Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG PENGIKUT ALUR (A SLICE OF LIFE & SEX)

Bidadari pendamping Yas favorit suhu di sini?

  • Inne

  • Dita

  • Ojay


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
lain klo ts nya orang filsafat
ceritan ya keren,tata bahasa nya jg bikin nge fly
jarang² baca cerita kek gini
semangat terus buat TS nya
 
4

“Hahaha kamu bisa aja, Mas,” ucap Ojay setelah bercanda dengan Yas.

Saat itu Yas sedang berjalan bersama Ojay menuju ruangan CEO. Ya! Menuju ruangan Bu Ratna. Setelah melangkahkan kaki sembari berbincang akhirnya mereka sampai juga di depan pintu ruangan Bu Ratna.

Yas mengambil napas dalam-dalam.

“Biasa aja kali, Mas. Kayak nggak pernah aja masuk ruangan Mama...” ledek Ojay.

“Hehehe, iya... iyaaa...”

Kemudian Ojay mengetuk pintu beberapa kali sebelum membukanya.

“Mamaaa...” ucap Ojay langsung menghampiri Ibunya yang masih sedang duduk menghadap laptop.

“Eh, Nak...” balas Bu Ratna tersenyum pada anaknya.

Yas pun menyusul mengekor mengikuti Ojay dan langsung mengangguk menyapa Bu Ratna.

“Lhoh... bawa-bawa Mas Yassar ke sini toh...” ucap Bu Ratna tersenyum sembari memandangi anaknya yang sedang tersenyum juga.

“Eh, iya, Bu. Minta ditemenin katanya, hehe...” jawab Yassar.

“Sudah beres loh Bu kerjaan Ibu. Masih asyik aja mantengin laptop...” sambungnya.

“Haha... tidak, Yas. Ini lagi ngecek-ngecek aja sedikit...” jawab Bu Ratna.

“Kamu udah beresin semuanya, Yas?” tanya Bu Ratna.

“Beres, Bu. Amaaannn...” ucap Yas tersenyum.

“Tuh... liat, Nak. Contoh Mas Yassar, dia selalu satset gitu lho menghandle kerjaan Ibu...” ujar Bu Ratna pada Ojay.

“Ya iya lah, orang Mas Yassar assist nya Mama...” jawab Ojay sedikit manyun.

“Hahaha begitulah, Yas. Si Bontot ini...” ujar Bu Ratna sembari mencubit pipi Ojay pelan.

Yas hanya tertawa saja menanggapinya. Lalu memutar melihat-lihat koleksi lukisan yang dipajang di ruangan itu meninggalkan Bu Ratna dan Ojay yang sedang berbincang. Memang, ini bukan kali pertamanya Yas memasuki ruangan Bosnya itu, tapi lukisan-lukisan mahalnya yang diekspor dari luar negeri selalu berhasil memukau matanya.

Sesekali ujung mata Yas menangkap Ibu dan Anak itu masih asyik becengkrama tertawa-tertawa cekikikan bersama. Yas sadar diri dan sadar posisi, jadi ia lebih fokus ke lukisan-lukisan.

“Inne sudah beres ya, Yas?” tetiba ucap Bu Ratna pada Yas.

“Oh, iya, Bu. Projectnya yang udah beres sih, Bu. Kalau kuliahnya masih beberapa semester lagi. Itu pun jatah semester depan udah nggak ada tatap muka,” jawab Yas sopan.

“Wah bagus dong syukur kalo gitu, dia jadi stay di sini lagi...” balas Bu Ratna.

“Iya, alhamdulillah, Bu...” Yas tersenyum menanggapinya.

“Ajak ke rumah nanti ya! Kita bakar-bakaran, seru kayaknya,” ucap Bu Ratna.

“Huhuyyy... asyik nih...” kata Ojay.

“Tuh... Ojay juga udah pengen ketemu banget kayaknya sama dosennya yang cantik...” Bu Ratna tersenyum.

“Betuulll...” ucap Ojay.

Yas mengangguk seraya tersenyum.

“Kamu lanjut S3 nggak, Nak?” tanya Bu Ratna pada Ojay.

“Mauuu... kalau dosen panutanku S3, aku juga harus dong... S4 kalo perlu...” jawab Ojay cepat.

“Tapi nantiii... ini aja S2 belum kelarrr...” sambungnya.

“Haha... alhamdulillah...” ucap Yassar bersamaan dengan Bu Ratna.

“Harus... kakak-kakakmu cuman mentok S2, keburu puyeng katanya...” ujar Bu Ratna melirik ke arah Yassar.

“Ah apaan, kakak mah keburu bucin, alesan aja itu waktu itu cerita ke aku...” sergah Ojay.

Bu Ratna pun tertawa menanggapi anak bungsunya itu.

“Ya sudah... kalian ini mau keluar?” ucap Bu Ratna memandangi Yas dan Ojay bergantian.

“Boleh... lagian kerjaan kamu udah kelar kan, Yas?” lanjut Bu Ratna.

“Sudah, Bu. Udah dikirim ke email juga...” jawab Yas.

“Siippp...”

“Kamu gimana? Udah kelar, Nak?” tanyanya pada Ojay.

“Udah... tadi dibantuin dikit sama Mas Yassar, hehe...” jawab Ojay yang menggelendot ke Ibunya.

“Anak iniii...” ucap Bu Ratna geleng-geleng kepala.

Mereka pun langsung berpamitan, Bu Ratna mempersilakan. Bahkan katanya tidak balik ke kantor lagi juga tidak apa-apa. Hahaha...

5

Akhirnya mereka meluncur ke sebuah Mall besar yang memerlukan waktu sekitar 45 menit untuk menempuhnya. Tujuannya adalah membeli cd untuk Ojay, haha.

Mereka pun mulai berjalan-jalan mengitari mall tersebut. Saat keluar dari mobil di basement parkiran. Tangan Ojay selalu menggandeng Yas. Namun, saat memasuki mall Ojay mulai menjaga jarak dengan Yas. Bukan apa-apa, cuma takut ada yang kenal saja katanya, lebih ke menjaga citra mereka berdua jika sewaktu-waktu bertemu dengan orang kantor ataupun kenalan mereka masing-masing.

Yas tersenyum dan mengangguk ketika Ojay mengatakannya.

Kini tangan Yas keduanya dimasukkan ke saku celana, sedangkan tangan Ojay keduanya memegang tas yang disimpan di depan pinggangnya.

“Mas, Mas... mau sekalian makan nggak?” tanya Ojay.

“Hmm... aku belum mau sih, Jay? Kamu mau? Ayok aku temenin...”

“Hmmm... nggak deh, mending beli dulu cd buruan, ini aku dingin semriwing...” bisiknya pelan di telingaku.

Yas hanya nyengir kuda, dan mengiyakan ajakan tersebut.

“Mas mau ikut masuk?” tanya Ojay saat sudah di depan Gerai Victoria Seret.

“Emang boleh? Gak ada cowo sih aku liat-liat...”

“Hihi... iya emang nggak ada, ya udah tunggu aja di sini ya...”

Ojay pun melangkah ke dalam gerai meninggalkan Yas yang duduk di sofa.

Sembari menunggu Ojay di gerai, Yas memainkan ponselnya dan ada pesan masuk di Wassapnya.

“Mas, di sini yo...” tulis pesan tersebut.

Kemudian disusul dengan link share loc di bawahnya.

“Woke muantap massseee...” balas Yassar.

Tak lama kemudian ponselnya berdering, orang itu menelepon Yassar.

“Halo, Mas...”

“Iyo, pie, Masdot?”

“Aku iki lho wes jam bubar tapi masih ono seng kudu dikerjain, telat dikit rapopo yo, Mas? Ngapunten...”

“Oh, yo wes, selo ae, Masdot. Saiki aku ono ning Mall daerah X...”

“Wes gampang, wes parek iku, Mas. Ko aku mono bae yoh...”

“Siappp, tek enteni...”

Saat sedang berbincang dengan Codot di telepon, tiba-tiba Ojay menghampiri.

“Mas... udah...” ucap Ojay menggandeng tangan Yas lalu digiring ke kasir.

Yas mengikuti Ojay sembari masih berbincang dengan Codot di telepon, Ojay pun sayup-sayup mendengar percakapan mereka.

“Berapa semua, Mbak?” tanya Yas pada Kasir.

“Semuanya jadi X rupiah, Mas.”

Yas pun kaget karena harganya tak sesuai dengan apa yang ia kalkulasikan, kemudian ia melirik ke arah Ojay dan ia mengangkat 3 jarinya ke arah Yas. Itu menandakan ia hanya membeli 3 setel.

“Debit, Mbak...” ucap Yassar kemudian yang masih berbincang dengan Codot di telepon.

Yassar merogoh dompetnya, ponselnya dijepit di antara kuping dan bahunya saat tangan Yas mengeluarkan kartu atm miliknya untuk diberikan kepada Mbak Kasir.

Ojay masih diam sembari matanya melirik-lirik pakaian, anteng masih mengalung tangan Yas.

“Udah cocok, Mas, Mbak... hihi...” ucap Mbak Kasir seraya mengembalikan atm Yas.

Yas hanya tersenyum seraya mengangguk kepada Kasir.

“Aamiin...” ucap Ojay mengaamiini ucapan Mbak Kasir.

“Terima kasih sudah berkunjung, Mas, Mbak...” kata Mbak Kasir seraya merapatkan kedua telapak tangannya di depan dada.

Yas dan Ojay pun tersenyum mengangguk.

Setelah mereka beres payment, mereka pun berjalan keluar. Perbincangan dengan Codot di telepon pun sudah diakhiri.

Yas dengan pelan menggoyangkan tangannya yang masih digandeng Ojay.

“Eh, lupa, Mas. Hehe...” ucap Ojay yang buru-buru langsung melepaskan gandengannya.

“Nanti skandal ribet lho...”

“Haha, jangan sampeee... amit-amit...”

“Siapa tadi, Mas?” sambung Ojay.

“Codot, temenku...”

“Mau ketemuan?”

“Iya, udah janjian...”

“Ooohhh...” jawab Ojay mengangguk.

“Gimana sekrarang masih semriwing?”

“Haha, nggak dong...”

“Mas, makasih yaaa... hihi...” sambung Ojay.

“Sama-sama, Mbak Ojayyy...” jawab Yas tersenyum.

“Kenap cuman beli 3?” tanya Yassar.

“Yang 4 nya nanti nyusul biar bisa jalan-jalan lagi sama kamu, wle...” jawab Ojay.

“Hahaha...” tawa Yassar.

“Makan dulu yuk...” ajak Yassar kemudian.

“Yuk!”

Mereka pun makan sembari menunggu kedatangan Codot. Perbicangan mereka selama makan seperti biasanya, hangat dan berseri-seri.

Setelah beberapa lama berbincang dan menunggu Codot yang tak kunjung datang, ponsel Ojay berdering, ia pun segera mengangkat teleponnya.

“Iyaaa Ma... Iya ini masih sama Mas Yassar... Oh iya-iya aku balik lagi kantor, oke tunggu ya Maaa...” ucap Ojay di telepon.

“Mama minta temenin ke tempatnya kaka, Mas,” ucap Ojay.

“Ya udah yuk ke kantor...”

“Eh, nggak usah! Mas kan lagi nungguin temennya. Aku pake ojol aja, Mas. Gakpapa...”

“Duh gak enak aku sama Bu Bos...”

“Udaaahhh santai aja...”

“Udah ah ayok aku anter...” belum sempat Yas menyelesaikan ucapannya, Ojay memotong.

“Itu bukan Mas temennya?” ucap Ojay seraya memandang ke arah belakang Yas.

Yas pun berbalik, dan matanya menangkap sesosok pemuda tinggi dengan wajah garang mengangkat tangan ke arahnya seraya tersenyum.

“Serem gitu, Mas...” bisik Ojay pelan pada Yas.

Yas pun tersenyum dan langsung berdiri untuk menyambut Codot, begitupun dengan Ojay.

“Wahhh... sangar sampeyan, Masdot...” ucap Yas.

Codot tertawa dan mengulurkan tangan padanya.

“Hahaha... akhirnya kita bertemu yo, Mas...” jawab Codot yang langsung memeluk Yas dan menepuk pundaknya.

“Iki lho ya sosok panutan e koncoku, Cipeng, haha...” sambung Codot.

“Wah sampeyan terlalu berlebihan, Mas, hahaha...” ucap Yas.

Saat berdiri berhadapan, perbedaan fisik Yas dan Codot begitu kentara. Tinggi Yas hanya sepundak Codot.

“Mbak...” ucap Codot ramah dan menyalami Ojay.

Ojay pun menyambut uluran tangannya dengan ramah.

“Codot, Mbak... fans nya Mas Yassar...” ujar Codot.

Ojay tertawa mendengar itu.

“Chyntia...” jawab Ojay.

“Bestie parahnya Cipeng ini...” ucap Yassar pada Ojay.

“Ooohhh iya...” jawab Ojay tersenyum mengangguk-ngangguk.

“Lhoh, udah ketemu sama Cipeng emang?” tanya Codot melihat ke arahku seraya menunjuk Ojay.

“Udah, Masdot. Waktu itu, panjang lah ceritanya...” jawab Yas.

Codot manggut-manggut memahaminya.

Codot dan Yas pun langsung terlibat percakapan yang asyik. Bagai kedua teman yang sudah akrab, padahal baru pertama kali bertemu. Ojay hanya senyum-senyum saja menyimak perbincangan mereka.

Di tengah-tengah perbincangan yang asyik tiba-tiba Ojay mengecek ponselnya.

“Mas, aku ojolnya udah datang nunggu di bawah,” ucap Ojay dengan reflek mengalungkan tangannya di lengan Yassar.

“Oh, ya udah hayu ke bawah...” ucap Yas.

Ojay merasa canggung dan melihat ke arah Codot.

“Wah kayaknya aku ganggu kalian ya. Hehe...” ujar Codot menggaruk-garuk kepala.

“Eh! Nggak kok, Mas...” ucap Ojay yang langsung melepaskan tangannya di lengan Yassar.

“Santai aja, Masdot. Kebetulan aja tadi dapet tugas dari Bu Bos suruh nganterin Mbak Chyntia belanja keperluannya...” kata Yassar tenang.

Codot mengangguk paham, bibirnya sedikit menyunggingkan senyuman.

“Masdot, aku nganterin dulu Mbak Chyntia ke bawah yooo...” sambung Yassar.

Ojay masih terlihat kaku di situasi itu.

“Ossiappp Masseee... monggo-monggo...” jawab Codot tersenyum.

“Mas, duluan ya...” ucap Ojay menyalami Codot.

“Iyooo, Mbak. Hati-hati yooo...” jawab Codot ramah.

“Masdot, pesen makan dulu aja sok santai, rokokan-rokokan...” ujar Yas.

“Wokeee, Maseee...”

Yassar dan Ojay pun pergi ke bawah. Yas mengantarkan Ojay sampai naik mobil ojol.

“Mas, sesuai titik ya... awas jangan sampe lecet, kalo lecet plat nomornya udah aku catat...” ucap Yas kepada supir ojolnya.

“Siap, Mas...” jawab supir itu seraya mengangguk.

“Dadah, Masss...” ucap Ojay yang langsung mencium tangan Yas.

“Hati-hati...”

Yas pun kembali ke atas untuk menemui Codot lagi, saat sampai di atas Yassar melihat Codot sedang memakan ramen dengan lahap.

“Nah begitu, mbok yo pragat gawe yo mangan, Mas. Beeeuuhhh sedep rokokan e...” ujar Yassar.

“Haha kempong aku iki, Mas... sampeyan wes mangan, Mas?” tanya Codot.

“Uwes-uwes Masdot...”

“Mbok yo LDR uwes ono gandengane meneh sampeyan, Mas Yas...”

“Haish... mboten wani aku macem-macem Masdooottt...” ujar Yassar yang kini menyalakan rokoknya.

“Ora urusan aku Mas, kalau macem-macem sih siap-siap ae Mbak Inne e aku tikung...”

“Haha... sama Inne alhamdulillah aman Masdoottt, santai...”

“Yo iku, kurang opo meneh tho Mbak Inne, Mas? Wes spek bidadari ngono lho...” tanya Codot dengan nada sedikit menginterogasi.

“Kurang cendek, Mas...”

“Cok! Asu... hahaha...” Codot tertawa mendengar ucapan ngasal Yassar.

“Haha iyo yo Mas... aku kira sampeyan nduwur ngono lho... secara Mbak Inne e nduwur...” Codot masih terpingkal karena tawanya.

Yas hanya pasrah saja dirinya dibully oleh Codot. Setelah Codot selesai makan mereka pun rokokan sembari masih berbincang-bincang tentang si Novian.

“Eh, Mas... dirimu kan orang Sunda tho? Kok ngomong jowo e lancar...???”

“Yo gara-gara Inne, udah lama juga sih Mas di sini...”

“Ohhh iyo yooo. Tapi seingetku malah Mbak Inne yang logatnya jadi Sunda. Cok! Saling mempengaruhi pasangan iki...”

“Hahaha...”

“Eh, sek Mas, sek!” pandangan Codot beralih dengan tajam ke arah dibelakangku.

“Ono opo Masdot?”

“Iku, iku lhoh, jare sampeyan Mbak Inne saiki ana ning Inggris kan?”

Yas mengangguk serta mengernyitkan dahi.

“Itu lho cok! Seng berempat...” ucap Codot mengarahkan pandangan Yassar.

“Wah prank ikiii... prank...” sambungnya.

Yas hanya tersenyum saja melihat perempuan yang dimaksud oleh Codot. Kebetulan perempuan itu sekilas melihat ke arah Yassar dan Codot. Yassar pun segera melambaikan tangannya. Tapi, sayangnya perempuan itu tidak menyadarinya.

Setelah beberapa kali Yas melambaikan tangan dan menunggu momen, akhirnya perempuan itu menyadari ada seseorang yang melambaikan tangan padanya.

Mata gadis itu terbelalak, senyumannya langsung merekah seketika saat melihat wajah Yassar. Ia pun langsung memberikan kode kepada teman-temannya bahwa dirinya akan menghampiri Yassar dan Codot.

“Cok... cok... prank apa lagi ini cok!” ucap Codot menggelengkan kepalanya seraya menatap Yassar.

Yassar hanya tersenyum menanggapinya, pandangannya tetap tertuju kepada perempuan yang mengenakan kerudung hitam dipadukan dengan hoodie senada yang dikuplukan, totebag putih, celana cargo abu, dan sepatu slip on motif abstrak seperti dilukis.

Codot pun memerhatikan perempuan itu dengan detail dan masih menyisakan kerutan di dahinya.

“Hahaha... kirain siapa manggil-manggil ih, Aa!” ujar Dita yang langsung salim dan memeluk Yassar.

“Abis ngapain kamu, Neng?” tanya Yassar sembari membukakan kupluk hodie Dita.

“Abis nonton sama temen-temen...”

“Itu salim dulu sama Om Codot...” perintah Yassar.

“Halo Om...” ujar Dita mengulurkan tangannya.

“Asu, om jarene...” ucap Codot yang langsung menerima uluran tangan Dita.

Yas pun sengaja tak berusaha memperkenalkan Dita lebih dalam kepada Codot yang mukanya masih kebingungan.

Dita langsung duduk mepet dan mengalungkan lengan kirinya ke tangan Yassar sembari memainkan ponselnya.

“Makan belum? Makan dulu gih! Apa mau makan sama temen?” tanya Yassar.

“Iya tadinya mau makan sih, tapi Neng mau sama Aa ah, bentar ya! Neng bilang dulu ke temen-temen...”

Dita pun menghampiri lagi temannya dan izin untuk memisahkan diri karena bertemu dengan Yassar, sebagian dari temannya ada yang sudah tahu hubungan antara Dita dan Yassar, dan mereka pun mempersilakan.

“Eh guys! Gua bareng kakak gua dulu ya... kangen banget soalnya. Hihi...” ucap Dita pada temannya.

“Awas noh nanti si Atar murang-maring lagi nih! Hahaha...” jawab salah satu temannya.

“Nggak bakal, aman dia mah kalo aku sama kak Yassar...”

“Oke deh, have fun ya cantiiikkk...” ujar teman-temannya.

“Eh iya, Del. Kayaknya gua balik bareng Kakak gua deh, sorry ya...” ucap Dita pada Della.

“Oke okee santaiii cantiikkk...”

“Ya udah deh, bayyy...” Dita pun berpelukan terlebih dahulu dengan teman-temannya.

“Salam sama Kak Yassar, Dit. Hihi...” ujar Della.

“Wah mau mati di tangan Bu Inne lu, ya?” ucap Dita sembari mengepalkan tangan.

“Hahaha candaaa-candaaa, galak amat sih...”

“Aku sama yang satunya deh, keren gagah... hihi...” ucap salahsatu temannya nimbrung.

“Haha aku sampein nanti, Om Codot namanya...” jawab Dita.

Sebagian dari mereka pun sontak melongo dan terkejut saat Dita menyebut nama Codot.

“Hah? Serius lo? Kak Codot yang itu kan, Vin?” kata Tiara.

“Kayaknya iya sih, Ra. Codot mana lagi yang namanya terkenal selain dia...”

“Hah emang apaan dah?” tanya Dita polos.

“Nggak-nggak... haha, tanya aja Kakak lu... pasti tau dah...”

“Ooohhh...” jawab Dita.

“Selamat bersenang-senang cantiiikk...” kata teman-temannya kemudian.

Dita pun kembali bergabung bersama Yassar dan Codot, sesaat sebelum kembali duduk Dita melihat ke arah wajah Codot yang membuat ia cukup segan.

“Aaahhh... Aa... ih... kelilipan... tiupin...” ucap Dita kemudian seraya merengek-rengek seperti anak kecil.

“Fuhhh... fuhhh...” Yassar pun meniup kelopak mata Dita yang kelilipan.

Yassar pun mengucek kepalanya setelah Dita tenang. Yassar kembali melanjutkan perbicangan dengan Codot, sementara Dita masih asyik dengan ponselnya sambil menunggu pesanannya datang. Tangannya tak pernah lepas dari lengan Yassar.

“Udah ngeuh belum ini siapa, Masdot?” tanya Yassar nyengir pada Codot.

Codot hanya mengernyitkan kening dan menggelengkan kepala.

Dita hanya tersenyum seraya melihat ke arah Codot yang kebingungan.

“Teteh udah pernah cerita kan, Neng?” tanya Yassar pada Dita.

“Iya pernah, A. Yang waktu itu kan?” tanya Dita memastikan.

Yassar menganggukan kepalanya.

“Sek...” ucap Codot.

“Teteh?” ucap Codot lagi.

“Oalah... adiknya Mbak Inne tho?” tanya Codot.

Yassar mengangguk seraya tertawa, begitupun dengan Dita yang kini sedang menikmati makanannya.

“Pantes dari tadi aku mikiiirrr yo, mbok ya mirip Mbak Inne gitu lho Mas Yas...”

“Kie sih fotokopi e Mbak Inne Mas Yas, hahaha... plek ketiplek wajahnya. Beda di postur aja,” sambung Codot.

“Eh iya, Om Codot! Temenku nitip salam tadi...” ujar Dita.

“Owalahhh... wes tua aku Dek bisa-bisane disalami karo kembang muda ahayyy...” celetuk Codot.

“Wa’alaikumsalam...” sambungnya.

“Tadi yang petama kali liat kamu, Masdot, Neng. Kirain Teteh katanya, sampe Aa dibilangin ngeprank coba, hahaha...”

Dita tersenyum mendengar itu tak berkata, mulutnya sedang mengunyah makanan.

“Beda berapa tahun sama Mbak Inne, Dek Dita?” tanya Codot pada Dita.

“8 tahun Om...” jawab Dita ceria.

“Jauh juga, tapi kalo pinggir-pinggiran kaya e sih keliatan sepantaran gito lho yo Mas Yas?”

“Haha iya sih gak beda jauh...”

“Sek, berarti Dek Dita iku kelahiran 2000 yo?” tanya Codot.

“Betul Om!” jawab Dita.

“Wahhh kalau Dek Dita sama Mbak Inne beda 8 taun, berarti Mbak Inne, sampeyan, karo aku sepantaran yo Mas Yas?” sambungnya pada Yassar.

Yas tersenyum, begitupun dengan Dita yang mulai cengar-cengir menutupi mulutnya.

“Lhoh, nopo tho, Dek?” tanya Codot keheranan.

“Hahaha...” Dita tertawa sembari menggelengkan kepalanya.

“Aku 94 Masdot...” ucap Yas nyengir.

“Su! Serius cok!” jawab Codot tak percaya.

“Ya gimana yaaa...” balas Yas garuk-garuk kepala.

“Wah seleramu seng wes mateng-mateng yo Mas, hahaha...” ucap Codot tertawa.

Mereka pun tertawa bersama karena itu.

“Aa udah makan? Om udah makan?” tanya Dita pada Yassar dan Codot.

“Udah...” jawab Yassar dan Codot barengan.

“Ooohhh pada makan bareng ya?” ucap Dita.

Sontak mata Yassar dan Codot saling berpandangan atas pertanyaan Dita.

Dalam tatapan Yassar Kepada Codot, Yassar mengharapkan pengertian dari Codot.

Sementara itu, Dita yang sedang mengunyah gantian memperhatikan wajah keduanya karena tak langsung menjawabnya.

“Iya...”

“Enggak...”

Ucap Yas dan Codot bersamaan, lalu Yas dan Codot bertatapan hingga akhirnya Codot membuang muka dan menggaruk-garuk kepalanya.

“Mmm, iya bareng maksudnya, Dek... otakku konslet kayaknya nih ketularan Mas Yas, hehe...” ucap Codot seraya mentap Yas yang sedari tadi sudah mentapnya.

Dita masih asyik menguyah dan menatap Yas yang sedang melihat ke arah Codot.

“Boong ya? Huuu...” ucap Dita datar dan melanjutkan makannya.

Tingkah Codot jadi kaku karena merasa tak enakan dengan Yassar, yang sudah membocorkan Yas makan dengan Ojay kepada adiknya Inne.

Tapi lama kelamaan Yas nyengir menatap Codot. Keduanya sama-sama nyengir dan garuk-garuk kepala.

“Hahahaha...”

“Hahahaha... asu...”

Dita hanya menatap mereka kebingungan tak mengerti apa yang sebenarnya mereka tertawakan.

6

Setelah Dita selesai makan, mereka pun berjalan menuju basement parkiran. Seperti biasanya Dita tak pernah melepaskan tangannya dari lengan Yassar. Codot yang melihat itu pun sepertinya sudah mengerti kedekatan Dita dan Yassar.

“Halooo...” ucap Dita sedang video call.

“Eeehhh sayanggg... lagi di mana, Neng?”

“Lagi jalannn... tuh liaaattt...” Dita menggunakan kamera belakangnya memperlihatkan Yassar dan Codot sedang berjalan samping-sampingan sembari berbincang.

“Sama Aa? Ih kalian gak ada ngabarin ya ke Teteh... Aa juga gak bilang mau sama Neng ketemu Masdotnya.”

“Ih tau gak, Teh? Aku gak sengaja ketemu Aa nya juga, terus dipanggil sama Aa, ya udah aku ngikut hehehe...”

“Oh hahaha... dasar. Udah makan belum?”

“Udah tadi disuruh Aa...”

“Teteh kapan jadinya ke sini...?”

“Ini lagi urus-urus sayang... semoga cepet deh. Kalo cepet 3 hari juga udah bisa terbang ke sana...”

“Yeay! Semoga cepet ya, Teh. Aku udah kangen bangeeetttt... huhuuu...”

“Iyaaa Teteh jugaaa...”

“Eh! Mana ayang aku dong...”

“Gak boleh ah! Lagi sama Neng dulu...”

“Heh bocah ya!” ucap Inne melotot.

“Hahaha ampun-ampunnn...”

Dita pun kemudian menyusul Yassar dan Codot, lalu memberikan ponselnya kepada Yassar.

“Teteh, A...” ucap Dita.

Yas pun langsung menerimanya, sontak Yas langsung tersenyum melihat kekasihnya itu.

“Aaaaa sayanggg...” ucap Inne pada Yas.

Yas pun mengarahkan kameranya kepada Codot.

“Halooo Masdooott...”

“Halooo Mbak Inne... betah Mbak di sana?” tanya Codot.

“Betah... alhamdulillah...”

“Wah Mbak Inne keliatan lebih berisi yo, Mas Yas?”

“Hahaha...” jawab Yassar tertawa.

“Apa sayang katanya?” tanya Inne pada Yassar.

Yas pun memberikan ponselnya kepada Codot.

“Ngapunten gih Mbak, Mbak Inne keliatan lebih berisi gito lhoh sepengelihatanku...” ucap Codot.

“Ooohahaha... iya nih disuruh Yassar... jadi naik 5 kilo ini, haha...” jawab Inne tertawa.

Codot pun menyerahkan lagi ponselnya pada Yassar.

“Sayang jangan sakit ya! Inget janji kita kemaren... kalo pas aku pulang kamu gak fit aku bakal bete seharian!” ucap Inne pada Yas.

“Waduh... hahaha... siap komandan!” balas Yas menaruh tangannya hormat.

“Haha... aku ini lagi urus-urus sayang, semoga aja cepet, kalo bisa cepet 3-4 harian juga aku udah di sana...”

“Oh, syukur kalo gitu sayang... semoga dipercepat deh...”

“Gengsi banget bilang kangen...”

“Hahaha...” Codot tertawa karena Inne meledek Yassar.

“Gitu dia mah Masdot sama calon istri sendiri aja masih suka jaim...” ucap Inne.

“Calon istri?” tanya Codot ke Yas.

“Aku udah ngelamar Inne, Masdot. Doanya...” jawab Yas.

“Wah selamat Mas Yas, Mbak Inne...” ucap Codot kepada Inne.

Inne pun memamerkan cin-cinnya kepada Codot dengan bangga.

“Mohon doanya yaaa Masdooottt...” ucap Inne.

“Aamiin... semoga dilancarkan dan dikuatkan...” kata Codot.

“Aamiinnnn...” ucap Yas, Inne, dan Dita bersamaan.

Yassar tersenyum merespons itu, ponsel pun kembali beralih kepada tangan Dita dan ia melanjutkan perbincangannya dengan Inne.

Sementara Yassar mengikuti Codot menuju ke arah motornya dan masih berbincang, kali ini lebih terlihat serius. Yassar mengangguk-ngangguk beberapa kali dan Codot pun menepuk pundaknya. Sesaat kemudian tangan Codot merogoh saku jaketnya mengambil sesuatu, lalu tangan Yassar menyambutnya dengan cepat. Codot seperti berbisik sembari menundukkan kepalanya ke arah Yassar, kembali Yas pun mengangguk.

“Dek Dita! Masdot duluan yaaa...!!!” ucap Codot melambaikan tangan kepada Dita yang sudah ada di dalam mobil Yassar.

“Yaaa... hati-hati Masdooottt...” balas Dita melambaikan tangan.

“Makasih yo Masdot...” ucap Yassar.

“Santai ae Mas Yas... aku tunggu komandomu Kujang Rompang!”

Yassar tercekat dengan ekspresi kaget ketika Codot menyebut nama itu. Sedangkan Codot tersenyum dibalik bap merah yang ia kenakan lalu melaju dengan motornya.

“Gak mungkin kalo dia tau dari Cipeng, hanya orang-orang tertentu saja yang bisa mengetahui itu...” ucap Yassar dalam hati.

Sementara itu di dalam mobil Yassar.

“Neng sekarang ke mana?” tanya Inne.

“Ya pulang, Teh. Ke kosan... sepi huh kosan nggak ada Aa...” jawab Dita.

“Mau pulang ke kosan? Gak ke rumah aja?”

“Emang Aa pulang ke mana?” tanya Dita.

“Ya ke rumah lah, mau ke mana lagi emang Aa?”

“Oh, iya ya... hahaha...”

“Dih bocah ngapa yakkk...”

“Hahaha ya kirain Aa lembur gitu...”

“Kayaknya nggak deh, kalo mau lembur Aa pasti bilang ke Teteh.”

“Eh, Teh!”

“Apaaa kenapa sayang?”

“Teteh tau Mbak Chyntia?”

“Chyntia?”

“Iyaaa...”

“Chyntia siapa, Neng? Ojay?” tanya Inne memastikan.

“Nahhh iyaaa...” jawab Dita antusias.

“Kenapa emang?” tanya Inne.

“Nggak sih. Heheh...”

“Ooohhh... kamu sering liat dia bareng Aa yaaa...???”

“Gening Teteh tau?” tanya Dita kaget.

“Tau atuh... orang dia mahasiswa Teteh kok di kampus... pinter dia anaknya, cantik lagi...”

“Iya sih... tapi kenapa dia bareng Aa terus Teh? Teteh gak cemburu gitu di sana?”

“Hah? Hahahaha...” Inne tertawa mendengar ucapan Dita.

“Ih! Kok Teteh malah ketawa sih!?”

“Heh emang Neng beneran gak tau? Hahaha...”

Dita hanya menggelengkan kepala.

“Dia kan assist nya Aa di kantor sayaaanggg...” sambung Inne.

“Assist?”

“Iyaaa... assistentnya Aa...”

“Ooohhh pantesan sering ke mana-mana bareng...”

“Tapi kan Aa masih suka lembur, terus kerjanya dia apa kalo Aa masih kerja lembur. Emang punya assistent itu wajib ya?” sambung Dita.

“Neng harus baca-baca tentang perkantoran deh sayang... hahaha...”

“Gini, Teteh jelasin... Aa kan sekarang bisa dibilang orang penting di kantornya. Aa kan sekarang posisinya jadi General Manager, itu tu jabatan yang lumayan tinggi lah bagi seumuran Aa. Nah selain itu, Aa juga ngerangkap jadi Assistent CEO di perusahaan itu. Jadinya, posisi Aa yang General Manager harus ada yang bantuin dong? Biar gak keteter. Jadi, Mbak Chyntia yang jadi assistentnya Aa. Itu tu dia anak CEO perusahaannya...” jelas Inne panjang lebar.

“Hah? Waw...” takjub Dita.

“Jadi Mbak Chyntia itu anak CEO, Aa tuh Asisstent CEO, terus anak CEO itu assitentnya Aa?” sambung Dita.

“Betuuullll pinter kaliii adek Tetehhh...”

“Rumit...”

“Hahaha...”

“Berarti Aa kaya dong Teh, berapa gajinya Aa? Hehe.”

“Yaaa ini Teteh sekarang di Inggris, siapa kalo bukan Aa yang bantuin? Haha...”

“Alhamdulillah gaji Aa udah 2 digit... soalnya Teteh kan yang ngatur keuangan Aa. Hehe...” sambung Inne.

“Waw! Ah Neng mau palak Aa ah!”

“Hahahaha...” Inne tertawa.

“Ya udah, udah dulu yaaa... Teteh mau lanjut lagi riset ini...”

“Mana Aa?” sambung Inne.

“Tuh, lagi jalan sini...”

“Nih...” ucap Dita menyerahkan ponselnya pada Yassar.

“Apa yang?” ucap Yassar.

“Yang uang sama aku dipake blablablablabla sama ini, kebutuhan riset blablablabla, ini itu ini itu ini itu masih safe kok sayang...” ucap Inne menjelaskan detail.

“Ooohhh ya udah yang gak papa, kalo kurang tinggal nyari lagi...” ucap Yassar.

“Shombong amat!” celetuk Dita.

“Heh?” ucap Yassar melirik Dita.

“Wleee...” Dita memeletkan lidah pada Yassar.

“Si Neng lagi sensi sama kamu tuh, Yang. Kamunya sama Ojay terus katanya, cemburu dia... hahahaha...” ucap Inne tertawa.

“Hahahaha...” Yas tertawa sembari melihat ke arah Dita.

“Iiihhh!!! Tau ah! Nyebelin, Aa! Teteh! Ih!” ucap Dita.

“Eh! Yang! Si Neng bawa pulang ke rumah aja, di kosan dia ngalayap mulu sama pacarnya tuh!” ucap Inne dengan nada tegas.

Dita hanya diam tertunduk lesu mendengar ucapan Inne.

“Gatau waktu dia, maen terus sampe keganggu tuh kuliahnya gara-gara bucin...”

Dita semakin tertunduk, tak berani mengangkat wajahnya sama sekali selagi Inne melaporkannya pada Yassar.

“Hey! Dita!” kali ini Inne memanggil Dita dengan namanya. Mendandakan bahwa Inne sedang mode serius.

Yas pun memberikan ponselnya kepada Dita.

“Yaaa...” jawab Dita murung.

“Kamu ceritain sendiri sama Aa! Teteh gak punya waktu di sini buat ngurusin kamu yang jadi bandel gitu! Teteh gak pernah sama sekali ngajarin kamu begitu, Dita! Denger!”

Nada bicara Inne masih tegas, sehingga itu membuat Dita mulai terisak menahan tangisnya. Sontak Yas pun menghapus air matanya dan mengelus rambutnya. Ia pun sudah tak kuat menahan tangisnya dan langsung beringsut memeluk Yas seraya membenamkan wajahnya di dada.

Yas mengambil ponsel Dita yang masih tersambung dengan Inne.

“Kenapa sih yang?” tanya Yas.

“Hlahhh... gak tau aku yang mungkin jauh dari aku juga jadinya gak keperhatiin si Neng. Kamu juga sayang sibuk banget di kerjaan.”

“Heem, terus?” Yassar masih menenangkan Dita yang sedang terisak di dadanya dengan mengelus-ngelus kepalanya.

“Aku gak nyangka aja kalo si Neng berani sejauh itu...”

Yas pun memandangi wajah Inne di layar ponsel, tak butuh lama bagi Yas untuk bisa mengerti semua maksud dari Inne.

“Oh iya-iya ya udah sayang,” Yas berusaha menenangkan Inne juga di video call.

“Iya gitu sayang... kamu pasti bisa ngomonginnya deh sayang, maaf ya aku udah marahin si Neng sayang. Kecewa aja aku gak nyangka, aku gak pernah loh yang ngajarin dia kayak gitu sayang...” ucap Inne.

“Iyaaa iyaaa udah sayang, ya udah kamu istirahat dulu yaaa... jangan kecepean risetnya sayang...”

“Hmm iya sayang... i love you... muachhh...”

“Love you more... muach...”

Panggilan video call dengan Inne pun selesai. Dita masih betah dengan sesenggukannya di dada Yas, kini pelukannya semakin erat.

“Udah yaaa... Teteh lagi capek mungkin, jadi lagi gampang emosi, maafin Teteh yaa sayang...” ucap Yas lembut.

“Heuuu... heuuu... i-iyaaa... maafin Neng ya A, aku udah bikin Teteh kecewa... heeuuu... heeeuuu...” Dita berusaha berucap di tengah sesenggukannya.

“Udah sayang udah... cup... cup... cup...” Yas semakin erat memeluk Dita dan mencium keningnya agar memberikan ketenangan.

Cukup lama Yas memberikan pelukan ketenangan bagi Dita sampai akhirnya suasana hati Dita agak membaik.

Selama perjalanan menuju rumah, Yas dan Dita tak banyak berbincang. Beberapa kali Yas menawari mau makan apa, namun Dita selalu menggeleng. Yas pun melihat beberapa kali ponsel Dita berdering adanya panggilan masuk. Yas melihat di layarnya itu panggilan dari Atar.

“Gak bakal diangkat?” tanya Yassar.

“Gak, udah diemin aja.”

“Oke,” jawab Yas datar.

Otak Yas semakin cepat memproses bahwa semua ini ada hubungannya dengan Atar. Inilah sebenarnya ketakutan terbesar Yas kepada Dita. Hal yang selama ini Yas takutkan dan cemaskan akhirnya semesta mengirimkannya. Yas beberapa kali menarik napas panjang sebelum akhirnya merokok berbatang-batang untuk membunuh kesunyian yang harus ia lewati.

(bersambung).
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd