Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT PERJUMPAAN (racebannon)

Absen sambil Sundul dan Salto deh.. biar makin cepat updatenya.. terima kasih
 
PERJUMPAAN – 27

--------------------
--------------------

49324410.jpg

Banal.

Dalam kamus Bahasa Inggris Cambridge, arti banal adalah: boring, ordinary, and not original. Dan itulah yang kurasakan selama weekend kemarin. Pembicaraan yang garing dengan Listya. Aku ingin bisa membicarakan hal lain dan mengalami hal lain dengan Listya di luar urusan keluarga.

Rasa penasaran dan rasa membara yang dulu ada ketika kami berpacaran kini musnah. Apalagi setelah pandemi. Setelah pintu “penjara” dibuka, dan kita sudah bebas beraktifitas, rasanya tingkah laku Listya masih seperti ketika sedang PSBB, PPKM, Lockdown atau apalah itu.

Aku menarik rokok dalam-dalam. Terlalu dalam. Begini-begini lagi. Begitu-begitu lagi. Apakah aku memang benar orang yang harus terjebak dalam bosannya kehidupan pernikahan? Apakah kehidupan pernikahan seperti ini? Rasanya tidak. Harusnya tidak. Entah berapa banyak artikel dan postingan orang-orang sok tahu di luar sana kalau kehidupan pernikahan bisa membara dan bergairah seperti baru pertama kali bertemu.

Apakah itu Cuma teori?

Apakah itu hanya angan-angan manusia yang menginginkan kestabilan? Tapi yang aku tahu, stabil itu bukan stagnan. Stabil itu tidak membosankan.

Stabil itu bisa dicapai dengan cara-cara yang tidak begitu-begitu saja, menurutku dan orang-orang yang mungkin sepaham denganku.

Listya sudah di rumah sekarang. Entah naik apa dia dari kantor ke rumah. Dia tidak mengabari, hanya antusias bicara pekerjaan, dan melupakan perdebatan kemarin itu. dia seperti kabur dari tanggung jawab komunikasi antara aku dan dirinya.

Matahari sudah hilang. Sudah pukul sembilan malam dan sebentar lagi kedai kopi impor asal Amerika Serikat yang lambangnya duyung hijau ini akan segera tutup. Aku sudah melihat gerakan-gerakan gelisah dari para barista yang terlihat berpendidikan tinggi itu. Tapi tentu saja, aku seperti tak terlihat oleh mereka.

Aku duduk di luar, sambil mengamati lampu-lampu angkuh gedung-gedung Jakarta, menghisap rokok putihku dalam-dalam, sambil menatap ke segelas plastik kopi hitam yang esnya sudah mulai mencair.

Dia tidak bertanya jam berapa aku akan pulang. Aku rindu hari-hari dimana dia cerewet mencariku dan bilang kangen. Aku ingin dicari, aku ingin diminta untuk pulang, dan aku ingin diinginkan.

Mendadak, telponku berbunyi.

Listya.

Oh, tumben.

“Halo”
“Ya? Kenapa?” jawabku dengan garing. Entah kenapa, suaranya terdengar antusias.
“Kamu besok pagi bisa anter aku gak?”
“Bukannya biasanya aku anter ke kantor ya?”
“Bukan-bukan… Besok aku harus ke Bali, ada raker Bas…..”
“Raker?”
“Kan aku udah bilang sama kamu kemarin-kemarin…”
“Kayaknya aku ga denger”

Dan orang-orang bisa melihat mukaku seperti orang tolol, menggaruk-garuk kepala sendiri dan tak peduli dengan rokok yang tadi baru saja jatuh ke lantai.

“Lupa kamu Bas…”
“Aku gak lupa, ini pertama kalinya aku denger…” tekanku.
“Aduh…” Keluh Listya. “Aku ini lagi packing, besok anterin bisa gak ke bandara? Terminal Tiga”

“Kenapa mendadak gini?”
“Gak mendadak Bas, aku udah bilang”
“Kapan? Terus berapa lama? Raker kan gak Cuma sehari dua hari biasanya…”
“Ya sampai Jumat sih…”

Mendadak, ada pikiran lain yang masuk di kepalaku. Mungkin aku harus memanfaatkan situasi ini.

“Kalau gitu kamu extend aja, kita disana sampe minggu, nanti jumat sore aku nyusul”

Ya, mungkin aku lupa, mungkin dia yang lupa, mungkin semua orang lupa, dan mungkin siapapun bisa lupa. Atau mungkin aku yang gak dengar. Semua kemungkinan masuk akal sepertinya… Jika dipaksakan. Tapi otakku bekerja cepat, daripada aku meratapi semua ketidak nyambungan akhir-akhir ini dengan Listya, aku membuat satu keputusan.

Dia Extend. Kita liburan di Bali berdua. Keluar dari rutinitas. Dan kehidupan pernikahan aku dan Listya bisa bergairah lagi. Anggap saja Honeymoon versi revisi.

“Yang bener aja kamu… Aku lagi mikirin raker, kamu malah mikirin liburan”
“Eh?”
“Besok jadi bisa anter gak….”
“Aku Cuma sabtu minggu doang disana”
“Aduh, ribet deh… Mesti bawa baju banyak banget ntar, terus tiket pulangku angus dong?”

“Aku gantiin” jawabku pelan dan tegas. Rasa kesalku kembali dan aku kembali membakar sebatang rokok.

“Ngapain ah, aneh-aneh.. Mending uangnya ditabung buat program anak”
“Anak kita belum ada” jawabku pelan. “Dan kita udah nabung. Apa salahnya kita let loose sedikit dan bikin kita seneng dikit”

“Kamu doang kali yang seneng” Jawab Listya.

“Fuck”

Tidak, Listya tidak mendengar umpatan itu. Hanya aku yang mendengarnya karena aku menutup telponku sepihak. Apa salahnya berlibur sehari dua hari? Apakah salah buang-buang uang?

Tidak.

Ini bukan buang-buang uang. Katakanlah disana kami menghabiskan lima sampai enam juta rupiah. Katakanlah sebanyak itu. Itu tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan membaiknya kehidupan pernikahan kami.

Dan tanpa sadar, aku melempar batang rokokku dengan aura kesal. Aku bisa melihat barista-barista yang beres-beres di dalam bisa melihat tingkah tolol dan bodohku di sini. Aku melangkah dengan langkah gusar ke arah parkiran, dan hilang tak tentu arah.

--------------------

dsc_0810.jpg

Jam 1

Jam 1 malam. Malam atau pagi? Entahlah.

Kepalaku berputar.

Musik yang tak jelas iramanya apa ini berputar juga di dalam otakku. Suara hingar bingar kesana kemari dengan kilatan cahaya entahlah ini membutakan mataku.

Entah sudah gelas keberapa ini. Aku berada di salah satu bar terkenal di selatan Jakarta yang pernah jadi venue untuk acara kantor. Kepalaku pusing. Sudah lama aku tidak meminum alkohol sebanyak ini.

Entah apa saja yang sudah kupesan dan kuminum. Beragam cairan dengan ukuran macam-macam masuk ke dalam perutku dan kemudian, reaksi kimia yang terjadi membuat kepalaku menjadi pusing sejadi-jadinya. Badanku rasanya tak nyaman.

“Mas” aku memanggil bartender yang lewat di depan badanku. Aku duduk di bar, dan disana ada beberapa kumpulan anak muda yang tampan dan cantik sedang menghabiskan masa muda mereka.

“Ya kak? Kenapa?”
“Gin and Vodka lagi…”
“Hah?”
“Sorry” aku menarik nafas panjang. Nafasku bau rokok dan mulutku berbau busuk. “Gin and Tonic lagi”

“Yakin kak? Kakak udah banyak banget lho minumnya”
“Hmmm… Yakin”
“Kakak coba bentar…. Kakak kesini nyetir?”
“Iya”
“Pulangnya rencananya pake apa?”
“Nyetir lah bangsat”

“Kalo gitu aku gak berani kasih lagi kak, sorry… Kalau mau kakak aku kasih soda atau ice tea, biar kakak agak cool down dan nanti bisa pulang dengan tenang” jawabnya dengan bijak. Kalau aku jadi bosnya, aku bingung. Antara memujinya karena dia bertanggung jawab atas keselamatan pelanggan, atau memarahinya karena melewatkan kesempatan mendapatkan uang.

“Kasih aja kenapa sih” kesalku. Tumben aku serese ini.
“Kakak keberatan gak kalau kakak nafas ke alat ini?”

Dia menunjukkan breathanalyzer, alat tes kadar alkohol.

“Covid, bego”
“Kan ini pake selongsong silikon sekali buang Kak, biar gak jorok” balasnya.
“Hmmm…” Aku menarik nafas pendek-pendek seperti orang mau tinju dengan Vladimir Klitcshko. “Bentar”

Aku membuka mulut dan dia menyodorkan breathanalyzer itu ke mulutku. Tapi yang keluar dari mulutku bukan nafas. Melainkan muntahan entah apa.

“ANJRIT!!!” sang bartender berteriak kaget. Aku oleng.

Dan kehilangan.

Kesadaran.

Bye.

--------------------

Jam 2

Aku merasakan sayup-sayup angin malam. Seorang satpam menemaniku yang sedang duduk di conblock, di parkiran yang ramai. Beberapa orang melihatku dengan tatapan merendahkan.

“Mabok ya?”
“Iya kayaknya itu bajunya bekas muntah”

Aku hanya bisa diam. Aku tolol. Kepalaku masih pusing dan dunia masih goyang.

“Bas”
“Hmm?” Aku menatap ke arah suara itu dan aku melihat sesuatu yang tidak kusangka-sangka.

Dia berdiri disana, dengan sweater rajut berwarna hitam, celana pendek berwarna khaki, sneakers mahal dengan leher tinggi, dan yang khas, adalah rambut pendek selehernya, yang dia sisir menyamping, serta kacamata tebal ber-frame hitam yang menghiasi wajah cantiknya.

Dia tampak bercahaya di kegelapan malam itu dengan kulitnya yang putih mendekati pucat.

“Kamu kenapa ada disini?” tanyaku dengan bingung. Super bingung.
“Aku ditelpon manajer bar. Katanya kamu muntah dan pingsan” sambung Stephanie Kirana Hartanto.

“Kenapa kamu yang ditelpon?”
“Ga tau. Kayaknya mereka nanya kamu siapa yang harus ditelpon di keadaan darurat” balas Stephanie dengan datar.

Dia menggenggam handphone, dompet dan kunci mobilku. Mendadak aku sedikit teringat. Tadi bartender yang memapahku ke toilet untuk menuntaskan muntah bertanya soal kontak darurat. Aku mendadak ingat tadi membuka handphoneku dan menunjukkan satu nomer telpon kepada bartender tersebut.

“Minuman kamu aku bayarin dulu, tadi aku dengan bego coba pake kartu kredit kamu dan aku baru inget kalo aku ga tau sama sekali PIN nya apa”

“Oh….”
“Bisa pulang? Mau aku panggilin taksi atau go-car?” tanyanya pelan.
“Terserah” jawabku dengan suara bergetar.

“Pak, tolong ya, cariin blue bird kalau ada...” Stephanie tersenyum ke arah pak satpam, dan aku merasa senyumnya menghangatkan hatiku.

“Iya mbak, sebentar ya…” Pak Satpam itu beranjak, dan aku masih duduk di conblock.

Suasana mendadak hening.

“Aku gak mau pulang” bisikku.
“Bas, jangan ngomong aneh-aneh… Kamu lagi mabok”
“Gak mau pulang”

“Berdiri ya, kayaknya taksinya udah dapet”
“I said aku gak mau pulang” rajukku.
“Bas, please”
“Shut up”

“Bas…” Stephanie mengulurkan tangannya, berusaha membantuku berdiri.

Tanganku meraih tangannya yang lembut dan perlahan, aku menemukan energi untuk bangkit.

“Please, pulang ya” bisik Stephanie.
“Gak mau”
“Bas”
“I said shut up”

Tanpa disangka, aku memeluk Stephanie dengan sangat erat dan aku membenamkan wajahku di bahunya.

“Bas, lepas…” Stephanie berusaha dengan hati-hati melepas pelukanku.
“Aku gak mau pulang”
“Lepas….”
“How could you?”
“How could you apa? Pulang, please”

“Bas?” mendadak Stephanie berhenti menolakku. Aku membuka mataku. Dia memegang wajahku yang amburadul. Tanpa disadari, di pelukan Stephanie tadi, aku meneteskan air mataku dengan deras. Mataku memerah dan basah. Aku baru merasakan tetesannya di pipiku.

Mendadak, raut wajah kaku Stephanie berubah, melhatku menangis. Dan, dengan suara bergetar penuh rasa sedih, aku membisikkan kalimat itu lagi.

“Aku gak mau pulang”


--------------------

BERSAMBUNG
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd