Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT PERSELINGKUHAN

Ternyata bayu awalnya diperkosa bu ningsih.. hekekek

Thx updatenya hu
 
Maraton baca, Cerita bagus hampir terlewat kan.

Ijin ikutan nunggu kisah selanjutnya 🙏
 
Maraton baca ...
Ternyata Bayu adalqh korban pelecehan wanita .... Makanya dia jadi ketagihan ...
 
Selamat pagi teman-teman. Menyenangkan sekali masih banyak yang menyempatkan membaca bahkan menyempatkan membaca dari awal, padahal baru bergabung. Semoga bisa menjadi pilihan hiburan ya ketika membaca cerita ini. Saya hanya bisa mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya atas waktu yang kalian buang untuk membaca cerita ini.

Selamat membaca!
 
BAGIAN 19
SKAK!

Banyak sekali hal-hal luar biasa terjadi di hidupku belakangan ini. Mulai dari perselingkuhan dengan Dokter Mirza. Lalu hadir sosok Mbak Eva yang tanpa diduga masuk begitu saja. Meski prosesnya tak mudah, tapi kini semua berjalan tanpa hambatan berarti. Persetubuhan kedua dengan Mbak Eva beberapa waktu lalu membuatku kembali berpikir perihal perjalanan hidup. Harus diakui, selama hidup, aku seperti mendapatkan kemudahan dalam berhubungan dengan wanita. Dari mulai Arumi saat SMA dulu, lalu Bu Ningsih yang merenggut keperjakaanku, hingga saat ini, ada Dokter Mirza dan Mbak Eva. Belum beberapa wanita lain yang sempat singgah di hidupku. Sekadar saling goda hingga berbagi kenikmatan. Tapi ada satu orang yang belum kuceritakan. Ia adalah Intan Maharani, wanita berusia 28 tahun, istriku selama tiga tahun ini. Wanita cantik, mandiri, juga penuh kasih sayang. Aku selalu berterima kasih bahwa perjalanan hidup mempertemukanku dengannya.

Pertemuan itu terjadi saat aku sedang luntang-lantung kehilangan semangat hidup. Kuliahku memasuki tahun-tahun terakhir sebelum surat peringatan DO keluar. Aku sedang malas sekali melakukan apa pun. Pekerjaan tidak punya, uang pas-pasan, tak jelas pokoknya. Sudah hampir satu tahun sejak kisah asmaraku berakhir dengan menyedihkan. Aku ditinggalkan oleh wanita yang benar-benar kuharapkan. Kalau proses meniggalkan berlangsung sewajarnya mungkin aku tak akan sejatuh itu. Wanita itu, Sarah namanya, memilih orang yang saat itu paling kupercaya, kakak kandungku. Aku tidak tahu sejak kapan, tapi aku menyaksikan di depan mata kepala sendiri mereka sedang berdua, di rumah orang tuaku. Seketika, hatiku hancur berantakan. sarah berusaha memberikan penjelasan tapi aku tidak peduli. Kakakku berusaha menghubungi berkali-kali setelah, sikapku masih sama. Aku pergi dari rumah saat itu juga. Tak pernah kembali hingga saat ini. Pasalnya, beberapa waktu setelahnya aku tahu fakta yang membuatku makin gila. Orang tuaku tahu hubungan mereka. Katanya, mereka akan membantu kakakku untuk menjelaskan hubungan itu pada waktunya. Kalau bukan gila, apa itu namanya?

Setelahnya, hidupku sudah tak tentu arah. Aku menyendiri. Tidak coba menghibur diri sama sekali. Aku malah semakin menghajar hati dan pikiranku dengan kesakitan itu berulang kali. Aku menghilang dari lingkunganku. Aku tak kelihatan di kampus. Tak ada yang kurespon ketika mencari dan menghubungiku. Aku pindah tempat tinggal. Pindah kota malah, untuk sementara. Entahlah. Setiap tempat di kota itu selalu mengingatkanku pada semua hal yang telah membuatku hidupku hancur. Untung saja, aku tak sempat kepikiran untuk bunuh diri. Entah kenapa, aku tak tahu. Bagaimana aku bertahan hidup hampir setahun itu? Aku masih punya simpanan dari hasil kerja lepasku selama ini. Juga beberapa kali ketika otakku waras, aku mengerjakan sesuatu yang kudapatkan random dari situs pencarian kerja lepas. Begitulah aku menjalani hidup yang entah mau disebut apa namanya. Aku memang bertemu orang-orang baru yang kemudian sedikit membuatku agak waras. Aku menghabiskan hidup di sana selama hampir setahun itu.

Sampai pada suatu saat, aku baru saja selesai memotret di sebuah acara pernikahan. Setelah beres-beres dan berpamitan dengan rekan kerja lainnya, aku bergegas pulang. Tubuhku lelah sekali. Di tempat aku memarkir sepeda, aku menemukan seorang wanita yang sedang menangis. Ia masih memakai pakaian pesta. Mungkin salah satu undangan di acara pernikahan itu. Kondisi sudah sepi, dan itu malam hari. Acara memang selesai pukul sembilan malam. Ini mungkin pukul sepuluh. Aku bingung harus bagaimana menghadapi wanita itu. Ia berada persis di samping motorku.

"Permisi, ada yang bisa saya bantu, Mbak?" aku menyapa sekenanya saat itu

"Maaf, Mas. Tidak ada. Saya sedang menunggu jemputan," Ia membalas dengan masih sesenggukan

Aku tidak segera beranjak, malah duduk di sampingnya. Tanpa berbicara sepatah kata pun. Ia masih menunduk. Suara sesenggukan masih terdengar. Aku juga masih diam, mengamati sekeliling yang sudah sepi, juga langit malam hari itu yang cukup cerah. Kondisi itu berlangsung mungkin sekitar 10 menit sebelum akhirnya wanita itu sadar aku tak kemana-mana.

"Mas kok masih di sini?" tanya Dia

"Saya mau membuktikan Mbak memang bukan makhluk halus," jawabku bercanda

Ia tersenyum. Akhirnya. Wanita itu kemudian menghapus sisa-sisa air mata di wajahnya. Cantik juga, pikirku. Tapi aku masih penasaran kenapa dengan wanita ini. Siapa pula yang tega meninggalkan wanita begini sendirian, seusai pesta pernikahan, dan malam-malam lagi.

"Mas nggak takut kalau ternyata saya orang jahat?" Ia bertanya setelah memastikan aku benar-benar manusia

"Saya biasanya lebih takut sama orang gila sih," jawabku lalu memasang senyum pepsodent

Ia malah tertawa. Senang sekali rasanya berhasil membuatnya lupa akan tangisnya tadi. Yang terjadi kemudian adalah percakapan tak penting dan candaan. Aku sengaja tak bertanya kenapa, itu hanya akan membuatnya kembali dirundung kesedihan. Kata temanku dulu, cara menghibur seseorang paling baik adalah mengajaknya membicarakan hal lain, dan mengajaknya tertawa. Aku merasa sedikit berhasil.

"Jemputannya jadi datang? Atau mau saya antar saja?" tanyaku menawarkan

"Jemputannya belum tau di mana, Mas," jawabnya meringis

Aku akhirnya mengantarkan wanita itu. Kami bahkan belum berkenalan. Ia hanya menunjukkan alamat lalu mengarahkanku menuju alamat itu. Sebuah kos-kosan dengan dua lantai. Wanita itu turun lalu meminjam ponselku.

"Terima kasih ya, Mas. Itu nomor saya. Besok-besok saya mau traktir masnya sebagai jasa ojeknya," Ia menyerahkan ponselku lalu berpamitan

Aku masih mematung dan belum sadar benar selama beberapa detik sebelum bunyi klakson menyadarkan. Setelahnya aku bergegas kembali ke kos-kosan. Malam yang aneh.

Pertemuan itu ternyata sebuah permulaan dari pertemuan-pertemuan berikutnya. Di sela-sela waktu rebahan dan pekerjaan lepas yang ku terima, aku beberapa kali memiliki janji temu dengan Intan. Kami cepat sekali akrab. Kami mulai saling bercanda lepas, lalu bercerita perihal kehidupan masing-masing. Ternyata, malam itu Ia bertengkar dengan pacarnya, yang kini telah Ia putuskan. Pasalnya, malam itu mereka bertemu dengan teman sang pacar selama ini ternyata menjadi selingkuhan si laki-laki. Intan memang sudah curiga, tapi entah bagaimana malam itu semua terkuak dengan sendirinya. Aku berusaha selalu menjadi pendengar yang baik. Ia pun begitu sepertinya. Kami ternyata dalam kondisi yang sama. Sedang terluka dan rapuh.

Akhirnya setelah tiga hampir tiga bulan menjalin pertemanan, aku merasa kondisiku menjadi lebih baik. Lebih sering tersenyum, lebih giat mencari pekerjaan lepas, dan entah mengapa aku ingin kembali menyelesaikan kuliah. Aku tahu ini karena Intan. Kami makin intens berkomunikasi, bertemu, dan saling bercerita. Dua bulan setelahnya, tiba-tiba aku memiliki keberanian untuk membicarakan perasaanku pada Intan. Ia tak langsung menerima, katanya, dirinya belum benar-benar sembuh. Aku memahami itu. Tapi Ia bilang masih tetap butuh bantuan. Aku menerimanya dengan lapang. Kami tetap berteman. Aku memutuskan kembali ke kampus dan menyelesaikan kuliahku. Kami tetap berkomunikasi, lebih dekat.

Tiga bulan setelahnya aku berhasil lulus. Nilaiku tidak mengecawakan. Teman-teman yang tersisa sedikit di kampus menyelamatiku. Dosen-dosen yang selama ini menaruh harapan dan cukup dekat denganku juga memberikan hal serupa. Hari itu, ada satu orang yang benar-benar kutunggu kehadirannya. Untungnya keadaan memihak kepadaku sepenuhnya. Intan datang, membawa bunga, dan bingkisan kecil. Katanya, hadiah kelulusan. Aku menjanjikan akan mentraktirnya hari itu. Ia telah jauh-jauh datang ke kota tempatku kuliah, aku harus menjamunya. Kami masih berteman dengan baik.

Sore itu kami berkeliling di kota. Sebagai warga lokal, aku berusaha mengenalkan kota ini. Kami sudah tiga bulan tak jumpa meski intens berkomunikasi lewat dunia maya. Aku memang merindukan senyum dan candanya. Renyah dan menyejukkan. Kami berhenti di sebuah taman kota. Aku tahu, Ia menyukai tempat seperti itu.

"Bay, perasaanmu sama aku masih sama kayak tiga bulan lalu nggak?" Ia bertanya saat kami memandang beberapa anak kecil lalu-lalang

"Sudah beda, In," jawabku pelan

Intan memandangku. Ia nampak kecewa. Senyumnya tak seperti biasanya, kecut sekali.

"Aku merasa lebih mencintaimu sekarang," kataku melanjutkan

Mimik wajah Intan langsung berubah total. Ia memelukku. Tapi kemudian dilepaskan karena sadar kami sedang berada di tempat umum. Ia tersenyum. Kali ini manis sekali. Aku mengajaknya beranjak. Di motor bututku, Ia memelukku erat sekali. Aku tak berencana mengajaknya berbincang. Ia pun masih tetap diam. Tapi aku sedang senyum-senyum sendiri. Aku rasa Ia juga sama. Kami menuju sebuah restoran kecil untuk makan malam.

Setelah malam itu, aku benar-benar sembuh. Intan juga sepertinya. Kami menjadi sepasang kekasih, meski harus berpisah kota tempat tinggal. Sambil menunggu proses wisuda, aku mulai melamar pekerjaan. Intan menjadi suporter garis kerasku. Ia mendukung segala langkah yang aku ambil. Aku ingin hidup normal, dengan pekerjaan tetap, agar aku bisa yakin mengajaknya ke pelaminan. Begitu janjiku padanya saat Ia akan kembali ke kotanya malam itu.

Tapi ada satu hal yang mengganjal. Aku sedang tidak baik-baik saja dengan keluargaku saat itu. Intah tahu karena aku berterus terang padanya sejak awal. Ia sama sekali tak berusaha mundur. Ia yakin kami bisa melalui ini, katanya. Aku memikirkan opsi menikah tanpa kehadiran keluargaku. Rasanya terlalu berat menjalin hubungan itu kembali. Intan setuju saja jika itu memungkinkan dilakukan. Tapi Ia tetap menyarankan untuk memperbaiki hubungan dengan keluargaku. Aku mempertimbangkan tapi tidak janji.

Enam bulan setelah hubungan resmi kami, aku melamarnya. Orang tuanya menerima. Aku jujur perihal kondisi keluargaku, mereka tak masalah. Kami mencari jalan terbaik untuk melangsungkan pernikahan tersebut. Aku seperti mendapatkan durian runtuh. Setelah ujian ertubi-tubi dan seperti kepayahan dalam melanjutkan hidup, datang berbagai hal yang membahagiakan. Sebulan setelahnya, dengan bantuan saudaraku, aku menikahi Intan. Sebuah proses yang ekstra cepat. Aku hanya berkirim pesan ke orang tua bahwa aku telah menikah. Itu saja. Hidupku berlanjut, hingga kini.

Malam ini, di tengah memikirkan laku hidup yang nano-nano, aku memandang wajah istriku yang sedang tertidur pulas. Sebenarnya, ada perasaan bersalah telah menyelingkuhi wanita yang luar biasa ini. Ia memang tak melakukan hal-hal yang luar biasa, tapi harus ku akui kehadirannya dalam hidupku mengubah segalanya. Aku masih ingat kejujurannya dulu bahwa Ia bukan wanita yang baik-baik amat. Ia pernah berhubungan intim sebelum denganku, aku pun juga mengaku hal yang sama. Kami sama-sama menerima masa lalu, sebab memang begitu adanya. Rasanya, setelah apa yang kami lalui selama ini, aku ingin jujur juga perihal kondisiku sekarang. Tapi, aku takut menghancurkan segalanya. Jujur saja, aku takut kehilangan Intan. Aku takut hidupku kembali seperti sebelum kehadirannya. Aku tak yakin bisa melaluinya jika itu terjadi lagi. Aku terpejam tak lama kemudian.

Esoknya, perasaan itu masih saja memenuhi otakku. Lubuk hati terdalam mengatakan lebih baik aku jujur saja. Risikonya bagaimana ya harus diterima. Tapi akal sehatku meminta sebaliknya. Bukankan itu sama saja dengan bunuh diri? Gejolak batin seperti ini selalu membikin semuanya nampak susah.

"Ay, aku mau ngomong sesuatu," sapa Istriku pagi itu

Kontan saja jantungku berdegu lebih kencang. Ia seperti bisa membaca pikiranku yang sedang tidak baik-baik saja. Atau Ia sebenarnya sedang menyembunyikan sesuatu juga dan ingin membicarakannya sekarang. Pikiranku makin kacau, menebak semua hal yang bisa menjadi kemungkinan.

"Soal apa ini?" tanyaku berlagak santai

"Nanti dulu biar anak kita tidur" katanya

Aku memang libur hari ini. Anakku memiliki kebiasaan tidur sekitar jam 10 pagi. Masih satu jam lagi. Jantungku tak mengendurkan detaknya. Kepalaku juga makin pening.

"Aku tahu kita lagi sama-sama bosan akhir-akhir ini. Kita jarang ngobrol intens. Kamu makin sibuk di kerjaan. Aku juga sibuk di rumah," Intan membuka percakapan penting hari itu

Aku mendengarkan dengan baik sambil duduk di ruang makan menghadap laptop. Intan duduk di depanku. Ia menyeruput teh manis pelan-pelan.

"Kita sama-sama tahu latar belakang masing-masing. Kita sama-sama saling menyembuhkan dulu. Kita juga sudah janji akan jujur dalam menjalani hubungan ini. Apapun itu, akan selalu kita bicarakan baik-baik," lanjutnya sambil tetap memegang gelas berisi teh manis itu

Aku kini memandang matanya. Kubiarkan laptop menyala. Aku mulai tidak sabar kemana arah pembicaraan ini.

"Aku tahu ada yang tidak beres di hubungan ini. Kamu mau kita bicarakan ini baik-baik?"

Intan menutup penjelasannya dengan sebuah pertanyaan. Aku terhenyak mendengarnya. Mengenalnya selama ini membuatkan paham bagaimana Ia bertingkah laku. Kalau sudah begini, tandanya Ia memang mengetahui sesuatu. Aku sudah tidak bisa mengelak. Aku tidak bisa putar haluan. Semua memang harus dibicarakan saat ini juga.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd