Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Pengkhianatan Sahabat

Status
Please reply by conversation.
Makasih updatenya @fathimah
Ng-cutnya kurang pas

Makasih updatenya

makasih updet lanjutannya @fathimah

Sedih bgt wulan, btw makasih updatenya suhu

Makasih updatenya

Makasih update Part 50-nya @fathimah

Mantab trimakshh

Thanks update Part 50 @fathimah

Sama-sama semuanya ... ditunggu terus ya lanjutannya, sebentar lagi akan selesai kok :)
 
Part 51: Merasa Lelah

Setelah keluar dari hotel, Wulan langsung memanggil taksi. Namun, karena pikirannya masih begitu kalut, ia pun tidak tahu harus pergi ke mana. Ia tidak sempat merencanakan ke mana ia akan pergi setelah adegan 'pengakuan dosa' dengan Pak Syamsul. Meski begitu, perempuan muda tersebut tetap masuk ke dalam taksi yang sudah menunggu di hadapannya dan langsung duduk di kursi belakang.

"Tujuan ke mana, Mbak?" Ujar sang supir taksi.

"Muter-muter aja dulu, Pak. Minta tolong ya, nanti saya bayar argonya semua," Jawab Wulan.

Ini bukan pertama kalinya sang supir taksi mendapat penumpang yang sedang mengalami masalah dan tampak terguncang seperti itu, jadi dia menurut saja. Dan dari penampilannya, penumpang tersebut sepertinya punya cukup uang, jadi dia merasa tidak perlu khawatir kalau nanti dia tidak dibayar.

Sepanjang perjalanan, Wulan hanya memandang ke luar jendela, menatap langit ibu kota yang sedang mendung, persis seperti kondisi hatinya saat itu. Hari juga sudah menjelang senja, membuat perasaanya semakin haru. Ia berusaha keras menahan tangis. Ia merasa malu apabila harus mengeluarkan air mata di dalam taksi tersebut dan dilihat oleh sang supir.

"Di belakang kursi ada tissue, Mbak," ujar sang supir taksi tiba-tiba.

"Eh, apa Pak?"

"Ada tissue di belakang jok, Mbak gunakan saja."

"Eh, iya. Terima kasih Pak," Wulan sempat ragu, tapi ia akhirnya tetap mengambil tissue dari sebuah kotak yang sengaja diletakkan di belakang jok yang ada di hadapannya.

"Saya sudah sering mendapat penumpang yang seperti Mbak. Ada masalah dan tidak tahu harus ke mana, jadi saya selalu menyiapkan tissue di sana," ujar sang supir sambil melirik Wulan lewat spion tengah.

Wulan pun terdiam dan balas melirik ke arah sang supir. Tinggal di ibu kota membuatnya untuk terbiasa waspada apabila terjadi hal aneh di luar kebiasaan yang dilakukan orang asing di sekitarnya. Dan apa yang baru saja dilakukan sang supir taksi tersebut merupakan salah satu di antaranya.

"Tenang saja, Mbak. Saya tidak akan ikut campur masalah Mbak, kok," ujar sang supir lagi berusaha menenangkan. Pengalaman mengantar berbagai jenis penumpang membuatnya begitu memahami apa yang dipikirkan oleh mereka.

Wulan melirik ke dashboard depan, di mana biasanya terdapat foto dan nama sang pengendara taksi. Hanya tertera satu nama, Lukas. Ia pun berusaha membandingkan foto yang terpasang di situ dengan wajah sang pengemudi. Sepertinya itu memang benar-benar fotonya.

Namun Wulan tidak mau ambil risiko. Ia pun membaca kode mobil di dalam taksi tersebut, lalu mencatatnya di smartphone. Dengan begitu, apabila ada hal buruk terjadi padanya, ia bisa melaporkan pengemudi taksi tersebut ke pihak berwajib.

Perempuan tersebut pun kembali menenangkan diri dan merebahkan tubuhnya di atas jok taksi tersebut. Semilir AC di dalam taksi tersebut membuatnya lebih santai. Karena mentalnya sedang begitu terpuruk, Wulan tidak sadar bahwa fisiknya juga telah begitu lelah. Tanpa sadar, matanya perlahan terpejam, hingga ia benar-benar terlelap.

***

Ratna baru saja keluar dari kantornya saat tiba-tiba sebuah sepeda motor berhenti di hadapannya. Motor tersebut tampak begitu terburu-buru. Ketika sang pengendara membuka helmnya, barulah ia mengenali siapa pengendara motor tersebut.

"Irfan, kamu sedang apa di sini?" Tanya Ratna. Pengendara motor tersebut ternyata Irfan, teman pacarnya.

Irfan tampak tersengal-sengal dan berusaha sekuat tenaga untuk mengatur nafas. "Egi, Ratna ... Egi," ujar Irfan sambil terus berusaha menghirup oksigen sebanyak-banyaknya.

"Egi kenapa, Irfan? Apa yang terjadi dengan dia?" Ratna tiba-tiba merasa khawatir akan pacarnya tersebut.

"Egi mau berantem sama orang."

Ratna merasa mau pingsan mendengarnya. Ia pun langsung mengeluarkan smartphone miliknya dan berusaha menelepon pacarnya tersebut. Namun ia tidak bisa tersambung dan hanya mendengar suara "Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif."

"Duh, gak bisa dihubungi. Dia emang mau berantem sama siapa sih?"

"Aku gak tahu, tadi dia nelpon dan bilang kalau dia mau datang ke markas preman di dekat kantornya gara-gara mereka udah ngerusak mobil dia tanpa alasan."

"Dia mau datang sendiri?"

"Katanya sih begitu."

"Kamu kenapa gak larang?"

"Sudah, Ratna. Tapi kamu kan tahu pacar kamu itu suka keras kepala."

Ratna merasa tambah panik, ia tidak tahu bagaimana cara menghubungi sang pacar untuk melarangnya berkelahi. "Lalu kamu ngapain ke sini?"

"Aku juga tidak tahu harus bagaimana, dan karena kebetulan aku lagi ada dekat sini, yasudah aku langsung ke sini saja. Kebetulan kamu pas mau pulang," jawab Irfan.

"Kamu tahu di mana markas preman itu?"

"Tadi dia kasih tahu dikit ancer-ancernya. Mau coba cari ke sana?"

"Iya, yuk ... Kamu bawa helm dua?"

"Bawa, neh ..." ujar Irfan sambil menyerahkan sebuah helm kepada Ratna. Perempuan cantik tersebut pun langsung naik ke jok belakang sepeda motor Irfan, dan mereka pun langsung melaju ke lokasi yang dituju.

***

Saat membuka mata, Wulan merasa kebingungan di mana dia berada. Ia seperti sedang duduk di bangku belakang sebuah mobil. Ia memandang ke luar jendela, tampak hari telah begitu gelap. Sayup-sayup ia bisa mendengar suara kendaraan bermotor melintas di kejauhan.

Perempuan cantik tersebut pun berusaha mengingat-ingat kembali apa yang terjadi pada dirinya. Hal terakhir yang ia ingat adalah keluar dari hotel dan langsung naik ke sebuah taksi, setelah sebelumnya ia melakukan konfrontasi dengan Pak Syamsul, Bu Anita, dan Bobi. Apakah mobil di mana dia berada saat ini merupakan taksi yang sama? Ia menatap ke arah dashboard depan dan kembali melihat nama Lukas di sana. Berarti benar, ia masih berada di taksi yang sama.

Dengan panik, Wulan pun segera mencari smartphone di dalam tasnya, dan ternyata masih ada. Ia melihat layar smartphone tersebut, ternyata sudah pukul 11 malam. Wulan tak sadar bahwa ia sudah tidur selama itu. Ia pun langsung berpikir hal-hal terburuk, apa yang sudah terjadi selama ia tidur. Apakah ia sempat dirampok, atau mungkin diperkosa?

Wulan pun segera memeriksa uang di dompetnya dan barang berharga lainnya. Ternyata semua masih lengkap. Dia juga memeriksa tubuh dan pakaiannya, tetapi tidak ada juga tanda-tanda bahwa dia telah dijamah. Jadi, semuanya sepertinya aman. "Tapi, aku di mana?"

"Tokk tok," tiba-tiba Wulan mendengar suara ketukan di kaca jendela mobil, tepat di sampingnya. Ia merasa kaget, dan langsung memeriksa siapa yang ada di balik kaca tersebut. Sepertinya itu adalah sang supir taksi, Pak Lukas. Ia masih mengenakan seragam supir taksi yang ia kenakan saat Wulan naik ke taksi tersebut sore tadi.

"Sudah bangun?" Tanya Pak Lukas begitu Wulan membuka kaca jendela mobil.

"Sudah, Pak. Baru saja saya bangun. Ini di mana?" Tanya Wulan dengan sedikit panik. Ia takut supir taksi tersebut memanfaatkan kondisi dirinya yang tertidur karena kelelahan dan menculiknya ke tempat asing.

"Oh, ini di tempat nasi goreng langganan saya, Mbak. Ini di daerah Menteng. Tempatnya memang sedikit masuk ke jalan kecil, tapi rasanya muantap polll ... iya gak Mang?"

Sang tukang nasi goreng yang sedang sibuk memasak tersebut pun menyempatkan diri untuk tersenyum ke arah supir taksi, sebelum kemudian melanjutkan aktivitasnya.

"Maaf ya Mbak kalau saya lancang sudah membawa Mbak ke sini. Habis saya gak tega mau membangunkan Mbak. Selain itu saya juga lapar, jadi saya ke sini dulu. Setelah ini akan saya antar Mbak ke lokasi tujuan," ujar sang supir taksi.

Wulan baru sadar bahwa artinya Pak Lukas telah membawanya berkeliling ibu kota selama berjam-jam. Ia pun melirik ke arah argo yang ada di bagian depan mobil. Tidak ada angka apa pun yang tertera di situ.

"Ahh, tenang saja Mbak. Argonya sudah saya matikan dari tadi, hee," ujar sang supir taksi saat menyadari kekhawatiran Wulan tentang berapa biaya yang harus dia bayar. "Oh iya, ini nasi goreng untuk Mbak. Kebetulan baru matang."

Tanpa diduga, sang supir taksi telah memesankan nasi goreng untuk Wulan. Sang perempuan pun baru menyadari bahwa sudah lama sekali sejak terakhir kali ia makan pada hari itu. Ia pun merasa sangat lapar.

Pak Lukas baru akan menyerahkan piring nasi goreng ke dalam taksi lewat jendela di samping Wulan. Tapi Wulan buru-buru menolak. "Jangan, Pak. Nanti taksinya kotor. Apa di luar ada kursi untuk duduk?"

"Hmm, ada neh Mbak."

"Oke."

Wulan pun membenahi pakaian dan jilbabnya yang sedikit kusut saat ia tertidur, kemudian membuka pintu taksi. Pak Lukas ternyata telah duduk di atas sebuah kursi bakso berwarna merah. Wulan pun mengambil kursi serupa yang berada di situ, lalu menempatkannya di sebelah Pak Lukas.

"Ini Mbak, nasi gorengnya. Tapi saya gak tahu Mbak suka pedes atau nggak, makanya saya minta kasih sambel aja sedikit."

"Iya gpp, terima kasih banyak, Pak."

Tanpa menunggu waktu lama, Wulan langsung menyantap nasi goreng yang ada di hadapannya. Ia memegang piring dengan tangan kiri, dan menyendokkan makanan tersebut ke mulutnya dengan tangan kanan.

"Hmm, nasi goreng ini memang benar-benar enak. Bumbunya pas. Pantas saja Pak Lukas sampai bela-belain datang ke sini untuk makan," pikir Wulan dalam hati.

Di sebelahnya, Pak Lukas hanya tersenyum melihat Wulan yang memakan nasi goreng tersebut dengan lahap. Ia pun turut memakan nasi goreng miliknya. Sesekali ia melirik ke arah penumpangnya tersebut, dan mengagumi tubuh indahnya. Namun ia memutuskan untuk tidak berkata apa-apa tentang itu. Keduanya pun makan malam di hari yang sebentar lagi akan berganti tersebut dalam diam.

Sekitar 15 menit kemudian, Wulan dan Pak Lukas sama-sama telah selesai makan, dan mereka baru membuka suara. "Terima kasih ya Pak ..."

"Lukas, panggil saja Lukas."

"Terima kasih ya Pak Lukas nasi gorengnya, pas banget memang saya sedang lapar," ujar Wulan sambil tersenyum manis.

"Santai, Mbak. Kebetulan memang tadi pas muter-muter lewat daerah sini."

"Saya terima kasih banget sama Bapak. Hmm, gmana ya, kalau saya dapat supir taksi lain mungkin bisa diapa-apain saya," ujar Wulan.

Pak Lukas pun tertawa. "Ahh, Mbak sepertinya terlalu banyak baca thread di twit**ter atau novel kriminal. Kami supir taksi sebenarnya baik-baik kok, Mbak. Terutama kalau yang taksi resmi ya, karena kami takut juga kalau aneh-aneh akan dilaporkan ke perusahaan. Kan identitasnya jelas."

"Iya sih Pak. Tapi jujur memang cerita-cerita seperti penumpang dirampok, diculik, atau, maaf, sampai diperkosa supir taksi, membuat saya jadi parno gitu, Pak."

"Memang gak ada salahnya waspada, Mbak. Karena memang ada sih supir taksi yang nyeleneh, tapi biasanya kebanyakan dari taksi yang gak resmi atau taksi gelap gitu."

Wulan hanya tersenyum.

"Sepertinya masalah Mbak berat banget ya?"

"Jangan panggil Mbak donk, Pak. Saya kan pasti seumuran sama anak atau keponakan Bapak."

"Hahaa, iya sih. Anak saya yang paling tua sudah mau masuk kuliah. Kalau Mbak pasti sudah lulus kuliah ya?"

"Tuh kan panggil Mbak lagi," ujar Wulan sambil tertawa.

Meski sudah berusia lanjut, Pak Lukas masih tetap terlihat gagah di mata Wulan. Badannya memang tidak sekekar Pak Syamsul, tapi ia jauh lebih tinggi. Apabila berdiri di sebelahnya, kepala Wulan mungkin hanya setinggi leher atau dadanya saja.

Berbeda dengan supir taksi kebanyakan, Wulan bisa mencium aroma harum di sekitar tubuh Pak Lukas. Ini berbeda sekali dengan para supir taksi lainnya, yang biasanya beraroma kurang enak. Sepertinya Pak Lukas ini tipe pria yang suka merawat tubuh. Rambutnya pun tampak cukup rapi.

"Lalu panggil apa donk?"

"Panggil Wulan saja."

"Iya deh, Dek Wulan."

"Nah itu mendingan. Iya, Pak. Saya sudah lulus kuliah, bahkan sudah bekerja."

"Wah bagus tuh Wulan, sudah bisa jadi kebanggaan orang tua," ujar Pak Lukas yang kemudian terdiam. Ia seperti memendam sesuatu.

"Ada apa Pak, koq tiba-tiba diam?"

"Hmm, saya tidak mau lancang. Tapi saya penasaran Dek Wulan sedang ada masalah apa?" Tanya Pak Lukas. "Kalau tidak mau jawab gpp lho. Saya minta maaf."

Wulan pun ikut terdiam. Ia tak menyangka Pak Lukas akan menanyakan hal tersebut. Di kondisi biasa pasti Wulan akan menolak untuk menceritakan masalahnya pada orang asing. Namun karena Pak Lukas sudah berbuat baik padanya, ia pun merasa tidak masalah bercerita kepada pria tersebut. Toh setelah ini mereka mungkin tidak akan bertemu lagi. Lagipula, Wulan pun sedang membutuhkan teman curhat yang tidak akan menghakimi keputusannya.

"Jadi begini, Pak," Wulan pun akhirnya menceritakan bagaimana hubungannya dengan Pak Syamsul yang tadinya dekat hingga akhirnya menjauh, hingga kedatangan Bu Anita dan Bobi di kehidupan mereka. Perempuan tersebut pun menjelaskan tentang apa yang terjadi hari ini hingga akhirnya ia sampai di taksi milik Pak Lukas.

Pak Lukas hanya mengangguk-anggukkan kepala mendengar cerita Wulan. Ia terus memandangi mata Wulan yang indah saat perempuan tersebut bicara, layaknya pendengar yang baik. Setelah cerita itu selesai, ia pun mengeluarkan nafas panjang.

"Hmm, berat juga ya kehidupan kamu, Dek Wulan."

"Ya, begitulah Pak. Namanya juga hidup."

"Betul sekali, kita tidak tahu apa yang ditawarkan hidup untuk kita."

"Bapak tidak mau berkomentar apa-apa tentang cerita saya? Pak Syamsul itu mungkin seumuran dengan Bapak soalnya," tanya Wulan penasaran.

"Hmm, tidak ah. Saya terbiasa untuk tidak berkomentar terhadap masalah yang saya tidak tahu secara rinci. Karena itu saya pun tidak mau menghakimi tindakan yang dilakukan Pak Syamsul, Bu Anita, dan Bobi, di cerita Dek Wulan tadi."

Wulan pun merasa heran. "Bijak sekali Bapak ini," gumamnya dalam hati.

"Yang penting, Dek Wulan sekarang kondisinya sudah baik, sudah aman, setelah ini saya harap kehidupan akan menjadi lebih baik untuk dirimu. Betul kan?"

"Betul sekali, Pak," jawab Wulan sambil tersenyum. Ia tiba-tiba mengingat sesuatu. "Lho, berarti sejak sore tadi, Bapak tidak menerima penumpang lain?"

Pak Lukas hanya tertawa. "Ya tidak lah Dek. Masa saya menerima penumpang lain sedangkan Dek Wulan sedang tidur di kursi belakang."

"Waduh, berarti penghasilan Bapak bagaimana?"

"Tenang saja, rezeki sudah diatur oleh Tuhan, Dek. Jadi, sekarang Dek Wulan mau dianter ke mana?"

"Ke rumah saya saja, Pak. Nanti saya berikan alamatnya," jawab Wulan. "Jadi berapa harga nasi gorengnya?"

"Ahh tidak usah, tadi sudah saya bayar," ujar Pak Lukas.

"Owh begitu, sekali lagi terima kasih, Pak," dalam hati Wulan berusaha mengingat-ingat untuk menambahkan uang yang nanti akan ia bayarkan untuk ongkos taksi, sebagai pengganti membayar nasi goreng tersebut. Ia juga akan memberikan lebih banyak uang sebagai ganti penghasilan Pak Lukas yang pasti sangat minim hari ini karena dirinya.

"Jadi, mau jalan sekarang Dek?"

"Boleh, Pak."

Mereka berdua pun langsung menuju mobil dan melanjutkan perjalanan ke rumah Wulan. Karena sudah merasa kenyang setelah menyantap nasi goreng, dan kelelahan setelah seharian beraktivitas, keduanya pun tidak banyak bicara sepanjang perjalanan.

Sekitar 30 menit kemudian, Wulan sampai di rumahnya. Ia tidak pulang ke rumah Pak Syamsul, melainkan ke rumah milik ayahnya. Dari dalam taksi, ia sudah bisa melihat sosok Mila yang sedang menunggunya di depan pintu rumah. Sebelumnya, ia memang telah menelepon Mila dan memastikan bahwa ia sedang ada di rumah tersebut. Ia tidak sabar untuk menceritakan masalahnya kepada sang sahabat.

Wulan pun langsung keluar dari taksi dan berjalan ke arah pintu di sisi sang pengemudi. Ia baru bersiap untuk mengeluarkan uang dari tasnya saat taksi tersebut sudah kembali bersiap untuk melaju.

"Sudah Dek tidak usah. Jangan lupa bahagia, ya," ujar Pak Lukas dengan santai. Taksi tersebut pun langsung melaju meninggalkan Wulan yang terpaku di depan rumahnya.

"Pak Lukas ..." gumam Wulan.

***

"Tempatnya sepi banget, Irfan. Apa benar Egi di sini?"

"Tadi di telepon sih dia bilang di sini ya."

Irfan dan Ratna telah sampai di depan sebuah gudang kosong. Irfan telah memarkir motornya dan sekarang mereka berdua tengah berjalan mendekati gudang tersebut. Ratna pun berusaha untuk kembali menelepon Egi, tapi teleponnya tetap tidak aktif. Perempuan cantik tersebut pun jadi semakin khawatir akan keselamatan pacarnya.

Ratna memandang sekeliling gudang tersebut yang ternyata mempunyai halaman cukup lebar. Ada beberapa besi-besi besar bertumpuk di situ, seperti tidak terawat. Di dalam gudang juga tidak terlihat ada lampu yang menyala. Karena hari telah beranjak malam, Ratna pun tidak bisa melihat terlalu jelas, dan hanya bisa mengandalkan lampu yang menyala di pinggir jalan saja. Perempuan tersebut pun menyalakan fitur senter di smartphone miliknya, dan mengarahkannya ke gudang itu.

"Kamu duluan gih, Ratna," ujar Irfan.

Ratna mendengus, tapi tetap menuruti perkataan Irfan. "Dasar cowok penakut," pikirnya dalam hati.

Ratna akhirnya melihat sebuah pintu besi berwarna abu-abu di bagian depan gudang tersebut. Ia pun mencoba membukanya, dan ternyata tidak dikunci. Ia pun langsung masuk lewat pintu tersebut ke dalam gudang. Di dalamnya, Ratna langsung mencoba mengarahkan senter dari smartphonenya ke sekeliling gudang.

"Egi, apa kamu di sini?" Teriak Ratna, tetapi tidak ada jawaban. "Halo, apa ada orang?"

Namun tiba-tiba.

"Ahhhhhhh ...." Ratna merasakan tubuhnya didorong dari belakang hingga ia terjerembap ke arah depan.
 
Padahal dikit lagi bisa curhat 2 sahabat ini, suhu curang bikin makin penasaran
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd