambutku. Badannya bergetar-getar kecil. Kembali aku remas payudaranya. Aku tak ingin membuatnya orgasme sebelum aku sampai ke vaginanya.

Sejenak kupandangi wajahnya yang sudah sange. Cantik, anggun, kalem, dan kini sudah tergeletak pasrah di bawahku menunggu kenikmatan lanjutan yang akan ia terima.

Aku hisap lagi bibirnya pelan, lidahnya membelit lidahku dan kadang dihisapnya dalam-dalam. Tanganku kini bergerilya ke perutnya. Aku usap-usap perutnya yang sedikit gemuk dan itu sungguh menggemaskan. Tanganku berusaha masuk ke celananya dan mengusap vaginanya dari balik cd nya yang sudah becek. Namun, saat tanganku mengelus vaginanya, kakinya langsung menjepit tanganku. Lalu tangannya menahan tanganku yang berada di cd nya. Ia melepaskan pagutanku. Ia memandangku seraya menggelengkan kepala.

Karena nafsuku yang sudah di ubun-ubun, aku tak mengabaikannya. Kembali tanganku bergerak mengelus-ngelus vaginanya yang sudah banjir. Kakinya masih menekuk dan menjepit tanganku.

“Mmmhhh... Masss... aaahhh... Mas... jangan ke sana masss... aaahhhh geliii...” desahnya.

“Enak kan sayang? Nikmatin aja sayaaanggg...” godaku sembari melihat ekspresi wajahnya.

Alisnya mengkerut, hidungnya kembang kempis, mulutnya menganga mendesis dan mendesah-desah. Matanya terpejam seakan tak kuat untuk terbuka.

Perlahan kakinya mulai mengendur, sehingga membuat jariku lebih leluasa memainkan vaginanya. Tak puas memainkannya dari balik cd. Akupun memasukkan tangaku ke dalam cdnya. Kurasakan jembutnya tipis, vaginanya sangat hangat ketika kuraba dan basah bagian bawahnya.

“Aaaahhhh... Mas... jangan, Masss... aaahhh...”

Aku mainkan jari tengahku dari atas ke bawah di permukaan vaginanya yang sudah becek dan hangat. Perlahan pinggulnya bergerak-gerak. Aku cium bibirnya dah menghisapnya dalam-dalam. Jari tengahku berusaha mencari-cari klitorisnya.

“Maaassss... aaahhh... itu diapain, Maaassss... Kok nikmat, Maaasss... aaahhh...”

“Terus, Masss... terus... aaahhhh... enak banget hhaahhhh...”

Vaginanya sempit sekali, belahannya begitu erat kurasakan meskipun sudah banjir.

Jariku melakukan gerakan memutar di vaginanya, Ojay semakin tak beraturan gerakan badannya, mulutnya mendesah-desah menganga, aku hisap dan menjilati payudaranya secara bergantian. Ia semakin menikmati perlakuanku itu.

“Aaaahhhh... Masssss.... udah, Massss... gelii banget, Masss...”

Namun aku tak menggubris, tetap memainkan vaginanya dengan jariku. Sedangkan mulutku sibuk merangsang payudaranya. Putingnya sudah mencuat sekali, tangan kiri dan mulutku bergantian mencumbui payudaranya.

“Masss.... Masss... haahhh... hahhh... mmpphhhh... udah mas... mmhhhh...”

“Aaaahhh... aahhh... aahhh... Maaasssss...”

“Srrrttt... crit... crittt... crittt...”

Badan Ojay mengejang-ngejang bagai tersengat listrik, tanganku disembur oleh cairan panas dari vaginanya yang menyembur dengan deras. Badannya semakin melengking ke atas, mulutnya menganga, matanya putih semua.

“Aaahhhh... sssshhhh... aaaahhhh... mmmhhh... aaahhhh... hhrrggghhhh...”

“Aaaaahhhhh...!!!” desah terakhirnya diiringi dengan semburan yang terakhir dari vaginanya.

Kini celana Ojay semuanya basah, kasur basah, tanganku apalagi, basah kuyup. Setelah itu, badannya lunglai, lalu ambruk dengan sisa kejang di badannya.

Setelah 5 menit, kemudian Ojay membuka matanya, menatapku tajam dengan tatapannya yang disipitkan.

“Hiiihhhh!!!” ucapnya seraya memukul lenganku pelan.

Wajahnya terlihat kesal.

“Astaghfirullah, Mas Yassar, ih!”

“Aku bilang udah, ya udah! Jadi basah gini deh semuanya, ih! Mas Yassaaaarrr...!!!” sambungnya misuh-misuh.

“Hehe maaf, Mbak Bos. Maaaaffff...” ucapku balik menatapnya.

Ia masih menatapku dengan tajam.

“Hih! Tau ah! Kesel. Mas Yassaaaarrr...!!!”

“Apaaa sayang, apaaa?”

“Apa! Apa! Ini liat!” ucapnya masih kesal.

Kemudian aku memeluknya menelusupkan kepalanya di dadaku.

“Iya sayang, maaf yaaa... aku jahat yaaa... maaf ya sayaaannggg...” ucapku seraya mengelus punggung dan mengecup keningnya.

“Hhhmmmm... sayangg sayangg...!!! Sayang Bu Inne kan?”

“Lhoh! Sayang kamu lah, kan lagi sama kamuuu...” ucapku semakin erat memeluknya dan mengusap punggungnya.

“Hehe... aku juga sayang kamu, Mas,” ucapnya lirih.

Kami berpelukan cukup lama, sengaja untuk membuatnya menjadi tenang kembali.

“Terus ini gimanaaa... aaaaa... Mas Yassaaarrr...” rengeknya sambil tangannya menepuk-nepuk kasur.

“Hahaha, ya laundry lah... mau digimanain lagi emang?”

“Kamuuu sihhh, Mas... jadinya gini deh...”

“Kok bisa nikmat gitu ya, Mas... lebih enak dari biasanya...”

“Hah?” tanyaku.

“Eh! Nggak!”

“Hayooo, suka minin sendiri yaaa?”

“Iiihhh...!!! Mas Yassaarrr...!!!” rengeknya semakin menelusupkan wajahnya di dadaku.

“Suka nonton bokep ya?” tanyaku.

“Ih! Nggak!”

“Aaahhh booonggg...”

“Tadi aku liat di tabs safari kamu ada situs bokepnya tuh...”

“Heh! Astaghfirullah. Maaaasss...!!!”

“Gak sengaja sayaaanggg... tadi kan waktu googling provinsi...”

“Hmmm... maluuu...”

“Gak usah malu dong sayang, kan manusiawi itu normal kok. Manusia kan emang punya nafsu.”

“Hmmmm... tapi jangan kasih tau siapa-siapa yaa sayanggg... aku maluuu...”

“Oke... ya udah sok ceritain gimana bisa sampe tau situs bokep itu?”

“Tau dari tele, Mas. Awalnya iseng liat-liat gambar gitu, terus ada videonya. Aku kan jadi terangsang, memek aku kedut-kedut, Mas... aku coba elus, kok nikmat yaaa... itu pertama pas masih kuliah semester akhir. Sampe sekarang deh aku kecanduan... janji yaa gak kasih tau siapa-siapa sayaangg...”

Aku tersenyum menatap matanya. Kemudian aku kembali mengecup bibirnya. Ia menyambutnya langsung melumat dan menghisap bibirku.

“Hmmmhhh... aahhh... sllrrrppppp... spoookkk... ssslllrtttt... mwwwtttt...”

Aku melepaskan pagutannya dan menatap kembali matanya.

“Hmmm gituuu... ya udah mulai dari sekarang kamu usahain harus berhenti yaaa. Karena kecanduan colmek itu gak baik sayang... dampak PMO (Porn, Masturbation, Orgasm) itu bahaya loh. Dampaknya blablablablabla...” aku menjelaskannya pada Ojay.

“Iyaaa... iyaaa... sayang... aku usahain yaaa... tapi kalo nafsu aku lagi naik gimana dong?”

“Kamu kan pasti tau sayaaang, untuk meredakan nafsu birahi itu kita harus wudhu...”

“Hmm iya sih aku tau... tapi kalo udah wudhu masih aja?”

“Panggil aku. Hahahaha...”

“Hih! Dasar!” ucapnya sambil tangannya menepuk wajahku.

“Eh! Eh! Tau gak yang... waktu itu juga aku di kantor pernah masturbasi di toilet, hihi.”

“Hah? Kok bisa?”

“Iya soalnya... waktu itu pas aku minta tanda tangan kamu yang approve proposal, masih inget nggak?”

“Oh, iya... iya... terus?”

“Nah kan aku ke meja kamu, terus kamu wangiii... aku liat kamu lagi ngerokok. Aku bayanginnya ngeliat kamu ngerokok lagi ciumin bibir aku. Hihihi... terus memek aku kedut-kedut hehe...”

“Hahaha... kamu mah, ada-ada saja sayang...”

“Ya abisnya gimana, gak ketahan, hehehe. Aku gak bisa nahan lagi kalo nyium parfum kamuuu...”

“Pasti Bu Inne juga gitu ya?” sambungnya.

“Hehehe...” jawabku nyengir.

“Tuh kan! Bukan aku doang yang nafsu cium parfum kamu... hihihi...”

Setelah itu kami segera membereskan kasur Ojay yang berantakan. Ia melipat sprei yang terkena oleh cairannya dan dimasukkan ke dalam kantong plastik beserta baju yang ia kenakan tadi. Ia pun berlalu ke kamar mandi untuk membersihkan badannya.

Sedangkan aku masih merapihkan kasurnya dan memasangkan sprei yang baru untuk dipakainya tidur sekarang. Setelah beres, kemudian aku bercermin sembari menyalakan rokok. Kulihat diriku berantakan. Baju dan celanaku sedikit kusut. Apalagi rambut yang sedari tadi dijambak-jambak oleh Ojay.

Aku merapikan baju yang masih mengenakan stelan kantor, hehe. Merapikan rambutku dengan sisir. Tiba-tiba Ojay keluar dari kamar mandi dengan sudah mengenakan baju dan jilbabnya. Ia mengampiriku dan memelukku dari belakang.

“Mas... bolehkan kalo aku sayang sama kamu?” ucapnya dengan suara yang lembut.

“Aku tau kok, hati Mas Yassar hanya untuk Bu Inne seorang.”

“Aku juga tau kok, Mas. Kamu sangat menyayangi adik perempuanmu meskipun bukan adik kandung. Kamu menyayanginya karena sifat, tingkah, dan fisiknya mirip Bu Inne kan, Mas?”

“Aku tau, Mas. Tapi aku ingin menyayangimu seperti kamu menyayangi Bu Inne dan adikmu itu, Mas...”

Aku menarik kedua tangan Ojay dan disimpan di dadaku.

“Kamu denger gak jantung aku berdegup kencang?”

“Iyaaa... kerasa.”

“Itu tandanya, hati ini ada perasaan ketika dipeluk sama kamu.”

Ojay semakin mengeratkan pelukannya padaku.

“Makasih, Masss...” ucapnya lirih dengan nada bahagia.

Kulihat jam di lemari Ojay menunjukkan pukul 23.00.

“Gak mandi dulu, Mas?” tanya Ojay.

“Nggak ah, nanti aja di rumah deh.”

“Ih! Mana coba! Itu tangannya, nggak bau memek aku kan?” tanyanya polos.

Aku setengah tertawa mendengarnya.

Kemudian ia mendegus-dengus tanganku.

“Masih ada dikit, aromanya... gak papa deh, buat kenang-kenangan, Mas, di jalan sambil nyetir. Hehehe,” ucapnya seraya memelukku lagi.

Setelah aku merapikan diri dan memastikan semuanya sudah aman aku berpamitan pulang pada Ojay. Kami saling berpagutan selama beberapa menit sebelum berpisah.

“See you tomorrow di kantor sayang...”

“I’ll meet u...” jawabku menutupkan pintu kamar.

Kulihat ia melambaikan tangan sesaat sebelum aku menutup kamar.

*skipppp*

Akhirnya aku sampai di rumah, aku turun untuk membukakan gerbang lalu memasukkan mobil ke garasi. Agak susah saat itu karena di dalam garasi sudah ada mobil Pajero A Ogoy yang makan tempat.

Aku bawa botol vibes ke rumah dengan niat disimpan di kamaruku. Aku tutupi menggunakan tas laptopku.

Kubukakan pintu rumah dengan pelan karena takut mengganggu yang lain. Tapi aku tercekat ketika melihat dua pasang mata melihat ke arahku dengan tajam.

Teh Ola menatapku dengan tajam yang sedang bersandar di dada A Ogoy.

“Bawa naon eta?!” tanya Teh Ola dengan melotot.

“Eeeuuu... hehehe...” jawabku cengegesan.

Kemudian Teh Ola bangkit menghampiriku, mendengus-dengus badanku.

“Eeuummm, gitu balik kerja malem terus tuh, gitu?!”

“Nggak, Teh, ih!”

“Yang, sini!” sambung Teh Ola pada A Ogoy.

A Ogoy bangkit menatapku dingin.

“Endus, yang. Mabok wae budak teh,” ucap Teh Ola.

A Ogoy memiting leherku.

“Ai kamu teu eling? Awak bau alkohol kieu. Gimana kalo si mamah masih bangun?” ucap A Ogoy.

“Ehhh... A... A... sakit anjir...”

“Heuhh... dasar! Bujang!” ucap Teh Ola berkacak pinggang di hadapanku.

A Ogoy masih memitingku, sedangkan aku terkekeh-kekeh meringis kesakitan.

“Ayo kita tuntaskan, secara jantan!” ucap A Ogoy.

“Hahahahaha...” Teh Ola tertawa kecil melihat tingkahku.

“Si gelo siah! Waraduk jelema teh!” umpatku kesal.

“Hahahaha.”

Mereka menertawakanku dengan puas. Lalu A Ogoy menggiringku menuju kamarku di lantai atas sembari bercanda cekikian.

“Eeeehhhh...!!!”

“Mau ke mana? Mandi dulu, mandi dulu!” susul Teh Ola menjewer telingaku dan membawaku ke kamar mandi.

“Hahaha...” A Ogoy tertawa melihatku.

“Ya udah, ditungguin di kamar, Yas!” sambung A Ogoy.

“Heeeuuuhhh... pasangan titisan beat karbu emberrrr...” umpatku.

“Naon siahhh...!!!” ucap Teh Ola yang mendengar umpatanku.

“Gejebarrr... gejeburrr...” suaraku mandi.

(bersambung).
 
Terakhir diubah:
Untuk uhus-uhus yang barangkali penasaran dengan mulustrasi karakternya. TS kasih bocoran deh. Tadinya akan memberikan mulustrasi setiap karakter, tapi dengan pertimbangan yang matang akhirnya TS urungkan niat tersebut. Uhus-uhus bebas membayangkan mulustrasi setiap karakter dengan imajinasi masing-masing, bebas lah, wkwk.
Tapi setelah riset ada tingkat kecocokan yang pas bila disandingkan:
1. Inne dan Dita wajahnya mirip dengan Bella Cristy (Bubel Megu). Tapi Inne dan Dita berhijab. Inne pun sesekali memasang piercing di hidungnya. Oh iya, Inne berkacamata.
2. Ojay wajahnya sangat mirip sekali dengan Taniaanglt.
3. Yassar mah bebas lah gimana kalian, wkwk. Yang jelas Yassar mah laki-laki dengan tinggi 165 cm berkulit sawo matang dan sangat metal sekali.
4. Perbandingan tinggi badan Inne dan Yassar mirip pasangan Nadine Chandrawinata dan Dimas Anggara.
Selebihnya gimana kalian aja yang membacanya, sebabasnya imajinasi kalian aja. Hahaha.
 
Mas Yas, Bad Boy bingits yaaa....."Sayang kamulah, kan lagi sama kamu..."......Dulu keknya saya jg pernah ngomong itu ke seseorang....Harusnya dia marah atau cemburu, eeeh malah kekepannya makin kenceng.....Padahal, sama2 dah ada pacar.... :D
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd