Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT PERSELINGKUHAN

Selamat pagi teman-teman. Masih pada sehat semua kan? Terima kasih ya masih bertahan menunggu kelanjutan cerita. Saya baca-baca komentar kalian semua, ada yang mulai menebak arah cerita kemana ya. Tentang benar atau tidak, ikuti saja sampai cerita selesai ya. Mudah-mudahan saja ceritanya bisa memuaskan.

Sekali lagi, selamat membaca!
 
BAGIAN 8
PENGAKUAN

Suara kami bersahut-sahutan seperti sepasang kucing yang sedang birahi. Oh, aku lupa, kami memang sedang birahi. Aku terus menghujamkan penisku ke vagina yang rasanya begitu memabukkan. Ini sudah ronde ketiga dan subuh sebentar lagi datang. Badanku sudah sangat payah. Aku yakin Ia pun begitu. Sisa-sisa tenaga yang kami punya harus digunakan semaksimal mungkin untuk orgasme terakhir ini. Mungkin nanti aku akan tidur sepanjang hari.

"Mas pleassseee oh saya nggak kuat lagi"

"Ayo kita selesaikan, Dok. Oh. Oh. Oh,"

"Mas, Mas, Mas, saya mau meledak OOOOOOHHHHH"

"OHHH MY GOOOD OHHH"

Kami rubuh. Benar-benar rubuh. Aku menindihnya setelah mencapai kepuasan dengan posisi missionary. Tenaga kami habis. Benar-benar habis. Seingatku, kami memulainya pukul 1 tadi. Kulihat jam sudah hampir pukul 4. Aku sudah 3 kali orgasme. Spermaku sudah habis sepertinya. Vagina Dokter Mirza sudah tak karuan bentuknya. Entah sudah berapa kali orgasme Ia dapatkan. Ternyata, Ia wanita yang mudah orgasme. Atau aku yang berhasil membuatnya begitu? Entahlah. Kami berpelukan, mengatur nafas yang entah bagaimana ritmenya. Yang kusadari, kami mengerang sangat keras. Lebih ke berteriak mungkin. Aku yakin kamar sebelah mendengarnya. Meskipun kamar ini lumayan kedap suara, tapi teriakan kami tadi, terutama di ronde terakhir terasa amat kencang. Oh ya, kami sudah menguji coba tingkat kekedapan suara kamar ini tadi malam. Biarlah, toh tak ada yang tahu kami siapa. Dan lagi, kami berbeda kamar. Paling-paling yang mengenal kami adalah peserta pelatihan yang satu lantai. Posisi kamarnya juga cukup jauh. Jarak 7 atau 8 kamar mungkin. Persetan. Ini adalah salah satu malam terbaikku dalam bersetubuh.

Saat aku terbangun, Dokter Mirza sudah tak ada di sampingku. Sudah jam 8 rupanya. Badanku pegal semua. Ternyata Dokter Mirza sudah berangkat bersama rombongan ke lokasi pelatihan. Agar tidak mencurigakan, katanya. Aku beralih ke kamarku setelah sebelumnya menghubungi Mas Yogi untuk izin bergabung agak siang. Setelah sarapan, aku memilih untuk tidur lagi. Siapa tahu, nanti malam akan ada sesi selajutnya. Menyiapkan tenaga sebaik mungkin adalah pilihan terbaik. Momen seperti ini akan sangat jarang kami dapatkan. Wajar saja kami sangat bergairah.

Sekitar jam 12 aku sudah bersiap menyusul rekan-rekan lainnya. Keluar kamar ternyata aku berpapasan dengan Mbak Eva, salah satu kader dan pengurus kelompok. Ia terlihat baru datang dan akan masuk ke kamarnya.

"Ada yang mau diambil, Mas," katanya saat kutanya perihal keberadannya siang-siang di sini

"Langsung balik ke lokasi atau gimana?" tanyaku lagi

"Rencananya mau mandi dulu sih," jawabnya lagi

"Bareng aja kalau gitu, Mbak. Saya tungguin aja," kataku menawarkan

"Nggak apa Mas Bayu duluan saja" Ia nampak sungkan menerima ajakanku

"Santai, Mbak. Nanti WA atau ketok pintu kamar saya aja ya," kataku

"Oke, Mas. Sebentar ya," jawabnya

Aku jadi memikirkan hal yang aneh karena tak ada kegiatan selama menunggu Mbak Eva. Jangan-jangan, Ia mengetahui atau paling tidak curiga terhadap hubunganku dengan Dokter Mirza. Mimiknya cukup gugup ketika bertemu denganku tadi. Ia seperti menyembunyikan sesuatu. Namanya orang sedang selingkuh ada-ada saja memang yang dipikirkan. Ketakutan akan diketahui orang lain selalu menghantui. Sepanda-pandainya tupai melompat, akhirnya jatuh ke kubangan juga. Begitu kata pepatah yang pernah kubaca. Tapi kalau dilihat-lihat, Mbak Eva ini lumayan juga. Tubuhnya kecil ramping namun terdapat lekukan-lekukan yang cukup menyegarkan mata kalau diamati. Ia memang selalu mengenakan baju muslim longgar, seperti Dokter Mirza. Namun tonjolan depan dan belakang tak bisa dibohongi meski berusaha ditutupi bagaimana pun. Aku kok malah berpikir kesana. Dasar otak sudah dipenuhi dengan hal-hal mesum ya begini jadinya.

Sungguh, aku benar-benar curiga dengan gelagat Mbak Eva tadi. Apa yang harus kulakukan untuk membuktikan kecurigaanku. Sedangkan hubunganku dengannya juga tak terlampau dekat. Paling kami hanya sempat berbincang beberapa kali. Itu pun tidak membahas hal personal. Tapi kalau kecurigaanku benar, bisa bahaya hubunganku dengan Dokter Mirza. Siapa yang menjamin bahwa Ia tak akan mencari tahu. Ditambah, bisa saja Ia kemudian menceritakan ini kepada semua orang. Oh, sialan.

"Mbak Eva sudah makan siang?" tanyaku melalui pesan singkat

"Sudah, Mas. Kalau Mas Bayu mau makan siang dulu tidak apa-apa. Saya sedikit lagi selesai" balasnya

Tok. Tok. Tok.

Aku memutuskan untuk menghampirinya. Kecurigaanku harus dibuktikan segera.

"Eh, iya Mas. Saya sudah selesai kok ini," katanya dengan tergagap

Aku yakin Ia tahu. Atau paling tidak mencurigai.

"Saya boleh masuk nggak, Mbak? Ada yang mau saya tanyakan," tanyaku

Wajahnya makin gugup. Gesturnya menolak tapi Ia takut. Aku menata wajahku dengan senyuman santai. Berusaha menenangkan bahwa aku tak akan macam-macam.

"Tenang, Mbak. Saya nggak akan macam-macam kok. Pintu kamarnya dibuka saja kalau Mbak takut," aku berusaha meyakinan lagi

Ia mempersilakan aku masuk, pintunya ditutup. Gesturnya masih gugup, seperti menyimpan sesuatu. Aku duduk di kursi, Ia di pinggir ranjang.

"Tolong dijawab jujur ya, Mbak. Saya percaya Mbak Eva orang baik," kataku

"Ada apa ya, Mas?" Jawabnya masih gugup, meski berusaha sesantai mungkin

"Mbak Eva sedang menyelidiki sesuatu dari saya?" tanyaku

Ia diam sejenak. Menundukkan kepala. Jelas. Ini bahasa non verbal orang yang menyimpan sesuatu.

"Saya nggak yakin soalnya Mbak Eva hanya mengambil sesuatu yang ketinggalan," aku coba menekan dengan sehalus mungkin

Sungguh, kalimat itu spontan saja keluar. Aku juga tak tahu arahnya kemana. Riskan kalau langsung bertanya apakah Ia tahu hubunganku dengan Dokter Mirza atau tidak. Kalau ternyata Ia tak tahu, aku malah membuka aibku sendiri.

"Saya minta maaf, Mas," jawabnya

Ia nampak sesenggukan. Wajahnya masih menunduk.

"Saya cuma curiga," Ia menghela nafas sebentar, "Mas Bayu ada sesuatu sama Dokter Mirza," lanjutnya

Ia makin sesenggukan. Aduh. Kok malah jadi menangis begini.

"Tadi subuh saya sengaja nguping di depan kamar Dokter Mirza. Saya dengar sesuatu tapi saya nggak yakin itu suara Mas dan Dokter Mirza," Ia mulai menjelaskan meski terbata-bata

Sialan. Kecurigaanku benar. Kepalaku tiba-tiba pusing. Aku berusaha setenang mungkin. Ini menyangkut keberlangsungan hidupku dan Dokter Mirza.

"Lalu kesimpulan Mbak Eva gimana?" tanyaku

Ia masih menunduk.

"Maaf, Mas. Maafkan saya. Saya memang sudah curiga akhir-akhir ini. Saya minta maaf," Ia kembali sesenggukan

Terlihat Ia menghapus air mata, belum berani menatapku.

"Saya nggak akan bilang siapa-siapa, Mas. Saya sudah sering dibantu Dokter Mirza. Suami saya juga kerja di tempatnya. Sumpah. Saya cuma penasaran," katanya dengan suara lebih jelas

Aku tahu harus bagaimana.

"Saya percaya sama Mbak Eva. Saya percaya Mbak orang baik. Apalagi kenal betul sama Dokter Mirza. Mbak juga tahu pasti, kalau orang-orang tahu bagaimana dampaknya ke Dokter Mirza," kataku

Aku memberikan tissu padanya. Lalu duduk kembali.

"Apa yang bisa saya lakukan agar Mbak Eva nggak bilang ke siapa-siapa dan berhenti bersikap kayak tadi ke saya atau pun Dokter Mirza?" tanyaku

Ia masih diam. Menghapus air mata dengan tissu yang kuberikan.

"Saya akan diam. Yang penting saya sudah tahu kebenarannya," jawabnya

Ia mulai mengangkat kepala perlahan. Meski masih belum berani menatapku. Aku beranjak. Duduk di sampingnya. Ia agak bergeser. Taku mungkin.

"Saya memang selingkuh dengan Dokter Mirza. Yang didengar sama Mbak Eva tadi malam memang benar suara saya dan Dokter Mirza," kataku berterus terang

Aku perlu memberikan Ia kepercayaan bahwa semua akan baik-baik saja.

"Tapi saya minta tolong ke Mbak Eva. Jangan sampai orang lain tahu. Dan jangan sampai Dokter Mirza tahu kalau Mbak Eva tahu. Ini cukup diantara kita saja" kata sambil berlutut di depannya

Ia mundur. Aku sengaja bertingkah begini. Aku butuh dia.

"Mas Bayu bisa pegang omongan saya," Ia meyakinkan

Mata kami bertemu. Masih ada sisa-sisa tangisannya.

"Terima kasih, Mbak. Kamu boleh mengingatkan saya kalau tindakan kami mulai mencurigakan di depan umum. Boleh saya minta tolong itu?" kataku memohon

Ia menghela nafas panjang. Berkali-kali Ia mengalihkan pandangan. Aku masih berlutut.

"Bisa, Mas. Demi Dokter Mirza," katanya meyakinkan

Aku lega. Lalu berdiri, masih di depannya.

"Terima kasih, Mbak. Terima kasih banyak," kataku

Aku beralih duduk di sebelahnya.

"Lain waktu saya ceritakan kenapa kami sampai begini dan kenapa saya minta bantuan Mbak Eva," kataku

Ia mengangguk. Lalu beranjak. Bersiap-siap sepertinya.

"Kita harus segera ke lokasi, Mas. Takut ada yang curiga," ajaknya

Kami keluar dari kamar tersebut. Aku lega, mungkin juga dia. Aku tak tahu apakah Ia benar-benar bisa menyimpan rahasia ini. Paling tidak, aku lega bahwa kecurigaanku benar. Dan Mbak Eva mau membantuku. Soal yang lain dipikir nanti saja.

Di perjalanan menuju lokasi pelatihan, tak ada pebincangan yang terjadi. Sampai di lokasi pun, kuputuskan untuk membiarkan Mbak Eva masuk terlebih dahulu. Aku melipir ke restoran karena ingat belum makan siang. Pikiranku masih melayang pada ketakutan jika Mbak Eva ternyata tak bisa menjaga rahasia. Bisa kacau semuanya.

"Masih di hotel atau di tempat pelatihan, Mas?"

Pesan dari Dokter Mirza masuk ke ponselku.

"Saya sedang makan di resto, Dok. Dokter di ruangan?"

"Iya. Kalau sudah selesai langsung bergabung ya. Ada materi yang kita harus ikut"

"Baik, Dok."

Pelatihan hari itu cukup menyenangkan. Sesi yang aku ikuti benar-benar menguji kekompakan kami sebagai tim. Berkali-kali aku melihat Dokter Mirza tertawa lepas. Ia makin ceria memang. Sesekali, perhatianku teralihkan kepada Mbak Eva. Ia lebih ceria ketimbang saat kami berdua di kamar tadi. Dan ternyata memang Ia cukup menarik untuk diperhatikan. Dasar otak mesum.

Kami kembali ke hotel setelah sesi hari itu selesai. Peserta terlihat senang. Namun kelelahan tak dapat disembunyikan dari wajah mereka. Mereka masih saja terlibat perbincangan soal pelatihan hari ini. Aku cukup puas, berarti kami tak sia-sia menyelenggarakan kegiatan ini.

"Mbak Eva masih belum berubah pikiran, kan?"

Aku iseng bertanya kepadanya melalui pesan singkat. Lama tak ada balasan. Kulihat Ia tak memegang ponsel. Sialan.

"Belum, Mas. Tenang saja"

Jawabnya ketika aku sampai di kamar. Kemudian, terdengar Dokter Mirza mengetuk connecting door.

"Ada yang bisa dibantu, Dokter cantik?" tanyaku saat membuka pintu

"Mandi bareng yuk?" ajaknya dengan wajah menggoda

Kemudian terjadilah hal-hal yang diinginkan. Kami mandi bersama. Telanjang menikmati guyuran air panas. Saling memeluk, lalu menyabuni, dan tentu raba sana-sini. Aku berusaha untuk menahan agar kami tidak melangah lebih jauh. Tapi dalam kondisi begini siapa yang tahan. Berulang kali Dokter Mirza uga menggoda dengan gerakan memainkan payudara dan bokongnya menekan penisku. Tak ada jalan lain. Kami melanjutkan sesi mandi itu dengan persetubuhan singkat yang cukup membikin ngos-ngosan. Sensasi bersetubuh di kamar mandi ini seru juga. Aku pernah melakukan sekali dengan istriku saat kami bulan madu dulu. Istriku kurang begitu suka, maka hal itu tak pernah lagi kami ulangi. Dan kini aku mendapatkannya dari istri orang yang sedang membersihkan diri setelah persetubuhan singkat kami. Ia tersenyum, lalu kami berciuman.

"Saya nggak tahu kapan momen seperti ini bisa diulangi, Mas," kata Dokter Mirza ketika kami selesai mandi

"Berarti kita harus manfaatkan sebaik mungkin, Dok," kataku

"Kalau sudah di kamar sama kamu begini saya jadi nggak pengen keluar," katanya sambil mengenakan pakaian

"Berarti nggak usah ke luar," kataku, lalu memeluknya dari belakang

"Nanti orang-orang malah curiga," Ia memencet hidungku

Aku memukul bokongnya lalu beranjak untuk rebahan di ranjang.

"Kamu nggak makan malam?" Tanya Ia setelah rapi berpakaian

"Dokter duluan saja, nanti malah ada yang curiga kalau kita barengan," jawabku sambil tetap rebahan

Ia lalu menciumku dan pergi bergabung dengan rekan lain untuk makan malam. Aku kembali ke kamar, melanjutkan rebahan. Rasanya terlalu malas untuk makan malam. Tubuhku lemas setelah persetubuhan tadi. Nanti malam sudah bisa diduga akan sama dengan kemarin. Tapi perutku sudah keroncongan minta diisi.

"Loh Mbak Eva kok ada di sini?"

Aku secara tidak sengaja bertemu Mbak Eva di gerai fast food yang berada di dekat hotel. Ya, aku memutuskan makan di sini karena bosan dengan makanan hotel.

"Eh, Mas Bayu. Lagi bosen makan di hotel, Mas," jawabnya dengan masih kaget

"Boleh gabung?" tanyaku meminta izin

"Silakan, Mas," jawabnya dengan senyum yang serasa dipaksakan

Kami tak langsung berbincang. Ia masih fokus pada kentang goreng, aku sedang berupaya menghabiskan ayam goreng.

"Mbak Eva berusaha menghindar dari saya dan Dokter Mirza?" tanya tiba-tiba

"Eh, iya. Oh, nggak kok, Mas," jawabnya gugup
 
"Saya butuh jaminan tutup mulut mas" kata mbak eva.
Apakah itu wkwkwwk?
 
Lanjut dgn Eva dong.. jadi baper dan ga sabar pengen baca lanjut dgn Eva
 
Semakin menegangkan night cerita
Mengikuti dari awal tanpa putus
Lanjut huu....
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd