Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Pesantren Series (Remake)

Status
Please reply by conversation.
Chapter 1



Zaskia

05:00
Suara kumandang adzan berseru membangunkan penghuni pondok pesantren al-fatah. Beberapa santri, Ustad dan Ustadza berbondong-bondong pergi ke masjid, tetapi sebagian lagi memilih untuk shalat di rumah mereka masing-masing.

Zaskia baru saja selesai shalat subuh, ia belum melihat adanya Rayhan keluar dari dalam kamarnya. Sembari mendesah pelan ia menghampiri kamar adik iparnya.

Sudah menjadi rutinitasnya membangunkan Adik iparnya setiap pagi, sehingga ia menjadi terbiasa marah-marah setiap pagi.

Perna satu kali Rayhan bangun sendiri, entah kenapa hari itu Zaskia merasa ada yang hilang.

Tok... Tok... Tok...

"Dek... Bangun." Panggilnya, tetapi tidak ada jawaban dari dalam kamar.

Lagi ia mencoba menggedor dan memanggil adiknya, menyuruh adiknya untuk segera melaksanakan shalat subuh, tapi lagi-lagi tidak ada jawaban dari dalam kamar adiknya.

Zaskia segera membuka pintu kamar Rayhan yang tidak terkunci, di dalam kamar Rayhan tampak masih mendengkur sembari memeluk bantal gulingnya.

"Astaghfirullah Adek." Ucap Zaskia menggelengkan kepalanya.

Ia menghampiri Rayhan, mengguncang-guncang tubuh Rayhan, tetapi tetap tidak ada respon, hingga akhirnya ia menjewer kuping Rayhan hingga pemuda itu meringis kesakitan.

"Aduh... Aduh... Aduh..." Rutuk Rayhan sembari memegang jemari halus Zaskia yang tengah menjewer kupingnya.

Dengan mata melotot Zaskia menatap adiknya. "Bangun, shalat subuh dulu." Omel Zaskia, dengan tatapan bengis kearah Rayhan.

"Iya, sebentar lagi kak."

"Astaghfirullah Ray! Kenapa kamu ini susah sekali di bangunkan! Ingat shalat itu kewajiban, lawan kantuk kamu." Nasehat Zaskia, sembari menggelengkan kepalanya melihat tingkah laku Rayhan.

Kemudian Zaskia menuju jendela kamar adiknya, membuka jendela kamar Rayhan, agar udara segar masuk ke dalam kamar adiknya. Tidak sampai di situ saja, ia juga mulai membereskan kamar adiknya yang berantakan, dari menyusun buku-buku yang berserakan di lantai, hingga memunguti bekas makanan ringan dan tissu.

Diam-diam Rayhan memandangi Kakak iparnya yang tengah menungging, memunguti bekas sampah yang ada di bawah lemari pakaiannya.

Matanya bagaikan elang menatap bulatan pantat Zaskia yang berbentuk membulat sempurna di balik mukenna berwarna putih yang di kenakan Zaskia, bahkan samar-samar ia bisa melihat siluet dalaman Zaskia yang berwarna hitam.

"Kamu bisa gak Dek, habis makan itu di bereskan." Rutuk Zaskia kembali.

"I-iya Kak." Jawab Rayhan agak gugup.

Diam-diam ia menyusupkan tangannya ke dalam celana pendek miliknya, mengurut kejantanannya yang terasa hangat dan keras.

Zaskia menoleh kebelakang, dengan cepat Rayhan menarik kembali tangannya sembari berpura-pura kembali tidur. Zaskia yang melihat Rayhan masih tiduran langsung menegurnya kembali. "Masih belum mau bangun juga? Mau kakak jewer lagi." Ancam Zaskia geregetan dengan kelakuan Rayhan.

"I-iya Kak." Jawab Rayhan cepat, ia menyingkap selimutnya, lalu turun dari tempat tidurnya.

Sembari merenggangkan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku, ia menatap wajah cantik Zaskia yang rasanya tidak pernah membosankan untuk di pandang.

Rayhan merasa sangat bersyukur bisa tinggal satu atap dengan wanita secantik Zaskia. Andai saja dulu ia menolak mondok di pesantren, mungkin ia tidak akan bisa sedekat ini dengan Kakak iparnya.

Sejenak suasana mendadak hening, Zaskia menutup mulutnya yang mengangah dengan telapak tangannya, dan mata Zaskia yang tadinya melotot kini terlihat sayu memandangi sebuah tonjolan yang cukup besar di celana adiknya. Sanking ketatnya celana yang di kenakan Rayhan, Zaskia dapat melihat jelas garis cetakan kontol Rayhan di celananya. Di tambah lagi, Zaskia melihat ada bekas bercak sperma di celana pendek yang di kenakan Rayhan.

Sebagai wanita normal sudah sewajarnya kalau ia kaget melihat tonjolan besar di celana Rayhan, bahkan ia meyakini kalau milik Adik iparnya jauh lebih besar ketimbang milik Suaminya.

"Ya Allah itu kontol adikku? Astaghfirullah...." Bisik hati Zaskia.

Buru-buru Zaskia menyingkirkan pikiran liarnya, ia segera bangun tanpa melihat langsung kearah Adiknya. Dari raut wajahnya terlihat sekali kalau Zaskia sangat gugup setelah melihat terpedo milik adik iparnya.

"Astaghfirullah... Ya Allah maafkan hambamu."

"Aku ambil wudhu dulu ya Kak." Ujar Rayhan membuyarkan lamunan Zaskia.

"Tu-tunggu dulu Dek..." Cegah Zaskia.

Rayhan mengangkat satu alisnya dengan pandangan bingung. "Kenapa Kak?" Tanya Rayhan.

"Mandi wajib dulu." Ujar Zaskia cepat, yang kemudian menunjuk selangkangan Rayhan dengan dagunya. Reflek Rayhan menutup selangkangannya dengan kedua tangannya.

"Eh i-iya Kak."

"Mimpi basah lagi ya kamu Dek?"

Rayhan mengangguk malu.

Zaskia menggelengkan kepalanya. "Mimpi basah kok hampir setiap hari si Dek." Ujar Zaskia tidak habis pikir dengan kebiasaan Rayhan yang suka sekali mimpi basah.

Tapi anehnya, walaupun sudah sering melihat kondisi Rayhan seperti saat ini, tetap saja Zaskia selalu terperangah dan salah tingkah. Seakan-akan ia tidak percaya kalau Rayhan memiliki terpedo yang sangar besar.

Setelah sedikit menceramahi Rayhan, Zaskia pergi meninggalkan adiknya.

Selepas kepergian Zaskia, bukannya segera mandi wajib, Rayhan kembali onani sembari membayangkan sosok Zaskia Kakak iparnya.

*****


Farah

KH Shamir baru saja pulang dari masjid, saat hendak ke kamarnya ia tidak sengaja mendengar suara tangisan cucunya di dalam kamar anaknya. Karena ia pikir tidak ada orang, KH Shamir langsung membuka pintu kamar anaknya tanpa permisi terlebih dahulu.

Dan ternyata di dalam kamar ada Farah yang sedang menyusui cucunya.

Langkah KH Shamir terhenti, genggaman tangannya di handle pintu kamar anaknya semakin erat, sementara mata tuanya menatap tajam kearah gumpalan daging montok yang menggelantung indah di dada menantunya.

"Ya Allah, Astaghfirullah..." Gumam hati KH Shamir.
Farah yang tidak menyadari ada seseorang di balik pintu kamarnya malah terlihat santai membiarkan payudaranya terekpose.

Sedangkan KH Shamir yang melihat kejadian tersebut tampak panas dingin.

Payudara Farah terlihat membulat sempurna dengan puting merah menyala yang kini sedang di lahap oleh anaknya, membuat KH Shamir menjadi terbakar birahi.

Cukup lama KH Shamir melihat menantunya yang sedang menyusui cucunya, hingga akhirnya ia di sadarkan oleh panggilan Farah yang baru menyadari kehadiran mertuanya di depan pintu kamarnya.

"Abi..." Sapa Farah.

"Astaghfirullah..." Kaget KH Shamir.

Ia tersenyum memandang mertuanya, tanpa berusaha menyembunyikan payudaranya, karena Aldi sedang menyusu.

"Maaf Nak Farah, Abi tidak tau kalau kamu sedang menyusui Aldi." Ujar KH Hasan yang terlihat panik, tapi pandangannya tetap tertuju kearah payudara Farah yang mempesona, membuatnya sulit mengontrol diri.

"Iya Bi, gak apa-apa! Abi baru pulang dari masjid?" Tanya Farah, jemari halusnya sekilas menyibak jilbabnya yang sedikit menutupi sebagian payudaranya.

Jakun KH Shamir bergerak naik turun, nafas tuanya perlahan terdengar berat. "I-iya Nak! Sekali lagi Abi minta maaf, tadi Abi dengar Aldi nangis, Abi pikir tidak ada orang." Sambung KH Hasan menjelaskan kronologis nya, ia takut Farah salah sangka kepadanya, dan memberitahu suaminya yang akan membuat kesalahpahaman semakin besar.

Farah tersenyum manis. "Ya Allah Bi, kayak sama siapa aja." Jawab Farah santai, sembari mengusap hidung anaknya. "Sini Bi, Aldi kangen sama Kakeknya! Iyakan sayang, Aldi kangenkan sama kakek." Ucap Farah.

Sejenak KH Shamir tampak ragu, tapi pada akhirnya ia menerima panggilan tersebut.

Dengan perlahan KH Shamir mendekat, walaupun perasaannya saat ini sedang tak menentu, antara ingin menikmati pemandangan indah yang ada di hadapannya, atau bermain dengan cucunya.

"Sadar Shamir, dia menantumu, dia Istri dari anakmu. Istighfar Shamir..." Jerit hati KH Shamir.

Kemudian Farah menyerahkan Aldi ke KH Shamir. Saat KH Shamir mengambil Aldi dari gendongan Ibunya, tanpa di sengaja lengan KH Shamir malah menyentuh payudara menantunya itu, membuat bulu-bulu halus di lengannya tampak berdiri.

Farah terlihat menutupi payudaranya dengan jilbab miliknya seadanya, membuat KH Shamir merasa lega, walaupun ada sedikit rasa kecewa.

"Aldi mirip Abi ya?" Ujar Farah.

KH Shamir mengangguk. "Tapi bibirnya mirip kamu nduk! Tipis." Jawab KH Shamir, pria tua itu tampak menatap sekilas bibir Farah yang tipis berwarna merah muda.

"Aldi... Seneng ya di gendong kakek."

"Seneng banget Umi, hehehe..." Jawab KH Shamir mewakili cucunya.

Tetapi baru lima menit berada di dalam gendongannya, tiba-tiba Aldi menangis. Terpaksa KH Shamir kembali menyerahkan cucunya kepada Farah untuk mengambil kembali Aldi dari gendongan KH Shamir.

Mata tua KH Shamir membesar ketika Farah menyibak jilbabnya, hingga payudara sebelah kanannya kembali terlihat, kejutan tidak sampai di situ saja, tiba-tiba Farah mengeluarkan payudara kirinya dan memberikan payudara kirinya itu untuk putranya Aldi, dan membiarkan payudara kanannya menganggur, menggantung bebas di samping KH Shamir.

Tanpa sadar KH Shamir melototi payudara Farah, putingnya yang besar terlihat sedikit basah oleh asinya yang penuh.

Kedua tangan KH Shamir terkepal, rasanya ingin sekali KH Shamir meremas payudara Farah, menumpahkan susunya ke dalam mulutnya. Untunglah imannya masih tersisah sedikit sehingga ia masih bisa menahan diri.

"Astaghfirullah aladzim." Bisik hati KH Shamir.

Ia tampak menghela nafas, menyadarkan dirinya kalau wanita yang ada di hadapannya saat ini adalah menantunya sendiri.

Segera KH Shamir beranjak dari tempat duduknya. "Farah, Abi ke kamar dulu ya, mau lanjut baca kitab" Ujar KH Shamir pelan, dengan suara yang terdengar berat.

"Iya Bi! Nanti mau Farah buatkan kopi?" Tawar Farah.

"Nanti saja, takut gak khusuk." Jawab KH Shamir.

Sebelum meninggalkan kamar anaknya, untuk terakhir kalinya KH Shamir menatap buah melon milik menantunya itu untuk terakhir kalinya. Perlahan seraya mendesah pelan, ia menutup kembali pintu kamar anaknya dan bergegas kembali ke dalam kamarnya. Di dalam kamar KH Shamir yang sedari tadi menahan birahinya, segera membuka celananya lalu beronani.

KH Shamir sadar kalau dia sudah lama menduda, sehingga ia sulit sekali mengontrol hasratnya ketika melihat kemolekan payudara menantunya sendiri. Di tambah lagi, KH Shamir merasa kalau Farah seakan sengaja menggodanya. Tetapi pikiran itu ia buang jauh-jauh.

*****


Laras

Laras tengah duduk di pinggiran tempat tidur putranya yang tengah terlelap. Dengan perlahan ia mengusap lembut kening Azril.

Walaupun anak kandungnya itu telah tumbuh menjadi anak remaja, tetap saja di mata Laras Azril adalah bayi kecilnya yang sangat Laras sayangi.

Laras menyandarkan punggungnya, sembari menatap kamar Azril yang selalu rapi. Di pojokan kamarnya terdapat meja belajar, dan rak buku yang tersusun sangat rapi.

Sungguh Laras merasa bangga memiliki anak seperti Azril. Selain patuh terhadap orang tua, Azril juga anak yang berprestasi. Satu bulan yang lalu, mereka merayakan keberhasilan Azril yang telah berhasil menghafal tiga puluh Juzz. Rasanya sangat jarang menemukan anak seusia Azril bisa menghafal 30 juz.

"Bangun Nak! Subuh dulu." Panggil Laras lembut.

Tubuh Azril menggeliat, dan sedetik kemudian ia membuka matanya. Laras menyambut pagi Azril dengan senyuman terbaiknya. Dan tanpa di sadari Laras, senyumannya membuat anak remaja tersebut menjadi salah tingkah.

Azril segera bangun, ia duduk di atas tempat tidurnya sembari melihat kearah jam dinding kamarnya dengan motif Spiderman. "Astaghfirullah! Sudah setengah enam." Gumam Azril.

"Masih ada waktu!" Laras membelai anak rambut Azril.

Laras mengerti kenapa Azril akhir-akhir ini sering bangun terlambat. Sehingga ia memakluminya.

Azril melihat kearah Ibunya. Dalam diam ia menelan air liurnya yang terasa hambar, ketika matanya menangkap siluet belahan payudara Laras diantara lipatan kimono yang di kenakan Laras. Sebagai anak remaja, sudah sewajarnya kalau Azril terangsang melihat pemandangan indah tersebut.

Tetapi karena Azril takut ketahuan, ia cepat sadar akan kesalahannya. Buru-buru Azril membuang mukanya, ia menatap kaligrafi yang ada dinding kamarnya yang bercat putih, sebagai pengalihan.

"Kalau ngantuk tidur lagi aja sebentar." Suruh Laras. Ia merasa tidak tega melihat Azril menahan kantuk.

Azril tersenyum. "Takut kebablasan Umi." Sahut Azril, tanpa melihat kearah Ibu Tirinya. Ia takut kembali khilaf, walaupun setan sudah berusaha membujuk dirinya untuk melihat kearah Laras yang pagi ini tampil seksi.

Tiba-tiba Laras menarik tangan Azril, membuat tubuh Azril limbung dan jatuh kedalam pelukan Laras. Dan beruntungnya atau sialnya bagi Azril, wajahnya bersandar tepat diatas payudara Ibu Tirinya, benda empuk yang menjanjikan sejuta kenikmatan. Dari jarak yang begitu dekat Azril dapat mencium aroma tubuh Ibunya.

Laras yang tidak mengerti akan penderitaan Azril, malah mendekap kepala Azril, membuat nafas Azril menjadi tersengal-sengal. Seumur hidupnya, baru kali ini wajahnya menyentuh payudara Laras.

Azril membuka matanya, dengan tatapan tidak percaya, ia dapat melihat jelas belahan bongkahan payudara Laras yang memang tidak mengenakan bra untuk melindungi payudaranya yang berukuran 34F. Bahkan ia bisa melihat puting Laras yang berwarna kecoklatan sebesar biji kacang.

Buru-buru Azril menurunkan pandangannya, dan kali ini ia di suguhi pemandangan yang tidak kalah indahnya. Sepasang paha mulus beserta gundukan vagina Laras yang masih tersimpan di balik kain segitiga berwarna hitam yang telah lecek. Lagi Azril menelan air liurnya. Sungguh ia tidak menyangkah, kalau sepagi ini akan di suguhi pemandangan yang begitu indah, sekaligus menyesatkan.

"Astaghfirullah..." Azril bergumam pelan.

Laras mengecup lembut ubun-ubun kepala Azril. "Gimana hafalan kamu sayang?" Tanya Laras, ia sama sekali tidak sadar, kalau sikapnya yang bermaksud ingin membuat Azril merasa nyaman, malah membuat anak remaja itu menderita.

"Al-alhamdulillah U-Umii, masih lancar!" Jawab Azril gugup.

"Yang sulit dari menghafal itu, bukan waktu menghafalnya, melainkan menjaganya sayang! Karena itu kamu harus menjaga hafalan kamu dengan baik." Jemari Laras membelai wajah Azril, sembari menatapnya.

"Iya Umi, insyaallah Azril akan menjaganya." Jawab Azril ragu. Ia tidak yakin bisa mempertahankan hafalannya, kalau Ibu Tirinya tidak juga melepaskan dirinya.

Sebenarnya Azril ingin sekali meminta Laras untuk berhenti memeluknya. Tetapi ia takut Ibunya akan tersinggung. Tetapi kalau dia hanya diam saja, ia juga tidak yakin bisa menjaga pandangannya lebih lama lagi, karena penampilan Laras yang seksi seakan menari-nari di kelopak matanya, walaupun ia sudah memejamkan matanya.

******

Dengan langkah gontai Azril berjalan menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu. Banyangan kemolekan tubuh Ibunya seakan tidak mau menghilang dari pikiran nya. Saat berada di dalam kamar mandi, ia mendengar suara gemericik air yang menandakan kalau ada seseorang di dalam toilet.

Azril yang tadinya terlihat lesu, kini berubah menjadi bugar. Matanya menatap tegang kearah pintu toilet kamar mandinya.

Perlahan Azril mengambil bangku kecil, dan memposisikan bangku tersebut di depan toilet. Ia menjadikan bangku itu sebagai pijakan agar bisa mengintip ke dalam toilet. Perlahan dengan nafas memburu, ia mengintip melalui pentilasi kamar mandi.

Tampak di dalam kamar mandi Laras Ibu tirinya sedang duduk di closet.

Seeeeeeeerrrr....

"Ughk..." Azril mendesah pelan mendengar gemericik air kencing Ibunya.

Sembari mengintip Ibunya yang sedang buang air kecil, Azril mengurut-ngurut burungnya. Matanya tidak berkedip memandang lekat kemaluan Ibunya yang di tumbuhi rambut halus.

Sekitar lima menit Azril mengintip Ibunya kencing, saat Laras hendak mencuci kemaluannya Azril buru-buru turun dan berpura-pura mengambil wudhu.

Saat Laras keluar dari toilet, ekor mata Azril memandangi Ibunya yang sedang meletakan celana dalamnya kedalam mesin cuci, lalu tanpa menyapa Azril Laras meninggalkan anaknya yang sedang mengambil wudhu.

Selepas kepergian Laras, Azril langsung mengambil celana dalam Ibunya, dan bergegas masuk ke dalam toilet sembari membawa celana dalam Laras.

Azril buru-buru membuka celananya lalu sembari onani Azril mencium aroma celana dalam Ibunya yang basah dak berbauk pesing. Azril terlihat sangat menikmati aroma celana dalam Ibunya, walaupun sebagian orang menganggap hal tersebut menjijikan.

*****

06:30


Zaskia

Di ruang makan tampak Rayhan bersama Zaskia tenga sarapan. Di saat mereka sedang khusuk menikmati sarapan mereka tiba-tiba seekor kucing liar melompat keatas meja membuat Zaskia tersentak kaget hingga ia latah dan mengeluarkan kalimat-kalimat yang tidak pantas.

Meoooong...

"Kontooool... Eh... Kontooool..."

"Ehuk.... Huk..." Rayhan sampai terbatuk mendengar ucapan Zaskia.

Sadar kalau dirinya baru saja mengatakan hal yang salah, buru-buru Zaskia memperbaikinya. "Astaghfirullah... Isst... Ni kucing sana-sana." Usir Zaskia sembari mengibaskan tangannya kearah si kucing berwarna oranye.

Tetapi kucing itu seakan tak bergeming, bahkan ia balik melawan dengan mencakar tangan Zaskia, hingga membuat Zaskia kembali terpekik.

"Eh kontol... Ya Tuhan... Kontol..." Latah Zaskia.

"Huhahahaha..." Tawa Rayhan tak tertahankan. "Ya Allah Kak." Goda Rayhan, membuat wajah Zaskia merona merah.

"Usir kucingnya Dek." Suruh Zaskia tak menggubris Rayhan.

Masih menahan tawa Rayhan mengambil kucing tersebut, tapi bukannya membawa kucing itu keluar, Rayhan malah mengagetkan Zaskia dengan pura-pura melempar kucing tersebut kearah Kakaknya, membuat Zaskia kembali terpekik.

"Kontoooolll... Eh Adeeek..." Jerit kesal Zaskia.

Rayhan buru-buru membawa kucing tak bersalah tersebut keluar dari rumah mereka sembari tertawa puas. Setelah mengusir kucing tersebut Rayhan kembali ke ruang dapur, ia melihat Zaskia tampak salah tingkah sembari menyantap makanannya.

Rayhan kembali duduk di samping Zaskia, menatap Kakaknya dengan tatapan penuh arti membuat Zaskia jengah dan melototinya.

"Apa?"

"Gak apa-apa, itu kontolnya sudah aku usir." Ujar Rayhan iseng.

Dengan mata melotot Zaskia mencubit perut Rayhan. "Apa? Kamu bilang barusan Dek?" Tanya Zaskia dengan nada mengancam.

"Aduh Kak... Sakit." Melas Rayhan.

"Kamu bilang apa barusan? Coba di ulang, Kakak mau denger lagi." Geram Zaskia.

"Itu kontol nya sudah aku usir! Aduuuh... Sakit Kak." Wajah Rayhan meringis ketika Zaskia semakin kuat mencubit perutnya.

"Berani kamu ya..."

"Kan tadi Kakak yang bilang nama kucing itu kontol." Ucap Rayhan tidak mau di salahkan.

"Bagus..." Lirih Zaskia sembari manggut-manggut.

Zaskia mencubit perut Rayhan semakin kencang hingga Rayhan terlihat sangat kesakitan. "Ampuuuun Kak! Aduuuuh... Ampuuuun...." Mohon Rayhan.

"Mau minta maaf?"

Rayhan mengangguk. "Iya Kak, Maaf... Aaaaww..." Melas Rayhan.

Melihat raut wajah Rayhan yang kesakitan membuat Zaskia tidak tega, hingga akhirnya ia melepaskan cubitannya dari perut Rayhan. Zaskia menjelaskan kepada Rayhan kalau dirinya memang salah karena kaget sehingga mengucapkan kalimat kotor tersebut.

Rayhan yang mendengarkan omongan Zaskia hanya manggut-manggut, sementara bibirnya terlihat mengulum senyum.

Selepas kepergian Rayhan ke sekolah, Zaskia tampak melamun. Ia sendiripun bingung kenapa dirinya sering kali latah dengan menyebut kontol padahal selama ini ia tidak pernah mengeluarkan kalimat-kalimat najis seperti itu. Semenjak Rayhan tinggal bersamanya, semenjak ia sering melihat tonjolan di celana Rayhan, ia jadi merasa sangat familiar dengan kalimat kontol.

"Ya Allah kenapa hambamu ini tidak bisa mengatur mulut ini." Lirih Zaskia sembari memukul pelan bibirnya yang nakal.

Entah seperti apa penilaian Rayhan kepada dirinya setelah mengetahui kebiasaannya menyebut kontol ketika sedang latah. Sebagai seorang muslimah Zaskia merasa sangat malu.

*****


Clara

"Claraaaaa... Jangan lari."

Di koridor asrama putri Siti Fatimah, tampak dua orang santriwati saling kejar-kejaran. Sementara santri lainnya hanya menggeleng-gelengkan kepala mereka melihat tingkah kedua santri tersebut. Bahkan seorang Santri sampai beristighfar beberapa kali melihat kelakuan kedua sahabatnya.

Asyifa sampai mengangkat roknya agar bisa leluasa mengejar Clara yang begitu gesit menghindari tangkapannya.


Asyifa


Hingga akhirnya Clara bersembunyi di belakang Adinda yang sedari tadi beristighfar melihat tingkah laku kedua sahabatnya.

"Astaghfirullah kalian ini." Kata Adinda.



Clara tampak membungkuk, mengatur nafasnya yang memburu. "Clara duluan Nda!" Protes Asyifa. sembari melihat sahabatnya yang cengar-cengir.

"Ayo sini uhtki tangkap aku." Pancing Clara.

Adinda langsung melotot kearah Clara. "Kalian berdua itu santri, jadi jaga sikap kalian layaknya seorang santri." Tegur Adinda.

"Iya Nda." Gumam Asyifa tidak berani membantah sahabatnya tersebut.

"Ya Allah Nda, kamu kayak gak tau mereka berdua aja. Mereka itu seperti kucing dan anjing, kalau gak berantem sehari aja dunia biasa kiamat." Celetuk Elliza sembari mengunyah cemilan keripik yang ada di tangannya.


Elliza

Helena

"Tidak boleh menyamakan saudara sendiri dengan binatang." Nasehat Adinda.

"Kena jugakan, hihihi..." Tawa Helena yang sedang mengulang hafalannya.

Alhasil pagi itu mereka harus mendengarkan ceramah Adinda tanpa ada yang berani menyela, ya karena Adinda memang lebih di dewasakan oleh mereka. Ceramah itu baru berakhir setelah mereka kedatangan seorang santri bernama Azril. Pemuda itu terlihat salah tingkah sambil menundukan wajahnya.

"Cari siapa?" Tanya Asyifa menggoda.

"Siapa lagi kalau bukan pujaan hati! Hehehe..." Sambung Elliza.

Wajah Azril tampak merona merah karena di goda oleh mereka.

"Yang di cariin lagi sembunyi tuh." Tunjuk Helena kearah Clara dengan dagunya. "Cie... Cie... Cie... Yang di datangi pangeran." Ledeknya yang tampak puas.

"Biasa aja kali." Jengkel Clara.

"Hahaha..." Tawa Asyifaa kencang.

Adinda langsung melotot. "Jaga sikap kalian Uhkti." Tegas Adinda membuat teman-temannya langsung terdiam.

"Maaf." Lirih Asyifa.

"Maaf mau ngapain akhi kemari? Ini asrama putri seharusnya akhi paham soal aturan." Sindir Adinda, membuat Azril semakin serba salah.

Azril meremas jemarinya sanking tegangnya. "Anu... Saya mau memberikan ini kepada Clara." Ujar Azril sembari menyerahkan buku soal kepada Clara.

Wajah Clara yang tadinya jutek karena di ledekin teman-temannya, kini tampak sumringah karena tugas bahasa arabnya sudah di kerjakan oleh Azril. Buru-buru Clara mengambil buku soal tersebut seraya tersenyum.

Adinda dan yang lainnya hanya geleng-geleng kepala melihat Clara yang suka memanfaatkan kebaikan Azril.

"Terimakasih ya Zril." Ujar Clara.

Wajah Azril tampak bersemu merah. "I-iya sama-sama." Jawab Azril gerogi.

Kemudian Azril pamit kepada mereka, sebelum meninggalkan asrama putri, Azril sempat melempar senyum kearah Clara yang malah pura-pura tidak melihat senyuman Azril.

Selepas kepergian Azril, Adinda menasehati Clara agar tidak mempermainkan perasaan seseorang.

Bukan hanya Adinda, yang lainnya juga ikut menasehati Clara karena merasa kasihan dengan Azril yang hanya di manfaatkan saja oleh sahabat mereka Clara. Tetapi Clara sepertinya tidak perduli, karena ia masih membutuhkan Azril.

*****

09:00


Fatimah

Fatimah duduk di sofa dengan perasaan tidak menentu, ia menatap bingung saudara iparnya yang sedari tadi hanya diam sembari meremas-remas jemarinya dengan gelisah.

Fatimah menghela nafas perlahan, sudah setengah jam ia duduk di ruang tamu KH Sahal, tapi tak satu patahpun terucap dari bibir KH Sahal, adik kandung Suaminya KH Hasyim.

"Dimana Hj Irma Mas?" Tanya Fatimah untuk kesekian kalinya.

Wajah KH Sahal tampak mengeras. "Tunggu sebentar lagi." Jawab KH Sahal yang membuat Fatimah semakin bingung.

Satu jam yang lalu Hj Irma menelponnya dan memintanya untuk datang ke rumahnya. Saat di tanya ada perlu apa, Hj Irma hanya mengatakan kalau ia lagi ada masalah dan membutuhkan bantuannya. Tetapi setibanya di rumah Hj Irma, ia malah tidak menemukan iparnya tersebut.

Hj Fatimah yang mulai kesal karena tidak mendapatkan jawaban yang pasti, bermaksud hendak kembali pulang ke rumahnya.


Irma

Tetapi belum sempat ia mengatakan sesuatu, tiba-tiba ia melihat sosok yang ia cari. Hj Irma keluar dari dalam kamar dengan keadaan sedikit berantakan, jilbabnya terpasang ala kadarnya saja, dan gamis yang ia kenakan tampak lecek.

Dan yang membuat Hj Fatimah semakin keheranan ketika ia melihat Pak Sobri keluar dari dalam kamar yang sama dengan Hj Irma.

Secara bergantian Hj Fatimah memandangi KH Sahal dan Istrinya Hj Irma.

Perlahan KH Sahal beranjak dari tempat duduknya dengan raut wajah sedih ia pergi begitu saja meninggalkan rumah. Hj Irma duduk di samping Fatimah, lalu sembari menangis ia memeluk Hj Fatimah.

"Ada apa Irma?" Tanya Fatimah bertanya-tanya.

Fatimah melihat kearah Pak Sobri yang tengah duduk di tempat yang di tinggalkan oleh KH Sahal. "Apa saya perlu menjelaskannya?" Ujar Pak Sobri datar.

Hj Irma berlutut di depan Hj Fatimah, ia bersimpuh sembari menangis. "Mbak... Hiks... Hikss... Tolong kami, hanya Mbak yang bisa menolong kami." Tangis Hj Irma, yang membuat Fatimah makin kebingungan.

"Jelaskan pelan-pelan Ma." Pinta Hj Fatimah.

Pak Sobri menyerahkan map plastik yang berisi dokumen yang cukup tebal.

Fatimah membuka dokumen tersebut, membacanya dengan seksama. Raut wajah Fatimah terlihat tegang, keningnya berkerut, dan keringat sebesar jagung mulai membasahi dahinya.

"Tidak mungkin, apa maksud semua ini." Cecar Fatimah.

Pak Sobri mencodongkan tubuhnya ke depan, menatap tajam Hj Fatimah. "Seperti yang Bu Haja lihat, Suami Ibu KH Hasyim dan Saudaranya KH Sahal terbukti telah menggelapkan uang negera, dan menerima suap gravitasi dari pengusaha tambang." Pak Sobri memberi jeda sesaat. "Hasil dari penyelidikan kami, uang tersebut di gunakan untuk membangun pesantren di kota B." Jelas Pak Sobri.

"Gak mungkin, ini pasti ada kesalahan. Suami saya adalah orang baik dan jujur, ini tidak mungkin."

"Namanya juga manusia Bu, kalau sudah di kasih jabatan pasti lupa diri. Saya sudah sering bertemu dengan orang macam Suami Ibu." Ujar Pak Sobri seraya menatap tajam kearahnya.

Inilah yang di takutkan Fatimah ketika Suaminya hendak turun ke dunia politik. Ia khawatir Suaminya akan tergoda untuk melakukan tindakan korupsi, dan kini yang ia takutkan benar-benar terjadi.

Fatimah tidak bisa membayangkan kalau sampai Suaminya, yang di kenal selama ini sebagai ulama' di tangkap KPK karena terbukti melakukan tindakan korupsi dan menerima suap. Tidak hanya nama besar keluarganya yang akan menerima dampaknya, tapi juga nama baik pesantren Al-fatah juga akan di pertaruhkan.

"Tolong jangan di proses Pak! Ini menyangkut nama baik pesantren." Melas Fatimah.

Pak Sobri kembali tersenyum. "Itulah mengapa saya ada di sini Bu Haja. Saya bermaksud ingin membantu suami Bu Haja Fatimah dan Bu Haja Irma. Hanya saja ada syaratnya." Jelasnya, membuat perasaan Fatimah menjadi tidak tenang, ia merasa kalau Pak Sobri punya niat busuk.

"Apa syaratnya?"

"Mungkin Bu Hj Irma bisa bantu saya menjelaskannya." Ujar Pak Sobri.

Hj Fatimah membantu saudara iparnya duduk kembali di sampingnya. Tampak Hj Irma kini sedikit bisa lebih tenang.

Sekitar lima menit mereka berdiam diri, menunggu Hj Irma mengatakan sesuatu.

"Mbak... Pak Sobri bersedia tutup mata soal masalah ini, asalkan... Asalkan..." Hj Irma terlihat ragu untuk mengatakannya.

"Asalkan apa?"

"Asalkan kita mau menemani Pak Sobri tidur!" Tubuh Hj Irma kembali terguncang. "Sa... Saya sudah melakukannya Mbak, hiks... Hikss... Hiks... Dan sekarang semua keputusan ada di tangan Mbak." Hj Irma kembali memeluk erat saudaranya.

Mulut Fatimah menganga tak percaya, ia menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Wajahnya pucat pasi dan tubuhnya gemetar.

Tidak mungkin, ini semua pasti bohong, bagaimana mungkin seorang wanita muslimah seperti Hj Irma bisa melakukan itu semua. Apapun alasannya, berzina hanya akan menambah dosa mereka.

"Astaghfirullah... Kamu berzina?"

"Saya tidak punya pilihan lain Mbak, ini demi pesantren Mbak, demi Suami saya, demi saudara Suami saya." Ujar Hj Irma dengan suara gemetar.

"Ya Allah..." Hj Fatimah menggigit bibirnya, menahan emosi yang bergejolak di dadanya.

Pak Sobri menghela nafas. "Jadi bagaimana Bu Haja Fatimah? Saya tidak punya waktu banyak, kita semua tau posisi kita masing-masing." Jelas Pak Sobri tidak sabar. Fatimah berdiri menatapnya penuh kebencian.

Dirinya seorang muslimah, Istri dari seorang kiayi. Selama hidupnya ia tidak pernah melakukan perbuatan hina seperti itu, jangankan berzina mendekati zina saja ia tidak sudi. Tetapi seseorang memintanya untuk berzina, tentu saja Hj Fatimah menolaknya.

"Jangan mimpi anda bisa meniduri saya." Tunjuk Fatima dengan suara gemetar.

Pak Sobri mengambil kembali berkas dokumen yang di baca Fatimah, lalu memasukan kembali ke dalam tasnya. "Pilihan ada di tangan anda! Saya hanya ingin mengambil sedikit bayaran atas kebaikan yang saya tawarkan." Pak Sobri berdiri dari duduknya. "Saya berharap anda tidak menyesali keputusan yang sudah di buat. Tidak ada penawaran yang kedua, ketika saya melangkah keluar dari rumah ini, dan anda menolak persyaratan yang saya berikan... Maka saya pastikan KH Hasyim dan KH Sahal secepatnya akan berurusan dengan KPK."

Hj Irma melompat dari kursinya, ia mencegah Pak Sobri untuk tidak keluar dari rumahnya. Kemudian ia menatap saudarinya dengan tatapan memohon, bahkan Hj Irma sampai berlutut dan mencium kaki Hj Fatimah.

"Tolooong Mbak! Untuk kali ini saja tolooong." Mohon Hj Irma.

Hj Fatimah membuang muka, ia tidak ingin melihat wajah melas saudarinya. "Astaghfirullah... Kamu taukan kalau zina itu dosa besar?" Geram Fatimah.

"Ini darurat Mbak, saya juga tidak mau, bahkan Mas Sahal juga pasti tidak rela." Teriak Irma, wajahnya memerah menahan emosi. "Demi keluarga kita Mbak, demi nama baik pesantren Mas Jahal merelakan aku untuk di tiduri. Tolong jangan sia-siakan pengorbanan kami."

Walaupun ada rasa kasihan, tetapi Fatimah tetap tidak bergeming dengan keputusannya. Ia tau dan sangat mengerti bagaimana perasaan KH Sahal ketika harus merelakan Istrinya di setubuhi oleh pria lain. Tetapi bagi Fatimah itu keputusan yang mereka ambil dan bukan salahnya.

Tiba-tiba Irma mengambil sebilah pisau, dan menempelkan pisau tersebut di tangan kirinya, membuat Fatimah panik.

"Astaghfirullah Irma... Istighfar!" Jerit Fatimah.

Dengan tubuh terguncang Irma menatap kecewa kearah saudarinya. "Saya sudah melakukan apa yang saya bisa Mbak. Lebih baik saya mati, dari pada harus melihat nama baik Almarhum Abah KH Usman dan Pesantren Al-fatah hancur." Irma menekan pisaunya, hingga lengannya terluka.

Tindakan Irma membuat Fatimah panik dan tidak bisa berfikir jernih. "Stop Irma, Mbak mohon... Mbak akan melakukannya, tapi tolong berhenti." Mohon Fatimah, yang kemudian memeluk iparnya.

Irma menurunkan tangannya, dan membiarkan Fatimah mengambil pisau yang ada di tangannya.

"Jadi bagaimana Bu Haja?" Tanya Pak Sobri. "Apa Bu Haja bersedia menerima syarat dari saya?" Sambung Pak Sobri dengan tatapan tajam.

Fatima terdiam, ia terlihat gelisah. Dari raut wajahnya ia terlihat tegang, beberapa kali ia mengusap wajahnya, menggigit bibirnya dengan tatapan sayu. Haruskah dia melakukannya? Tetapi jika ia menolak nama pesantren akan menjadi taruhannya.

Setelah melalui lautan gejolak batinnya, Fatimah mengangguk lemah. "Baiklah, anda menang." Lirih Fatimah, ia merasa tidak ada pilihan lain.

"Bagus kita buktikan kesungguhan anda. Bu Haja pasti tau sekarang harus pergi kemana?" Perintah Pak Sobri seraya tersenyum.

Dengan langkah gontai Fatimah berjalan melewati mereka berdua, menuju kamar yang tadi di masuki oleh saudarinya bersama Pak Sobri. Sekilas Hj Irma membalas senyuman Pak Sobri yang kemudian mengikuti langkah Hj Fatimah. Istri dari pimpinan pesantren al-fatah, Istri dari ketua DPRD kabupaten Durian.

Hj Irma tampak menghela nafas sembari kembali duduk di sofanya, tidak lama kemudian KH Sahal masuk, lalu memeluk Istrinya.

"Akting kamu luar biasa sayang." Puji KH Sahal.

*****


Zaskia


Haifa

Di kantor Aliyah, Zaskia sedang sibuk di depan layar laptopnya. Tiba-tiba Haifa datang menghampirinya yang terlihat masih sibuk dengan pekerjaannya, sanking sibuknya Zaskia sampai tidak menyadari kehadiran sahabatnya.

"Kantin yuk Uhkti." Celetuk Haifa.

Zaskia yang kagetan langsung merespon dengan latanya. "Astaghfirullah.... Astaghfirullah..." Lirih Zaskia sembari mengelus dadanya. "Ya Allah Mbak, bikin kaget aja." Ujar Zaskia.

"Hihihi... Anti lucu ya kalau lagi kaget." Goda Haifa.

"Lucu, emang ana badut."

Haifa makin keras tertawa. "Ya Allah Uhkti! Hihihi... Afwan ya! Ehem... Kantin yuk." Ulang Haifa lagi.

"Bentar Mbak."

"Kerjakan lagi nanti, masih banyak waktu." Kata Hafai setengah memaksa.

Walaupun Zaskia berniat ingin segera menyelesaikan tugasnya, tapi pada akhirnya Zaskia memilih untuk mengalah.

Sebelum menutup layar laptop miliknya, Zaskia menyimpan terlebih dahulu hasil pekerjaaan.

"Yuk." Ujar Zaskia.

Mereka berjalan beriringan menuju kantin pesantren yang ada di wilayah putri. Jaraknya memang cukup jauh, tapi karena sudah terbiasa sehingga mereka tidak merasa kelelahan.

Sembari berjalan menuju kantin, mereka mengobrol santai tentang kehidupan masing-masing.

"Gimana hubungan kamu dengan Rayhan?" Tanya Haifa, ia memandang sekilas Zaskia, lalu kembali menatap ke depan.

"Bingung Mbak."

Haifa merenyitkan dahinya. "Bingung kenapa? Uhkti masih merasa gak nyaman karena kalian bukan muhrim tapi tinggal satu atap?" Tanya Haifa.

"Bukan itu masalahnya Mbak."

"Terus."

Zaskia tidak langsung menjawab, ia mempertimbangkan terlebih dahulu, apakah dia harus menceritakan kegelisahan hatinya kepada Haifa, atau tidak. Ia takut, nantinya Haifa akan berfikiran yang tidak-tidak tentang dirinya, dan terjadi kesalahpahaman.

Selain itu, ia juga khawatir kalau nanti Haifa akan membocorkan ceritanya kepada orang lain.

"Rahasia anti aman sama Mbak! Bukannya dari dulu Mbak selalu menjaga rahasia Uhkti." Ujar Haifa seakan bisa membaca pikiran Zaskia.

Zaskia menunduk sebentar. "Iya Mbak, ana percaya sama Mbak." Jawab Zaskia.

"Jadi, apa kamu mau cerita sama Mbak?"

"Ehmmm... Sebenarnya ana merasa nyaman Mbak tinggal berdua dengan Rayhan! Ya... Walaupun terkadang anak itu menjengkelkan." Zaskia tersenyum kecil, mengingat kelakuan Rayhan.

"Lantas apa masalahnya? Sampe kamu jadi bingung kayak gini."

"Jadi begini Mbak...."

Zaskia mulai menceritakan kegelisahannya kepada Haifa, di mana ia setiap pagi harus ke kamar Rayhan, yang notabenenya bukan kamar muhrimnya, di tambah lagi ia sering mendapatkan Rayhan habis mimpi basah, membuatnya menjadi serba salah.

Haifa terlihat khusuk mendengar cerita Zaskia, ia mengerti kegelisahan yang di rasakan Zaskia, karena mereka berdua sama-sama wanita muslimah.

"Bukannya Uhkti punya pilihan untuk tidak membangunkan Rayhan?" Pancing Haifa.

Zaskia tampak menghela nafas, memang benar apa yang di katakan Haifa, ia bisa memilih untuk tidak membangunkan Rayhan, mengingat Rayhan sudah Akil balik dan mengerti tentang kewajibannya sebagai seorang Muslim.

Hanya saja Zaskia merasa bertanggung jawab kepada Rayhan karena ia tinggal bersamanya.

"Bagaimanapun juga Rayhan Adik ipar ana Mbak!" Jawab Zaskia. "Di sisi lain ana merasa bertanggung jawab terhadap dia, tapi di sisi lain ana merasa berdosa karena terlalu sering masuk ke dalam kamarnya." Sambung Zaskia.

Haifa tersenyum. "Menurut Uhkti mana yang baik, tidak masuk ke kamar yang bukan muhrim kita, atau masuk ke kamar pria yang bukan muhrim kita dengan tujuan menolong orang yang kita sayangi terhindar dari dosa?" Tanya Haifa.

"Jelas menolong si Mbak."

"Tuh tau! Jadi mulai sekarang jangan bingung lagi." Ucap Haifa sembari menepuk pundak Zaskia.

"Iya Mbak."

"Eh tapi ngomong-ngomong, Rayhan kalau tidur ia suka pake pakaian yang seperti apa?" Tanya Haifa penasaran.

"Parah Mbak."

"Parah gimana?"

Zaskia kembali menghela nafas. "Dia itu kalau tidur suka gak pake baju, terus... Suka pake celana pendek tapi gak pake dalaman." Jelas Zaskia sembari menggelengkan kepalanya.

"Kok Uhkti tau?"

"Ya taulah Mbak, kan keliatan tonjolan di celananya dia kalau lagi gak pake dalaman." Jawab Zaskia santai, sementara Haifa tersenyum penuh arti.

"Besar gak?"

"Ya Allah Mbak, besar banget... Ana sampe merinding setiap kali ngeliatnya Mbak." Ungkap Zaskia jujur sembari menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Besar mana di bandingkan sama punya suami anti?"

Tanpa berfikir Zaskia menjawab. "Jauh Mbak, besar punya Rayhan." Jawabnya enteng.

Tawa Haifa sudah tak terbendung lagi, ia tertawa sejadi-jadinya, sampai beberapa orang yang ada di sekitar mereka terlihat kebingungan.

Sementara Zaskia tampak baru sadar atas apa yang ia ucapkan. "Astaghfirullah...." Lirihnya menyesal.

"Ya Allah Uhkti, pantes antum sampai bingung, hihihi..."

"Astaghfirullah.... Ya Allah."

Haifa tersenyum sembari memeluk lengan Zaskia. "Gak apa-apa Uhkti! Kita sama-sama perempuan, ana ngerti kok!" Ujar Haifa sembari mengedipkan matanya.

Zaskia mencoba menjelaskan maksud ucapannya kepada Haifa, agar saudara seimannya itu tidak sampai berfikiran negatif tentang dirinya. Tetapi sepertinya sudah terlambat, karena Haifa tetap memberikan senyuman misterius kepada Zaskia.

Hingga akhirnya mereka tiba di kantin sekolah, saat sedang menyantap makanan di kantin, kembali Zaskia mencoba menjelaskan ucapannya kembali kepada Haifa.

*****


Fatimah

Hj Fatimah tampak terkejut dengan kondisi kamar Hj Irma yang terlihat rapi dan bersih. Seprei putih yang membungkus kasurnya terlihat sangat bersih, seakan belum di sentuh sama sekali, membuat Hj Fatima bertanya-tanya, apakah Hj Irma benar-benar di tiduri oleh Pak Sobri? Kalau benar, lantas kenapa tempat tidurnya tidak berantakan.

Pak Sobri meraih kursi yang berada di dekat meja kerja KH Sahal, ia duduk santai sembari memandangi Hj Fatimah yang tampak kebingungan.

"Apa kita bisa mulai sekarang." Ujar Fatimah tak sabar.

Pak Sobri terkekeh pelan. "Sabar Bu Haja, sudah kebelet ya." Ledek Pak Sobri, membuat hati Fatimah bergetar menahan amarah.

"Yang sopan Pak! Atau akan saya batalkan perjanjian kita." Ancam Fatimah.

Pak Sobri meringis jengkel mendengar ancaman istri dari pimpinan pesantren. Tetapi ia berusaha bersikap tenang di hadapan mangsanya.

Tiba-tiba Hj Irma ikut masuk ke dalam kamar sembari membawa kamera di tangannya.

"Irma?" Fatimah tampak kebingungan.

Irma mendesah pelan. "Maaf Mbak, kata Pak Sobri ia butuh dokumentasi." Jelas Irma takut, kehadiran Hj Irma membuat Fatimah tidak bisa menerimanya. Ia merasa harga dirinya di lecehkan oleh Pak Sobri.

"Tidak perlu banyak basa basi, kita bisa mulai sekarang. Hmmm..." Pak Sobri mengetuk dagunya. "Mungkin kita bisa mulai dengan melepas pakaianmu." Ujar Pak Sobri, dari kilatan matanya terlihat sekali kalau ia sudah tidak sabar.

"Tidak dengan kamera Pak." Kesal Fatimah.

Pak Sobri berdiri, ia menatap marah kearah Fatimah. Dan tanpa banyak bicara Pak Sobri melangkah hendak keluar kamar, tapi di cegah oleh Irma.

"Mbak... Saya mohon! Anggap saja saya tidak ada." Melas Irma.

Fatimah mendengus kesal. "Ayo kita lakukan sekarang Pak! Saya ingin semuanya cepat selesai." Geram Fatimah.

Pak Sobri kembali duduk di kursinya, ia menyandarkan punggungnya sembari menatap Hj Fatima yang berdiri di depannya. "Buka pakaianmu!" Suruh Pak Sobri lagi.

Fatimah sempat melihat kearah Irma yang sedang mengarahkan kameranya kearah dirinya.

"Ya Allah apakah hambamu harus benar-benar melakukan ini semua?" Jerit hati Fatimah. Rasanya ia tidak Ridho kalau tubuhnya harus di lihat oleh pria lain selain Suaminya.

Tangan Fatima bergetar hebat saat dia melepaskan resleting gamisnya, membiarkan pakaian kebesaran miliknya jatuh kelantai. Pandangan mata Pak Sobri tidak lepas dari payudara Fatimah yang masih tertutup tanktop berwarna hitam, ia menunggu dengan penuh harap untuk menyaksikan payudara Fatimah dalam kondisi tidak tertutup sehelai benang pun.

Fatimah ingin berhenti, tapi ia sadar kalau semuanya sudah terlambat, perlahan ia melepas tanktop yang ia kenakan. Bh dan isinya yang putih mulus dan montok menjadi perhatian utama Pak Sobri.

Walaupun usia Hj Fatimah sudah memasuki kepala lima tetapi ia masih memiliki payudaranya yang terbilang masih kencang.

Fatimah meraih kancing BH di belakang punggungnya dan melepaskannya. Saat BH itu menggantung di atas payudaranya, air mata Fatimah sudah tidak terbendung ketika ia melepas BH miliknya, hingga putingnya terlihat oleh Pak Sobri. Ia merasa sangat berdosa karena membiarkan auratnya menjadi santapan pria lain.

"Lanjutkan." Suruh Pak Sobri tak sabar.

Irma menjulurkan tangannya, dengan ragu-ragu Fatimah memberikan BHnya ke Irma.

Dengan cepat ia menyilangkan satu tangannya diatas dadanya, berusaha menyembunyikan payudaranya yang berukuran 36F.

Kedua jemari Fatima menarik kedua sisi celana leging yang di kenakannya secara bergantian, perlahan ia menarik turun celana leging miliknya. Pak Sobri memperhatikan celana dalam yang di pakai Fatimah. Celana dalam hitam yang terlihat kontras dengan kulit Fatimah yang putih mulus.

Saat hendak melepas celana dalamnya, lagi-lagi Fatimah tampak ragu, hingga membuat Pak Sobri tidak sabar. Ia membuka tasnya dan melambaikan amplop coklat kearah Fatimah.

Istri KH Hasyim tau betul apa yang di inginkan Pak Sobri, ia mengumpulkan segenap keberaniannya, dengan satu tarikan nafas ia menarik celana dalamnya dan langsung menutup selangkangannya kembali. Ia berusaha menyembunyikan tubuh telanjangnya dengan menyilangkan kedua tangannya.

Pak Sobri sangat menikmati ekspresi wajah Fatimah yang tampak tidak nyaman. Sudah jelas bagi Pak Sobri bagaimana malunya Istri KH Syahal saat ini, Pak Sobri sangat yakin kalau dirinya adalah pria kedua yang beruntung bisa melihat Fatimah telanjang.

"Letakan tanganmu ke samping." Suruh Pak Sobri.

Fatimah tahu inilah saatnya. Saat-saat penentuan. Apakah dia akan menunjukkan tubuh telanjangnya pada laki-laki di hadapannya ini? Setelah mempertimbangkan resiko tidak melakukannya, Laras menarik napas panjang dan menyerah. Berdiri tegap dan bergetar hebat, Laras akhirnya mempersembahkan keindahan tubuh telanjangnya yang luar biasa mempesona pada pria selain suaminya. Fatimah sangat membenci tatapan mesum Pak Sobri pada dirinya, tapi ia tak berdaya.

Terlihat dari raut wajah Sobri, ia tampak mengagumi kesempurnaan tubuh Fatimah. Di usianya yang sudah tidak muda lagi, Hj Fatimah masih memiliki sepasang payudara yang indah berukuran jumbo dengan putting yang cukup besar menghiasi payudaranya.

Perutnya yang sedikit berlemak dan memeknya yang di tumbuhi rambut lebat, sama sekali tidak mengurangi keindahan tubuh Hj Fatimah.

Sementara itu Irma dengan keahlian ala kadarnya mengezoom muka Fatimah yang tampak gelisah, lalu turun merekam sepasang payudara Fatima yang berukuran 36F dengan puting berwarna kecoklatan yang cukup besar.

Kamera ia arahkan kebawah, menuju selangkangan Fatimah yang tampak rimbun, hingga menambah keseksian tubuh Fatimah.

Sebagai seorang wanita, Irma tampak iri melihat kesempurnaan tubuh Istri dari Kakak Iparnya itu. Walaupun usianya sudah 51 tahun, tetapi Fatimah masih memiliki tubuh yang sempurna seperti wanita berusia 30an.

"Berbaliklah dengan perlahan." Suruh Pak Sobri.

Fatimah menurut, ia berputar dan berhenti ketika pantatnya berada di hadapan Pak Sobri. Di usianya yang sudah memasuki kepala lima, pantat Fatimah terbilang masih sangat kencang dan merangsang.

"Membungkuk dan buka kedua kakimu. Lalu lihatlah kemari melalui sela-sela kakimu." Suruh Pak Sobri.

Fatimah menahan nafas ketika ia melihat Pak Sobri dari sela-sela kedua kakinya. Tampak celana panjang hitam dan dalaman Pak Sobri sudah ia lepas, dan kontolnya yang tegang berdiri kokoh seakan tengah menodongnya. Tidak hanya keras, kontol Pak Sobri juga berurat dan besar melebihi milik Suaminya, KH Hasyim.

Bulu-bulu halus di tubuhnya tampak merinding membayangkan kontol Pak Sobri yang akan mengaduk-aduk liang kewanitaannya.

Kemudian Irma berjongkok di depan pantat Fatimah, kedua jarinya membuka cela-cela pipi pantat Kakak Iparnya sembari merekam lobang pantat Fatimah yang terlihat berkedut-kedut, mekar seperti bunga mawar. Irma tersenyum diam-diam.

Fatimah menjadi panik, ia malu salah satu lobang intimnya di lihat dengan jarak yang begitu dekat.

"Irma... Jangan di rekam!" Mohon Fatimah.

Tetapi Irma tidak memperdulikannya, ia merekam dari jarak yang sangat dekat. "Masih perawan Pak." Ujar Irma mengkonfirmasi status pantat Fatimah kepada Pak Sobri yang tersenyum kegirangan.

"Kemarilah, dan berdiri di sampingku." Suruh Pak Sobri.

Fatimah melangkah perlahan mendekati Pak Sobri dan berdiri di sampingnya. Ia sempat menghindar ketika Pak Sobri mengelus pahanya, tetapi pada akhirnya ia berdiri diam dan membiarkan Pak Sobri membelai paha mulusnya, naik turun hingga berhenti di kemaluannya.

Irma mendekatkan kamera kearah selangkangan Fatimah yang tengah di jamah oleh Pak Sobri. Perlahan kamera Irma dapat menangkap cairan bening yang keluar dari celah-celah bibir kamaluan Fatimah.

"Ya Tuhan..." Jerit Fatimah, ketika ia merasakan jari manis Pak Sobri masuk ke dalam memeknya.

Irma memfokuskan kameranya merekam kedua jari Pak Sobri yang berada di dalam memek Kakak Iparnya. Tampak jari itu bergerak maju-mundur, menusuk lembut memek Fatimah. Sesekali jemari itu berputar, mengorek-ngorek kemaluannya Fatimah.

Jemarinya yang tadi kering kini terlihat basah, di selimuti oleh lendir kewanitaan Fatimah. Sebagai seorang wanita Irma sangat memahami yang di rasakan Kakak Iparnya.

"Sudah basah ya Bu Haja?" Tanya Pak Sobri.

"Sssstttt.... Eeehkk...." Lenguh Fatimah, ia berusaha menutupi kegelisahannya saat ini.

Fatimah tidak tau berapa lama lagi ia bisa menahan rasa malunya. Sebagai Istri soleha, ia sangat malu terhadap dirinya sendiri. Bagaimana mungkin jemari tua itu bisa membuatnya basah. Dan parahnya lagi, Irma merekam momen tersebut.

Cukup lama Pak Sobri mengorek-ngorek kemaluannya, mencolok dan menusuk-nusuk memeknya. Fatimah akhirnya bisa bernafas lega ketika Pak Sobri mencabut jarinya.

"Sini, duduk di pangkuan saya." Suruh Pak Sobri.

Fatimah menggelengkan kepalanya. "Tolong Pak, saya tidak bisa, ini bisa menjadi skandal! Saya mohon Pak, ini zinah." Fatimah merengek.

"Masukan kontol saya ke memek kamu, atau?" Ancam Pak Sobri.

Tubuh Fatimah terasa lemas mendengar ancaman tersebut, Fatimah mengerti kalau ia tidak punya pilihan, kecuali menuruti apa yang di inginkan Pak Sobri. Fatimah menatap Irma yang di jawab anggukan kecil oleh Irma. Perlahan ia merangkak naik keatas selangkangan Pak Sobri. Ia mencoba memasukan kemaluannya Pak Sobri tanpa menyentuhnya, tetapi usahanya gagal.

Dengan sangat terpaksa Fatimah menggenggam dan menuntun kontol Pak Sobri ke depan bibir kemaluannya. "Maafin hambamu ini ya Allah." Jerit hati Fatimah.

"Aaahkk... Sssttt..." Desah Fatimah.

Inci demi inci kontol Pak Sobri membela, menembus bibir kemaluannya. Fatimah bisa merasakan kontol gemuk itu menjamah dinding rahimnya, terasa keras dan kaku di dalam sana. Fatimah dan Pak Sobri saling bertatapan ketika kontol itu masuk ke dalam rahimnya.

Pak Sobri tersenyum puas karena bisa menikmati jepitan hangat kemaluan dari seorang Istri soleha, seorang Istri pemimpin pondok pesantren. Ada kebanggaan dari dalam diri Pak Sobri bisa tidur dengan seorang wanita sealim Fatimah.

Sementara Irma tampak tertegun melihat kontol Pak Sobri yang menembus memek Kakak Iparnya.

Tangan Pak Sobri meraih buah dada Fatimah yang besar, montok dan kencang itu. Ia mengelus, meremas dan memilin puting Fatimah.

Sebisa mungkin Fatimah untuk tidak terangsang oleh sentuhan Pak Sobri, tapi ia gagal, putingnya membesar dan mengeras. Sementara di bawah sana, memek Fatimah berhasil memandikan kontol Pak Sobri dengan lendirnya.

"Oughk... Enak sekali Bu Haja! Aaahkk..." Desah Pak Sobri.

Kedua tangan Pak Sobri menangkup pantatnya, mengangkat lalu menurunkannya, mengangkatnya lagi dan menurunkannya lagi, Pak Sobri melakukannya berulang-ulang dengan di ritme perlahan.

Sementara bibirnya meraih payudara Fatimah, ia menjilat dan menghisap puting Istri Soleha tersebut berulang kali secara bergantian kiri dan kanan, membuat Fatimah mulai kehilangan jati dirinya sebagai seorang Ustadza di pondok pesantren Al-fatah.

Tanpa sadar perlahan Fatimah menggerakkan sendiri pantatnya naik turun, menyambut kontol Pak Sobri.

Pak Sobri memanfaatkan momen tersebut dengan menjamah pantat bahenol Istri KH Hasyim, jemarinya mengelus, menstimulasi lobang anus Fatimah.

"Oughk... Ya Tuhan..." Pekik Fatimah sembari memeluk kepala Pak Sobri yang berada di payudaranya.

"Uhhmmm... Sruuuupsss... Sluuuppsss... Sluuuppsss..." Dengan rakus Pak Sobri menghisap payudaranya, seperti balita yang sedang kelaparan.

Rasa nikmat yang menderanya membuat Fatimah tanpa sadar semakin keras menghentak-hentakkan pantatnya ke bawah, hingga kontol Pak Sobri mentok ke dalam rahimnya.

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

Fatimah menggeleng-gelengkan kepalanya, ia berusaha untuk tidak sampai orgasme. Tetapi usahanya terasa semakin sulit, ketika satu jari Pak Sobri tiba-tiba menusuk lobang anusnya.

"Aaaaaaaaasssrrrrrtttttt...." Jerit Fatimah.

Pantatnya tersentak-sentak, sembari menahan nafas, tampak cairan cintanya meledak, berhamburan keluar seperti air bah yang sudah tidak tertampung lagi. Momen tersebut tidak luput dari tangkapan kamera yang di pegang oleh Irma.

Fatimah merasa seperti terbang ke nirwana, tubuhnya mendadak lemas jatuh ke dalam pelukan Pak Sobri.

Selama beberapa menit Pak Sobri membiarkan Fatimah mengumpulkan kembali tenaganya yang terkuras habis, lalu dengan perlahan Pak Sobri menggendong Fatimah menuju pembaringan. Ia menindih Fatimah, sembari menatap mata Fatimah yang tampak sayu.

"Sudah berapa lama kamu kekeringan?" Tanya Pak Sobri.

Irma memalingkan wajahnya, ia merasa sangat malu untuk saat ini. "Cukup Pak, saya mohon." Melas Fatimah, tapi ia hahya diam ketika Pak Sobri mengangkat satu kakinya, sembari mengarahkan terpedonya ke depan bibir memeknya.

"Ayo jawab." Paksa Pak Sobri.

"Dua... Dua tahun Pak!" Jawab Fatima di depan kamera Irma.

Rasanya malu sekali ketika ia harus mengakui hubungan ranjangnya di depan kamera, di hadapan Adik iparnya yang sibuk merekam kegiatan mereka.

Pak Sobri mendorong kembali kontolnya, masuk ke dalam lobang peranakan Fatimah. "Mulai hari ini, kamu tidak akan pernah kekeringan lagi." Dengan perlahan Pak Sobri mendorong, menarik, lalu mendorong lagi dan menarik lagi kontolnya dari dalam memek Fatimah.

"Aaahkk... Aaahkk... Pak! Aaahkk... Ya Tuhaaaan... Pak... Aaahkk..." Erang Fatimah keras.

Semakin lama Pak Sobri semakin cepat menyodok-nyodok memek Fatimah, membuat tubuh Fatimah tersentak-sentak hingga kedua payudaranya yang berukuran jumbo berayun-ayun.

Tidak butuh waktu lama Fatimah kembali di buat orgasme. Walaupun tidak sedahsyat sebelumnya, tapi tetap saja menguras tenaganya.

"Nungging sekarang! Ini penutup." Suruh Pak Sobri.

Dengan sisa-sisa tenaganya Fatimah memutar tubuhnya, ia mengangkat pantatnya di depan Pak Sobri yang tampak mengagumi bulatan pantat Fatimah. Jemari Pak Sobri membelai dan menampar pelan pantat Fatimah hingga memerah.

Fatimah yang terlalu lelah hanya pasrah ketika Pak Sobri membuka pipi pantatnya, mengelus lobas anusnya yang berkedut-kedut.

Pak Sobtri meludahi kejantanannya, lalu meludahi lobang anus Fatimah yang masih perawan.

"Pak..." Lirih Fatimah.

"Sakitnya cuman sebentar, nanti juga kamu akan keenakan." Jawab Pak Sobri enteng.

Fatimah memohon memelas saat merasakan kepala kontol Pak Sobri sudah berada di depan pintu anusnya. Sementara Irma dengan siaga merekam momen terpenting hari ini.

Tidak muda memang, tapi Pak Sobri terus mencobanya walaupun beberapa kali menemui kegagalan. Hingga akhirnya dengan perlahan kepala kontol Pak Sobri mendobrak pintu anus Fatimah yang masih rapet.

"Ya Tuhaaaaaan.... Sakiiiiiit..." Jerit Fatimah.

Tangan Sobri memegangi pinggul Fatimah, sembari terus mendorong kontolnya, hingga mentok.

Kedua tangan Fatimah mencengkram erat seprei tempat tidur Irma dan Suaminya. Ia melolong sakit, merasakan perih di anusnya. Fatimah merasa perutnya mules karena di masukan benda asing dengan ukuran yang sangat besar.

"Sssttt... Aaahkk... Sempit sekali." Gumam Pak Sobri.

Kedua tangan Pak Sobri mencengkeram pantat Fatimah, menikmati pijitan hangat cincin anus Fatimah di kemaluannya.

"Cabut Pak... Oughk... Perih... Ya Tuhaaaan... Paaaak... Aaahkk..." Desah Fatimah.

"Jangan di lawan! Sssstt.... Aaahkk... Nikmati saja Bu Haja." Bisik Pak Sobri.

"Aaahkk... Aaahkk... Aaahkk..."

Perlahan Pak Sobri menarik penisnya keluar, membuat Fatimah tampak mengejan karena rasa sakit itu kembali menyiksa.

Ketika penisnya hampir terlepas dari genggaman anus Fatimah, Pak Sobri kembali mendorongnya dengan perlahan. Awalnya ia melakukan gerakan tersebut dengan tempo pelan, tapi lama kelamaan ia mulai meningkatkan tempo sodokannya.

"Eeeeeeengkkkkk......" Erang Fatimah.

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

"Oohk... Enak sekali Bu Haja! Pantat Ibu enaaak... Aaaahkk... Sssstt...." Ujar Pak Sobri yang semakin menggila menyodok-nyodok lobang anus Fatimah.

Plaaaak... Plaaaak... Plaaaak...

Layaknya seorang joki, Pak Sobri menunggangi Fatimah sembari menampar pantat Fatimah.

"Aaahkk... Aaahkk... Aaahkk..." Desah Fatimah.

Rasa sakit yang sempat ia rasakan perlahan memudar dan di gantikan dengan rasa nikmat yang sulit ia gambarkan. Fatimah sendiri tidak mengerti kenapa ia bisa menikmati perzinahan terlarang ini.

Tidak lama kemudian untuk ketiga kalinya Fatimah di buat tak berdaya.

"Ouuuuuuuughhhkkk....."

Seeeeeeeerrrr.... Seeeeeeeerrrr.... Seeeeeeeerrrr....

"Saya sampe Bu Haja." Jerit Pak Sobri tiba-tiba.

Ia menekan sedalam mungkin penisnya di dalam anus Fatimah. Setelah berkedut beberapa kali, sperma Pak Sobri meledak di dalam anus Fatimah.

Croootss... Croootss... Croootss...

"Oughk...." Lenguh Pak Sobri.

Pak Sobri tersenyum puas, ia mebaringkan tubuhnya ke samping, mengistirahatkan tubuhnya yang terasa lelah. Tetapi di balik rasa lelah itu Pak Sobri merasa puas karena telah membobol gawang belakang Istri dari pimpinan pondok pesantren, Istri dari pesaing politiknya.

Fatimah memejamkan matanya, ia masih dapat merasakan hangatnya sperma Pak Sobri.

Jauh di lubuk hatinya ia merasa bersalah karena telah mengkhianati Suaminya. Fatimah merasa malu terhadap dirinya sendiri yang dengan mudanya menikmati pemerkosaan yang ia alami.

Beberapa menit kemudian, masih dengan posisi tengkurap, Fatimah melihat Pak Sobri mengenakan kembali pakaiannya. Pria itu tersenyum dengan bangga menatap Fatimah.

"Terimakasih atas kerjasamanya Bu Haja." Ucap Pak Sobri sembari meninggalkannya di dalam kamar Adik iparnya.

Irma mendekati Fatimah, menatap Kakak Iparnya yang tergolek lemas. Ia membantu Fatimah untuk duduk, perlahan ia memeluk iparnya tersebut, menenangkan Fatimah yang menangis di dalam pelukannya.

"Maaf Mbak, tapi terimakasih sudah membantu kami." Ujar Irma.

"Tolong rahasiakan ini dari Abinya anak-anak."

Irma mengangguk...

Kemudian Irma membantu Kakak Iparnya kembali mengenakan pakaian. Sepintas Fatimah melihat seprei tempat dirinya di eksekusi, diatas seprei yang sudah tidak lagi berbentuk itu, ia melihat bercak darah dan sperma dari anusnya.

*****


Laras

Suara azan berkumandang melalui Manara masjid yang menjulang tinggi. Suara sang Muazin yang begitu merdu, mampu menggetarkan hati siapapun yang mendengarkannya dengan khusuk. Tidak lama kemudian, beberapa santri dan ustadz-ustadza berbondong-bondong menuju masjid. Dalam sekejap masjid di penuhi oleh orang-orang yang ingin melaksanakan ibadah.

Di tempat yang berbeda, terlihat seorang pemuda berdiri di depan sebuah rumah. Sesekali wajahnya meringis menahan hawa panas matahari yang menerpa wajahnya.

Sudah hampir setengah jam lamanya ia berdiri di depan pintu seorang diri. Menahan hawa panas yang membakar kulitnya, membuatnya mendumel kesal. Ingin rasanya ia segera meninggalkan rumah tersebut, tetapi sayangnya ia tidak memiliki tujuan lain.

Tok... Tok... Tok...

"Assalamualaikum!" Panggilnya untuk ke sekian kali.

Lima menit kemudian pintu itu akhirnya terbuka. Tampak seorang wanita paruh baya berparas cantik keluar dari dalam rumahnya. Wanita tersebut adalah Laras, istri dari KH Umar. Di usianya yang sudah berkepala empat, ia masih terlihat begitu cantik. Dan kecantikannya mampu menghipnotis pemuda yang ada dihadapannya saat ini.

Butuh waktu beberapa detik untuk mengembalikan kesadaran Daniel.

"Waalaikumsalam! Daniel?" Ujar Laras memastikan.

Pemuda itu tersenyum lega. "Iya Amma, ini saya Daniel." Ujar Daniel sembari menyalami tangan Laras. Bibir tebalnya mencium hangat punggung tangan Laras.

"Subhanallah, sekarang kamu terlihat semakin tampan, terakhir kita ketemu kamu masih terlihat kudel. Hihihi..." Laras tertawa renyah, ia tidak menyangkah kalau Daniel akan tumbuh menjadi pemuda yang sangat tampan.

Daniel tersenyum senang mendengarnya. "Amma juga masih terlihat sangat cantik!" Balas Daniel.

"Bisa saja kamu Dan!"

"Bener kok Amma, tadi saya kira anaknya Amma yang keluar menyambut saya, eh... Gak taunya Amma sendiri."

Laras tertawa semakin keras, ia tidak menyangkah kalau dirinya ternyata masih begitu cantik. Sebagai seorang wanita sudah sewajarnya kalau ia merasa senang karena di sejajarkan dengan anak remaja.

"Uda ah ngegombalnya, nanti Amma malah terbang lagi." Ujar Laras sembari tersenyum manis. "Gimana kabar kamu Dan?" Tanya Laras, mengalihkan pembicaraan.

"Alhamdulillah, baik Amma, kabar Amma sendiri bagaimana?" Tanya Daniel sopan. Tapi sayang, matanya tidak sesopan mulutnya. Diam-diam mengamati wajah cantik Istri dari KH Umar yang berseri indah, bagaikan bunga mawar yang tengah mekar. Ia berfikir betapa beruntungnya kalau dirinya bisa meniduri wanita yang ada di hadapannya saat ini.

Matanya turun menuju sepasang gunung kembar yang terbungkus rapi di balik hijab hitam yang di padu dengan gamis berwarna coklat muda.

Laras sama sekali tidak menyadari kenakalan Daniel yang berani memandangi kemolekan sepasang gunung kembar miliknya yang amat ia banggakan.

"Alhamdulillah, Amma juga baik! Ayo masuk dulu Dan. Gak enak ngobrol di luar." Ajak Laras.

"Iya Ma"

*****


Julia

Setengah berlari Rayhan menerobos hujan yang mulai turun dengan perlahan. Tepat saat ia berada di depan rumahnya, pada saat bersamaan Ustadza Julia, tetangganya juga baru saja tiba di depan rumahnya. Dengan sopan Rayhan menyapa Ustadza Julia yang tampak basah kuyup.

"Assalamualaikum Ustadza?" Sapanya.

Ustadza Julia tampak tersenyum manis. "Waalaikumsalam, kamu kehujanan juga?"

"Iya Ustadza, hehehe..."

"Buru-buru ganti baju, nanti masuk angin loh!" Nasehatnya. "Ustadza duluan ya." Sambungnya lagi.

Rayhan mengangguk sembari memperhatikan Ustadza Julia, hingga akhirnya Ustadza Julia menghilang dari balik pintu rumahnya.

Rumah yang di tempat Zaskia dan Rayhan memang berbentuk kos-kosan empat pintu. Pintu pertama di isi Ustadza Rumi dan Suaminya, pintu ke dua Zaskia, ke 3 Julia, ke 4 di isi oleh dua orang Ustadza Maryam dan Ustadza Sarah dan yang ke 5 di isi oleh Mbak Inem dan Suaminya Pak Pur. Biasanya rumah tersebut di tempati oleh Ustadza atau pekerja yang berstatus lajang atau Ustadza yang baru menikah dan belum memiliki anak atau baru memiliki satu anak, seperti Ustadza Rumi, Zaskia dan Mbak Inem.

Rayhan segera masuk ke dalam rumahnya yang berukuran 6X9. Di rumah yang sederhana itu terdapat satu ruang tamu sekaligus ruang keluarga, dua kamar tidur yang hanya di sekat menggunakan triplek, satu ruangan dapur dan kamar mandi berukuran 2X2 meter.

Setelah berganti pakaian Rayhan pergi ke dapur untuk mengisi perutnya, saat ia melihat ke jendela dapurnya ia melihat Mbak Inem yang sedang mengangkat jemuran.

Tanpa pikir panjang Rayhan langsung keluar rumah dan membantu Mbak Inem yang sedang bekejaran dengan waktu mengangkat jemuran sebelum hujan turun semakin deras.


Inem

Beruntung mereka tepat waktu, setelah membawa jemuran terakhir ke dalam rumah Mbak Inem, tiba-tiba hujan turun dengan deras.

"Untung ada kamu Ray." Ujar Mbak Inem lega.

Rayhan tersipu malu mendapat pujian dari Mbak Inem. "Eh iya Ustadza." Ujar Rayhan seraya garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

"Loh kok Ustadza? Panggil saja Mbak. Saya kan tidak mengajar di sini." Ujar Mbak Inem.

"Iya maaf Mbak."

Mbak Inem tersenyum sembari merapikan pakaiannya yang berantakan di ruang depan.

"Saya pulang dulu ya Mbak!"

"Loh mau kemana? Ini masih hujan Ray! Sudah di sini saja temanin Mbak ngelipat baju." Cegah Mbak Inem, membuat Rayhan sedikit kegirangan, karena itulah yang dia mau.

"Pak Purnomo sama Nikita belum pulang Ust... Mbak?" Tanya Rayhan berbasa-basi.

"Belum, mungkin masih ada urusan di kantor." Pak Purnomo Suami Mbak Inem memang bekerja di kantor pusat pesantren sebagai office boy, tidak jarang ia pulang sore ataupun malam hari setiap kali ada rapat di kantor pusat ataupun ada kegiatan lainnya. Sementara Mbak Inem sendiri tidak bekerja di pesantren.

Mendengar Pak Purnomo belum pulang, membuat Rayhan semakin bersemangat, bahkan di dalam hati ia berharap hujan tidak cepat reda.

"Mbak ganti baju dulu ya basah ni." Ujar Mbak Inem.

Rayhan mengangguk, di dalam hatinya ia kecewa karena dengan gamis yang agak basah, ia bisa melihat lekuk tubuh Mbak Inem.

Tetapi kekecewaan Rayhan sirna ketika melihat Mbak Inem yang telah berganti pakaian keluar dari dalam kamarnya. Sanking kagetnya Rayhan sampai melongok melihat Mbak Inem yang mengenakan kebaya berwarna putih semi transparan yang di padu kain kemben yang panjangnya hanya satu jengkal dari selangkangan Mbak Inem.

Kemudian Mbak Inem duduk lesehan di dekat Rayhan dengan posisi kaki yang ia lipat ke belakang, membuat kain kembennya ketarik makin keatas, memperlihatkan kulit pahanya yang mulus.

Sembari memperhatikan Mbak Inem melipat pakaian, diam-diam Rayhan mengintip belahan payudara Mbak Inem sela-sela kerah leher kebaya yang di kenakan Mbak Inem. Ketika lagi sedang asyik-asyiknya mengintip, aksinya malah ketahuan Mbak Inem.

"Hayo liat apa kamu?" Tegur Mbak Inem.

Rayhan buru-buru memalingkan wajahnya. "Eh... Maaf Mbak! Hehehe..." Tawa Rayhan garing setelah aksinya ke pergok oleh tetangganya.

"Nanti Mbak aduin sama Mas Pur loh?"

"Ya Allah Mbak kejam banget!" Sungut Rayhan, sembari memandang Mbak Inem yang tengah tersenyum manis kearahnya.

"Makanya jangan macem-macem!"

"Hehehe... Iya deh Mbak."

Mbak Inem mengubah kembali posisi duduknya dengan menyamping, membuat kainnya tersingkap semakin tinggi.

Walaupun tidak begitu jelas, Rayhan dapat melihat selangkangan Mbak Inem yang di balut kain segitiga berwarna putih yang membungkus vaginanya. Pemandangan tersebut membuat terpedo Rayhan kian memberontak di balik celananya.

"Kok bengong? Gak mau bantuin Mbak ni?" Sindir Mbak Inem.

Rayhan bergegas mengambil salah satu pakaian yang ada di depannya dan membantu Mbak Inem melipatnya. "Maaf Mbak, habisnya Mbak Inem cantik banget jadi pangling." Gombal Rayhan, sembari mencuri pandang kearah selangkangan Mbak Inem.

"Apanya yang cantik, Mbak ini orang kampung, gak ada cantik-cantiknya."

"Malah orang kampung itu Mbak, cantiknya natural, kayak Mbak Inem." Ujar Rayhan sedikit berbisik membuat Mbak Inem tersipu malu mendengarnya.

"Hihihi... Sudah pintar ngegombal ya sekarang kamu." Ujar Mbak Inem sembari menyentil hidung Rayhan.

Mereka berdua pun tertawa bersamaan, dan tanpa mereka sadari hujan sudah sedari tadi berhenti. Sembari melipat pakaian Mbak Inem, mata Rayhan berulang kali melirik kearah payudara dan selangkangan Mbak Inem secara bergantian.

Walaupun Mbak Inem tau kelakuan nakal Rayhan, tetapi ia mendiamkannya dan pura-pura tidak menyadari kenakalan Rayhan.

Karena pada dasarnya sebagai seorang wanita, Mbak Inem merasa bangga kalau ada seorang pria mengagumi kecantikan tubuhnya, di tambah lagi Rayhan adalah sosok pria yang terlihat jantan di mata Mbak Inem.

Perlahan ia menggerakkan kakinya yang sedaritadi di tekuk ke samping, ia meluruskan kakinya sebentar lalu melipatnya dengan posisi duduk bersila, alhasil kain kemben yang di kenakan Mbak Inem semakin tersingkap, memamerkan sepasang paha mulusnya dan gundukan tebal yang terbungkus kain segitiga berwarna putih.

Rayhan sampai menelan air liurnya yang hambar saat melihat celana dalam Mbak Inem yang sudah terlihat lecek karena memeknya yang mulai basah.

"Gimana sekolah kamu Ray?" Tanya Mbak Inem hanya sekedar berbasa-basi.

"Begitulah Mbak, bosen..."

Mbak Inem tampak menghela nafas. "Kok gitu, gak boleh males-malesan, kasihan loh sama Kakak kamu, nanti kalau nilai kamu jelek Kakak ipar kamu juga yang akan kena imbasnya." Nasehat Mbak Inem.

Rayhan hanya manggut-manggut, ia tidak begitu mendengarkan ucapan Mbak Inem, karena matanya fokus memandangi selangkangan Mbak Inem yang terlalu menggairahkan, membuat darah mudanya bergejolak liar dan hampir tidak mampu ia tahan.

Mbak Inem yang menyadari nasehatnya tidak di gubris Rayhan, hanya geleng-geleng kepala sembari tersenyum memakluminya.

"Bentuknya lucu ya Mbak?" Tutur Rayhan, sembari memegangi g-string milik Mbak Inem berwarna merah.

"Lucu gimana?"

"Di depannya mirip kupu-kupu, tapi di belakangnya cuman tali segaris." Ujar Rayhan mendiskriminasikan bentuk celana dalam yang ia pegang saat ini.

Mbak Inem tertawa renyah. "Kamu suka?" Goda Mbak Inem, sembari menatap Rayhan dengan tatapan yang menggoda iman kelakuan Rayhan. Merasa tertantang Rayhan pun memberanikan diri berterus terang.

"Suka! Keliatan lebih seksi." Jawab Rayhan, sembari menatap gundukan di selangkangan Mbak Inem.

Seakan tidak mau kalah Mbak Inem menekuk lututnya keatas, sembari menaruh tangannya ke belakang, menjadi penyanggah tubuhnya. "Lebih suka warna merah apa warna putih?" Pancing Mbak Inem.

Rayhan tidak langsung menjawab, ia memandangi Mbak Inem dari dadanya yang membusung ke depan, hingga turun menatap nanar selangkangan Mbak Inem yang dibungkus celana dalam berwarna putih yang terlihat semakin basah.

Mbak Inem dengan sengaja membuka lututnya lebih lebar, hingga Rayhan dapat melihat lipatan di selangkangannya, dan tampak rambut-rambut hitam menyembul keluar dari sela-sela pinggiran celana dalam yang di kenakannya.

"Ehmmm..." Rayhan pura-pura berfikir, kemudian dengan terang-terangan ia menatap selangkangan Mbak Inem. "Lebih suka warna putih." Jawab Rayhan.

Mbak Inem kembali tersenyum, dan sedetik kemudian ia kembali merubah posisi duduknya sembari menarik kebawah kainnya, menutup akses pemandangan indah yang memanjakan mata si pemuda yang ada depannya saat ini.

Rayhan tampak menghela nafas kecewa, membuat Mbak Inem terkikik.

"Hihihi... Kayaknya ada yang kecewa." Sindir Mbak Inem.

"Sangat kecewa." Jawab Rayhan pelan.

"Hihihi... Astaghfirullah..." Tawa Mbak Inem makin kencang. "Udah ah, Mbak ke kamar mandi dulu ya, gak tahan." Kata Mbak Inem sembari mengedipkan matanya kearah Rayhan.

Rayhan melongok dengan mulut terbuka sembari memandangi Mbak Inem dari belakang, hingga akhirnya menghilang dari pandangannya.

Selama menunggu Mbak Inem, Rayhan terlihat tidak tenang, beberapakali ia terlihat memperbaiki celananya yang terasa sempit dan sesak. Sepuluh menit kemudian, akhirnya Mbak Inem kembali menemui Rayhan dengan raut wajah tegang.

"Kamu ke kamar mandi dulu sana! Dari pada ngompol di sini." Ujar Mbak Inem.

"Eh iya Mbak!"

"Ray, jangan lupa di bersiin... Jangan sampe ada jejak." Kata Mbak Inem yang membuat Rayhan menjadi salah tingkah.

Di dalam kamar mandi milik Mbak Inem, ia menemukan celana dalam putih milik Mbak Inem yang tadi di kenakan Mbak Inem. Karena sudah tidak tahan Rayhan buru-buru onani dan menjadikan celana dalam Mbak Inem sebagai media masturbasi nya.

Setelah beberapa menit Rayhan menuntaskan hasratnya, tampak lelehan sperma Rayhan mengenai celana dalam Mbak Inem.

"Mbak Inem... Ughk..." Lirih Rayhan.

Setelah kesadaran nya kembali, Rayhan tersadar kalau saat ini Mbak Inem pasti tidak memakai dalaman. Mengingat celana dalamnya ada di dalam kamar mandi. Tentu saja mengetahui fakta tersebut membuat Rayhan semakin bersemangat.

Tetapi semangat itu mendadak hilang tak bersisa ketika ia membuka pintu kamar mandi, ia melihat Mbak Inem yang sedang memanaskan air.

"Mbak..." Panggil Rayhan.

Mbak Inem yang telah berganti pakaian dengan gamis bermarna hijau tua menoleh kearahnya seraya tersenyum. "Ada Mas Tarno." Ujar Mbak Inem seakan menjawab kebingungan Rayhan. Kemudian dengan bibirnya ia mengisyaratkan Rayhan untuk segera pergi dari pintu belakang.

Dengan perasaan campur aduk, Rayhan bergegas meninggalkan rumah Mbak Inem dari pintu belakang, tempat ia masuk sebelumnya.

Mbak Inem tersenyum memandang Rayhan yang buru-buru keluar dari rumahnya.

*****


Kartika

Kartika sedang berada di dapur ketika Pak Hasan mertuanya baru tiba dari kampung. Dia menyambut pria paruh baya itu dengan senyuman hangat, mengamit dan mencium punggung tangan Mertuanya yang mulai keriput di makan usia.

Ada getaran aneh yang di rasakan Pak Hasan ketika merasakan bibir lembut Kartika di kulit keriputnya. Diam-diam ia memandangi wajah cantik nan putih mulus menantunya itu.

Di dalam hati ia memuji wanita pilihan anaknya tersebut. "Apa kabar Nduk?" Tanyanya.

"Alhamdulillah baik Pak! Gimana kabar Bapak?"

"Alhamdulillah, Bapak juga baik."

Kartika segera mempersilahkan mertuanya masuk. "Masuk Pak!" Ujarnya.

Pak Hasan memasuki rumah sederhana yang di huni oleh Putra dan menantunya itu. Tidak ada yang istimewa dari rumah yang mereka tempati. Di ruang tamu itu hanya terdapat sofa kecil dengan meja kecil, di depannya terdapat tv 21inc merek LG. Dinding rumah mereka yang bercat putih sudah terlihat kusam, dan hanya ada satu hiasan, yaitu foto keluarga saat mereka menikah dulu di dinding rumah tersebut.

Sembari menyandarkan tubuhnya Pak Hasan menghela nafas panjang. Tidak lama kemudian Kartika muncul sembari membawakan segelas teh hangat.

"Di minum Pak!" Ujar Kartika.

Pak Hasan tersenyum. "Terimakasih Nak Kartika, kamu jadi repot gini."

Kartika duduk di samping Pak Hasan. "Enggak repot kok Pak! Kartika malah senang di kunjungi Bapak." Ujar Kartika. "Maaf ya Pak, gak bisa jemput di terminal, Mas Rifki sedang ada kerjaan mendadak." Sebagai menantu ia merasa bersalah kepada Mertuanya karena tidak bisa menjemput mertuanya.

"Gak apa-apa, Bapak maklum."

Merekapun mengobrol ringan, layaknya keluarga yang sudah lama tidak bertemu. Tidak terasa hari semakin sore, suara ngaji yang terdengar dari menara masjid menandakan kalau sebentar lagi akan memasuki shalat magrib.

Kartika mempersilahkan mertuanya beristirahat di kamar kosong berada dekat dengan ruang tamu. Setelah itu Kartika segera mandi.

Selepas kepergian Kartika, Pak Hasan menerima telpon dari anaknya, dan memberitahu kalau anaknya tidak bisa pulang lebih awal, di karenakan ia masih ada urusan di luar pesantren. Pak Hasan sama sekali tidak mempermasalahkannya.

Selepas menerima telpon Pak Hasan hendak memberitau menantunya.

Tetapi ketika ia hendak mengetuk pintu kamar anaknya, ia melihat pintu Kartika yang tidak tertutup rapat, membuat Pak Hasan mengurungkan niatnya.

Dengan cara mengendap-endap ia mengintip menantunya yang ternyata baru saja selesai mandi dan hendak berganti pakaian. Di dalam kamarnya, Kartika masih mengenakan kimono dan handuk menutupi kepala hingga leher dan dadanya.

Karena tidak sadar sedang di awasi, dengan santainya Kartika melepas handuknya dan membiarkan rambut bergelombangnya terurai. Kemudian Kartika melepas lilitan kimononya, dan dengan perlahan menanggalkan kimononya.

Dari belakang Pak Hasan tampak terbengong, air liurnya menetes, menatap nanar punggung dan pantat bahenol menantunya. Tanpa di komando, sang terpedo langsung memasuki mode berperang.

Sembari menelan air liurnya, ia mengurut-urut kemaluannya yang telah tegang maksimal.

Dengan santainya Kartika mengambil pakaian dari dalam lemari, ia memakai satu persatu pakaian nya, dari celana dalam, beha, hingga celana dan baju tidur jenis piyama berwarna merah muda. Pak Hasan tidak melewati sedetikpun momen berharga tersebut.

Sembari mengusap bibirnya, Pak Hasan pergi seraya menyunggingkan senyuman misterius. Sementara Kartika sempat melihat sekelebat bayangan seseorang dari depan pintu kamarnya.

*****


Laras


Aurel

Selepas shalat isya hujan turun sangat lebat beserta angin kencang. Pohon-pohon besar yang berjejer di tepian sungai tampak bergoyang mengikuti alunan angin yang seakan ingin menerbangkan mereka, akibatnya banyak daun-daun pohon tersebut yang berguguran.

Di jalanan tampak beberapa santri berlindung di balik kain sarung yang mereka kenakan. Berlari secepat mungkin agar bisa tiba lebih cepat di asrama. Hal yang sama juga di lakukan oleh santriwati, mereka bergegas untuk kembali ke asrama agar bisa segera berlindung di balik selimut tebal.

Berulang kali langit berteriak, seakan ingin meruntuhkan seisi dunia. Membuat beberapa santri Wati terlihat ketakutan. Mereka yang tidak bisa tidur, memutuskan untuk mengobrol di dalam kamar sembari menanti hujan reda.

Sementara itu di kediaman KH Umar, Laras bersama kedua anaknya tengah menikmati siaran televisi. Mereka tengah menonton sinetron di ruang keluarga.

"Umi saya ke kamar dulu ya." Pamit Clara. Gadis muda itu berulang kali menguap, mencoba menahan kantuk.

Laras tersenyum sembari menganggukan kepalanya. "Iya Kak" Jawab Laras kepadanya.

Kaki mungil Clara menghentak lantai, meninggalkan Laras dan Azril yang diam-diam memperhatikan garis celana dalam adiknya, yang menjiplak di celana tidur yang di kenakan Clara.

Tapi Azril buru-buru sadar akan kesalahannya, sehingga ia dengan cepat beristighfar di dalam hatinya. Ia sangat menyesal karena sempat mencuri pandang kearah pantat adiknya itu. Padahal dulu, ia tidak pernah memiliki pikiran kotor tentang keluarganya, tapi entah kenapa akhir-akhir ini ia sering berfikiran kotor tentang mereka.

"Kamu belum tidur?" Tegur Laras.

Wanita anggun itu meluruskan kakinya di sofa, sembari menopang kepalanya dengan tangan. Ia menekuk satu kakinya sehingga gaun tidur berwarna putih yang ia kenakan sedikit tersingkap memamerkan betisnya yang putih mulus seperti pualam.

Sejenak Azriel terpaku menatap betis Laras yang terlihat seperti padi bunting. Alhasil pemandangan tersebut membuat sang junior terbangun.

Laras menggeser kakinya hingga semakin terbuka. "Di tanya kok diam?" Tegur Laras, dia melirik kearah putranya.

Deg... Deg... Deg...

Jantung Azril berdetak tidak beraturan, bahkan ia tampak kesulitan mengambil nafas sanking tegangnya. "Eh... Ke-kenapa Mi?" Tanya Azril, sembari melihat kearah Ibu Tirinya, dan sialnya matanya malah tertuju kearah selangkangan Laras yang terbuka.

Gleeek...

Azril menelan air liurnya yang hambar ketika melihat celana dalam Laras yang berwarna cream.

"Kamu gak ada hafalan?" Tanya Laras.

Azril menggelengkan kepalanya. "Gak ada Mi! Eehmm... Azril ke kamar dulu ya Mi?" Ujar Azril gugup. Ia tidak ingin Ibu Tirinya menyadari perubahan yang ada di dalam dirinya.

"Iya, kamu tidur sana." Suruh Laras.

Ia tersenyum tipis sembari menghela nafas. Sebagai seorang Ibu ia merasa sangat bersyukur karena memiliki anak yang begitu baik dan penurut. Apa lagi Azril bisa di bilang cukup berprestasi, Laras merasa sangat bangga terhadap Azril.

Perlahan Laras memejamkan matanya, mengistirahatkan matanya yang terasa lelah.

Tanpa di sadari Laras, seseorang tengah berjalan mendekat kearahnya. Pemuda tersebut tentu dapat melihat isi dalam gaun tidur Laras yang kebetulan menghadap kearahnya.

"Amma..." Panggilnya.

Laras mengerjapkan matanya. "Daniel? Astaghfirullah..." Laras tersadar dari lelapnya. Ia buru-buru duduk di sofa, sembari mengambil jilbab miliknya yang kebetulan tadi sempat ia lepas.

"Maaf Amma! Tadi saya liat Amma ketiduran, jadi saya berinisiatif ingin membangunkan Amma." Ujar Daniel, sembari tersenyum hangat.

"Iya tidak apa-apa." Jawab Laras tampak canggung.

"Mau saya buatkan kopi?" Tawar Daniel.

"Serius?"

"Ya tentu saja. Buatan kopi saya sangat enak, Amma harus mencobanya." Usul Daniel, sembari mengangkat satu alisnya. Laras tersenyum sambil menganggukkan kepalanya.

"Boleh juga." Jawab Laras.

Suasana canggung yang sempat terjadi diantara mereka berdua dengan cepat kembali normal. Laras sangat tersanjung dengan sikap Daniel yang menurutnya sangat baik. Sayang, pemuda baik itu punya masa lalu yang membuat keluarga besarnya sangat membenci dirinya.

Tapi tidak bagi Laras, ia sama sekali tidak membenci Daniel, baginya setiap manusia berhak mendapatkan kesempatan kedua untuk memperbaiki diri mereka.

Tidak lama kemudian Daniel kembali menghampiri Laras, ia membawa dua gelas kopi hangat.

"Silakan di minum Ma!" Ujar Daniel.

Laras mengangkat gelasnya. "Terimakasih Dan! Kamu tau, Amma itu paling suka kopi." Jujur Laras, dia menghirup aroma kopi yang terasa nikmat.

"Oh ya, sama dong Ma."

"Sepertinya kita memiliki banyak kesamaan ya!" Laras melirik Daniel yang tengah menyeruput kopi.

Daniel tersenyum tipis, sembari meletakan kembali gelas miliknya keatas meja. Daniel menemani Laras yang terlihat sangat antusias ketika sedang bercerita. Entah kenapa Laras merasa ada kecocokan ketika tengah mengobrol dengan Daniel keponakannya.

*****


Zaskia

Sementara itu di tempat berbeda, di kediaman Zaskia, tampak wanita muslimah tersebut juga tengah menikmati sinetron yang juga di tonton oleh Laras. Ia terlihat sangat fokus dan sanking fokusnya menonton ia tidak menyadari kedatangan Rayhan yang berjalan mengendap-endap di belakangnya.

Dengan senyum misteriusnya, ia mendekati Zaskia dan bersiap mengagetkannya.

"Kakaaaaaak...." Jerit Rayhan sembari menepuk pundak Zaskia, alhasil Zaskia melompat kaget sembari berteriak.

"Kontooool... Kontooool... Kontooool..."

"Hahahaha..." Tawa Rayhan.

Wajah Zaskia memerah menahan kesal. "Adeeeek... Bandel banget si." Kesal Zaskia, ia mencoba mencubit Rayhan, tapi dengan gesit Rayhan menghindar.

Tidak kehabisan akal Zaskia melempar bantal sofa kearah Rayhan yang tengah tertawa.

Dengan cepat Zaskia berdiri dan menangkap tangan Rayhan hingga menariknya dan jatuh menabrak Zaskia. Alhasil mereka berdua sama-sama terjatuh diatas sofa dengan posisi Zaskia berada di bawah Rayhan, bahkan tanpa di sengaja Rayhan mencium pipi Zaskia.

Sejenak mereka terdiam dan saling pandang, suasana yang tadi riuh mendadak terasa hening, bahkan Zaskia seakan tidak bisa mendengar suara volume tv.

Rayhan yang berada di atas Zaskia, tanpa sadar selangkangannya menyentuh paha Zaskia, alhasil tekanan lembut tersebut membangunkan kontol Rayhan yang tengah tertidur. Zaskia bisa merasakan tonjolan di celana Rayhan yang di rasa sangat keras.

"Kontol!!" Lirih Zaskia.

Rayhan tersenyum geli mendengarnya. "Kakak jorok." Ledek Rayhan.

Zaskia yang tadinya terbawa suasana, mendadak kembali ganas. Ia mencubit perut Rayhan, membuat pemuda itu meringis kesakitan.

"Ampun Kak! Aduuuh..." Melas Rayhan.

Dengan muka bengisnya ia menatap Rayhan. "Masih berani isengin Kakak?" Ancam Zaskia.

"Enggak Kak! Aduuuh... Sssttt... Sakit Kak."

"Janji gak akan jahilin Kakak lagi?"

"Janji..."

Zaskia segera melepas cubitannya, sementara Rayhan yang kini duduk di samping Zaskia tampak mengusap-usap bekas cubitan Kakaknya.

Ketika Rayhan mengangkat kaosnya, ia melihat kulitnya memerah karena cubitan Zaskia.

"Sampe merah gini Kak." Lirih Rayhan.

Zaskia mengulum senyum sembari melihat kearah perut Rayhan. Sedetik kemudian senyum Zaskia memudar ketika tatapan beralih kearah celana boxer yang di kenakan adiknya. Matanya membulat menatap tonjolan di celana Rayhan yang kini membentuk tenda.

Pemandangan tersebut membuat birahi Zaskia melonjak, sejenak ia berhenti bernafas seiring dengan rasa gatal yang menggelitik memeknya.

"Kak..." Panggil Rayhan.

Reflek Zaskia berkata jorok. "Eh kontooool..." Pekik Zaskia sembari menutup mulutnya.

"Ayo lagi mikir jorok ya." Goda Rayhan.

Wajah Zaskia kembali merona merah, bukan karena marah tapi karena merasa malu telah berkata tidak pantas di hadapan Adiknya. Alhasil Rayhan kembali tertawa mengejek Kakaknya.

Seakan tidak mau kehilangan muka, Zaskia mengancam Rayhan dengan memperlihatkan kedua jarinya sembari meragakan gerakan mencubit.

"Dikit-dikit ngancem." Rayhan ngedumel.

Zaskia kembali tersenyum. "Makanya jangan suka ngejahilin Kakak." Omelnya.

"Iya deh..." Rayhan berdiri seakan hendak pergi. "Kak ada kontol." Pekik Rayhan, dan lagi-lagi ia berhasil menjahili Zaskia.

"Kontol... Eh kontooool... Mana kontolnya Dek."

"Hahahaha..." Tawa puas Rayhan sembari kabur sebelum Kakaknya mengamuk.

Zaskia terlihat geram sembari mengelus dada melihat kelakuan Rayhan yang suka sekali mengerjai nya. Sekali lagi ia menghela nafas setelah kepergian Rayhan. Dan sedikit kemudian bibirnya bergerak, mengukir sebuah senyuman tipis.

******
end part 1
 
Part 2


Dwi


Aziza

06:00

"Baru mau mandi?" Tegur Dwi yang sedang sibuk di dapurnya.

"Iya Kak, ada orang gak kak?" Tanya Aziza, sembari melihat Kakaknya yang sedang menggoreng nasi. Aziza tersenyum melihat nasi goreng kesukaannya.

"Kosong!"

"Aku mandi dulu ya Kak." Ujar Aziza lalu segera menuju kamar mandinya.

Di dalam kamar mandi Aziza menanggalkan jilbabnya, lalu membuka satu persatu kancing piyama tidurnya dan meletakkannya di dalam mesin cuci. Kemudian Aziza melepas celana piyama berikut dengan celana dalamnya dan kembali meletakan pakaiannya tersebut di dalam mesin cuci.

Tanpa di sadari Aziza, sepasang mata tampak mengawasinya dari balik pentilasi kamar mandi mereka. Mata pria tersebut tampak berbinar memandangi tubuh telanjang Aziza.

Payudara Aziza yang berukuran 36b, dengan puting berwarna coklat muda berukuran sedang, terlihat ranum dan menantang, beberapa kali pria itu menelan air liurnya ketika menatap gundukan memek Aziza yang di tumbuhi rambut kemaluan yang tidak begitu lebat, tapi terlihat eksotis di mata tuanya.

Perlahan gadis Soleha itu mengguyur tubuhnya dengan gayung, menggosok-gosok tubuhnya dengan sabun cair.

Ia mengusap-usap payudaranya, mengelus putingnya yang terlihat mengeras.

Ketika ia menggosok kakinya, Aziza sedikit membungkuk membelakangi sang pengintip, hingga pria tersebut dapat melihat bibir kemaluan Aziza yang berwarna coklat muda.

Karena sudah tidak tahan pria tersebut segera mengeluarkan terpedo miliknya dan mulai melakukan gerakan senam lima jari.

Mata tuanya semakin melebar, dan gerakan tangannya semakin cepat, ketika ia melihat payudara Aziza yang ranum itu berayun-ayun ketika ia sedang menggosok gigi.

Setengah jam lamanya pria tersebut menikmati tubuh telanjang Aziza, seorang gadis cantik yang hanya tinggal bertiga dengan saudaranya Ustadza Dwi beserta Suami dari Saudaranya itu.

Selesai mandi Aziza segera mengeringkan tubuhnya dengan handuk, dan memakai kain batik berikut dengan jilbab langsungan miliknya.

"Sudah selesai? Lama banget sih kamu mandinya Dek." Protes Dwi yang sedari tadi menunggu Aziza selesai mandi.

Ternyata Dwi sudah menunggu adiknya cukup lama di depan pintu kamar mandi. Terlihat handuk dan kain batik di lengannya.

"Namanya juga mandi Kak." Aziza memanyunkan bibirnya.

Ustadza Dwi menghela nafas, lalu ia segera masuk ke dalam kamar mandinya. Segera Ustadza Dwi menanggalkan satu persatu pakaiannya hingga ia telanjang bulat. Birahi sang pengintip yang tadinya sempat reda kini kembali menggebu-gebu.

Setelah membasahi tubuhnya, Ustadza Dwi menuangkan sabun cair lalu mengusap-usapkan telapak tangannya di sekujur tubuhnya.

Kedua tangannya dengan telaten mengusap payudaranya, dan putingnya yang besar.

Mata Pak Bejo melotot menatap nanar kearah payudara Ustadza Dwi, ketika istri Soleha itu memijit pelan payudaranya yang membusung indah.

"Ssstttt... Suatu hari nanti aku harus bisa mengepal tetek kamu Ustadza." Gumam Pak Bejo, tangan kanannya terlihat sibuk memijit kemaluannya.

Matanya turun menuju gundukan tebal memek Ustadza Dwi, ketika jemari halus itu menggosok-gosok lembut rambut kemaluannya, hingga ke bibir kemaluannya yang terlihat sedikit bergelembir.

Pak Bejo membayangkan rasanya kalau kontol besar miliknya menusuk-nusuk lobang memek Ustadza Dwi.

"Aarrrrt..." Erang Pak Bejo tertahan.

Croootss... Croootss... Croootss...

Spermanya menembak dinding kamar mandi Ustadza Dwi, ia terlihat sangat puas setelah melihat dua bidadari cantik yang sedang mandi telanjang.

Tepat ketika Ustadza mengeringkan tubuhnya dengan handuk, Pak Bejo pergi meninggalkan rumah Ustadza Dwi sembari bersiul-siul senang. Di dalam hatinya, ia bertekad ingin merasakan tubuh kakak beradik tersebut.

*****


Suci

06:30

Tampak seorang wanita tengah sibuk merapikan jilbabnya, memoles wajahnya dengan cream wajah hingga terlihat lebih glowing, terakhir ia menggunakan lipstik berwarna merah muda di bibirnya. Di depan kaca ia tersenyum puas melihat hasilnya.
Tiba-tiba dari belakang seorang pria memeluk lehernya, sembari berbisik mesrah di samping telinganya.
"Kamu cantik sekali." Pujinya.
Ustadza Suci tampak tertawa renyah mendengarnya. "Jangan mulai lagi deh." Ucap manja Ustadza Suci kepada sang Suami.
"Hehehe... Cuman sebentar, boleh ya Dek."
Suci mendesah pelan. "Boleh kok Mas, kan Adek miliknya kamu Mas." Jawab Suci, seraya tersenyum memandang Suaminya.
Ardi mengangkat dagu sang Istri, ia mengecup mesrah bibir merah Istrinya, mencium wajahnya dengan penuh nafsu. Suci membiarkan saja perhiasan wajahnya menjadi rusak kembali oleh keganasan Suaminya.
Perlahan Ardi membimbing Istrinya menuju tempat tidurnya.
Lalu dia membaringkan Istrinya, sembari menindih Istrinya yang sedang melingkarkan kedua tangannya di leher Ardi.
"Kamu cantik seksi Dek." Puji Ardi tak henti-hentinya.
Ia kembali mencium wajah Istrinya, kemudian kedua jarinya membuka kancing kemeja batik yang di kenakan oleh Istrinya. Tampak di balik kemeja payudara Suci yang berukuran 34D terbungkus indah di balik bra berwarna biru dengan renda hitam.
Suci membantu melepas pengait branya, lalu menyingkapnya keatas.
Dengan cepat Ardi menyambar payudara Istrinya, ia menjilati dan menghisap puting Suci yang berukuran besar, berwarna coklat tua.
"Sruuuupsss... Sruuuupsss... Sstttttt..."
"Aaahkk... Mas! Aaahkk... Enak Mas, Uhhk.... Ya Allah Mas... Aaahkk..." Rintih Suci.
Tangan Ardi menyingkap keatas rok hitam yang di kenakan Istrinya, kemudian ia menarik turun celana legging beserta celana dalam yang di kenakan oleh Suci. Dengan posisi mengangkang, Ardi dapat melihat bibir memek Suci yang bergelembir berwarna coklat tua.
Perlahan wajah Ardi masuk ke dalam rok yang di kenakan Istrinya, ia mencium paha Istrinya, kemudian beralih kebibir kemaluan Suci.
Dengan lembut ia mengecup, menjilat kemaluan Istrinya yang telah basah. Sesekali ia menusuk-nusuk lobang memek Istrinya dengan lidah, mengorek-ngorek liang kemaluan Istrinya.
"Mas... Masukan sekarang! Nanti aku telat." Pinta Suci.
Ardi segera menanggalkan celananya, lalu kembali menindih tubuh Istrinya.
Dengan di bantu oleh Suci, kontol Ardi membela, menembus kemaluannya. Wajah Ardi tampak menegang, merasakan jepitan memek Suci di batang kemaluannya.
"Ough... Enak sekali sayang." Gumam Ardi.
Suci melingkarkan kedua kakinya di pinggang Suaminya, yang dengan perlahan mulai memompa lobang memeknya.
Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...
Pinggul Ardi bergerak maju mundur, maju mundur menyodok memek Istrinya, hingga akhirnya ia menyerah dan menembakan lahar panasnya ke dalam rahim sang Istri.
Croootss... Croootss... Croootss...
Suci dapat merasakan hangatnya sperma sang Suami di dalam rahimnya.

"Enak banget Dek." Lirih Ardi.
Suci tersenyum. "Iya Mas, enak banget." Jawab Suci sembari menatap sayu Suaminya.
Ada rasa bangga di dalam hati Ardi karena membuat Istrinya keenakan. Tetapi tanpa di ketahui Ardi, Suci merasa menggantung, ia tidak menemukan rasa kepuasan dari Suaminya. Bagi Suci, sodokan kontol Suaminya seakan hanya menggelitik kemaluannya.
Setelah istirahat beberapa menit, Suci segera ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Di dalam kamar mandi Suci diam-diam mengambil dildo simpanannya, ia menancapkan dildo tersebut diatas tutup closet, dan dengan perlahan ia menduduki dildo tersebut buat memuaskan birahinya yang tadi di buat kentang oleh Suaminya.

*****

[/URL
Zaskia
Suasana pagi yang cerah, di kediaman Zaskia, tampak wanita cantik itu tengah menyiapkan sarapan pagi. Rayhan yang juga berada di dapur, menatap keluar pintu belakang rumahnya. Ia melihat Mbak Inem yang tengah menjemur pakaian.
Melihat Kakaknya yang masih sibuk memasak, diam-diam Rayhan keluar meninggalkan dapur. Ia menghampir Mbak Inem yang tersenyum melihatnya.
"Belum berangkat ke sekolah Ray?" Tanya Mbak Inem.
Rayhan memperhatikan sepasang buah dada Mbak Inem yang tampak memantul ketika ia mengibaskan pakaiannya yang basah. "Belum Mbak, Kakak lagi masak." Aku Rayhan.
"Mau bantuin Mbak jemur pakaian?"
"Ma-mau Mbak." Jawab Rayhan cepat.
[URL=https://www.imagebam.com/view/ME4VU9V]

Ia segera mengambil posisi di samping Mbak Inem, dengan tangkas ia memeras gamis Mbak Inem di dalam baskom. Mbak Inem membungkuk seraya mengibaskan jilbabnya ke belakang, hingga Rayhan dapat melihat belahan payudaranya.

Rayhan memberikan pakaian yang baru saja ia peras kepada Mbak Inem. Seraya tersenyum penuh arti Mbak Inem menerimanya.

Sembari mengobrol mereka bekerjasama menjemur pakaian milik Mbak Inem. Dan selama itu juga Rayhan menikmati kemolekan payudara Mbak Inem yang di mana di balik gamisnya Mbak Inem tidak memakai bra sehingga beberapa kali Rayhan dapat mengintip puting Mbak Inem ketika ia membungkuk.

"Gantian Ray! Punggung Mbak pegel membungkuk terus." Ujar Mbak Inem sembari merenggangkan pinggangnya di depan Rayhan.

"Boleh Mbak."

Rayhan segera berdiri menggantikan posisi Mbak Inem, sementara Mbak Inem berjongkok di samping di depan baskom hitam miliknya.

Saat Rayhan hendak mengambil pakaian dari Mbak Inem, wajah Rayhan tampak kecewa karena Mbak Inem yang mengenakan gamis, membuat Rayhan tidak bisa melihat dalaman Mbak Inem walaupun tetangganya itu berfose jongkok.

Seakan mengerti kekecewaan Rayhan, setelah memastikan tidak ada orang lain di sekitar mereka berdua. dengan sengaja Mbak Inem menarik gamisnya hingga melewati lututnya, "Matanya di jaga!" Bisik Mbak Inem sembari membuka kedua lututnya.

Mata Rayhan membelalak, menatap nanar kearah selangkangan Mbak Inem. Di balik gamisnya ternyata Mbak Inem tidak memakai dalaman, membuat Rayhan dapat melihat jelas gundukan memek Mbak Inem yang di tumbuhi rambut lebat.

Lagi-lagi Mbak Inem tersenyum penuh arti kearah Rayhan, membuat pemuda itu tampak salah tingkah.

Kekecewaan Rayhan kemarin kini terbayar lunas dengan pemandangan yang ada di hadapannya saat ini, Rayhan tersenyum kegirangan.

"Ni Ray pakaiannya! Malah bengong." Tegur Mbak Inem sembari menyodorkan pakaiannya.

Rayhan mengambilnya. "Hehehe... Maaf Mbak." Jawab Rayhan, ia bergegas menyampirkan pakaian tersebut di tali jemuran.

Setelah menyampirkan pakaian tersebut di tali jemuran, Rayhan kembali mencuri-curi pandang kearah selangkangan Mbak Inem. Matanya membeliak, menatap nanar memek Mbak Inem yang terlihat tembem itu, walaupun memeknya sebagian besar tertutupi oleh rimbunan rambut kemaluannya, tapi tetap saja tidak mengurangi keindahannya.

Beberapakali Rayhan menelan air liurnya, mengagumi keindahan yang ada di depan matanya.

Jauh dari lubuk hati Mbak Inem, ia merasa ada kebanggaan di dalam dirinya, melihat bagaimana Rayhan menatap nanar memeknya.

"Kamu sudah punya pacar belum Ray?" Tanya Mbak Inem membuyarkan lamunan Rayhan.

"Belum Mbak!" Jawab Rayhan sembari menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Di pesantrenkan gak boleh pacaran Mbak." Elak Rayhan, sembari ikut berjongkok dan hendak membantu Mbak Inem memeras pakaian.

"Biar Mbak aja Ray! Nanti cepat selesai Lo." Pancing Mbak Inem seraya tersenyum. "Masak si kamu belum punya pacar? Mbak yakin pasti banyak cewek yang suka sama kamu." Puji nya, membuat Rayhan makin salah tingkah.

"Mbak bisa aja."

Mbak Inem menatap serius Rayhan. "Sebelum menikah, tidak ada salahnya pacaran dulu Ray." Nasehat Mbak Inem, kali ini obrolan mereka terlihat lebih serius.

"Dulu Mbak sama Pak Pur pacaran berapa lama?"

"Mbak gak pacaran dulu! Kami berdua di jodohkan, dan hasilnya Mbak merasa kecewa." Aku Mbak Inem.

Rayhan terdiam sejenak, ia tidak menyangkah kalau rumah tangganya Mbak Inem dengan Pak Pur bermasalah, karena selama ini yang Rayhan lihat mereka sepertinya baik-baik saja, bahkan Rayhan tidak pernah mendengar mereka meributkan sesuatu.

"Emangnya Mas Pur tidak sebaik yang terlihat ya Mbak?" Tebak Rayhan yang di selingi dengan pertanyaannya.

Mbak Inem menggelengkan kepalanya. "Bukan itu masalahnya Ray! Suami Mbak itu orangnya sangat baik banget, dan perhatian juga sama Mbak." Jawab Mbak Inem, membuat Rayhan makin bingung.

"Jadi masalahnya apa dong Mbak?"

"Menikah itu bukan hanya sekedar memenuhi kebutuhan lahir aja, tapi juga kebutuhan batin, khususnya kebutuhan biologis, atau sex. Kamu mengerti kan maksud Mbak?" Ujar Mbak Inem, Rayhan menganggukkan kepalanya. "Suami Mbak mungkin memang pria yang baik, tapi sayangnya dia tidak mampu memenuhi kebutuhan biologis Mbak." Sambungnya lagi.

"Aku gak begitu paham Mbak! Emang bagaimana cara memenuhi kebutuhan biologis wanita Mbak." Tanya Rayhan yang tampak antusias.

Sebagai seorang pria yang nantinya akan memiliki seorang Istri, rasanya sudah sewajarnya kalau Rayhan menganggap obrolannya saat ini sangat penting, selain itu obrolan mereka yang semakin panas, membuat Rayhan makin bergairah.

"Itulah gunanya pacaran Ray! Selain agar bisa saling mengenal, pacaran juga bisa mengasah kemampuan kamu dalam memuaskan wanita." Jawab Mbak Inem seraya mengedipkan matanya.

"Mbak bisa aja, hehehe..."

Mbak Inem ikut tertawa, obrolan mereka berlanjut, dan semakin dalam membahas tentang hubungan pria dan wanita. Tentu saja Rayhan dengan senang hati menanggapi obrolan saru tersebut.

Mbak Inem menjelaskan detail tentang apa saja yang di inginkan wanita terhadap seorang pria, terutama masalah ranjang. Mbak Inem juga menasehati Rayhan agar tidak mengecewakan pasangannya, agar pasangannya bisa setia kepada Rayhan, dan Mbak Inem juga memberitahu Rayhan resiko kalau Rayhan tidak mampu memberikan kebutuhan biologis seorang wanita.

"Jangan salahkan pasanganmu mencari kepuasan di luar sana, jikalau seandainya kamu gak bisa memberikan kepuasan biologis kepadanya Ray." Ujar Mbak Inem.

"....." Rayhan terdiam menyimaknya.

"Tapi Mbak yakin kok, kamu pasti bisa memuaskan pasanganmu nanti! Hanya saja kamu harus banyak belajar, dan mencari pengalaman." Mbak Inem menyentil hidung Rayhan. "Ini yang terakhir Ray." Mbak Inem menyerahkan pakaian terakhir yang harus di jemur.

Rayhan segera menyampirkan pakaian terakhir tersebut, ia agak kecewa ketika melihat Mbak Inem berdiri, membuatnya tak bisa lagi melihat memeknya.

"Terimakasih ya Ray, sudah mau bantuin Mbak."

Rayhan tersenyum kaku. "I-iya Mbak, sama-sama." Jawab Rayhan.

"Mbak pulang dulu ya."

Sebelum Mbak Inem pergi, Rayhan memberanikan diri meminta sesuatu kepada Mbak Inem. "Mbak..." Panggilnya. Walaupun sempat ragu, pada akhirnya Rayhan mengatakannya. "Tolong ajarin aku, agar bisa menjadi pria idaman wanita." Ucap Rayhan dengan satu tarikan nafas.

Mbak Inem terdiam sesaat, kemudian ia tersenyum dan disusul oleh anggukan kepalanya.

Rayhan melompat kegirangan, sementara Mbak Inem tertawa renyah. Ia pun akhirnya berjalan meninggalkan Rayhan dengan senyuman yang terukir di bibirnya. Sementara Rayhan terlihat sangat senang, karena dengan begitu ia bisa semakin dekat dengan Mbak Inem.

Sanking girangnya, ketika ia kembali ke rumah, Rayhan tidak memperdulikan Omelan Zaskia yang sedari tadi mencarinya.

*****

[/URL
Mariska
14:00
Mariska baru saja pulang dari mengajar, setibanya di rumah, ia dikagetkan dengan kehadiran Pak Sobri dan kedua ajudannya yang sedang berada di ruang tamu bersama suaminya. Dari raut wajah Reza, Mariska sudah bisa menebak kalau kedatangan Pak Sobri ada maksud tertentu.
"Assalamualaikum." Sapa Mariska.
"Waalaikumsalam."
Mariska melihat sebentar kearah Pak Sobri yang juga balik memandangnya dengan tatapan yang sulit ia mengerti. "Sudah lama Pak?" Tanyanya sekedar berbasa-basi sembari tersenyum tipis.
"Sudah cukup lama." Jawab Pak Sobri ketus.
Diam-diam Pak Sobri mengamati bentuk tubuh Istri Ustad Reza. Selain cantik, bentuk tubuhnya juga menggoda, rasanya Pak Sobri sudah tidak sabar ingin segera mendapatkan Mariska yang terlihat jutek saat menatapnya barusan.
"Sebentar Pak, aku buatkan minuman dulu." Ujar Mariska.
Saat Mariska hendak ke dapur, Pak Sobri mencegahnya. "Tidak perlu repot-repot Bu Ustadzah, kami sudah mau pulang." Katanya.
"Kok buru-buru sekali Pak." Kata Mariska, tapi di dalam hati ia merasa senang mendengarnya.
Jujur Mariska tidak begitu menyukai Pak Sobri, di balik sikapnya yang ramah, Mariska merasa kalau Pak Sobri bukanlah pria baik-baik. Mariska bisa melihat itu dari tatapan matanya yang mengisyaratkan seorang pria cabul, di tambah lagi dengan berita miring tentang Pak Sobri yang suka kawin cerai, membuatnya makin tidak menaruh respect kepadanya.
"Saya masih ada urusan lain di luar!" Ujarnya, yang kemudian menatap Reza. "Mas Reza saya mohon kerjasama ya." Katanya, lalu ia memberi isyarat kepada kedua ajudannya untuk pergi.
Selepas kepergian Pak Sobri, Mariska langsung terduduk lemas di samping Suaminya. Ia menatap penuh arti kearah Suaminya.
Mas Reza ikut menghela nafas, ia tidak berani menatap Istrinya.
"Ada masalah apa Mas?" Tanyanya.
Reza terlihat semakin gelisah. "Tidak ada masalah apa-apa Dek!" Katanya, tapi Mariska tau, kalau Suaminya sedang berbohong.
"Mas." Mariska meraih tangannya dengan erat. "Aku Istrimu, aku berhak tau." Katanya pelan.
Reza menatap Istrinya, dan Mariska membalas tatapannya dengan penuh tanda tanya. Perlahan Reza menyandarkan punggungnya, memejamkan matanya sembari menghela nafas beberapakali.
"Maafin Mas Dek!"
Mariska terdiam, memandangnya dan menunggu dirinya untuk berterus terang kepadanya.
Perlahan dan dengan sangat hati-hati, Reza menjelaskan kepadanya masalah yang kini ia hadapi. Mariska benar-benar terkejut, saat mengetahui ternyata Mas Reza berhutang ke Pak Sobri untuk membiayai rumah sakit Ibunya satu bulan yang lalu.
Dari awal Mariska sudah merasa curiga, ketika Reza memberinya uang sebesar 30 juta untuk biaya pengobatan Ibunya yang tengah menderita diabetes. Dan sekarang ia tau, dari mana asal uang tersebut. Seandainya ia tau lebih awal, tentu ia akan melarang Suaminya berhutang ke Pak Sobri.
Jujur mendengar pengakuan Suaminya, membuat tubuhnya terasa lemas. Ia tidak menyangkah kalau Suaminya meminjam uang dari Pak Sobri, yang di kenal sebagai rentenir.
"Maafkan Mas Dek." Lirihnya.
Mariska tak tau apakah ia harus marah atas tindakan Suaminya kali ini. "Mas tidak salah! Aku tau Mas melakukan ini semua untuk Ibu di kampung." Katanya yang akhirnya mencoba menerima keputusan Suami nya. "Aku mohon mulai detik ini, tidak ada lagi yang Mas sembunyikan dariku." Pinta Mariska, Reza menganggukkan kepalanya.
"Mas janji, lain kali Mas akan memberitahumu terlebih dahulu." Katanya membuatnya akhirnya bisa tersenyum.
"Pak Sobri tadi ke sini mau nagih hutang ya Mas?"
Mas Reza mengangguk lemas. "Iya Dek, katanya kalau Mas tidak membayar angsurannya bulan ini, ia akan menyita barang-barang yang ada di rumah kita." Jelasnya.
"Astaghfirullah... Jadi gimana Mas? Uangnya adakan Mas?" Tanya Mariska khawatir.
Mas Reza menggelengkan kepalanya, membuat tubuh Mariska kembali terasa lemas. "Sisa uang bulan ini sudah aku kirim ke kampung Dek! Adikku butuh uang untuk membayar biaya sekolah." Ujarnya, sembari mengusap wajahnya beberapakali.
Sebenarnya Mariska merasa frustasi dengan kondisi keluarganya saat ini, Ibunya di kampung sekarang sakit-sakitan dan membutuhkan uang yang cukup banyak, begitu juga dengan keluarga Suaminya, adik-adik nya yang masih sekolah membutuhkan biaya yang tidak sedikit, dan mereka sangat mengandalkan Reza untuk membantu membiayai sekolah adik-adiknya.
Tapi Mariska sadar, kepanikan tidak akan menyelesaikan masalah. Dan ia percaya kalau Allah tidak akan memberikan cobaan melebihi batas kemampuan hamba-nya. Mariska yakin pasti ada jalan keluarnya
*****
Setelah pamit dari Hj Laras, Daniel segera menuju rumah KH Sahal yang terletak di wilayah santriwan. Setibanya di rumah KH Sahal, ia di sambut hangat oleh KH Sahal, dan Pak Sobri yang baru pulang dari rumah Ustadza Mariska.
KH Sahal memperkenalkan Pak Sobri kepada Daniel, sebagai d0natur (jadi d0natur HANYA melalui admin team, BUKAN lewat staff lain) mereka.
"Oh jadi ini yang namanya Pak Sobri." Ujar Daniel.
Pak Sobri tersenyum. "Bagaimana kabarmu Dan? Betah tinggal di sini." Tanya Pak Sobri sembari menghisap rokoknya.
"Betah gak betah, hehehe..."
"Nanti juga kamu pasti betah tinggal di sini Dan, apalagi kalu sudah merasakan jepitan memek santri dan Ustadza di sini, hahaha..." Tawa KH Sahal.
"Ya benar sekali! Hahaha..." Timpal Pak Sobri.
Daniel tersenyum renyah mendengarnya. "Rasanya saya sudah tidak sabar Pak!" Ujar Daniel berterus terang. "Sebelumnya saya mau berterimakasih sama Kiayi, sudah membantu saya terbebas dari kejaran polisi." Sambung Daniel mengutarakan perasaannya.
Memang benar, KH Sahal lah yang membantu Daniel dari kejaran polisi, bahkan KH Sahal juga lah yang memberitahu Daniel kalau Daniel masuk DPO.
Atas saran KH Sahal, Daniel akhirnya memilih pesantren Al Fatah sebagai tempat persembunyian nya, dan berkat KH Sahal jugalah, ia bisa tinggal di rumah KH Umar setelah dirinya mendapat rekomendasi dari KH Sahal.
Tapi tentu saja itu semua tidak gratis, dan Daniel sudah berjanji akan membantu KH Sahal untuk menjadikannya orang nomor satu di pesantren Al Fatah dan membantunya menyingkirkan musuh-musuh KH Sahal yang ada di pesantren. Selain itu ia juga di minta untuk membantu Pak Sobri agar bisa menyingkirkan KH Hasyim musuh politiknya, dan sebagai imbalannya Daniel di perbolehkan berbisnis di pesantren nantinya, dan Pak Sobri yang akan menjadi donaturnya.
"Kamu sudah saya anggap seperti keluarga sendiri, jadi jangan sungkan." Jawab KH Sahal.
"Ngomong-ngomong Daniel sudah tau rencana kita?" Tanya Pak Sobri.
"Sudah Pak! Tapi saya belum tau apa yang harus saya lakukan untuk membantu rencana kalian." Ujar Daniel, yang memang beberapa waktu yang lalu sempat bertemu dengan KH Sahal saat ia di kejar-kejar oleh pihak berwajib karena terlibat menjual obat-obatan terlarang dan persitusi.
"Tugas kamu cukup muda Daniel, untuk saat ini saya minta kamu untuk menghancurkan keluarga KH Umar. Dan menjebak Santriwati dan Ustadza yang bisa kita manfaatkan nantinya." Ujar KH Sahal sembari menghidupkan sebatang rokok kretek. "Mungkin kamu bisa memulai dengan menaklukan Istri KH Umar, Hj Laras. Kamu mengerti kan maksud saya." Katanya lagi seraya menghembuskan asap rokok kearah wajah Daniel.
Daniel tersenyum. "Akan saya usahakan Kiayi."
"Ini tugas memang terdengar sangat mudah Daniel, tapi sebenarnya cukup sulit, tapi saya yakin kamu pasti menyukai tugas ini, hahaha..." Tawa Pak Sobri.
"Harus bisa Dan! Ini penting untuk bisnis kita." Tegas KH Sahal.
"Bukan hanya uang yang akan kamu dapatkan Daniel! Tapi kamu juga bisa mendapatkan wanita manapun yang kamu suka, kalau rencana kita berhasil." Ungkap Pak Sobri optimis.
"Siap Kiayi! Saya yakin pasti berhasil." Jawab Daniel yakin.
"Na begitu dong! Hahaha..."
"Minum dulu, biar fresh..." Ujar Pak Sobri sembari menuangkan minuman beralkohol kedalam gelasnya.
Sembari menikmati minuman keras, mereka membicarakan rencana mereka untuk melengserkan KH Hasyim dari posisinya sekarang, dan menyingkirkan beberapa petinggi pesantren yang mereka anggap berbahaya nantinya.
Dari obrolan tersebut, Daniel mengetahui ternyata bukan hanya mereka saja yang bekerja, tetapi ada beberapa santri dan Ustad Ustadza yang juga akan membantu mereka.
Ketika sedang asyik mengobrol, tiba-tiba mata Daniel terpaku kearah seorang wanita paru baya yang baru saja datang sembari membawakan makanan ringan.
"Lagi asyik ngobrolin apa ni." Tegur Hj Irma.
Daniel yang terkagum akan kecantikan Hj Irma hanya terdiam membisu. Tanpa ia sadari, KH Sahal dan Pak Sobri melihat kelakuan Daniel yang tengah menatap nanar kearah Istrinya.
"Wah... Wah... Wah... Sepertinya ada yang lagi birahi nih." Celetuk Pak Sobri.
"Hahahaha..." Tawa KH Sahal pecah.
"......" Sementara Hj Irma hanya tersenyum kecil.
"Maaf Kiayi." Lirih Daniel yang merasa bersalah kepada KH Sahal.
Bukannya marah KH Sahal malah menyodorkan Istrinya untuk Daniel. "Umi bisa bantu Danielkan? Kasihan kayaknya ada yang menderita Mi." Sindir KH Sahal membuat Daniel tersipu malu.
"Bisa kok Bi! Ayo Dan." Ajak Hj Irma.
Daniel tampak terlihat kebingungan. "Sana..." Suruh Pak Sobri.
"Udah Dan, santai aja Dan! Apa yang saya miliki, itu juga akan menjadi milik kamu." Ujar KH Sahal dengan santainya.
[URL=https://www.imagebam.com/view/ME4VTPQ]
Irma

Walaupun masih ragu, tapi pada akhirnya Daniel beranjak dari tempat duduknya. Ia berjalan menyusul kearah Hj Irma yang baru saja masuk ke dalam sebuah kamar yang ada di ruang tengah.

Segera Daniel menyusul masuk ke dalam kamar Hj Irma, dan ia langsung di buat tegang, ketika melihat Hj Irma yang berdiri membelakanginya dengan posisi menungging. Hj Irma tersenyum menatap Daniel, lalu ia menarik gamisnya hingga sebatas pinggangnya.

Mata Daniel membeliak, menatap bokong Hj Irma yang montok yang di balut g-string berwarna merah. Seraya tersenyum, Hj Irma memanggil Daniel dengan gerakan jari tengahnya.

"Bu Haja tau aja apa yang saya mau." Ujar Daniel.

Pemuda itu mendekati Hj Irma, telapak tangannya yang kasar membelai dan meremas bongkahan pantat Hj Irma yang menggoda.

Plaaaak...

"Auww..."

Sebuah tamparan mendarat di bokong Hj Irma, tidak hanya sekali tapi beberapakali.

Daniel berlutut di depan pantat Hj Irma, ia membelai dan mencium pantat Hj Irma, ia menjulurkan lidahnya, menjilatinya dengan rakus, hingga pantat Hj Irma yang putih mulus itu bermandikan air liurnya.

"Aaahkk... Daniel!" Desah Hj Irma.

Jemari Daniel menyibak kesamping kain mungil tersebut, hingga ia dapat melihat bibir kemaluan Hj Irma yang berwarna merah merona.

Cup... Cup... Cup...

Berulang kali ia mengecup bibir kemaluan Hj Irma, kemudian ia menjilati nya dengan rakus, menyedotnya hingga lendir kewanitaan Hj Irma keluar semakin banyak. Dengan lidahnya ia menusuk-nusuk lobang memek Hj Irma dengan lidahnya.

Sembari mencengkram pantat Hj Irma, ia membuka pipi pantat Hj Irma hingga lobang anusnya terlihat mengintip malu-malu.

Daniel dapat memastikan kalau Hj Irma sudah sering melakukan anal sex, di lihat dari lobang Anus Irma yang sudah merekah. Tanpa ragu Daniel menjulurkan lidahnya, menusuk-nusuk lobang anus Hj Irma dengan lidahnya.

"Aaahkk... Sayang! Oughk... Enaaaak banget." Rintih Hj Irmah.

Mendengar rintihan manja Hj Irma, membuat Daniel semakin bersemangat. Ia menjilati, menyeruput dan menusuk-nusuk anus Hj Irma dengan lidahnya, hingga air liurnya menetes.

Sluuuppsss... Sluuuppsss... Sluuuppsss... Sluuuppsss... Sluuuppsss...
Sluuuppsss... Sluuuppsss... Sluuuppsss... Sluuuppsss... Sluuuppsss... Sluuuppsss...

Setelah puas bermain dengan anus Hj Irma, Daniel kembali berdiri, menarik tangan Hj Irma hingga mereka berhadap-hadapan.

Tanpa banyak bicara Daniel menyosor bibir merah Hj Irma, ia melumat dan memanggutnya dengan ganasnya. Lidahnya membelit bagaikan ular, menukar air liurnya dengan air liur Hj Irma. Sementara tangan kirinya membuka kancing gamis yang di kenakan Hj Irma, menyusup masuk mencari bongkahan daging montok Hj Irma.

Dengan lincahnya, jemari Daniel memilin puting Hj Irma, hingga membuat Hj Irma kian merintih.

Perlahan ia menopang kaki kiri Hj Irma dengan lengan tangan kanannya. Kemudian dengan dibantu Hj Irma, wanita paruh baya itu membuka resleting celana Daniel, merogoh, mencari kemaluan Daniel, dan menuntun kontol Daniel menuju lobang surgawinya yang sudah membanjir sejak tadi.

Daniel mendorong pelan kontolnya, membela bibir kemaluan Hj Irma.

"Oughk... Enak sekali memek Bu Haja." Racau Daniel.

Tangan kanan Hj Irma memeluk pinggang Daniel yang tengah bergerak maju mundur menyodok lobang memeknya yang semakin licin.

"Terus Dan! Aaahkk... Lebih keras lagi Dan... Aaahkk... Aaahkk... Enak banget Dan..." Laras mendesah keras, tidak perduli kalau ada orang lain yang akan mendengar suaranya.

Sambil terus mengayun, Daniel mencium wajah Hj Irma, menjilati dan mengulum daun telinga Hj Irma dari balik kerudungnya.

Rintihan dan erangan erotis yang keluar dari bibir Hj Irma membuat Daniel kian bersemangat mengobrak-abrik liang kemaluan Istri KH Sahal. Semakin lama ia semakin cepat menyodok-nyodok memek Hj Irma, hingga akhirnya Hj Irma menyerah.

"Daaaan... Saya keluar." Jerit Hj Irma.

Ia memeluk erat tubuh Daniel, seiring dengan badai orgasme yang melandah dirinya.

Seeeeeeeeeeeeeeeerrrr....
Creeettss... Creeettss... Creeettss...

Tubuh indah Hj Irma lunglai hingga merosot ke bawah, matanya sayu menatap kontol Daniel yang masih berdiri tegang, berkedut-kedut naik turun.

Perlahan ia menggenggam kontol Daniel, mengurutnya dengan perlahan. Daniel tersenyum sembari mengusap kepala Hj Irma. "Cup... Sluupss... Kontol kamu enak Dan!" Komentar Hj Irma sembari mengecup dan menjilati kontol Daniel.

"Hisap kontolku Bu Haja." Suruh Daniel.

Segera Hj Irma membuka mulutnya melahap kontol Daniel dengan rakus. Ia menggerakkan kepalanya maju mundur, sembari sesekali menjilati kepala kontol Daniel yang terasa asin.

Selagi mulutnya sibuk mengoral kontol Daniel, jemari lentik Hj Irma juga turut bekerja, ia menggenggam batang kemaluan Daniel, memijitnya, hingga membuat Daniel merintih keenakan, apa lagi ketika Hj Irma menyedot kuat kontolnya hingga kedua pipi Hj Irma kempot.

"Cukup Bu Haja, saya tidak tahan." Pinta Daniel.

Kemudian pemuda itu membantu Hj Irma berdiri, dan menuntunnya keatas tempat tidur. Daniel yang sudah tidak sabar langsung menindih tubuh Hj Irma, ia melumat bibir Hj Irma sembari menuntun kembali kontolnya kearah lobang peranakan Hj Irma.

Dengan satu sentakan, kontol Daniel bersemayam di dalam lobang memek Hj Irma.

Pantat Daniel bergerak maju mundur dengan ritme perlahan, yang kemudian ia percepat dan semakin cepat menyodok-nyodok memek Hj Irma, hingga tempat tidur mereka berderit-derit.

"Aaahkk... Aaahkk... Aahkkk..."

"Enak sekali memek Bu Haja! Aaaahk...." Daniel meracau sembari memompa kontolnya keluar masuk dari dalam memek Haja Irma.

Sentakan-sentakan kontol Daniel, kembali membakar birahi Hj Irma. Nafasnya tersengal, matanya merem melek keenakan menerima setiap tusukan keras dari kontol Daniel yang beberapakali memasuki relung terdalam memeknya, hingga menubruk dinding rahimnya.

Dengan tubuh yang bermandikan keringat, Daniel menghentikan sejenak aktivitas nya. Ia menanggalkan celananya, hingga bagian bawah tubuhnya sudah tidak ada lagi penghalang, yang tersisa hanya baju kaos yang melekat di badannya.

Hj Irma hendak melepas gamisnya, tapi Daniel melarangnya. Karena ia lebih bernafsu menggauli Hj Irma dengan masih menggenakan pakaiannya.

"Celana dalamnya saja yang di lepas." Ujar Daniel sembari menarik lepas g-string yang di kenakan Hj Irma.

Kemudian Daniel berbaring dan meminta Hj Irma untuk menduduki kontolnya. Sembari menahan bagian bawah gamisnya, Hj Irma menuntun kontol Daniel untuk kembali bersemayam di dalam memeknya.

Dengan satu sentakan keras, kontol Daniel yang berukuran besar itu amblas di dalam memeknya, membuat mata Hj Irma membeliak.

"Oughk... Dan! Kontol kamu keras sekali." Racau Hj Irma.

"Goyang Bu Haja." Pinta Daniel.

Hj Irma mulai menggoyangkan pantatnya naik turun, diatas selangkangan Daniel, sesekali pinggulnya bergerak maju mundur, dan sesekali melakukan gerakan memutar, hingga Daniel merasa kontolnya seperti di pelintir di dalam memek Hj Irma.

Sembari menikmati permainan Hj Irma, mata Daniel juga di manjakan oleh sepasang payudarang Hj Irma yang terguncang mengikuti gerakannya.

"Kontol kamu besar banget sayang! Aaahkk... Memek saya rasanya penuh." Rintih Hj Irma.

Kedua tangan Daniel menangkup pantat Hj Irma. "Hehehe... Memek Hj Irma juga enak banget! Masih legit." Seloroh Daniel, sembari ikut menggoyangkan pinggulnya.

"Sssstt.... Aaahkk... Memek saya kapan pun kamu mau selalu siap sayang! Asalkan kamu membantu kami, menyebarkan aliran Al-jamak." Ujar Hj Irma, sembari meremas kaos yang di kenakan Daniel.

Sebelum menjawab Daniel kembali meminta perubahan posisi, ia meminta Hj Irma menungging. Ia menampar-namparkan kontolnya di pantat Hj Irma. "Tentu saja saya akan membantu KH Sahal untuk mendapatkan apa yang dia inginkan." Daniel membuka pipi pantat Hj Irma, lalu mendorong masuk kontolnya ke dalam lobang anus Hj Irma.

"Aaahkk... Kamu juga suka main anal? Ssstt.... Oughk... Besar sekali kontol kamu Dannn... Aaahkk... Tusuk lebih dalam sayang." Racau Hj Irma.

Sembari memegangi pinggul Hj Irma, Daniel menggerakkan pinggulnya maju mundur, menyodok-nyodok lobang anus Hj Irma yang terasa lebih seret di bandingkan memeknya. Suara benturan antara selangkangan Daniel dan pantat Hj Irma terdengar sangat nyaring.

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...
Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...
Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

"Enak banget Bu Haja!!" Erang Daniel merem melek.

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

"Aahhk... Aaahkk... Terus Daniel... Oughk... Bu Haja sudah mau sampai..." Jerit Hj Irma sembari menggosok-gosok clitorisnya.

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

"Bareng Bu Haja."

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...
Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

"Daaaan... Bu Haja keluaaar..."

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...
Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...
Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

Seeeeeeeeeeeeeeeerrrr....
Creeettss... Creeettss... Creeettss...

Daniel mencabut kontolnya dari dalam lobang anus Hj Irma, kemudian dengan cepat ia menyodorkan kontolnya kearah wajah Hj Irma.

Sedetik kemudian...
Croootss... Croootss... Croootss... Croootss... Croootss... Croootss... Croootss...

Daniel menumpahkan spermanya di atas wajah dan kepala Hj Irma. Tampak wajah Hj Irma terlihat begitu puas melayani Daniel.

"Ougjkk... Enak sekali Bu Haja." Racau Daniel.

Hj Irma menggenggam kontol Daniel, lalu mengulumnya dengan rakus, membersihkan kontol Daniel dari sisa-sisa lendir yang menempel di batang kemaluan Daniel.

Perlahan kontol Daniel mulai mengecil dari dalam mulut Hj Irma.

"Kamu puas sayang?" Goda Hj Irma.

Daniel mengangguk. "Puas banget Bu Haja, lain kali bolehkan?" Tanya Daniel yang tampaknya sangat ketagihan dengan servis Istri KH Sahal.

"Boleh kok Dan! Asalkan kamu tidak lupa dengan tugasmu." Ujarnya.

"Siap, di laksanakan, hahaha..."

Setelah tenaga mereka kembali pulih, mereka berdua kembali merapikan pakaian yang terlihat berantakan. Daniel izin keluar lebih dulu untuk bertemu KH Sahal, sementara Hj Irma memilih beristirahat sebentar lagi di dalam kamarnya setelah permainan panasnya bersama Daniel.

Baru saja memasuki ruang tamu, Daniel di buat takjub dengan ruangan tersebut yang sudah berantakan. KH Sahal yang tengah duduk di sofa dalam keadaan telanjang bulat menyapa Daniel yang seakan tidak percaya dengan apa yang ia lihat.

Tampak seorang wanita berhijab tengah meringkuk di atas lantai dalam keadaannya nyaris telanjang bulat. Walaupun Daniel tidak melihatnya langsung tapi Daniel bisa menebak apa yang barusan terjadi.

"Dia salah satu orang kita, menantunya KH Shamir." Ujar KH Jahal.

*****

20:00


Zaskia

Malam harinya, di dalam sebuah kamar tampak Zaskia yang tengah berbaring sembari memegang handphonenya sedang video call dengan Suaminya. Rasanya sudah lama sekali mereka tidak bertemu. Dua bulan yang lalu, dengan berat hati Zaskia melepas kepergian Suaminya untuk melanjutkan kuliah di Universitas Al-Azhar.

Saat mendapat kabar kalau suaminya mendapat beasiswa S2 di Al-Azhar Zaskia merasa sangat sedih, ia merasa belum siap kalau harus LDR dengan Suaminya. Tetapi demi kebaikan Suaminya, akhirnya Zaskia dengan berat hati mengizinkan Azzam untuk mengejar cita-cita nya di Cairo.

"Gimana kabarnya Rayhan dek?" Tanya Azzam di seberang sana.

Zaskia memutar tubuhnya ke samping. "Baik kok Mas, mau adek panggilkan Rayhan?" Tawar Zaskia, Azzam menggelengkan kepalanya.

"Gak usah Dek, sekolahnya gimana?"

"Lancar aja Mas, adek gak pernah mendengar komplain dari guru-gurunya." Jawab Zaskia jujur, karena memang selama ini ia tidak pernah mendengar kalau Rayhan menerima hukuman dari gurunya. Walaupun ia juga tidak pernah mendengar pujian untuk Rayhan.

Bisa diartikan kalau Rayhan santri yang biasa-biasa saja, tidak nakal tapi juga tidak pintar.

"Alhamdulillah kalau begitu! Kamu sendiri bagaimana dengan Rayhan?" Tanya Azzam berhati-hati, karena dulu Zaskia pernah mengutarakan rasa tidak nyamannya tinggal berdua dengan Rayhan, mengingat Rayhan bukan muhrimnya.

Zaskia tersenyum kecil. "Baik kok Mas, Ray juga anaknya nurut." Ujar Zaskia terdiam sebentar, mengingat kedekatan nya dengan Rayhan yang sebenarnya tidak cukup baik, mengingat Zaskia sering di buat kesal oleh Adik iparnya tersebut.

"Berarti sudah gak masalah lagikan?"

"Gak ada masalah kok Mas, kemarin kan adek cuman belum terbiasa hanya tinggal berdua dengan Rayhan, tapi sekarang sudah mulai terbiasa Mas." Jelas Zaskia seraya tersenyum.

Kalau di pikir-pikir emang benar kalau Zaskia sekarang semakin terbiasa dengan kenakalan-kenakalan yang biasa di perbuat oleh Adiknya. Bahkan kejahilan Rayhan kini seperti candu, sehari saja Rayhan tidak membuat kesal, Zaskia merasa ada yang hilang dari sosok adiknya itu.

Setelah mengobrol panjang lebar sembari melepas rindu, akhirnya mereka menyudahi obrolan mereka.

Dengan langkah gontai Zaskia berjalan keluar dari kamarnya, ia sempat melihat kearah kamar Rayhan yang terlihat sibuk menghafal.

Setelah itu ia bergegas ke kamar mandi, untuk menuntaskan hasratnya yang sedari tadi ia tahan-tahan. Sanking buru-buru nya Zaskia lupa mengunci pintu kamar mandinya.

Dengan terburu-buru, ia melepas celana piyama berikut dengan dalamannya, agar leluasa buang air tanpa khawatir celana ikut basah, mengingat toilet di dalam kamar mandinya menggunakan toilet jongkok. Sembari berjongkok, Zaskia memejamkan matanya.

Seeeeeeeeeeeeeeeerrrr....

Pada saat bersamaan pintu kamar mandinya terbuka, Rayhan yang juga hendak buang air kecil terdiam membisu melihat Kakak Iparnya yang tengah berjongkok diatas closet yang posisinya tepat menghadap kearah pintu kamar mandi.

Seeeeeeeeeeeeeeeerrrr...

Sejenak Rayhan menahan nafas, matanya elangnya menatap nanar kearah kearah gumpalan daging tembem yang di tumbuhi rambut-rambut hitam yang di cukur rapi.

Pemandangan indah tersebut membuat junior Rayhan terbangun, celana boxer yang ia kenakan kini terasa semakin sempit.

"Kontol Rayhaaan... Astaghfirullah... Adeeeek..." Jerit Zaskia yang baru sadar kalau Rayhan tengah berdiri tepat di depannya.

Teriakan Zaskia menyadarkan Rayhan, tapi bukannya segera keluar ia malah bertingkah aneh, salah tingkah dengan keadaan mereka saat ini. Rayhan yang panik malah bingung harus berbuat apa.

Begitu juga dengan Zaskia, bukannya menutupi selangkangannya, Zaskia malah reflek menutup mulutnya yang tadi sempat mengumpat dengan bahasa vulgar yang tidak pantas di ucapkan oleh seorang ahkwat seperti dirinya.

"Ma... Maaf kak!" Ujar Rayhan.

Ia menangkup kedua tangannya di depan dada, tapi matanya masih menatap nanar kearah selangkangan Kakak iparnya.

Zaskia ingin sekali menyuruh Rayhan pergi, tapi entah kenapa mulutnya seakan terkunci.

Dan parahnya lagi pandangan Zaskia malah terpaku kearah tonjolan di celana pendek yang di kenakan Rayhan, walaupun sering melihatnya, tetap saja tonjolan di celana tersebut membuat Zaskia terkesima.

Seeeeeeeeeeeeeeeerrrr.... Seeeerr... Seeerrrr...

Bibir Vagina Zaskia yang kemerah-merahan tampak berkedut-kedut menyemburkan sisa-sisa air kencingnya hingga tetesan terakhir. Dan Rayhan melihat momen tersebut dengan jelas sampai akhir, membuat Zaskia merasa sangat malu.

Kesadaran Rayhan kini benar-benar kembali, ia bergegas keluar kamar mandi sebelum Zaskia mengusirnya dan membuat Kakak Iparnya menjadi sangat marah kepadanya.

Sementara Zaskia tampak mematung, ia memejamkan matanya sembari menghela nafas.

"Ya Allah apa yang kulakukan barusan." Gumam Zaskia, ia merasa sangat malu karena Adiknya telah melihat dirinya dalam keadaan yang sangat memalukan.

Tidak hanya organ intimnya yang terlihat, tetapi Rayhan juga menontonnya yang sedang pipis hingga selesai, dan dirinya hanya diam tidak melakukan apapun, bahkan untuk mengusir Rayhan pun tidak ia lakukan, rasanya sulit sekali untuk meminta Rayhan pergi.

Sebagai seorang ahkwat, Zaskia merasa sangat malu, ia merasa sudah tidak memiliki harga diri di hadapan Adik Iparnya yang sudah melihat auratnya, mengetahui organ intimnya, yang seharusnya hanya Suaminya seorang yang boleh melihatnya.

Zaskia merasa sangat berdosa terhadap Suaminya karena gagal menjaga kehormatannya.

"Astaghfirullah... Ampuni dosa hambamu ini ya Allah!" Jerit hati Zaskia, yang ia khawatirkan akhirnya benar-benar terjadi.

Setelah menenangkan dirinya atas kejadian barusan, Zaskia langsung mengambil wudhu dan berencana ingin melakukan shalat taubat. Di dalam hati ia berjanji, kalau kejadian malam ini tidak akan pernah terulang lagi.

Sementara itu di dalam kamarnya, Rayhan tengah sibuk membersihkan sisa-sisa spermanya. Dari raut wajahnya ia terlihat puas, walaupun ada rasa khawatir kalau kejadian barusan akan membuat hubungannya dengan Kakak Iparnya merenggang.

*****

06:30


Nadia

Pagi hari ini, tidak ada bedanya dengan pagi sebelumnya di pesantren al-fatah. Santri-santri tampak sibuk bersiap-siap berangkat ke sekolah, beberapa petugas kebersihan juga terlihat sibuk mengerjakan tugas mereka, mengumpulkan satu demi satu drum sampah ke dalam gerobak sampah mereka yang nantinya akan di buang ke pembuangan sampah.

Di depan halaman rumah, tampak seorang Ustadza terlihat sibuk menyapu halaman depan rumahnya.

Dari raut wajahnya ia terlihat kelelahan, karena selepas subuh tadi ia sudah di sibukkan dari menyiapkan sarapan hingga bersih-bersih rumah, sanking sibuknya, ia belum sempat mandi, terlihat dari pakaiannya yang masih mengenakan gaun tidur.

"Assalamualaikum." Sapa seseorang yang lewat di depan rumahnya sembari menarik gerobak sampah berwarna kuning.

Ustadza Nadia tersenyum balik menyapanya. "Mau kerja Pak?" Tanya Nadia sekedar basa-basi.

"Iya Bu Ustadza! Pagi ini gak ada kelas Bu Ustadza?"

"Ada, tapi nanti jam sembilan." Jawab Ustadza Nadia sembari menyapu halaman depan rumahnya.

Pria bernama Edi, salah satu petugas kebersihan itu memang sering menyapa Ustadza Nadia, bahkan hampir setiap kali ia menyempatkan diri untuk menyapa sang Ustadzah. Selain cantik, Ustadza Nadia juga di kenal sangat ramah, sehingga Edi tidak sungkan untuk bertegur sapa dengannya.

Ustadza Nadia sendiri juga sama sekali tidak keberatan membalas sapaan Pak Edi, ia merasa tidak ada yang salah dengan Pak Edi, walaupun beberapa Ustadza selalu bersikap cetus kepadanya.

"Pantesan belum siap-siap." Goda Pak Edi sembari memperhatikan gaya pakaian Ustadza Nadia yang masih mengenakan gaun tidur.

Ustadza terkikik pelan. "Maklum Pak! Namanya juga ibu rumah tangga." Ujar Nadia seraya tersenyum geli.

"Hahahaha..." Tawa Pak Edi renyah.

"Mau mampir dulu Pak! Nanti saya bikinkan kopi.

"Gak usah repot-repot Bu." Tolak Pak Edi dengan halus.

Nadia memasang wajah cemberut. "Perasaan setiap kali di tawarin kopi selalu di tolak Pak! Apa Pak Edi tidak suka kopi bikinan saya." Sindir Nadia, karena memang beberapakali ia menawarkan untuk mampir Pak Edi selalu menolak tawarannya.

"Bukan begitu Bu Ustadza! Saya gak enak sama Suami dan anak Bu Ustadza kalau saya mampir minta kopi." Jelas Pak Edi, dalam hati ia gregetan melihat sikap manja Ustadza Nadia. Andai saja Ustadza Nadia belum menikah, tentu Edi akan nekat mendekatinya, walaupun ia sendiri juga sudah menikah.

"Kalau begitu tunggu rumah sepi dong." Goda Ustadza Nadia dengan berani.

Alhasil Pak Edi tertawa renyah menanggapi godaan sang Ustadza. "Wah kalau itu bahaya Bu! Nanti saya khilaf bagaimana?" Pancing Pak Edi.

"Hayo Pak Edi mikirnya kemana? Hihihi..." Tawa Nadia.

"Maksud saya, khilaf minta nambah Bu Ustadza." Ralat Pak Edi sembari tersenyum arti.

"Oh kalau Khilaf itu boleh kok Pak! Boleh banget malah. Hihihi..." Ujar Ustadza Nadia sembari cekikikan, membuat Pak Edi makin terbakar birahi oleh tingkah Ustadza Nadia yang menggemaskan.

Pak Edi menatap dalam mata Ustadza Nadia sembari berujar. "Kalau khilaf yang lainnya boleh gak Ustadza." Tembak Pak Edi.

"Astaghfirullah Pak Edi, hihi... Khilaf yang mana dulu." Pancing Nadia, ia melipat kedua tangannya dibawah dada, hingga payudaranya membusung.

"Yang..." Pak Edi urung menjelaskan perkataannya, ketika pada saat bersamaan Putri Ustadza Nadia tiba-tiba muncul dari depan pintu rumah mereka lengkap dengan seragam dan tas di punggungnya.


Helena

Nadia menoleh ke belakang, melihat anaknya yang bernama Helena datang menghampirinya, lalu mencium punggung tangannya dengan hormat.

"Umi, Helen sekolah dulu ya."

"Iya sayang! Yang rajin sekolahnya."

Setelah menyalami Ibunya, ia menghampiri Pak Edi, lalu menyaliminya. "Kamu mau ke sekolah? Bareng Bapak aja ya sekalian." Ajak Pak Edi yang juga dekat dengan anak Ustarza Nadia.

"Ayo Pak."

"Bu Ustadza kita berangkat dulu ya, assalamualaikum." Pamit Pak Edi yang di jawab dengan senyuman.

"Waalaikumsalam Pak, titip anak saya ya Pak."

"Siap Bu aman."

"Ih Umi, kayak anak ayam aja di titipin." Protes Helena sebelum berangkat ke sekolah di temani Pak Edi, yang membuat Pak Edi dan Ustadza Nadia tertawa renyah.

*****

07:15

Teng... Teng... Teng...

Ketika lonceng di bunyikan, para santri berhamburan masuk kedalam kelas mereka masing-masing. Rayhan, Azril duduk di bangku paling depan, tepat di depan meja guru. Sementara di belakang mereka ada Doni dan Nico, lalu di samping mereka berdua ada Riko. Suasana kelas masih terlihat ramai, ada yang sibuk menghafal, ada juga yang tengah mengobrol sesama mereka.

Suasana yang tadinya ramai seperti pasar, mendadak menjadi hening ketika seorang wanita berparas cantik dengan gamis berwarna hitam di padu dengan jilbab lebar yang melambai-lambai berwarna cream memasuki kelas mereka.

Wajah cantiknya ternyata tidak mampu membuat para santri menjadi lebih rileks.

"Assalamualaikum!" Sapa Ustadza Suci.

"Waalaikumsalam salam Ustdza!" Jawab mereka serempak.

Ustadza Suci duduk di kursinya yang berukuran lebih tinggi di bandingkan murid-muridnya, sehingga jarak pandangnya lebih jauh, Ustadza Suci meletakan tas dan buku absensi diatas meja.

Satu persatu nama mereka di sibut. Dan ada beberapa yang tidak hadir.

"Hari ini kita akan membahas tentang Ilmu fiqih! Pengertian Ilmu fiqih dan pembagian ilmu fiqih." Ujar Ustadza Suci.

URL=https://www.imagebam.com/view/ME4WMJ7]
ME4WMJ7_t.jpg
[/URL]
Suci

Ia berdiri di depan kelas, menghadap kearah white board membelakangi murid-muridnya. Jemarinya dengan lincah menari-nari diatas papan tulis. Selagi ia sibuk menulis materi di papan tulis. Rayhan, Azril, Doni, Riko dan Nico mulai saling berbisik.

Mereka sibuk mengamati bongkahan pantat Ustadza Suci yang tampak bergetar ketika ia tengah sibuk menulis materi di papan tulis.

"Apa pendapat kalian?" Celetuk Nico.

"Aku yes..." Kata Doni cepat.

"Aku juga!" Timpal Riko.

"....." Azril memilih tidak berkomentar.

Rayhan mengetuk dagunya. "Ehmm... Aku yes!" Ujar Rayhan bersemangat sembari menjelajahi bongkahan pantat Ustadza Suci. Tampak garis celana dalam Ustadza Suci yang ngejiplak di gamisnya.

"Aku kasih nilai 9" Komentar Nico.

"Dari dulu selalu 9, kapan 8 dan 7 nya?" Sungut Azril. Selama ini Nico selalu memberi angka sembilan setiap Ustadza yang mereka anggap layak untuk di beri nilai.

"Suka-suka akulah." Geram Nico

"Menurut aku Ustadza Dwi 8,5." Rayhan melihat kearah Azril.

"Yang layak mendapat nilai 10 hanya ada satu Ustadza." Ujar Rico.

Mereka bertiga kompak melihat kearah Nico. "Siapa?" Tanya Doni penasaran, mewakili rasa penasaran teman-temannya yang lain.

"Ustadza Laras."

Bletaaak...

"Anjing sakit ngentot." Protes Riko ketika Azril tiba-tiba memukul kepalanya. Tetapi diam-diam Azril membenarkan apa yang di katakan Riko, karena dirinya sudah melihat tubuh telanjang Ibu Tirinya, yang layak di beri nilai sepuluh.

Ustadza Suci yang tengah sibuk menulis di papan tulis, mulai merasa terganggu oleh suara yang ada di belakangnya. Ia mendesah pelan, lalu berbalik melihat kearah mereka berlima yang mendadak diam.

"Apa yang kalian ributkan?" Tanya Ustadza Suci.

Mereka berlima tertunduk tidak berani menjawab. Tetapi diam-diam mereka saling menatap satu sama lain.

"Kalian berlima berdiri di depan!"

Dengan langkah gontai mereka beranjak dari tempat duduk mereka. Lalu berbaris berdiri di depan kelas. Sementara Ustadza Suci kembali melanjutkan pekerjaannya. Ia menjelaskan tentang istilah fiqih dan bagian-bagian dalam ilmu Fiqih.

"Fiqih dalam bahasa Arab artinya pengertian, dan dalam istilah ulama artinya ilmu yang membahas hukum-hukum agama Islam diambil dari dalil-dalil tafsili atau dalil dalil yang terperinci." Jelas Ustadza Suci, ia berjalan maju beberapa langkah, hingga tepat berada di depan Rayhan.

Tiba-tiba spidol yang ada di tangannya mendadak terlepas dan jatuh kelantai.

Ustadza Suci membungkuk untuk mengambil spidol tersebut, dan tanpa di sengaja pantat bulatnya malah menubruk selangkangan Rayhan. Ustadza Suci terperanjat saat merasakan benda keras yang ada di belakang pantatnya. Rayhan tidak kalah terkejutnya.

"Astaghfirullah! Maaf." Ujar Ustadza Suci malu.

Keeempat sahabatnya serempak melihat kearah Rayhan. Dari raut wajah mereka menggambarkan ketidak sukaan atas keberuntungan Rayhan.

Anak remaja berusia belasan tahun itu menyeringai tidak perduli dengan tatapan ketiga sahabatnya.

Kecelakaan tersebut membuat Ustadza Suci sempat kehilangan fokus. Apa lagi ia dapat merasakan dengan nyata betapa keras dan besarnya kemaluan muridnya, membuatnya sepintas berfikiran yang tidak-tidak. Tetapi Ustadza Suci dengan cepat berhasil mengendalikan dirinya, yang sempat di landa birahi.

"Hukum Agama dibagi menjadi lima bagian. Yang pertama wajib, yang ke dua Sunnah, ke tiga haram, ke empat makruh dan yang kelima mubah." Jelas Ustadza Suci, suaranya terdengar gemetar karena ia harus menekan birahinya.

Tidak terasa 45 menit berlalu, dan itu artinya, penderitaan mereka berempat akan segera berakhir. Bukan hanya mereka, Ustadza Suci juga merasa lega.

"Pertemuan selanjutnya kalian cari tau tentang penjelasan ke lima hukum Agama, kalau ada yang tidak bisa menjawab, kalian akan di hukum seperti mereka berempat." Ujar Ustadza Suci sembari melihat kearah mereka. "Dan untuk kalian berempat, jangan di ulangi lagi. Sekarang kalian berempat boleh duduk." Suruh Ustadza Suci.

Wanita berusia 26 tahun itu menutup pelajaran hari ini dengan memberi sedikit nasehat kepada murid-muridnya tentang perlunya keseriusan dalam menuntut ilmu. Rayhan, Doni, Azril, Riko dan Nico hanya tertunduk mendengar nasehat Ustadza Suci.

*****


Mariska


Irma

Sementara itu di kediaman Hj Irma, ia baru saja kedatangan seorang tamu. Dia adalah Ustadza Mariska yang berniat meminta bantuan Hj Irma untuk membicarakan masalah hutangnya dengan Pak Sobri, karena kebetulan Hj Irma juga mengenal dekat Pak Sobri.

Ustadza Mariska menjelaskan secara detail permasalahan nya saat ini, ia meminta pendapat dari Hj Irma cara menyelesaikan nya.

Hj Irma tentu saja tidak bisa membantu banyak, ia hanya bisa memberi saran yang mungkin bisa membantu menyelesaikan masalah Ustadza Mariska saat ini.

"Jadi menurut Umi baiknya saya bertemu langsung dengan Pak Sobri, dan meminta keringanan?" Tanya Mariska seraya meletakkan kembali gelas minumannya.

Hj Irma mengangguk. "Mungkin dengan begitu Pak Sobri mau memberi keringanan untuk kalian."

"Secepatnya saya bersama Mas Reza akan segera menemui Pak Sobri. Mohon doanya ya Umi." Ujar Mariska sedikit merasa lega.

"Pasti, Umi selalu berdoa untuk kamu." Hj Irma tersenyum, lalu kembali berujar. "Tapi kalau saran Umi, lebih baik kamu menemuinya sendiri saja."

"Emangnya kenapa Umi?"

Hj Irma menghela nafas perlahan. "Pada dasarnya seorang laki-laki itu lebih mudah di luluh kan oleh kita, kaum perempuan. Umi takutnya kalau nanti kamu mengajak serta Suamimu, yang ada Pak Sobri malah meminta kalian untuk segera melunasi hutang kalian." Jelas Hj Irma.

"Saya merasa tidak nyaman kalau harus pergi sendirian." Keluh Mariska.

"Nanti saya akan temani kamu, bagaimana?"

Wajah Mariska yang tadinya sempat tak bersemangat, kini kembali bersemangat. "Terimakasih banyak Umi, dengan adanya Umi saya yakin Pak Sobri pasti mau mengerti kondisi kami." Mariska segera meraih tangan Hj Irma dan menciumnya.

"Sama-sama! Insyaallah Pak Sobri mau mengerti."

Ustadza Mariska akhirnya bisa sedikit bernafas lega, setelah dari kemarin semenjak kedatangan Pak Sobri ia selalu di hantui rasa takut. Ia khawatir Pak Sobri berbuat nekat, mengingat Pak Sobri bukan orang sembarangan, ia memiliki pengaruh yang cukup kuat di daerahnya.

Selepas kepulangan Ustadza Mariska, Hj Irma segera mengirim sebuah pesan singkat ke Pak Sobri.

Selesai mengirimkan pesan tersebut, Hj Irma menyunggingkan sebuah senyuman misterius, rasanya ia sudah tidak sabar mempertemukan Ustadza Mariska dengan Pak Sobri.

*****

Enni


Di dalam ruangan kantor Makamah pesantren, tampak dua orang Ustadza tengah berbagi cerita, Ustadza Eni yang siang ini mengenakan pakaian serba merah muda terlihat begitu manis, sementara Ustadza Yenni teman bicaranya terlihat anggun dengan gamis berwarna kuning.

Tampak Yenni menjadi pendengar yang baik untuk Ustadza Eni, yang sedari tadi bercerita tentang sosok Suaminya yang semakin hari membuatnya makin tidak nyaman.

Bagaimana tidak, karena Suaminya sering sekali mendesaknya untuk menceritakan masa lalu kelamnya yang ia sendiri ingin melupakannya.

"Gilakan Uhkti." Umpat Enni.

Yenni tersenyum tipis. "Astaghfirullah... Suami sendiri kok di bilang gila." Yenni tertawa renyah yang kemudian di ikuti oleh Enni.

"Di mana-mana Suami itu biasanya enggan mendengarkan cerita percintaan masa lalu pasangannya, tapi Mas Fikri malah ingin aku menceritakan masa laluku." Lirihnya sembari menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Mungkin dia penasaran?"

Enni menghela nafas. "Penasaran kenapa Uhkti? Secara garis besar aku sudah menceritakan semuanya, dan dia sama sekali tidak keberatan dengan masa laluku, seharusnya ia tidak perlu mengungkit-ungkit nya lagi." Jelas Enni.

"Yang Uhkti katakan ada benarnya juga." Yenni menyandarkan punggungnya di kursi. "Emang setiap hari ia menanyakannya?" Tanya Yenni penasaran.

Enni menggelengkan kepalanya. "Dia menanyakannya hanya ketika kami hendak berhubungan intim." Jawab Enni, ia merasa heran dengan kelakuan Suaminya, yang tidak sama dengan kelakuan suami-suami pada umumnya.

Yenni kembali tersenyum, kini ia sedikit mengerti dengan sikap Fikri.

"Kemungkinan Suami kamu mengalami kelainan sex!"

"Maksudnya?" Heran Enni.

Yenni menggeser sedikit kursinya. "Kamu pernah dengar tentang kelainan sex Cuckold? Di mana seseorang yang terangsang melihat pasangannya berselingkuh di depannya." Tanya Yenni serius.

Enni merenyitkan dahinya. "Ya aku pernah dengar! Tapi rasanya tidak mungkin, karena Mas Fikri hanya ingin mendengar cerita masa laluku." Jelas Enni.

"Tapi ia semakin bergairah kan setiap kali mendengar cerita kamu." Tembak Yenni.

Enni terdiam, kalau di pikir-pikir apa yang di katakan sahabatnya memang benar. Beberapakali ketika ia merasa kesal karena terus-menerus di desak yang membuatnya menceritakan masa lalunya bersama mantan pacarnya, Fikri semakin bergairah, bahkan durasi mainnya menjadi semakin lama.

Bisa jadi apa yang dikatakan sahabatnya memang benar, kalau Suaminya mengidap penyakit kelainan seksual.

"Tidak mungkin!" Elak Enni.

Yenni semakin yakin dengan dugaannya. "Mungkin baru indikasi." Ujar Yenni.

"Mas Fikri tidak sama dengan kamu Uhkti! Jangan ajak-ajak Suamiku ya." Sindir Enni, yang membuat Yenni tertawa renyah.

Mereka masih sibuk memperdebatkan masalah kelainan seksua Fikri, dan pada saat bersamaan mereka kedatangan tamu penting, yaitu KH Sahal dan Daniel yang baru saja tiba di kantor Makamah pesantren, tempat para santri menerima vonis hukuman dari kesalahan mereka.

"Assalamualaikum..." Sapa KH Sahal.

"Waalaikumsalam." Jawab Enni dan Yenni dengan serempak.

Kemudian mereka mempersilahkan KH Sahal dan Daniel untuk duduk. Yenni dan Enni saling pandang, karena sangat jarang sekali KH Sahal berkunjung ke Makamah pesantren, kecuali ada masalah serius.

Tanpa berbasa basi, KH Sahal memperkenalkan Daniel kepada mereka. Dan memberitahu mereka, kalau Daniel yang akan menggantikan Ustad Heru yang satu bulan lalu telah mengundurkan diri.

"Saya berharap kalian bertiga bisa bekerja sama dengan baik." Ujar KH Sahal.

"Insyaallah Kiayi." Jawab Yenni, Enni hanya diam ssmbari mencuri pandang kearah Daniel.

"Kalau begitu saya tinggal dulu ya, kalian mungkin bisa saling berkenalan dulu, agar cepat akrab." Ujar KH Sahal yang kemudian beranjak pergi. "Semoga kamu Daniel bisa bekerja dengan baik di sini, saya percayakan tugas ini kepada kamu." Nasehat KH Sahal.

"Insyaallah Kiayi, saya akan bekerja sepenuh hati dan tidak akan mengecewakan Kiayi, khususnya pesantren yang sudah mau menerima saya."

"Bagus... Bagus... Bagus... Jadikan tugas ini sebagai ladang pahala untuk kamu." Ujar KH Sahal sembari menepuk pundak Daniel. "Kalau begitu saya pamit dulu, assalamualaikum." Dengan perlahan KH Sahal meninggalkan kantor tersebut.

"Waalaikumsalam." Jawab mereka serempak.

Selepas kepergian KH Sahal, Danielpun memperkenalkan dirinya sebagai Ustad baru di pesantren, selain mendapat tugas sebagai pengurus Makamah santri, ia juga memberitahu mereka kalau dirinya juga akan mengajar sebagai guru olahraga.

Yenni terlihat begitu antusias menyambut rekan kerja barunya, sementara Enni terlihat sangat canggung.

Ketika Yenni permisi ke kamar mandi, barulah Daniel mendekati Enni, ia menyodorkan tangannya kearah Enni seraya tersenyum manis.

"Apa kabar By."

*****

15:00


Clara


Asyifa


Aziza


Adinda

"Kalian ke asrama duluan aja ya, aku mau langsung ke pasar." Ujar Clara sembari merapikan kembali buku pelajarannya yang berserakan diatas meja.

"Ada perlu apa ke pasar?" Tanya Asyifa.

"Aku ikut dong!" Potong Adinda.

Wajah Clara tampak salah tingkah. "Ehm... Ya adalah! Hehehe... Tapi maaf ya Nda, aku mau sendirian aja." Jawab Clara gugup, seakan ada yang ia sembunyikan dari sahabat-sahabatnya. Padahal selama ini mereka sangat saling terbuka satu sama lainnya.

Hanya Aziza yang tidak berkomentar, ia menaruh curiga terhadap sahabatnya. Mengingat kemarin ia sempat memergoki Clara yang tengah mengirim pesan kepada seorang Santri. Ia berharap tebakannya salah, walaupun hati kecilnya mengatakan kalau Clara ingin bertemu dengan santri tersebut.

Saat mata mereka bertemu, Clara buru-buru memalingkan wajahnya seakan ia takut menatap mata Aziza.

"Aku duluan ya." Ujar Clara

Kedua sahabatnya memandang heran kearah Clara yang berjalan tergopoh-gopoh keluar dari kelas.

"Mencurigakan?" Ujar Asyifa.

"Dia kenapa si?" Timpal Helena.

Aziza mendesah pelan. "Nanti aku ceritain, kalian habis makan langsung ke rumah aku ya." Ujar Aziza. Ia merasa harus membahas masalah ini bersama sahabat-sahabatnya.

Sementara itu Clara terlihat senyum-senyum sendiri sembari menatap ke keluar jendela mobil angkot yang ia tumpangi, berharap angkot tersebut dengan cepat tiba di pasar, karena ia sudah sangat ingin bertemu dengan sosok santri bernama Dedy. Pemuda yang telah membuatnya jatuh cinta.

Setibanya di pasar Clara bergegas kearah warteg yang berada di terminal pasar. Di sana tampak Dedy telah menunggunya. Pemuda itu tersenyum melihat kehadiran Clara.

"Makan dulu yuk sayang!" Ajak Dedy.

Clara tersenyum sangat manis di balik jilbab putih yang ia kenakan. "Kamu sudah pesan?" Tanya Clara Sembari memesan nasi ayam goreng.

"Belum... Sekalian aja Mas nasi ayam gorengnya dua." Ujar Dedy.

Sembari mengobrol ringan mereka berdua menyantap makan siang bersama. Bagi Clara makan bersama dengan kekasih nya terasa sangat nikmat. Momen berharga yang sangat jarang sekali ia dapatkan.

Selesai membayar makan mereka berdua berkeliling pasar hanya sekedar melihat-lihat.

"Yang ke penginapan melati yuk." Bisik Dedy.

Wajah Clara merona merah mendengar ajakan Dedy. "Mau ngapain ke sana lagi? Aku takut ke bablasan Yang!" Tolak Clara. Terakhir ketika mereka ke penginapan Dedy nyaris membobol perawannya.

"Aku lagi kepengen ni Yang!" Bujuk Dedy.

"Gak ah... Kita jalan-jalan aja di sini."

Raut wajah Dedy tampak kecewa. "Ya sudah kalau gak mau, aku pulang aja ya." Rajuk Dedy, ia melangkahkan kakinya dengan cepat menuju terminal pasar.

"Sayang..." Clara mencoba mengejarnya.

"Katanya kamu sayang, tapi aku ajak ke penginapan aja kamu gak mau." Ujar Dedy ia terlihat sangat kecewa, membuat Clara menjadi serba salah.

Clara hanya diam, ia jelas tidak ingin membuat kekasihnya marah. Tapi ia juga takut kalau sampai mereka ke bablasan, tentu saja Clara tak ingin kehilangan mahkotanya sebagai seorang wanita.

Setibanya di pinggir jalan, ketika Dedy hendak naik angkot, Clara buru-buru menarik tangan Dedy.

"Iya aku mau, tapi jangan sampai ke bablasan ya." Mohon Clara.

Dedy menyeringai sembari menganggukkan kepalanya. "Kamu tenang aja, gak akan sampai ke bablasan." Jawab Dedy, pemuda itu terlihat sangat senang sekali.

Jarak dari pasar ke penginapan melati tidak begitu jauh, mereka hanya perlu berjalan beberapa meter, lalu masuk ke dalam sebuah gang kecil, di ujung gang terdapat bangunan dua lantai dengan tulisan Wisma Melati. Kesanalah mereka pergi, untuk memadu kasih layaknya sepasang kekasih.

Sang penjaga wisma tampak tersenyum melihat Dedy, pemuda yang memang telah menjadi langganan tetapnya. Sudah beberapa wanita berhijab yang ia ajak ke wisma, baik muda maupun tua, sehingga wajar saja kalau sang penjaga wisma di buat geleng-geleng kepala, apa lagi wanita yang di ajak Dedy semua berhijab.

Setibanya di dalam kamar Clara meletakan tas sekolahnya di atas meja kecil. Jantungnya berdetak cepat mengingat kalau dirinya hanya berdua di dalam kamar bersama Dedy.

"Aku kangen banget sama kamu sayang." Rayu Dedy sembari memeluk Clara dari belakang.

Clara tersipu malu mendengarnya. "Iya, aku juga kangen kamu sayang." Jawab Clara, ia menyerahkan bibirnya untuk di kulum kekasihnya dengan mesrah.

Sembari berciuman Dedy meremas kedua payudara Clara yang mengkal itu. Membuat tubuh Clara menggelinjang geli, menikmati remasan sang kekasih diatas payudaranya yang berukuran 34D. Cukup besar untuk anak seusia Clara yang masih terbilang cukup muda.

Satu persatu kancing seragam Clara di buka, hingga akhirnya di lepas dari tubuhnya, menyisakan tanktop berwarna putih yang juga tidak bertahan lama.

Tampak seragam, tanktop dan beha Clara tergeletak di lantai, sementara sang pemilik tengah mengerang nikmat bersandar di tepian meja sembari mendekap kepala kekasihnya yang tengah mencaplok payudaranya secara bergantian. Matanya merem melek ketika puting mungilnya di hisap oleh sang Kekasih.

"Ughkk... Sayang! Aaaahkk..." Desah Clara.

Dedy menyeringai senang mendengar erangan dari korbannya. Tangan kanannya ia arahkan ke selangkangan Clara, ia memijit memek Clara dari luar rok hijau yang di kenakan Clara.

Nafas Clara terasa semakin berat, ia merasakan ada yang keluar di bawah sana, dan rasanya itu sangat nikmat sekali, membuat Clara merem melek keenakan. Ia mendesah kian keras tak perduli kalau nanti ada yang mendengar suara erangan manja yang keluar dari bibir manisnya.

"Duduk Yang!" Suruh Dedy.

Clara mengangguk lalu duduk diatas meja. "Kamu mau jilatin itu aku?" Tanya Clara agak malu, karena biasanya Dedy memang suka menjilati memeknya.

"Iya sayang. Kamu mau kan?" Tanya Dedy sembari menyingkap rok hijau yang di kenakan Clara.

Kedua tangan Clara menarik legging sekaligus celana dalamnya hingga jatuh kelantai. "Aku mau Yang, rasanya enak." Jawab Clara, sembari membuka lebar kedua kakinya di hadapan Dedy.

"Indah sekali sayang." Lirih Dedy.

Ia menatap gundukan memek Clara yang terlihat indah, terdapat bulu-bulu yang berwarna kehitaman, cukup panjang tapi masih jarang-jarang. Ketika jarinya membuka cela bibir memek Clara, ia dapat melihat lobang sempit yang ada diantara kedua bibir memek Clara.

Berulang kali Dedy menelan air liurnya, menatap kagum kearah memek perawan Clara, Sementara gadis cantik itu terlihat malu karena kelaminnya di tatap oleh kekasihnya.

"Aughkk..." Clara menjerit saat merasakan lidah Dedy menyapu bibir memeknya.

Kedua tangannya mencengkram erat pinggiran meja, dan wajahnya sampai mendongak keatas. "Enak sekali memek kamu sayang! Sluuuppss... Sluuuppss... Sluuuppss..." Komentar Dedy sembari menjelajahi gundukan memek Clara yang terasa asin tapi gurih.

Sapuan lidah Dedy di bibir kemaluannya membuat Clara mencapai klimaksnya. Pantat Clara bergetar, dengan suara erangan yang terputus-putus.

Dedy membantu Clara untuk turun dari atas meja, lalu memberi isyarat agar Clara berlutut di depannya. Clara tentu mengerti apa yang di inginkan kekasihnya. Kedua tangannya dengan perlahan membuka celana Dedy berikut dengan dalamannya.

Dengan penuh kelembutan Clara menggenggam kemaluan Dedy, ia menggerakkan tangannya maju mundur sembari menciumi kepala kontol Dedy.

"Ssstt.... Hisap kontolku sayang." Desah Dedy sembari memegang kepala Clara.

Gadis cantik itu membuka mulutnya, melahap batang kemaluan Dedy ke dalam mulutnya. Sembari menghisap kontol Dedy, telapak tangannya mengocok-ngocok kontol Dedy, sehingga pemuda itu mengerang nikmat, merasakan sensasi hangat dari dalam mulut Clara.

Aroma khas kontol Dedy seakan bukan lagi jadi masalah bagi Clara, karena ia telah familiar dengan aroma kontol Dedy yang memang cukup menyengat.

"Yaang... Aku mau keluar." Dedy menekan kepala Clara.

Tubuhnya menegang selama beberapa detik, kemudian dari ujung kepala kontolnya ia menembakkan spermanya ke dalam mulut Clara.

Croooottss... Croooottss... Croooottss...

Setelah tidak ada lagi sperma yang keluar dari kontolnya, Dedy baru melepaskan kontolnya dari dalam mulut Kekasihnya. Tampak gadis berusia belasan tahun itu mengap-mengap mengambil udara untuk mengisi paru-parunya yang terasa kempis.

"Nikmat banget Yang!" Puji Dedy yang tampak puas.

Clara tersenyum manis. "Aku juga tadi enak banget... Jadi makin sayang sama kamu." Ujar Clara ke pada Dedy.

"Tidur diatas yuk." Ajak Dedy.

Clara mengangguk manja sembari melepas rok hijau dan kaos kaki yang melekat di tubuhnya. Yang tersisa hanya jilbab putih yang tampak aut-autan.
Diatas tempat tidur sembari berpelukan mereka saling merabah, tidak jarang bibir mereka berdua kembali bertemu untuk memberi kehangatan satu sama lain. Nafas Dedy kembali memburu, dan kontol nya kini telah kembali ireksi.

"Aku sayang kamu." Bisik Dedy.

Pemuda itu menindih tubuh Clara dengan posisi kaki yang mengangkang, sementara tubuh Dedy berada di tengah-tengah kedua tungkai kakinya.

Clara menggigit bibirnya, ia dapat merasakan getaran-getaran syahwat yang luar biasa, menggelitik di setiap bagian sensitif tubuhnya. Apa lagi ketika ia merasakan ada benda tumpul yang menempel di bibir kemaluannya, seakan ingin memasuki lobang sempitnya.

"Yang..." Suara Clara terdengar khawatir.

Telapak tangan Dedy membelai payudara Clara, memainkan puting mungilnya. "Aku sayang kamu, aku janji gak akan ninggalin kamu..." Bisik Dedy, ia mencium kembali bibir Clara, sementara kontolnya ia gesek-gesekan di bibir memek Clara yang kembali basah.

"Aku takut..." Lirih Clara

"Kamu sayang aku kan?" Pertanyaan yang selalu membuat Clara terjebak antara mengikuti hati nuraninya, atau kemauan sang kekasih.

Clara mengangguk. "Iya aku sayang kamu... Tapi... " Clara meneteskan air matanya.

"Aku gak akan ninggalin kamu." Dedy menyapu air mata Clara. "Aku janji sayang..." Sambung Dedy meyakinkan Clara sementara kepala kontolnya telah masuk sedikit ke dalam memek Clara

"Aku percaya." Bisik Clara.

Dedy tersenyum, ia menekan pinggulnya hingga kontol Dedy menyeruak masuk semakin dalam ke dalam memek Clara. Mata Clara terpejam, keningnya berkerut ketika ia menahan rasa sakit ketika kontol Dedy mulai mengoyak selaput perawannya yang selama ini berhasil ia jaga.

Tapi bersama Dedy, ia tidak mampu mempertahankannya lagi, bukan karena ia kalah oleh nafsunya, tapi karena rasa sayangnya yang terlalu besar kepada Dedy.

Bleeess...

"Auuuww... Perih Yang." Jerit Clara.

Tangan kanan Dedy membelai kepala Clara. "Tahan ya sayang, nanti juga enak..." Bujuk Dedy, sembari mendiamkan kontolnya yang baru saja merobek perawan Clara.

"Ehmmpsss... Pelan-pelan." Desah Clara.

Dedy menganggukkan kepalanya, sembari menarik perlahan kontolnya lalu mendorongnya kembali. Gerakan tersebut ia lakukan berulang kali hingga Clara mulai terbiasa dengan keberadaan kontolnya.

Seiring dengan waktu Clara mulai tampak menikmati setiap gesekan kulit kontol Dedy dengan dinding memeknya.

Dedy mengangkat punggungnya sementara kedua tangannya bertumpu diatas kasur di sisi kanan dan kiri Clara. Sembari menatap Clara ia mulai meningkatkan tempo goyangan pinggulnya, menyodok memek Clara yang terasa semakin licin karena lendir kewanitaan Clara yang keluar semakin banyak, sehingga mempermudah laju kontol Dedy.

Wajah Dedy mengisyaratkan kebanggaan karena lagi-lagi ia berhasil memperdaya seorang santriwati. Baru satu bulan yang lalu dia berhasil merenggut perawan salah satu santri di pesantren, dan hari ini ia kembali mendapatkan perawan segar, tentu sebuah prestasi yang membanggakan bagi Dedy.

"Enak sekali sayang Memek kamu." Desah Dedy.

Clara melingkarkan tangannya di leher Dedy. "Yang... Aku dapat... Aku dapat..." Lirih Clara, tubuhnya menegang ketika ia mencapai puncak klimaksnya.

"Enakkan sayang? Kamu mau lagi?" Tanya Dedy.

Clara mengangguk. "Iya aku mau sayang." Jawab Clara dengan suara berat.

Dedy mencabut kontolnya, lalu meminta Clara untuk menungging di depannya. Walaupun masih terlihat canggung, tapi Clara menuruti permintaan kekasihnya. Toh... Tidak ada lagi yang harus ia pertahankan dari kekasihnya.

Sembari merabahi pantat Clara, Dedy kembali menjejalkan kontolnya ke dalam memek Clara. Kali ini kontol Dedy masuk lebih dalam.

Ploookkk... Ploookkk... Ploookkk... Ploookkk... Ploookkk... Ploookkk... Ploookkk..
Ploookkk... Ploookkk... Ploookkk... Ploookkk... Ploookkk... Ploookkk... Ploookkk...

Suara benturan kelamin mereka terdengar cukup nyaring, di iringi dengan suara desahan-desahan syahwat muda mereka. Hingga akhirnya mereka berdua secara bersama-sama mencapai puncak klimaks secara bersamaan. Dedy tanpa ragu menyiram rahim Clara dengan spermanya.

*****

08:30


Zaskia

Selepas makan malam, Rayhan langsung di sibukan dengan pr bahasa Arab yang harus ia kumpulkan besok. Ia di minta menterjemahkan sebuah cerita berbahasa Arab ke bahasa Indonesia. Awalnya Rayhan terlihat dengan muda mengerjakan pr-nya, tapi pada akhirnya ia menyerah.

Ia membolak-balik kamus bahasa Arab miliknya, beberapa kalimat berhasil ia terjemahkan tetapi tidak sedikit yang tidak mampu ia terjemahkan.

Karena merasa menemui jalan buntu, satu-satunya jalan ia harus menggunakan google terjemahan.

Segera Rayhan meninggalkan kamarnya, ia berjalan menuju kamar Kakak Iparnya. Tanpa permisi Rayhan langsung saja menyelonong masuk ke dalam kamar Kakak Iparnya yang kebetulan dalam keadaan setengah telanjang.

"Eh kontol..." Pekik Zaskia ketika ia melihat Rayhan sudah berdiri di depan pintu kamarnya.

"Tumben Adek mau ngomong jorok." Ujar seorang pria di balik handphone yang ada di tangan Zaskia.

Zaskia yang sedang melepas rindu tengah melakukan panggilan video call bersama Suaminya, ia tidak menyangkah kalau Rayhan akan memergokinya yang sedang melakukan video call sex bersama Suaminya. Kondisi ini tentu membuat Zaskia menjadi serba salah, ia tidak mungkin meneriaki Rayhan, karena ia khawatir Suaminya salah sangka.

Sementara Rayhan sendiri tidak kalah kagetnya, ia tidak menyangka akan melihat Kakak Iparnya yang sedang vcs dengan saudaranya. Dan parahnya lagi Zaskia hanya mengenakan pakaian dalam seksi berwarna merah muda, dengan renda putih.

"Buka behanya Dek, mas mau lihat."

"Eh... Mas!" Zaskia mau menolak tapi ia ragu.

Sementara Rayhan masih terpaku di depan pintu kamar Kakaknya, ia dapat mendengar jelas suara Kakak kandungnya di balik hp yang di pegang oleh Zaskia. Sementara Zaskia sendiri tampak kebingungan, ia tidak mungkin memberitahu Suaminya kalau Rayhan saat ini ada di depannya.

"Dek... Kok bengong! Buka dong." Desak Azam di balik video.

Zaskia yang latahan reflek menarik bra-nya keatas, Azam yang tidak mengetahui kondisi yang sebenarnya terlihat senang. Ia tidak segan mengungkapkan perasaan rindunya yang ingin sekali menjamah buah dada Zaskia, dan tentu saja semua ucapan Azam di dengar langsung oleh Rayhan.

Sementara Rayhan sendiri tidak kalah tegangnya, matanya melebar, menatap nanar gumpalan payudara Kakaknya yang putih bersih seperti kapas, di hiasi dengan puting berwarna merah muda.

Pemandangan indah tersebut seakan menghipnotis Rayhan, membuatnya terdiam membisu.

Zaskia yang kesadarannya telah pulih dengan cepat mengambil bantal lalu melempar Rayhan dengan bantalnya, hingga Rayhan terasadar dari kekagumannya.

Buru-buru Rayhan menutup pintu kamar Kakaknya, kembali ke kamarnya dengan perasaan yang tak menentu. Jujur Rayhan tidak menyangkah kalau ternyata Kakaknya yang alim dan konservatif itu ternyata juga suka melakukan video call sex dengan Saudaranya.

*****
end part 2
 
Chapter 3

05:00





Dari belakang seorang pemuda berjalan mengendap. Ia melingkarkan kedua tangannya di pinggang ramping seorang wanita berusia 24 tahun. Gadis bermata indah itu tersenyum menyambut pelukan hangat dari seseorang yang amat ia sayangi. Ia memutar tubuhnya hingga mereka saling berhadapan.

Kedua mata mereka saling menatap, menimbulkan getaran-getaran syahwat yang semakin membakar birahi mereka berdua. Rayhan mendekatkan wajahnya, bibir tebalnya menyentuh lembut bibir Zaskia yang kemerah-merahan.

Zaskia memejamkan matanya, menikmati lumatan lembut dari sang Adik yang tengah mengulum bibirnya. Ia membuka sedikit bibirnya, membiarkan lidah adiknya masuk kedalam mulutnya, menjamah bagian dalam mulutnya, membelit lidahnya, dengan mesrah, seperti sepasang ular yang tengah memadu kasih.

Kedua tangan Rayhan kebawah, ia menyentuh dan membelai bongkahan pantat Zaskia yang terasa kenyal dan padat.

"Eehmmpss.... Hmmmpss..."

Ciuman mereka semakin panas, ketika jemari Zaskia menyentuh kemaluan Rayhan yang ternyata sudah ereksi maksimal. Wanita berparas cantik itu melepas ciuman mereka, ia turun kebawah, berlutut di hadapan Rayhan. Jemari lembutnya kembali membelai tonjolan yang ada di celana Rayhan.

"Kakak buka ya Dek!" Pinta Zaskia.

Rayhan menganggukan kepalanya, sembari membelai kepala Zaskia yang terbungkus jilbab segi empat berwarna biru muda.

Dengan perlahan jemari lentik itu membuka pengait celana Rayhan. Lalu ia menarik turun celana Rayhan bersama celana dalamnya yang berwarna coklat tua. Sedetik kemudian, batang kemaluan Rayhan yang berukuran 22Cm melompat keluar dari dalam sarangnya, terpampang di hadapannya.

"Eessstt..." Rayhan mendesis nikmat ketika jemari halus Zaskia menggenggam batang kemaluannya.

Zaskia menatap Rayhan sembari tersenyum menggoda. "Enak Dek? Kamu suka?" Tanya Zaskia,

Sembari menggerakan tangannya maju mundur, mengocok kemaluan Adiknya.

"Enak banget Kak! Aaahkk... Hisap kontolku Kak." Pinta Rayhan, dia kembali membelai kepala Kakak kandungnya.

Saat wajahnya semakin dekat dengan kemaluan Rayhan. Zaskia dapat mencium aroma menyengat dari batang kemaluan Rayhan yang membuatnya kian terbakar birahi. Perlahan Zaskia menyapu permukaan kepala penis Rayhan dengan ujung lidahnya, lalu turun menelusuri batangnya yang panjang. Sementara jemarinya membelai lembut kantung testis Rayhan.

Tidak ada satu incipun dari kemaluan Rayhan yang terlewat dari sapuan lidahnya. Setelah batang kemaluan Rayhan basah oleh air liurnya, Zaskia melahap penis Rayhan. Wanita berhijab biru itu mengoral penis Rayhan dengan mulutnya.

"Oughkk... Astaghfirullah! Enaaak Kak." Keluh Rayhan.

Sluuuppsss... Sluuuppsss... Sluuuppsss...

Zaskia mengombinasikan kulumannya dengan kocokan telapak tangannya di batang kemaluan Rayhan. Membuat pemuda berusia belasan tahun itu mengerang nikmat.

Permainan mulut, lidah dan telapak tangan Zaskia membuat Rayhan rasanya ingin meledak. Aliran darahnya memanas, berkumpul di satu titik dan siap untuk di tumpahkan kapan saja. Tetapi sebelum itu terjadi, Rayhan segera meminta Zaskia berhenti mengoral penisnya.

Ia meminta Zaskia kembali berdiri. Lalu bibirnya mencium dan melumat bibir Zaskia yang telah memberikan servis yang luar biasa untuk Rayhan junior.

Sembari berciuman, Rayhan menarik turun resleting gamis Zaskia yang berada di punggungnya. Kemudian dari pundaknya, Rayhan menarik turun gamis Zaskia dengan perlahan. Tampak pundak Zaskia yang putih mulus terpampang di hadapannya. Cup... Rayhan mengecup mesrah pundaknya, sembari terus menarik turun gamis Zaskia hingga jatuh kelantai.

Di hadapannya saat ini seorang wanita dewasa berdiri di depannya hanya mengenakan bra berwarna hitam berukuran 34E, celana dalam jenis g-string yang menutupi pubik vaginanya, dan kaos kaki sepanjang betis berwarna putih bersih.

Kedua jari tangan Rayhan menyusup masuk ke tali bra Zaskia. Lalu ia menurunkannya dengan perlahan. Tidak sampai disitu saja, Rayhan juga melipat kebawah cup branya, hingga meninggalkan sepasang gunung kembar yang terlihat sangat indah, dengan kedua puting mungil yang kemerah-merahan.

Rayhan menelan air liurnya, tak tahan dengan keindahan yang ada di hadapannya saat ini.

"Hisap tetek Kakak Dek!" Pinta Zaskia.
Rayhan menangkup payudara Zaskia. "Cuman di hisap saja Kak?" Goda Rayhan, dia meremas lembut gumpalan daging gemuk yang berada di telapak tangannya

"Oughkk... Enak! Lakukan sesuka kamu Dek. Tetek Kakak milik kamu sayang." Ujar Zaskia dengan suara mendesah, membuat Rayhan semakin bersemangat mengerjai sepasang payudara Zaskia yang sempurna itu.

Anak remaja itu memposisikan Kakak Iparnya untuk duduk diatas meja rias. Lalu Rayhan membungkukkan tubuhnya, sembari mendekatkan wajahnya di hadapan payudara Zaskia. Mulutnya terbuka lebar, dan melahap payudara Zaskia. Sementara tangannya yang menganggur meremas payudara Zaskia.

"Oughkk...!" Desah Zaskia.

Kedua tangan Zaskia mencengkram erat pinggiran meja hias miliknya dengan wajah cantiknya yang mendongak keatas, merasakan setiap sentuhan di payudaranya yang merangsang tubuh indahnya.

Secara bergantian Rayhan merangsang, menyentuh payudara Zaskia dengan bibir, lidah dan tangannya. Ia juga meninggalkan bekas merah di sana.

"Aahkkk... Ray! Aduh... Kakak gak tahan sayang!" Erang Zaskia.

Rayhan menggigit puting Zaskia, sembari membelai paha mulus Kakak kandungnya yang selama ini selalu tersembunyi di balik gamisnya.

Jemari Rayhan terus naik, menuju gundukan tebal yang berada diantara kedua paha mulus Zaskia. Jari telunjuknya menyentuh lembut lembah terlarang tersebut, lalu bergerak mengikuti garis vagina Zaskia.

"Aduh Dek! Enaaak." Pinggul Zaskia tersentak-sentak.

Telapak tangan kanannya meremas lengan kanan Rayhan yang jarinya tengah membelai, menjamah vaginanya.

"Apanya yang enak Kak?" Goda Rayhan.

Zaskia menggigit bibir bawahnya, membuatnya terlihat sensual. "Itu Kakak sayang, enak!" Desah Zaskia, wajahnya bersemu merah karena malu.

"Iya apa? Adek gak ngerti Kak."

"Vagina Kakak?"

"Eh... Ini namanya memek Kakak!" Bisik Rayhan, ia menarik celana dalam Zaskia keatas, sehingga permukaan kain G-string Zaskia menggesek-gesek bibir kemaluannya.

Zaskia mendekap mulutnya, ia merasakan cairan cintanya keluar semakin banyak. "Aduh... Aahkkk... Enak! Eehmm..." Desah Zaskia, ia menggeleng-gelengkan kepalanya, berusaha melawan rasa nikmat yang di berikan Rayhan kepada dirinya.

"Jawab Kak." Desak Rayhan.

"I-iya Memek Dek!" Jawab Zaskia terputus-putus. "Kakak mau pipis Dek." Melas Zaskia, ia semakin menggelinjang tidak beraturan, ketika orgasme itu hampir tiba.

Rayhan tersenyum tipis. Ia ingin sedikit mengerjai Kakaknya sehingga ia menghentikan aksinya sejenak. Zaskia yang hampir saja klimaks mencoba menarik tangan Rayhan agar kembali menarik-narik celana dalamnya. Tetapi Rayhan menolaknya, ia malah meminta Zaskia untuk kembali turun dari atas meja hiasnya.

Zaskia hanya pasrah menuruti kemauan Rayhan, walaupun ia merasa kecewa.

Mereka kembali berciuman selama beberapa detik. Kemudian Rayhan meminta Zaskia untuk menghadap kearah cermin meja riasnya. Rayhan menarik pantat Zaskia agar sedikit menungging.

"Kamu mau apa Dek?" Tanya Zaskia. Kedua lengannya bertumpu diatas meja rias.

Anak remaja berusia belasan tahun itu tidak menggubrisnya. Ia membelai punggung telanjang Zaskia. Lalu melepas pengait bra Zaskia dengan perlahan dan melempar bra berwarna hitam itu ke sembarang tempat.

Belaian kuku Rayhan turun menuju pinggang ramping Zaskia, membuat wanita yang sampai detik ini masih menjaga kesucian pernikahannya itu menggelinjang geli.

Rayhan berlutut di belakang tubuh Zaskia. Sementara telapak tangannya membelai bongkahan pantat Zaskia yang besar tapi sangat kencang. Jari telunjuknya menyusup dan mengait tali G-string yang menyelip di dalam belahan pantatnya. Dengan satu tarikan, tali G-string tersebut membetot bibir kemaluan Zaskia yang telah berlendir.

"Auwww!" Pekik Zaskia manja.

Mata mereka berusaha kembali bertemu, dan sedetik kemudian mereka berdua sama-sama tersenyum.

Kedua tangan Rayhan meraih pinggiran G-string yang di kenakan Kakaknya. Lalu dengan perlahan ia menarik turun kedua sisi celana dalam Zaskia, hingga melewati betisnya yang masih terbungkus kaos kaki berwarna putih. Dan lagi Rayhan membuang salah satu penutup tubuh Zaskia.

"Dek!" Lirih Zaskia malu.

Wanita cantik berusia 24 tahun itu menatap sayu kearah Rayhan, ketika anak remaja itu membuka pipi pantatnya, hingga anus dan lobang vaginanya terlihat jelas oleh Adiknya. Sebagai wanita yang amat menjaga privasi nya itu, tentu apa yang di lakukan Rayhan sangat memalukan baginya. Tetapi di sisi lain, ia tertantang untuk melanjutkan kegilaannya.

Mula-mula Rayhan mencium bongkahan bokong Zaskia yang padat berisi itu. Lidahnya menjilati setiap inci pantatnya, terus turun menuju lubang sempit yang terlihat seperti kuncup bunga mawar yang belum mekar. Zaskia tersentak kaget saat merasakan lidah Rayhan menyapu lobang anusnya.

Dia menatap Adik kandungnya tak percaya sembari menggelengkan kepalanya. Tetapi ia juga tidak bisa menghentikan aksi Rayhan, karena sejujurnya ia menikmati sensasinya.

"Ahkk... Dek! Kamuuu... Aduh!" Pantat Zaskia terdorong ke depan ketika ujung lidah Rayhan menusuk anusnya.

Rasa asin di ujung lidah Rayhan, mengantarkan getaran nikmat ke sekujur tubuhnya. Membuat Rayhan semakin betah berlama-lama menjilati anus Kakak Iparnya. Sementara jemari Rayhan yang lainnya, membelai bibir kemaluan Zaskia. Ia menggosok-gosok clitoris Zaskia yang semakin membengkak.

Zaskia membenamkan wajahnya di atas meja. Wajah cantiknya meringis menahan rasa nikmat yang luar biasa. Bahkan jauh lebih nikmat dari sebelumnya.

Kombinasi lidah Rayhan yang bermain di anus dan jarinya yang menggosok clitoris Zaskia. Membuat wanita muda itu dengan cepat kembali di kuasai birahi. Tubuhnya menegang, dan keringat dingin mengucur deras, membasahi tubuh mulusnya. Ketika orgasme yang tadi tidak kunjung datang, kini sudah tidak bisa dihentikan lagi.

Tubuhnya bergetar hebat, matanya terbelalak lebar dengan wajah bersemu merah seperti kepiting rebus.

"Adeeeeeeeeeekkkkkkk..... Banguuuuuuunnn...."

Ngiiiiiiiiing.....

Tubuh Rayhan tersentak kaget, dan telinganya terdengar suara dengungan yang membuatnya harus mengusap-usap telinga bagian kanannya untuk menghilangkan efek dengungannya.

Rayhan menoleh ke samping, ia melihat seorang wanita cantik tengah berjongkok di samping tempat tidurnya dengan senyuman iblis tanpa dosa, setelah mengacaukan mimpin indahnya. Rayhan mengeram kesal, tapi tentu saja ia tidak akan pernah berani berteriak di depan Kakak iparnya.

Zaskia mengangkat alisnya. "Masih mau tidur?" Ledek Zaskia. Rayhan mendesah pelan.

"Nyebelin!" Sungut Rayhan.

"Bodoh." Zaskia tertawa tipis. "Kamu sih Dek, di bangunin baik-baik gak bangun. Ya udah Kakak pake cara terakhir buat membangunkan kebo kayak kamu." Ujar Zaskia senang, karena berhasil mengerjai Adik kandungnya.

"Sakit ni." Rengek Rayhan.

Zaskia mendekat, ia duduk di tepian tempat tidur Adiknya. "Sakit ya? Kaciaaan... Cini-cini biar Kakak tiup." Ujar Zaskia dengan nada suara yang di buat menirukan anak kecil. Jemari halusnya menyentuh daun telinga Rayhan, sembari meniup kuping Rayhan.

Jantung Rayhan berdetak kian cepat saat ia dapat melihat jelas bibir merah Zaskia yang meruncing ke depan, seakan meminta untuk di lumat. Gleeek... Rayhan menelan air liurnya dengan bersusah paya, menahan birahinya yang di rasakan semakin membara. Andai saja yang ada di sampingnya saat ini bukan saudaranya, mungkin Rayhan akan nekat memperkosanya.

"Udah sembuh!" Ujar Zaskia sembari mengucek rambut Adiknya.

"Terimakasih ya Kak!"

Zaskia menganggukkan kepalanya. "Sama-sama adikku sayang! Sekarang kamu ambil wudhu ya, waktu subuh sudah mau hampir habis." Ujar Zaskia.

Rayhan menyingkap badcover yang menutupi sebagian tubuhnya, lalu turun dari atas tempat tidurnya. Ia berdiri sejenak di depan Kakaknya sembari merenggangkan otot-otot tubuhnya yang dirasa kaku. Sementara Zaskia yang berada di dekatnya tampak meringis ketika matanya tidak sengaja melihat tonjolan di celana Rayhan yang sangat besar.

Walaupun Rayhan Adik Iparnya, tetapi tetap saja sebagai seorang wanita dewasa, ia juga memiliki rasa penasaran dengan bentuk kelamin Rayhan yang sepertinya besar dan panjang.

"Tunggu Ray!" Cegah Zaskia ketika Rayhan hendak keluar kamar. "Mandi wajib dulu." Bisik Zaskia nyaris tidak terdengar sembari menunjuk tonjolan di celana Rayhan menyisakan bercak sperma Rayhan di sana.

Mata Rayhan tertuju di celananya. "Eh... Iya, maaf Kak!" Lirih Rayhan, tapi ia tidak berusaha menutupinya.

"Kebiasaan!" Sungut Zaskia.

Rayhan mematung hingga Zaskia pergi meninggalkan kamarnya.

Kembali ia teringat dengan kejadian semalam dan beberapa hari yang lalu ketika ia tidak sengaja melihat Kakaknya dalam kondisi nyaris telanjang. Normalnya seorang wanita akan marah kalau ada orang lain melihatnya dalam kondisi memalukan tersebut, tetapi entah kenapa Kakak Iparnya malah bersikap seakan tidak terjadi apa-apa.

Rayhan mulai berpikir kalau jangan-jangan Kakak Iparnya juga menyukainya, buktinya Zaskia tidak pernah marah setiap ia menjahilinya, dan lagi Kakak iparnya itu masih rajin membangunkannya, dan beberapakali Rayhan memergoki Kakak Iparnya yang melirik kearah selangkangannya.

"Enggak... Gak... Itu tidak mungkin."Rayhan menggelengkan kepalanya, mengusir prasangka buruknya terhadap Kakak Iparnya.

*****

06:00



Di kediaman KH Umar, Azril baru saja selesai menunaikan ibadah subuh, ia terlihat sibuk melipat kembali sajadahnya. Tiba-tiba tanpa permisi Adik perempuannya yang bernama Aurel menyelonong masuk ke dalam kamarnya, dan yang membuat Azril melongok karena penampilan Aurel yang hanya mengenakan handuk.

Aurel mengacak-acak buku koleksi Azril, seakan sedang mencari sesuatu.

Setelah tidak menemukan yang ia cari di rak bagian atas, Aurel beralih kerak bagian tengah. Dengan posisi membungkuk ia mengacak-acak buku Azril.

Sementara Azril yang berada di belakangnya tampak tertegun memandangi bulatan pantat Aurel yang terbungkus handuk berwarna putih. Sepasang kaki jenjangnya yang indah membuat Azril membatalkan niatnya untuk membaca kitab suci.

Aurel menoleh kebelakang. "Kak! Bantuan cari kek." Omel Aurel.

"Cari apa?"

"Buku tasawuf Kak!" Pinta Aurel.

Azril semakin bingung karena informasi yang di berikan Aurel tidak lengkap. "Tasawuf jilid berapa?" Tanya Azril lagi, Aurel tampak kesal karena Azril hanya bertanya saja sejak tadi.

"Jilid tiga." Bentak Aurel.

Azril mendesah pelan. "Itu di lemari bagian bawah." Tunjuk Azril.

"Bilang kek dari tadi." Kesal Aurel.

Ia semakin membungkuk untuk membuka lemari bagian bawah meja belajar Kakaknya. Dan tanpa ia sadari handuk yang ia kenakan makin ketarik keatas, memperlihatkan paha mulusnya, dan tampak bibir kemaluannya mengintip malu-malu.

Azril yang berada di belakangnya berulang kali menelan air liurnya yang terasa hambar.

Walaupun Aurel adalah adik kandungnya, tetapi tetap saja tidak muda bagi Azril untuk mengabaikan pemandangan yang ada di hadapannya saat ini. Rasa penasaran nya atas bentuk vagina adiknya, membuatnya tanpa sadar melototi vagina Aurel.

Sembari meremas kemaluannya, Azril menatap nanar bibir kemaluan Aurel yang terlihat tembem dan di hiasi bulu-bulu halus.

Bibir kemaluan nya yang kemerah-merahan masih terlihat basah oleh air sisa-sisa mandi Aurel.

"Liat apa Kak?" Bentak Aurel.

Azril tergagap melihat Aurel yang merapikan handuknya. "Sssttt... Kakak ngintip ya?" Tunjuk Aurel, Azril yang ketakutan menggelengkan kepalanya.

"Eng... Enggak Dek!" Elak Azril.

Aurel tersenyum sinis. "Sudah ketahuan masih saja bohong." Aurel melipat kedua tangannya dibawah payudaranya. "Nafsu ya Kak sama Adik sendiri." Ujar Aurel menohok.

Azril kehabisan kata-kata, apa yang di katakan Aurel memang benar, sungguh sangat memalukan apa yang di perbuat Azril barusan, walaupun ia tidak salah seratus persen mengingat Aurellah yang datang ke kamarnya dengan hanya mengenakan handuk.

Sembari menggelengkan kepalanya, ia menatap sinis kearah saudaranya. Tanpa berkata apa-apa Aurel pergi meninggalkan kamar Azril.

Azril terduduk lemas di tempat tidurnya selepas kepergian Aurel, Azril terlihat merasa sangat malu dan khawatir kalau perbuatannya barusan di ketahui oleh kedua orang tuanya.

Setelah meyakinkan dirinya untuk mengakui kesalahannya, Azril segera beranjak dari tempat tidurnya dan pergi ke kamar adiknya.

Tok... Tok... Tok...

"Dek..." Panggil Azril.

Tidak lama kemudian Aurel membukakan pintu kamarnya. "Apa? Berisik tau gak." Sungut Aurel kesal karena merasa terganggu.

"Kakak mau minta maaf Dek soal tadi, jangan kasih tau Umi sama Abi ya." Melas Azril.

"Ehmm... Jadi sekarang sudah mau ngaku! Bakal Aurel kasih tau Umi dan Abi, biar mereka tau kalau anak kebanggaan nya ini suka ngintip adik kandungnya sendiri." Geram Aurel.

Jawaban Aurel membuat Azril semakin panik. "Ya Allah jangan Dek! Kakak benar-benar minta maaf. Kakak akan melakukan apapun yang Adek minta, tapi tolong jangan beritahu Umi sama Abi." Mohon Azril, ia sampai membungkuk sanking takutnya.

Aurel terdiam sejenak, ia memikirkan tawaran dari Azril. Sejenak ia teringat dengan prnya, Aurel pikir ia bisa memanfaatkan kesalahan Kakaknya barusan untuk membantunya mengerjakan pr-nya.

"Masuk Kak." Suruh Aurel melemah.

Azril segera masuk ke dalam kamar adiknya yang bernuansa feminim.

Azril duduk di atas tempat tidur adiknya yang masih terlihat berantakan, selagi Aurel mengambil buku tulisnya. Kemudian Aurel memberikan buku tersebut kepada Azril.

"Kerjain pr-nya." Suruh Aurel.

Walaupun hati kecilnya menolak, tetapi Azril sadar kalau ia tidak punya pilihan. Dari pada perbuatannya di laporkan ke orang tuanya, ia lebih memilih mengerjakan pr adiknya.

Tanpa di minta dua kali Azril segera mengerjakan tugas Adiknya.

Sementara Aurel terlihat sangat senang karena akhirnya ia terbebas dari tugas sekolah yang menyebalkan. Sanking girangnya, Aurel sampai tidak memperdulikan kehadiran Azril di dalam kamarnya, dan dengan santainya ia berganti pakaian di hadapan Kakaknya.

Azril yang tengah mengerjakan tugas Aurel, sesekali mencuri pandang kearah Aurel yang tengah memilih pakaian dalam di lemarinya.

Nafas Azril tercekat ketika Aurel melingkarkan bra-nya dari luar handuk yang di kenakannya. Ketika Aurel menarik lepas ikatan handuknya, Azril dapat melihat payudara Aurel yang langsung terbungkus bra yang Aurel pasang, berikut vagina mungil Aurel yang di tumbuhi rambut hitam yang tidak begitu lebat.

Walaupun hanya seperkian detik, tapi sudah cukup untuk membuat adrenalin Azril menggebu-gebu.

Tanpa di sadari Azril, perbuatannya di ketahui Aurel dari pantulan cermin lemari pakaiannya. Sebenarnya Aurel ingin memarahi kakaknya, tapi ia urungkan setelah dirinya menyadari kalau ada kesenangan tersendiri yang sulit di jelaskan ketika memergoki saudaranya yang tengah mencuri pandang kearahnya.

Dengan senyum culasnya, Aurel memakai celana dalamnya dan lagi-lagi ia melihat dari pantulan cermin kalau kakaknya sedang melirik dirinya sembari berpura-pura sibuk mengerjakan tugasnya.

Saat menarik keatas celana dalamnya, ia membiarkan handuknya ikut terangkat bersama celana dalamnya, ia melakukan hal tersebut dengan perlahan, sembari melihat Kakaknya dari pantulan cermin.

Perasaan yang sama kembali di rasakan Aurel ketika ia bersama teman-temannya dengan sengaja mengerjai Pak Imbron satpam yang berjaga di ponpes Al-fatah.

Mengingat kenakalannya beberapa hari yang lalu, membuat Aurel semakin bergairah.

Ia dengan sengaja menyingkap keatas handuk yang ia kenakan hingga sebatas pinggangnya. Alhasil kejahilannya tersebut membuat Azril terperangah hingga mulutnya mengangga lebar.

Dengan satu tarikan cepat Aurel memakai celana dalamnya, dan sedetik kemudian ia berbalik dan tertawa puas melihat raut wajah Azril.

"Ya Allah Kak, sampe mangap gitu mulutnya. Hihihi..." Tawa Aurel.

Azril yang sadar sedang di kerjai, buru-buru memalingkan wajahnya dan pura-pura tidak mendengar ucapan Aurel.

"Memek Aurel bagus gak Kak?" Ujar Aurel sembari mengambil handphonenya.

"....." Azril yang kesal karena di permainkan memilih diam.

Aurel segera menghampiri Azril, dan merebut buku pr nya sedang di kerjakan Azril. "Kalau di tanya jawab, apa mau Aurel aduhin sama Umi." Ancam Aurel membuat Azril kembali panik.

"Jangan Dek, i-iya bagus."

Aurel mendengus kesal. "Jawab yang benar." Bentak Aurel sembari mencubit lengan Kakaknya.

"Aduh..."

"Dih, gitu doang kesakitan, lemah banget kamu Kak." Ejek Aurel, Azril memilih diam, ia tidak berani melawan adiknya sendiri. "Buruan jawab yang bener!" Desak Aurel dengan mata melotot.

"I-iya Dek! Memek Adek bagus banget." Jawab Azril.

"Kakak suka? Nafsu?" Goda Aurel.

Mata Azril turun kebawah ketika Aurel dengan sengaja menyingkap handuknya. "Su... Suka Dek, Kakak nafsu..." Jawab Azril terbata-bata sembari menatap nanar gundukan tebal vagina Aurel yang terbungkus kain berwarna putih.

"Hihihi... Najis kamu Kak! Sama adik sendiri aja nafsu." Ungkap Aurel merendahkan Kakaknya kandungnya sendiri.

Kemudian Aurel tidak lagi menggubris Azril, ia segera mengenakan seragamnya. Sebelum pergi meninggalkan Azril, ia mengingatkan Azril untuk segera menyelesaikan tugas sekolahnya.

Azril hanya bisa patuh, tanpa berani membantah dan berharap Aurel benar-benar tidak mengadukannya.

*****




Di tempat yang berbeda, di kediaman Ustad Furqon, tampak sepasang suami istri tersebut tengah berdebat sembari menyantap sarapan pagi mereka, membuat suasana yang seharusnya hikmat menjadi tidak nyaman, terutama bagi Salma, Istri Ustad Furqon.

Satu tahun belakangan ini, hubungan mereka memang kurang harmonis, di karenakan keinginan Furqon yang ingin segera memiliki momongan.

Sudah hampir 6 tahun mereka menikah, tapi hingga kini mereka tak kunjung mendapatkan keturunan. Berbagai cara sudah mereka lakukan, dari meminta nasehat ke orang yang berpengalaman hingga berobat ke dokter kandungan, tapi tetap saja hasilnya nihil.

Dan baru-baru ini Furqon mendapat informasi kalau ada seorang dukun yang bisa mengobati mereka agar segera mendapat keturunan.

Salma tentu saja menolak, karena baginya percama dengan dukun sama saja menyekutukan Tuhan, tapi berbeda dengan pendapat Furqon, ia merasa pergi ke dukun adalah salah satu ihktiar agar segera mendapat keturunan.

"Tidak ada salahnya kita mencoba Dek." Desak Furqon.

Beberapakali Salma tampak menghela nafas. "Mas lupa ya, kalau pergi ke dukun itu diharamkan." Ujar Salma mengingatkan.

"Astaghfirullah Dek! Tujuan kita ke dukun adalah salah satu cara ihktiar kita untuk mendapatkan keturunan, bukan untuk meminta yang aneh-aneh." Tegas Furqon yang tampak kesal dengan sikap keras kepala Istrinya.

"Apapun alasannya, tetap saja tidak boleh Mas."

Furqon mendengus kesal. "Terserah kamu mau ngomong apa Dek! Mas hanya ingin memiliki keturunan, hanya itu." Ujar Furqon berapi-api.

"......." Salma tertunduk diam, dari sudut matanya mengalir air mata yang membasahi pipinya.

"Mulai lagi." Kesal Furqon.

"Ceraikan Adek Mas, dengan begitu Mas bisa mendapatkan keturunan dari wanita lain." Lirih Salma dengan suara yang serak.

Furqon yang tidak ingin melanjutkan perdebatan nya pagi ini, bergegas menyudahi sarapannya. Tanpa berkata-kata, ia pergi begitu saja meninggalkan Istrinya yang tengah sesenggukan.

Sementara Salma sendiri terlihat semakin sedih, ia tidak menyangkah kalau Suaminya seegois itu.

Dulu ia menerima Furqon karena ia pikir menikah dengan anaknya pemimpin pesantren akan membuatnya bahagia, dan ia percaya kalau Furqon bisa menjadi Suami yang baik, yang membimbingnya menuju jannah. Tapi pada kenyataannya, ia merasa sangat kecewa.

*****

09:45




Tok... Tok... Tok...

"Iya sebentar!" Pekik Fatimah sembari mengenakan jilbabnya.

Ia berjalan tergopoh-gopoh sembari mendumel karena tamu tersebut tidak mengucapkan salam, dan sedari tadi mengetuk pintu berulangkali, membuatnya merasa kesal.

Fatimah yang awalnya berniat memarahi sang tamu, mendadak membisu ketika pintu terbuka, dan tampak sosok pria yang paling sangat ia benci saat ini berdiri di depannya dengan senyuman angkuhnya. Wajah Fatimah memerah menahan emosi, mengingat apa yang sudah di lakukan pria tersebut kepadanya.

"Ada perlu anda kemari?" Ucap ketus Fatimah.

"Saya tau Bu Haja tidak suka kehadiran saya di sini, tapi mau gimana lagi, ada yang ingin saya bicarakan." Ujar Pak Sobri santai.

Fatimah mendengus sembari melipat kedua tangannya. "Saya tidak terima tamu." Tegas Fatimah, secara tidak langsung ia mengusir pria yang ada di hadapannya saat ini.

"Yakin Bu Haja ingin saya pergi?"

Pak Sobri mengeluarkan hpnya, mengotak-atik sebentar lalu memberikannya kepada Fatimah.

Dengan ragu Fatimah menerima HP tersebut, matanya membulat, tangannya gemetar dan mulutnya mengangah lebar menatap layar HP milik Pak Sobri. Tampak butiran keringat dan air mata mengalir perlahan, dengan gugup Fatimah menghapus video yang baru saja ia tonton.

Pak Sobri terkekeh melihat Fatimah yang begitu panik, ia tau percis bagaimana menaklukkan wanita sealim dan sesoleha Fatimah.

"Percuma dihapus, saya memiliki failnya."

Fatimah menghempaskan hp tersebut kearah Pak Sobri. "Biadab..." Geram Fatimah.

Pak Sobri mengambil hpnya yang terjatuh di lantai. "Jadi bagaimana Bu Haja, apa saya boleh masuk." Ujar Pak Sobri setengah berbisik.

Tubuh Fatimah bergetar hebat, keberanian yang terlihat dari sorot matanya mendadak berubah menjadi sebuah ketakutan.

"Tolong Pak!" Melas Fatimah menyerah.

"Bisa kita bicarakan di dalam." Ujarnya.

Fatimah yang merasa tidak memiliki pilihan terpaksa mengizinkan Pak Sobri masuk, segera ia menutup dan mengunci pintu rumahnya setelah Pak Sobri masuk kedalam rumahnya. Tanpa di izinkan, dengan santainya Pak Sobri duduk di sofa, sembari meletakan kedua kakinya di atas meja.

Perasaan Fatimah campur aduk, antara marah, benci, dan takut menjadi satu. Sembari menghela nafas ia duduk di samping Pak Sobri, seperti yang di instruksi kan Pak Sobri dengan kode menepuk sofa di sampingnya.

"A-apa yang Bapak inginkan? Menghancurkan hidup saya? Apa yang kemarin belum cukup?" Tanya Fatimah gemetar.

Pak Sobri tersenyum, ia meraih tangan Fatimah dan menggenggam nya, Fatimah yang merasa risih mencoba menarik tangannya. Tapi niat itu di urungkan ketika melihat tatapan mata Pak Sobri yang mengintimidasi nya. "Belum cukup Bu Haja, saya membutuhkan lebih dari itu! Selama Bu Haja menuruti semua perintah saya, rahasia Bu Haja aman di tangannya saya, bagaimana?" Tawar Pak Sobri.

"A-pa saya punya pilihan?"

Pria tambun itu menggelengkan kepalanya, seiring dengan Fatimah yang memejamkan matanya, penuh dengan kepasrahan.

Fatimah sangat menyesali keputusan nya kemarin yang sudah mau mendengarkan ucapan saudara Iparnya. Sekarang nasi sudah menjadi bubur, Fatimah hanya bisa pasrah menerima nasibnya.

"Sa-saya setuju." Jawab Fatimah getir.

Pak Sobri tersenyum, sembari melepas genggamannya. "Saya lagi kepengin, tolong puaskan saya." Ucap Pak Sobri.

Tangis Fatimah kembali pecah, tetapi kali ini ia lebih memilih menuruti keinginan Pak Sobri. Dengan perlahan ia berlutut di hadapan Pak Sobri, membuka dengan perlahan celana kain hitam tersebut, sesuai dengan arahan dari Pak Sobri.

Saat menarik turun celana Pak Sobri, lagi-lagi Fatimah di buat takjub oleh ukuran kontol Pak Sobri yang tidak hanya panjang, tapi juga gemuk.

"Sentuh dengan telapak tangan." Suruh Pak Sobri.

Tangan Fatimah gemetar ketika jemarinya mulai menyentuh kemaluan Pak Sobri, hangat dan keras, itu yang di rasakan Fatimah saat ini, ketika ia menggenggam kemaluan pria yang bukan muhrimnya.

Perlahan Fatima menggerakkan tangannya naik turun, mengocok perlahan penis Pak Sobri.

"Bagaimana rasanya? Kontol ini yang kemarin membobol pantat Bu Haja. Hahaha..." Tawa puas Pak Sobri yang terdenga menjijikkan di telinga Fatima.

"......" Fatimah menjawabnya dengan tatapan penuh emosi.

Pak Sobri menekan kebawah kepala Fatimah, hingga wajahnya begitu dekat dengan penis Pak Sobri yang tengah mengintimidasi dirinya, tetapi Fatimah sama sekali tidak berani melawan.

"Kulum!" Suruh Pak Sobri.

Fatimah menggelengkan kepalanya, menolak perintah Pak Sobri, tapi Pak Sobri tidak mau menyerah, ia menjambak dan menekan kepala Fatimah hingga bibirnya menyentuh kepala penis Pak Sobri.

Dengan amat terpaksa, Fatimah membuka mulutnya, melahap penis Pak Sobri sebisanya. "Hueeek... Ohhkk..." Fatimah hampir muntah merasakan dan mencium aroma penis Pak Sobri yang menyengat.

Seakan tidak perduli dengan penderitaan Fatimah, Pak Sobri kembali memaksa Fatimah untuk mengulum penisnya.

Kali ini Fatimah mencoba menahan rasa mualnya ketika melahap penis Pak Sobri. Kepala Fatimah naik turun mengikuti arahan dari Pak Sobri. Di saat Fatimah merasa tersiksa, Pak Sobri malah terlihat sangat menikmati kuluman Fatimah.

Semenit berlalu, Pak Sobri sudah tidak lagi mengarahkan Fatimah, kini Fatimah bergerak sendiri, kepalanya naik turun, sementara jemari tangannya menggenggam penis Pak Sobri, sembari mengocoknya naik turun.

Semakin lama Fatimah terlihat makin terbiasa dengan tugasnya, bahkan untuk orang yang pertama kali melakukan oral sex, Fatimah tergolong cepat belajar.

Fatimah yang mulai kelelahan, mengistirahatkan sebentar rahangnya mulai terasa pegal, ia menggantinya dengan sapuan lidahnya di kemaluan Pak Sobri.

"Enak sekali Bu Haja! Aaahkk..." Desah Pak Sobri.

Mendengar hal tersebut membuat Fatimah merasa malu, tetapi walaupun begitu ia tetap melakukan tugasnya dengan baik. Bahkan Fatimah tanpa sadar mulai menikmati tugasnya.

Lidahnya menari-nari di kepala penis Pak Sobri, mengitarinya, hingga mengecup kepala penisnya Pak Sobri beberapa kali.

Kemudian ia kembali melahap penis Pak Sobri, menghisap dan menyedotnya.

"Kekkekkek.... Enak ya Bu Haja."

Mendadak Fatimah menghentikan perbuatannya. "Astaghfirullah..." Lirih Fatimah atas apa yang barusan ia lakukan.

Pak Sobri menarik lengan Fatimah, lalu mendudukkannya di sofa. Dengan sangat kasar ia memposisikan Fatimah duduk mengangkang. Kini giliran dirinya yang menservis Fatimah. Dengan sangat kasar Pak Sobri menarik celana panjang sekaligus celana dalam Fatimah.

"Aaauuww..." Jerit Fatimah.

Pak Sobri cengengesan sembari menatap nanar kearah bibir kemaluan Fatimah yang terlihat mekar, berwarna coklat tua yang terlihat sudah sangat basah.

Sebisa mungkin Fatimah menutupinya dengan telapak tangannya, walaupun usahanya sia-sia saja.

"Memek Bu Haja indah sekali, saya sudah tidak sabar ingin mencicipinya." Seloroh Pak Sobri, membuat Bu Haja menjerit-jerit frustasi.

Tetapi jeritan itu berubah menjadi desahan ketika Pak Sobri mencucup dan menjilati kemaluan Fatimah dengan rakus. Lidahnya menusuk-nusuk, mengorek bagian dalam vagina Fatimah yang semakin basah, seiring dengan pelumasnya yang keluar semakin banyak.

Wajah Fatimah mendongak keatas dengan mata merem melek, ketika Pak Sobri menyedot clitorisnya yang telah membengkak.

"Oughk... Ya Tuhan! Aaaahkk..." Jerit Fatimah.

"Srruuuuupsss.... Srruuuuupsss... Srruuuuupsss...." Pak Sobri menyeruput kuat-kuat clitoris Fatimah.

Fatimah menggelengkan kepalanya tak tahan. "Sudah Pak! Ya Allah... Aaahkk... Cukuuuup..." Jerit Fatimah, memohon agar Pak Sobri berhenti merangsang.

"Yakin mau berhenti?" Goda Pak Sobri sembari mengusap bibir kemaluan Fatimah dengan kedua jarinya.

Kedua tangan Fatimah mengepal erat, sembari mengigit bibir bawahnya ketika kedua jari Pak Sobri menerobos liang senggamanya, pinggul Fatimah sedikit terangkat ketika Pak Sobri memutar jemarinya sembari bergerak maju mundur.

"Ouughk... Pak! Aaahkk..." Jerit Fatimah.

Pak Sobri menarik kedua jarinya, lalu memasukkannya kembali tapi kali ini langsung ke tiga jarinya, hingga bibir kemaluan menyeruak lebar, hingga vagina Fatimah terlihat penuh.

Dengan gerakan cepat ia memompa kemaluan Fatimah, membuat Fatimah menjerit-jerit gak karuan, kepalanya terbanting kekiri dan kanan.

"Ouggghkk.... Tuhaaaaan.... Aaaahhhkkk..." Erang Fatimah keras.

Ploooopsss...

Creeettss... Creeettss... Creett....

Seeeeeeeeeeeeeeeerrrr....

Pantat Fatimah tersentak-sentak, dari bibir kemaluannya menyemburkan cairan bening yang cukup banyak, hingga lantai berbahan marmer yang ada di bawahnya menjadi tergenang.

Pak Sobri menjilati jari jemarinya di hadapan Fatimah yang tampak kelelahan.

"Aaahkk... Aaahkk... Aaahkk... Aaahkk..."

Pak Sobri beralih duduk di samping Fatimah, ia menarik pundak Fatimah, bibir tebal Sobri melahap rakus bibir Fatimah, menghisapnya dan mengulumnya.

Fatimah yang lemas hanya pasrah menerima cipokan dadakan dari Sobri.

Sembari berciuman, telapak tangan Pak Sobri bergerilya diatas payudara Fatimah. Meremas-remas kasar kepayudara Fatimah dengan gemas. Dengan kasar ia membuka kancing gamis Fatimah, lalu menurunkannya hingga sebatas pinggangnya.

Istri dari pimpinan pesantren tersebut hanya pasrah ketika Pak Sobri melepas pengait branya, dan menanggalkannya.

Dengan lahapnya Pak Sobri menghisap payudara berukuran jumbo milik Fatimah. Ia menghisapnya, dan menjilati putingnya dengan rakus. Fatimah lagi-lagi hanya bisa menghempaskan kepalanya ke kiri dan kanan sembari menggigit punggung tangannya.

Tangan kanannya yang menganggur ia gunakan untuk menggosok-gosok clitoris Fatimah, membuat wanita yang masih cantik di usianya yang sudah tidak muda lagi itu menggelinjang tak tahan.

"Sudaaaaah Pak! Ooughkk..." Jeritnya.

Dengan kedua tangannya ia mendorong dada Pak Sobri, hingga tubuhnya terjatuh diatas sofa.

Segera Pak Sobri memanfaatkan momen tersebut menindih tubuh Fatimah. Tak ingin menyerah begitu saja, Fatimah mencoba mendorong pinggang Pak Sobri, tetapi pria itu dengan muda mengatasinya, ia menarik kedua tangan Fatimah keatas kepalanya lalu menahannya, sementara tangan kirinya menuntun terpedo miliknya untuk memasuki lerung senggama milik Istri KH Syahal.

Bleeesss...

"Oughk...." Jerit Fatimah.

Matanya merem melek merasakan tusukan kasar dan bertenaga dari Pak Sobri.

Tanpa halangan, Pak Sobri menggoyang pantatnya maju mundur, maju mundur dan semakin lama semakin cepat menyodok-nyodok lobang surgawi milik seorang Ustadza, seorang wanita muslimah yang Soleha, seorang Istri yang alim.

"Enak sekali Bu Haja! Aaahkk... Memek Bu Haja rasanya menjepit." Racau Pak Sobri, sembari meremas payudara Fatimah yang berukuran 36D dengan kasar.

"Lepaskaaaan... Aaahkk... Aaahkk... Aaahkk..."

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

Dengan kecepatan penuh Pak Sobri melakukan penetrasi di lobang vagina Fatimah, dan anehnya wanita Soleha tersebut malah semakin membanjir, bahkan desahannya terdengar makin nyaring di telinga Pak Sobri, hingga pria paruh baya itu ikut menyunggingkan senyuman.

Sadar kalau mangsanya sudah tidak berdaya, Pak Sobri melepas pegangan tangannya, sehingga kedua tangannya dengan leluasa memainkan sepasang buah pepaya milik Fatimah.

"Paaak... Aaahkk... Sudah Pak! Sssttt..." Lenguh Fatimah.

Jemari Pak Sobri memilin puting Fatimah dengan lembut. "Apa yang sudah Bu! Bukannya Bu Haja menikmati kontol saya. Tuh memeknya makin licin." Ledek Pak Sobri sembari cengengesan.

"Aaahkk... Tidaaaaak... Aaahkk..." Jerit Fatimah makin frustasi.
"Akui saja Bu Haja, hahaha..."

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

Tanpa sadar Fatimah melingkarkan kedua kakinya di pinggul Pak Sobri, sehingga genjotan Pak Sobri semakin dalam memasuki rahimnya.

"Aaaaahk.... Aaaaahk... Oughhkk..." Fatimah melolong panjang, sembari menekan pinggul Pak Sobri, hingga membuat penis Pak Sobri tertancap semakin dalam.

Pantatnya bergetar, seiring dengan datangnya orgasme yang tidak bisa lagi ia hindari.

Vagina Fatimah berkedut-kedut nikmat, seakan memijit batang kemaluan Pak Sobri yang masih bersarang di dalam rahimnya. Perlahan orgasme itu mereda, seiring dengan tenaga Fatimah yang terkuras habis.

Ploooops...

Pak Sobri mencabut penisnya, tampak kemaluan Pak Sobri berkilauan berkat lendir vagina Fatimah.

"Ganti gaya Bu Haja." Ujarnya.

Fatimah menggeleng lemah, tetapi ia tidak berdaya ketika Pak Sobri memutar dan menarik pinggulnya hingga menghadap kearah Pak Sobri. Sembari memohon, Fatimah menutupi lobang vaginanya dengan telapak tangannya, berharap Pak Sobri tidak bisa lagi menikmatinya.

Plaaaak... Plaaaak... Plaaaak...

Pak Sobri menampar beberapakali pantat Fatimah, hingga memerah.

Kemudian ia mencengkram membuka paksa pipi pantat Fatimah, hingga terlihat anus Fatimah yang sudah ia renggut paksa kehormatannya.

Fatimah mendadak panik, ketika merasakan benda tumpul itu di gesekan-gesekan ke lobang anusnya. Ia mencoba mempertahankan diri dengan sisa-sisa tenaganya, tapi apa daya Fatimah benar-benar sudah kelelahan.

"Cuiih..."

Pak Sobri meludahi telapak tangannya, kemudian menggosok-gosokkan nya di batang kemaluannya. Setelah di rasa cukup Pak Sobri menekan penisnya masuk, membela, merobek anus Fatimah untuk ke dua kalinya.

"Oughk..."

Tubuh Fatimah menegang, nafasnya tertahan dan rasa mules bercampur sesak di bawah sana.

"Sempit sekali Bu Haja! Uuhk..." Lenguh Pak Sobri.

Fatimah mengepal erat kedua tangannya, dengan mata melotot, dan mulut mengangah, ia menjerit kecil. "Sakiiiiit, ngilu Pak..." Erang Fatimah tertahan, seiring inci demi inci senjata Pak Sobri memasuki anusnya.

Cengkraman di pantat Fatimah semakin kencang. "Enak sekali Bu Haja! Hehehe..." Ejeknya, mempermainkan perasaan Hj Fatimah.

"Aaahkk... Aaahkk... Aaahkk..."

Perlahan tapi pasti penis Pak Sobri bersemayam penuh di lobang anusnya.

Dengan gerakan perlahan, ia mulai memompa, menggerakkan pantatnya maju mundur, maju mundur, berulang kali, menyodok, menyeruak masuk ke dalam lobang anus sang wanita Soleha, Istri setia dari pimpinan pesantren Al-fatah.

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

"Oughkk... Aaahkk... Aaahkk..."

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

"Enak sekali Bu Haja!" Racau Pak Sobri.

Plaaaak... Plaaaak... Plaaaak...

Beberapa kali Pak Sobri kembali menampar pantat bahenol Haja Fatimah, hingga meninggalkan bekas kemerah-merahan di pantatnya.

Rasa sakit, perih dan ngilu yang sempat di rasakan Fatimah, perlahan mulai berkurang dan di gantikan dengan rasa nikmat yang sulit di jelaskan. Sanking nikmatnya, Fatimah tidak sadar kalau jemarinya kini malah sibuk menggosok-gosok clitorisnya.

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

Tiba-tiba Pak Sobri menarik kedua tangan Fatima ke belakang, hingga tubuh bagian atas Fatimah melayang, membuat sepasang payudaranya yang berbentuk pepaya itu menggantung bebas, mental mentul mengikuti gerakan tubuh Fatimah.

"Bapak saya sudah tidak kuat lagi..." Jerit Fatimah.

Seeeeeeeeeeeeeeeerrrr....

*****

14:00



"Azril..."

Pemuda itu menoleh kebelakang, wajahnya yang tadinya datar kini berubah memerah, tampaknya Azril salah tingkah di hadapan Clara yang tengah tersenyum manis kepadanya.

Dengan nafas ngos-ngosan sehabis mengejar Azril, ia terlihat senang karena bisa mengejarnya.

"A-ada apa Uhkti?" Tanya Azril gugup.

"Bentar." Ujar Clara sembari mengatur nafasnya yang megap-megap. "Aku mau minta tolong boleh?" Tanya Clara berbasa basi.

"Boleh kok Uhkti."

"Mau minta tolong kayak biasanya, aku ada tugas terjemahan! Kamu bisa bantukan?" Tanya Clara.

"Ehmmm... Iya, aku bisa bantu kok."

Clara menyerahkan buku dan catatan nya. "Ni, terimakasih ya." Ujarnya seraya tersenyum yang membuat hati Azril berdetak makin tak karuan.

"I-iya sama-sama Ra."

Mereka mengobrol sebentar, membahas tentang sekolah dan sebagainya yang sebenarnya itu hanya basa basi saja yang di lakukan Clara agar Azril selalu mau membantunya ngerjakan tugasnya.

Sebagai seorang wanita yang cukup berpengalaman, Clara tau betul kalau anak KH Umar itu menaruh hati kepadanya, dan ia memanfaatkannya.

Sementara Azril sendiri yang sebenarnya memiliki prinsip tidak ingin memberi contekan apalagi mengerjakan tugas orang lain, dengan mudanya melupakan prinsip tersebut demi untuk membuat orang yang ia sukai tertarik kepadanya.

Selepas mengobrol, Clara meninggalkan Azril begitu saja, yang masih berdiri mematung Clara dari belakang yang perlahan menjauh dari pandangannya.

*****


Fatimah


Salma

Fatimah bersimpuh di lantai, tak henti-hentinya ia menangis, meratapi kehidupannya yang kini berada di bawah kendali Pak Sobri. Selain itu Fatimah juga merasa sangat berdosa karena perzinahan itu suka atau tidak ia menikmatinya, membuatnya ragu kalau dirinya berada di dalam tekanan saat melakukannya.

Berulang kali Fatimah beristighfar, sembari mengutuk dirinya sendiri yang tidak mampu mengendalikan hawa nafsu hewaninya.

[I[Sekarang apa yang harus kulakukan? Ini belum berakhir.[/i]

Jerit hati Fatimah, menyadari kalau mimpi buruk ini masih akan berlanjut, dan tidak tau di mana letak ujung akhir dari penderitaannya.

Tok... Tok... Tok...

"Assalamualaikum..."

Fatimah tersadar dari lamunannya, ia begergeas mengenakan kembali pakaiannya yang masih berserakan diatas lantai ruang tamunya. Secepat mungkin, ia menghilangkan jejak-jejak pertarungannya bersama Pak Sobri, ia sangat khawatir kalau sampai ada yang mengetahui apa yang barusan mereka lakukan.

Setelah yakin sudah tidak ada lagi barang bukti yang ketinggalan, barulah Fatimah bergegas untuk membukakan pintu rumahnya.

Fatima menyambut tamunya dengan senyuman palsunya. "Waalaikumsalam Salma, kamu sendirian?" Tanya Fatima keheranan, melihat menantunya yang datang sendirian ke rumahnya.

"Iya Umi."

"Ya sudah, ayo masuk dulu." Ajak Fatimah.

Salma duduk di sofa percis tempat di mana Fatimah baru saja melayani Pak Sobri barusan, membuat Fatimah sedikit khawatir kalau Salma menemukan sisa-sisa sperma Pak Sobri.

"Sepertinya kamu lagi ada masalah?" Tanya Fatimah, dengan menyelidik.

Salma tertunduk, dan tampak beberapakali menghela nafas. "Mas Furqon minta aku ke dukun agar kami memiliki keturunan Umi." Ujar Salma, dan lagi-lagi ia mendesah pelan.

"Astaghfirullah..." Lirih Fatimah.

"Meminta bantuan sama dukun, itu sama saja kita melakukan dosa syirik! Aku juga tidak mengerti kenapa Mas Furqon bisa sampai memintaku seperti itu." Kesal Salma, yang tidak habis pikir dengan permintaan Suaminya. Padahal ia yakin suaminya juga tau tentang hukum melakukan perbuatan syirik.

Fatimah merangkul Salma, menguatkan hatinya yang sedang gelisah. "Menurut Umi demi keutuhan rumah tangga kalian, alangkah baiknya kamu mengikuti keinginan Suami kamu." Nasehat Fatimah, ia mengerti kenapa putranya bisa sampai sejauh itu.

"Tapi Umi."

"Sebagai seorang laki-laki, sangat wajar kalau ia bisa berbuat sejauh itu. Tidak kemampuan membuat kamu hamil, itu adalah aib bagi seorang pria Salma, kamu harus pahami itu." Tegas Fatimah, meminta menantunya untuk mengerti ego seorang pria.

"Mau sampai kapan Umi?"

"Sampai dia menyadari kalau hanya Allah yang bisa memberi kalian keturunan." Jawab Fatimah.

Salma tersenyum kecil, walaupun masih ada sedikit rasa kecewa dengan sikap Suaminya yang juga tidak kunjung mengerti dan sangat egois.

"Iya Umi." Lirih Salma, sembari memeluk Ibu mertuanya.

Salah satu yang membuat Salma memilih bertahan dengan sikap Suaminya yang egois adalah karena sosok Fatimah yang sudah ia anggap seperti Ibu kandungnya sendiri. Ia tidak ingin kehilangan sosok Fatimah seperti ia kehilangan sosok Ibu kandungnya beberapa tahun yang lalu.

Layaknya seorang Ibu dan anak, mereka mengobrol ringan, dari membicarakan tentang keluarga, pesantren hingga sinetron yang mereka suka.

Tidak terasa waktu berjalan begitu cepat, bahkan keduanya sempat melupakan masalah yang sedang mereka hadapi. Setelah puas berbagi cerita, Salma berpamitan pulang, ia sempat mengucapkan terimakasih kepada Fatimah yang sudah mau mendengar keluh kesahnya.

*****


Zaskia


Haifa

Di saat Zaskia tengah gelisa, galau dengan perasaannya saat ini, maka ia akan lari ke sahabatnya Haifa, menceritakan kegelisahannya saat ini. Karena ia merasa hanya Haifalah yang mengerti tentang perasaannya saat ini, dan biasanya setelah menceritakan semua kegelisahannya, Zaskia merasa bebannya dan rasa bersalahnya menghilang begitu saja.

Haifa sesekali tersenyum mendengar curahan hati Zaskia yang tanpa sadar telah membuka aibnya sendiri. Ia memberitahu sahabatnya tentang perasaannya saat ini kepada sosok Adik iparnya.

Beberapa kejadian memalukan akhir-akhir ini dengan gamblang ia beri tahukan kepada sahabatnya itu yang tampak antusias mendengar ceritanya.

"Astaghfirullah Uhkti, kok bisa?" Kaget Haifa, ketika Zaskia memberitahu nya tentang kejadian Rayhan yang melihatnya nyaris dalam keadaan telanjang bulat.

"Aku lupa mengunci pintunya." Jelas Zaskia.

"Terus reaksi Adik kamu seperti apa?" Kejar Haifa yang terlihat penasaran.

Zaskia menghela nafas sejenak. "Dia diam aja, terus matanya melotot gitu Mbak, gila..." Zaskia menggeleng-gelengkan kepalanya, mengingat kejadian memalukan tersebut.

"Perasaan kamu sendiri bagaimana?"

"Ya aku malu bangetlah Mbak!" Ujar Zaskia dengan mimik menggemaskan.

Haifa tersenyum sembari memegang lengan sahabatnya. "Malu... Apa bangga? Rayhan sampe melotot gitu loh ngeliatin kamu." Goda Haifa sembari menatap curiga kearah Zaskia.

"Ya Allah Mbak! Aku tuh serius." Geram Zaskia.

"Hihihihi... Gak kebayang kalau aku jadi Rayhan, hmm..." Dengan mimik bernafsu Haifa lagi-lagi menggoda Zaskia.

Zaskia makin cemberut di buatnya. "Aku marah nih Mbak." Protes Zaskia sembari melipat kedua tangannya di atas dada.

"Hihihihi... Iya maaf Hihihi..."

"Tuhkan Mbak masih aja ketawa." Rengek Zaskia.

Setengah mati Haifa menahan tawanya. "Iya iya, maaf, hihihi... Jadi kamu maunya gimana?" Tanya Haifa menyelidik.

"Gak tau Mbak."

"Kamu marah sama Rayhan? Mau mengusirnya?" Haifa menatap Zaskia dengan serius, seakan mencari jawaban dari mata indah Zaskia.

Perlahan Zaskia menggelengkan kepalanya. "Gak mungkinlah Mbak, masak cuman gara-gara dia gak sengaja melihatku seperti itu aku langsung mengusirnya." Jawab Zaskia.

"Tuh kamu tau jawabannya, jadi apa yang membuat kamu merasa gelisah." Ujar Haifa.

"Ya... Aku merasa malu Mbak! Sesuatu yang seharusnya di lihat Suamiku, kini juga sudah di lihat oleh orang lain. Aku merasa sangat berdosa Mbak." Jelas Zaskia tentang perasaannya.

Kini giliran Haifa yang menghela nafas. "Kenapa harus malu? Seharusnya kamu merasa bangga."

"Bangga? Apa yang harus di banggakan Mbak."

Haifa tampak tersenyum geli melihat wajah cemberut Zaskia. "Rayhan sampai bengong gitu loh ngeliatin tubuh kamu! Masak kamu gak bangga?" Goda Haifa. "Dan lagi kenapa kamu harus merasa berdosa? Bukannya itu terjadi karena ketidak sengajaan? Wajarkah namanya juga tidak sengaja, anggap saja itu rejeki kamu?" Sambung Haifa sembari mengedipkan matanya.

"Ish... Mbak, kok rejeki aku." Sungut Zaskia.

Haifa hendak kembali menggoda Zaskia, tapi ia urungkan ketika tiba-tiba Ustadza Risty lewat di depan meja mereka.

"Pulang dulu ya Ustadza." Sapa Ustadza Risty.

"Sudah gak ada kelas lagi Ustadza?" Tanya Haifa hanya sekedar berbasa basi.

"Sudah tidak ada! Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam..." Jawab mereka serempak.

Sebelum melanjutkan obrolan, mereka dengan cara bersamaan memperhatikan Ustadza Risty yang perlahan pergi meninggalkan kantor.

"Kasihan ya?" Celetuk Haifa.

Zaskia meringitkan dahinya. "Kasihan kenapa?" Tanya Zaskia heran.

"Uhkti belum dengar kabar tentang Ustad Mahmud yang mau nikah lagi?"

"Astaghfirullah... Serius Mbak."

"Iya serius, makanya saya merasa kasihan sama beliau."

"Kok bisa, padahal Ustadza Risty itu cantik ya."

Haifa tersenyum kecil. "Cantik aja tidak jaminan Uhkti, kita sebagai wanita juga harus memiliki keahlian khusus agar suami kita tidak berpaling, hihihi..."

"Keahlian gimana maksudnya Mbak?"

"Keahlian melayani Suami di atas ranjang." Jawab Haifa sembari mengedipkan matanya.

Wajah Zaskia berubah cemberut. "Issh... Mbak ini." Ujar Zaskia senewon, membuat Haifa tertawa terpingkal-pingkal melihat kepolosan Zaskia.

Tanpa mereka berdua sadari seorang Ustadza mendengar obrolan mereka barusan. "Astaghfirullah... Ingat menggosipkan saudara seiman sendiri itu sama saja memakan bangkai saudara sendiri." Sindir Ustadza Kartika yang tiba-tiba lewat di depan mereka.

"Astaghfirullah..." Jawab mereka berdua serempak.

"Ustadza Kartika mau pulang juga?" Tanya Zaskia mengalihkan pembicaraan.

Ustadza Kartipa tersenyum tipis. "Mau ke kelas dulu, bukannya Ustadza Zaskia juga ada kelas ya?" Ujarnya seraya menatap Zaskia.

"Astaghfirullah... Saya lupa Ustadza."

"Ya sudah, ayo bareng. Dari pada menggosib lebih baik mengajar, buat nambah amal di akhirat nanti." Ajak Ustadza Kartika, sembari menyindir Ustadza Haifa yang tampak salah tingkah.

"Hihihi... Bener banget Ustadza." Zaskia segera beranjak dari tempat duduknya. "Mbak aku ke kelas dulu ya, assalamualaikum." Pamit Zaskia sembari menghampiri Ustadza Kartika.

"Ingat jangan lupa yang aku bilang tadi! Jangan terlalu di pikirkan."

"Siap." Jawab Zaskia dengan gerak hormat.

*****


Aurel


Lidya


Tiwi

"Lama banget sih kamu?" Protes seorang gadis berhijab putih.

Tampak yang di marahi sedang mengap-mengap mengatur nafas. "Sory, aku ambil barang dulu." Jawab Aurel sembari mengedipkan matanya.

"Mantab." Salah satu dari mereka mengancungkan jempolnya.

Lidya menggeser duduknya, memberi ruang untuk Aurel duduk di sampingnya dengan alas seadanya yang terbuat dari sebuah banner bekas.

Aurel segera membuka tasnya, lalu mengeluarkan sebungkus rokok.

"Wuih... Kamu memang the best." Puji Lidya.

Tiwi segera membuka bungkus rokok tersebut, kemudian mengambil satu batang untuk di nikmati. Secara bergantian Lidya dan Aurel juga mengambil satu batang rokok.

"Fuiih... Mantab." Ucap Tiwi sembari menghembuskan asap rokok.

Kemudian Aurel mengeluarkan laptop miliknya bersama beberapa cemilan.

"Ada film baru gak?" Tanya Tiwi.

"Ada dong, semalam aku habis download." Ujar Aurel bersemangat.

Segera Aurel membuka laptopnya dan memutar sebuah video porno berdurasa satu jam. Di awal video di perlihatkan pria berkulit hitam bertubuh kekar sedang bermain billiar, tidak lama kemudian seorang wanita berhijab masuk ke dalam ruangan tersebut.

Ketiga wajah gadis yang beranjak dewasa itu tampak tegang ketika para pria bertubuh besar itu menggoda sang wanita yang baru masuk.

"Kontolnya pasti besar-besar!" Celetuk Lidya.

Tiwi yang sedari tadi diam terlihat gelisah, beberapa kali ia mengganti posisi duduknya.

Suasana terlihat semakin menegangkan ketika beberapa pria berkulit hitam itu mengelilingi sang wanita berhijab, dan dengan gaya manja, pemeran wanita hijab itu menolak pelukan sang pria. Walaupun pada akhirnya wanita berhijab itu terlihat pasrah di lecehkan oleh para pria berkulit hitam.

Sembari menghisap rokok mereka terlihat begitu khusuk menonton adegan tak senonoh yang di perankan oleh seorang wanita berhijab.

Lidya yang mulai tidak tahan terlihat mengurut-urut kemaluannya, dari bibirnya keluar suara desissan khas seorang wanita terangsang. Tidak puas hanya menggesek-gesek vaginanya dari luar, Lidya segera menanggalkan celana berikut dengan dalamannya.

Kemudian ia menggosok-gosok bibir kemaluannya, sembari merem melek. Aksinya pun langsung di ikuti oleh Tiwi, yang kemudian di susul Aurel.

Ketiga sahabat itu tampak menimati setiap adegan demi adegan yang ada di layar laptop milik Aurel.

Dulunya Aurel anak baik-baik sebelum mengenal mereka berdua, tetapi semenjak mengenal mereka dan di perparah dengan keputusan Abinya menikah lagi membuatnya perlahan mulai berubah, yang tadinya hanyalah anak gadis yang polos, kini berubah menjadi sedikit liar.

Aurel seakan terlahir kembali dengan kenakalan-kenakalan yang ia lakukan bersama teman-temannya, walaupun terkadang hati kecilnya menolak untuk mengikuti kebiasaan Lidya dan Tiwi.

Sementara Lidya dan Tiwi memang di kenal sebagai anak pembangkang dan suka berbuat onar. Bahkan Aurel sempat tidak menyukai mereka berdua.

*****

17:00


Laras

Di bawah pancuran shower, tampak seorang wanita cantik yang tengah menikmati mandi paginya. Ia menggosok perlahan tubuh indahnya dengan kedua telapak tangannya yang di penuhi sabun. Dia membelai payudaranya yang besar, bermain dengan kedua putingnya yang telah mengeras.

Perlahan telapak tangannya turun kebawah menuju perut ratanya. Dia membelai lembut perutnya, dan terus turun menuju sebuah tebing lendir yang menjanjikan sejuta kenikmatan.

Kedua jarinya membelai tonjolan kecil yang terdapat di antara bibir kemaluan. "Eehmm..." Ia mendesis pelan, dengan mata terpejam ia bersandar di dinding kamar mandi.

Sementara itu clitorisnya terasa semakin membengkak karena terus-terusan ia gosok dengan kasar. Semakin keras ia menggosok clitorisnya, maka terasa semakin nikmat yang ia rasakan.

Semakin lama ia makin hanyut akan kenikmatan semu yang ia ciptakan sendiri. Tanpa perduli dosa yang tengah membayangi dirinya.

"Aahkk... Aahkk... Aahkk..." Erangannya semakin tidak terkendali, seiring dengan lendir kewanitaannya yang keluar semakin banyak.

Ia memasukan kedua jarinya ke dalam lobang kemaluannya yang merekah indah seperti bunga mawar. Dengan perlahan ia mendorong dan menarik jarinya. Ia melakukan gerakan tersebut berulang kali, membuat vaginanya memproduksi lendir kewanitaannya semakin banyak.

Tubuhnya bergetar tatkalah rasa nikmat itu menggores kesadarannya. Dengan mata terpejam, dan nafas menderuh ia menyambut datangnya orgasme.

"Oughkk..."

Pinggul indahnya tersentak-sentak seiring dengan lendir kewanitaannya menyembur keluar.

Setelah hasrat birahinya tertuntaskan, barulah Laras membasuh tubuhnya dengan benar, dengan perasaan yang sulit untuk di gambarkan. Selesai mandi, Laras segera keluar dari dalam kamar mandi. Tapi baru beberapa langkah ia keluar kamar, ia melihat sosok pemuda yang berada di tidak jauh darinya.

"Astaghfirullah!" Lirih Laras.

Saat ini Laras hanya mengenakan handuk yang tidak sepenuhnya bisa menutupi kemolekan tubuhnya. Sebagian payudaranya memyembul keluar, begitu juga dengan sebagian paha mulusnya yang terpampang bebas. Siapapun yang melihatnya, pasti akan merasa sangat beruntung dapat melihat kemolekan tubuhnya yang selama ini dibungkus pakaian syar'i.

Sebagai seorang muslimah, Laras merasa memiliki kewajiban untuk menyembunyikan kemolekan tubuhnya dari pria lain yang bukan suaminya.

Sejenak Laras berfikir keras agar bisa menghindari Daniel. Tapi bagaimana caranya? Diam-diam ia mengutuk kebodohannya sendiri, karena lupa membawa pakaian ganti untuk ia kenakan.

"Lari..." Gumam Laras.

Dia mengepal kedua tangannya, sembari menggigit bibir bawahnya. Adrenalin nya terpacu dengan nafas yang mulai terdengar memburu.

Tanpa aba-aba, Ustadza Laras dengan secepat kilat melangkah keluar dari dalam kamarnya. Ia berlari secepat yang ia bisa, dan tidak perduli kalaupun nanti Daniel melihat dirinya yang tengah berlari. Setidaknya ia telah berusaha untuk menghindar dari Daniel.

Tapi tiba-tiba ia terpeleset, dan terjatuh di lantai. Kakinya yang basah, membuat lantai rumahnya menjadi licin.

"Aduuuuh!" Laras meringis kesakitan.

Dan pada saat bersamaan, Daniel melihat kearah Laras yang tengah mengadu sakit, sembari memegangi pantatnya yang terbentur cukup keras.

Mata Daniel terbelalak melihat tubuh telanjang Laras, yang kebetulan handuk yang ia kenakan terlepas akibat terjatuh barusan. Tentu saja sebagai seorang pria normal, ia terangsang melihat tubuh telanjang Laras, tapi ia buru-buru menyingkirkan perasaan itu untuk sementara waktu dan segera menolong Ustadza Laras.

Ia menghampiri Ustadza Laras yang kesakitan, dan membantunya untuk berdiri.

"Aduh... Aduh... Sakit." Lirih Laras.

Ternyata tidak hanya pantatnya yang sakit, pergelangan kaki Laras juga terasa sakit. Dengan hati-hati Daniel memapah tubuh sintal Laras.

"Ustadza gak apa-apa?" Tanya Daniel ia tampak khawatir

Laras menggelengkan kepalanya. "I-iya gak apa-apa!" Jawab Laras terbata-bata menahan sakit ditubuhnya.

Dan pada saat bersamaan Azril keluar dari dalam kamarnya, setelah mendengar teriakan Ibunya. Ia kaget melihat Ibu Tirinya dalam keadaan telanjang bulat di rangkul oleh Daniel saudara sepupunya.

Bukannya buru-buru menolong Ibunya, Azril malah terdiam membisu, menatap tubuh telanjang Ibu Tirinya yang memang sangat menggoda. Sepasang payudara membulat sempurna seperti buah melon, menggantung indah dengan kedua puting yang berwarna kecoklatan.

Ketika matanya turun kebawah, ia mendapatkan bukit kecil yang di tumbuhi rambut lebat yang terlihat begitu indah. Berulang kali, pemuda berusia belasan tahun itu menelan air liurnya yang terasa hambar.

"Biar saya bantu!" Ujar Daniel.

Pemuda itu membantu Hj Laras berjalan menuju kamarnya. Sebagai seorang wanita Hj Laras merasa risih, dan ia sempat berharap kepada Azril anak tirinya. Tapi sayang Azril malah bengong melihat tubuh telanjangnya, membuat Laras sedikit kesal dengan tingkah Anak Tirinya. Walaupun harus ia akui, tubuhnya memang sangat menarik bagi kaum Adam.

Karena tidak ada pilihan Laras diam saja dan menerima bantuan Daniel untuk membawanya ke kamar.

Saat mereka melewati Azril, barulah pemuda itu tersadar dari lamunannya. Ia bergegas menyusul mereka berdua, tapi matanya tidak berkedip memandangi bongkahan pantat Ibu tirinya yang terlihat begitu empuk. Sementara handuk yang tadi di kenakan Laras di biarkan saja tergeletak tak berdaya di lantai rumah mereka.

Setibanya di dalam kamar Laras berbaring di atas tempat tidurnya masih dalam keadaan telanjang bulat, di hadapan kedua pemuda berbeda generasi.

"Sepertinya kaki Ustadza keseleo." Ujar Daniel datar.

Pemuda itu berusaha mati-matian menahan gejolak birahinya di hadapan Laras. Membuat Laras merasa salut dengan Daniel yang terlihat datar-datar saja, walaupun saat ini dirinya dalam keadaan telanjang bulat, berbeda dengan anaknya yang begitu ketara kalau terangsang melihatnya telanjang, membuatnya tak habis pikir terhadap anak tirinya.

Dengan sikap santainya Daniel, malah membuat Laras menjadi salah tingkah. Ia dapat mendengar suara detak jantungnya yang tak beraturan, sanking tegangnya.

Sebagai seorang wanita muslimah, sangat tabu baginya di lihat orang lain dalam keadaan telanjang bulat.

"Aduh!" Rintih Laras, ketika Daniel menyentuh pergelangan kakinya. "Pelan-pelan Dan!" Pinta Laras sembari meringis menahan sakit di kakinya.

Dani menganggukkan kepalanya. "Tahan ya Amma! Ini hanya sebentar." Ujar Daniel.

Kedua tangannya mengusap-usap kaki kanan Laras. Di saat Laras terlihat mulai nyaman, tiba-tiba Daniel menarik kaki Laras, memperbaiki posisi urat Laras dengan gerakan yang sangat cepat, tapi menyakitkan.

"Auuww... Sakiiiit!" Jerit Laras.

Daniel kembali mengurut pelan kaki Laras. "Gak apa-apa Amma! Ini sudah selesai kok." Kata Daniel menenangkan Laras, sembari melakukan pijitan ringan di betis Laras yang terasa begitu halus.

"Aduh... Sakit sekali Dan!" Lirih Laras.

Telapak tangan Daniel naik keatas, ke bagian belakang lutut Laras. Rasa geli yang dirasakan Laras sedikit mengurangi rasa sakit di kakinya. Dan perasaan geli itu perlahan mulai menimbulkan perasaan erotis didalam diri Laras, apa lagi ketika telapak tangan Daniel naik menuju paha mulus.

Dia memijit pelan kaki Laras menyentuh bagian-bagian sensitif seorang wanita yang ia dapatkan dari teman lamanya. Dan ternyata cara itu berhasil membangkitkan birahi Laras yang memang sudah lama tidak tersalurkan dengan benar.

"Azril, tolong ambilkan lotion." Suruh Daniel.

Dengan patuhnya Azril mengambil lotion milik Ibunya yang berada di atas meja rias. "I-ini Mas." Ujar Azril tergagap, sanking tegangnya.

Mata indahnya menatap nanar kearah sepasang payudara Laras yang naik turun mengikuti irama nafasnya. Putingnya yang kecoklatan terlihat mengeras hingga mancung ke depan. Betapa nikmatnya, kalau dirinya bisa meremas dan menghisap puting Laras.

Sadar akan tatapan Azril terhadap payudaranya, malah membuat Laras salah tingkah. Laras merasakan memeknya berdenyut-denyut.

Seandainya saja ia sendirian di kamar ini, tentu ia sudah sedari tadi melakukan masturbasi.

"Maaf ya Amma." Ujar Daniel sopan, sebelum tangannya masuk lebih dalam. Ia menyentuh bagian bawah paha Laras, dengan sedikit mengangkat kaki Laras.

"Oughkk..." Desah Laras tanpa sadar.

Daniel tersenyum tipis, ia tau kalau wanita dewasa yang ada di hadapannya saat ini tengah di landa birahi. "Sakit ya Amma?" Tanya Daniel, jemarinya memijit lembut paha belakang Laras.

"Eng-eng-enggak terlalu." Jawab Laras terbata, wajahnya bersemu merah karena menahan birahi syahwatnya.

Daniel kembali melanjutkan pijatannya di kedua kaki Laras. Ia memijatnya secara bergantian kiri dan kanan. Dan selama itu juga Laras sangat tersiksa. Bukan karena rasa sakit, melainkan karena syahwatnya yang menggebu-gebu, menuntut untuk di lampiaskan.

Sementara Azril masih diam membisu, sembari menatap nanar kearah gundukan kecil yang di tumbuhi rambut hitam yang cukup lebat.

*****

19:00


Zaskia

Malam harinya, Zaskia tampak santai duduk bersila diatas sofa, di temani Rayhan yang duduk di sisi sofa lainnya sembari membaca buku. Tetapi diam-diam Rayhan melirik kearah Zaskia yang tidak menyadari kalau celana piyama tidurnya sobek tepat di selangkangannya, membuat Rayhan dapat melihat celana dalam Zaskia yang berwarna merah muda.

Sesekali Zaskia tampak kesal melihat tingkah pemeran utama yang selalu menjadi korban dari Ibu mertuanya.

Saat sedang asyik menonton tiba-tiba seseorang mengetuk pintu rumahnya.


Haifa

Tok... Tok... Tok...

"Assalamualaikum..."

Zaskia segera beranjak dari tempat duduknya. "Ya waalaikumsalam." Jawab Zaskia sembari membuka pintu rumahnya. "Mbak Haifa, kirain siapa! Masuk Mbak." Ajak Zaskia.

"Maaf ya Uhkti sudah ganggu malam-malam!"

"Isst... Mbak ini, kayak sama siapa aja! Duduk Mbak." Ujar Zaskia sembari kembali menonton sinetron kesukaannya yang sempat tertunda.

Haifa segera mengambil posisi duduk di samping Zaskia, kemudian Rayhan mendekat sembari menyalaminya. "Lagi menghafal Ray?" Sapa Haifa.

"Iya Ustadza."

"Dek tolong bikinin minuman buat Mbak Haifa." Suruh Zaskia, Rayhan segera pergi ke dapur. "Ngomong-ngomong ada apa Mbak?" Tanya Zaskia.

Haifa mulai menjelaskan alasannya menemui Zaskia, dan ternyata Haifa bermaksud ingin mengajak Rayhan untuk membantunya mengurus klinik pesantren, karena anak yang dulu membantunya mengurus pesantren sudah tidak lagi sekolah di pesantren.

Zaskia tentu saja sangat mendukung rencana Haifa, mengingat Adik iparnya itu suka keluyuran.

Ketika sedang mengobrol Rayhan kembali sembari membawa nampan berisi segelas teh untuk Haifa, saat meletakan minuman tersebut diatas meja, mata Rayhan kembali melirik kearah gumpalan daging montok diantara kedua paha Zaskia.

Dan tanpa di sadari Rayhan, Haifa memergokinya, tetapi Haifa memilih untuk diam dan membiarkan Rayhan menikmati keindahan yang tersaji di hadapannya.

Rayhan hendak beranjak pergi, tapi di cegah Haifa. "Duduk dulu Ray!" Suruh Haifa, alhasil Rayhan duduk di lantai menghadap kearah Zaskia.

"Ada apa Ustadza?"

"Jadi gini Ray! Mbak Haifa minta kamu untuk menjadi pengurus kesehatan, nanti kamu bantuin Mbak Haifa di klinik." Jelas Zaskia.

Rayhan tentu saja protes. "Kok aku Ustadza? Emang gak ada yang lain?" Tolak Rayhan halus.

"Yang lain ada, tapi Ustadza pikir lebih baik kamu yang sudah Ustadza kenal dari pada meminta santri lain." Jawab Haifa membuat Rayhan kehabisan kata-kata.

"Tinggal bilang iya aja susah sekali kamu Dek." Timpal Zaskia.

"Bukannya begitu Kak."

Zaskia langsung memotong. "Bilang aja kamu mau mainkan? Kerjaan kamu main aja, pokoknya kamu harus menerima tawaran Mbak Haifa, atau uang jajan kamu Kakak potong." Ancam Zaskia.

"Dih ngancem."

"Mau enggak." Tegas Zaskia.

Haifa tertawa renyah melihat pertengkaran kecil kakak beradik tersebut. Sementara Rayhan yang tidak ingin uang jajannya hilang terpaksa menyetujuinya, walaupun hati kecilnya menolak.

"Iya mau!" Jawab Rayhan ketus.

"Mbak tunggu secepatnya kamu di Klinik ya." Ujar Haifa.

"Iya Ustadza." Jawab Rayhan lemas.

Setelah itu Haifa mengobrol ringan dengan Zaskia, dari membicarakan tentang sekolah, keluarga, hingga sinetron yang mereka tonton. Sementara Rayhan tetap berada di tempatnya, karena posisinya saat ini sanga menguntungkan dirinya untuk menyaksikan keindahan apem tembem milik Kakak Iparnya.

Tidak terasa waktu berjalan begitu cepat, Haifa hendak pamit pulang mengingat hari semakin malam, dan sinetron sudah mendapatkan title bersambung.

Sebelum benar-benar pulang Haifa memberitahu Zaskia tentang celananya yang robek. "Oh ya Za! Itu celana kamu robek." Ujar Haifa setengah berbisik, dalam sejejap warna muka Zadkia berubah memerah.

"Astaghfirullah..." Zaskia buru-buru menutup selangkangannya dengan kedua tangannya.

"Aku pamit ya, assalamualaikum." Ujar Haifa sembari melirik kearah Rayhan tampak shock.

Di luar rumah Haifa masih bisa mendengar suara keributan kecil yang terjadi di dalam rumah Zaskia. Haifa menggelengkan kepalanya sembari terus berjalan meninggalkan kediaman Zaskia.

*****

00:20

Di saat sebagian besar manusia tertidur lelap, seorang santriwati memaksakan dirinya untuk terbangun demi melaksanakan shalat malam. Dengan langkah terhunyung ia menuju tempat wudhu, tetapi di sampai di sana ternyata airnya sudah habis.

Gadis cantik itu tampak mendesah pelan, niatnya yang kuat membuatnya tidak menyerah walaupun rasa kantuk mengganggunya.

Ia memaksakan kakinya berjalan sedikit lebih jauh, menuju pemandian umum khusus Santriwati. Dan tanpa ia sadari seorang pria bertopeng mengawasinya sejak tadi, ketika ia berada di tempat wudhu.

Suasana malam yang sepi tentu menjadi sebuah kesempatan yang menguntungkan bagi pelaku kejahatan.

Dengan cara mengendap-endap ia ikut masuk ke dalam kamar mandi. Ia menyunggingkan senyuman culasnya ketika melihat mangsanya yang sedang mengambil wudhu.

Lalu kemudian ia mendekati mangsangnya di tengah kegelapan, semakin lama semakin dekat, dan akhirnya ia mendapatkannya.

"Aaaaaaaa.... Ehmmm..." Santri tersebut sempat berteriak ketika pria bertopeng itu menyergapnya, dan dengan cepat pria itu mendekap mulutnya dengan sapu tangan yang sudah di beri obat bius.

Sang Santriwati tampak panik ketika pria tersebut menyeretnya ke dalam sebuah bilik tempat mereka biasa berganti pakaian.

Dengan sekuat tenaga sang Santriwati bernama Amelia itu meronta-ronta, tapi usahanya sia-sia saja, karena obat bius yang terhirup olehnya mulai bereaksi, membuat tubuhnya terasa lemas walupun tidak sampai menghilangkan kesadarannya.

"Aku mendapatkanmu." Bisik pria tersebut.

Tubuhnya yang lunglai hanya pasrah ketika dibaringkan diatas lantai yang dingin. "Apa yang kamu lakukan? Lepaskan saya... Tolooong... Tolooong..." Lirih Amelia dengan suara pelan.

"Aku akan membawamu ke syurga! Eh salah... Mungkin bagi kamu ini adalah neraka." Seloroh sang pria bertopeng.

"Tidaaak... Jangan." Melas Amelia ketika pria tersebut menarik keatas kaos yang di kenakannya.

Tanpa kesulitan berarti ia menyingkap keatas kaos yang di kenakan Amelia, lalu dengan sangat kasar ia membetot bra yang di kenakan sang Santri. "Breeeett..." Dengan mudahnya ia merobek penutup payudara sang Santri.

Pria bertopeng itu menjulurkan lidahnya, sembari menjilati bibirnya, sangat menjijikkan.

Amelia memukul-mukul lengan Pria tersebut, hanya saja dirinya yang berada di bawah pengaru obat bius tidak bisa berbuat apa-apa.

"Indah sekali!" Pujinya, tapi bagi sang santri itu adalah sebuah penghinaan.

Tanpa bisa berbuat apa-apa, ia terpaksa merelakan payudaranya di jamah oleh pria misterius tersebut. Walaupun ia berada dalam pengaruh obat bius, tetapi tetap saja ia bisa merasakan temasan kasar sang pria di payudaranya yang terasa menyakitkan.

Seakan tidak ada belas kasian, pria tersebut tidak hanya meremas tapi juga memilin puting mungil Amelia yang berwarna coklat muda.

"Ughk... Sakit!" Jerit Amelia.

"Mari kita coba!" Goda Pria tersebut.

Ia melahap salah satu payudara Amelia, menghisap putingnya yang di selingi dengan gigitan kasar yang membuat Amelia memekik lemah.

"Aduuuuh sakit! Aaahkk..." Jerit Amelia.

Secara bergantian pria bertopeng itu melahap payudara Amelia, menyedot menjilati hingga menggigit puting Amelia dengan gemas. Tidak perduli kalaupun mangsanya kesakitan.

Setelah puas pria tersebut menyingkap keatas rok hitam yang di kenakan Amelia, lalu ia menarik lepas celana panjang yang di kenakan Amelia sekaligus celana dalamannya. Mata pria misterius tersebut berbinar di tengah kegelapan, memandangi kue apem milik Amelia yang ranum.

Dengan sisa-sisa tenaganya Amelia berusaha menutupi ketelanjangannya.

"Percuma, malam ini kamu milikku." Geram Si pria.

Amelia menggeleng-gelengkan kepalanya ketika pria tersebut mengendus-endus kemaluannya. "Tolooong... Lepaskan saya..." Melas Amelia.

Tentu saja sang pria tidak perduli, ia semakin mendekatkan hidungnya, mengendus-endus seperti anjing liar yang sedang birahi. Amelia benar-benar di buat frustasi, ia tidak menyangkah kalau dirinya akan berakhir tragis seperti saat ini.

Si Pria menjulurkan lidahnya, menyapu dan menjilati kemaluan Amelia dengan rakus.

Sluuuppsss... Sluuuppsss... Sluuuppsss...

"Ya Tuhaaaaan.... Tolooong." Jerit Amelia.

Sluuuppsss... Sluuuppsss... Sluuuppsss...

"Enak sekali memek mu, kamu pasti masih perawankan? Hehehe..." Ujar pria tersebut di sela-sela aktifitas nya menjilati vagina Amelia.

Cukup lama pria tersebut menjilati kemaluan Amelia, hingga di rasa kemaluan Amellia semakin basah karena air liur dan lendir cintanya Amelia. Setelah merasa cukup, pria tersebut bergegas membuka resleting celananya, mengeluarkan terpedonya yang besar.

Melihat penis sang pria tersebut membuat Amelia makin ketakutan. Ia mencoba memberontak semakin keras, tapi usahanya sia-sia saja.

Pria tersebut memeluk salah satu kaki jenjang Amelia, lalu tangan yang lainnya menuntun penisnya menuju lobang surgawi sang Santriwati yang di jamin masih tersegel.

"Stop... Jangan." Melas Amelia.

Sembari terkekeh pria tersebut menggesek-gesek kan kepala penisnya di bibir kemaluan Amelia. "Sebentar lagi kamu akan menjadi wanita murahan." Ledek pria tersebut membuat Amelia semakin frustasi.

"Tolooong... Tolooong..."

Perlahan pria tersebut mendorong penisnya, membela bibir merah vagina Amelia. Inci demi inci penis pria tersebut memasuki tubuh Amelia melalui kemaluannya.

Kening Amelia berkerut, menahan perih ketika penis pria tersebut memasuki lobang senggamanya.

"Ughk... Sempit sekali!" Rintih pria tersebut.

Amelia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Cabut Pak! Tolooong di cabut." Mohon Amelia, tapi bukannya di cabut penis tersebut masuk semakin dalam.

"Sudah siap?" Goda pria tersebut. "1... 2... 3...." Ia mendorong kasar penisnya hingga merobek selaput perawan sang Santriwati.

"Aaaaaaarrttt...." Jerit Amelia kesakitan.

Rasanya tentu sangat menyakitkan bagi wanita sepolos Amelia. Tetapi jeritan pilu tersebut malah terdengar begitu indah di telinga sang pemerkosa yang menggunakan topeng hitam.

Amelia menangis sejadi-jadinya atas ketidak berdayaannya menyelamatkan masa depannya.

Sementara sang pria dengan santainya memompa vagina Amelia. Ia menyodok-nyodok vagina Amelia yang masih terasa seret, tetapi pria tersebut tidak perduli dan terus merudak paksa korbannya.

Hampir lima belas menit pria tersebut menikmati jepitan dinding vagina Amelia, hingga akhirnya ia merasa sudah mencapai puncaknya. Ia melolong sembari melepaskan spermanya di dalam rahim Amelia, sementara Amelia sendiri sudah kehilangan kesadaran akibat pemerkosaan yang ia alami.

"Oughk... Mantab ni cewek! Sayang dia malah pingsan." Ujar pria tersebut yang tampak kecewa.

Setelah merasa puas, pria tersebut segera berbenah lalu meninggalkan korbannya begitu saja. Selang lima menit kemudian seorang santri menemukan Amelia yang sudah tidak sadarkan dirinya. Ia berteriak sekencang-kencangnya di iringi oleh angin kencang, dan suara petir yang menggelegar, lalu di susul dengan tumpah ruahnya air hujan dari langit. Dalam sekejap pesantren menjadi heboh dan sibuk.

Untuk pertama kalinya dalam sejarah Pesantren Al-fatah, terjadi kasus pemerkosaan yang di alami oleh para santrinya.

*****

04:15


Laras

Menjelang subuh Daniel kembali ke rumah KH Umar, ia di sambut oleh Laras dan Aurel yang langsung menanyakan perihal kejadian yang menimpa sang santri. Daniel menjelaskan kalau pria yang telah memperkosa seorang santri berma Amelia saat ini masih dalam pengejaran.

Mendengar kabar tersebut membuat Laras tampak kecewa, ia berharap sang pelaku segera di tangkap.

"Rel kamu shalat dulu." Suruh Laras.

Dengan wajah kecewa Aurel pergi menuju kamarnya. "Iya Umi." Jawab Aurel kesal, padahal ia masih ingin mendengar cerita Daniel.

"Kejadiannya seperti apa si Dan?" Tanya Laras penasaran.

"Jadi ceritanya Amelia itu hendak ambil wudhu di kamar mandi! Tiba-tiba ia di sergap begitu saja lalu di perkosa di dalam bilik." Jelas Daniel sesingkat-singkatnya, membuat Laras merasa tidak puas.

"Jahat banget orang itu." Keluh Laras.

"Tidak ada orang yang benar-benar baik, tapi juga tidak ada orang yang benar-benar jahat." Kilah Daniel.

"Maksudnya?" Laras merenyitkan dahinya bertanda bingung.

"Maksudnya tidak ada manusia yang benar-benar sempurna tanpa dosa, tapi tidak ada juga manusia pendosa yang tidak pernah melakukan kebaikan." Jelas Daniel, membuat Laras terkekeh.

"Bisa aja kamu Dan!" Tawa renyah Laras.

Laras yang masih penasaran kembali menanyakan perihal kejadian barusan yang menimpah salah satu santrinya, dan Daniel menjawab seadanya yang ia tau saat ini, membuat Laras merasa tidak puas, tapi ia juga tidak bisa menyalahkan Daniel.

Setelah mengobrol ringan, Laras bermaksud kembali ke kamarnya.

"Amma balik ke kamar dulu Dan."

Daniel ikut berdiri. "Mau saya bantuin Amma?" Tawar Daniel, tapi Laras menolak.

"Tidak usah Dan, saya sendiri saja." Tolak Laras.

Dengan langkah tertatih-tatih Laras menaiki anak tangga, dan baru beberapa langkah tubuh Laras limbung hingga ia nyaris terjatuh. Beruntung Daniel dengan cepat menangkap tubuh Laras. Seklias Daniel seperti sedang memeluk Laras dari belakang.

Laras bersyukur karena Daniel dengan sigap menangkap tubuhnya.

"Tuhkan apa saya bilang!" Omel Daniel.

Laras terkekeh pelan. "Hihihi... Ya ya kamu benar! Terimakasih ya Dan." Ucap Laras seraya tersenyum memandang Daniel.

"Sama-sama Amma!" Jawab Daniel. "Biar saya bantu Amma." Sambung Daniel.

Dari semping Daniel memapah Laras, ia melingkarkan tangannya di bawah ketiak Laras, alhasil payudara Laras tertekan oleh lengan Daniel yang membuat Laras menjadi serba salah.

Ia sempat berfikir ingin naik sendiri, tapi mengingat dirinya yang hampir terjatuh, Laras mengurungkan niatnya.

Satu persatu anak tangga mereka naiki, dak rasanya lengan Daniel semakin menekan payudara Laras, membuat wanita Soleha itu menjadi tegang karena mulai terbakar api syahwatnya.

Tidak hanya membantu Laras menaiki anak tangga, Daniel juga membantu Laras berjalan menuju kamarnya, hingga Laras duduk di tepian tempat tidurnya.

"Sudah aman Amma." Seloroh Daniel.

"Berkat kamu! Terimakasih ya Dan." Puji Laras seraya tersenyum manis.

"Sama-sama Amma! Aku balik kekamarku dulu Amma." Pamit Daniel, Laras sempat terdiam memandangi punggung Daniel, dan diam-diam ia membandingkan sikap Daniel dan Suaminya.

Laras merasa Daniel jauh lebih perhatian, pengertian di bandingkan Suaminya sendiri.

*****

06:00


Zaskia

Suasana pagi ini terlihat lebih cerah setelah semalaman di guyur hujan lebat yang di iringi dengan suara petir yang memekakkan telinga. Tetapi keceriaan pagi ini ternodai oleh kejadian tadi malam, di mana pesantren Al-fattah menjadi gempar setelah seorang santri di kabarkan telah mengalami pemerkosaan.

Semalam di tengah hujan lebat, pesantren Al-fatah yang biasanya tenang, berubah menjadi sangat sibuk. Beberapa santri, Satpam dan Ustadz mencari sang pelaku, bahkan pihak berwajib pun sudah di terjunkan, tapi hingga pagi ini belum juga ada kabar.

Zaskia mendesah, tampak payudaranya sedikit naik, mengikuti alunan nafasnya. Ia menyeka keringat yang sedikit membasahi dahinya.

"Assalamualaikum!" Sapa seseorang dari luar.

Zaskia buru-buru kearah pintu rumahnya. "Waalaikumsalam! Gimana Ray? Pelakunya dapat? Siapa pelakunya?" Zaskia memberondong beberapa pertanyaan sekaligus.

Rayhan menggelengkan kepalanya sembari masuk kedalam rumah. Ia menggeser kursi makan dan duduk dengan perlahan. "Gak dapat Kak, sepertinya ia sudah keburu kabur jauh." Jelas Rayhan, ia mengambil segelas air mineral untuk melegakan tenggorokannya.

"Astaghfirullah!" Desah Zaskia.

Wanita itu duduk di samping Rayhan, raut wajahnya memancarkan kesedihan. Sebagai seorang wanita tentu saja Zaskia paham apa yang di rasakan santri tersebut. Selain itu Zaskia juga takut kalau peristiwa semalam kembali terulang, dan dia bisa saja menjadi korban selanjutnya, kalau si pelaku tidak berhasil di tangkap.

Rayhan kembali meletakan gelas minumannya, dia menatap dalam wajah cantik Kakaknya yang tidak bersemangat seperti biasanya.

"Kakak jangan takut! Pelakunya pasti akan segera di tangkap." Rayhan meraih tangan Zaskia, ia menggenggam erat tangan Zaskia, seakan ia tidak akan pernah melepaskan tangan Kakaknya.

Zaskia tersenyum tipis. "Terimakasih ya Dek! Jagain Kakak ya Dek?" Ujar Zaskia terdengar lembut.

Rayhan mengangguk mantab. "Pasti Kak!" Jawab Rayhan, walaupun tanpa di minta, tentu saja Rayhan akan tetap menjaga Kakaknya apapun yang terjadi.

"Ayo makan dulu, kamu pasti laparkan?" Zaskia melirik Rayhan, sembari menuangkan nasi kedalam piring.

Pagi ini mereka menyantap sarapan dengan suasana yang berbeda. Zaskia terlihat begitu bahagia, walaupun sebelumnya ia terlihat sangat khawatir. Ucapan Rayhan berhasil memenangkan hatinya. Berbeda dengan Rayhan, ia tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya di wajahnya tentang sosok pemerkosa yang kini terasa sangat misterius.


*****


Farah

"Assalamualaikum..."

Ustadza Farah bergegas keluar dari kamarnya, dan membukakan pintu untuk KH Shamir yang juga baru pulang dari mengurus santri yang menjadi korban kebiadaban seseorang. Ia tidak bisa lupa dengan suara tangis santri tersebut ketika ia sadarkan diri.

Sebagai orang tua, ia sangat perihatin dengan musibah yang di alami santri tersebut.

"Bagaimana kabar santri tersebut Bi? Pelakunya sudah ketangkap? Apa kata polisi Bi?" Farah memberondong beberapa pertanyaan sekaligus.

Sementara yang di tanya tampak bengong melihat penampilan Farah pagi ini. Bukan tanpa alasan kenapa KH Shamir yang tadinya terlihat sedih, kini raut wajahnya berubah menjadi tegang.

Di hadapannya sang menantu yang cantik jelita berdiri di depannya mengenakan pakaian tidur jenis lengerie yang sangat seksi.

Lengerie yang di kenakan Farah terlihat sangat terbuka dan tipis hingga menerawang, menampakkan payudaranya yang besar dan putingnya yang tampak mengeras, dan di bawah sana KH Shamir dapat melihat jelas gundukan kemaluan Farah yang di bungkus kain segitiga mini berwarna hitam.

"Masuk Bi! Biar Farah ambilkan minum." Ujar Farah.

KH Shamir yang seakan terhipnotis hanya menurut saja, ia duduk di sofa ruang tamunya sembari memandangi bagian belakang tubuh menantunya yang terlihat sempurna.

Tidak lama kemudian Farah datang kembali sembari membawakan segelas air putih.

"Di minum dulu Bi?" Ujar Farah sembari memberikan minuman tersebut.

Tangan KH Shamir tampak gemetar ketika menerima gelas tersebut. Sementara mata tuanya menatap nanar kearah belahan payudara menantunya.

Farah mengambil kembali gelas yang sudah kosong itu dari tangan KH Shamir yang masih membisu menatap tubuh eksotis menantunya.

"Jadi gimana Bi?" Cecar Farah, KH Shamir masih bungkam. "Bi..." Panggilnya lagi, dan kali ini berhasil menyadarkan KH Shamir.

"Eh iya Maaf Nak Farah! Tadi mau tanya apa?"

Farah tersenyum manis. "Capek ya Bi? Biar Farah pijitin ya Bi." Farah menarik tangan KH Shamir, kemudian ia memijit lengan KH Shamir. "Gimana kabar santri itu Bi? Dia sudah sdar?" Tanya Farah pelan, tidak seperti sebelumnya.

Dengan gugup KH Shamir menjawab. "Anu, I-iya dia sudah sadar." Jawab KH Shamir yang terlihat tidak tenang karena ulah menantunya.

Tubuh KH Shamir terasa lemas ketika punggung tangannya menyentuh selangkangan Farah, sementara lengan tangannya menyentuh payudara Farah, sementara Farah sendiri dengan santai memijit pundaknya, membuat KH Shamir merasa serba salah.

Sebagai pria normal tentu saja KH Shamir menikmatinya, tapi di sisi lain KH Shamir merasa berdosa karena memanfaatkan kepolosan menantunya.

"Alhamdulillah kalau begitu Bi? Oh ya Bi Mas Dayat kemana? Kok gak pulang bareng Abi."

Dirinya yang nyaris di kuasai hawa nafsu mendadak sadar ketika Farah menyebut nama Dayat anak pertamanya. Orang tua macam apa dirinya yang malah bernafsu terhadap menantunya sendiri. KH Shamir mengecam dirinya sendiri.

Dengan perlahan KH Shamir menarik tangannya dari dekapan Farah.

"Maaf Farah! Walaupun Abi mertuamu, tapi kita bukan muhrim." Ujar KH Shamir memperingatkan menantunya yang seakan lupa akan batasan diantara mereka.

"Maksud Abi?"

"Sekali lagi Abi minta maaf nak Farah! Itu baju kamu terlalu terbuka, Abi rasa tidak pantas kamu memakai pakaian seperti itu di depan Abi."

Farah terdiam membisu, dari raut wajahnya ia terlihat sedih. "Maaf Bi! Farah lupa mengganti pakaian." Ujar Farah kecewa.

Lalu Farah berdiri meninggalkan KH Shamir, sejenak ia melihat KH Shamir yang masih menundukkan wajahnya. Dengan langkah perlahan ia meninggalkan KH Shamir menuju kamarnya.

Sementara KH Shamir sendiri tampak merasa bersalah karena sudah menegur menantunya cukup keras, ia khawatir menantunya akan tersinggung dengan ucapannya barusan.
end part 3
 


"Assalamualaikum.... Assalamualaikum..."

Tampak Zaskia baru saja selesai menunaikan kewajibannya subuh ini. Selesai beribadah Zaskia segera merapikan sajadah miliknya, menaruhnya kembali ke tempat asalnya.

Perlahan ia membuka pintu kamarnya, memandangi kamar Rayhan yang sejak tadi tidak ia kunjungi.

Pagi ini Zaskia bertekad tidak akan membangunkan Rayhan. Bukan karena ia marah kepada adik iparnya, melainkan karena Zaskia ingin menegur Rayhan agar tidak berbuat seperti kemarin, yang dengan sengaja melihatnya sedang buang air kecil.

Walaupun ada keraguan, tapi pada akhirnya Zaskia memantapkan hatinya. Ia melangkah pergi menuju kamar mandi.

Baru saja ia membuka pintu kamar mandi, Zaskia langsung di kagetkan dengan sosok pemuda yang akhir-akhir ini membuatnya gelisah. Rayhan yang sedang buang air kecil membuat Zaskia terperangah memandangi penis Rayhan. Tidak hanya gemuk dan berurat, tapi juga sangat panjang.

"Kontoool... Eh kontol... Ya Tuhaaan..." Jerit Zaskia.

Rayhan yang ikut terkejut tanpa sadar malah mengarahkan terpedonya kearah Zaskia, alhasil Rayhan mengencingi Kakaknya.

Seeeeeeeeeeeeeeeerrrr....

"Adeeeek..." Geram Zaskia.

Tetapi Zaskia sama sekali tidak beranjak pergi, walaupun mukenanya di kencingi oleh Adik Iparnya, bahkan Zaskia dapat merasakan hangatnya air kencing Rayhan di selangkangannya.

Sementara Rayhan yang shock, tampak terpaku memandangi Zaskia yang sedang ia kencingi.

Hingga akhirnya Rayhan menyelesaikan hajatnya, ia melihat kearah bawah tempat air kencingnya tadi muncrat dan ternyata mengenai mukena bagian bawah kakaknya, tepatnya di bagian selangkangan Zaskia, samar-samar Rayhan dapat melihat dalaman Zaskia yang berwarna merah maroon.

"Ma-maaf Kak gak sengaja!" Mohon Rayhan.

Zaskia terpaku melihat mukenanya yang basah. "Ya Allah Dek, mukenna Kakak jadi kena najiskan." Keluh Zaskia tampak kaget.

"Habisnya Kakak asal masuk aja, terus teriak lagi bikin kaget aja."

"Gimana gak teriak, kamunya lagi telanjang gitu." Deg... Zaskia seakan tersadar akan kondisi mereka saat ini.

Bukannya segera keluar kamar, mata Zaskia malah kembali melirik kearah penis Rayhan yang sedang ereksi maksimal. Reflek Zaskia menutup mulutnya, memandangi penis Rayhan yang terlihat naik turun, membuat gairah mudanya bergelora.

Sadar kalau Kakak Iparnya sedang memperhatikan penisnya, membuat Rayhan semakin ingin memamerkan kebanggaannya tersebut di hadapan Zaskia, ia menggerakan sedikit pinggulnya, hingga penisnya bergoyang-goyang.

Penampakan tersebut membuat Zaskia makin sakit kepala, bahkan ia Sampat menggigit bibir bawahnya, dengan ekspresi wajah sange.

"Buruan keluar, sudah selesaikan?" Omel Zaskia lagi, menutupi kegundahan hatinya.

Rayhan pura-pura kesal. "Aku mau mandi dulu Kak! Gak sabaran banget si Kak." Omel balik Rayhan, membuat Zaskia naik pitam karena Rayhan mulai berani membantah ucapannya.

"Oh sudah berani sekarang." Dengan gemas ia mencubit perut Rayhan.

"Auww..." Jerit Rayhan.

"Masih berani ngomelin Kakak? Gak sopan sama orang tua." Rutuk Zaskia seraya mencubit perut Rayhan, hingga membuat pemuda itu tertunduk karena kesakitan.

"Am-ampun Kak, aduuuh..." Rengek Rayhan.

Zaskia melepaskan cubitannya. "Kalau kakak ngomong itu di dengerin, jangan di bantah! Kakak gak suka kamu bantah." Omel Zaskia, Rayhan hanya tertunduk mendengar Omelan Zaskia.

"Maaf Kak."

"Kakak perhatikan makin hari kamu makin berani ngejawab, mau jadi apa kamu? Kalau tidak mau mendengarkan nasehat Kakak, lalu kamu mau dengerin nasehat siapa?" Zaskia melipat kedua tangannya, menatap Rayhan tajam, tepatnya menatap penis Rayhan yang masih berdiri kokoh walaupun tengah di marahi.

Kalau di pikir-pikir, sebenarnya Zaskia memarahi Rayhan secara personal, atau malah memarahi penis Rayhan yang seakan menantang Zaskia.

Setelah puas mengomeli Rayhan, Zaskia segera pergi keluar dari kamar mandi.

Setibanya di dalam kamar mandi, Zaskia bertanya-tanya kepada dirinya sendiri, kenapa ia sangat kesal kepada Rayhan, padahal adiknya itu tidak salah apa-apa, dirinya yang salah karena tidak mengetuk pintu terlebih dahulu.

"Tidak... Tidak... Rayhan yang salah, kenapa ia tidak mengunci pintu kamar mandi." Rutuk Zaskia di dalam hatinya.

Terus apa bedanya dengan dirinya atas kejadian kemarin, bukankah dia yang menyuruh Rayhan mengetuk pintu kamar mandi?

"Ya Tuhaaaaan..." Keluh Zaskia frustasi.

Ia merebahkan tubuhnya diatas kasur, masih dengan memakai mukena yang sudah terkena najis dari Rayhan. Perlahan ia memejamkan matanya, membiarkan penis Rayhan menari-nari di kelopak matanya. Tanpa sadar jemari Zaskia membelai vaginanya dari luar mukenanya, ia masih dapat merasakan hangatnya air kencing Rayhan.

Sementara itu di dalam kamar mandi Rayhan terlihat bersiul-siul senang, kini ia memiliki keyakinan lebih besar, kalau Kakak Iparnya juga tertarik dengan dirinya.

*****

06:50


Tiwi


Aurel


Lidya

Setelah berpamitan Aurel segera menuju kelasnya, tetapi tiba-tiba ia di cegat oleh Tiwi dan Lidya, mereka berdua mengajak Aurel untuk membolos hari ini. Awalnya Aurel tidak mau, ia khawatir Abinya tau kalau dirinya membolos, tetapi setelah di bujuk, akhirnya Aurel menuruti kedua temannya itu.

Mereka bertiga menuju tempat biasa mereka menghabiskan waktu, merokok, bergosip dan menonton video porno.

Setibanya di tempat lokasi, mereka langsung menyalakan sebatang rokok dan menghisapnya penuh nikmat. Dan rasa itu kian nikmat, tatkalah mereka harus melakukannya dengan cara sembunyi-sembunyi.

Tanpa mereka sadari, segerombolan santri sedang berjalan tidak jauh dari lokasi mereka yang sedang merokok. Sayup-sayup, salah satu santri mendengar suara mereka.

"Tunggu... Kayaknya ada suara perempuan deh." Ucap Ferdi, dirinya yang penakut membuat bulu kuduknya merinding.

"Aku juga dengar." Timpal Yogi.

"Jangan-jangan ada hantu." Panik Ferdi, sembari memandangi suasana sekitarnya yang di tumbuhi pohon-pohon karet yang sudah tidak terurus.

Dedi mengeplak kepala Ferdi. "Masak siang bolong kayak gini ada hantu." Omel Dedi garang dengan salah satu sahabatnya itu.

"Dari pada kita penasaran, kita cari aja sumber suaranya." Usul Efran.

"Kayaknya di sana deh." Tunjuk Boy.

"Yuk..." Ajak Dedi.

Ferdi yang pada dasarnya sangat penakut memilih berjalan di belakang Dedi, sembari mengawasi sekelilingnya yang terasa mencekam bagi Ferdi. Boy yang berada di belakangnya sesekali mengagetkan Ferdi, hingga Ferdi kesal.

Dedi yang kesal akhirnya menggeplak mereka berdua dan meminta mereka berdua untuk berhenti bercanda.

Hingga akhirnya mereka tiba di lokasi tempat Aurel, Lidya dan Tiwi yang sedang merokok santai sembari bergosip ria.

"Jadi ini hantunya." Sindir Dedi.

Ferdi tampak manyun. "Ya mana aku tau." Ucap Ferdi ngeles.

Yogi, Efran dan Boy tertawa melihat Ferdi yang terlihat Misu-misu.

Dedi mengajak teman-temannya untuk menemui Clara dan yang lain. Saat melihat kehadiran mereka, Aurel, Lidya dan Tiwi tampak panik, mereka buru-buru mematikan rokok mereka.

"Hayo pada ngapain kalian ke sini."

"Apa urusanmu?" Bentak Aurel.

Boy yang tampak familiar dengan Aurel langsung menodongnya. "La, diakan anaknya KH Umar?" Tunjuk Boy, membuat Aurel pucat pasi.

"Adiknya Azril?" Tanya Dedi.

"Iya bener banget." Jawab Ferdi.

Efran menggelengkan kepalanya. "Wah... Wah... Gak nyangka, anaknya Kiayi nakal juga." Ucap Efran, yang membuat Aurel semakin panik.

Wajar saja kalau Aurel khawatir saat ini, bisa di bayangkan bagaimana reaksi orang tuanya kalau sampai mereka tau kelakuan Aurel. Bisa-bisa ia habis di pukulin, dan parahnya ia akan di sekolahkan ketempat yang jauh, membayangkannya saja sudah membuat Aurel merasa was-was.

Belum lagi rasa malu yang akan di terima oleh orang tuanya, bisa-bisa namanya di coret dari kartu keluarga.

Lidya dengan tenang berdiri menatap mereka semua. "Terus kalian di sini ngapain? Belajar? Apa kelasnya sudah pindah." Sindir Lidya.

"Berarti kita sama ya." Ujar Dedi.

"Bisa di kondisikan kan?" Ujar Lidya mengajak berdamai. Toh mereka sama-sama membolos pagi ini.

"Tentu saja! Ehmmm... Bagaimana kalau kalian gabung bareng kami aja?" Tawar Dedi, membuat teman-temannya tampak bersemangat.

"Maksudnya?" Kejar Tiwi.

Dedi duduk di samping Tiwi. "Kalau kalian di sini terlalu berbahaya, karena masih sangat dekat dengan pesantren, cepat atau lambat kalian akan ketahuan, sementara di tempat kami lebih aman!" Jelas Dedi, sembari melihat kearah Lidya, Tiwi dan Aurel.

"Aku juga ngerasa khawatir di sini." Ungkap Aurel.

"Kalau begitu kalian nongkrong di tempat kami saja, tempatnya asyik kok, di pinggir danau! Dan yang pastinya tidak ada orang yang bakalan ke sana." Ujar Ferdi bersemangat.

Tentu sangat menyenangkan bolos bersama lawan jenis, ketimbang hanya mereka saja.

Lidya juga berfikiran yang sama, rasanya lebih menyenangkan bolos bareng santri ketimbang hanya bertiga dengan kedua temannya.

Tanpa berfikir panjang, mereka bertiga setuju dengan usulan Dedi dan teman-temannya.

Segera merekapun pergi menuju markas Dedi dan kawan-kawannya yang berada terletak di dekat danau yang sangat sepi dari pesantren maupun orang lalu lalang, sehingga sangat aman untuk mereka jadikan markas bersama.

Selain aman, tempatnya juga lumayan nyaman, karena markas mereka sebenarnya sebuah rumah panggung yang sudah lama tidak di tempati.

Dengan semangat 45, Aurel dan kedua temannya segera menaiki tangga yang sudah mulai rapu, saat masuk ke dalamnya, mereka tampak takjub dengan ruangan rumah tersebut yang cukup luas, di sekelilingnya juga terdapat jendela yang menghadap ke danau, dan juga terdapat dua ruangan kosong yang kemungkinan dulunya adalah kamar.

Sementara di belakangnya terdapat tempat bersantai yang bisa di jadikan tempat melompat ketika ingin berenang di sungai.

"Bagaimana, di sini lebih enakkan?" Tanya Dedi sembari mendekati Aurel yang sedang memandangi ikan-ikan kecil yang berada di sungai.

Aurel tersenyum. "Iya, lebih nyaman juga." Aku Aurel senang.

"Rokok." Tawar Dedi.

Aurel mencabut sebatang rokok dari bungkus rokok sampoerna yang di berikan Dedi, bahkan Dedi juga menyalakan api rokok Aurel. Sembari menghisap rokok bersama, mereka berdua berkenalan, karena sebelumnya mereka belum berkenalan secara langsung.

Tidak butuh waktu lama, mereka berdelapan sudah terlihat begitu akrab.

*****

13:30


Laras

Hj Laras baru saja selesai mandi, masuk ke dalam kamarnya. Ia melihat kearah Suaminya yang tengah sibuk mengenakan pakaian yang terlihat lebih rapi dari biasanya ketika ia berada di rumah.

Hj Laras duduk di tepian tempat tidurnya, melepas hijabnya, kemudian mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil.

"Mau kemana Bi?" Tanya Hj Laras.

KH Umar menoleh sebentar sembari mengancingkan kancing lengan baju kokohnya. "Mau ke rumah KH Sahal, ada perlu." Ujar KH Umar seraya duduk di samping Istrinya yang terlihat cantik dengan daster rumahannya.

"Baru juga sampe Bi, emang gak kangen?" Pancing Laras.

"Mau bagaimana lagi Mi! KH Hasyim yang minta aku ke sana." Jawab KH Umar.

"Mau ngomongin masalah kemarin ya Bi."

KH Umar mengangguk. "Aku pergi dulu ya, nanti sore Abi baru pulang."

Hj Laras mengamit dan mencium punggung tangan Suaminya. "Titip salam sama KH Sahal dan keluarga." Ujar Hj Laras.

"Iya, nanti Abi sampaikan." KH Umar mengecup kening Istrinya.

Hj Laras kembali mengenakan hijabnya, dan memakai pakaian, kemudian ia mengekor dari belakang, mengikuti Suaminya yang berjalan lebih dulu keluar dari dalam kamar. Saat berada di lantai satu ia sempat bertemu Daniel, dengan sopan Daniel mengamit tangan KH Umar.

Hj Laras yang berada di belakang KH Umar tampak tidak nyaman bertemu dengan Daniel.

"Bagaimana Dan? Kamu betah tinggal di sini?"

Daniel mengangguk. "Betah Kiayi, di sini saya merasa tinggal di rumah sendiri." Jawab Daniel, sembari sesekali melirik kearah Hj Laras.

"Saya pergi sebentar ya Dan! Titip rumah." Pesan KH Umar yang di jawab dengan anggukkan. "Assalamualaikum..." Salam KH Umar.

Hj Laras dan Daniel mematung memandangi KH Umar yang berjalan keluar dari rumah, hingga akhir sosok KH Umar menghilang dari pandangan mereka, dan kini mereka hanya tinggal berdua saja.

Hj Laras hendak kembali ke kamarnya, tapi di cegah oleh Daniel.

"Amma..."

"Eh iya Dan..." Jawab Hj Laras tampak kikuk.

Daniel tersenyum. "Gimana kakinya Amma, sudah mendingan?" Tanya Daniel sembari mendekat kearah Tantenya.

"Dari kamu pijit kemarin sudah agak mendingan, terimakasih ya Dan." Hj Laras memasang senyuman terbaiknya, membuat hati Daniel meleleh menatap senyuman Hj Laras.

"Alhamdulillah kalau begitu! Mau saya periksa lagi Amma?" Tawar Daniel.

Sebenarnya Laras ingin sekali kembali di pijit Daniel, agar kakinya bisa benar-benar sembuh. Walaupun sekarang bengkaknya sudah mengempis, tetapi tetap saja terkadang ia merasa nyerih di pergelangan kakinya, membuatnya susah berjalan.

Hanya saja masalahnya kejadian kemarin membuat Laras orgasme, ia merasa sangat malu. Andai saja Daniel perempuan, mungkin dengan senang hati Laras akan memintanya.

"Kayaknya gak perlu Dan!" Tolak Laras.

Daniel menghela nafas perlahan. "Maaf Amma, saya hanya takut kaki Amma belum sembuh betul, bisa-bisa nanti tambah parah dan sulit untuk di sembuhkan." Jelas Daniel, menakut-nakuti Laras.

Dan ternyata cara Daniel cukup berhasil, Laras mulai kepikiran yang enggak-enggak, membayangkan kakinya kembali bengkak yang membuat dirinya tidak bisa berjalan. Membayangkannya saja sudah membuat bulu kuduk Laras berdiri.

Tetapi kalau ia menerima tawaran Daniel, ia khawatir kejadian semalam terulang kembali, walaupun harus ia akui pijitan Daniel memang mujarab.

Ini demi pengobatan.

Gumam hati Laras, meyakinkan dirinya kalau semuanya akan baik-baik saja.

"Boleh deh Dan, agak takut juga kalau sampai nanti Amma gak bisa jalan." Ujar Laras, menyetujui saran Daniel yang tampak senang mendengarnya.

"Kalau dianggap sepele, nantinya memang bisa bahaya, bahkan Tante bisa saja lumpuh." Jelas Daniel.

Laras makin ketakutan. "Serius kamu Dan?"

"Iya Amma, takutnya pembuluh darah Amma pecah karena sarafnya terjepit." Jelas Daniel, membuat Laras semakin percaya

"Enaknya saya kamu pijitin di mana?"

"Di kamar Azril aja Amma! Tapi sebelum itu pakaiannya di ganti dengan kain jarit aja Amma." Saran Daniel.

"Kamu tunggu aja di kamar ya, Amma mau ganti pakaian dulu." Ujar Laras, yang kemudian ia segera pergi menuju kamarnya.

Sementara Daniel terlihat sangat senang, sebelum ke kamar Azril ia pergi ke dapur untuk membuat segelas jahe hangat yang ia campur dengan obat perangsang, dan kali ini dosisnya lebih banyak di bandingkan sebelumnya.

*****

14:00


Clara

"Azril..."

Untuk kesekian kalinya Azril mendengar suara wanita yang memanggil-manggil dirinya, tetapi Azril memilih untuk tetap jalan, menutup telinganya seakan tidak mendengar panggilan tersebut.

Tetapi wanita tersebut tidak menyerah, setengah berlari ia mengejar Azril.

Hingga akhirnya ia mampu mensejajarkan dirinya dengan Azril yang masih saja terus berjalan, tanpa memperdulikan sosok yang ada di sampingnya.

"Azril..." Lirihnya. "Azril... Kamu kenapa si?" Kesal Clara sembari menarik tangan Azril.

Pemuda itu berhenti, tetapi ia tidak berbicara sepatah katapun. Azril masih sangat kecewa dengan kejadian kemarin, di mana ia melihat sendiri orang yang ia suka di bawah masuk ke dalam sebuah penginapan yang cukup terkenal di kabupaten nya.

Sebenarnya Azril tidak berhak untuk marah, mengingat Clara hanyalah temannya, bukan kekasihnya, tetapi Azril yang terlanjur mencintai Clara, tidak bisa membohongi perasaannya.

"Kamu marah?"

"....." Azril masih diam.

Clara menghela nafas perlahan. "Aku tau kamu pasti kecewakan sama aku, atau jangan-jangan kamu merasa jijik sama aku karena sudah tidak suci lagi." Rajuk Clara, sembari menundukkan wajahnya.

"Aku tidak begitu." Potong Azril.

"Terus, kenapa kamu menghindari aku? Apa salah aku sama kamu?" Desak Clara, membuat Azril kini merasa bersalah.

"Maaf!"

"Maaf buat apa? Buat untuk kita tidak berteman lagi? Apakah aku begitu kotor sehingga kamu tidak mau berteman dengan aku?" Ungkap Clara menggebu-gebu, membuat Azril merasa terpojok.

Azril menatap sayu mata Clara. "Maaf... Ka-karena aku cemburu... Aku sadar aku tidak berhak cemburu, tapi... Aku tidak bisa membohongi perasaanku." Jelas Azril.

"Cemburu?" Ulang Clara.

Azril tertunduk malu, karena secara tidak langsung Azril telah mengungkapkan perasaannya.

Clara meraih kedua tangan Azril, menggenggamnya sembari menatap mata Azril. Tampak segaris senyuman terukir di bibirnya. "Kamu suka aku?" Tanya Clara, Azril mengangguk.

"Iya, tapi aku sadar kalau kamu sudah milik orang lain." Jawab Azril lemah.

"Apa sekarang kamu masih menyukaiku? Walaupun kamu sudah tau kalau aku sudah tidak perawan lagi." Tanya Clara, entah kenapa ia merasa sangat penasaran dengan perasaan Azril saat ini.

Azril lagi-lagi mengangguk. "I-iya, aku sangat mencintaimu, bahkan sampai detik ini." Aku Azril.

"Maaf ya Zril, kalau aku sudah menyakiti kamu. Jujur aku juga sayang sama kamu, tapi aku belum bisa menjadi pacar kamu." Lirih Clara, ia terlihat sedih dan merasa menyesal karena tidak bisa membalas perasaan Azril.

"Kamu gak salah! Kamu berhak memilih pria mana yang kamu suka."

"Kamu masih maukan jadi sahabat aku?"

Azril mengangguk lemah. "I-iya Clara, aku mau jadi sahabat kamu." Jawab Azril, walaupun dirinya sangat ingin menjadi kekasih Clara, bukan hanya sekedar sahabat. Tetapi Azril sadar kalau dirinya bukan pilihan hati Clara, hanya saja ia berharap suatu hari nanti bisa menjadi pendamping hidup Clara.

"Terimakasih Zril."

"Iya, sama-sama."

"Aku duluan ya, gak enak di lihat sama orang lain." Pamit Azril, Clara tersenyum sembari mengangguk.

Sebelum Azril benar-benar pergi, Clara kembali berujar. "Aku berharap rasa cinta kamu ke aku selalu utuh di hati mu." Bisik Clara seraya tersenyum, membuat hati Azril meleleh.

"Itu pasti! Selamanya aku akan mencintaimu."

*****


Laras

Terik matahari seakan tidak mempengaruhi mod seorang pemuda yang sedari tadi tersenyum sendiri. Azril pulang ke rumah dengan perasaan berbunga-bunga. Walaupun dirinya tidak bisa menjadi pacar Clara, terapi ia merasa sangat bahagia karena Clara juga menyayanginya dan memintanya untuk selalu menjadi sahabatnya.

Setibanya di rumah Azril langsung menuju kamarnya yang ada di lantai dua, tetapi sedetik kemudian raut wajah Azril yang tadinya berseri-seri kini berubah datar.

"Umi..." Panggil Azril.

Pemuda itu kaget melihat ibunya yang sedang telungkup memakai kain jarit, bahkan Azril dapat melihat sepasang tali bra berwarna hijau stabilo di pundak Ibunya. Sementara di sisi Ibunya ada Daniel yang sedang memijit betis Ibunya.

Daniel terlihat santai ketika melihat Azril yang baru saja pulang, tapi tidak dengan Laras, ia terlihat panik, khawatir kalau anaknya salah paham.

"Baru pulang Zril?" Tanya Daniel.

Azril mengangguk. "I-iya Mas! Lagi mijitin Umi ya." Tanya Azril yang tampak heran dengan penampilan Ibu Tirinya yang tidak biasanya mengenakan kain jarit, tetapi pakaian sederhana itu malah membuat Ibu Tirinya terlihat semakin seksi di matanya.

"Kaki Ibu kamu masih sakit, takut kenapa-kenapa, jadi harus rutin di pijit." Jelas Daniel yang tengah memijit betis dan pergelangan kaki Laras.

"Adu Dan! Sssttt..."

"Tahan ya Amma..." Pinta Daniel.

Telapak tangan Daniel naik keatas menuju betis Laras, menyingkap kain tersebut hingga kulit mulus betis Laras terpampang, tidak hanya di hadapan Daniel tapi juga di hadapan Azril.

Dalam diamnya Laras mulai gelisah, terutama ketika Daniel memijit bagian belakang lututnya.

"Ya Tuhan... Jangan sekarang." Jerit hati Laras.

Vaginanya mulai terasa gatal, membuat Laras tidak nyaman, alhasil ia bergerak tak beraturan menahan rasa geli bercampur nikmat.

Azril menelan air liurnya yang hambar ketika telapak tangan Daniel makin keatas, yang membuat kain jarit yang di kenakan Laras makin tersingkap hingga sebatas paha mulusnya. Layaknya anak muda pada umumnya, Azril mulai terangsang melihat aurat lawan jenisnya.

"Tahan ya Amma." Ujar Daniel, sembari memijit paha bagian luar Laras.

"Ughk... Dan!" Lenguh Laras.

Jemari Daniel kembali naik keatas menuju pantat Laras, sedikit demi sedetik Azril dapat melihat karet bagian bawah penopang pantat Ibu Tirinya terlihat. Tubuh Azril gemetar, menantikan kemontokan pantat Ibu Tirinya yang pernah beberapa kali ia lihat.

Laras berusaha menarik turun kainnya, tapi usahanya sia-sia saja, di tambah jemari Daniel sudah berhasil masuk semakin dalam, hingga ke pantat bulatnya.

"Aduuuh Dan! Aaahkk..." Laras tampak makin gelisah.

Laras menatap Azril, berharap anaknya itu bisa membebaskannya dari cengkraman Daniel yang tengah melecehkannya. Tetapi Laras harus kecewa setelah melihat tatapan Azril, pemuda itu tak berkedip menatap tubuhnya yang secara tidak langsung di jamah oleh Daniel.

Sebenarnya Azril sendiri tidak rela melihat tubuh ibunya di jamah, tetapi rasa penasarannya mengalahkan akal sehatnya.

"Zril..." Panggil Daniel untuk kesekian kalinya.

Azril tergagap setelah sadar akan panggilan saudara sepupunya itu. "Eh iya ada apa Mas?" Tanya Azril salah tingkah setelah melihat senyuman misterius Daniel.

"Tolong tuangkan baby oil itu di sini." Daniel menunjuk kearah pantat Laras.

Jemari Azril tampak gemetar ketika meraih baby oil tersebut, di tambah lagi Daniel dengan santainya menyingkap kain Laras hingga sebatas pinggangnya.

Mata Azril membelalak menatap pantat Laras yang dibalut kain segitiga berwarna hijau stabilo. Di bagian selangkangan Laras, samar-samar Azril bisa melihat bercak noda yang menggelap.

"Zril..." Tegur Daniel lagi.

"I-iya."

Buru-buru Azril menumpahkan cairan kental itu diatas pantat Ibunya. Tampak pantat Ibunya bergetar ketika cairan itu mengenai selangkangannya, membuat celana Ibu Tirinya terlihat semakin basah, hingga menjiplak bibir kemaluannya.

Jemari Daniel kembali bekerja, memijit paha berisi Laras, dari bagian luar hingga ke bagian dalam paha mulus Laras dengan perlahan.

"Ughk... Dan! Sssstt..." Desah Laras.

Jemari telunjuk Daniel menyelip diantara kedua paha Laras, menekan dan menggesek bibir kemaluan Laras dari luar celana dalamnya. "Sakit ya Amma?" Tanya Daniel, semakin intens menggosok-gosok bibir kemaluan Hj Laras yang terasa berkedut-kedut.

"Iya agak sakit." Ujar Laras berbohong.

Tidak mungkin ia memberitahu Daniel, kalau ia menikmati pijitan yang di berikan kepadanya. Tidak mungkin ia memberitahu Daniel kalau saat ini ia tengah rerangsang. Mau di taruh dimana mukanya.

Tetapi walaupun Laras tidak mengatakannya, jelas Daniel mengetahuinya.

Pijitan Daniel pindah ke pantat Laras, terus naik menuju pinggang Laras. Wanita yang masih mengenakan hijab itu tampak bisa bernafas lega karena Daniel tidak lagi menyentuh bagian sensitifnya.

Tapi berbeda dengan Azril, ia tampak kecewa ketika Laras merapikan kembali kain jarit nya. Walaupun ia tau, kalau bukan hanya dirinya saja yang akan menikmati keindahan tubuh ibunya, melainkan juga ada orang lain yang akan menikmatinya.

Daniel memijit lembut pundak Laras, menuju tengkuk lehernya yang terasa kaku.

"Amma kecapean ya?" Ujar Daniel basa-basi.

"Iya Dan, maklumlah pekerjaan Ibu rumah tanggakan seabrek." Ujar Laras yang mulai sedikit tenang.

Daniel kembali memijit pundak Laras, turun ke lengan Laras yang terasa lembut. Ia menarik tangan Laras, dan dengan sengaja meletakan tangan Laras di selangkangannya, membuat wanita cantik itu dapat merasakan tonjolan di celana Daniel.

Deg... Deg... Deg...

"Ya Tuhan, apa itu?"
Gumam hati Laras.

Tubuh Laras gemetar merasakan tonjolan keras di celana Daniel. Sanking tegangnya, ia merasa jantungnya mau copot.

Hati kecilnya menjerit, ingin menarik tangannya untuk menjauh, tapi tubuhnya malah mengkhianatinya, ketika Daniel kembali memijit pundaknya, tangan Laras tetap berada di selangkangan Daniel, seakan enggan walaupun hanya bergeser sedikit.

"Sadar Laras, di dekatmu ada Azril..." Gumam Laras berusaha menyadarkan dirinya.

Sedikit demi sedikit Daniel menurunkan kain yang di kenakan Laras, sembari memijit mengusap-usap lembut punggung halusnya.

Kliiik...

Tiba-tiba Laras merasakan tali BHnya mengendur, menandakan kalau pengaitnya sudah di lepas, dan dengan begitu Daniel semakin leluasa membelai, mengelus dan memijit punggungnya. Anehnya Laras sama sekali tidak protes walaupun ia sadar kalau dirinya tengah di lecehkan oleh keponakannya sendiri.

Kedua tangan Daniel naik keatas, menuju pundak Laras, memijitnya dengan pelan, kemudian kedua tangannya menyusup ke balik tali bra yang di kenakan Laras, menariknya turun melalui pundaknya.

"Ya Tuhan, Daniel..." Jerit hati Laras.

Tapi lagi-lagi ia tidak menahan perbuatan Daniel dan terkesan membiarkan yang di lakukan Daniel kepada dirinya. Pijitan Daniel kembali turun ke punggung Laras, menekan bagian samping punggunya, hingga payudara Laras juga ikut ketekan.

"Ughk..." Lenguh Laras tak Tahan.

Jemari Daniel naik turun, menekan pinggiran payudara Laras. "Behanya di lepas aja ya Amma." Ujar Daniel, sembari berusaha menarik lepas bra-nya.

"Eh..." Kaget Laras.

Tanpa sadar Laras sedikit mengangkat dadanya ketika Daniel menarik bra-nya.

Azril yang berada di dekat mereka tampak tegang, melihat Ibu Tirinya kini sudah tidak lagi memakai bra. Dan anehnya Azril hanya diam, dan melihat bagaimana Daniel menelanjangi Ibu Tirinya.

"Azril..." Panggil Daniel kesekian kalinya.

Lagi-lagi Azril tidak menyadari panggilan saudara sepupunya itu. "Eh... Iya mas." Ujar Azril tergagap.

"Ini..." Daniel menyodorkan beha Ibunya. "Kamu mikir apa si Zril? Dari tadi bengong terus." Sindir Daniel, membuat wajah Azril merona merah karena malu, apa lagi Daniel mengatakan hal tersebut di depan ibunya.

Laras memang diam saja, tetapi ia memperhatikan putranya, ia tau kalau putranya sedang terangsang melihat dirinya yang kini nyaris telanjang.
.
Walaupun ia kesal dengan sikap putranya, tetapi Laras memakluminya, karena bagaimanapun juga tubuh Laras memang masih sangat menggoda, apa lagi saat ini ia nyaris telanjang. Hal yang wajar kalau putranya tersebut merasa birahi melihat dirinya.

Seharusnya yang patut di salahkan adalah dirinya sendiri, membiarkan Daniel mempertontonkan setiap inci aurat tubuhnya, yang seharusnya hanya di lihat oleh Suaminya seorang.

"Aliran darah Amma kurang lancar, saran saya jangan sering-sering menggunakan beha." Ujar Daniel yang kembali memijit punggungnya.

"I-iya Dan! Duh... Sssttt..." Lenguhan nikmat Laras.

Jemari Daniel kembali turun, memijit pinggang Laras sembari menarik turun kain jaritnya. Semakin lama kain tersebur semakin turun hingga sebatas pantatnya. Dan lagi-lagi Laras membiarkannya, walaupun ia tau kalau tidak hanya Daniel yang dapat melihatnya tetapi juga putranya.

Laras menggigit bibirnya ketika Daniel kembali memijit pantatnya dari atas, turun kebawah paha bagian dalamnya dan berakhir di selangkangan.

"Jangan di situ Dan! Aaahkk..." Jerit hati Laras.

Dengan kedua jarinya Daniel menggosok-gosok kemaluan Laras, membuat vagina Laras semakin membanjir. Rasa nikmat yang luar biasa, membuat dirinya lupa diri.

Begitu juga dengan Azril, sanking terobsesinya dia terhadap tubuh Ibunya, pemuda itu hanya mematung melihat apa yang di lakukan Daniel.

"Dan... Aaaahkkk... Sssttt..." Lenguh Laras.

Dengan jari jempolnya Daniel menekan-nekan vagina Laras dari luar.

Setelah di rasa cukup, pijitan Daniel kembali naik keatas, ke paha Laras, pantat, hingga pinggang Laras. Ia memijit pinggul Laras, sembari menyelipkan kedua jarinya masuk ke dalam celana dalam Laras, kemudian sedikit demi sedikit ia menurunkan celana dalam Laras.

Tanpa sadar Azril meremas kemaluannya, ketika matanya menangkap belahan pantat Ibunya.

"Dan!" Laras mulai panik.

Tetapi Daniel tidak menggubrisnya. "Tahan ya Umi." Pinta Daniel, sembari memijit pinggul Laras, turun kepantatnya hingga membuat celana dalamnya semakin turun, hingga semakin terlihat penampakkan pantat Laras yang membulat sempurna.

Laras ingin sekali menghentikan perbuatan Daniel, tapi entah kenapa tangannya terasa begitu berat untuk digerakkan.

Daniel menaiki betis Laras, duduk dengan kedua kaki terlipat untuk menopang tubuhnya. Dengan perlahan ia memijit pantat Laras, dari atas kebawah, dari bawah keatas. Gerakan Daniel terlihat seperti sedang meremas-remas pantat Laras.

Azril maju satu langkah, sembari menatap bulatan pantat Laras. Ketika Daniel melakukan gerakan pijitan dari dalam keluar, maka belahan pantat Laras terbuka, dan tampak anus Laras mengintip malu-malu.

"Ughk... Dan! Ssssttt..."

"Ini biar aliran darah dari pantat Amma lancar." Ujar Daniel menjelaskan, walaupun rasanya tidak masuk akal.

Tetapi di karenakan Laras berada di bawah pengaruh obat perangsang, ia hanya mengiyakan saja, seakan membenarkan apa yang di katakan Daniel, untuk menutupi rasa berdosanya.

Kedua jari tangannya menyusup dari samping bibir kemaluan Zaski, naik turun, naik turun membuat Zaskia makin belingsattan. Lendir kewanitaannya keluar semakin banyak, membasahi bibir kemaluannya yang terlihat sangat jelas.

"Tuangkan baby oilnya lagi." Suruh Daniel.

Azril dengan cepat mengambil baby oil, lalu menuangkannya ke pantat Ibunya yang tengah di buka lebar oleh Daniel. Tampak anus Laras berkedut-kedut ketika di aliri cairan kental tersebut.

Kedua jemari Daniel turun kebewah, ia membuka pipi pantat bagian bawah Laras.

Tanpa di suruh Azril menuangkan cairan tersebut diatas vagina Laras yang sudah terlihat sangat basah dan semakin basah karena cairan bening tersebut. Beberapakali Azril terlihat menelan air liurnya, menatap nanar selangkangan Ibunya.

"Duduk di sini aja Zril." Suruh Daniel.

Lagi-lagi Azril mematuhi perintah Daniel, sembari memandangi pantat dan vagina Ibunya.

Sementara Laras terlihat semakin tidak tenang, ada rasa malu bercampur birahi mengetahui bagian intimnya menjadi santapan keponakannya dan juga anaknya.

"Ya Tuhan, ada apa denganku." Bisik hati Laras tidak percaya.

Daniel menyelipkan kedua jarinya di sela-sela pantat Laras, kemudian menggerakannya mengikuti alur belahan pantat Laras, hingga kebawah bibir vaginanya. Gesekan antara kulit tangan Daniel dengan bagian sensitifnya membuat Laras menggelinjang.

"Aaahkk... Hah... Hah..."

Sloookksss... Sloookksss.... Sloookksss...

Semakin lama semakin cepat Daniel menggosok-gosok bibir vagina Laras, membuat wanita itu makin tak tahan. Kedua tangannya terkepal, sembari membenamkan wajahnya di bantal.

"Enggkkk... Aaaahkk... Aaaahkkk... Aaaahkkk..."

Azril yang duduk di samping kaki kanan Laras hanya termenung melihat perbuatan Daniel.

Hingga akhirnya Laras merasa cairannya sudah berada di ujung vaginanya. Wajahnya memerah karena menahan nafas, dan akhirnya ia sudah tidak mampu lagi membendung orgasmenya. Sembari mengangkat wajahnya Laras melolong panjang.

"Aaaaaaarrttt...."

Creeettss.... Creeettss... Creeettss...

Seeeeeeeeeeeeeeeerrrr....

Azril menelan air liurnya, melihat genangan air yang membasahi sprei tempat tidurnya. Saat Daniel mengangkat jarinya, Azril dapat melihat tetesan cairan bening yang menempel di jari Daniel.

"Sudah selesai Amma!" Bisik Daniel.

Kemudian pemuda itu mengambil selimut lalu menyelimuti tubuh Laras.

Tanpa mengatakan apapun Daniel mengajak Azril pergi meninggalkan kamar, membiarkan Laras beristirahat, masih dalam kondisi telungkup.

Selepas kepergian mereka, raut wajah Laras tampak berubah murung. Ia menyesali apa yang terjadi, bagaimana mungkin dirinya menikmati pijitan erotis yang di berikan Daniel, dan parahnya Daniel melakukan hal tersebut di depan putranya.

*****


Zaskia

Seharian ini Zaskia mendiamkan Rayhan, bukan karena ia marah, melainkan karena Zaskia merasa malu karena sudah melihat Rayhan dalam keadaan telanjang bulat, bahkan ia sempat terkena kencing Rayhan, tapi anehnya dia malah mengajak Rayhan berdebat.

Sikap Zaskia yang berbeda dari biasanya, membuat Rayhan merasa tidak nyaman, beberapa kali ia mengajak Kakaknya mengobrol tetapi jawaban Zaskia sangat singkat.

Rayhan beranjak dari tempat tidurnya, ia berencana menanyakan alasan kenapa Kakaknya mendiamkannya hari ini.

Tok... Tok... Tok...

Rayhan mengetuk pintu kamar Zaskia, dan tidak lama kemudian Zaskia membukakan pintu untuknya.

"Aku boleh masuk Kak." Izin Rayhan.

Zaskia tampak menghela nafas lalu mengangguk. "Masuk aja! Tumben pake permisi." Sindir Zaskia, Rayhan tampak manyun.

Pemuda itu duduk di tepian tempat tidurnya, sementara Zaskia dduk di kursi kerjanya. "Ada apa? Kakak masih banyak kerjaan." Ketus Zaskia, melihat Rayhan, selalu mengingatkan nya dengan penis adiknya.

"Kakak kenapa si?" Tanya Rayhan heran.

"Kenapa apanya?"

Rayhan mendengus kesal. "Seharian ini jutek terus! Gak biasanya." Rutuk Rayhan, entahlah, rasanya ada yang hilang dari saudaranya.

"Pikir aja sendiri." Ambek Zaskia.

Wanita cantik itu berdiri, berjalan beberapa langkah dan berhenti tepat di depan kaca lemarinya, sembari melipat tangan diatas dadanya. Dari raut wajahnya, terlihat semburat merah, menandakan kalau Zaskia saat ini di landa rasa malu.

Bayangan penis Rayhan seakan berseliweran di depan kelopak matanya. Berapa kali ia berusaha membuang bayangan tersebut, tetapi tetap saja kembali.

Rayhan berdiri, menghampiri Kakak Iparnya. Tiba-tiba pemuda itu memeluknya dari belakang.

Deg... Deg... Deg...

Nafas Zaskia terasa berat, tubuhnya lemas seakan tulang-tulang nya meleleh. Baru kali ini Rayhan berani memeluknya, dan anehnya Zaskia merasakan sensasi yang belum pernah ia rasakan. Pelukan Rayhan tidak hanya mendamaikan hatinya, tetapi juga membuat tubuhnya merasa hangat.

Debat jantung Zaskia semakin kencang, bahkan Rayhan yang tengah memeluknya dari belakang dapat merasakannya.

"Adek, apa yang kamu lakukan?" Lirih hati Zaskia.

"Kakak marah ya?" Bisik Rayhan.

Zaskia tak mampu berkata-kata, pelukan Rayhan membuat bibirnya terasa keluh.

"Kak..."

"Pikir aja sendiri." Jawab Zaskia dengan suara parau.

"Ya Allah, kenapa aku menjadi kekanak-kanakan seperti ini? Sadar Kia, dia adikmu." Jerit frustasi Zaskia di dalam hatinya.

"Soal tadi pagi ya Kak? Maafin aku ya Kak." Rayhan memeluk tubuh Zaskia semakin erat. Dari jarak yang begitu dekat Rayhan dapat mencium aroma lavender dari tubuh Zaskia.

Zaskia terpaku diam, ia tidak menyangkah Rayhan akan senekat ini. Ia dapat merasakan adanya tonjolan di pantatnya yang terasa panjang dan keras, menyundul-nyundul pantatnya dari belakang. Dan anehnya Zaskia sama sekali tidak marah.

Rasa nyaman dan hangat seakan membuatnya lupa akan cincin mas yang melingkar di jemari manisnya.

"Itu kontol kamu Dek?" Bisik hati Zaskia.

"Kok diam... Di maafin gak?" Tanya Rayhan lagi.

"Enggak!" Jawab Zaskia manja.

Rayhan meletakan dagunya di pundak Zaskia, ia jadikan pundak Zaskia sebagai penopang dagunya. Hembusan hangat nafas Rayhan terasa penerpa pipinya, membuat pipinya kian merona.

Tidak sampai di situ saja, Rayhan mengayunkan tubuhnya kekiri dan kanan, hingga tubuh Zaskia ikut berayun-ayun, yang membuat tonjolan di celana Rayhan menggesek-gesek pantatnya.

"Cie yang masih ngambek..." Goda Rayhan.

Zaskia menggembungkan pipinya, hingga ia terlihat begitu imut. "Siapa yang ngambek?" Elak Zaskia, sembari memejamkan matanya, menikmati hembusan nafas Adiknya.

"Gak baik Lo Kak, kalau orang sudah minta maaf tapi gak di maafin." Bujuk Rayhan tidak menyerah.

Zaskia tidak bergeming, bukan karena Zaskia tidak ingin memaafkan adiknya. Tetapi jauh di lubuk hatinya Zaskia tidak mau kehilangan momen saat ini. Walaupun Zaskia sadar, kalau apa yang mereka lakukan saat ini salah besar.

"Siapa juga tidak marah di kencengin." Omel Zaskia.

Dari pantulan cermin, terlihat senyuman mengembang dari Rayhan. "Emang tadi pagi aku ngencingin apa Kak?" Goda Rayhan.

"Memek!" Reflek Zaskia.

Bola mata Rayhan membesar mendengar pengakuan Kakaknya, sementara Zaskia buru-buru muntup mulutnya. "Ya Tuhan ini mulut." Kesal Zaskia.

"Kan aku gak sengaja ngencingin me-meeek Kakak." Ujar Rayhan, menekankan kata memek di dekat telinga Zaskia, membuat bulu kuduk Zaskia sampai berdiri.

"Bodo..." Ketusnya.

Rayhan melepaskan pelukannya, lalu menarik pundak Zaskia hingga menghadap kearahnya. Rayhan menatap tajam mata Zaskia, hingga menimbulkan getaran-getaran syahwat diantara keduanya.

Tangan Rayhan terjulur ke depan, membelai pipi merah Zaskia.

Deg... Deg... Deg...

"Maafin aku ya Kak!" Ucap Rayhan lembut.

"Adek... Kamu...."

"Kak..." Panggil lembur Rayhan.

Zaskia menggit bibir bawahnya hingga terlihat menggemaskan. "Iya, Kakak maafin tapi jangan di ulangi lagi." Ucap manja Zaskia.

"Siap..." Dengan gerakan hormat.

Zaskia menyodorkan jari kelingkingnya. "Kita baikan." Ujar Zaskia, Rayhan ikut melingkarkan jemari kelingkingnya di jari kelingking Kakak iparnya.

"Udah gak marah lagi kan?" Zaskia mengangguk. "Kak... Aku lapar." Bisik Rayhan.

Zaskia terbengong selama beberapa detik, dan kemudian ia tertawa setelah dirinya ingat kalau ia belum menyiapkan makan siang. Momen romantis yang sebelumnya tercipta diantara mereka berdua, berubah menjadi gelak tawa.

*****


Elliza

"Mau kemana anak Umi?" Tegur Hj Fatimah sembari membereskan meja makan.

Elliza menghampiri ibunya, sembari bergelayut manja di lengan Ibunya. "Biasa Mi, mau ambil paket di depan." Jawab Elliza seraya tersenyum tipis.

"Astaghfirullah... Paket lagi?"

Elliza mengangguk. "Terakhir deh Mi... Soalnya bajunya bagus banget, aku belum punya." Bujuk Elliza agar ibunya tidak marah.

Fatimah menggeleng-gelengkan kepalanya. "Dari kemarin kamu bilang terakhir, dan dari kemarin kamu bilang bagus dan belum punya." Ujar Fatimah menirukan gaya bicara putrinya.

"Hihihi... Umi bisa aja."

"Ya sudah ambil sana paket kamu! Ingat langsung pulang." Pesan Fatimah sembari menyentil hidung anaknya.

"Ok Mi, assalamualaikum..."

"Waalaikumsalam..."

Elliza bergegas pergi dengan penuh semangat. Rasanya ia sudah tidak sabar ingin melihat baju yang baru saja ia beli di olshop.

Walaupun jarak rumahnya menuju pos satpam cukup jauh, tapi tidak menghilangkan semangatnya.

Ya, setiap paket yang masuk biasanya memang di titipkan ke satpam, sehingga para santrilah yang harus mengambil sendiri paket mereka di pos satpam. Maklum saja, aturan Ma'had Al-fatah memang sangat ketat, tidak semua orang bisa masuk ke dalam pesantren.

Setibanya di pos satpam, Elliza terlihat celingak-celinguk karena tidak melihat ada yang jaga. Tentu saja Elliza menjadi kesal, karena acara unboxingnya bisa tertunda gara-gara pak Satpam.

Elliza memasuki pos Satpam, berharap bisa menemukan paketnya di laci meja satpam. Tapi sayang ia tidak menemukannya.

Elliza duduk di kursi satpam, sembari menunggu satpam yang datang.

"Aaahkk... Aaahkk... Aaahkk..."

Kening Elliza mengkerut, sayup-sayup ia mendengar suara erangan seseorang dari balik pintu ruangan satpam. Karena penasaran ia mendekati pintu satpam tersebut. Semakin dekat, suaranya terdengar semakin jelas.

Reflek Elliza membuka pintu ruangan tersebut, dan alangkah kagetnya Elliza ketika melihat seorang santri sedang di gangbang oleh keempat satpam sekaligus, Pak Girno, Pak Rudi, Pak Dadang, dan Pak Toyib. Kondisi santri tersebut terlihat sudah dalam keadaan telanjang bulat.

"Astaghfirullah..." Jerit Elliza sembari menutup wajahnya.

Keempat satpam dan santri tersebut tidak kalah kagetnya. Mereka saling pandang dengan muka pucat pasi sanking takutnya.

Elliza yang tersadar dari keterkejutannya berusaha kabur dari sana, tetapi ia kalah cepat dari Pak Dadang yang keburu menahan tangannya, kemudian mendorongnya keatas tempat tidur.

"Auwww... Mau apa kalian?" Bentak Elliza.

Pak Dadang dengan cepat menyergap tubuh Elliza, ia mendekap mulut Elliza agar ia tidak berteriak. Pak Girno, Pak Sueb dan Pak Rudi tampak terkejut dengan tindakan Pak Dadang.

"Kamu mau ngapain?" Tegur Pak Girno.

"Jangan banyak tanya, buruan bantuin saya ngiket Non Elliza, sekalian ambil lakban." Suruh Pak Dadang panik ke teman-temannya.

Pak Rudi mengambilkan dua borgol yang tergantung di dinding ruangan tersebut, lalu memborgol kedua tangan Elliza di tiang ranjang mereka. Sementara Pak Girno yang tidak menemukan lakban, memberikan celana dalam kusamnya ke Pak Dadang.

Karena tidak ada pilihan Pak Dadang menyumpal mulut gadis alim itu dengan celana dalam Pak Girno yang sudah tiga hari tidak di ganti.

Elliza nyaris muntah, mencium aroma celana dalam Pak Girno yang berbauk pesing, karena Pak Girno jarang mencuci kemaluannya saat buang air kecil. Di tambah lagi rasanya yang apek, membuat perut Elliza terasa mulas.

"Ya Tuhan." Pak Sueb sampai menjambak rambutnya sendiri.

"Kamu mau ngapain si Dang?" Omel Pak Girno, melihat kenekan Pak Dadang.

"Kalian mau di pecat? Hah..." Umpat Pak Dadang.

Mereka bertiga terdiam, sembari memandang frustasi kearah Elliza. Tentu saja mereka tidak ingin di pecat, apa lagi kalau sampai mereka di pecat karena ketahuan mencabuli salah satu santri. Bisa-bisa mereka tidak hanya di pecat tapi juga di penjara.

"Sekarang kamu mau ngapain?" Tanya Pak Rudi.

Pak Dadang menghela nafas. "Lis, kamu tolong jaga di luar ya, setidaknya sampai si kampret itu balik." Umpat Pak Dadang kesal kepada salah satu temannya yang harusnya berjaga malah menghilang.

"Iya pak." Jawab sang Santri.

Gadis manis itu segera mengenakan pakaiannya, lalu keluar dari ruangan tersebut.

"Terus sekarang kita harus ngapain?" Tanya pak Sueb.

Pak Dadang terdiam sesaat sembari menatap Elliza yang tengah meronta-ronta. "Bukankah selama ini kita selalu membahas Non Elliza?" Ujar Dadang, sembari menatap ke tiga temannya.

"Gila kamu Dang." Umpat kesal Pak Girno.

"Pilihan ada di tangan kalian masing-masing, kalau saya lebih baik mewujudkan mimpi saya terlebih dahulu, sebelum di penjara." Ungkap Dadang.

Mereka bertiga masih terdiam membisu, sementara Elliza terlihat sangat panik.

Gadis muda itu paham arah dari pembicaraan mereka, oleh karena itulah ia merasa sangat ketakutan, ia tidak bisa membayangkan dirinya berada di dalam cengkraman keempat predator itu.

"Kamu benar Dang." Ujar Pak Rudi tiba-tiba.

"Saya ngikut aja, sudah kepalang basah! Anjiing..." Kesal Pak Sueb yang terlihat frustasi.

Pak Dadang melihat kearah Girno. "Kalian memang sudah tidak punya moral." Umpat Girno, sembari menatap teman-temannya.

"Dari dulu kita memang tidak bermoral Girno." Ledek Pak Sueb.

"Saya setuju, tetapi dengan syarat kalian tidak boleh menyakiti Non Elliza, atau kalian akan berhadapan dengan saya." Ancam Pak Girno kepada teman-temannya yang terlihat tidak berkutik.

Mendengar ucapan mereka membuat tubuh Elliza terasa lemas, ia berharap kalau ini hanya sekedar mimpi buruk saja.

Pak Girno mendekati Elliza, ia membelai kepala Elliza yang tertutup kerudung. "Maaf ya Non, setelah ini Non boleh melaporkan kami semua." Ucap Pak Girno yang terlihat tampak sangat menyesal karena harus berbuat kurang ajar kepada Elliza yang selama ini begitu baik kepada mereka.

Elliza balik menatap pak Girno, memohon agar Pak Girno mau menyelamatkannya.

"Eeehmmppsss.... Eehmmmppss..." Elliza menggeleng-gelengkan kepalanya, sementara matanya berkaca-kaca.

Tangan Pak Girno turun menuju buah dada Elliza, ia menjamahnya dari luar gamis yang di kenakan Elliza, meremasnya dengan lembut, berharap tidak menyakiti anak dari orang yang telah memberikan mereka pekerjaaan.

"Jangan di lawan, di nikmatin saja Non." Pinta Pak Girno.

Pak Dadang duduk di sisi lain tempat tidur mereka, kemudian ia ikut membelai payudara sebelah kiri Elliza yang menganggur, meremasnya dengan pelan, berusaha membuat Elliza senyaman mungkin.

Sementara Pak Sueb dan Pak Rudi memijit, merabahi betis hingga ke paha Elliza yang tertutup celana leging yang di kenakan Elliza.

Walaupun mereka melakukannya dengan perlahan dan selembut mungkin, tetapi tetap saja membuat gadis alim itu histeris, ia meronta-ronta berusaha melepaskan dirinya dari mereka, bahkan ia tidak perduli kedua pergelangan tangannya menjadi sakit karena gesekan kulitnya dengan borgol yang mengikat tangannya.

"Percuma Non melawan, hanya akan membuat Non Elliza makin tersiksa." Nasehat Girno, sembari membuka kancing gamis yang di kenakan Elliza.

"Betul Non, mending di nikmatin aja Non." Timpal Pak Dadang yang paling bernafsu ingin meniduri putri bungsu dari KH Hasyim.

"Hmmmpps... Hmmmpps..." Racau Elliza tak jelas.

Tiba-tiba pintu ruangan kembali terbuka, tampak Pak Lukman memasuki ruangan sembari menatap mereka berempat yang sedang menggerayangi anak dari pimpinan pesantren, anak dari ketua DPRD kabupaten XXX.
.
Melihat hadirnya Pak Lukman, membuat tubuh Elliza semakin lemas.

"Kemana aja kamu? Di suruh jaga malah keluyuran." Kesal Girno, tetapi yang di marahi malah cengar-cengir merasa tidak bersalah.

"Tadi lagi kencing."

"Sana jaga yang benar!" Usir Pak Sueb.

"Siap Bos, tapi jangan lupa sisain buat saya ya, hehehe..." Tawa Pak Lukman, pria cabul tersebut sempat menjilati bibirnya yang kering, membuat Elliza merasa jijik melihatnya.

Selepas kepergian Pak Lukman, mereka berempat kembali menjamah tubuh Elliza, membangkitkan birahi Elliza agar ketika eksekusi Elliza tidak begitu merasa tersiksa oleh mereka.

Setelah kancing gamis Elliza di buka, Pak Girno kembali menjamah payudara Elliza yang terasa kenyal dan empuk.

"Non haus?" Tanya Pak Girno.

Elliza mengangguk.

"Sumpelan mulutnya saya buka ya Non, tapi Non Elliza janji jangan ngelawan! Karena saya bisa tidak menjamin kalau Pak Dadang tidak berbuat kasar kepada Non Elliza." Ujar Pak Girno mengingatkan Elliza agar tidak macam-macam kalau ingin selamat.

Membayangkan dirinya di bunuh dan mayatnya di buang, membuat Elliza menjadi ketakutan. Dengan cepat Elliza menganggukkan kepalanya.

Segera Pak Girno mencabut dalaman miliknya, yang menjadi sumpalan mulut Elliza.

"Fuaaah... Hah... Hah..." Akhirnya Elliza bisa bernafas lega. Elliza menghirup udara sebanyak-banyaknya, mengisi paru-parunya yang terasa kempis.

Pak Girno mengambilkan botol mineral yang sudah tidak terisi penuh lalu memberikannya kepada Elliza yang tampak kehausan.

Elliza sempat ragu meminumnya, setelah di beritahu kalau itu bekas Lissa, barulah Elliza mau meminumnya beberapa teguk. Elliza merasa tenggorokannya begitu kering setelah di sumpel oleh celana dalam pak Girno yang rasanya sudah tak karuan.

Setelah merasa cukup tenang, barulah Elliza berbicara. "Tolong Pak jangan sakiti saya." Melas Elliza.

"Selama Non Elliza bisa kooperatif, kami tidak akan menyakiti Non Elliza, percaya sama Bapak." Ujar Girno menenangkan Elliza yang masih terlihat sangat ketakutan.

"Kami malah ingin membuat Non Elliza enak." Celetuk Pak Sueb yang sedang merabahi betis hingga ke bagian paha Elliza.

"Betul Non, kita semua sayang sama Non." Tambah Pak Rudi.

Elliza tampak menarik nafas lega. "Tolong lepasin saya ya Pak! Saya berjanji tidak akan memberitahu siapapun tentang kejadian barusan." Ucap Elliza penuh harap kepada mereka.

"Maaf Non, kami tidak bisa mengabulkan permintaan Non Elliza, ini bukan masalah lapor atau tidak, karena pada dasarnya kami sudah siap kalau Non Elliza mau melaporkan kami." Ujar Pak Dadang.

"Betul Non, kami siap di penjara, asalkan bisa menikmati Non Elliza." Ungkap Pak Rudi.

"Ya Allah, Istighfar Pak." Pinta Elliza.

Seakan mengabaikan permintaan Elliza, Pak Girno malah menyingkap keatas cup bra yang di kenakan Elliza, hingga sepasang buah dadanya yang membusung itu terpampang di hadapan mereka, dan siap untuk di nikmati oleh mereka.

Gleeek... Pak Dadang sampai menelan air liurnya yang terasa hambar sanking takjubnya.

"Jangan Pak..." Melas Elliza.

Tetapi ia tidak bisa berbuat apa-apa ketika payudaranya di jammah oleh oleh Pak Girno dan Pak Dadang. Rudi yang tidak mau ketinggalan, menarik lepas celana legging yang di kenakan Elliza dengan perlahan, hingga terpampang sepasang kaki jenjang Elliza yang terlihat putih mulus bak pualam.

Pak Rudi dan Pak Sueb sampai melongok, melihat keindahan tubuh bagian bawah Elliza.

"Sudah basah ya Non?" Goda Pak Sueb.

Tampak di celana dalam berwarna putih yang di kenakan terdapat bercak lendir kewanitaannya, menandakan kalau Elliza mulai rerangsang.

Mendengar ucapan Pak Sueb tentu saja membuat Elliza malu, ia sendiri juga tidak mengerti kenapa tubuhnya tiba-tiba saja terasa sensitif, bahkan semenit yang lalu Elliza merasa ngompol di celananya, hanya saja tidak terlalu banyak.

Pak Girno memandangi wajah Elliza. "Non Elliza cantik sekali kalau sedang terangsang." Puji Pak Girno, yang kemudian mencium kening Elliza, turun ke mata, hidung, hingga akhirnya berhenti di bibir merah Elliza.

Ia memanggut bibir Elliza, melumatnya dengan perlahan. Elliza yang polos tampak gelagapan, di tambah lagi aroma rokok yang menyengat, membuat Elliza makin tidak tahan dengan ciuman Pak Girno di bibirnya, tetapi Elliza tidak dapat berbuat apa-apa, karena Pak Girno menahan kepalanya.

Pak Dadang yang sudah tidak tahan melahap payudara Elliza ke dalam mulutnya, ia mengenyot-ngenyot payudara Elliza, menghisap putingnya dengan rakus.

Sruuupsss... Sruuupsss... Sruuupsss...

"Eeehmmppsss... Ehmmmppss.... Eeehmmppsss..." Erang Elliza tak tahan.

Semakin lama rasanya semakin nikmat, bahkan ciuman Pak Girno yang awalnya terasa menjijikan kini malah terasa nikmat. Tanpa sadar Elliza membuka mulutnya, membiarkan lidah Pak Girno bergerilya di dalam mulutnya, menyapu rongga mulutnya, hingga membelit lidahnya dengan rakus.

Sementara di bawah sana, Pak Sueb dan Pak Rudi berbagi kaki jenjangnya. Elliza dapat merasakan hangatnya lidah mereka yang sedang menjilati setiap inci kulit kakinya.

Di rangsang oleh keempat pria sekaligus membuat Elliza makin tak tahan. Terlihat dari celana dalamnya yang makin basah.

"Ehmmmppss... Eeehmmppsss... Eehmmmppss..." Erang Elliza.

Pak Rudi dengan perlahan mulai menarik celana dalam Elliza, dan nampaklah kemaluan Elliza yang di tumbuhi rambut hitam yang tidak begitu lebat. Bibir kemaluannya yang kemerah-merahan tampak mengkilat karena lendirnya.

Sembari memandangi Elliza Pak Rudi mencium dalaman Elliza, membuat gadis muda itu bergidik menatap kelakuan Pak Rudi, yang kemudian bergantian dengan Pak Sueb mencium dalamannya.

"Wangi sekali Non." Puji Pak Sueb.

Pak Girno melepas lumatannya. "Bibir Non Elliza juga enak, manis... Hehehe..." Puji Girno setinggi langit, membuat Elliza tersipu malu.

"Ya Allah Non, sudah baik, cantik... Badannya juga bagus banget." Puji Pak Dadang tidak mau kalah dari teman-temannya.

Elliza hanya pasrah saja ketika Pak Girno dan Pak Dadang kembali menjamah payudaranya, bahkan kini ia terlihat sangat menikmati sentuhan-sentuhan mulut mereka di atas puting nya berwarna kemerah-merahan.

Tanpa sadar Elliza merenggangkan kedua kakinya, ketika sapuan lidah Pak Rudi semakin naik keatas, menuju bibir kemaluannya yang merekah indah. Dengan mata terpejam, pinggulnya bergetar ketika ujung lidah Pak Rudi menggelitik bibir kemaluannya.

"Pak! Aaahkk... Aaahkk..." Erang Elliza.

Pak Sueb tidak mau ketinggalan, ia mencium dan menjilati perut Elliza yang rata.

Sluuuppsss... Sluuuppsss... Sruuupsss... Sluuuppsss.... Sruuupsss...

"Enak sekali memeknya Non! Masih perawan ya Non." Racau Pak Rudi, seraya menikmati bibir kemaluan Elliza yang masih rapat.

Di rangsang oleh keempat satpam sekaligus, membuat Elliza melayang-layang, hingga akhirnya Elliza merasa ada yang ingin keluar, seperti kencing tapi ini terasa sangat nikmat. Pinggul Elliza tersentak-sentak, kedua tungkai kakinya melejang-lejang.

Sembari menahan nafas, ia melepaskan cairan bening yang terasa penuh di dalam vaginanya.

"Oughkk..." Jerit Elliza.

Dengan pinggul terangkat, Elliza menyemburkan cairan cintanya, hingga membuat wajah Pak Rudi yang berada di selangkangannya bermandikan cairan cintanya.

Selama beberapa detik pinggulnya mengudara, hingga tidak ada lagi yang keluar dari vaginanya.

"Enak banget ya Non!" Goda Pak Girno.

Wajah cantik Elliza merona merah karena malu. "Ehmm... Pak!" Lirih Elliza, secara tidak langsung mengakuinya.

"Non Elliza cantik maukan di entotin sama kami?" Rayu Pak Sueb.

"Tolong jangan Pak... Saya mohon." Melas Elliza.

"Pertanyaannya saya rubah ya Non. Non Elliza cantik mau kami perkosa atau dengan suka rela." Tanya Pak Dadang dengan intonasi mengancam, membuat Elliza kembali takut.

"Non Elliza bisa pilih, siapa orang pertama yang beruntung memperawani Non." Usul Pak Girno, yang sama sekali tidak menyelamatkannya.

Rasanya di dunia ini tidak ada satupun perempuan yang ingin menyerahkan kesuciannya dengan suka rela kepada pria yang tidak ia cintai, apa lagi wanita itu sekelas Elliza, yang di didik dari kecil dalam lingkungan fanatik Agama.

Tetapi Elliza hanya memiliki dua pilihan, di paksa yang artinya akan menyakiti dirinya, atau dengan suka rela menyerahkan virginnya kepada salah satu dari mereka berempat.

Elliza menatap pak Girno yang berdiri paling kiri, tubuhnya tegap, dengan tampang menyeramkan. Saat katanya turun kebawah, wajahnya meringis, memandangi penis Pak Girno, yang tidak hanya besar dan gemuk, tapi juga berurat.

Lalu pandangan Elliza beralih ke Pak Sueb, tubuh kecil dengan senyum menjijikkan. Ukuran penisnya lebih pendek, tapi cukup gemuk.

Ia kembali beralih ke Pak Rudi, penisnya panjang sama seperti milik Pak Girno, hanya saja tidak segemuk milik Pak Girno. Terakhir ia menatap Pak Dadang, pria yang sedari tadi mengancamnya. Ukurannya tidak begitu panjang dan besar, standar seperti penis pria Asia pada umumnya.

Lama Elliza memikirkannya, menjatuhkan pilihan pria mana yang beruntung bisa mendapatkan perawannya. Setelah memikirkannya matang-matang akhirnya Elliza menunjuk sala satu dari mereka.

"Pak Girno!" Lirih Elliza.

Yang di tunjuk tampak bengong. "Saya Non? Serius..." Ujar Pak Girno kegirangan, sementara yang lainnya tampak kecewa, terutama Pak Dadang, mengingat ukuran penisnya yang tidak sekstrim milik teman-temannya, membuatnya berfikir bahwa dirinyalah yang akan di pilih oleh Elliza.

Gadis muda itu memalingkan wajahnya, ia sadar kalau tidak ada gunanya ia melawan. Sore ini sudah takdirnya untuk kehilangan mahkotanya.

Bukan tanpa alasan kenapa Elliza memilih Girno, karena selama ia berada di ruangan ini, Elliza melihat hanya Girnolah yang benar-benar perduli kepadanya. Kalaupun hari ini ia harus kehilangan kesuciannya, ia merasa Girnolah yang layak mendapatkannya.

Segera Girno menaiki tempat tidur, berlutut di ujung kasur yang saat ini di tiduri oleh Elliza.

"Non jangan nangis! Nanti enak kok." Bujuk Pak Girno.

Bagaimana mungkin Elliza tidak menangis, kalau hari ini dirinya akan kehilangan kegadisannya. Bayangan masa depan yang suram seakan menghantuinya.

"Tolong jangan kasar-kasar ya Pak!" Mohon Elliza.

Pak Girno menyapu air mata Elliza. "Bapak janji akan pelan-pelan, jangan nangis lagi ya." Pinta Pak Girno penuh perhatian kepada Elliza, membuat gadis cantik itu perlahan mulai tenang.

Sebelum mengeksekusi mangsanya, Pak Girno memberi Elliza minum terlebih dahulu. Elliza yang merasa sangat kehausan segera meminumnya hingga menyisakan sedikit saja. Selesai Elliza minum, barulah Pak Girno beraksi, di mulai dari menjamah tubuh Elliza.

Tangan kanan Pak Girno membelai payudara Elliza, meremasnya dengan pelan, sementara tangan kirinya membelai kepala Elliza, membuat birahi Elliza kembali naik.

Ia memilin puting Elliza dengan perlahan, hingga putingnya kembali mengeras.

"Enakkan Non?" Tanya Pak Girno.

Elliza mengangguk malu-malu. "I-iya Pak! Sssttt... Aaahkk..." Lenguh Elliza keenakan.

"Nanti akan lebih enak lagi dari sini." Ujar Girno.

Setelah meyakini kalau Elliza mulai menikmati permainannya, Pak Girno menuntun penisnya kearah bibir merah vagina Elliza. Ia tidak langsung memasukannya melainkan menggesek-gesekkan penisnya terlebih dahulu di bibir kemaluan Elliza yang terasa licin.

Alhasil Elliza semakin birahi, bibir kemaluannya berkedut-kedut, mengundang penis Pak Girno untuk segera memasuki relung vaginanya.

"Saya masukan sekarang ya Non."

"Pelan-pelan Pak." Ujar Elliza kembali mengingatkan Pak Girno.

Pria setengah paru baya itu meludahi tangannya, lalu menggosok-gosok kemaluannya agar semakin licin dan mudah untuk membobol gawang Elliza. Kemudian dengan perlahan menuntun kembali penisnya kearah lobang vagina Elliza.

Ia mendorong pelan penisnya, mencoba mendobrak kemaluan Elliza.

"Ughk... Sssttt..." Rintih Elliza.

Walaupun sulit, Pak Girno tidak pantang menyerah. "Tahan ya Non!" Pinta Girno, ia sedikit menekan pinggulnya agar penisnya masuk ke dalam vagina Elliza.

"Ughk..." Lenguh Elliza ngilu.

Usaha Pak Girno perlahan mulai menemui hasil, kepala penisnya perlahan berhasil masuk ke dalam lobang vagina Elliza.

"Gilaaa... Sempit banget." Racau Pak Girno.

"Hah... Hah... Hah..." Nafas Elliza tersengal-sengal, ia merasa vaginanya begitu sesak.

Pak Girno mendiamkan sebentar penisnya, setelah di rasa cukup, ia kembali mendorong penisnya, lalu menariknya dengan perlahan, mendorongnya lagi dan menariknya lagi.

Gerakan maju mundur, maju mundur ia lakukan dengan perlahan, ketika ia memajukan pinggulnya, Pak Girno mendorong penisnya semakin dalam, lalu menariknya lagi. Sementara jemarinya dengan sibuk menstimulasi puting Elliza.

Awalnya Elliza memang terlihat tampak tersiksa, tapi lama kelamaan ia mulai menikmatinya.

"Oughk... Pak! Sssttt..." Rintih Elliza di tengah ketidak berdayaannya.

Pak Girno sumringah ketika penisnya menabrak sesuatu penghalang di dalam vagina Elliza. "Tahan ya Non, ini agak sakit." Bisik Pak Girno.

Elliza mengangguk lemah, sembari menatap sayu kearah Pak Girno. Elliza sadar, percuma saja ia melawan, tidak ada gunanya, Elliza memilih untuk pasrah dari pada nasib yang lebih buruk menimpa dirinya.

Saat dirinya mulai rileks, tiba-tiba Pak Girno menghentak pinggulnya. Sreeettt...

"Aaasrrtt... Sakit Pak...." Jerit Elliza.

Penis besar Pak Girno akhirnya berhasil merobek selaput perawan sang ahkwat. Buru-buru Pak Girno mendekap tubuh Elliza yang tampak tegang setelah penisnya merenggut kesucian sang Santri yang tampak melolong kesakitan.

Ia mengusap kepala Elliza sembari mencium kepala Elliza dengan penuh kasih sayang.

"Aduh sakit Pak!" Erang Elliza.

Pak Girno mendiamkan penisnya tanpa melakukan gerakan sedikitpun. "Tahan ya Non, jangan di lawan... Nanti enak kok." Bujuk Pak Girno, seakan tengah membujuk anak kecil.

"Cabut Pak! Cabut..." Melas Elliza.

Telapak tangan Pak Girno semakin intens meremas payudara Elliza, memilin putingnya dengan perlahan, membuat Elliza kembali sedikit tenang.

Sentuhan-sentuhan Pak Girno berhasil membuat Elliza kembali tenang, rasa sakit yang sempat di rasakan Elliza berangsur hilang, tetapi Elliza masih belum berani bergerak. Ia merasa vaginanya kini terasa begitu penuh, seakan tertancap kayu besar.

"Bapak mulai ya Non." Ujar Girno.

Elliza kembali mengangguk. "Pelan-pelan ya Pak." Pinta Elliza.

"Percaya sama Bapak, Non Eliza pasti ketagihan." Ucap Pak Girno seraya tersenyum sumringah karena telah berhasil mendapatkan perawan Elliza.

Rasanya sulit sekali bagi Pak Girno untuk mempercayai apa yang sedang terjadi saat ini. Tetapi kenyataannya ia memang telah merenggut kegadisan anak dari pimpinan pesantren Al-fatah. Tentu saja bagi Girno itu sebah prestasi.

Perlahan Girno menarik penisnya, tampak lelehan dara segar menyelimuti batang kemaluannya, sebagai bukti kalau memang dirinyalah yang telah merobek selaput perawan Elliza.

"Aduuuh... Ssstt..." Lenguh Elliza.

Pak Girno kembali mendorong masuk penisnya. "Oughk... Non Elliza, nikmat sekali memekmu." Racau Pak Girno keenakan.

"Pak! Aaahkk... Aaahkk..."

Seiring dengan seringnya terjadi gesekan antara dinding vagina Elliza dengan batang kemaluan Pak Girno, membuat rasa sakit yang di derita Elliza seakan lenyap tanpa bekas, berganti dengan rasa nikmat yang luar biasa, membuat Elliza mengerang-erang keenakan.

Apa lagi Pak Girno sangat pandai memainkan tempo, membuat Elliza belingsattan.

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

"Gimana Non? Enakkan?" Goda Pak Girno.

Dengan polosnya Elliza mengakuinya. "Iya Pak, enak... Aaahkk... Aaahkk... Aaahkk..." Desah Elliza semakin keras.

Bahkan tanpa sadar Elliza melingkarkan kedua kakinya di pinggang Pak Girno, hingga membuat penis Pak Girno masuk semakin dalam ke dalam lobang peranakannya.

Bahkan Elliza merasa penis Girno seakan mengobok-obok rahimnya.

Pak Rudi menghampiri mereka sembari mengocok penisnya. Saat Elliza mengerang, membuka mulutnya sedikit lebar, tiba-tiba Pak Rudi menjejalkan penisnya ke dalam mulut Elliza, membuat gadis cantik itu gelagapan karena mulutnya di sumpal oleh penis Pak Rudi.

"Hisap Non, tapi jangan di gigit." Suruh Pak Rudi, seakan memerintahkan budaknya saja.

Elliza awalnya mau muntah merasakan aroma penis pak Rudi, bahkan ia sampai menahan nafas. Tapi pada akhirnya ia mulai menikmati penis Pak Rudi di dalam mulutnya.

Pak Dadang ikut mendekati Elliza. "Borgolnya kita lepas ya Non!" Ujar Pak Dadang. Elliza merasa legah, karena kedua tangannya akhirnya terlepas dari belenggu borgol yang mengikat tangannya, dengan begitu ia merasa lebih bebas.

Tetapi kebebasan itu hanya sesaat, karena setelah itu Pak Dadang memintanya mengocok penisnya. Dengan patuhnya Elliza mengocok penis Pak Dadang.

"Enak banget Non mulutnya." Racau Pak Rudi.

Begitu juga dengan Pak Dadang, ia juga merasa keenakan ketika Elliza mengocok batang kemaluannya yang terasa semakin keras.

Seakan tidak mau ketinggalan Pak Sueb ikut menjamah tubuh Elliza, ia menyusu di payudara Elliza, mengenyot-ngenyot puting Elliza yang terasa kenyal seperti permen yupi.

Sementara di bawah sana Pak Girno semakin gencar menyodok-nyodok vagina Elliza yang terasa semakin basah dan licin.

Di rangsang terus menerus, membuat Elliza kembali merasakan desakan nikmat yang luar biasa. Elliza sadar kalau dirinya hampir orgasme, sehingga ia ikut menggerakan pinggulnya menyambut setiap sodokan penis Pak Girno.

Pelukan kaki Elliza di pinggul Pak Girno semakin erat, membuat penis Pak Girno tertancap semakin dalam.

"Oughk..." Elliza melolong nikmat.

Pinggulnya tersentak-sentak, tubuhnya bergetar hebat dan kedua kakinya melejang-lejang tak karuan ketika cairan bening itu menyembur keluar seperti air kran.

Seeeeeeeeeeeeeeeerrrr....

"Oughk... Enak Pak! Aaahkk..." Lenguh Elliza nikmat.

Pak Girno, Pak Sueb, Pak Rudi, dan Pak Dadang terperangah melihat tubuh indah Elliza yang ngulet keenakan. Setelah orgasmenya meredah, Elliza baru sadar kalau dirinya menjadi pusat perhatian mereka, membuat Elliza merasa malu.

Setelah orgasme Elliza meredah, Pak Girno kembali bersiap menyetubuhi Elliza. Ia berbaring di samping Elliza, mengangkat satu kaki Elliza, perlahan penis besar Girno kembali menjelajahi lobang sempit Elliza.

"Aughk..." Elliza melenguh nikmat.

Pantat Pak Girno kembali menganyuh, menyodok-nyodok vagina Elliza. "Gimana Non, ngentot itu enakkan? Sore ini Non akan merasakan lima batang sekaligus." Bisik Pak Girno di telinga Elliza.

"Ssstt... Pak! Aaahkk... Enak Pak." Rintih Elliza.

"Memek Non Elliza juga enak, sempit banget Non! Aaahkk... Nikmatnya." Rintih Pak Girno di samping Elliza. Kedua tangan Pak Girno meraih buah dada Elliza, meremasnya dengan gemas.

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

Semakin lama hujaman penis Pak Girno semakin dalam dan cepat, hingga akhirnya dengan satu tusukan sperma Pak Girno meledak di dalam rahim Elliza, alhasil Ellizapun kembali orgasme, walaupun tidak sehabat sebelumnya.

Tubuh Elliza terasa lemas, ia tidak menyangkah kalau ternyata apa yang di katakan mereka benar, rasanya luar biasa, dan sulit untuk di jelaskan.

Pak Dadang yang sudah sangat bernafsu, memposisikan Elliza menunging. Dari belakang Pak Dadang tampak menelan ludah, memandangi bulatan pantat Elliza yang membulat sempurna.

Jemari jempol Pak Dadang membuka lipatan pantat Elliza, lalu dengan perlahan ia mendorong penisnya masuk ke dalam lobang vagina Elliza.

"Aaahkk..." Lenguh Elliza.

Tanpa kesulitan berarti Pak Dadang melesatkan penisnya dari vagina Elliza. "Oughk... Nikmat sekali Non." Racau Pak Dadang.

"Hisap kontol saya Non!" Pak Sueb berdiri di depan Elliza.

Tanpa di minta dua kali, Elliza menggenggam penis Pak Sueb. Ia menggerakan jemarinya naik turun, mengurut penis Pak Sueb. Tidak seperti sebelumnya, Elliza terlihat sudah biasa, seakan-akan ia sudah sering memainkan penis seorang lelaki.

Lidahnya Elliza menyapu kepala penis Pak Sueb, mencium dan menyedot cairan yang sedikit keluar dari lobang kencing Pak Sueb.

Ia membuka mulutnya, melahap penis Pak Sueb, menghisapnya tanpa ragu. Walaupun penis Pak Sueb rasanya dan aromanya tidak jauh berbeda dengan penis yang lainnya, tetapi kali ini Elliza menikmatinya, bahkan ia tidak ragu, menyedot penis Pak Sueb.

"Non! Aaahkk... Aduh...." Erang Pak Sueb keenakan.

Tidak butuh waktu lama, tubuh Pak Sueb melejang-lejang, pria tersebut merasakan spermanya yang sudah berada di ujung penisnya.

Pak Sueb menekan kepala Elliza, hingga hidungnya mencium rambut kemaluan Pak Sueb. Sedetik kemudian, cairan lengket menyembur masuk ke dalam mulutnya. Karena tidak ada pilihan Elliza terpaksa menelan sperma Pak Sueb.

"Oughk... Nikmat sekali Non." Racau Pak Sueb.

"Khok... Khok... Khok..." Elliza terbatuk, setelah menelan sperma Pak Sueb.

Plaaaak...

Pak Dadang mencengkram pantat Elliza, dengan nafas memburu ia semakin cepat memompa bibir kemaluan Elliza yang berwarna merah muda.

"Paaaak... Ough... Teruuus... Lebih cepat Pak." Jerit Elliza tanpa sadar.

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

Elliza mulai ikut menggoyangkan pantatnya menyambut setiap sodokan penis Pak Dadang. Dan sedetik kemudian ia kembali mendapatkan orgasmenya. Wajah Elliza mendongak keatas, menikmati puncak orgasmenya.

Tubuh Elliza ambruk diatas tempat tidur, ia terlengkup dengan nafas memburu.

Pak Dadang yang hampir orgasme, tetap menggenjot vagina Elliza dalam kondisi telungkup. Hingga akhirnya Pak Dadang pun mencapai puncaknya. Ia mencabut penisnya dan menumpahkan spermanya diatas pantat bulat Elliza.

Croootss... Croootss... Croootss...

"Oughkk... Nikmat sekali memekmu Non Elliza." Racau Pak Dadang.

Kini giliran Pak Rudi, ia memutar tubuh Elliza hingga terlentang, kemudian ia mengaitkan satu kaki Elliza ke lengannya sembari menusukan penisnya ke dalam vagina Elliza yang sudah sangat basah dan licin, hingga tidak mempersulitnya dalam melakukan penetrasi.

Elliza terlihat semakin pasrah dan menikmati setiap sentuhan yang ia dapatkan dari mereka. Karena sejujurnya Elliza kini sudah berada di bawah pengaruh hawa nafsunya.

Tubuh Elliza tersentak-sentak membuat sepasang buah dadanya ikut bergoyang.

"Gila enak banget memeknya." Racau Pak Rudi.

Tangan Pak Rudi menjulur ke depan, ia meraih buah dada Eliliza, meremasnya dan memilin puting Elliza yang berwarna merah muda.

Walaupun ukuran payudara Elliza hanya 34B, tetapi terasa pas di genggaman Pak Rudi.

"Aaahkk... Aaahkk... Aaahkk..."

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

Pak Rudi menarik tangan Elliza lalu dengan cepat memutar tubuhnya, hingga kini posisi Elliza berada diatas tubuh Pak Rudi, alhasil penis Pak Rudi menusuk vaginanya semakin dalam.

Seakan sudah sangat profesional, Elliza dengan nalurinya menggoyangkan pantatnya naik turun diatas selangkangan Pak Rudi, sesekali memutar pinggulnya, mengulek-ngulek penis Pak Rudi, membuat pria tersebut tampak tidak tahan.

Pintu ruangan tiba-tiba terbuka, tampak Pak Lukman masuk ke dalam ruangan. Ia buru-buru membuka pakaiannya.

Elliza sedikit bernafas lega, karena ukuran penis Pak Lukman hampir sama dengan Pak Dadang, hanya sedikit lebih panjang, tapi tidak sepanjang milik Pak Rudi dan Girno.

"Hisap Non." Pinta Pak Lukman.

Dengan senang hati, Elliza melahap penis Pak Lukman, menghisap dan menyedot-nyedot penis Pak Lukman dengan penuh hikmat.

"Non saya keluar..."

Pak Rudi menekan pinggul Elliza, hingga penisnya mentok, lalu menyemburkannya ke dalam rahim Elliza.

Croootss... Croootss... Croootss...

"Turun Non." Ajak Pak Lukman.

Elliza hanya menurut saja ketika di minta Pak Lukman turun dari atas tempat tidur, meninggalkan Pak Rudi yang terbaring lemas, kemudian Pak Lukman menanggalkan gamis Elliza dan melepas bra yang masih melekat di tubuh Elliza, walaupun sudah tidak berbentuk lagi dan terlihat aut-autan.

Kemudian Pak Lukman meminta Elliza duduk diatas meja, lalu dia merenggangkan kedua kaki Elliza sembari melesatkan penisnya ke dalam vagina Elliza.

"Oughk..." Jerit Elliza.

"Wuih... Gurih banget rasanya! Hehehe..." Tawa puas Pak Lukman.

Pantat Pak Lukman bergoyang maju mundur, maju mundur, menyodok-nyodok lobang vagina Elliza, menjelajahinya, menikmati setiap jepitan yang di rasakan Pak Lukman.

Elliza mencengkram erat meja tersebut, sembari ikut menggoyangkan pantatnya, membuat meja tersebut berderit-derit.

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

"Aaahkk... Aaahkk... Aahkkk..."

Pak Lukman menarik wajah Elliza lalu melumatnya dengan rakus. Lidahnya menari-nari di dalam mulut Elliza, menikmati manisnya bibir merah Elliza.

Dan tanpa ragu Elliza membalas pagutan Pak Lukman, bertukar air liur dengan pria menjijikan tersebut.

Elliza melingkarkan kedua tangannya di leher Pak Lukman, begitu juga dengan kedua kakinya, sehingga sodokan Pak Lukman terasa semakin dalam hingga menyentuh rahimnya.

"Pak saya dapat..." Erang Elliza.

Gadis cantik tersebut memeluk erat leher Pak Lukman, sembari menikmati orgasmenya.

Setelah orgasme Elliza meredah, Pak Lukman mengangkat tubuh Elliza lalu menggendongnya sembari menyetubuhinya. Tubuh Elliza berayun-ayun di dalam gendongan Pak Lukman.

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

"Saya keluar Non..." Jerit Pak Lukman.

Ia menusukan penisnya sedalam mungkin, sembari menyirami rahim gadis Soleha tersebut. Croootss... Croootss... Croootss.... sperma Pak Lukman terasa begitu banyak, memenuhi rahimnya.

Setelah puas Pak Lukman memberikan tubuh Elliza kepada Pak Sueb.

Pria tersebut meminta Elliza berdiri membelakanginya sembari berpegangan dengan meja kecil yang ada di samping tempat tidur. Tanpa banyak protes Elliza menuruti keinginan Pak Sueb.

Ia berdiri dengan sedikit menungging kan pantatnya, kedua tangannya berpegangan erat di kedua sisi meja. Pak Sueb mendekatinya sembari mengurut penisnya yang tengah ireksi maksimal. Sembari membuka cela pantat Elliza, ia mendorong, membenamkan penisnya di dalam vagina Elliza.

Dengan gerakan perlahan, ia menggoyang pantatnya maju mundur, menusuk tajam lobang vagina Elliza yang sudah sangat licin.

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

"Ughk... Enak banget Non." Racau Pak Sueb.

Tangan kanannya memegangi pundak Elliza sementara tangan kirinya terjulur mencengkram payudara Elliza dari bawah.

"Aaahkk... Aaahkk... Aaaahkkk..." Desah Elliza.

Tenaga Elliza yang sudah terkuras habis, karena terus menerus di paksa melayani mereka berlima, mulai terlihat sudah berada di ambang batasnya.

Kedua tungkai kaki Elliza tampak gemetaran menahan berat badannya.

Menyadari hal tersebut Pak Sueb menarik kursi kayu lalu duduk di kursi tersebut, ia meminta Elliza duduk di pangkuannya.

Sembari duduk di pangkuan Pak Sueb, Elliza menuntun penis Pak Sueb memasuki lobang vaginanya. Lalu dengan gerakan perlahan, ia menarik turunkan badannya, menyambut setiap tusukan penis Pak Sueb di dalam vaginanya.

"Saya mau keluar Non!" Racau Pak Sueb.

"Bareng Pak."

Dengan sisa-sisa tenaganya Elliza menggerakan tubuhnya naik turun, hingga akhirnya secara bersamaan mereka berdua menyudahi pertempuran panjang Elliza melawan mereka berlima.

"Saya dapat Pak." Jerit Elliza.

Pak Sueb semakin erat memeluk tubuh Elliza. "Non... Ohk... Nikmat banget." Erang Pak Sueb sembari menyirami rahim Elliza.

Croootss... Croootss... Croootss...

Seeeeeeeeeeeeeeeerrrr...

*****


Elliza

Elliza termenung di dalam ruangan tersebut, sedetik kemudian ia menangis menyadari kalau dirinya kini bukan lagi gadis suci. Dan parahnya lagi, ia melakukannya tidak dengan satu pria melainkan dengan lima pria sekaligus, membuat harga diri Elliza terasa hancur.

Gadis muda itu menatap Pak Girno yang memasuki ruangan satpam, di mana ia hanya sendirian di dalam ruangan tersebut.

"Non..."

"Apa salah saya Pak." Bisik Elliza.

Pak Girno duduk di samping Elliza. "Kamu tidak salah Non! Kami yang salah... Setelah ini Non bisa melaporkan perbuatan kami, dan kami sudah siap untuk menerima hukuman atas apa yang sudah kami lakukan terhadap Non Elliza." Ujar Pak Girno yang terlihat pasrah.

Elliza tidak menggubrisnya, ia terlanjur sakit hati atas apa yang sudah mereka lakukan kepada dirinya.

"Kenapa Bapak kemari? Bukannya saya sudah bilang ingin beristirahat." Kesal Elliza karena mereka tidak puas-puasnya mengganggu dirinya.

"Bapak cuman pengen ngasi ini." Pak Girno menyodorkan pil kapsul. "Non Elliza pasti tidak ingin mengandum anak dari kamikan?" Sambung Pak Girno, membuat Elliza mengerti obat apa itu.

Elliza menerima obat tersebut, kemudian Pak Girno mengambilkan botol mineral yang isinya tinggal sedikit. Segera Elliza meminumnya.

Setelah meminum obat tersebut, Elliza kembali menangis, memikir masa depannya. Mungkinkah masih ada pria yang mau menikahinya kelak, kalau seandainya mereka tau dirinya sudah tidak suci lagi.

Pak Girno yang melihat Elliza menangis segera merangkulnya, memberikan dadanya sebagai sandaran Elliza.

"Maafin Bapak, yang sudah menyakiti Non Elliza." Bisik Pak Girno.

Cukup lama Elliza menangis di dalam pelukan Pak Girno, hingga akhirnya ia kembali tenang. Elliza menatap Pak Girno keheranan, karena sikap Pak Girno yang begitu peduli kepadanya, tetapi di sisi lain Pak Girno juga salah satu aktor yang menodainya.

Pak Girno balas menatap Elliza, ia tersenyum hangat membuat Elliza merasa nyaman berada di dekat pria yang sudah merenggut kesuciannya.

"Kenapa Bapak menodai saya?" Tanya Elliza pelan.

Pak Girno mengusap kepala Elliza. "Maafkan Bapak Non, soalnya Non Elliza itu sangat cantik, selama ini Bapak sering masturbasi sembari membayangkan tubuh Non Elliza." Aku Pak Girno.

"Apa saya begitu menggairahkan di mata Bapak?"

Tangan Elliza terjulur menuju selangkangan Pak Girno, meremas penis Pak Girno di balik celana satpam yang di kenakan Pak Girno.

Tanpa menjawab Pak Girno mengangkat dagu Elliza, lalu melumat bibir merah Elliza.

Elliza membalas ciuman Pak Girno, ia menjulurkan lidahnya ke dalam mulut Pak Girno, mencari-cari lidah Pak Girno, yang kemudian membelitnya dengan rakus. Mereka berciuman sangat panas, hingga tampak air liur mereka menetes keluar dari sela-sela bibir mereka.

Selama hampir dua menit mereka berciuman, akhirnya mereka mengakhirnya. Elliza membuka matanya, menatap sayu kearah Pak Girno yang tengah memandangnya dengan takjub.

Dalam sekejap rasa sedih yang tadi menyelimuti hatinya, mendadak berubah menjadi sangat bergairah.

Elliza membuka kembali kancing gamisnya, menanggalkan satu persatu pakaiannya hingga ia nyaris telanjang bulat, Elliza hanya menyisakan kerudungnya saja, yang sengaja tidak ia lepas.

Pak Girno yang kembali terbakar api birahi segera menyergap tubuh Elliza, menidurkannya diatas tempat tidur di mana ia mendapatkan perawan Elliza. Mereka kembali berciuman, bertukar air liur.

Sementara tangan Pak Girno menjamah tubuh indah Elliza, merabahi dan meremas payudara Elliza, kemudian turun menuju bibir kemaluan Elliza. Ia merabahi vagina Elliza, menggosok-gosok clitoris Elliza yang terasa semakin membesar.

"Oughk..." Lenguh Elliza saat kedua jari Pak Girno menembus vaginanya.

Dengan gerakan perlahan jemari Pak Girno bergerak maju mundur, mengorek-ngorek liang vagina merah Elliza, yang sudah sangat basah, membuat Pak Girno semakin bersemangat mengerjai tubuh indah Elliza.

Sloookksss... Sloookksss... Sloookksss...

"Oughk... Pak! Aaaahkk... Aaahkk... Aaahkk..." Erang Elliza tidak tahan.

Cairan cintanya menyembur keluar sangat banyak, membasahi seprei tempat tidur yang sudah lecek dari sebelumnya. Pinggul Elliza tersentak-sentak ketika Pak Girno mencabut jarinya dari dalam vagina Elliza.

"Oughk... Pak! Aaahkk... Aaahkk..." Dengus nafas Elliza.

"Bapak masukan sekarang ya Non?"

Elliza mengangguk lemah. "Iya Pak! Hah... Hah... Hah... Puaskan birahi Bapak." Pancing Elliza sembari menuntun penis Pak Girno ke dalam vaginanya.

Bleesss...

Dengan satu dorongan penis Pak Girno bersemayam di dalam tubuh Elliza yang terasa hangat dan licin.

"Enak banget Non... Aaahkk..." Erang Pak Girno sembari melakukan penetrasi di dalam lobang vagina Elliza.

"Aaahkk... Aaahkk... Aaahkk..."

Tubuh indah Elliza tersentak-sentak oleh dorongan pinggul Pak Girno, yang semakin lama semakin kasar menyetubuhinya, dan anehnya Elliza malah semakin menikmatinya, ia merasa vaginanya semakin gatal dan sangat nikmat.

Sembari menggenjot vagina Elliza, Pak Girno kembali melumat bibir merah Elliza. Dan meremas-remas payudara Elliza yang terasa pas di telapak tangannya.

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

Pak Girno menarik tubuh Elliza memutarnya, hingga Elliza kini berada di atas. Tanpa di minta Elliza menggerakan pantatnya naik turun diatas tungkai penis Pak Girno yang terasa keras dan kaku, memenuhi lobang vaginanya.

Kedua tangan Elliza bertumpuh diatas perut Pak Girno, membuatnya semakin leluasa memainkan perannya sebagai joki.

"Pak saya dapat..." Jerit Elliza.

Ia menarik pinggulnya keatas, menikmati orgasmenya yang membuat pinghulnya tersentak-sentak.

Seeeeeeeeeeeeeeeerrrr...

Air kencing Elliza menyembur deras, mengenai dada dan tempat tidur. Sanking nikmatnya, Elliza sampai terkencing-kencing.

"Oughk... Enak banget Pak!" Rintih Elliza.

Setelah orgasmenya meredah, Elliza memutar tubuhnya hingga membelakangi Pak Girno. Ia kembali menuntun penis Pak Girno memasuki rongga surgawinya, dengan perlahan penis Pak Girno kembali merasakan hangatnya vagina Elliza.

Dengan sisa-sisa tenaganya Elliza kembali menggoyang pinggulnya, naik turun, naik turun, dan semakin lama semakin cepat.

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

Pak Girno yang tidak ingin pasif, menahan pinggul Elliza sembari ikut menggoyangkan pinggulnya menyodok-nyodok vagina Elliza. Membuat Elliza merasa tidak kuat, hingga ia merebahkan tubuhnya diatas kedua tungkai kaki Pak Girno.

Elliza terlihat pasrah membiarkan Pak Girno menggempur vaginanya dari bawah.

"Lepas dulu Non." Pinta Girno.

Elliza segera menarik diri ke samping dengan posisi menungging. Pak Girno beranjak mendekati Elliza, membelai pantat Elliza.

Ia membuka pipi pantat Elliza, menatap nanar anus Elliza yang berwarna kemerah-merahan.

"Masih perawan Non." Bisik Pak Girno.

Elliza mengerti maksudnya. "Lain kali saja Pak." Pinta Elliza, Pak Girno tidak memaksanya, ia hanya membelai anus Elliza.

Kemudian ia berlutut di belakang Elliza sembari mendorong penisnya masuk ke dalam lobang peranakan Elliza. Dengan satu dorongan penis Pak Girno menusuk dalam lobang vagina Elliza yang terasa ketat memeluk batang kemaluannya.

Dengan ritme perlahan ia memompa vagina Elliza dari belakang, sembari membelai pantat Elliza.

"Pak... Aaahkk... Aaahkk..." Erang Elliza.

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

"Enak banget Non! Aaahk... Aaahkk..."

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

"Semakin lama Pak Girno semakin mempercepat tusukannya, mengobrak-abrik lobang vagina Elliza. Sesekali ia menampar pantat Elliza yang menggemaskan itu.

Rasa nikmat itu kian bertambah ketika Elliza ikut menggoyangkan pantatnya, menyambut penis Pak Girno yang terasa penuh menyumbat lobang kemaluannya.

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

Selama sepuluh menit bertempur dengan doggy-style, Pak Girno tampaknya sudah tidak kuat lagi. Wajahnya mendongak keatas, sembari menyodok-nyodok vagina Elliza dari belakang.

"Saya mau keluar Non..." Erang Pak Girno.

Elliza semakin cepat menggerakan pantatnya. "Bareng Pak! Saya juga...."

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

"Oughk..."

Tusukan penis Pak Girno semakin dalam, seiring dengan semburan spermanya ke dalam rahim Elliza, dan tidak lama kemudian Elliza menyusulnya.

Croootss... Croootss... Croootss...

Seeeeerrrr... Seeerrr.... Seeeerrr...

*****
end part 5
 
Itu di wattpad suhu, tapi ane yakin masih banyak yang COPAS dan REPOST di website lain, cuman belum ketemu aja.

Mohon bantuan pada semua suhu mesum Semprot ikut melaporkan (REPORT) dan menyampahi (HUJAT dan BULLY) di akun dan thread si PENCURI BANGSAT.

Kekekekek...
gara gara si BANGSAT @AndiMeteor gw jadi gk bisa baca kelanjuatan cerita2 yg bagus....bangsat bener andimeteorm, jujur gw selama ini silent reader. tapi suka baca karya topi jerami, tol_rat dll, karya mereka luar biasa bagus...sayang anjing bangsat andimeteor merusak dan seenaknaya copas ke wattpad....utuh copas tanpa ada kata permisi maupun nulis karyanya siapa...parah BAPET ( Babi Ngepet ) andimeteor
 
Terakhir diubah:
Bagus bro, ajak juga semua suhu mesum semprot untuk melaporkan (REPORT) dan menyampahi (HUJAT dan BULLY) akun dan thread si PENCURI BANGSAT itu.



Udah berulang kali, suhu.
Makanya ane ajak sebanyak mungkin suhu mesum semprot untuk ikutan melaporkan dan menyampahi.
Siapa tahu kalau banyak yang melaporkan bisa segera kena TAKEDOWN / BANNED akun dan threadnya.

Kekekekek...
Benar benar bikin kesal anak monyet andi meteor, harusnya udah muncul kelanjutan Haura, Nada, Syifa, Hanna, Rania pekan ini. Bangke banget.

Ampe ceritanya ditakedown Ama Mimin. Brengsek benar. Asu tenan


:aduh::aduh:
 
mau gua apain nih kontol yang tegang tanpa pelampiasan? ini si andimeteor kalo bs ke track posisinya gw uber dah
 
mau gua apain nih kontol yang tegang tanpa pelampiasan? ini si andimeteor kalo bs ke track posisinya gw uber dah
bisa saja bro, asal admin wattpad nya ngasih data IP address, MAC address si bangsat andimeteor ke admin semprot pasti bisa ke track di mana upload dan pake apa uploadnya sama siapa namanya di forum semprot tercinta kita ini, pasti kelacak, atau di forum ini barangkali ada yg bisa HACKING atau brgkali saudara atau kenalannya yg bisa HACKING, bisa itu di tracking dari kota mana pakai IP atau MAC address bisa ketauan semua, dia gk bisa ngelak tuh sibangsat
 
Chapter 6

20:00


Selepas shalat isya berjamaah, para santri berhamburan keluar dari dalam masjid. Tak terkecuali para ustad dan Ustadza, hanya ada beberapa Ustad maupun Ustadza yang absen ke masjid malam ini. Sehingga tidak heran kalau masjid Al-fatah selalu ramai dan terlihat penuh.

Sembari menuruni anak tangga, Ustadza Anita bersama kedua sahabatnya tampak terlibat obrolan yang cukup serius. Sembari sedikit mengangkat bagian bawah mukenanya, Ustadza Anita sangat khusuk mendengar cerita Ustadza Winda.

"Astaghfirullah, kasihan sekali ya." Lirih Ustadza Syafitri.

Anita mendesah pelan. "Jadi anaknya sudah dibawak pulang oleh orang tuanya?" Tanya Anita. Ia menatap segerombolan santriwati yang terlihat girang sembari menuruni tangga masjid. Anita sangat marah karena keceriaan salah satu muridnya telah direnggut paksa.

"Iya! Tapi orang tuanya tetap menuntut pertanggungjawaban pihak pesantren." Jelas Winda.

"Perkembangan kasusnya saat ini bagaimana?" Tanya Anita.

"Polisi belum menemukan jejak sang pelaku." Syafitri menjawab pertanyaan Anita, sembari mengenakan sandalnya.

"Afwan, Ana duluan ya." Pamit Winda, yang kebetulan masih tinggal di asrama karena statusnya yang masih gadis, hanya beberapa Ustadza yang tinggal di rumah dengan status belum menikah, berbeda dengan mereka yang telah menikah, selain itu asrama dan kediaman para staf yang telah menikah memang tidak berada di satu komplek. "Assalamualaikum!" Sambung Winda. Yang di jawab oleh kedua Ustadza tersebut.

Sembari berjalan menuju rumah masing-masing, kedua Ustadza tersebut tampak serius membahas permasalahan pria bertopeng yang hingga saat ini belum juga menemukan titik temu, mereka tentu sangat berharap kasus pria bertopeng segera dapat terungkap, sehingga nama pesantren tidak sampai tercoreng.

Setibanya di rumah Ustadza Anita segera menuju kamarnya. Ia menanggalkan mukena sutra pemberian mertuanya beberapa bulan yang lalu.

"Assalamualaikum!" Sapa Ustad Afif.

Anita tersenyum melihat Suaminya yang berdiri di ambang pintu kamar mereka. "Buya, ngagetin Umi aja." Protes Anita manja. Membuat Ustad Afif gemas melihat Istrinya.

"Umi kangen ya!" Godanya sembari mencubit pipi Anita.

Ustadza Anita membalasnya dengan memeluk tubuh Suaminya. Dengan kecupan mesrah Ustad Afif mencium kening Istrinya. Kemudian tangannya bergerilya diatas payudara Ustadza Anita yang berukuran 34B. Sangat pas di tangan Ustad Afif.

Sembari menikmati remasan suaminya, Ustadza Anita membuka satu persatu pakaian Suaminya hingga telanjang bulat. Ustad Afif juga tidak mau kalah. Dia bergegas menanggalkan pakaian sang Istri hingga mereka berdua sama-sama telanjang bulat. Lalu mereka segera menaiki ranjang.

Ustadza Anita berbaring dengan kedua kaki mengangkang, sementara Ustad Afif menindihnya.

"Oughkk..." Lenguh Ustadza Anita ketika kemaluan Ustad Afif menerobos masuk liang senggamanya. Dengan gerakan perlahan Ustad Afif memompa memek Istrinya.

Kedua insan berlainan jenis tersebut memang bisa di bilang cukup kolot dalam melakukan ritual Suami Istri. Yang mereka tau, wanita di bawah sementara pria di atas sembari memompa memeknya hingga sang pria orgasme. Walaupun Ustadza Anita tidak pernah puas, tapi ia tetap terlihat bahagia.

Sama seperti malam ini, walaupun ia tidak mendapatkan orgasmenya. Tapi ia merasa bahagia karena telah melaksanakan kewajibannya sebagai seorang Istri muslimah.

Tapi sayangnya kebahagiaan malam ini tidak seindah malam-malam sebelumnya. Tanpa mereka sadari sosok pria misterius tengah mengintai keluarga mereka. Senyum sinis terukir di bibirnya.

*****


Laras

Sementara itu di tempat berbeda, di kediaman KH Umar, tampak sepasang suami istri yang jarang bertemu itu sedang memadu kasih. KH Umar menanggalkan pakaiannya, begitu juga dengan Laras hingga keduanya dalam keadaan telanjang bulat.

Tanpa pemanasan terlebih dahulu, KH Umar menindih tubuh Istrinya.

"Insyaallah berkah ya Umi."

"Amiiiin..." Jawab Laras.

KH Umar menuntun penisnya menuju lobang surgawi milik Hj Laras. Beberapa kali ia mencoba memasukan penisnya, tetapi selalu gagal. Ia seperti kesulitan menyetubuhi Istrinya.

Saat Laras hendak membantunya, memegang penis KH Umar, Laras tampak kecewa karena penis KH Umar belum ereksi maksimal.

"Abi lupa minum obat?" Tanya Laras.

KH Umar tampak menyesal. "Maaf Umi, obat Abi ketinggalan." Jelas KH Umar.

"Ketinggalan di rumah Istri muda." Kesal Laras, mengingat Suaminya yang lebih sering tinggal di rumah Istri mudanya yang ada di pesantren al-fatah B, yang ada di kota XXX.

"Maaf, Abi benar-benar lupa."

"Terus gimana?"

"Kita lakukan lain kali aja ya Umi! Abi juga masih capek." Kata KH Umar yang membuat Laras merasa sangat kecewa.

KH Umar menyingkir dari atas tubuh istrinya, lalu kembali mengenakan pakaian.

"Besok Abi, mau ke sana lagikan?" Rajuk Laras.

KH Umar mengusap-usap rambut Istrinya. "Kan masih ada waktu lain kali! Nanti pas Abi pulang, Abi janji akan memberikan yang terbaik untuk Umi." Ujar KH Umar, seraya kembali membaringkan tubuhnya di samping Hj Laras yang tampak kecewa.

Laras yang tidak ingin berdebat segera turun dari tempat tidurnya, mengenakan kembali pakaiannya.

Tanpa memperdulikan KH Umar, ia berlalu pergi keluar dari dalam kamar mereka, menuju kamar mandi yang berada dekat dengan kamar putranya. Di dalam kamar mandi Laras menumpahkan seluruh emosinya, ia menangis sejadi-jadinya.

Ada rasa sesal di hati Laras, menerima lamaran KH Umar tempo dulu, andai ia tau kalau dirinya nanti akan di madu.

Laras bertanya-tanya, apakah kurangnya ia. Walaupun sudah berusia 36 tahun, tapi Laras memiliki tubuh yang terawat, tidak kalah cantik di bandingkan Istri ke tiga KH Umar yang masih berusia 21 tahun.

Selama ini Laras sudah berusaha menjadi Istri yang baik untuk KH Umar, tidak hanya melayani KH Umar, tetapi ia juga yang merawat kedua anak mendiang istri pertama KH Umar. Ia merasa kalau pengorbanannya sama sekali tidak dihargai oleh KH Umar.

"Kalau seperti ini terus lebih baik aku minta cerai." Jerit hati Laras.

Sebagai seorang wanita, ia juga merindukan sosok pria yang memanjakannya, melayaninya, bukan hanya sekadar membesarkan anak-anak dari Suaminya.

Laras menarik nafas dalam, mencoba menenangkan dirinya terbakar emosi.

"Astaghfirullah..." Lirih Laras.

Anak-anak nya tidak bersalah, dan tidak seharusnya ia pamrih karena telah merawat mereka. Dan alasan kenapa Laras bertahan sampai detik ini, itu karena anak-anak mendiang Hj Husna.

Setelah merasa cukup tenang, Laras mencuci wajahnya di wastafel. Sejenak ia menatap dirinya di depan kaca wastafel, mengingat bagaimana tatapan Azril ketika melihat dirinya dalam keadaan nyaris telanjang ketika di pijit Daniel tadi siang.

"Azril... Kamu suka ya, Umi di pijit mas Daniel? Kamu nakal Nak." Lirih Laras.

Tanpa sadar Laras memijit selangkangannya, menggosok-gosok selangkangannya dari gaun tidurnya, sembari mengingat kejadian memalukan tadi pagi, di mana dirinya nyaris telanjang bulat karena kelakuan Daniel yang memijitnya.

Dan yang membuat Laras paling shock adalah ketika melihat tatapan Azril terhadap dirinya, ada rasa kepuasan tersendiri melihat Azril yang hanya bisa memandanginya tanpa menyentuhnya.

"Azril... Aaahk... Ssstt... Aaahkk..." Lenguh Laras.

Ia semakin cepat menggosok-gosok kemaluannya, hingga akhirnya ia mencapai orgasme. Mulutnya mengangah dengan mata terpejam.

Laras dapat merasakan celana dalamnya yang begitu basah.

Setelah puas Laras segera kembali ke kamarnya, dan lagi-lagi ia di buat kecewa melihat Suaminya yang sudah terlelap tidur tanpa memikirkan perasaannya.

*****

00:30

Terlihat sosok pria bertopeng menyelinap masuk kedalam rumah seorang Ustad, di saat sang penghuni rumah tengah terlelap tidur. Ia berjalan masuk ke dalam kamar sang pengantin. Tampak sepasang suami istri tengah terlelap dengan damai. Tanpa menyadari kalau bahaya tengah mengintai mereka.

Pria bertopeng itu mendekati Ustad Afif, dengan cepat ia mendekap wajah Ustad Afif yang tidak memberi perlawanan berarti, hingga ia tak sadarkan diri.

Ustadza Anita yang malam ini mengenakan piyama kemeja di padu dengan celana panjang berwarna putih masih terlelap dengan damainya, tanpa ia sadari seseorang sudah memasuki rumahnya.

Wajah cantiknya terpancar begitu indah, dengan rambut panjang terurai. Nafasnya yang teratur membuat payudaranya naik turun mengikuti irama nafasnya.

"Cantik sekali...." Pria bertopeng itu bergumam, sembari melihat mangsanya yang sempurna.

Gigi pria tersebut menggeratak, dan air liurnya tampak menetes dari sela-sela bibir tebalnya. Dengan perlahan dia membelai paha Ustadza Anita. Terus naik menuju selangkangan Ustadza Anita. Wanita berusia 27 tahun itu menggeliat di dalam tidurnya. Sesekali ia menepis tangan pria tersebut, yang ia kira Suaminya.

Tetapi pria tersebut sama sekali tidak merasa terganggu. Dia menarik perlahan celana piyama yang di kenakan Anita, hingga tampak celana dalam Anita yang berwarna putih.

Jemari besar pria bertopeng itu membelai memek Anita dari luar, membuat tubuhnya menggelinjang. Ia mulai terganggu oleh setiap sentuhan yang di lakukan sang pria asing kepadanya. Hingga akhirnya ia terbangun dari tidurnya.

"Astaghfirullah!" Anita tersentak kaget.

Tapi terlambat karena sang pria telah berhasil menelanjangi dirinya dengan cepat. Ia menyobek pakaian Anita hingga tak bersisa. Kedua telapak tangan pria tersebut mengepal kedua payudara Anita. Ia meremasnya dengan sangat kasar.

Wajah cantik Anita tampak ketakutan, ia terus meronta dan melawan pria tersebut. Kakinya mengais dan menendangnya, tapi usahanya sia-sia saja, ia tidak bisa menghentikan setiap aksi si pria bertopeng terhadap tubuhnya. Bahkan dia hanya bisa bergumam ketika si pria bertopeng melumat bibirnya.

Sementara itu sang suami yang tengah tak sadarkan diri di sampingnya sama sekali tidak terganggu. Membuat Anita semakin furstasi.

"Hmmmpss... Hmmmpss... Hmmmppss..."

Anita meronta-ronta, kedua kaki jenjangnya berusaha melawan si pria bertopeng. Tapi pada akhirnya ia tetap tak berdaya, ketika si pria bertopeng menindih tubuhnya, menekan kepala helm besarnya diantara lipatan bibir memek Ustadza Anita.

"Aoughkk..." Jerit Ustadza Anita.

Ia merasakan memeknya seakan di robek oleh kontol si pria bertopeng yang berukuran sangat besar.

Sembari terus melumat bibir Ustadza Anita pinggul si pria bertopeng terus menyodok memek Ustadza Anita, yang perlahan mulai terasa licin karena cairan pelumasnya yang telah memberikan kemudahan bagi batang kemaluan pria bertopeng keluar masuk di dalam lobang memeknya yang sempit itu.

Ploookkss.... Ploookkss... Ploookkss....

Setelah hampir lima menit pria bertopeng itu memompa memek Ustadza Anita. Akhirnya pria tersebutlah menuntaskan hasrat birahinya. Ia menembakkan spermanya ke dalam rahim Ustadza Anita.

Tubuh Anita menegang ketika merasakan sperma pria tersebut yang masuk ke dalam rahimnya.

Plooopss...

Pria tersebut mencabut kontolnya. Lalu beralih ke sisi wajah Anita yang kini tengah menangis. Ia tidak menyangkah kalau nasibnya akan berakhir dengan teragis.

"Hisap!" Perintahnya.

Anita menggelengkan kepalanya, ia menolak perintah tersebut. Tapi pria itu terus memaksanya, dia menekan batang kemaluannya yang besar agar masuk ke dalam mulut Anita. Karena terus menerus di desak, akhirnya Anita menyerah, ia membiarkan kontol pria bertopeng bersemayam di dalam mulutnya.

Selagi menikmati mulut mangsanya, si pria bertopeng itu mulai merangsang tubuh Ustadza Anita. Kuku panjang nya membelai puting Ustadza Anita.

"Eehmmpss.... Emmppss.... Ehmmppsss..." Desah Anita.

Tubuh Anita menegang, ia merasakan putingnya semakin mengeras apa lagi ketika si pria tersebut memilin putingnya. Selama ia menikah baru kali ini ia menikmati sentuhan seorang pria di tubuhnya. "Kenapa ini enak sekali..." Gumam Anita, tanpa sadar menikmati perkosaan yang ia alami.

Jemari pria itu turun kebawah, membelai perut mulus Anita, alhasil perut rata Anita bergetar menerima rangsangan dari belaian kuku pria tersebut. Tidak sampai di situ saja, jemari pria bertopeng itu bergerak semakin turun menuju sebuah lembah yang menjanjikan sejuta kenikmatan, yang seharusnya hanya di miliki oleh Ustad Afif.

"Oughkk..." Lenguh Anita ketika jari tengah pria itu menembus memeknya. Ia memejamkan matanya menikmati jari pria asing itu yang tengah mengorek-ngorek memeknya.

Selagi pria itu menjamah memeknya, Ustadza Anita tanpa sadar mengocok kontol pria bertopeng tersebut yang berukuran sangat besar. Ia mengecup lembut kontol pria itu yang barusan telah memasuki ruang memeknya. Dia memberi ludah yang cukup banyak di bagian kepala pionnya, yang membuat pria bertopeng terlihat sangat menikmati hisapan mulut Ustadza Anita.

Sungguh tidak di sangka-sangka, Ustadza Anita yang tadinya mati-matian menolak, kini terlihat pasrah.

"Kontolnya besar dan enak..." Bisik Anita.

Karena tidak ingin buru-buru ejakulasi, pria tersebut meminta Ustadza Anita untuk berhenti mengoral kontolnya. Ia memutar tubuh Anita hingga menungging, kemudian Plaaaak... Plaaaak... Plaaak... Berulang kali pria itu menampar pantat semok Ustadza Anita, hingga meninggalkan bekas merah di pantatnya.

"Aahkkk... Sakiiiit... Ampuuun!" Jerit Ustadza Anita.

Wanita hijaber itu membenamkan wajahnya ke dalam bantal, sembari menggoyangkan pantatnya yang tengah di tampar oleh pria asing itu dengan sangat kasar.

Setelah puas menyiksa Anita, pria tersebut kembali memposisikan kontolnya di depan bibir memek Anita yang kini lebih banyak mengeluarkan precum. Dia menggosok-gosok kepala kontolnya dengan bibir kemaluan Ustadza Anita. Tanpa berkedip Ustadza Anita menatap kontol pria bertopeng yang hendak memperkosanya kembali.

"Ya Tuhan... Itu terlalu besar."

Anita memejamkan matanya, ketika ia merasakan kepala kontol pria asing itu menyeruak masuk ke dalam lobang memeknya. Inci demi inci kontol pria itu menembus lobang memek Anita yang selama ini hanya di masuki oleh kontol kecil milik suaminya.

Dengan sekuat tenaga Anita mengepalkan kedua tangannya, ketika pria itu mulai memompa memeknya.

Tuhaaaaan... Ini terlalu nikmat. "Aaahkk... Aaahkk... Aahkk... Aahkk... Aahkkk... Aaahkk..." Desah Anita terputus menikmati penetrasi batang kemaluan pria bertopeng tersebut.

Ploookkss.... Ploookkss.... Ploookkss...

Tubuh indahnya tersentak-sentak kedepan setiap kontol pria itu menusuk memeknya.

Berbeda dengan sebelumnya, kali ini Ustadza Anita sangat menikmati sodokan kontol pria tersebut di dalam memeknya. Mungkin karena memeknya yang mulai terbiasa dengan ukuran kontol pemerkosanya, apa lagi, memeknya secara konsisten mengeluarkan pelumas untuk mempermudah laju kontol pria tersebut.

Tubuh Ustadza Anita menegang beberapa saat, sebelum akhirnya ia kembali mencapai klimaksnya. Seeeeeeeeeerrrr..... Seeeeeeeeeerrrr.... Seeeeeeeeeerrrr.... "Oughkk...." Desah Anita menikmati orgasmenya.

Pria bertopeng itu kembali mencabut kontolnya, ia duduk bersandar diatas tempat tidur dan meminta Ustadza Anita duduk di pangkuannya. Dengan setengah terpaksa Ustadza Anita menuruti kemauan pemerkosanya. Dia menduduki kontol pemerkosanya, tepat di samping Suaminya yang masih belum sadarkan diri.

Sembari melihat kearah suaminya, ia berbisik di dalam hati. "Maafkan aku Buya..." Dia menekan pinggulnya ke bawah, membawa kontol pria tersebut memasuki tubuhnya.

Ploookkss.... Ploookkss.... Ploookkss.... Ploookkss.... Ploookkss.... Ploookkss....

Ploookkss.... Ploookkss.... Ploookkss.... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

Pinggul Ustadza Anita bergerak naik turun diatas pangkuan pemerkosanya yang tengah mengaduk-aduk memeknya. Tampak lelehan cairan cinta Anita merembes keluar.

"Aaahkk... Sssstt... Nikmat sekali memekmu Ustadza." Geram Pria bertopeng.

Kedua tangan pria tersebut menangkup payudara Ustadza Anita, ia meremas dan memilin puting Anita.

Stimulasi-stimulasi yang di lakukan pemerkosanya, membuat Ustadza Anita kembali mencapai puncaknya. Dengan wajah mendongak keatas Ustadza Anita menyambut klimaksnya.

"Oughkkrrrr...." Pria tersebut menyusulnya.

Sedetik kemudian Anita merasakan rahimnya panas, karena untuk keduanya kalinya, ia menerima semburan hangat sperma pria tersebut.

*****

Ustad Afif terbangun ketika mendengar Isak tangis Istrinya. Ia sangat kaget melihat keadaan Ustadza Anita yang dalam keadaan telanjang bulat. Dan tak jauh dari tubuh Istrinya ia melihat pakaian tidur sang Istri yang sobek di mana-mana. Wajahnya memucat, ia sadar kalau ada yang tidak beres.

Baru saja ia hendak bertanya kepada Istrinya, tiba-tiba ia melihat seorang pria berpakaian serbah hitam, menggunakan topeng di balik kaca jendela rumahnya.

"Innalillahi..." Teriak Ustad Afif.

Buru-buru ia keluar dari dalam kamarnya meninggalkan Istrinya, hendak mengejar sang pria bertopeng itu yang telah menodai Istrinya. Ia berteriak memanggil siapapun yang bisa mendengar suaranya.

"Tolooong ada perampok..."

Dalam sekejap para santri, Ustad dan Ustadza keluar dari kediaman mereka masing-masing. Bersama Ustad Afif, mereka mengejar pria tersebut. Tapi sayangnya, sang pria yang selalu mengenakan topeng jarit di setiap aksinya, dengan cepat menghilang di balik kegelapan malam.

*****

02:00




Drrrttt... Drtttt... Drrrttt...

Tubuh Zaskia menggeliat diatas tempat tidurnya, ia mengerjapkan matanya sembari melihat kearah jam dinding kamarnya yang masih menunjukan pukul 2 dini hari. Dengan malas Zaskia bangun dari tidurnya, sembari melihat kearah handphone miliknya yang sedari tadi berdering memanggilnya.

Setengah sadar Zaskia turun dari tempat tidurnya, meraih hpnya dengan malas-malasan.

"Ya Allah, ngapain Mbak Haifa menelpon tengah malam begini." Rutuk Zaskia, yang terlihat tidak ihklas karena tidurnya terganggu.

"Assalamualaikum Uhkti..." Sapa Haifa di sebrang sana.

Zaskia tampak menguap sebentar. "Waalaikumsalam... Ada apa Mbak?" Tanya Zaskia, seraya memejamkan matanya yang masih sangat mengantuk.

"Uhkti hati-hati, pria bertopeng itu baru saja memperkosa Ustadza Anita." Ujar Haifa setengah menjerit, membuat Zaskia kaget.

Sejenak Zaskia loading sebentar. "A-pa Mbak?" Tanya Zaskia memastikan.

"Ustadza Anita di perkosa sama pria bertopeng."

"Astaghfirullah... Serius Mbak?"

"Iya... Ini suami Mbak baru saja keluar, ikut bantu mengejar pria tersebut. Sekarang kamu bangunkan Rayhan, suruh dia berjaga-jaga." Ujar Haifa, dari suaranya ia terdengar panik.

"I-iya Mbak! Nanti aku bangunkan Rayhan."

"Hati-hati Uhkti, kabari kalau ada apa-apa." Pinta Ustadza Haifa.

"Mbak juga hati-hati."

"Assalamualaikum..."

"Waalaikumsalam."

Zaskia buru-buru mengambil jilbab instannya, mengenakan seadanya lalu bergegas menuju kamar Rayhan yang ada di depan kamarnya.

Tanpa menggedor pintu kamar Rayhan, Zaskia segera nyelonong masuk ke kamar adik iparnya yang masih terlelap dalam tidurnya. Segera Zaskia mencoba membangunkan Rayhan dengan mengguncang-guncang tubuh Rayhan.

"Dek... Bangun." Suruh Zaskia.

Pemuda itu menggeliat sebentar, dan perlahan mulai membuka matanya.

Sejenak pemuda itu terdiam, memandangi Zaskia dengan tatapan tidak percaya. Ia mengerjapkan matanya beberapakali, memastikan kalau dirinya saat ini sedang tidak bermimpi.

Tepat di depan matanya, Rayhan melihat gundukan tebal yang terbungkus kain segitiga berwarna biru dongker semi transparan, di hiasi renda-renda berbentuk hordeng di bagian karet atasnya, yang membuat sang pemakai terlihat semakin seksi. Berulang kali Rayhan tampak menelan air liurnya yang terasa hambar.

"Adek denger gak si omongan Kakak?" Geram Zaskia kesal karena sedari tadi ia melihat Rayhan hanya bengong saja.

"I-iya Kak, ada apa?"

"Ya Allah, Kakak cerita panjang lebar dari tadi kamu gak denger." Zaskia menatap kesal kearah Rayhan yang terlihat sama sekali tidak merasa bersalah.

"Namanya juga baru bangun Kak."

Zaskia menghela nafas mencoba memakluminya. "Ustadza Anita di perkosa oleh pria bertopeng." Cerita singkat Zaskia.

Rayhan terdiam. "Serius Kak? Kok bisa..."

"Kakak belum tau pasti ceritanya bagaimana, tapi yang pasti pria itu sekarang lagi di cari. Kamu tetap di rumah aja, jaga-jaga siapa tau dia menyelinap masuk ke rumah kita." Ujar Zaskia, yang masih belum menyadari kalau dirinya lupa mengenakan celananya.

"I-iya Kak." Jawab Rayhan gugup.

Walaupun berita tentang diperkosanya Ustadza Anita sangat serius, tetapi saat ini Rayhan lebih fokus terhadap Kakak Iparnya.

Walaupun ia sudah berapa kali melihat Kakak Iparnya dalam keadaan telanjang, tetap saja penampilan seksi Zaskia malam ini tidak bisa di lewatkan begitu saja. Nalurinya sebaga laki-laki, menuntunnya untuk memanfaatkan momen yang ada.

Rayhan menatap nanar kearah gundukan tebal memek Kakaknya, rasanya ia ingin sekali mendekap dan mencium gundukan tersebut.

Zaskia yang panik belum juga menyadari kondisi pakaiannya. Ia terlihat sibuk berbalas pesan dengan Ustadza Haifa. Ia berbalik badan, sembari membalas pesan dari Ustadza Haifa.

Kesempatan tersebut di manfaatkan Rayhan untuk memperbaiki posisi kontolnya yang mengganjal. Sembari menatap pantat Kakaknya yang berisi.

Tiba-tiba Zaskia membungkuk, menggaruk-garuk kakinya yang gatal.

"Banyak nyamuk ya dek di sini?"

"I-iya Kak, tadi aku lupa menggunakan baygon." Jawab Rayhan, sembari memiringkan kepalanya, agar sejajar dengan pantat Zaskia yang putih mulus itu.

Mata Rayhan tidak berkedip, menyelusuri garis celana dalam Zaskia yang menyelip di antara kedua pipi pantatnya, pandangan mata Rayhan terhenti, menatap bibir kemaluan Zaskia yang gemuk tertekan oleh celana dalam Zaskia menyelip diantara kedua bibir kemaluannya.

Gleeek...

Tanpa sadar Rayhan mengurut-urut batang kemaluannya sembari menatap selangkangan Kakaknya.

Zaskia menoleh kebelakang, ia tampak sok melihat kelakuan Rayhan. "Astaghfirullah... Adek ngapain?" Jerit kecil Zaskia, membuyarkan konsentrasi Rayhan.

Wajah Rayhan mendadak pucat pasi setelah kepergok oleh Kakak Iparnya.

Zaskia menggelengkan kepalanya, mukanya memerah karena kesal dengan kelakuan Rayhan yang begitu berani menatap pantatnya, reflek Zaskia menjewer telinga Rayhan, meluapkan perasaan malu yang menyelinap di hati kecilnya.

"Aduh... Ampun Kak!" Rengek Rayhan.

Zaskia menggembungkan pipinya kesal. "Kamu semakin berani ya sama Kakak?" Rutuk Zaskia, yang masih belum juga sadar kalau dirinya hanya mengenakan celana dalam.

"Itu Kak... Mau ambil itu..." Tunjuk Rayhan ke lantai.

Zaskia melihat arah telunjuk Rayhan, ada sebungkus autan yang tergeletak di lantai tidak jauh dari Rayhan. Emosi Zaskia meredah, menyadari kalau dirinya ternyata hanya salah paham.

"Kata kakak tadi banyak nyamuk."

Segera Zaskia melepaskan jewerannya di telinga Rayhan yang memerah.

"Ooo... Maaf Dek, hihihi..."

"Ya Allah Kak, sakit banget lo..." Rengek Rayhan pura-pura ngambek.

Zaskia mengambil inisiatif meniup telinga Rayhan yang memerah. "Fuuuuh... Fuuuhh... Fuiih..." Selagi Zaskia meniup telinganya, Rayhan memanfaatkannya untuk kembali menikmati gundukan memek Zaskia.

"Duh sakit banget." Ujar Rayhan pura-pura.

Zaskia menarik wajahnya. "Tuh sudah sembuh dek, hihihi..." Ujar Zaskia cekikikan.

"Lain kali jangan suudzon." Omel Rayhan.

"Maaf Dek! Habis kamu juga yang salah, suka cabul sama Kakak, jadinya pikiran Kakak negatif terus." Elak Zaskia seraya menjulurkan lidahnya.

"Enak aja ngatain cabul! Kayak Kakak gak cabul aja."

Mata Zaskia melotot. "Eh... Coba di ulangi." Ucap Zaskia dengan gaya mengancam.

"Eng-enggak kok Kak! Ini kupingku sudah gak sakit lagi hehehe..." Jawab Rayhan cengengesan. Zaskia tersenyum senang mendengarnya.

"Kamu jangan tidur lagi! Kakak mau ke kamar dulu."

"Iya Kak."

Zaskia segera berlalu pergi dari kamar Rayhan dengan senyum mengembang di bibirnya.

Setibanya di kamar Zaskia meletakan hpnya diatas meja, melihat pantulan dirinya di depan cermin lemari yang berukuran besar. Sejenak Zaskia mematung menatap penampilannya malam ini.

"Ya Allah..." Zaskia mendekap mulutnya.

Kini Zaskia sadar kalau sedari tadi ia hanya mengenakan dalaman jenis g-string saat bersama Rayhan. Tidak heran kalau Adik iparnya sampai bengong saat pertama kali melihatnya. "Ya Tuhan... Mau di taruh di mana mukaku!" Jerit hati Zaskia.

Ia kembali teringat ketika memergoki Rayhan yang tengah menunduk sembari memiringkan kepalanya. Buru-buru Zaskia menungging di depan cermin, matanya terbelalak melihat bibir kemaluannya yang tembem, menyembul keluar.

"Jadi kamu lihat ini Dek?" Lirih Zaskia.

Aneh... Zaskia sama sekali tidak marah, malahan ia terangsang, membayangkan perasaan Rayhan ketika melihat daging empuk miliknya.

*****

06:00


Elliza


Fatimah

06:30

Di ruang makan, tampak Elliza tidak bersemangat menyantap sarapan paginya, sedari tadi ia hanya mengaduk-aduk makannannya. Bayangan tragedi kemarin seakan tidak bisa di lupakan oleh Elliza, di mana ia harus melayani lima pria sekaligus.

Mengingat kejadian kemarin, membuat Elliza merasa kalau masa depannya telah hancur, mahkota yang seharusnya ia jaga hingga ia menikah nanti, hancur sudah.

"Kamu kenapa sayang?" Tanya Fatimah khawatir.

Elliza mendesah pelan. "Gak apa-apa kok Umi, cuman sedikit pusing." Jawab Elliza.

"Kamu sakit."

Elliza terdiam sesaat. Dirinya memang sakit, tapi bukan karena demam, melainkan karena ia kecapean setelah tiga jam melayani satpam Ma'had Al-fatah. Bahkan Elliza masih bisa merasakan ngilu di liang senggamanya.

Fatimah yang khawatir mengecek suhu badan putrinya, tidak terlalu panas tapi keringat dingin.

"Aku agak kecapean Umi." Ujar Elliza.

Fatimah tersenyum kecil. "Hari ini kamu istirahat aja dulu, tidak usah sekolah! Nanti biar Umi yang memberitahu gurumu." Ujar Fatimah, membuat Elliza terharu dengan perhatian Ibunya.

"Iya Umi."

"Habiskan makanmu."

Walaupun sedang tidak bernafsu, Elliza mencoba menghabiskan makanannya, tetapi pada akhirnya ia tidak mampu menghabiskan sarapannya.

Setelah pamit ke Ibunya, ia segera bergegas menuju kamarnya.

*****

10:00


Lidya

Tok... Tok... Tok...

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Daniel memasuki kelas, memperhatikan murid-muridnya yang sudah duduk rapi. Beberapa santri wati sedang berbisik sembari memperhatikan Daniel yang pagi ini yang terlihat rapi.

Ia membuka absensi dan mulai mengabsen satu persatu muridnya. Saat tiba ia menyebut nama Lidya, sang pemilik namanya tidak menyahut.

"Hari ini kita belajar teori penjaskes." Ujar Daniel.

Para santriwati tampak kecewa mendengar pengumuman dari Daniel. Padahal mereka sudah berharap kalau hari ini mereka bisa berolahraga di luar kelas.

Tetapi Daniel tidak menggubris kekecewaan muridnya, ia segera menulis di papan tulis tentang teori yang akan mereka bahas pagi ini. Walaupun kecewa mereka tetap menulis apa yang di tulis Daniel.

Setelah semua teori di tulis di papan tulis, barulah Daniel menjelaskannya.

Kemudian ia meminta murid-murid nya untuk menjawab soal yang ada di buku pelajaran. Selagi mereka mengerjakan tugas yang di berikan Daniel, pria itu berkeliling mengitari murid-muridnya.

Tiba-tiba seorang santri tergopoh-gopoh masuk ke dalam kelas yang di ajarkan Daniel.

Pemuda itu merenyitkan dahinya menatap Lidya yang terlambat pagi ini. Bukannya marah Daniel malah tersenyum lebar.

Ia memanggil Lidya kebelakang kelas, dengan langkah perlahan Lidya menghampiri Daniel yang sedang berdiri di belakang. Beberapa pasang mata memperhatikan Lidya, membuat Daniel menegur mereka agar segera menyelesaikan tugas yang ia berikan.

"Kenapa kamu terlambat?" Tanya Daniel.

Lidya malah tersenyum tidak jelas. "Maaf Ustad, tadi aku ketiduran." Jawab Lidya.

"Kamu begadang lagi?"

"Iya Ustad."

Daniel memperhatikan seisi kelasnya, memastikan kalau tidak ada yang melihat kearah mereka. "Nonton film XNXX lagi?" Pancing Daniel, dan Lidya meresponnya dengan senyuman.

"Iya."

"Astaghfirullah... Kamu tau itu dosa?" Tanya Daniel sembari menurunkan suaranya agar tidak terdengar oleh murid-murid lainnya.

Lidya menggigit bibirnya ketika merasakan sentuhan di pinggang rampingnya. Jemari-jemari Daniel menggelitik pelan punggungnya, membuat api birahinya berkobar atas perbuatan Daniel.

Sentuhan Daniel turun ke pantat Lidya, dia meremas pelan pantat Lidya.

"Kok diam."

Lidya tergagap. "Eh... Tau Ustad! Tapi... Penasaran jadinya tetap di tonton." Jawab Lidya setenga berbisik agar tidak di dengar teman-temannya.

"Kamu sering nonton video porno?" Tanya Daniel lagi, seraya tersenyum.

"Ehmm... Iya Ustad!"

"Bandel kamu ya." Gemas Daniel, andai saja saat ini mereka tidak berada di dalam kelas, mungkin Daniel sudah dari tadi melumat bibir Lidya yang membuatnya geregetan dengan senyuman nya.

"Maaf Ustad."

"Ya sudah duduk sana, jangan di ulangi lagi ya." Ujar Daniel kali ini dengan suara normal. "Kamu kerjakan tugas yang ada di buka, tanya saja sama temanmu." Suruh Daniel lagi.

"Iya Ustad."

Segera Lidya kembali ke bangkunya, ia membuka buku pelajarannya. Ia terlihat serius menulis sesuatu di buku tulisnya.

Daniel kembali berkeliling kelas, memperhatikan murid-muridnya lalu kembali kemejanya.

Setelah setengah jam berlalu, Daniel kembali berjalan mengitari muridnya yang seperti nya sudah selesai mengerjakan tugas mereka. Tetapi Daniel masih memberi kesempatan bagi mereka yang belum selesia.

"Bagi yang selesai segera di kumpulkan ke atas meja Ustad." Suruh Daniel.

Beberapa murid segera maju ke depan kelas mengumpulkan tugas mereka, sementara Daniel masih memperhatikan murid-muridnya yang masih sibuk mengerjakan tugas yang ia berikan.

Daniel berjalan menuju meja Lidya, ia bermaksud ingin membantu Lidya.

Tetapi setibanya di belakang Lidya ia kaget saat melihat Lidya malah menggambar bukannya mengerjakan tugas yang ia berikan, dan yang membuat Daniel tersenyum, karena Lidya menggambar bentuk kelamin laki-laki dan perempuan.

"Gambaran kamu bagus?" Celetuk Daniel dari belakang Lidya.

Lidya yang tidak menyadari kehadiran Daniel tampak terkejut. Ia buru-buru menutupi gambarnya dengan kedua tangannya. Tapi tentu saja itu percuma, karena Daniel sudah melihatnya.

Daniel menyodorkan tangannya, meminta buku Lidya, awalnya Lidya ragu, tapi setelah melihat senyuman Daniel, Lidya bersedia memberikan buku tersebut.

"Kalau kamu mau buku ini kembali? Ustad tunggu di Makamah sore ini." Bisik Daniel, membuat wajah Lidya merona merah.

Daniel segera kembali ke mejanya. "Sudah selesai semua?" Tanya Daniel.

"Sudah Ustad."

*****

14:00


Inem

Sepulang sekolah Rayhan tidak sengaja bertemu dengan Mbak Inem yang kebetulan juga ingin pulang ke rumahnya, sehingga mereka berdua pun memutuskan untuk pulang bersama. Diam-diam Rayhan suka mencuri pandang kearah tetangganya itu.

Wajah manis Mbak Inem rasanya tidak membosankan bagi Rayhan. Ia merasa betah kalaupun harus menatap wajahnya selama berjam-jam.

"Kamu kenapa Ray? Dari tadi ngeliatin Mbak terus."

Rayhan cengengesan sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Habisnya Mbak Inem cantik! Eh... Maaf Mbak kalau aku lancang." Larat Rayhan buru-buru, ia khawatir Mbak Inem tersinggung dengan ucapannya.

"Ya Allah Ray, kok sampe minta maaf gitu."

"Takut kalau nanti Mbak Inem tersinggung? Kamukan memuji Mbak, bukan ngatain Mbak." Ujar Inem keheranan dengan sikap Rayhan. "Emang kamu suka sama Mbak?" Pancingnya, membuat Rayhan gelagaban.

"Gak berani jawab."

"Harus jawab, Mbak maksa lo."

"Iya jujur Mbak, a-aku suka sama Mbak Inem." Jawab Rayhan makin gugup. Walaupun ia selengean, sebenarnya Rayhan tidak pernah sekalipun menembak perempuan, walaupun dirinya beberapa kali di tembak oleh teman perempuannya.

"Tapikan Mbak sudah punya suami?"

Rayhan kembali menggaruk-garuk kepalanya, mengadakan dirinya sedang bingung. "Ehmm... Mungkin karena itu, aku juga suka sama Mbak." Ungkap jujur Rayhan sembari menatap Mbak Inem.

Wanita cantik itu balik memandangnya, yang kemudian tersenyum manis.

"Itu namanya nafsu." Bisik Mbak Inem.

Wajah Rayhan pucat pasti, ia khawatir ucapannya barusan akan membuat Mbak Inem murka. Tetapi kekhawatiran mendadak lenyap setelah melihat Mbak Inem terkikik renyah.

Rayhan tampak misu-misu, karena ia merasa Mbak Inem sengaja mengerjainya.

"Mbak bikin takut aja." Protes Rayhan.

Tiba-tiba Mbak Inem mencubit perut Rayhan dengan gemes. "Hihihi... Kamu lucu deh Ray! Ngomong-ngomong kamu jadi gak belajar sama Mbak, katanya mau belajar jadi pria idaman." Kata Mbak Inem sembari menatap Rayhan, membuat Rayhan salah tingkah.

"Mbak serius mau ngajarin?"

"Nanti habis makan, kamu langsung ke rumah Mbak aja ya! Pintu belakang gak Mbak kunci. Tapi sebelum masuk kamu pastiin gak ada yang melihat kamu masuk ke rumah Mbak."

"Serius Mbak?" Tanya Rayhan bersemangat.

Mbak Inem mengangguk. "Duarius." Katanya seraya tersenyum manis.

"Ok Mbak."

"Oh ya, jangan lupa mandi."

"Ok." Jawab Rayhan sembari membuat tanda 'ok' dengan jarinya.

******

[/B]03:00[/b]

"Masih ada yang mau kamu beli gak?" Tanya Azril kepada temannya.

"Gak ada, duitku sudah habis, hahahaha..." Jawab Nico.

"Kita makan bakso dulu yuk, aku yang terakhir."

"Siaap..."

Saat ini mereka berdua sedang berada di pasar, memberi beberapa kebutuhan. Selesai berkeliling pasar, Azril dan Nico segera menuju kedai bakso langganan mereka yang memang terkenal enak, dan selalu ramai.

Sembari menyantap bakso, mereka mengobrol ringan, dari membicarakan teman-temannya hingga membicarakan pria bertopeng yang semalam kembali beraksi.

Selesai membayar makanan, mereka bermaksud ingin kembali ke Ma'had.

"Itu Dedikan?" Tunjuk Nico.

Azril memicingkan matanya, memandangi Dedi yang tengah bersama santriwati lainnya. Melihat kedekatan keduanya membuat Azril geram.

"Iya."

"Emang benar-benar playboy tuh bocah, sering banget aku lihat dia gonta-ganti pacar." Ujar Nico mengomentari tabiat buruk Dedi yang sering mempermainkan perasaan wanita.

"Emang bangsat itu orang." Umpat Azril.

Tanpa mengubris temannya, Azril berjalan cepat kearah Dedi. Ia tidak terima orang yang ia cintai di khianati oleh Dedi. Nico yang keheranan buru-buru mengikuti Azril dari belakang, ia bisa merasakan kemarahan Azril, walaupun ia tidak tau apa masalahnya.

Tanpa banyak bicara Azril mendorong Dedi hingga terjengkang, ia menatap marah kearah Dedi.

"Kamu ngajak ribut ya?" Bentak Dedi.

Pemuda itu berdiri dan langsung mencengkram kera baju Azril, ia hendak memukulnya.

Beruntung Nico dengan cepat menarik tangan Azril, hingga pukulan Dedi tidak mengenal Azril. Nico berdiri di depan menggantikan posisi Azril.

"Slow bro..." Ujar Nico santai.

Dedi menetap sinis kearah mereka berdua. "Kalian pikir saya takut? Ayo sini kalau mau ribut." Tantang Dedi sembari memasang kuda-kuda.

Beruntung perkelahian mereka berhasil di lerai oleh teman wanitanya Dedi. "Sudah yang, jangan ribut di sini." Pinta temannya.

"Awas ya kalian? Terutama kamu Azril... Ketemu sekali lagi habis kamu." Ancam Dedi.

Kemudian ia beranjak pergi mengajak teman wanitanya. Sementara Nico tampak memarahi Azril yang tiba-tiba saja mendorong Dedi. Untung tadi dia sigap, sehingga pukulan Dedi tidak mengenai Azril.

Awalnya Azril memilih diam, tapi pada akhirnya ia memberitahu alasan kenapa bisa seemosi barusan. Mendengar alasannya Nico tampak menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Jadi masalahnya karena Clara?"

Azril mengangguk. "Aku gak terima Clara di sakiti." Aku Azril.

"Kalau soal cinta, aku gak paham." Nico menepuk pundak Azril. "Balik yuk..." Ajak Nico, Azril mengangguk kan kepalanya.

"Terimakasih bro, kamu sudah membelaku..."

"Santai, kita saudara bro." Nico merangkul pundak Azril. "Tapi kedepannya kamu harus hati-hati, soalnya Dedi banyak teman. Kalau ada apa-apa, cerita ya." Ujar Nico memperingati sahabatnya.

"Siap... Terimakasih."

Mereka segera menaiki angkutan desa, kembali pulang ke pesantren.

Sementara Azril kepikiran tentang Clara, ia berencana secepatnya akan memberitahu Clara kalau Dedi sudah selingkuh di belakangnya.

*****


Inem

Sehabis makan dan mandi, Rayhan secara mengendap-endap keluar dari rumahnya melalui pintu belakang. Setelah memastikan tidak orang yang melihatnya, Rayhan bergegas masuk ke dalam rumah Mbak Inem yang terlihat sepi.

Pemuda itu tampak celingak-celinguk mencari sosok wanita si penghuni rumah.

"Mbak... Mbak..." Panggil Rayhan pelan.

"Di depan Ray."

Segera Rayhan menuju ruang tamu Mbak Inem, sejenak Rayhan terpaku memandangi tetangganya itu yang terlihat anggun dan cantik.

Mbak Inem mengenakan gamis berbahan kain krap, yang terlihat kasual berwarna moca, di padu dengan hijab syar'i berwarna hitam. Penampilan Mbak Inem memang jauh dari kesan seksi, tetapi tetap saja aura keseksiannya tidak pudar.

"Sini duduk." Suruh Mbak Inem.

Rayhan segera duduk di samping Mbak Inem. "Mbak... Jadi belajarnya?" Tanya Rayhan memastikan.

"Jadi dong, masak Mbak sudah secantik ini gak jadi." Jawab Mbak Inem. "Tapi sebelum kita mulai, Mbak bolehkan tanya-tanya." Ujarnya.

"Boleh kok Mbak."

"Kamu pernah pacaran? Jawab jujur."

Rayhan menggelengkan kepalanya. "Belum pernah Mbak, tapi kalau yang pernah nembak aku ada." Jawab Rayhan jujur.

"Kamu tolak?" Rayhan mengiyakan. "Dia gak cantik?" Tanya Mbak Inem heran.

"Cantik Mbak, tapi... Aku lebih suka wanita yang lebih tua dari aku." Jawab Rayhan jujur apa adanya. "Aneh ya Mbak." Sambung Rayhan sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

Mbak Inem tersenyum kecil. "Gak aneh kok sayang! Itu normal. Jadi itu alasan kenapa kamu suka sama Mbak?" Tanya Mbak Inem lagi.

"Iya Mbak."

"Satu pertanyaan terakhir, kamu pernah ngentot atau ML atau bersetubuh dengan lawan jenis.?"

Deg...

Rayhan tampak shock dengan pertanyaan tersebut. "Belum pernah Mbak!" Jawab Rayhan jujur.

"Kamu mau menyerahkan keperjakaan kamu sama Mbak?"

Lagi-lagi Rayhan terdiam. "Ma-maksud Mbak, kita begituan?" Tanya Rayhan terlihat sangat terkejut mendengar permintaan Mbak Inem.

"Bukannya kemarin kamu bilang ingin belajar cara memuaskan perempuan."

"Iya bener Mbak, tapi aku pikir itu belajar cara merayu perempuan, hehehe..." Jawab Rayhan salah singkah, membuat Mbak Inem yang juga ternyata salah paham ikut tertawa renyah.

"Ya Allah Ray! Mbak kira kamu tuh cowok playboy, gak taunya masih anak kemarin sore juga. Hihihi..." Tawa Mbak Inem tidak menyangkah, melihat kelakuan Rayhan yang begitu berani menggodanya tetapi ternyata masih sangat polos.

"Jadi gimana Mbak? Tawaran ngentot nya?"

"Kamu ihklas?"

"Ihklas Mbak, sangat ihklas..." Jawab Rayhan semangat.

Mbak Inem memulai pelajaran pertama bagaimana cara menaklukan wanita. Mula-mula Mbak Inem mengajarkan Rayhan cara menatap mata wanita, yaitu dengan cara memandangi matanya selama beberapa detik sembari tersenyum, saat wanita itu menyadarinya Rayhan harus segera menundukkan wajahnya.

Mbak Inem juga memberitahu Rayhan cara menjawab kalau seandainya wanita tersebut bertanya kenapa Rayhan melihatnya.

Tidak hanya itu saja, Mbak Inem juga mengajarkan Rayhan bagaimana cara menyentuh wanita, hingga wanita itu mau berciuman dengannya. Rayhan mendengarnya dengan seksama dengan tatapan antusias.

"Kita peraktek ya." Ajak Mbak Inem, Rayhan menganngguk setuju. "Sekarang kamu tatap mata Mbak." Suruhnya.

Rayhan mulai menatap mata Mbak Inem selama beberapa detik, kemudian ia memalingkan wajahnya ketika Mbak Inem melihatnya.

"Kenapa kamu ngeliatin Mbak kayak gitu?" Tanya Mbak Inem berpura-pura.

Rayhan mengangkat wajahnya, memandang lawan bicaranya seraya tersenyum. "Mbak cantik... Tapi itu di mata ada beleknya." Jawab Rayhan seraya tersenyum, kemudian Rayhan menjulurkan tangannya, membersihkan mata Mbak Inem yang sama sekali tidak ada beleknya.

"Pinter..." Puji Mbak Inem. "Ini salah satu contoh, mungkin kamu bisa melakukan improvisasi sendiri." Jelas Mbak Inem. "Yuk lanjut." Suruh Mbak Inem lagi.

Kemudian Rayhan memegang tangan Mbak Inem, seraya menatap mata indahnya. Dengan perlahan Rayhan mendekatkan wajahnya ke wajah Mbak Inem, hingga Mbak Inem memejamkan matanya. Dan pada saat itulah Rayhan mencium lembut bibir Mbak Inem.

Ia mengecupnya dengan perlahan, tanpa melepaskan pegangan tangannya selama beberapa detik.

"Ray? Kenapa kamu mencium Mbak?"

Rayhan kembali tersenyum. "Karena aku ingin, dan Mbak pantas mendapatkannya." Jawab Rayhan seraya kembali mendekatkan bibirnya kearah bibir Mbak Inem, kemudian kembali menciumnya.

Kali ini Rayhan tidak hanya mengecup tapi juga melumat sembari menunggu reaksi Mbak Inem. Ketika Mbak Inem mulai bereaksi, Rayhan menyusupkan lidahnya ke dalam mulut Mbak Inem, mencari lidah Mbak Inem lalu membelitnya dengan mesrah.

Mbak Inem menuntun tangan Rayhan kearah payudaranya. "Jangan lupa sentuhan." Ingat Mbak Inem di sela-sela ciuman mereka.

Rayhan meremas pelan payudara Mbak Inem, hingga mentornya mulai terbawa suasana yang membuat nafas Mbak Inem tersengal-sengal. Ia tidak menyangkah kalau Rayhan akan sangat cepat belajar.

Cukup lama mereka berciuman, hingga akhirnya Rayhan melepaskan kembali ciumannya.

"Astaghfirullah... Apa yang kamu lakukan? Ini dosa..." Ujar Mbak Inem berpura-pura.

Rayhan tersenyum, sembari membelai pipi Mbak Inem yang merona merah. "Biar dosa itu aku tanggung sendiri." Jawab Rayhan, yang kemudian kembali melumat bibir Mbak Inem dengan perlahan.

Telapak tangan Rayhan kembali menjamah payudara Mbak Inem, kemudian turun membelai paha Mbak Inem dari luar gamisnya.

Elusan tersebut semakin lama semakin naik keatas, ketika Rayhan hendak mengelus paha bagian dalamnya, Mbak Inem menahan pergelangan tangan Rayhan agar tidak menyentuh kemaluannya.

Hmmmpssss.... Hmmmppssss... Hmmmppssss...

Rayhan semakin intens mencium bibir Mbak Inem, sembari memijit pahanya.

Ketika pegangan Mbak Inem merenggang, jemari Rayhan kembali naik keatas menuju selangkangan Mbak Inem, ia memijit memek Mbak Inem dari luar gamis yang ia kenakan dengan perlahan, mengurut dan menggosok-gosok memek Mbak Inem.

Mbak Inem terlihat semakin hanyut akan permainan Rayhan yang begitu rapi.

Sentuhan Rayhan kembali naik keatas, meremas-remas payudara Mbak Inem dengan perlahan. Kemudian kedua jarinya mulai membuka kancing gamis Mbak Inem, hingga kancing terakhirnya.

Rayhan melepas ciumannya, memberikan kesempatan bagi Mbak Inem mengatur nafasnya yang tampak ngos-ngosan.

"Mbak cantik banget..." Puji Rayhan.

Kemudian Rayhan menurunkan gamis Mbak Inem hingga sebatas pinggangnya.

Kemudian Rayhan merangkul, memeluk mesrah Mbak Inem sembari mencium wajahnya. "Behanya aku buka ya?" Pinta Rayhan.

"Jangan Ray, aku malu."

Rayhan tetap melanjutkan aksinya, ia membuka kancing belakang bh Mbak Inem, lalu menyingkirkan beha tersebut dari tubuh Mbak Inem.

"Cukup Ray!" Pinta Mbak Inem, Rayhanpun menghentikan aksinya.

"Gimana Mbak?"

"Sempurna..." Puji Mbak Inem. "Intinya jangan terburu-buru, lakukan dengan perlahan. Oh ya satu lagi, cobalah untuk memuji pasangan kamu sesering mungkin saat kamu mencumbunya." Jelas Mbak Inem

"Siap Mbak."

Mbak Inem berdiri, lalu menggandeng tangan Rayhan, mengajak pemuda itu masuk ke dalam kamarnya. Kemudian Mbak Ine menanggalkan pakaiannya hingga ia telanjang, dan hanya menyisakan jilbab hitamnya yang masih melekat di tubuhnya.

Lalu Mbak Inem berbaring diatas tempat tidurnya seraya menatap Rayhan.

"Cumbu Mbak dengan perlahan! Gunakan nalurimu." Perintah Mbak Inem.

Rayhan menindih tubuh Mbak Inem, ia menatap mata indah Mbak Inem. Kemudian ia mulai mencium kening Mbak Inem, turun ke hidung, kedua pipi nya, lalu berhenti di bibir manisnya. Rayhan melumatnya perlahan, dan semakin lama semakin ganas.

Sementara tangan kirinya mendekap kepala Mbak Inem dan tangan kanannya meremas dan memilin puting Rayhan.

Dengus nafas mereka kian memburu, menandakan api birahi mereka semakin berkobar.

"Bibir Mbak manis..." Puji Rayhan jujur.

Mbak Inem tersenyum kecil. "Hisap tetek Mbak Ray! Hati-hati jangan sampai tergigit putingnya." Pinta Mbak Inem.

"Iya Mbak."

Mata Rayhan turun kebawah, memandangi payudara Mbak Inem yang besar berukuran 36D, berbentu oval seperti buah pepaya. Rayhan mendekatkan bibirnya, mengecup puting Mbak Inem yang berwarna hitam, dengan ujung lidahnya ia menggelitik puting Mbak Inem, membuat wajah Mbak Inem meringis nikmat.

Mulut Rayhan terbuka, melahap payudara Mbak Inem dengan rakus. Ia menghisap nya dari perlahan hingga kuat, menggigit putingnya pelan, membuat Mbak Inem makin belingsattan.

"Oughk... Ya Tuhan! Enak banget sayang..." Racau Mbak Inem.

Kedua tangan Mbak Inem mendekap kepala Rayhan, mengelus-elus rambutnya, hingga punggung Rayhan yang tampak berkeringat.

Secara bergantian Rayhan memanjakan payudara Mbak Inem, kiri dan kanan.

Seraya menikmati payudara Mbak Inem, tangan kanan Rayhan turun kebawah, merabahi paha Mbak Inem, terus naik hingga ke selangkangannya. Rayhan mengusap-usap lembah becek milik Mbak Inem.

"Masukan jari kamu sayang." Pinta Mbak Inem.

Rayhan menyelipkan kedua jarinya, menjelajahi lobang memek Mbak Inem yang terasa begitu seret dan basah.

Sembari menyusu di payudara Mbak Inem, Rayhan menggerakan kedua jarinya dengan cepat, mengobok-obok lobang memek Mbak Inem yang semakin basah oleh lendir kewanitaannya.

Kemudian ciuman Rayhan turun keperut Mbak Inem, terus turun menuju selangkangan Mbak Inem.

Wanita berusia 37 tahun itu merenggangkan kedua kakinya selebar mungkin, memberi akses bagi si pemuda untuk memandangi kemaluannya yang menjanjikan sejuta kenikmatan bagi kamu pria.

Rayhan terpaku memandangi memek Mbak Inem yang di tumbuhi rambut lebat, tetapi tidak menutupi bagian dalam memek Mbak Inem yang berwarna kemerah-merahan.

"Jilat sayang..." Suruh Mbak Inem.

Rayhan membenamkan wajahnya di selangkangan Mbak Inem, mencium aroma khas wanita yang memabukkan. Kemudian ia menjulurkan lidahnya, menjilati memek Mbak Inem naik turun, naik turun, menghisap clitorisnya, kemudian menusuk-nusuk lobang memek Mbak Inem dengan lidahnya.

Kedua paha gemuk Mbak Inem memeluk erat leher Rayhan, membuat pemuda itu tampak gelagapan. Tetapi walaupun begitu Rayhan tetap menjilati memek Mbak Inem.

Rayhan terlihat sangat menikmatinya, begitu pun dengan Mbak Inem.

"Ray... Mbak keluar..." Jerit Mbak Inem.

Kedua tungkai kaki Mbak Inem semakin erat memeluk kepala Rayhan. Tubuhnya menggeliat, merasakan orgasme yang luar biasa.

Creeettss... Creeettss... Creeettss...

Perlahan dekapan kedua kaki Mbak Inem merenggang, membuat Rayhan akhir bisa kembali bernafas legah.

"Tadi itu enak banget! Kamu pintar sayang..."

Rayhan tersenyum senang mendengarnya. "Jadi apakah aku boleh ngentotin Mbak sekarang?" Ucap Rayhan tidak sabar.

"Sini Mbak kulum dulu kontol kamu."

Buru-buru Rayhan menanggalkan pakaiannya hingga telanjang bulat.

Mbak Inem tampak kegirangan melihat ukuran kontol Rayhan yang besar dan panjang, sesuai prediksinya. Dan karena itulah Mbak Inem mau mengajarkan Rayhan bercinta.

"Besar sekali kontol kamu Ray." Puji Mbak Inem

Telapak tangannya seakan tidak mampu menggenggam penuh kontol Rayhan, saking gemuknya. Kemudian Mbak Inem mulai mencium kepala kontol Rayhan, menjulurkan lidahnya, menjilati kepala kontol Rayhan dengan perlahan.

Wajah Rayhan tampak meringis, ini adalah kali pertama Rayhan merasakan oral sex, dan rasanya jangan di tanya sangat nikmat.

Mbak Inem harus membuka selebar mungkin mulutnya agar bisa menghisap kontol Rayhan, dan itupun hanya seperempat dari kontol Rayhan yang bisa ia hisap sanking panjangnya.

Wajahnya maju mundur mengulum kontol Rayhan yang terasa hangat di dalam mulutnya.

"Ougk... Mbak enak banget..." Racau Rayhan.

Sembari mengulum kontol Rayhan, telapak tangan Mbak Inem mengocok batang kemaluannya, membelai kantung testis Rayhan.

Segala teknik oral sex di lakukan Mbak Inem, membuat Rayhan belingsattan.

"Sudah Mbak! Nanti saya keluar."

Fuaaaah....

Air liur Mbak Inem tampak menetes ketika ia melepas kontol Rayhan dari dalam mulutnya.

"Masukan sekarang sayang." Ujar Mbak Inem.

Rayhan menindih tubuh Mbak Inem, sembari mengarahkan terpedonya kearah lipatan bibir kemaluan Mbak Inem. Beberapakali Rayhan mencoba, tetapi selalu gagal membuat Rayhan frustasi.

"Susah sekali Mbak." Rutuk Rayhan.

Mbak Inem menggenggam kontol Rayhan. "Kamu harus tenang, jangan buru-buru." Nasehat Mbak Inem kepada murid sexnya.

Kemudian Mbak Inem menuntun kontol Rayhan ke cela bibir kemaluannya. "Dorong Ray." Suruhnya

Dengan semangat empat lima, Rayhan mendorong kontolnya, membela bibir kemaluan tetangganya, menyeruak masuk ke dalam goa milik istri orang. Mbak Inem memejamkan matanya, sedikit perih tapi nikmatnya luar biasa.

Tanpa di suruh, dengan menggebu-gebu Rayhan menggoyangkan pinggulnya maju mundur maju mundur dengan menggebu-gebu.

"Kamu harus tenang Ray." Pinta Mbak Inem.

Sayang Rayhan mengabaikan peringatan Mbak Inem, jiwa mudanya bergelora, apa lagi ini pengalaman pertamanya, sehingga Rayhan merasa tidak ingin melewatkan nya.

Dan yang di khawatirkan pun terjadi...

"Mbaaak... Aaahkk..."

Tubuhnya bergetar hebat, seiring dengan spermanya yang masuk ke dalam rahim Mbak Inem.

Croootss... Croootss... Croootss...

Mbak Inem menatap kecewa kearah Rayhan, karena ia berharap lebih dari sang perjaga. Tetapi sedetik kemudian ia tersenyum, setelah melihat raut wajah Rayhan yang tampak frustasi.

Jujur mental Rayhan langsung kena, padahal sebelumnya ia sangat percaya diri.

"Ma... Maaf Mbak."

Mbak Inem beranjak, kemudian mencium bibir Rayhan. "Gak apa-apa sayang! Ini pengalaman pertama kamu jadi wajar." Nasehat Mbak Inem.

"Iya Mbak! Ehmm... Apa Mbak Inem masih mau melakukannya lagi?" Tanya Rayhan ragu.

"Tentu saja! Mbak akan mengajarkan kamu sampai bisa menjadi pejantan." Ujar Mbak Inem sembari mengedipkan matanya.

Wajah murung Rayhan kembali sumringah. "Terimakasih banyak ya mbak." Kata Rayhan merasa senang.

"Sekarang pake lagi baju kamu, sebentar lagi Mas Pur pulang." Suruh Mbak Inem.

"Iya Mbak."

Segera Rayhan mengenakan kembali pakaiannya, dan setelah itu ia pamit pulang. Walaupun percobaan pertamanya terbilang gagal, tetapi Rayhan sangat senang karena akhirnya bisa merasakan nikmatnya bercinta. Rayhan merasa sudah tidak sabar menunggu pertemuan kedua mereka, menerima pelajaran selanjutnya dari Mbak Inem.

******

05:15


Lidya

Di kantor Mahkamah Al-fatah tampak seorang pemuda terlihat gelisah. Berkali-kali ia melihat kearah pintu masuk mahkamah, tetapi yang di tunggu-tunggu belum juga menampakkan wujudnya.

Hingga akhirnya yang di tunggu-tunggu pun datang, tampak Lidya memasuki kantor Mahkamah.

Daniel akhirnya bisa tersenyum, memandangi Lidya yang terlihat cantik dengan gamis kimora dress, di padu hijab imstans sewarna dengan warna gamisnya berwarna merah hati.

"Assalamualaikum..."

"Masuk Lidya."

Tanpa di minta Lidya menutup kantor Mahkamah, agar tidak ada orang yang masuk.

Ia berjalan menghampiri Daniel yang sudah lama menunggu ke dagangannya. Gadis cantik itu tersenyum berdiri di depan Daniel.

"Ada perlu apa?" Tanya Daniel.

Lidya tampak mengulum senyum. "Mau ngambil buku gambar tadi Ustad." Jawab Lidya, gadis itu tampak terpesona dengan ketampanan Daniel.

"Gambar apa?"

Lidya terdiam, ia tampak malu-malu untuk mengatakannya.

Daniel mengeluarkan buku Lidya, dan membukanya, memperlihatkan gambar yang di gambar Lidya waktu di kelas tadi pagi.

"Gambar apa ini?" Daniel menunjuk gambar yang mirip kontol.

Lidya menggigit bibir bawahnya. "Ko... Kontol... Ustad." Jawab Lidya malu-malu, senyum Daniel mengembang mendengarnya.

"Apa?"

"Kontol Ustad..." Jawab Lidya.

"Kontol Ustad?" Ulang Daniel.

Lidya mengangguk malu. "Iya, itu kontol... Ustad." Jawab Lidya lagi.

Daniel menyuruh Lidya mendekat. "Coba deket sini." Lidya mendekat berdiri di samping Daniel. "Ustad mau denger sekali lagi." Daniel melingkarkan tangannya di pinggang ramping muridnya.

"Itu kontol Ustad."

Telapak tangan Daniel turun kebawah, ia membelai pantat Lidya yang membulat sempurna.

Karena tidak ada penolakan dari Lidya, Daniel mulai meremas-remas pantat Lidya yang berisi, membuat gadis cantik itu tampak gelisah.

"Kalau ini apa?"

Lidya menatap mata Daniel. "Coba Ustad tebak?" Pancing Lidya.

Daniel pura-pura memperhatikan gambar tersebut sembari meremas pantat Lidya. "Memek... Lidya..." Tebak Daniel.

"Iya benar Ustad."

"Jadi ini benar, memek Lidya."

Lidya mengangguk. "Iya, itu memek..." Lidya terdiam sebentar lalu melanjutkan ucapannya. "Lidya." Tambah Lidya dengan suara mendesah.

"Coba di ulang." Remas Daniel semakin intens di pantat Lidya.

"I-itu memek Lidya Ustad."

"Dan ini..." Daniel membuka resleting celananya, mengeluarkan terpedonya.

Lidya terperangah melihat kearah selangkangan Daniel. "Kon... Kontol Ustad." Jawab Lidya tegang melihat ukuran kontol Daniel yang besar dan gemuk.

"Di ulang."

"Kontol Ustad." Ulang Lidya dengan suara manja.

Daniel baru saja hendak menuntun tangan Lidya kearah kontolnya, tiba-tiba terdengar suara adzan berkumandang, memasuki waktu magrib. Wajah Daniel tampak kecewa.

Ia mendesah pelan sembari melepaskan tangannya dari pantat Lidya.

"Sudah adzan!" Ujar Daniel.

Lidya tersenyum kecil. "Aku lagi halangan ustad." Jadwal Lidya, Daniel tau kalau muridnya itu berbohong. "Kalau Ustadz tidak percaya, periksa sendiri aja." Tantang Lidya membuat Daniel kembali bersemangat.

Ia memundurkan kursinya, lalu meminta Lidya berdiri di depannya dengan fose sedikit menungging, dan Lidya menuruti perintah Daniel.

"Angkat gamis kamu." Suruh Daniel.
Sembari menatap gurunya, Lidya mengangkat gamisnya dengan perlahan. Tampak betis Lidya yang terbalut kaos kaki berwarna putih, terus naik hingga melewati lututnya.

Nafas Daniel memburu, ia terlihat mulai tidak sabar dengan gerakan tangan Lidya.

Sedikit demi sedekit gamis Lidya terangkat lebih tinggi, hingga akhirnya Daniel di buat terperangah dengan pemandangan yang ada di hadapannya saat ini.

Gadis cantik itu ternyata tidak memakai dalaman, sehingga Daniel dapat melihat jelas lipatan bibir memek muridnya itu, yang berbentuk agak lonjong dan sedikit bergelembir, membuat birahi Daniel terasa meledak-ledak, hingga ke ubun-ubun.

Tidak sampai di situ, kedua tangan Lidya menjulur kebelakang, memegangi pahanya. Lalu naik keatas hingga berhenti di pantatnya.

Lalu dengan perlahan ia membuka pipi pantatnya, mempertontonkan lobang memek dan anusnya yang terlihat indah di mata Daniel.

"Benerkan Ustad, saya lagi halangan." Ujar Lidya.

Daniel menjulurkan jarinya, menyentuh bibir kemaluan Lidya yang sudah sangat basah. "Ustad belum memeriksanya, apa Ustad boleh memeriksanya?" Izin Daniel seraya menatap Lidya.

"Boleh Ustad."

Ia membelai kemaluan Lidya dengan jarinya, kemudian dengan perlahan ia menekan jari telunjuknya, menerobos masuk ke dalam memek Lidya yang terasa hangat di jarinya.

"Ughk..." Lenguh Lidya.

"Sepertinya kamu memang belum boleh beribadah." Ujar Daniel seraya mengorek-ngorek lobang kemaluan Lidya yang semakin basah.

"Sssttt... Ustad! Aaahkk..." Lenguh manja Lidya.

Saat sedang asyik-asyiknya bermesraan, tiba-tiba pintu Makamah terbuka. Tampak seorang ahkwat terkejut dengan apa yang ia lihat. Lidya yang kaget buru-buru merapikan pakaiannya, lalu dengan wajah ketakutan ia segera keluar dari dalam kantor Mahkamah.

"Saya bisa jelaskan Ustadza Yenni."

Yenni tersenyum hangat. "Tidak perlu menjelaskan apapun." Jawab Yenni, yang kemudian pergi meninggalkan kantor Mahkamah.

Daniel menjambak rambutnya sendiri dengan wajah tertunduk. Ia menyesali kebodohannya yang lupa mengunci pintu kantor Mahkamah. Atas kebodohannya, rencana KH Sahal bisa terancam gagal.

******

19:00


Farah

Sehabis pulang dari masjid, KH Shamir segera menggendong cucunya yang sedang menangis. Ia mencoba menenangkan cucunya, tetapi tidak berhasil. KH Shamir mengajak cucunya berjalan-jalan di dalam rumahnya.

Segala cara di lakukan KH Shamir agar bisa membuat cucunya diam.

Ia membawa cucunya ke dapur, hendak memeriksa simpanan asi di dalam kulkas, tapi sayang ia tidak menemukannya.

Di tengah rasa frustasinya, tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka. Tampak Farah yang baru selesai mandi menghampiri KH Shamir dalam keadaan hanya mengenakan sehelai handuk putih dan jilbab instan berwarna hitam.

"Kenapa Aldi bi?" Tanya Farah.

KH Shamir terlihat tak nyaman dengan penampilan menantunya. "Sepertinya Aldi lapar Nak." Jawab KH Shamir sembari menundukkan pandangannya.

"Sini biar Farah gendom Bi."

Segera Farah mengambil Aldi dari gendongan KH Shamir, saat KH Shamir hendak menarik tangannya, tanpa di sengaja handuk Farah ikut tertarik membuat handuknya terlepas jatuh ke lantai.

KH Shamir terdiam, sementara Farah terlihat panik karena sambil menggendong putranya.

"Ya Allah, handukku." Lirih Farah.

KH Shamir tetap diam, ia memandangi sekujur tubuh telanjang menantunya. Dari atas payudara Farah yang berukuran 34D dengan puting besar berwarna merah muda, hingga bagian memek Farah yang terlihat bersih, karena Farah rajin mencukur rambut kemaluannya.

Saat mata KH Shamir bertemu dengan tatapan mata Farah, di situlah KH Shamir sadar, kalau ia baru saja melakukan kesalahan.

"Ya Allah, Abi..."

Ingin sekali KH Shamir meminta maaf, tetapi bibirnya terasa keluh.

Belum sempat ia mengatakan sepatah pun, Farah sudah berjalan menjauh darinya. Lagi-lagi KH Shamir termenung memandangi getaran pantat Farah yang bergelombang.

*****
end part 6
 

Laras

Selepas kepergian KH Umar, Laras lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bersantai. Ia meletakan kedua kakinya diatas meja, sementara tangannya berulang kali mengganti channel televisi berukuran 41 inc. Entah kenapa, ia merasa tidak tenang.

Sebelum KH Umar pamit pergi, Laras sempat membaca pesan dari Istri muda KH Umar di hpnya. Di mana sang Istri muda meminta KH Umar untuk segera pulang ke rumahnya.

Sebagai seorang wanita sudah sewajarnya kalau Laras merasa cemburu. Apa lagi KH Umar terkesan lebih mementingkan Istri mudanya dari pada dirinya.

Melihat mangsanya kini sendirian, tentu saja Daniel tidak akan membuang kesempatan yang ada. Ia membuatkan segelas jus jeruk yang sudah ia campur dengan obat perangsang yang baru saja ia dapatkan dari KH Sahal. Menurut KH Sahal, obat tersebut lebih kuat dari yang sebelumnya.

Daniel segera menghampiri Laras dan meletakan segelas jus di samping kaki Laras.

Laras yang baru sadar dengan kehadiran Daniel, buru-buru menurunkan kakinya. Ia merasa tidak sopan, menaikan kedua kakinya diatas meja, sementara di dekatnya ada seorang pria. Apa lagi dirinya adalah seorang Ahkwat yang harus menjaga sopan santunnya.

"Silakan di minum Amma." Ujar Daniel.

Laras melihat senang kearah jus yang baru saja di berikan Daniel untuknya. "Tau aja kamu Dan, kalau Amma lagi haus." Ujar Laras.

Laras mengambil gelas tersebut dan tanpa merasa curiga ia meminum jus tersebut cukup banyak.

"Ahkk... Lega sekali rasanya." Gumam Laras.

"Sudah gak sedih lagikan Amma?" Ujar Daniel, membuat Laras keheranan. Bagaimana Daniel bisa tau kalau dia lagi sedih.

"Tau dari mana kamu?"

Daniel tersenyum hangat. "Dari tadi aku perhatikan Amma melamun aja, sejak kepergian KH Umar ke rumah Istri mudanya." Ujar Daniel, ia sengaja menekankan kata Istri muda untuk menyentil hati Laras.

"......" Laras tak mampu berkata-kata.

"Kalau Amma butuh teman cerita, aku siap kok untuk menjadi pendengar yang baik." Ujar Daniel. "Oh ya Amma, gimana kakinya? Apa masih sakit?" Tanya Daniel, membuat Laras terdiam sejenak

Wanita berusia 36 tersebut sempat melupakan kejadian kemarin, di mana ia di buat orgasme oleh pemuda yang ada di sampingnya, dan parahnya ia orgasme di dekat putranya. Sebagai seorang wanita, ia merasa malu setiap kali mengingat kejadian sore itu, untunglah Azril tidak memberitahu Suaminya atas kejadian sore itu ke KH Umar.

Tetapi ia juga tidak bisa memungkiri kalau beberapa kali ia terangsang setiap kali mengingatnya. Bahkan jauh di dalam dirinya ia ingin kembali mengulanginya.

"Sepertinya sudah agak mendingan Dan!" Jawab Laras pelan, ia sangat malu sekali.

Daniel mengangguk pelan. "Biar aku periksa Amma!" Daniel berlutut di depan Laras, lalu memegangi pergelangan kaki Laras yang memang sudah tidak bengkak lagi seperti saat pertama kali ia terjatuh.

"Eh..." Laras tersentak kaget.

"Iya, ini sudah agak mendingan Amma!" Lirih Daniel, sembari memijit lembut pergelangan kaki Laras.

Sentuhan jemari Daniel, membuat tubuh Laras merinding. Ia merasakan sensasi yang sebelumnya juga pernah ia rasakan, hanya saja kali ini terasa berkali-kali lipat dari sebelumnya. Bahkan belum apa-apa, vaginanya sudah terasa basah.

Laras yang tadinya hendak menghentikan aksi Daniel, mendadak diam seribu bahasa, ia membiarkan pemuda itu menyentuh pergelangan kakinya.

"Astaghfirullah! Ada apa denganku?"Gumam Laras di dalam hati, sembari menggigit bibir bawahnya.

Pijitan Daniel naik keatas, sedikit menyingkap gamis Laras hingga ke betisnya. Dengan lincahnya, jemari Daniel yang kasar memijit betis Laras, sembari melirik wajah Laras, melihat perubahan ekspresi wajah Laras yang mulai tidak tenang, karena obat perangsang yang mulai bekerja, membangkitkan birahi Istri dari salah satu pimpinan pesantren.

Daniel semakin berani, ia menyingkap labih banyak gamis berwarna merah yang di kenakan oleh Laras hingga melewati lututnya.

"Dan!"

"Tahan ya Amma! Biar kakinya sembuh total." Ujar Daniel beralasan, sementara tangannya masuk semakin dalam menyentuh paha mulusnya. "Kenapa Amma mau di madu sama KH Umar?" Tanya Daniel, seraya memijit kaki Laras.

"Tidak ada wanita di dunia ini yang mau di madu Daniel." Jawab Laras.

"Jadi apa alasan Amma mau di madu."

Laras mendesah pelan. "Amma hanya mau berbakti terhadap Suami." Jawab Laras, sembari sesekali meringis menahan geli.

"Walaupun harus mengorbankan perasaan Amma?" Pancing Daniel. "Maaf Amma, bukankah seorang Suami harus berlaku adil terhadap istri-istrinya?" Sambung Daniel.

"Kenapa kamu bilang begitu?"

"Saya merasa KH Umar tidak bisa bersikap adil, buktinya KH Umar lebih suka tinggal di rumah Istri mudanya, ketimbang tinggal bersama Amma, padahal Amma yang membesarkan dan merawat anak-anaknya dari mendiang Istri pertamanya." Jawab Daniel, membuat sakit hati Laras kembali kambu.

Lagi-lagi Laras terdiam, mencerna setiap ucapan dari Daniel. Apa yang di katakan Daniel memang benar, ia sudah terlalu banyak bekorban, dari merawat anak-anaknya KH Umar, hingga rela berbagi ranjang dengan wanita lain. Tapi sayangnya KH Umar sama sekali tidak bisa menghargainya, bahkan untuk berbuat adilpun sepertinya tidak bisa.

Seperti yang di katakan Daniel, Laras tidak hanya sekedar membutuhkan lahirnya terpenuhi, tapi Laras juga butuh batinnya terpenuhi.

Tubuh Laras menggeliat, merasakan geli di sekujur tubuhnya. "Daniel! Aaahkk... Amma gak tahan!" Lirih Laras, ia sudah tidak sanggup menahan gejolak birahinya yang semakin terbakar.

"Nanti juga enak kok Amma!" Ujar Daniel penuh arti.

Laras menatap sayu kearah Daniel, dan nafasnya terdengar makin memburu ketika jemari Daniel menyentuh selangkangannya. Ia yakin sekali, kalau Daniel juga menyadari kalau dirinya saat ini sudah sangat terangsang karena sentuhan Daniel.

Dadanya naik turun mengikuti irama nafasnya, tatkala jari Daniel menyentuh tepat di bagian gundukan vaginanya. Tidak ingin hanyut akan kenikmatan semu yang di berikan keponakannya, Laras berusaha menahan pergelangan tangan Daniel.

Bukannya berhenti, Daniel malah menyingkap gamis Laras lebih tinggi lagi, dan tampaklah kain segitiga berwarna putih berenda yang di kenakan Laras.

"Daniel! Kamu..." Lirih Laras.

Daniel tersenyum tipis, ia dengan sengaja membelai gundukan vagina Laras. "Saya tau, kalau Bu Haja juga menginginkannya. Kalau KH Umar tidak bisa, biar saya yang membantu Amma." Ujar Daniel, sembari membuka kedua kaki Laras.

"Jangaaaaan Dan! Astaghfirullah."

Daniel menangkap tangan Laras yang mencoba menghalangi aksinya. Sementara tangan kirinya, mengusap-usap kemaluan Laras.

Tubuh Laras menggelinjang, seiring dengan celana dalamnya semakin membanjir. Pinggulnya tersentak-sentak seiring dengan orgasme yang tiba-tiba saja datang tanpa di harapkan.

"Oughkk..." Lenguh Laras.

Seeeeeeeeeerrrr....

Daniel tersenyum puas melihat tubuh Laras yang terkulai lemas setelah orgasmenya barusan.

Ia berdiri dan membuka celananya, mengeluarkan senjata andalannya di hadapan Laras, Istri dari seorang Kiayi yang sangat di hormati di lingkungan pesantren itu. Laras bergidik ngeri melihat penis Daniel yang berukuran sangat besar. Kepala penisnya yang berbentuk jamur terlihat sangat lebar sekali.

"A-apa-apaan kamu Dan!" Protes Laras.

"Saya tau Amma, kalau KH Umar sangat jarang menyentuh Amma! Saya hanya ingin membantu Amma, menggantikan peran KH Umar." Ucap Daniel.

"Astaghfirullah Daniel..."

Daniel naik keatas sofa, dia menyodorkan penisnya kearah Laras. "Amma berhak bahagia, Hisap kontol saya Nyonya Haja Laras Umar." Ujar Daniel, menyebut gelar dan nama suami Laras.

"Jangan gila kamu Daniel." Bentak Laras.

"Saya tau Amma sakit hati dengan kelakuan KH Umar, saya hanya ingin membantu Amma, membalaskan sakit hati Amma."

Daniel memegangi kepala Laras, dan memaksanya menghisap penisnya. Laras menggerakan kepalanya, menghindari kemaluan Daniel yang berulang kali menempel di bibir merahnya.

Tidak kehabisan akal, Daniel memencet hidung Laras hingga Istri dari KH Umar itu tak bisa bernafas.

Dengan satu dorongan, penis Daniel masuk kedalam mulut Laras. "Hmmmpss..." Daniel menekan kepala Laras hingga penisnya masuk hingga ke dalam tenggorokan Laras.

Wajah cantik Ustadza Laras memerah, karena kesulitan bernafas. Apa lagi rambut kemaluan Daniel menusuk hidungnya. Tapi anehnya, Laras malah merasakan sensasi nikmat didalam dirinya.

Setelah yakin kalau mangsanya semakin tidak berdaya, barulah Daniel menggerakan pinggulnya maju mundur menyodok mulut Ustadza Laras, yang biasanya selalu mengucapkan Kalam Tuhan. Tapi kali ini di gunakan untuk memuaskan hasrat birahinya.

"Nikmat sekali Haja Laras! Oughkk... Bodoh sekali KH Umar, meninggalkan wanita secantik Amma, demi wanita lain." Erang Daniel.

Dia membelai kepala Laras yang tertutup jilbab berwarna merah, sewarna dengan gamisnya.

Semakin lama, Laras mulai melemah, ia semakin pasrah menerima kemaluan Daniel di dalam mulutnya. Laras sendiri juga tidak mengerti kenapa ia begitu mudah menyerah menghadapi syahwatnya. Dan jujur saja, wanita alim itu mulai menikmati penis Daniel.

Daging kemaluan Daniel terasa begitu keras dan asin. Ada sensasi yang sulit di gambarkan ketika kepala penis Daniel menyodok tenggorokannya.

Selain itu, ada kebanggan di dalam dirinya, setelah Daniel mengakui kalau dirinya lebih baik ketimbang Istri muda Suaminya, yang membuat Laras mulai berfikir ingin membalas dendam.

Plooopss...

Daniel mencabut kemaluannya dari dalam mulut Laras. "Oughkk... Nikmat sekali!" Racau Daniel.

"Houks... Houks... Houks..." Berulang kali Laras batuk.

"Buka pakaiannya Bu Haja!" Suruh Daniel.

Laras menggelengkan kepalanya ketika Daniel memaksa membuka pakaiannya. Dengan sedikit harga diri dan iman yang masih menempel di hatinya, ia berusaha meronta minta di lepaskan.

Tetapi Daniel tidak kalah cekatannya, ia merobek gamis yang di kenakan Laras, hingga bagian depan gamisnya terbuka dan memperlihatkan sepasang gunung kembar yang berukuran 36E, bersembunyi di balik bra-nya. Sangat besar untuk ukuran wanita normal pada umumnya.

"Besar sekali Bu Haja! Jauh lebih besar dan indah di bandingkan payudara Istri muda KH Umar." Ujar Daniel, lagi-lagi membandingkan dirinya dengan Istri muda KH Umar yang membuat hatinya makin dilema.

Laras menggelengkan kepala. "Jangan Dan! Amma mohooon, Amma malu Dan." Melas Laras. Ia merasa malu di lihat Daniel dalam keadaan setengah telanjang, walaupun ini bukan kali pertama Daniel melihat dirinya dalam keadaan seperti ini, tapi tetap saja Laras merasa malu, apa lagi Daniel berulang kali memanggilnya dengan nama gelarnya.

"Kenapa harus malu! Tubuh Amma Haja sangat indah, dasar pria tua bangka itu saja yang tidak tau diri. Sudah memiliki Istri yang sempurna, masih saja melirik wanita lain." Ujar Danie, entah Laras harus merasa senang atau marah mendengar perkataan Daniel.

Wajah Laras merona merah, ia merasa sangat berdosa, tapi ia mengakui apa yang di katakan Daniel memang benar. Apa kurangnya dirinya? Hingga Suaminya tega berpoligami. Laras menggigit bibirnya, menahan gemuruh di dadanya.

Daniel menangkap payudara Laras, dan merobek behanya hingga putus.

"Auuuww..." Laras terpekik kencang.

Kedua tangan Daniel mengepal payudara Laras. Dia meremasnya dengan sangat kasar, hingga meninggalkan bekas merah di kedua payudara Laras.

Sembari mendekap tubuh Laras, dia melumat bibir Laras. Memaksa wanita berusia 36 tahun itu untuk membalas lumatan bibirnya. Dengan setengah terpaksa Laras membalas lumatan Daniel, dan harus diakui, ciuman Daniel membuat Laras terasa melayang.

Sejenak Laras lupa kalau dirinya saat ini tengah di perkosa oleh keponakannya sendiri. Sentuhan Daniel terlalu nikmat untuk di abaikan.

"Gimana Amma Haja, enak?" Goda Daniel.

Laras diam sejenak tak tau harus mengatakan apa. "Ini dosa Dan! Oughkk..." Tubuh Laras tersentak ketika ia merasakan jari tengah Daniel menyusup masuk ke dalam celana dalamnya, lalu menyeruak masuk ke dalam vaginanya.

"Apa Bu Haja, saya tidak dengar." Ledek Daniel.

"Danieeeel.... Aahkk... Ini dosa..." Jerit Laras ketika Daniel semakin cepat mengocok kemaluannya.

Tubuh indah Laras melinting seperti ikan yang kehabisan air. Nafasnya tersengal-sengal, sembari mengeluarkan suara erangan erotis dari bibir seksinya.

Sementara di bawah sana, Tidak hanya satu jari, melainkan ada dua jari yang tengah mengobok-obok vaginanya, dan tampak cairan pelumas milik Laras keluar semakin tidak terbendung.

"Ulangi Bu Haja! Saya tidak dengar."

Pinggul Laras tersentak-sentak menyambut kedua jari Daniel. "Ini dosa Dan... Dosaaa... Aahkk... Aaahkk... Daniel! Hentikaaaan..." Melas Laras, kepalanya terbanting ke kiri dan kanan.

Sloookss... Sloookss... Sloookss... Sloookksss.... Plooookss.... Sloookksss... Sloookksss....

"Aaaarrrttt...." Jerit Laras.

Creeetsss....

Creeetsss....

Creeetsss....

Daniel mencabut jarinya dari dalam selangkangan Laras. Lalu mengangkatnya dan memperlihatkannya kepada Laras yang menatap sayu kearah jari Daniel yang bermandikan lendir cintanya. Ia tidak menyangkah, kalau rasanya akan senikmat itu.

"Ulangi lagi." Bisik Daniel.

Dengan nafas terengah-engah Laras berucap. "Ini dosa Dan! Dosa." Bisik Laras, nafasnya terputus-putus, seakan ia saat ini tengah terjebak oleh kepulan asap yang membuatnya sulit bernafas.

Daniel tersenyum puas mendengarnya. Dia kembali turun dari atas sofa, lalu menarik lepas celana dalam yang di kenakan Laras. Tanpa sadar Laras mengangkat pinggulnya, membantu Daniel melepas celana dalamnya yang telah sangat basah. Daniel sempat menjilati kemaluan Laras selama beberapa detik.

Setelah di rasa cukup, Daniel kembali mengangkangkan kedua kaki Laras. Dia memposisikan kemaluannya di depan bibir kemaluan Laras yang telah becek.

"Dan!" Lirih Laras.

Daniel menggesek-gesek kemaluannya di bibir vagina Laras. "Nikmati saja Bu Haja! Buang jauh-jauh iman Bu Haja untuk beberapa waktu kedepan." Ujar Daniel, seraya tersenyum manis yang memabukan.

"Pelan-pelan." Kata Laras pasrah.

Daniel sangat senang mendengarnya, dia menekan penisnya menerobos masuk ke dalam senggama milik Istri KH Umar, salah satu pimpinan Ma'had Al-fatah. Wajah Daniel mengeras, merasakan jepitan dinding vagina Laras yang memeluk ketat batang kemaluannya yang berukuran jumbo.

Hal yang hampir sama juga di rasakan Laras. Ia merasa, kemaluan Danial sangat keras dan hangat.

"Oughkk... Dan! Aaahkk..."

"Memek Bu Haja nikmat sekali! Sempit..." Komentar Daniel.

Dengan gerakan perlahan Daniel menggerakan pinggulnya maju mundur, menyodok vagina Laras. Wajah cantik Laras yang merona merah, menambah suasana menjadi lebih erotis. Daniel menundukkan wajahnya, dan menjilati payudara Laras yang membusung ke depan.

Gesekan kedua kelamin mereka, di tambah dengan hisapan di payudaranya, membuat Laras kembali bergairah. Ia mendesah-desah random, menikmati perzinahannya.

Sejenak Laras benar-benar melepaskan imannya, melupakan pelajaran agama yang pernah ia pelajari, demi mendapatkan kenikmatan duniawi yang hanya sementara, kenikmatan sesat yang hanya akan mengantarkan dirinya menuju jurang neraka.

"Bu Haja keluaaaar Daan...." Teriak Laras, tanpa sadar memanggil dirinya sendiri dengan gelar yang ia dapat beberapa tahun yang lalu.

Daniel mencabut penisnya, dan membiarkan wanita alim itu melepaskan dahaga yang sudah lama terpendam di dalam dirinya. Ia menata Laras yang menggeliat keenakan.

Seeeeeeeeeerrrrr.....

"Oughk... Ya Tuhan!" Erang Laras.

Daniel mencium kening Laras, lalu ia memutar tubuh Laras hingga menungging.

Dari belakang ia menusukan batang kemaluannya ke dalam memek Laras yang kini terasa lebih licin, hingga mempermudahnya melakukan penetrasi. Sementara Laras hanya pasrah, membiarkan pemuda itu menyalurkan hasrat binatangnya.

Sembari membelai punggung Laras yang bermandikan keringat, Daniel menggoyang pinggulnya, menyodok-nyodok memek Laras.

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

Suara benturan antara selangkangan Daniel dengan memek Laras terdengar nyaring, menambah suasana menjadi semakin erotis.

Hampir dua puluh menit mereka bercinta, hingga akhirnya mereka berdua secara bersamaan mencapai puncaknya.

******


Nadia

Suasana pagi yang cerah, memang paling pas untuk menjemur pakaian. Dan itulah yang sedang di lakukan oleh Nadia. Seorang Ustadza berparas cantik, dengan bentuk tubuh yang sempurna. Beberapa kali ia menjadikan tangannya sebagai topi, untuk mengurangi hawa panas yang menerpa wajahnya.

Sialnya ketika ia hampir selesai menjemur seluruh pakaiannya, tiba-tiba tali jemurannya putus, alhasil semua pakaiannya jatuh ke tanah.

"Astaghfirullah...." Keluh Nadia.

Sejenak ia menghela nafas, dari raut wajahnya terpancar kelelahan.

Dan pada saat bersamaan Pak Eddi yang biasa melewati rumah Nadia, melintas di depan rumahnya. Ia melihat kearah Nadia yang sedang mengambil kembali pakaiannya.

"Assalamualaikum Bu Ustadza."

Nadia tersenyum kecil. "Waalaikumsalam Pak! Baru mau pergi?" Tanya Nadia hanya sekedar berbasa-basi, sama halnya dengan Pak Eddi.

"Iya Bu." Jawab Pak Eddi. "Itu kenapa Bu Ustadzah?" Tunjuk Pak Eddi.

Wajah Nadia tampak cemburut. "Tali jemuran saya putus Pak! Padahal hampir selesai tadi jemurnya." Keluh Nadia tampak kesal.

"Oalah... Biar saya bantu perbaiki ya Bu."

"Gak usah Pak! Takut merepotkan." Tolak Nadia halus, walaupun sebenarnya ia sangat membutuhkan bantuan dari Pak Eddi.

Pria tersebut tetap saja menghampiri Nadia. "Ngerepotin gimana Bu? Namanya tetangga ya harus saling membantu." Ujar Pak Eddi seraya tersenyum, memamerkan giginya yang tidak rata.

"Kalau begitu terimakasih ya Pak!"

"Sama-sama Bu Ustadza!" Jawab Pak Eddi senang. "Bu Ustadza punya tali cadangan?" Tanya Pak Eddi lagi sembari melepas ikatan tali yang ada di tiang jemuran.

"Ada Pak, sebentar ya."

Nadia segera beranjak pergi hendak mengambil tali cadangan yang ada di rumahnya.

Sejujurnya Nadia merasa sangat beruntung memiliki teman seperti Pak Eddi, karena beliau selalu ada untuk membantunya melakukan pekerjaan yang memang seharusnya di lakukan kaum Adam. Sayangnya Suaminya yang terlalu sibuk bekerja tidak dapat ia andalkan, dan selama ini ia selalu mengandalkan Pak Eddi.

Setelah menemukan talinya, Nadia kembali menemui Pak Eddi yang sedang memungut pakaiannya yang tadi jatuh ke tanah ketika tali jemurannya putus.

Tanpa sadar Pak Eddi malah memungut dalaman Ustadza Nadia yang berwarna hitam dengan renda di atasnya dan sebuah pita kecil di bagian tengah atasnya.

Diam-diam Pak Eddi memandangi celana dalam Nadia, sembari membayangkan Nadia yang sedang mengenakan dalaman tersebut. Tanpa Pak Eddi sadari, Nadia sudah berada di belakangnya.

"Ehem..."

Pak Eddi melompat kaget melihat kehadiran Ustadza Nadia yang berada di dekatnya. "Ayo, Pak Eddi mikir apa?" Goda Ustadza Nadia, membuat Pak Eddi salah tingkah.

"Enggak ada kok Bu Ustadza." Jawab Pak Eddi cepat.

Nadia menatap Pak Eddi curiga. "Yang bener? Gak lagi mikir jorokkan?" Tembak Nadia, membuat Pak Eddi tak lagi bisa lagi bisa berbohong.

"Hehehe... Maaf Bu Ustadza."

"Dasar... Dalaman itu sudah ada yang punya." Goda Nadia, membuat Pak Eddi makin salah tingkah.

"I-ini Bu Ustadza." Pak Eddi menyerahkan dalaman tersebut kepada Nadia. "Aku pasangkan dulu ya, tali jemuran ya." Sambung Pak Eddi, Nadia memberikan tali yang ada di tangannya.

Di saat Pak Eddi memperbaiki tali jemurannya, diam-diam Nadia memperhatikannya dari jauh. Wajah Pak Eddi memang kalah tampan di bandingkan dengan Suaminya, hanya saja Pak Eddi sangat baik kepadanya, dan sangat perhatian, tidak hanya kepada dirinya tapi juga terhadap anaknya Helena.

Andai ia mengenal Pak Eddi lebih dulu, mungkin ia akan memilih Pak Eddi menjadi Suaminya.

"Astaghfirullah... Apa ku pikirkan." Gumam Nadia merasa bersalah.

Segera Nadia kembali masuk ke dalam rumahnya, untuk membuatkan segelas kopi untuk Pak Eddi yang sudah mau membantunya.

*****

Menjelang Dzuhur, saat matahari sedang panas-panasnya. Tampak sebuah mobil SUV berjalan perlahan menelusuri jalan pesantren, menuju gerbang pesantren al-fatah. Kemudian mobil tersebut melintir ke kiri dan berhenti di rumah kediaman KH Shamir.

Tampak KH Shamir tengah menyirami tanaman di depan rumahnya.

Seorang sopir keluar dari dalam mobil, dan membukakan pintu belakang mobil. Tampak KH Umar keluar dari dalam mobilnya

"Kamu tunggu di sini ya."

"Iya kiayai."

KH Umar memasuki pekarangan rumah tersebut tampak KH Shamir yang sedang merawat tanaman bunganya, melihat kearah KH Umar.

"Assalamualaikum..."

"Waalaikumsalam, Mau pergi lagi Mas?" Tanya KH Shamir.

KH Umar tersenyum, lalu mereka berdua duduk di depan perkarangan rumah KH Shamir. "Rasanya capek sekali bolak balik seperti ini." Keluh KH Umar.

"Namanya juga berjuang demi Agama Mas."

"Iya kamu benar."

KH Umar dan KH Shamir memang bukanlah saudara, seperti KH Hasyim dengan KH Sahal. Tetapi KH Shamir salah satu orang yang berjasa, bersama KH Umar dalam membesarkan nama pondok pesantren Al-fatah, sehingga wajar kalau mereka berdua sudah dianggap seperti saudara sendiri oleh KH Hasyim. Ketika kita membicarakan Al-fatah, maka kita akan membicarakan keempat tokoh penting tersebut.

Selama ini KH Umar memang sering main ke rumah KH Shamir untuk bertukar pikiran, dan tempat ia meminta pendapat. Terutama ketika KH Hasyim mulai sibuk dengan urusan politik.

Dan tentunya KH Shamir dengan senang hati membantu KH Umar dalam menyampaikan ide-idenya, atau dalam memberi nasehat.

"Ngomong-ngomong ada apa Mas kemari?"

KH Umar menghela nafas perlahan. "Ini masalah Daniel Mas." Jawab KH Umar kepada KH Shamir. "Entah kenapa saya merasa berdosa Mas! Seperti yang Mas tau, Daniel itu buronan polisi, dan saya malah menyembunyikannya di rumah saya." Jawab KH Umar yang tampak gelisah.

"Ehmmm...." Giliran KH Shamir yang tampak menghela nafas. "Kalau tidak salah kasusnya human trafficking dan narkotika." Ujar KH Shamir.

"Sebenarnya saya merasa khawatir Mas, saya takut santri kita akan menjadi korban. Walaupun Daniel itu adalah keponakan saya sendiri, tapi penjahat tetaplah penjahat Mas."

"Apa alasan Mas Sahal meminta Mas Umar menyembunyikan Daniel?" Heran KH Shamir.

"Katanya karena Daniel sudah berjanji ingin bertaubat." Jawab KH Umar dengan suara yang terdengar meragukan.

"Kalau benar-benar ingin bertaubat seharusnya ia bersedia menerima hukuman atas perbuatannya, bukan malah bersembunyi." Heran KH Shamir, dengan keputusan KH Sahal.

"Bagusnya saya bagaimana Mas?"

KH Shamir diam sebentar sembari berfikir. "Memang benar kita tidak boleh menilai seseorang itu dari masa lalu, tetapi tidak ada salahnya kalau kita berhati-hati. Menurut saya lebih baik Daniel jangan tinggal di rumah Mas Umar, apa lagi di rumah ada Mbak Laras dan Aurel." Ujar KH Shamir.

"Aku juga agak khawatir, jadi menurut Mas enaknya Daniel tinggal di mana?"

"Tempatkan saja Daniel di kantor Makamah! Di sanakan ada ruangan yang tidak terpakai. Saya pikir Daniel tidak akan keberatan."

"Akan saya pertimbangkan Mas. Apa perlu saya bicara dengan Mas Sahal tentang masalah ini."

KH Shamir menggelengkan kepalanya. "Mas Sahal akhir-akhir ini agak aneh! Aku merasa ada yang tidak beres dengan beliau." Saran KH Shamir, KH Umar tampak manggut-manggut.

Tiba-tiba seorang wanita keluar dari dalam rumah sembari membawa nampan minuman. Ia meletakan minuman tersebut diatas meja.

"Silakan di minum kiaya." Ujar Farah.

"Terimakasih ya."

Selepas kepergian Farah menantu KH Shamir, mereka berdua kembali melanjutkan obrolan mereka. Tidak hanya membahas tentang Daniel, tapi mereka juga membahas tentang permasalahan di pesantren yang sepertinya krisis ke pemimpinan semenjak KH Hasyim sibuk berpolitik.

Sementara KH Sahal yang di beri amanah untuk menggantikan KH Hasyim, terlihat tidak begitu serius dalam menangani setiap masalah yang ada di pesantren, khususnya dalam menangani kenakalan santri, terkesan ada pembiaran oleh KH Sahal.

Bahkan kasus pemerkosaan yang di alami seorang santri dan Ustadza, berusaha ia tutupi dari publik, yang membuat orang tua santri murka.

Sementara itu di balik dinding rumah, tampak Farah diam-diam menguping pembicaraan mereka, smebari sibuk mengirimkan sebuah pesan ke KH Sahal.

*****


Salma

"Mas yakin kita mau ke sana?" Tanya seorang wanita yang duduk di samping seorang yang sedang mengendarai sebuah mobil SUV berwarna metalik.

"Tentu saja Dek! Siapa tau kali ini berhasil."

"Kalau kali ini tetap gagal, aku berharap Mas Furqon tidak lagi memaksaku pergi ke dukun." Tegas Salma, karena sejujurnya ia sama sekali tidak percaya dengan hal-hal berhubungan dengan gaib.

"Mas janji, tidak akan memaksamu lagi." Jawab Furqon berjanji.

Salma menyenderkan kepalanya di kaca mobil, sembari memandangi pepohonnan yang berjejer di sepanjang jalan. Entah kenapa Salma merasa ada yang mengganjal di hatinya, sejak dari rumah ketika mereka belum berangkat.

Hampir satu jam lamanya mereka menempuh perjalanan, akhirnya mobil mereka berhenti di depan sebuah rumah yang terlihat sederhana.

Di depan rumah tersebut di jaga oleh dua ekor anjing yang cukup besar, membuat Salma ketakutan.

Tok... Tok... Tok...

"Assalamualaikum..."

"Masuk." Terdengar suara berat seorang pria.

Segera Furqon mengajak Istrinya masuk ke dalam rumah tersebut. Tampak seorang pria tua duduk bersila di depan meja kecil yang terdapat dua dupa yang sedang terbakar.

Saat pertama kali masuk, Salma dapat mencium aroma melati yang begitu kental, dan aroma kemenyan yang membuat hidung Salma tidak nyaman.

"Silakan duduk." Suruhnya.

Mereka berdua duduk bersila di depan sang dukun yang sedang memainkan kerisnya diatas asap dupa. "Siapa nama kalian berdua?" Tanya sang Dukun.

"Saya Furqon, ini Istri saya Salma Mbah." Jawab Furqon agak gugup.

Sembari mengelus-elus janggutnya, ia menatap Furqon dan Salma secara bergantian, membuat Salma merasa tidak nyaman.

"Apa tujuan kalian kemari karena ingin memiliki momongan?" Tanya sang Dukun. Furqon tampak terkejut mendengar ucapan sang Dukun.

"Bener Mbah, bagaimana Mbah bisa tau."

Sang dukun kembali menatap Salma. "Saya bisa melihat adanya aura jahat di wajah Istrimu. Sepertinya ada yang dendam dengan Istrimu, hingga membuatnya sulit untuk hamil." Jelas sang Dukun meyakinkan, membuat Furqon makin percaya.

"A-apakah Mbah bisa membantu kami?"

Dukun tersebut mengangguk. "Tentu saja bisa, hanya saja ada syaratnya." Jelas sang Dukun tenang.

"Apa syaratnya Mbah."

"Yang pertama harus percaya? Saya lihat Istri kamu sepertinya meragukan kemampuan saya, tapi saya bisa memakluminya, karena kebanyakan orang berfikir kalau pergi ke dukun itu sesat." Ujar sang Dukun yang tampak bisa membaca isi hati seseorang.

Furqon menyikut lengan Istrinya, sembari memandangnya marah. "Istri saya percaya kok Mbah, iyakan sayang?" Ujar Furqon.

Dengan terpaksa Salma mengiyakan. "I-iya Mbah, awalnya saya memang ragu, tapi sekarang saya sangat percaya dengan kemampuan Mbah." Jawab Salma.

"Bagus... Bagus... Bagus..."

"Syarat kedua apa Mbah?" Tanya Furqon tidak sabar.

"Yang kedua Nak Salma harus mengikuti ritual sampai selesai, satu saja tidak di ikuti maka bukan hanya kalian tidak dapat keturunan, tetapi keluarga kalian akan tertimpa sial seumur hidup." Jelas sang Dukun, membuat Furqon terkejut mendengarnya.

"Kami setuju Mbah, dan siap melakukan semua ritualnya." Jawab Furqon yakin.

Sang dukun beralih ke Salma. "Bagaimana Nak Salma Apa kamu sanggup? Karena yang akan menjalani ini semua adalah Nak Salma." Ujar Sang dukun lagi.

"Kalau boleh tau, ritual apa saja yang harus saya kerjakan Mbah?" Tanya Salma.

"Yang pertama kalian harus mengucap sumpah, yang ke dua saya akan mensucikan tubuh Nak Salma terlebih dahulu, yang ketiga saya akan menanamkan sukma saya ke tubuh Nak Salma sampai Nak Salma hamil." Jelas sang Dukun.

"Dek... Please..." Mohon Furqon.

Salma yang awalnya hendak meminta penjelasan lebih detail lagi, akhirnya terpaksa menyetujuinya. "Iya Mbah, saya siap." Jawab Salma.

"Bagus! Mbah akan mempersiapkannya terlebih dahulu."

Kemudian sang Dukun tampak mulai membaca mantra di dalam gelas berisi air, kemudian ia memercikkan air tersebut ke dalam wadah kemenyan, hingga asap kemenyan tersebut semakin banyak.

Terakhir ia menyembelih ayam hitam dan menumpahkan darahnya ke dalam wadah kemenyan, lalu menaburkan bunga warna warni.

"Sekarang semuanya sudah siap! Sekali lagi Mbah tanya, apakah kalian sudah siap mengikuti semua prosesnya" Tanya sang Dukun.

Dengan mantab keduanya menganggukkan kepala, kemudian sang dukun meminta mereka berdua untuk mengucapkan sumpah, sembari mengibaskan asap kemenyan kearah wajah mereka berdua.

Setelah ritual pertama selesai, sang dukun berdiri sembari memberikan Salma kain jarit. "Lepas semua pakaian Nak Salma, termasuk dalamannya. Nak Salma hanya boleh memakai kerudung dan kain jarit itu." Ujar sang Dukun membuat Salma terkejut.

"Apa?"

"Saya tunggu di belakang." Kata Sang Dukun tanpa mengubris protes Salma.

Alhasil Salma dan Suaminya terlibat pertengkaran kecil. Salma menolak melepas semua pakaian nya dan hanya memakai kain jarit, sementara Furqon ingin Istrinya menuruti perintah sang dukun, dengan alasan mereka sudah menyetujui syarat yang di berikan sang Dukun.

Hingga akhirnya Salma lagi-lagi menuruti keinginan Suaminya. Ia menanggalkan pakaiannya di depan suaminya, lalu ia memakai kain tersebut.

Bersama Suaminya, mereka berdua menemui sang Dukun yang sedang berada di perkarangan belakang rumahnya. Sang dukun terlihat serius membaca mantra sembari menaburkan bunga ke dalam gentong yang berisi air.

"Silakan duduk di sini." Suruh sang dukun.

Dengan langkah gontai Salma mendekat lalu duduk di bangku kecil yang ada di samping gentong.

Walaupun Salma merasa risih dengan penampilannya saat ini, tetapi Salma masih merasa tenang karena ada sang Suami di dekatnya.

Sang dukun kembali membaca mantra sembari menjulurkan tangannya diatas kepala Salma. Lalu dengan menggunakan gayung, ia menyiram tubuh Salma dengan air yang ada di dalam gentong.

Seumur hidupnya baru kali ini ia di mandikan oleh seorang pria, walaupun masih mengenakan pakaian. Dan sebagai seorang muslimah, Salma merasa tidak nyaman, tetapi karena tidak ingin berdebat dengan Suaminya, akhirnya Salma tetap mengikuti ritual mandi bunga hingga selesai.

Setelah selesai Mbah Dukun meminta mereka kembali ke dalam rumah.

Selagi Mbah dukun menyiapkan ritual ketiga, mereka berdua menunggu di tempat sebelumnya. Tampak keduanya tidak bicara satu sama lainnya.

"Silakan gunakan kain kafan ini Mbak, saya tunggu di dalam ruangan sebelah." Perintah sang dukun. Lalu tanpa menunggu jawaban, sang dukun masuk ke dalam sebuah ruangan meninggalkan mereka.

"Mas..." Salma kembali hendak protes.

Tampak Furqon menghela nafas. "Kita sudah setengah jalan, masak harus mundur." Melas Furqon, yang membuat Salma tidak bisa berkata-kata lagi.

Dengan terpaksa ia mengganti kain jarit dengan dua potong kain kafan pemberian sang Dukun. Potongan yang kecil ia jadikan jilbab untuk menutupi rambutnya, sementara potongan yang agak besar ia gunakan untuk menutupi tubuh telanjangnya.

Lagi-lagi Salma di antar oleh suaminya masuk ke dalam ruangan tersebut.

Diatas ranjang yang terbuat dari potongan bambu yang di lapisi tikar, tampak sang dukun sedang membaca mantra di depan kemenyan. Cukup lama mereka menunggu, hingga akhirnya sang Dukun membuka mata dan meletakan kemenyan tersebut diatas meja kecil.

"Maaf Nak Furqon, untuk sementara saya persilakan menunggu di luar? Mungkin upacara pengobatan ini akan memakan waktu sekitar 2 jam, begitulah," itulah langkah lanjutan dari sang dukun.

Tiba-tiba Furqon dihinggapi perasaan khawatir. Atau mungkin cemburu. Dia mesti melepaskan istrinya yang ayu itu berduaan dengan orang lain di kamar tertutup. Walaupun sang Dukun sudah berusia tua, tapi tetap saja sang dukun adalah seorang pria.

Kekhawatiran juga di rasakan Salma, selama ini ia tidak pernah berdua-duan dengan pria lain di dalam satu ruangan, kecuali dengan Suaminya.

"Baik Mbah!" Jawab Furqon yang membuat mata Salma terbelalak tak percaya.

"Oo ya, nanti apabila ada penampakkan atau suara apapun Nak Furqon tidak boleh masuk ke dalam ruangan ini, percayakan semuanya kepada saya. tidak boleh bereaksi. Itu adalah godaan yang harus dihadapi. Nak Furqon harus tetap tenang. Ruang Bale Semadi itu dijaga oleh jin Anubis yang mampu membuat lumpuh, buta dan tuli seketika bagi siapapun yang mengusik ketenangannya," begitu Mbah Dukun memberikan uraiannya.

Dan bodohnya Furqon percaya begitu saja. "Baik Mbah, saya akan mematuhinya." Sahut Furqon yang justru semakin percaya dengan kesaktian sang Dukun.

Berbeda dengan Salma, perasaannya semakin sebal akan sikap suaminya yang kurang menghargai keberadaan dirinya. Dia merasa sepertinya tak punya hak bicara. Dengan rasa kesal itulah dia berdiri dan berjalan menuju Bale Semadinya sang dukun yang berada di balik pintu kiri ruang praktek dukunnya ini.

Mbah dukun mempersilakan Furqon keluar, dan sekali lagi dia berpesan agar tidak melakukan reaksi apapun atas apa yang dia dengar dan saksikan nanti. Jangan sampai memancing kemarahan jin Anubis.

Kepada Salma, Mbah dukun menyuruhnya untuk naik ke bale-bale dan duduk bersila. Sementara Mbah dukun juga naik dan duduk bersila tepat dibelakang Salma. Dia mengeluarkan sebuah botol kecil.

"Nak Salma, ini adalah minyak zaitun yang khusus didatangkan jin Anubis dari Mesir. Minyak ini akan saya oleskan pada seluruh pori-pori tubuh Nak Salma agar tak ada satu lubang kecilpun yang mampu ditembusi segala teluh atau santet buatan manusia. Saya harap Nak Salma tenang dan memusatkan pikiran agar segala kotoran yang memasuki tubuh Nak Salma larut bersama minyak ini," Ujar sang dukun menjelaskan.

"Iya Mbah."

"Sekarang kamu minum air suci ini dulu." Mbah Dukun memberinya segelas minuman yang sudah ia siapkan.

Segera Salma meminumnya hingga tidak bersisa, rasanya agak pait tapi Salma tidak mengubrisnya. Ia hanya ingin prosesi ini cepat selesai.

Dari arah belakang punggung Salma Mbah Dukun menuangkan sedikit minyak itu ketangannya. Kemudian dengan didahului mulutnya berkomat-kamit tangan Mbah Dukun mulai mengoleskan minyaknya ke leher Salma. Dia memijitnya pelan, layaknya tukang urut yang langsung membuat Salma menggeliatkan leher dan kepalanya mengimbangi arah urutan tangan Mbah Dukun.

Nampak Salma mulai menikmati enaknya diurut. Mungkin perjalanan dari pesantren ke rumah sang dukun ini memang membuat lelah tubuh Salma, sehingga urutan tangan Mbah Dukun ini terasa nikmat.

"Kalau pijatan Mbah membuat sakit Nak Salma boleh mengaduh atau merintih agar Mbah bisa mengurangi kekuatannya," pesan tambahan Mbah Dukun yang bertolak belakang dengan wanti-wantinya kepada Furqon agar tidak mengeluarkan gaduh yang akan membuat jin Anubis marah.

Dari leher tangan dukun itu turun ke bahunya. Tangan-tangannya yang berusaha menggapai bagian bahunya menyingkirkan sedikit demi sedikit kain putih penutup kepala dan sebagian pundaknya. Salma terilihat mulai merasa gelisah.

Kini tangan Mbah Dukun dengan leluasa mengoleskan minyak zaitun itu ke bahu dan punggung Salma. Olesan itu merata dan turun hingga ke pinggulnya. Tangan Mbah Dukun nampak terampil mengurut ataupun mengelus bagian-bagian tubuh Salma. Tak luput pula sisi kanan dan kiri hingga ketiak istri Furqon ini diolesinya dengan minyak dari Mesir ini.

Sementara itu dari balik dinding ruangan sang Dukun, tampak Furqon terlihat mondar-mandir, ia terlihat gelisah padahal baru beberapa menit yang lalu Istrinya masuk ke dalam ruangan tersebut.

Rasanya Furqon ingin sekali melihat apa yang di lakukan sang dukun di dalam kamar bersama Istrinya, tetapi ia takut akan akibat buruknya.

Tangan Mbah dukun mulai menjamah iga samping dan ketiak kanan kiri Salma. Dan nampaknya Salma mulai merasa merinding. Kecuali tukang pijat perempuan di kampungnya selama ini tak satupun lelaki pernah menjamah tubuhnya macam ini. Dia merasakan elusan tangan Mbah Dukun dengan cepat membuat hangat tubuhnya. Terkadang jari-jarinya bermain dengan menekan dan mengelus sehingga membuat saraf-saraf pekanya terangsang.

"Maafkan hambamu ini ya Allah, apa yang kulakukan hari ini demi memenuhi permintaan Suamiku." Jerit hati Salma yang merasa berdosa karena membiarkan pria yang bukan muhrimnya, menyentuh tubuhnya.

"Naikkan lengannya Nak Salma, biar Mbah bisa mengolesi ketiak Nak Salma," perintahnya yang langsung dipenuhi Salma.

Terus terang rabaan tangan Mbah dukun ini semakin menghanyutkan sanubarinya. Membuat rasa bersalah di hati Salma terhadap suaminya, tapi setelah di pikir-pikir, ini semua gara-gara kemauan Suaminya. Dan dia tak pernah minta pertimbangannya. Jadi ini bukan salahnya.

"Ahh... Mbah..." Desah Salma.

Tetap dari arah belakang punggung Salma, kini tangan Mbah Dukun meluncur ke wilayah dadanya, membuat Salma terkejut. Jari-jari itu menggosok atau mengelus berputar tepat di bawah gundukkan payudaranya. Terus berputar dan berpilin jari-jari itu benar-benar membuat dada Ayu berdegup kencang.

Ia ingin protes, tapi entah kenapa mulutnya terasa keluh untuk menyampaikan ketidak sukaannya.

Muka Salma terasa memerah. Perasaan tak sabar menunggu tangan sang dukun merambah buah dadanya terasa menggebu. Tanpa malu dia mendesah. Ada semacam hasrat yang mulai merambati saraf-sarafnya. Salma terus mendesah atau terkadang merintih. Hasrat birahinya-lah yang telah membuat kehangatan tubuhnya. Bahkan sekarang mulai terasa kegerahan.

"Astaghfirullah... Ada apa denganku?"

Mbah Dukun tahu bahwa suhu syahwat Salma mulai panas dan menaik. Ini memang telah menjadi perhitungannya. Tangannya juga merasakan degup jantung pasiennya yang yang semakin keras memukul-mukul dadanya. Dan Mbah Dukun yakin pasiennya kini semakin menunggu jamahan tangannya terus bergerak. Dan memang kini saatnya tangannya memasuki wilayah yang sangat peka.

Dengan menambahi lumuran minyak zaitun di telapak tangannya dia mulai menyusupkan jari-jarinya ke bawah payudara Salma, untuk menyentuh puting susunya, tangan Mbah Dukun mulai mengoles-olesi gundukkan payudara Salma.

Mengelus, menggosok, memilin secara bergantian dalam irama yang sangat sistematis dari tangan Mbah Dukun pada kedua payudaranya membuat hasrat birahi Salma langsung terbakar. Kembali tanpa ragu kini dia melepaskan desahan dan rintihan nikmatnya. Posisi Mbah Dukun yang memeluknya dari belakang, membuat tubuh depan Mbak Dukun menempel dengan erat di bagian punggungnya.

"Aaahkk... Mbah! Aaahk... Oughk..." Erang Salma.

Kedua tangan Salma mencoba menahan pergerakan tangan sang Dukun, tetapi anehnya Salma seakan kehilangan tenaga nya.

Wajahnya mendongak keatas, hingga kepalanya bersandar di dada sang Dukun.

Cukup lama sang Dukun bermain diatas payudara sang ahkwat, setelah di rasa cukup sang Dukun semakin menyingkap kain yang di kenakan Salma, hingga memek Salma kini terlihat jelas di mata tuanya. Sorot mata sang Dukun tampak tajam, menatap nanar kearah gundukan memek Salma yang terlihat bersih.

Perlahan sang Dukun membaringkan tubuh Salma, dan lagi-lagi Salma hanya pasrah membiarkan tubuhnya yang dalam keadaan telanjang menjadi santapan mata sang Dukun.

"Sudah Mbah!" Rintih Salma saat merasakan usapan di pahanya.

Mbah Dukun tidak mengubris ucapan Salma, telapak tangannya mengelus semakin jauh hingga ke pangkal pahanya, menuju lembah surgawi Salma."Pori-pori Nak Salma harus di tutup semua, agar tidak ada telu, atau santet yang bisa masuk." Ujar Mbah Dukun, meyakinkan Salma yang terlihat frustasi.

"Ughk... Mbah! Aaahkk... Aaahkk..." Desahan Salma terdengar semakin keras.

Sementara itu di luar ruangan, Furqon dapat mendengar jelas suara desahan sang Istri, membuat pria tersebut bertanya-tanya. Andai saja ia sedikit berani untuk mengintip perbuatan sang Dukun, tentu Furqon akan mengamuk sejadi-jadinya.

Tapi sayang Furqon terlalu takut untuk mengetahui apa yang di lakukan Istrinya bersama sang dukun di dalam ruangan tersebut.

Tangan Salma reflek menahan pergelangan tangan Mbah Dukun, ketika ia merasakan jemari Mbah Dukun menyeruak masuk ke dalam lobang peranakannya yang sudah sangat basah.

"Mbaaaaah... Aaaahkk..." Jerit Salma.

Mbah Dukun tampak senang mengetahui pasiennya yang sudah sangat terangsang. Sembari mengorek-ngorek lobang peranakan Salma, jemari jempol menggosok-gosok clitoris Salma, alhasil Salma semakin belingsattan.

Tubuhnya yang berkeringat tampak meliuk-liuk seperti cacing kepanasan.

"Mbaaaaah...." Jerit Salma.

Pinggulnya terangkat cukup tinggi, sembari menahan nafas ia melepaskan dahaganya.

Seeeeeeeeeeeeeeeerrrr....

Sanking nikmatnya Salma sampai terkencing-kencing, untuk pertama kali di dalam hidupnya, Salma bisa merasakan orgasme.

Perlahan badai orgasme itu mulai meradah, nafas Salma tampak terengah-engah, ia tidak menyangkah kalau hanya dengan jari sang Dukun ia bisa merasakan kenikmatan yang tiada tara.

Selagi Salma mengatur nafasnya yang tersengal-sengal, Mbah Dukun melepaskan celana lusuhnya, hingga menampakkan terpedonya yang memiliki panjang 23cm, berbeda jauh di banding milik Suaminya yang berukuran 10cm.

Saat melihat kontol Mbah Dukun, Salma tampak ketakutan sekaligus meras takjub.

"Hah... Hah... Hah..." Dengus nafas Salma.

"Sekarang saatnya saya menanamkan benih sukma saya yang pertama di tubuh Nak Salma, memalui mulut atas." Kata Mbah Dukun sembari mendekati wajah Salma.

"Astaghfirullah..." Lirih Salma.

"Buka mulutnya Nak! Kita harus segera memulai penanaman sukma." Ujar Mbah Duku, seraya membelai wajah Salma dengan kontolnya.

Salma menggelengkan kepalanya. "Saya belum pernah Mbah!" Tolak Salma.

"Saya belum pernah Mbah."

"Nanti Mbah ajarkan, sekarang kamu berlutut di depan Mbah." Bagai kerbau yang di cocok hidungnya, Salma hanya menurut saja.

Sejenak ia terdiam memandangi tekstur kontol Mbah Dukun yang terlihat besar dan kokoh berwarna coklat tua. Salma mulai berfikir bagaimana caranya ia memasukan kontol besar itu ke dalam mulutnya.

"Coba kamu pegang kontol Mbah, terus di kocok-kocok sambil di ciumi. Ingat ini demi Nak Furqon, Suami Nak Salma." Bujuk sang Dukun.

Mendengar nama Suaminya, membuat Salma akhirnya menuruti perintah sang Dukun. "Seperti ini Mbah?" Tanya Salma sembari menggenggam kontol sang Dukun sembari mengurutnya.

"Coba kamu cium! Anggap saja ini kontol Suamimu." Ujar Mbah Dukun.

Walaupun sempat ragu, tapi pada akhirnya Salma menuruti ucapan sang dukun. Ia mengecup kepala kontol sang dukun dengan bibir merahnya beberapa kali, lalu kemudian ia melahap kontol sang Dukun, seperti saat ia memakan pisang.

Dengan gerakan perlahan kepala Salma bergerak maju mundur, maju mundur menghisap kontol sang Dukun yang ternyata nikmat.

Tangan kanan sang Dukun terjulur kebawah, ia membelai kepala Salma yang terutup hijab dari kain kafan.

Slooooppss... Slooooppss... Slooooppss... Slooooppss... Slooooppss... Slooooppss...

Slooooppss... Slooooppss... Slooooppss... Slooooppss... Slooooppss... Slooooppss...

"Aaahkk... Ya begitu! Kamu harus mengambil sukmanya sendiri." Ujar sang Dukun sembari ikut menggoyangkan pantatnya maju mundur.

Kuluman Salma yang begitu nikmat, membuat sang Dukun tidak tahan. Ia menahan kepala Salma sembari menyodok-nyodok mulut alim Salma. Alhasil kontolnya masuk semakin dalam.

Wajah Salma memerah karena ia kesulitan bernafas, membuat Salma merasa tersiksa oleh sodokan sang Dukun di dalam mulutnya

"Terima Sukma saya..." Jerit sang Dukun.

Ia memasukan sedalam mungkin kontolnya, di dalam mulut Salma, sembari menahan kepala bagian belakang Salma agar tidak menghindar ketika ia orgasme.

Croootss... Croootss... Croootss...

"Telan Sukma Mbah Nak, jangan di buang." Perintah sang Dukun.

Alhasil Salma menelan sebagian besar sperma sang Dukun. Rasanya asin tapi gurih, membuat Salma sama sekali tidak merasa jijik menelan sperma seorang pria yang baru saja ia kenal.

Fuaaahh...

"Hah... Hah... Hah...." Nafas Salma ngos-ngosan, seperti habis lari ratusan meter.

Setelah Salma merasa cukup tenang, Mbah Dukun membaringkan kembali Salma, sementara dirinya sudah siap merasakan jepitan hangat memek Salma yang selama ini hanya di masuki oleh kontol Suaminya yang lebih kecil.

Mbah Dukun membuka kedua kaki Salma selebar mungkin, hingga ia dapat melihat bagian dalam memek sang Ustadza yang terlibat bercela sempit, dengan bibir kemaluan yang berwarna merah muda, sangat menggiurkan.

Salma mencoba menutupi kemaluannya dari pandangan sang Dukun. "Jangan di lihat Mbah, saya malu." Melas Salma.

"Kenapa malu, memek kamu indah sekali." Puji sang Dukun.

Kemudian Mbah Dukun mendekatkan wajahnya, ia mencium kedua paha mulus berisi Salma, menghisap lembut, menjilatinya dengan perlahan hingga semakin mendekati memek Salma.

Dirinya yang sudah di landa birahi, tanpa sadar menyingkirkan tangannya, memberi akses untuk Mbah dukun mencicipi memeknya.

"Oughk... Mbah! Aaahkk... Aaahkk..." Erang Salma.

Kepalanya terbanting kekiri dan kanan, ia terlihat begitu gelisah menerima rangsangan dari sang Dukun yang semakin intens menggelitik bibir kemaluannya yang merekah indah.

Sembari menjilati memek Salma, telapak tangan Mbah Dukun juga aktif menyentuh, menstimulasi payudara Salma dengan remasan telapak tangannya.

"Ampuuuun... Mbah! Aaahkk... Saya gak kuat." Erang Salma terlihat hampir menangis.

Dengan lihdanya Mbah Dukun mengorek-ngorek lobang memek Salma, dan sesekali menjilati clitorisnya, hingga akhirnya untuk kedua kalinya Salma meraih orgasmenya.

Creeettss... Creetss.... Creet....

"Oughk Mbah!" Lenguh Salma.

Mbah Dukun segera menindih tubuh telanjang Salma, dengan tangan kanannya ia menuntun kontol besarnya berada didepan gerbang bibir kemaluan Salma yang terlihat sudah sangat basah.

Salma yang sadar bawah dirinya akan di setubuhi mendadak panik.

"Mau apa Mbah?" Tanya Salma panik.

Mbah Dukun mencoba menenangkan Salma dengan mengusap kepala Salma. "Mbah mau menstransfer Sukma Mbah, jangan cara bersetubuh." Jawab Mbah Dukun tenang.

"Jangan Mbah, ini zina." Tolak Salma.

"Suamimu sangat ingin memiliki anak, kamu pasti tidak ingin mengecewakan nya." Bujuk Mbah Dukun sembari mendorong masuk kontolnya.

"Gak muat Mbah! Gak muat..."

"Pasti muat."

Perlahan kepala kontol Mbah Dukun masuk ke dalam memeknya, semakin lama semakin dalam hingga akhirnya mentok di dalam rahimnya. Mbah Dukun tampak menikmati jepitan ketat dinding kemaluan Salma yang terasa sangat nikmat.

"Oughk... Ya Tuhan, Aku berzina!" Erang Salma.

"Demi suamimu." Bisik Mbah dukun.

Pinggul pria paru baya itu mulai bergerak maju mundur menyodok-nyodok memek Salma yang semakin lama semakin licin, karena campuran dari air liur Mbah Dukun dan lendir cintanya.

Walaupun memeknya terasa penuh, tapi Salma merasa takjub karena kontol sebesar itu bisa masuk ke dalam memeknya.

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

Dreeett.... Dreeett... Dreeett... Dreeett... Dreeett... Dress... Dreeett... Dreeett... Dreett....

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

"Pelan-pelan Mbah! Oughk... Aaahkk... Aaahkk... Di luar sana ada Suami saya..." Erang Salma, ia tampak ketakutan.

Tangan kanan Mbah Dukun mendekap kepala Salma, lalu berbisik. "Tenang! Suami kamu tidak akan berani masuk ke dalam ruangan ini." Ujar Mbah Dukun, kemudian ia melumat bibir Salma dengan rakus.

"Eehmmmppss... Ehmmmppss... Eeehmmppsss..." Tanpa sadar Salma membalas lumatan bibir Mbah dukun. Ia sendiri tidak mengerti, itu semua terjadi begitu saja.

Hujaman kontol Mbah Dukun semakin kencang dan makin kencang, mengaduk-aduk liang terdalam memek Salma. Sehingga wajar saja kalau wanita cantik yang kesehariannya itu selalu memakai pakaian syar'i tampak gelajotan menerima serangan dari Mbah dukun yang tiada henti tanpa jeda.

Tangan kirinya terjulur, meremas kasar payudara Salma yang terasa empuk dan menggemaskan. Sesekali ia memilin putingnya, menariknya seakan ingin mencabut pentil itu dari permukaan payudara Salma.

"Saya dapaaat Mbah! Aaaahkk..." Erang Salma.

Kedua kakinya reflek memeluk pinggul Mbah Dukun hingga kontol Mbah Dukun semakin dalam menusuk lobanh memeknya.

Nafas Salma terengah-engah, setelah orgasmenya perlahan mulai meredah.

Permainan tentu saja belum selesai, Mbah dukun menggantikan posisi Salma, ia berbaring di bale-bale sembari mengurut kontolnya yang begitu besar dan panjang. Salma yang melihatnya tampak mengerutkan dahinya. Ia bertanya bagaimana bisa kontol sebesar itu bisa masuk ke dalam memeknya.

"Ayok Nak Salma, kamu belum mendapatkan Sukmanya." Panggil Mbah Dukun yang sudah tidak sabar ingin kembali merasakan jepitan memek Salma.

Salma naik keatas selangkangan Mbah Dukun, ia agak ragu untuk melakukannya. Tetapi rasa nikmat yang sebelumnya ia dapatkan dari Mbah dukun, membuatnya sedikit ketagihan. Sejenak ia melupakan statusnya sebagai wanita Soleha, melupakan statusnya sebagai seorang Istri.

Perlahan ia menduduki kontol Mbah Dukun, membiarkan kontol Mbah Dukun bersemayam di dalam rahimnya.

"Di goyang Nak Salma." Ujar Mbah Dukun.

Salma meletakan kedua tangannya di sisi kiri dan kanan paha Mbah Dukun, sehingga tubuhnya sedikit condong kebelakang. Lalu dengan sangat hati-hati ia menggerakan pinggulnya naik turun, naik turun, dengan tempo perlahan.

Mbah Dukun mendengus birahi, menatap memek Salma yang tengah memakan batang kemaluannya, membuatnya semakin terbakar birahi.

Begitu juga dengan Salma, lama kelamaan ia semakin mempercepat goyangan pinggulnya, naik turun, naik turun, membuat payudaranya ikut bergoyang, berayun-ayun indah di hadapan Mbah Dukun.

"Ya begitu, terus, lebih cepat lagi..." Mbah Dukun memberi semangat untuk Salma.

Dan benar saja, Salma semakin mempercepat goyangannya. Pinggulnya terhentak-hentak kebawah. Pantat bahenolnya bertubrukan cukup keras dengan selangkangan Mbah Dukun.

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

"Mbaaaaah... Aaahkk... Aaahkk...."

Tidak mau diam saja, Mbah Dukun meraih payudara Salma, ia meremas-remas Payudara Salma yang tengah mantul-mantul seperti bola basket.

Alhasil Salma semakin gelajotan, goyangan pinggulnya juga semakin hot bervariasi, tidak hanya naik turun, tapi juga maju mundur dan sesekali ia melakukan gerakan mengebor, membuat Mbah Dukun merasa kontol seperti di ulek-ulek oleh memek Salma.

Mbah dukun yang merasa spermanya sudah berada di ujung kepala kontolnya, mulai ikut menggoyangkan pinggulnya, menyambut setiap hentakan Salma.

Saat Salma menurunkan pinggulnya, maka Mbah Dukun mendorong pantatnya keatas. Kerja sama yang apik menjadikan permainan mereka semakin panas. Hingga akhirnya Mbah Dukun merasa sudah benar-benar berada di ujung.

"Terima Sukma saya Nak Salma." Jerit Mbah Dukun.

Croootss... Croootss... Croootss...

Spermanya meledak di dalam rahim Salma, berbarengan dengan Salma yang juga orgasme.

"Oughk... Pak!" Lenguh Salma.

Salma terkapar, ia merasa tenaganya sudah benar-benar habis. Dengan nafas terengah-engah ia memandangi Mbah Dukun yang yang tengah memandangi sekujur tubuhnya yang telah bermandikan keringat.

Sebenarnya Mbah Dukun ingin kembali melanjutkan ke ronde selanjutnya, tetapi melihat Salma yang sudah sangat kelelahan terpaksa ia menundanya. Dan lagi dirinya juga sudah merasa sangat puas setelah membombardir memek sang Ahkwat.

*****

Furqon benar-benar panik setelah mendengar suara teriakan demi teriakan dari dalam kamar yang di tempati oleh Mbah Dukun bersama Istrinya. Andai saja ia memberanikan diri untuk mengintip, tentu ia akan shock bahkan sampai jatuh pingsan melihat Istrinya di gauli oleh sang Dukun.

Setelah hampir dua jam Furqon mendengar suara gaduh dari dalam ruangan tersebut, tiba-tiba ruangan itu mendadak sunyi, membuat Furqon bertanya-tanya.

Tidak lama kemudian Mbah Dukun keluar dari dalam ruangan, yang kemudian di susul oleh Salma yang terlihat pucat dan sangat lemas.

"Sudah selesai Mbah?" Tanya Furqon.

Mbah Dukun menggelengkan kepalanya. "Saya hanya berhasil memasukan dua Sukma ke dalam tubuh Istri kamu, masih satu lagi yang belum bisa saya tanamkan." Jelas sang Dukun.

"Kenapa Mbah!"

"Ilmu orang itu sangat kuat, tubuh Istri kamu tidak akan sanggup kalau saya paksakan." Jawab Mbah Dukun, seraya melihat kearah Salma.

"Jadi kami harus bagaimana Mbah?"

Mbah dukun tampak menghela nafas. "Sepertinya kamu harus kembali lagi ke sini, untuk menyelesaikan ritual kita."

"Baik Mbah, bagusnya kapan!"

"Terserah dengan kalian, tapi saran Mbah secepatnya." Jelas Mbah Dukun.

"Baik Mbah! Terimakasih banyak."

"Oh ya satu lagi, untuk sementara waktu kalian di larang melakukan hubungan intim, kalau tidak bisa-bisa Sukma saya jadi rusak."

"Sampai kapan?"

"Sampai Istri kamu benar-benar bersih." Jawab Mbah Dukun.

"Kalau begitu terimakasih banyak Mbah, ini maharnya." Ujar Furqon seraya menyerahkan amplop berisi uang.

"Sama-sama, sekarang kalian berdua boleh pulang."

Furqon segera mengajak Istrinya keluar dari rumah Mbah Dukun. Salma yang kelelahan terpaksa dipapah oleh Furqon. Andai saja Furqon lebih teliti, ia bisa melihat gaya jalan Istrinya yang dediki mengangkang. Seperti pengantin baru yang baru saja melakukan ritual malam pertama.

Sepanjang perjalanan pulang, Salma terlihat diam dan murung. Beberapakali Suaminya mengajak bicara tapi Salma malah mengabaikannya.

*****


Suci

Lagi-lagi Suci di buat kecewa oleh sahabatnya Novi, padahal kemarin Novi berjanji akan mengajarinya memasak. Tetapi lagi-lagi ia ingkar janji, membuat Suci tampak kesal.

"Berarti hari ini batal lagi." Keluh Suci.

Novi ikut duduk di samping Suci. "Aku janji, lain waktu akan mengajarimu cara memasak yang enak! Dan aku jamin Suamimu pasti suka." Ujar Novi, menghibur sahabatnya yang terlihat kecewa.

"Ya sudahlah, aku pulang aja."

"Eh jangan pulang dulu, gimana kalau kamu temenin aku ke mall." Bujuk Novi, seraya memasang wajah memelas agar sahabatnya mau menemaninya ke mall.

"Maksud kamu ke kota?"

"Iya... Mau ya."

"Ngapain?" Heran Suci.

Novi berbisik di telinga sahabatnya. "Aku mau beli dalaman." Jawab Novi, membuat Suci merenyitkan dahinya.

"Di pasarkan ada!"

Novi mendesah pelan. "Iya ada, tapi modelnya ketinggalan jaman. Hihihi..."

"Astaghfirullah..."

"Temenin ya..."

"Gak ah, kamu gak liat apa aku pake baju biasa kayak gini." Ujar Suci. Padahal pakaian yang di kenakan cukup bagus untuk ia pakai ke kota.

Novi tersenyum misterius. "Kalau masalah itu gampang, kamu pake aja bajuku." Usul Novi, Suci tergelak mendengarnya. Mana mungkin pakaian Novi cocok untuk dirinya yang kini telah berhijrah.

"Emang gak ada sih, tapi cukup tertutup kok! Kamu coba aja dulu ya." Bujuk Novi.

Suci hanya pasrah ketika sahabatnya itu membawanya ke kamar. Ia di pinjamkan t-shirt lengan panjang berwarna putih yang cukup ketat dan rok jeans panjang yang juga cukup ketat, hingga lekuk tubuhnya terlihat sangat jelas.

Tentu saja Suci protes, tetapi sahabatnya meyakinkan dirinya kalau pakaian tersebut cocok untuk Suci.

"Kalau sampai ada yang tau aku make baju kayak gini, bisa gempar satu pesantren." Protes Suci, sembari memperhatikan pakaiannya yang jauh dari kata muslimah.

Kalau dirinya yang dulu mungkin tidak jadi masalah, tapi dirinya yang sekarang tentu akan jadi masalah kalau sampai ada yang melihatnya mengenakan pakaian yang ia kenakan saat ini.

"Gampang, tinggal pake masker."

"Ini terlalu ketat Nov!"

Novi tidak mengubris ucapan Suci, ia mendorong sahabatnya keluar kamar.

Kemudian mereka berdua menaiki sebuah angkutan umum yang natinya akan berhenti di terminal pasar dan di lanjutkan dengan menaiki bus umum.

Singkat cerita akhirnya mereka berdua tiba di mall, mengelilingi mall sembari mencuci mata. Sejak awal mereka memasuki mall, Suci merasa heran karena semua pria yang berlintasan dengannya pasti memandangnya dengan tatapan aneh.

"Apa mungkin karena pakaianku yang terlalu ketat?" Pikir Suci.

Ia mencoba mengabaikan setiap pandangan kaum Adam kepadanya. Walaupun ada sedikit rasa risih yang membuat Suci gelisah.

"Kamu kenapa say? Dari tadi kayaknya gelisah banget." Tanya Novi yang sedari tadi memperhatikan tingkah sahabatnya yang tidak seperti biasanya.

"Kamu lihat gak, dari tadi cowok-cowok tuh pada ngeliatin aku! Ada yang aneh gak si dari pakaianku?" Bisik Suci sembari memperbaiki maskernya, khawatir nanti ada yang mengenalinya.

Suci mengamati tubuh sahabatnya dari atas hingga kebawah. Kaos yang di kenakan Suci terlihat seperti kekecilan, bahkan membuat garis bra-nya menjiplak, begitu juga dengan rok yang di kenakan Suci, terlihat sangat ketat, membuat bulatan pantat Suci terlihat semakin menungging.

"Sempurna." Jawab Novi, seraya tersenyum.

Suci menghela nafas sembari menggelengkan kepalanya.

Mereka kembali berkeliling mall, kemudian Novi mengajak Suci ke toko pakaian dalam khusus wanita. Di sana terpajang beberapa jenis pakaian dalam wanita, dari yang biasa hingga yang terseksi. Melihat jenis-jenis pakaian dalam yang ada di dalam toko tersebut, mengingatkan Suci akan masa lalunya.

Dulu Suci tidak jauh berbeda dengan Novi, suka berpakaian seksi, menonjolkan lekuk tubuh mereka. Bahkan sex bebas makanan sehari-hari mereka.

Hingga suatu hari Suci hamil, ia benar-benar shock, ingin meminta pertanggungjawaban, ia sendiri juga bingung pria mana yang menghamilinya. Dengan sangat terpaksa Suci mencoba untuk menggugurkan kandungannya, dari memakan makanan yang katanya bisa menggugurkan kandungan, hingga meminum obat. Tetapi semua usahanya gagal. Di tengah keputus asaannya, Ardi sahabatnya datang mengulurkan tangannya, dan bersedia bertanggung jawab atas anak yang ada di dalam kandungan suci.

Singkat cerita merekapun menikah, dan baru beberapa Minggu mereka menikah Suci malah ke guguran. Dan lagi-lagi Ardi menjadi penyemangat hidupnya, tidak sampai di situ saja, Suci di nyatakan tidak akan bisa hamil lagi, karena akibat usahanya dulu untuk menggugurkan kandungan yang membuat rahimnya terluka, hingga ia di vonis terkena kanker rahim.

Dengan amat terpaksa rahim Suci harus di angkat demi keselamatannya nyawanya. Dalam kondisi terpuruknya itu Ardi lagi-lagi ada untuknya.

Perjuangan Ardi tidak sampai di situ saja, ketika Istrinya di nyatakan lulus PNS yang membuat mereka harus pindah rumah. Alhasil Ardi mengalah demi karier sang Istri, ia memilih mengundurkan diri dari pekerjaannya, dan mengikuti Istrinya yang kebetulan di tempatkan di salah satu sekolah swasta, pesantren Al-fatah.

Melihat pengorbanan suaminya itulah yang membuat Suci perlahan mulai berubah, dan akhirnya benar-benar memutuskan hijrah ketika ia mulai mengajar di pesantren.

Tetapi terkadang sisi liar Suci suka datang menggodanya, terutama ketika ia mengajar santri di kelasnya. Dulu ia sering membayangkan dirinya menjadi guru yang berpenampilan seksi, dan ketika ia benar-benar menjadi guru, penampilannya malah berubah 100% dari khayalannya dulu.

"Kamu kenapa? Suka... Beli aja." Usul Novi.

Suci menggelengkan kepalanya. "Buat apa Nov." Ujar Suci, kalau dirinya yang dulu tentu ia akan membelinya dengan senang hati.

"Untuk suami kamulah! Atau untuk cowok lain juga boleh." Goda Novi.

"Astaghfirullah..."

"Hihihi... Udah ah, aku yang teraktir." Novi mengambil satu set pakaian dalam seksi berwarna merah.

Selesai memilih pakaian dalam, mereka segera kekasir untuk membayar pakaian yang mereka beli. Novi meminta Suci yang membayarkannya karena ia beralasan ingin ke toilet, dan kebetulan yang menjadi kasirnya adalah seorang pemuda.

Setelah menerima uang dari Novi, Suci segera menuju kasir yang ada di dekat pintu keluar.

"Ini mas..." Suci meletakan pakaian yang ingin di beli Novi keatas meja kasir.

Sang kasir terpaku memandangi Suci, membuat wanita cantik itu tampak keheranan dengan sikap kasir yang tampak bengong memandangnya. Bahkan mulut sang Kasir tampak terbuka lebar.

"Mas... Halo..." Panggil Suci yang mulai risih.

Pemuda kasir itu tergagap. "Eh iya Mbak, Sa... Saya scan dulu ya..." Jawab si pemuda yang tampak canggung. Saat sang pemuda menghitung total belanjaan mereka, terlihat sesekali ia memandangi Suci dengan penuh nafsu.

"Buruan Mas, saya mau cepat." Tegur Suci.

"I-iya Mbak."

Setelah selesai menghitung total yang harus ia bayar, Suci bergegas meninggalkan tokoh tersebut dan menunggu sahabatnya di depan tokoh tersebut. Saat ia berdiri di depan tokoh tersebut, lagi-lagi ia mendapatkan mata para lelaki memandangnya dengan tatapan cabul.

Tidak lama kemudian sahabatnya menyusul dan mereka kembali berjalan-jalan mengelilingi Mall, melihat-lihat barang yang ada di mall tersebut.

Saat melewati kaca yang cukup besar, langkah Suci terhenti. Ia memutar tubuhnya ke samping menghadap kearah kaca tersebut. Dan di situlah Suci sadar apa yang membuat dirinya menjadi pusat perhatian banyak orang. Dari pantulan cermin Suci memperhatikan rok yang ia kenakan, dan ternyata resleting bagian depan roknya rusak hingga dalamannya terlihat cukup jelas.

"Astaghfirullah..."

Suci bergegas menyusul temannya yang sudah ada di depan sembari menutupi selangkangannya dengan tas jinjing yang ia bawak.

"Nov... Kamu taukan kalau resleting rok ini rusak?" Todong Suci, ia tampak kesal terhadap sahabatnya itu.

"Hihihi... Baru sadar."

"Astaghfirullah... Novi!" Kesal Suci.

Novi melingkarkan tangannya di lengan Suci. "Gak apa-apa Say, anggap saja mengulang masa lalu. Ingat gak kalau dulu kita sering ngelakuin kayak gini. Masak si kamu gak kangen." Ucap Novi mengingatkan masa lalu mereka, ketika mereka sama-sama masih kuliah.

"Enggak Nov! Aku sudah tobat." Kesal Suci.

Novi tampak manyun. "Bukannya dulu kamu yang paling suka menjadi pusat perhatian orang." Sindir Novi, mengingat masa lalu Suci.

"Itu dulu Nov."

"Apa bedanya dengan sekarang."

"Jauh... Sudah ah, aku capek ngejelasinnya ke kamu." Keluh Suci. "Sekarang temani aku nyari pakaian." Paksa Suci, mau tidak mau ia harus membeli pakaian untuk menggantikan roknya.

Novi mengajak Suci ke toko pakaian wanita, setibanya di toko tersebut, Suci tidak menemukan pakaian yang ia inginkan. Alhasil Suci akhirnya memilih membeli celana jeans berwarna biru muda.

Di temani Novi, mereka masuk ke dalam ruang ganti pakaian. "Ini semua gara-gara kamu Nov!" Protes Suci, sahabatnya hanya tertawa renyah.

"Sudah baruan ganti! Habis ini kita pulang."

Dengan kesalnya Suci melepaskan rok pemberian sahabatnya itu, saat hendak mengenakan celana yang baru ia beli, tiba-tiba Novi membuka pintu ruang ganti tersebut, dan kebetulan di depan pintu ruangan itu ada segerombolan anak muda yang sedang menunggu untuk mencoba pakaian mereka.

Suci sangat terkejut dan panik. Apa lagi saat ini ia sudah menanggalkan roknya, dan hanya mengenakan celana dalam berbahan katun berwarna hijau lumut.

"Novi, tutup..." Pinta Suci.

Novi malah melihat kearah ketiga pemuda tersebut sembari memberi tanda untuk diam dengan meletakan jadi telunjuknya di depan bibir.

Sadar kalau sahabatnya sengaja mengerjainya, Suci buru-buru mengenakan celana jeans yang baru ia beli. Dan sialnya ia agak kesulitan saat memakai celananya karena terlalu sempit, membuat Suci semakin panik.

Ia melihat kearah ketiga pemuda tersebut yang tampak terdiam membisu, dengan mata melotot yang seakan ingin keluar dari kelopak matanya, bahkan salah satu dari mereka sampai mengusap air liurnya. Rasanya, sudah lama sekali Suci tidak melihat tatapan liar seperti itu sejak ia memutuskan berhijrah.

Jauh dari dalam dirinya ada rasa bangga, melihat bagaimana ketiga pemuda itu yang takjub melihat keindahan tubuhnya.

Setelah hampir lima menit ia berusaha mengenakan celananya, akhirnya ia berhasil. Dan dengan buru-buru ia menarik tangan sahabatnya untuk pergi dari sana. Novi tampak tertawa puas melihat sahabatnya yang menjadi tontonan untuk ketiga pemuda tanggung tersebut.

*****



"Zril... Katanya ada yang mau kamu omongin, kok kamu dari tadi diam aja." Protes Clara.

"Anu... Itu, aku mau ngomongin Dedi."

"Kenapa Dedi..."

Azril terdiam sebentar. "Ra... Aku mau bilang sesuatu, terserah kamu mau percaya apa tidak." Ucap Azril. Clara tampak kesal, karena Azril terlalu bertele-tele, membuatnya penasaran.

"Zril... Mau ngomong atau aku pergi." Kesal Clara.

Gara-gara Azril yang ingin mengajaknya bicara, ia sampai berbohong ke teman-temannya. Tetapi bukannya segera bicara hal yang penting. Azril malah membuatnya kesal.

"Iya iya, ini aku ngomong."

"Apa?"

"Kemarin aku ngeliat Dedi sama cewek lain Ra." Ujar Azril, pemuda itu awalnya berfikir kalau Clara akan kaget dan berterimakasih kepadanya karena sudah memberitahu kelakuan bejat Dedi, tapi yang terjadi malah kebalikannya.

Clara tersenyum sinis memandang Azril kesal. "Jadi kamu mau ngajakin aku ngomong, cuman buat fitnah pacar aku, gitu..." Ujar Clara geram.

"Aku serius Ra, aku beneran...." Plaaak... Clara menampar Azril.

Gadis cantik itu berdiri menatap marah kearah Azril. "Aku tau kamu suka sama aku, tapi gak kayak gini caranya Zril! Mulai detik ini aku gak mau lagi ngomong sama kamu." Bentak Clara, yang kemudian beralih pergi meninggalkan Azril.

Pemuda itu berusaha memanggil Clara, bermaksud ingin menjelaskan kalau apa yang ia katakan memang benar, tapi Clara tidak mau mendengarkannya.

Azril tertunduk lesu, memandangi Clara pergi meninggalkannya, hingga menghilang dari pandangannya. Jujur Azril sangat kecewa, ia tidak menyangkah kalau orang yang begitu ia sayangi, tidak mau mempercayai ucapannya.

*****

Kira-kira mau di bikinkan profil pemeran pesantren series atau gak?
end part 7
 
Bimabet
20:00



Mariska baru saja selesai shalat, ia melihat kearah Suaminya yang baru saja menerima telpon. Tampak dari raut wajah Reza yang terlihat gelisah, seakan sedang ada yang ia pikirkan saat ini.

Segera Mariska menghampiri Suaminya, naik keatas tempat tidur mereka.

"Kenapa Mas? Siapa yang nelpon?" Tanya Mariska.

Reza menghela nafas perlahan, sembari melihat kearah Istrinya. "Mbak Lisa yang nelpon." Jawab Reza, sedetik kemudian ia membuang muka.

"Mbak Lisa? Ada apa dengan Ibuku Mas?"

Reza meraih tangan Istrinya, menggenggam dengan erat. "Ibu di larikan ke rumah sakit lagi, dan katanya... Ibu harus segera di operasi." Reza sebenarnya tidak tega memberitahu kan kondisi mertuanya di kampung kepada Istrinya.

"Innalilahi..." Mata Mariska berkaca-kaca, mendengar orang tuanya kembali harus dirawat di rumah sakit.

"Untuk operasi, kita membutuhkan biaya kurang lebih 50 juta." Lirih Reza, entah dapat dari mana mereka uang sebanyak itu dalam waktu singkat.

"Ya Allah! Apakah kita masih punya tabungan Mas?" Tanya Mariska harap-harap cemas, Reza menggeleng lemah. "Jual saja seluruh perhiasan saya Mas." Usul Mariska, demi kesembuhan ibunya apapun akan ia lakukan.

"Semua harta benda berharga kita sudah dijual sayang! Sudah tidak bersisa." Ujar Reza, membuat Mariska tertunduk lemas.

"Ya Tuhan, cobaan apa lagi ini."

"Kamu yang sabar sayang! Mas yakin pasti ada jalan keluarnya." Reza mencoba menguatkan Istrinya yang terlihat sangat frustasi.

Sebagai seorang anak Mariska merasa dirinya tidak berguna. Di saat Ibunya membutuhkannya, ia malah tidak bisa berbuat apa-apa. Di saat seperti inilah, iman seseorang di uji, mampu atau tidaknya mereka melewati semua cobaan ini.

Reza sendiri juga tidak tau harus berbuat apa, semua harta yang mereka miliki sudah dijual untuk kesembuhan Ibu mertuanya dan kebutuhan sekolah adik-adiknya.

*****


Salma

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

"Sayang, aku keluar..." Erang Furqon.

Ia menumpahkan spermanya di dalam rahim sang Istri. Dari raut wajahnya yang bermandikan keringat, Furqon terlihat sangat puas. Bahkan malam ini adalah ML ternikmat setelah malam pertama yang mereka lalui.

Sementara Salma diam-diam malah merasa hambar, jauh lebih hambar dari malam-malam sebelumnya.

"Kamu puaskan sayang?" Tanya Furqon.

Salma mengangguk. "Iya Mas, aku puas banget." Jawab Salma berbohong.

Furqon merebahkan tubuhnya di samping sang Istri. "Tadi pengobatan nya gimana sayang?" Tanya Furqon, sejujurnya ia merasa sangat penasaran apa yang terjadi terhadap Istrinya sehingga membuat istri nya mengerang-erang seperti kesetanan saat berada di dalam ruangan bersama sang Dukun.

Salma terdiam, pertanyaan yang di sampaikan Furqon, membuatnya kembali teringat dengan apa yang telah terjadi dengan dirinya bersama sang Dukun. Sampai detik ini Salma tidak mengerti kenapa dirinya bisa terperdaya oleh dukun tersebut dan mau melakukan zina dengan motif pengobatan.

Tetapi kalau wanita Soleha itu boleh jujur, permainan sang Dukun benar-benar membuatnya terlena. Seumur hidupnya dari awal ia menikah, baru kali ini Salma merasakan yang namanya nikmat bercinta, baru kali ini ia bisa menggapai orgasmenya.

Mengingat bagaimana dirinya berteriak keenakan, mengingat bagaimana ia memberikan servis terbaiknya yang tidak pernah ia berikan ke Suaminya, membuat Salma merasa bersalah.

Selama ini Reza sering membujuk Istrinya untuk menghisap kemaluannya, ML dengan berbagai gaya, tapi Salma selalu menolaknya karena ia merasa itu menjijikan. Tapi anehnya ia melakukan itu semua dengan sang Dukun, dan parahnya ia menikmatinya.

"Maafkan aku Mas!" Lirih Salma.

"Sayang... Kok kamu diam? Mas perhatikan semenjak pulang dari sana kamu selalu diam." Ujar Reza merasa heran dengan sikap Istrinya yang tidak biasa itu.

Salma memejamkan matanya perlahan, menguatkan hatinya untuk berbohong kepada Suaminya. "Aku merasa berdosa Mas! Bagiamana pun juga apa yang kita lakukan tadi siang sudah termasuk syirik." Jawab Salma.

"Lagi-lagi kamu membahas masalah itu." Kesal Reza.

"Maaf Mas."

"Kata sang Dukun kemarin dia baru memasukkan dua sukma ketubuh kamu, masih ada satu sukma lagi yang belum ia masukan ke tubuh kamu. Kira-kira kapan kita akan menyelesaikan ritual ini. Lebih cepat lebih baik."

Salma terlihat panik. "A-aku gak mau lagi ke sana Mas... Sudah cukup Mas." Mohon Salma, ia takut kejadian tadi siang terulang kembali.

"Kita sudah setengah jalan Sayang! Masak harus mundur." Ucap Reza kesal, ia merasa sangat yakin dan percaya dengan kemampuan sang Dukun.

"Astaghfirullah Mas..."

"Sayang... Tolong sekali ini saja, turuti kemauanku. Seperti janji Mas, kalau ini gagal aku tidak akan lagi memaksamu melakukannya." Mohon Reza.

Salma terdiam, ia menatap kecewa kepada Suaminya yang begitu egois, yang hanya mau di dengar, tapi tidak mau mendengar penjelasannya. Salma merasa sangat kecewa dengan sikap Suaminya yang semena-mena.

"Andai kamu tau apa yang telah dukun itu lakukan kepadaku, mungkin kamu tidak akan sesemangat ini mas." Rutuk Salma di dalam hatinya. Ia memutar tubuhnya memunggungi Suaminya.

Tanpa Reza sadari, Salma menangis dalam diam, meluapkan kekecewaannya terhadap Suaminya.

*****

00:23

Rayhan baru saja pulang dari asrama Hamza, untuk menemui seorang santri yang sedang sakit. Sebagai petugas kesehatan, sudah menjadi tugasnya merawat dan memberikan obat untuk santri yang sedang sakit.

Walaupun pekerjaannya itu melelahkan, tetapi Rayhan bersyukur karena tugasnya itu untuk menyelamatkan orang lain.

Saat dalam perjalanan pulang, Rayhan memilih lewat jalan belakang melewati kantin dan dapur putra. Saat berada di depan asrama Fatimah, Rayhan berharap bisa melihat seorang santriwati yang belum tidur tapi sayangnya kamar mereka tampak sudah gelap.

Ia berbelok ke kiri menuju rumahnya, ketika melewati gudang, tiba-tiba Rayhan mendengar suara minta tolong dari dalam gudang.

Suara tersebut terdengar samar-samar, membuat Rayhan sempat tidak yakin.

Tetapi karena ia merasa penasaran, Rayhan nekat mendekati gudang tersebut. Ada rasa takut kalau nanti melihat hantu di dalam gudang, karena biasanya di film-film horor suka ada penampakan di dalam gudang, tapi karena rasa penasarannya yang tinggi, Rayhan tetap nekat melihat ke dalam gudang tersebut dengan tujuan agar ia tidak mati penasaran.

Bukannya hantu yang di lihat Rayhan, tetapi seorang santriwati yang nyaris telanjang bulat sedang di rudak paksah oleh seorang pria bertopeng.

Bruaaak...

Tanpa pikir panjang Rayhan menjebol pintu gudang dengan satu tendangan.

Pria bertopeng itu menoleh kebelakang, melihat Rayhan yang baru saja mengganggu kesenangannya. Segera pria bertopeng itu melepaskan sang Santri dan rencananya ia akan langsung menyerang Rayhan, lalu melarikan diri.

Tetapi ternyata tidak semudah itu ia melarikan diri. Dengan sigap Rayhan menangkis pukulan, dan melepaskan tendangan memutar hingga menghantam wajah pria bertopeng tersebut. Andai saja pria itu orang biasa mungkin ia sudah tak sadarkan diri.

"Hehehe... Boleh juga." Ucap pria tersebut.

Rayhan tersenyum sinis. "Malam ini tamat riwayatmu." Ujar Rayhan sombong.

Rayhan maju lebih dulu, ia melepaskan tendangan lurus kearah perut sang pemerkosa, tetapi mampu di tahan oleh pria tersebut.

Tidak mau kalah, pria bertopeng itu melakukan gerakan tendangan keatas, dengan sigap Rayhan memblok tendangan pria itu dengan kedua tangannya sehingga ia terhindar dari cidera.

Tidak mau kehilangan momen, pria tersebut langsung melepaskan hook kiri kanan membuat Rayhan kesulitan menghindar. Pemuda itu hanya mampu menunduk, melindungi wajahnya dari pukulan beruntun yang dilepaskan oleh pria tersebut.

"Wow... Kamu hebat juga." Ucap pria bertopeng.

Rayhan langsung melakukan tendangan keatas, kewajah pria bertopeng, tetapi pria itu dengan cepat menghindari nya, langsung menyerang balik Rayhan dengan tendangan kearah perut.

Tab...

Rayhan menangkap kaki pria tersebut, dan membalasnya dengan sapuan kaki.

Buk...

"Anjing...." Pria tersebut terpaksa mencium lantai.

Rayhan kembali menendangnya, tetapi pria itu dengan cepat menghindarinya.

Saat Rayhan melayangkan tinjunya, pria tersebut dengan sengaja menerimanya, tapi sebagai gantinya ia ikut memukul wajah Rayhan. Alhasil keduanya sempoyongan.

"Hehehe..." Tawa si pria.

Rayhan yang emosi kembali maju ke depan, ia melayangkan pukulan hook kanan ke wajah pria tersebut, dengan tangkas ia menarik wajahnya ke belakang untuk menghindarinya. Tetapi serangan Rayhan belum usai, ia melakukan pukulan menyilang dengan tangan kirinya, yang tidak dapat di hindari musuhnya, lalu di susul dengan uppercut tangan kanan.

Tampak pria tersebut keleyengan setelah menerima kedua pukulan Rayhan. Alhasil ia harus menerima tendangan kearah perutnya.

"Houk..." Pria tersebut tersungkur.

"Cuman segitu?" Ejek Rayhan.

"Cuih..." Pria tersebut meludahkan daranya. "Bocah ingusan, kamu akan menyesal karena telah membuat orang sepertiku marah." Katanya dengan tatapan tajam.

Pria tersebut kembali berdiri, ia mengambil kuda-kuda dan siap menyerang. Dengan gerakan penipu lalu di susul dengan tendangan T melesat lancar mengenai ulu hati Rayhan hingga membuat pemuda itu tersungkur.

Dengan cepat pria tersebut menyergap Rayhan, ia menduduki perut Rayhan, mengunci kedua kaki Rayhan dengan kakinya.

"Mati aku..." Gumam Rayhan.

Dari atas pria tersebut memukuli wajah Rayhan, dan sebisa mungkin Rayhan melindungi wajahnya dari hujaman pukulan pria bertopeng.

Bak... Buk... Bak... Buk...

"Hahahaha... Mau lari kemana kau sekarang." Umpat Pria bertopeng.

Sembari menahan pukulan pria bertopeng, Rayhan mengayunkan pinggulnya, berusaha membebaskan kedua kakinya, tapi usahanya masih belum menemui hasil.

Ia memutar kesamping tubuhnya, walaupun sulit tapi akhirnya ia berhasil. Tapi sayang posisinya belum aman, dan sekarang ia malah membuat bagian kepala dan punggungnya terbuka.

Tanpa ampun pria tersebut memukul punggung dan kepala Rayhan. Tidak hanya menggunakan pukulan, tapi juga sikutan.

Lama kelamaan tenaga Rayhan mulai melemah, rasa sakit yang di derita Rayhan membuat pemuda itu nyaris menyerah. Dengan sisa-sisa tenaganya ia mencoba berdiri, melepaskan dirinya dari kuncian kedua kaki si pria bertopeng.

Dengan satu sentakan akhirnya ia berhasil melepaskan diri. Ia berjalan sempoyongan mundur ke belakang, berusaha memulihkan kesadarannya.

Rayhan sempat melihat pria tersebut tersenyum, lalu tiba-tiba sebuah tendangan belakang tepat mengenai rahangnya yang membuat tubuh Rayhan kembali terhempas ke ubin, Rayhan ingin kembali berdiri, tetapi tubuhnya sudah tidak mampu lagi.

Sebelum ia kehilangan kesadarannya, Rayhan melihat pria tersebut kembali mendekati Santriwati yang hanya bisa menjerit pasrah.

*****


Nadia

Suara gaduh di belakang rumahnya membangunkan Nadia dari tidurnya. Ia mencoba membangunkan Suaminya, tapi sayang suaminya sama sekali tidak bergeming. Dengan rasa penasaran ia keluar dari kamarnya menuju pintu belakang.

Baru saja ia membuka kunci pintu belakang rumahnya, tiba-tiba seorang pria bertopeng menyerobot masuk. Tidak sampai di situ saja, ia mengunci leher Nadia dengan lengannya.

"Jangan teriak, atau kupatahkan lehermu." Ancam Pria tersebut saat mendengar suara derap langkah mendekati rumah Nadia.

"Coba cari yang benar, dia tidak mungkin lari jauh."

"Mungkin di balik pohon itu."

"Gak ada Ustad."

"Di sini juga tidak ada."

"Sembunyi kemana pria itu."

Di balik topeng hitam yang di kenakannya, tampak pria tersebut pucat Pasih. Ia bisa mati kalau persembunyian nya sampai ketahuan.

Tok... Tok... Tok...

"Assalamualaikum... Ustad... Ustadza..."

Pria bertopeng itu mengambil sebuah pisau dapur yang terletak di atas meja. "Buka, dan bilang kalau aku tidak ada di sini." Bisik pria tersebut.

Nadia yang ketakutkan karena berada di bawah ancaman, terpaksa menuruti kemauan pria tersebut. Ia segera membuka sedikit rumahnya. Tampak di luar rumah terlihat begitu ramai.

"Ya Pak Girno ada apa?" Tanya Nadia.

"Anu maaf Ustadza, apakah Ustadza liat pria bertopeng kabur ke sini?" Tanya Pak Girno satpam pesantren.

Pria bertopeng itu menempelkan pisau tersebut di pinggang Nadia. "Gak lihat Pak!" Jawab Nadia cepat, ia khawatir terlalu lama mengobrol dengan sang Satpam akan membuat pria bertopeng marah kepadanya.

"Kalau ada yang mencurigakan, tolong Bu Ustadza beri tau kami."

"Iya Pak."

"Permisi Bu Ustadza, hati-hati."

Setelah keremunan tersebut pergi mejauh, Nadia segera menutup dan mengunci pintu rumahnya. Nadia berharap pria bertopeng itu segera pergi meninggalkan rumahnya.

Tapi tiba-tiba Nadia merasakan remasan di payudaranya, dan hembusan nafas khas seorang pria yang sedang birahi.

"Jangan melawan!" Perintah pria tersebut.

Tubuh Nadia gemetaran, ia sangat ketakutan. "Tolong Mas, di rumah ada Suami dan anak saya." Mohon Nadia, berharap pria tersebut takut dan akhirnya memilih untuk pergi dari rumahnya.

"Makanya jangan berisik, atau... Kamu, Suami dan anakmu akan saya bunuh." Ancamnya lagi.

Nadia terdiam membisu, ia tidak menyangkah kalau dirinya akan berada dalam kondisi yang sulit seperti saat ini. Kalau ia berteriak, bisa saja bukan hanya dirinya yang menjadi korban, tetapi juga Suami dan anak gadisnya juga akan menjadi korban.

Wanita Soleha itu hanya memejamkan matanya ketika pria bertopeng itu meremas sepasang buah dadanya. Bahkan ia tidak bisa mencegah tangan kanan pria tersebut yang menyusup masuk kedalam celananya.

"Ya Tuhan..."

Jemari-jemarinya membelai rambut kemaluan Nadia, terus turun menuju bibir kemaluan Nadia. Ia membelai bibir kemaluan Nadia, membuat sang Ustadza terlihat merinding.

Satu persatu kancing piyama Nadia ia lepaskan, di balik piyamanya Nadia tidak memakai Bra, hingga pria tersebut semakin leluasa menjamah payudara Nadia yang membulat sempurna. Ia membelai puting Nadia yang perlahan mulai mengeras.

"Sudah basah... Kamu menyukai." Goda si pria.

"Tidak..." Tegas Nadia.

Pria tersebut terkekeh pelan, ia semakin intens menjamah tubuh Nadia. Tangan kanannya dengan gencar menggosok-gosok clitoris Nadia, sementara tangan kirinya tampak sibuk memainkan payudara Nadia, meremas dan memilin putingnya.

Nadia mulai terlihat gelisah, sesekali ia menggigit bibirnya menahan gejolak syahwat yang mulai membakar birahinya.

"Ya Tuhan... Mana mungkin aku terangsang dalam keadaan kondisi seperti ini." Keluh Nadia.

Tiba-tiba pria tersebut memutar tubuh Nadia, hingga mereka berhadap-hadapan. Kemudian pria tersebut menyosor bibir Nadia, mencium bibir merah Nadia dengan ganas, sementara kedua tangannya memeluk pinggang Nadia dengan erat.

"Layani saya, atau semua keluargamu mati." Ancam pria itu lagi.

Nadia yang mengkhawatirkan keluarganya terpaksa membalas pagutan si pria asing itu. Ia membuka mulutnya membiarkan lidah pria itu menjelajahi bagian dalam mulutnya, menggelitik rongga mulutnya, membelit lidahnya dengan ganas, hingga menelan air liur pria bertopeng tersebut.

Sembari berciuman, tangan kanan pria tersebut terjulur ke bawah, membelai dan meremas-remas pantat Nadia yang terasa kenyal dari luar celana piyama yang di kenakan Nadia.

Walaupun Nadia tidak ingin mengakui, tetapi pada kenyataannya sentuhan pria tersebut membangkitkan birahinya.

Tangan pria tersebut menyusup kedalam celana Nadia, meremas kembali pantat Nadia yang kini tanpa penghalang, lalu turun menuju memek Nadia. Ia menggosok-gosok bibir memek Nadia, membuat tubuh Nadia belingsattan.

"Aaahkk... Eeehmmppsss... Ehmmmppss..." Desah Nadia diantara ciuman mereka.

Pria tersebut tampak senang mengetahui mangsanya mulai terbakar api birahi. Kemudian ia menuntun Nadia menuju meja makan, ia meminta Nadia berpegangan di kedua sisi meja makan.

Nadia menggelengkan kepalanya ketika kedua jari pria tersebut berada di bagian karet elsastis celana yang di kenakannya.

Dengan satu tarikan, pria tersebut menarik turun celana piyama berikut dengan dalamannya.

"Jangan sentuh itu..." Mohon Nadia.

Tentu saja pria bertopeng itu tidak perduli, ia membuka cela kemaluan Nadia yang tampak semakin basah karena birahinya.

Kemudian pria itu berlutut di belakang pantat Nadia, sembari memperhatikan kemaluan Nadia.

"Indah sekali." Bisik pria tersebut.

Nadia menggigit bibir bawahnya ia merasa sangat malu. "Jangan di lihat saya mohon." Melas Nadia, seraya memandangi pria tersebut.

Pria itu mendekatkan wajahnya dan mulai menjilati kemaluan Nadia. Dengan ujung lidahnya ia menyapu bibir kemaluan Nadia, sembari meremas-remas bongkahan pantat Nadia. Yang bisa Nadia lakukan, hanyalah membekap mulutnya, agar suara desahannya tidak keluar.

Sapuan lidah pria tersebut membuat Nadia panik. Harus di akui, bagian itu sangat sensitif bagi Nadia.

"Oughk... Tidak! Ya Tuhan... Jangaaan... Aaahkk..." Panik Nadia. Pantatnya gemetaran menahan nikmat yang luar biasa.

Lidah pria tersebut terjulur mencari clitoris Nadia, menjilati biji kacang tersebut, hingga membengkak dan memerah. Sesekali ia menyeruput lendir kewanitaan Nadia yang keluar semakin banyak.

Lidah pria tersebut naik keatas, menyapu lobang anus Nadia. Sementara kedua jarinya menusuk lobang memek Nadia yang masih terasa rapat walaupun sudah melahirkan satu orang anak.

Sembari menjilati anus Nadia, pria tersebut mengocok lobang memek Nadia.

"Aaahkk... Aaahkk... Aaahkk..." Erang Nadia tertahan.

"Ya Tuhan... Ada apa dengan tubuhku, kenapa ini enak sekali." Erangan hati Nadia.

Sloookksss... Sloookkss... Sloookksss... Sloookksss... Sloookksss... Sloookksss...

Sloookksss... Sloookkss... Sloookksss... Sloookksss... Sloookksss... Sloookksss...

"Aaarrrtt.... Ouugk...." Nadia melolong panjang.

Kedua kakinya melejang-lejang, dan tampak cairan cintanya merembes keluar hingga menetes jatuh keatas lantai dapurnya.

Ploopss...

Nadia baru saja orgasme, ia benar-benar tidak mengerti kenapa dirinya bisa orgasme di tengah-tengah ancaman pria tersebut. Seharusnya rasa takut membuatnya kehilangan gairah bukan malah semakin bergairah.

Pria bertopeng itu mencabut kedua jarinya dari dalam lobang memek Nadia.

"Bersihkan." Suruhnya.

Nadia terpaksa membuka mulutnya lalu mengulum kedua jari pria tersebut. Ia dapat mencium dan merasakan aroma memeknya.

Setelah di rasa cukup, pria tersebut memaksa Nadia berlutut di depannya. Lalu pria itu membuka celananya, membiarkan kontolnya terbebas dari belenggu celananya. Tanpa di suruh Nadia paham apa yang di ingin pemerkosanya itu.

Sembari menatap melas kearah pria tersebut, Nadia menggenggam kontolnya, mengurut pelan kontol pria tersebut. Pria itu menekan bagian belakang kepala Nadia, memintanya untuk langsung mengoral kontolnya yang sudah sejak tadi ingin mencicipi mulut Nadia.

Dengan sangat terpaksa Nadia membuka mulutnya, melahap kontol pria tersebut.

Kepalanya maju mundur menghisap kontol pria tersebut. Lidahnya menari-nari menggelitik kepala kontol pria tersebut.

Sluuuppsss... Sluuuppsss... Sluuuppsss... Sluuuppsss... Sluuuppsss....

Sluuuppsss... Sluuuppsss... Sluuuppsss... Sluuuppsss... Sluuuppsss....

Nadia berfikir dengan membuat pria tersebut orgasme, maka kemungkinan besar pria tersebut akan kehilangan hasratnya untuk memperkosa dirinya. Sehingga Nadia mencoba berbagai cara untuk membuat pemerkosanya orgasme.

Dengan menggunakan payudaranya, ia menjepit kontol pria tersebut. Mengurut kontol pria tersebut menggunakan payudaranya, sembari menjilati kepala kontolnya.

"Siapa sangka ternyata Ustadza juga tau teknik yang sering di gunakan pelacur." Ledek Pria tersebut.

Nadia tidak mau mengubrisnya, ia hanya ingin masalah ini cepat selesai. Tapi sayang usahanya tidak membuahkan hasil.

"Kamu harus cepat! Atau Suamimu dan anakmu akan keburu bangun." Ujarnya, membuat Nadia panik.

Ia sangat takut kalau ada yang bangun, dan itu bisa membuat Suami dan anaknya terancam. Tidak ada pilihan lain, Nadia harus melakukannya demi menyelamatkan keluarganya.

Nadia berdiri, kemudian ia kembali memutar tubuhnya menghadap ke meja dengan posisi sedikit menungging kearah sang pria bertopeng.

"Bagus... Bagus... Ini yang saya mau." Ujarnya.

Pria tersebut mendekati selangkangan Nadia. "Sekarang apa yang harus kulakukan? Katakan sekarang, sebelum mereka bangun." Suruh pria tersebut, sungguh sangat mempermainkan perasaan Nadia.

"Setubuhi aku." Pinta Nadia dengan suara gemetar.

"Hehehe... Saya tidak mengerti, apa itu setubuhi! Katakan dengan benar."

"Tolong masukan penis Tuan ke vagina saya."

"Hampir benar, tapi itu masih salah."

Nadia memejamkan matanya, berpose dengan gaya menungging seperti ini saja harga dirinya sudah hancur, apa lagi harus memohon dengan kata-kata kotor. Sebagai seorang Ustadza ia merasa pria tersebut sudah keterlaluan. Tetapi Nadia sadar ia tidak punya pilihan.

Tangan Nadia menarik salah satu bongkahan pantatnya, memperlihatkan cela memeknya.

"Tuan... Saya mau kontol tuan masuk ke dalam memek saya! Tolong zinahi saya." Ucap Nadia, ada perasaan aneh yang menyelimuti hatinya ketika ia harus berkata begitu vulgar, merendahkan harga dan martabat dirinya sebagai wanita Soleha.

"Hahaha... Baiklah Bu Ustadza saya akan ngentotin Bu Ustadza." Jawab pria tersebut.

Nadia mendesah pelan ketika merasakan gesekan kepala kontol pria tersebut di bibir kemaluannya. Kemudian dengan perlahan kontol besar pria tersebut menyeruak masuk ke dalam lobang memeknya yang hangat dan licin.

Tanpa kesulitan berarti pria tersebut berhasil memasukan kontolnya hingga mentok.

"Aaahkk..." Desah Nadia.

Sembari memegangi pinggul Nadia, pria tersebut melakukan penetrasi. "Sssss... Aaahkk... Aaahkk... Enak sekali memek Bu Ustadza." Racau Pria tersebut, sembari menghentak-hentak pinggulnya.

"Ughk... Ya Tuhan... Aaahkk..." Erang Nadia.

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

Tubuh indah Nadia yang bermandikan keringat tampak terhentak-hentak ketika pria tersebut meningkatkan tempo sodokannya ke dalam memek Nadia yang semakin banyak mengeluarkan precum, hingga makin memuluskan pergerakan kontol pria tersebut.

Sungguh sulit di percaya bagi Nadia, ia tidak menyangka kalau pemerkosaan yang ia alami malah membuatnya makin bergairah.

"Aaahkk... Tuan! Aaahkk... Pelan-pelan... Aaahkk..." Erang Nadia.

Plaaaak... Plaaaak... Plaaak...

"Sshh... Aaahk... Nikmat sekali memekmu Ustadza." Racau pria tersebut.

Semakin lama laju kontol nya semakin cepat, keluar masuk, keluar masuk, sembari meremas dan menampar-nampar pantat Nadia.

Nadia tidak kalah panasnya, ia ikut menggoyangkan pantatnya menyambut hentakan kontol pria tersebut. Bahkan ia harus berusaha mati-matian untuk meredam suara erangannya.

"Ughk... Nikmat sekali memekmu Ustadza." Pria tersebut merasa kontolnya seperti di peras-peras di dalam memek Nadia.

Sementara Nadia sendiri dapat merasakan kepala kontol pria tersebut yang menubruk-nubruk rahimnya. Bagian yang tidak mampu di capai oleh Suaminya yang memiliki kontol tidak begitu besar.

"Ya Tuhaaaaan... Jangan lagi." Jerit Nadia tertahan.

Pantatnya bergetar hebat, ia merasa sudah hampir mendekati orgasmenya.

Melihat hal tersebut pria itu makin gencar menyodok-nyodok memek Nadia, bagaikan mesin jahit, menusuk tanpa henti, hingga membuat Nadia gelagapan. Tubuh indahnya meliting, sembari menggigit bibirnya lendir cintanya meluncur deras.

Seeeeeeeeeeeeeeeerrrr....

Orgasme barusan adalah orgasme ternikmat yang pernah ia rasakan. Tubuhnya lunglai, seakan tulang-tulang remuk sanking dasyatnya orgasme barusan.

Pria tersebut membantu Nadia berdiri, lalu ia menidurkan Nadia di atas meja.

"Sudah cukup, jangan lagi..." Mohon Nadia.

Pria tersebut tentu tidak mengubrisnya. "Kamu belum membuatku ejakulasi! Jangan sampai Suami dan Anakmu terbangun, Ustadza pasti tau akibatnya." Ujarnya dengan nada ancaman.

"Tidak... Saya mohon jangan sentuh keluargaku." Melas Nadia, dari raut wajahnya ia terlihat sangat mengkhawatirkan keluarganya.

"Kalau begitu bantu saya mendapatkannya. Mungkin kamu bisa menggodaku." Nasehat pria bertopeng.

Kemudian pria tersebut kembali menggenjot memek Nadia, tangannya terjulur menggapai payudara Nadia, meremasnya dengan perlahan, membuat birahi Nadia kembali berkobar.

Nadia sadar, tidak ada gunanya melawan pria yang ada di hadapannya. Ia harus segera membuat pria itu segera ejakulasi.

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...


"Tuaaaan... Aaahk... Enaaak, terus Tuan! Oughk... Aaahk... Terus Tuan..." Erang Nadia, sembari menggoda pria tersebut agar segera menyelesaikan kegilaan mereka malam ini.

"Bagus... Bagus, kamu membuatku semakin bersemangat." Ujar Pria tersebut.

"Maafkan Umi Abi, maafkan Umi Helena, Umi terpaksa melakukan ini semua demi kalian." Jerit hati Nadia.

Pria tersebut mengangkat kedua kaki Nadia, dan meletakkan nya diatas pundak nya.

"Aaahkk... Tuan! Enaaak... Kontol Tuan enaaak... Memek saya suka kontol Tuan." Erang Nadia dengan suara di buat manja.

"Kontol saya pasti jauh lebih enak ketimbang Suamimu! Hahaha..." Ejek pria tersebut.

Walaupun apa yang di katakan pria itu benar, tetapi tetap saja Nadia merasa tersinggung. Andai saja ia tidak memikirkan keluarganya, tentu Nadia lebih memilih mati dari pada menikmati pemerkosaan yang ia alami. Tapi apakah benar begitu?.

Raut wajah Nadia menandakan kalau dirinya memang benar-benar menikmati pemerkosaan yang ia alami. Semakin kasar pria itu menjorokan kontolnya ke dalam memeknya, maka terasa semakin nikmat. Semakin ia di lecehkan oleh pria tersebut, maka semakin birahi Nadia.

Pria tersebut menarik tangan Nadia, lalu meletakannya di lehernya. Kemudian ia mengangkat tubuh Nadia ke dalam gendong.

"Ya Tuhaaaaan... Auwww... Aaahkk... Aaahkk..." Jerit Nadia ketika ia berada di gendongan sang pria.

"Bagaimana?" Goda Pria itu.

Nadia merasa kontol pria tersebut menusuk semakin dalam ke dalam relung memeknya. Kepalanya terbanting ke kiri dan kanan sanking nikmatnya.

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

Pantat Nadia berayun-ayun di udara, menyambut kontol si Pria yang bagaikan tombak, menusuknya dari bawah dengan sangat keras.

"Aaahkk... Memekku... Oughk..."

"Ustadza aku mau keluar..." Erang pria tersebut.

"Yeaaah... Aku jugaaaa... Aaahkk... Aaahkk..." Nadia memeluk semakin erat tubuh pria tersebut.

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

Hingga akhirnya secara bersamaan kedua mencapai puncak mereka. Tubuh Nadia bergetar hebat di dalam pelukan pria tersebut. Ia dapat merasakannya hangatnya sperma pria bertopeng itu di dalam memeknya.

Croootss... Croootss... Croootss...

*****

04:30


Zaskia

Rayhan tersadar dari pingsannya, saat membuka mata Rayhan sedikit kebingungan melihat sekelilingnya. Aku di mana? Gumam hati Rayhan, mencoba mengingat-ingat apa yang sebenarnya terjadi sebelumnya. Ia membuang tatapannya ke depan, dan melihat kearah Zaskia yang baru saja selesai shalat.

Wanita cantik itu dengan santainya membuka mukenna yang ia kenakan, dan di balik mukenna itu Zaskia hanya memakai dalaman berwarna cream, di hiasi pita berwarna merah muda.

Rayhan tersenyum kecil, kini ia sadar kalau dirinya ada di dalam kamar Kakak Iparnya.

"Kak..." Lirih Rayhan.

Zaskia yang hendak mengenakan pakaiannya, tiba-tiba menoleh ke belakang, melihat kearah Rayhan yang tengah memandangnya.

Tanpa memperdulikan keadaannya yang hampir telanjang, Zaskia langsung menghampiri adiknya, lalu memeluknya dengan perasaan legah. Sejujurnya ia merasa sangat khawatir takut terjadi apa-apa terhadap adik iparnya walaupun sahabatnya Haifa sudah memberitahukannya kalau Rayhan akan baik-baik saja.

"Ya Tuhan terimakasih..." Zaskia terisak, ia mencium sekujur wajah Rayhan, seakan lupa kalau mereka berdua bukanlah muhrim.

"Sakit Kak!" Erang Rayhan.

Dalam keadaan normal, tentu Rayhan akan sangat senang mendapatkan pelukan dari Zaskia tapi saat ini kondisinya berbeda.

Bayangkan saja, tubuhnya yang remuk setelah di hajar habis-habisan oleh pria bertopeng, di peluk oleh Zaskia dengan sangat erat, membuat Rayhan kembali merasakan sakit di tubuhnya.

Buru-buru Zaskia melepaskan pelukannya, saat sadar kalau pelukannya telah menyakiti adiknya.

"Maaf Dek, kamu gak apa-apakan?" Tanya Zaskia mengkhawatirkan kondisi adiknya.

Rayhan menggelengkan kepalanya. "Gak apa-apa kok Kak! Sstttt... Kok aku ada di sini Kak?" Tanya Rayhan, seingatnya terakhir ia berada di gudang.

"Tadi Ustadza Haifa dan beberapa santri yang membawa kamu ke rumah."

"Kok aku gak di bawak ke rumah sakit?" Protes Rayhan, karena biasanya orang terluka suka di bawak kerumah sakit atau ke puskesmas terdekat. Setidaknya itulah yang ia lihat di film-film.

Pertanyaan itu sukses membuat Zaskia yang tadinya tampak sedih, berubah menjadi gelak tawa. Pertanyaan Rayhan cukup masuk akal.

Rayhan mendengus kesal melihat Kakak Iparnya yang tertawa renyah.

"Jadi kamu pengen ke rumah sakit? Manja..." Goda Zaskia, sembari menahan tawa.

"Diih... Di kira enak di pukulin."

"Ya Tuhan... Hihihi... Lagi sakit gini kamu masih bisa ngelawak." Tawa renyah Zaskia, diam-diam Rayhan tersenyum melihat Zaskia yang sudah kembali bisa tertawa. "Tadinya Kakak juga mau membawamu ke rumah sakit! Tapi kata Mbak Haifa kamu akan jauh lebih baik kalau di rumah aja." Jelas Zaskia, seraya mengambil kain kompresan di kening Rayhan lalu menggantinya dengan yang baru.

"Bilang aja gak mau rugi." Rutuk Rayhan, dan lagi-lagi membuat Zaskia tertawa.

"Rumah sakit mahal Dek! Hihihi..."

Tapi apa yang di katakan Ustadza Haifa memang benar, lebih baik ia di tawat di rumah, di rawat langsung oleh Zaskia Kakak iparnya.

Tak ingin hanya dirinya saja yang di olok-olok, Rayhan sengaja menggoda Zaskia.

"Tapi memang ennakkan di rawat di rumah Kak! Apa lagi kalau yang ngerawat cuman make dalaman." Balas Rayhan menggoda. Ia menatap seluruh tubuh Laras dengan senyuman misterius.

Zaskia langsung terdiam, dan sedetik kemudian ia berteriak kesal.

"Adeeeek..."

*****


Laras

Hari ini Rayhan tidak masuk sekolah, setelah di hajar habis-habisan tadi malam. Azril berniat menjenguk sahabatnya itu, sementara Doni, Nico dan Riko akan menyusul setelah makan siang.

Tapi naas, belum juga sampai di rumah Rayhan, tiba-tiba ia di cegat oleh Dedi dan teman-temannya.

"Ikut aku sekarang." Ujar Dedi sembari mencengkram kera leher Azril.

Azril yang ketakutan hanya pasrah ketika Dedi membawanya ke asrama Hamza. Kemudian Azril di seret masuk ke kamar 01.

Dedi menatap tajam kearah Azril yang tampak ketakutan, dan tiba-tiba ia melayangkan tinjunya kearah wajah Azril, lalu di susul dengan tendangan kearah perut Azril membuat pemuda itu tersungkur ke lantai.

"Bangun anjing! Kemarin kamu kayaknya jagoan banget." Suruh Dedi.

"Bikin dia kapok bos."

"Hahaha..."

Dedi menarik tangan Azril agar pemuda itu berdiri, setelah Azril berdiri ia kembali memukuli Azril berkali-kali hingga membuat Azril babak belur.

Saat Azril tersungkur di lantai, Dedi dengan sadirnya menendang perut dan kepala Azril.

"Kamu bilang apa ke Clara? Hah... Emang kamu pikir Clara akan percaya, terus gak mau ngentot lagi sama aku! Hahaha... Jangan mimpi." Umpat Dedi, ia menjambak rambut Azril hingga wajah Azril terangkat.

"Azril... Azril... Cowok cupu kayak kamu mimpi punya pacar! Hahaha..." Ejek Efran.

"Hahahaha...."

"Zril... Memek Clara enak Lo..." Bisik Dedi, membuat hati Azril semakin panas.

"Tai..." Umpat Azril marah.

"Bagus..."

Bak... Buk... Bak... Buk...

Secara membabi buta Dedi memukuli Azril, bahkan ia terlihat seperti berniat membunuh Azril yang sudah tidak berdaya.

Beruntung teman-temannya Dedi segera menahan pemuda yang sedang emosi itu, menyiksa Azril bagi mereka memang menyenangkan, tapi membunuhnya itu cerita lain. Tentu mereka tidak ingin berurusan dengan polisi karena ulah Dedi.

"Cuih..." Dedi meludah kearah Azril.

"Sana pergi kamu! Sebelum kamu mati di sini." Ferdi mengusir Azril, sembari menendang bagian belakang Azril.

Tidak memperdulikan rasa sakit di tubuhnya, sembari berlari sempoyongan Azril pergi meninggalkan asrama Hamza dengan rasa sakit di sekujur tubuhnya.

Dalam perjalanan pulang, Azril menangis, bukan karena rasa sakit di tubuhnya, melainkan karena dirinya begitu lemah dan penakut, yang membuat dirinya selalu di tindas oleh mereka yang kuat.

Tangis Azril baru redah ketika ia memasuki rumahnya, buru-buru Azril menenangkan dirinya sebelum memasuki rumahnya. Ia berharap tidak ada orang rumah yang melihatnya dalam kondisi seperti saat ini. Dengan cara mengendap-endap ia masuk ke dalam rumahnya.

"Astaghfirullah Azril."

"Eh, Umi." Azril nyengir kuda sembari menggaruk-garuk kepalanya.

Ustadza Laras mendesah pelan sembari menghampiri putranya yang pulang dalam keadaan berantakan. "Duduk sini." Suruhnya, meminta Azril duduk di sofa, di samping dirinya. Dengan patuh Azril duduk di samping Ibunya.

Ia memegangi wajah putranya yang tampak memerah, dan mata kiri Azril sedikit bengkak. Terakhir kali ia melihat Azril bonyok seperti saat ini ialah dua bulan yang lalu, dan kali ini kembali terulang lagi. Sebagai seorang Ibu tentu saja ia merasa sangat khawatir.

Setelah memeriksa luka di wajah Azril, Laras berlalu ke kamarnya untuk mengambil kotak p3k, dan air hangat untuk mengompres luka Azril.

"Kamu berantem lagi." Tanya Laras.

Azril memilih diam, ia tidak tau harus mengatakan apa kepada Ibu tirinya. Ia tidak mungkin berbohong, tapi ia juga tidak berani untuk berkata jujur.

Dengan menggunakan kain kasa, Laras mengompres wajah memar Azril membuat pemuda itu meringis kesakitan menahan pedih di wajahnya. "Aduh sakit Mi." Rintih Azril meringis menahan pedih.

"Tahan ya sayang! Sini peluk Umi." Ujar Laras.

Azril memeluk pinggang Laras, sembari membenamkan wajahnya diatas payudara Ibu tirinya yang terasa empuk. "Maafin Azril ya Mi." Lirih Azril, ia merasa sangat nyaman berada di dalam pelukan Laras, apa lagi ia bisa merasakan tekstur empuk payudara Laras.

"Sudah umi katakan berulang kali, jangan berkelahi." Ujar Laras, sembari membersihkan luka di wajah Azril.

"Iya Umi."

"Kali ini Umi akan adukan kamu sama Abi." Ancam Laras. Membuat wajah Azril mendadak pucat pasi.

Dia menatap Ibunya sembari menggelengkan kepalanya. "Ja-jangan Umi. Nanti Abi marah sama Azril." Mohon Azril kepada Ibunya yang baru saja selesai mengobati luka di wajahnya yang memar.

"Biar kamu jera." Cetus Laras.

Wajah Azril berubah memelas di hadapan Laras. "Umi tega lihat Azril di pukul Abi?" Melas Azril, dengan tatapan sedih. Bukannya merasa kasihan, Laras malah terlihat kesal melihat tingkah putranya yang begitu kekanakan.

"Siapa suruh kamu bandel."

"Azril janji tidak akan mengulanginya lagi." Azril membentuk huruf V dengan kedua jarinya.

Laras menggelengkan kepalanya. "Kemarin kamu juga bilang begitu! Sudah-sudah sana kamu mandi dulu, habis itu makan bareng Umi." Titah Laras, Azril hanya pasrah menuruti perintah Ibunya. Ia berjalan gontai menuju kamarnya dengan raut wajah yang tidak bersemangat.

Setelah Azril kembali ke kamarnya, Laras merubah ekspresi wajahnya menjadi datar.

Sebenarnya ia juga tidak ingin mengadukan kelakuanku Azril kepada Suaminya. Tapi Azril memang harus di kasih hukuman agar ia jera dan tidak mengulangi lagi perbuatannya. Laras menyenderkan punggungnya di sofa sembari terus berfikir mencari solusi yang lebih baik dari pada harus mengadukan perbuatan Azril hari ini kepada suaminya.

Mengingat Suaminya, membuat emosi Laras semakin menggebu-gebu. Ia sangat kesal terhadap Suaminya yang lebih memintingkan Istri mudanya, sementara dirinya sendiri malah harus mengurus kedua anak Suaminya.

Setelah berfikir cukup lama, akhirnya Laras menemukan solusi yang tepat untuk membuat Azril jera tanpa harus memberi tau kan Suaminya.

Ia segera menyusul Azril ke kamarnya, tanpa mengetuk pintu Laras membuka kamar Azril. Pemuda berwajah inoncent tersebut tampak kaget melihat Ibunya masuk ke dalam kamarnya.

"Sini kamu Nak." Panggil Laras.

Azril yang mengenakan handuk menghampiri Laras yang tengah duduk di tepian tempat tidurnya. "Ada apa Umi?" Tanya Azril keheranan.

"Telungkup di pangkuan Umi." Suruh Laras.

Walaupun ia tidak mengerti tapi Azril tetap menuruti perintah Laras. Ia tidur terlungkup diatas paha Laras.

Laras menarik nafas dalam, ia merasa tak tega untuk melakukannya. Tapi demi kebaikan putranya, ia harus melakukannya. Bukankah lebih baik dirinya yang menghukum Azril dari pada Abinya.

Plaaakk...

"Aaauuww..." Jerit Azril.

Sebuah pukulan keras mendarat di pantat Azril, hingga terasa pedih di pantat Azril. berulang kali Laras memukul pantat Azril hingga handuk Azril terlepas dari pinggangnya, tetapi Laras tidak begitu memperdulikannya, ia terus saja memukul pantat Azril, meluapkan amarahnya kepada Azril yang tidak tau apa-apa.

Laras dapat melihat bekas merah di pantat putranya, tapi itu tidak mengendurkan pukulannya dari pantat putranya. Ia benar-benar kesal terhadap Suaminya yang mulai tidak perduli lagi kepadanya, hingga pemerkosaan Daniel terhadap dirinya bisa terjadi.

Tanpa sadar ia melampiaskan kemarahannya kepada Azril, ia memukul pantat Azril walaupun anaknya menjerit kesakitan.

"Aduh Umi... Sakit!" Mohon Azril.

Plaaakk... Plaaakk... Plaaakk...

"Ini hukuman buat anak Umi yang gak mau nurut apa kata Umi." Ujar Laras dengan raut wajah emosi.

Plaaakk... Plaaakk... Plaaakk...

"Auww... Uhkk... Ampun Umi." Mohon Azril.

Jeritan manja Azril malah membuat Laras semakin bernapsu memukuli putranya. Yang awalnya tidak begitu keras, kini ia melakukannya sekuat tenaga seakan ia lupa kalau yang ia pukul saat ini adalah anak kesayangannya. Kekesalannya terhadap KH Umar, benar-benar membutakan mata hatinya.

Tapi anehnya Azril malah merasakan sensasi yang sulit di jelaskan. Rasa sakit dari pukulan Laras, malah membuat pemuda itu terangsang. Sadar atau tidak kontol Azril kini telah tegang maksimal.

Puluhan pukulan di layangkan Laras ke pantat putranya, sampai ia merasa capek sendiri, barulah Laras berhenti memukuli pantat putranya yang kini memar memerah akibat kerasnya pukulan Laras. Tapi anehnya Laras malah merasa lega melihat pantat putih putranya kini berwarna merah.

Emosinya yang tadinya memuncak, perlahan menghilang, seakan ia lupa terhadap kemarahannya kepada KH Umar dan Daniel yang terlah menodainya.

"Ayo duduk!" Perintah Laras. Ketika Azril hendak kembali memakai handuknya, Laras mencegahnya. "Tidak usah di pakai, toh Umi juga sudah lihat." Ujar Laras sembari memandangi kontol Azril yang tidak berbulu, karena Azril sangat rajin mencabut habis rambut kemaluannya.

Laras tersenyum geli melihat selangkangan putranya. Sudah botak dan ukuran kontol Azril juga sangat kecil, seukuran jari kelingkingnya, padahal saat ini Azril sudah tegang maksimal.

Melihat kontol Azril, mengingat kannya dengan kontol Suaminya yang juga kecil dan lembek, membuat Laras bertanya-tanya, kenapa kontol sekecil itu ingin memiliki Istri yang banyak. Mungkin Laras bisa memaklumi kalau kontol Suaminya sebesar Daniel.

"Sakit Mi." Rengek manja Azril menyadarkan lamunan Laras.

"Ya Tuhan apa yang kulakukan barusan? Apa salah Azril hingga ia harus menyakiti putranya." Lirih hati Laras, yang sadar atas apa yang baru saja ia lakukan kepada Azril.

Laras memeluk putranya yang tengah merengek. "Habis kamu bandel si Dek, makanya Umi pukul." Ujar Laras enteng.

"Iya Umi!" Lirih Azril. "Azril sayang Umi." Sambungnya.

"Umi juga sayang Azril."

Mereka berdua mengakhirinya dengan cara berpelukan penuh kasih sayang.

*****


Mariska


Irma

"Assalamualaikum..."

"Waalaikumsalam... Ustadza Mariska? Ayo masuk." Suruh Hj Irma.

Segera Mariska masuk ke dalam rumah Hj Irma. Bukan tanpa alasan kenapa ia menemui Hj Irma. Ia bermaksud meminta bantuan Hj Irma untuk meminjam uang demi penyembuhan Suaminya. Mariska merasa hanya Hj Irma yang bisa membantunya saat ini.

Walaupun agak canggung, Mariska mulai menceritakan masalahnya saat ini dan berharap Hj Irma mau membantunya. Tentu saja Hj Irma merasa prihatin dengan musibah yang di alami Mariska.

Hj Irma meraih tangan Mariska. "Maafkan saya Ustadza Mariska! Saya turut prihatin mendengar kabar Ibu kamu di rawat di rumah sakit." Ujar Hj Irma yang tampak menyesal karena tidak bisa membantu mengurangi penderitaan Mariska.

"Saya harus meminta bantuan siapa lagi Umi?"

"Sebenarnya masih ada satu orang lagi yang bisa membantu masalah yang kamu hadapi saat ini, tapi Umi tidak yakin kamu mau menemui orang itu." Jelas Irma, seraya menghela nafas.

"Siapa orangnya Umi?"

"Kamu sangat mengenalnya! Pak Sobri..." Ucap Irma.

Mariska terhenyak mendengar nama itu di sebut oleh Hj Irma. Pria mesum yang ingin menidurinya, tentu saja Mariska tidak sudih meminta bantuan kepada orang yang menjijikan seperti Pak Sobri.

Melihat reaksi Mariska, Irma sama sekali tidak terkejut, ia sadar kalau Mariska adalah sosok yang memiliki pendirian teguh.

"Tidak akan pernah Umi."

"Kenapa kamu begitu membenci Pak Sobri? Apa hanya karena ia pernah meminta mu tidur." Ujar Irma dengan sikap tenang.

"Umi sudah tau jawabannya."

Irma menghela nafas perlahan. "Pria manapun pasti ingin tidur dengan mu Mariska, kamu cantik." Ujar Irma, membuat Mariska tidak habis pikir kenapa Hj Irma terkesan membela Pak Sobri.

"Istighfar Umi."

"Apa yang salah Mariska? Itu sudah menjadi kodratnya manusia." Jelas Hj Irma.

"Maaf Umi, saya sudah menikah! Di agama kita itu di sebut zina dan hukumnya dosa." Jawab Mariska, andai saja lawannya bukan Hj Irma, mungkin ia sudah pergi dari tadi meninggalkan sosok wanita yang ada di hadapannya saat ini.

Mariska tidak mengerti kenapa Hj Irma seakan mendukung perzinahan, mengingat Hj Irma adalah Istri dari KH Sahal.

"Berzina memang membuat kita berdosa, tapi tidak kalau kita melakukannya dengan pernikahan!"

"Masalahnya saya sudah menikah."

"Kamu bisa saja melakukan kawin kontrak dengan nya." Usul Irma, membuat Mariska makin terhenyak mendengar jawaban Hj Irma.

"Astaghfirullah Umi..."

Irma tidak mengubrisnya, ia kedalam rumahnya, lalu kembali sembari membawa beberapa buku karangan syekh Jamak.

Kemudian Irma membuka buku tersebut dan memperlihatkannya kepada Mariska.

Wanita cantik itu menggelengkan kepalanya. "Umi Taukan, kalau penulis buku ini di anggap sesat, bahkan ia sampai terusir dari negaranya." Kecam Mariska yang tidak habis pikir dengan Hj Irma. Bagaimana mungkin Hj Irma menjadikan tulisan syekh Jamak yang di kenal sesat oleh sebagian besar ulama sebagai referensi untuk membenarkan ucapannya.

"Kalau memang benar sesat, lantas kenapa pengikutnya sekarang bertambah banyak?" Tanya Hj Irma, kini Mariska yang terdiam.

"Saya tidak tau Umi."

"Ustadzah, siapa yang bisa menilai orang lain itu sesat atau tidak? Siapakah kita? Apakah karena mereka berbeda dari kita, lantas kita bisa menghakimi orang tersebut sesat." Jelas Irma, ia menatap mata Mariska, seraya tersenyum hangat.

"....." Bibir Mariska terasa keluh.

"Umi ingin sekali membantu kamu, tapi uang 50 juta itu sangat besar! Satu-satunya orang yang bisa membantu kamu adalah Pak Sobri." Ujarnya lagi, kini ia kembali menggenggam tangan Mariska.

"Tapi Umi..."

"Ini bukan demi kamu, tapi demi orang tua kamu yang telah membesarkan kamu, yang rela berkorban nyawa untuk kamu! Apa menurut kamu dengan tidur bersama Pak Sobri itu sebuah pengorbanan besar?" Tanya Irma, sedetik kemudian Irma menggelengkan kepalanya. "Tidak Ustadza... Pengorbanan orang tuamu tanpa batas." Nasehat Irma dengan nada pelan.

Mariska menunduk, ia merasa sebagai seorang anak ia belum melakukan apapun untuk membahagiakan orang tuanya. Tanpa sadar Mariska menitikan air matanya, membayangkan Ibunya meninggal dunia karena tidak mendapatkan pertolongan.

"Umi tidak memaksamu untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kepercayaan mu! Tapi... Umi hanya ingin bilang, nyawa orang tuamu jauh lebih berharga dari hanya sekedar mempertahankan keyakinanmu yang belum tentu kebenarannya." Sambung Hj Irma membuat hati Mariska kian menjerit.

"Aku tidak tau Umi." Lirih Mariska sembari menghapus air matanya.

Irma menyodorkan bukunya kepada Mariska. "Kamu simpan saja dulu buku ini, kalau ada waktu cobalah untuk membacanya." Pinta Irma.

Mariska menerimanya dengan perasaan bimbang. "Terimakasih Umi."

"Umi akan mencoba membantu sebisanya! Kalau nanti kamu berubah pikiran, kemarilah... Umi selalu ada untuk kamu." Irma berdiri, lalu memeluk hangat Ustadza Mriska yang hanya berdiam diri.

Pikirannya kini berkecamuk, antara ingin menyelamatkan nyawa Ibunya, atau mempertahankan keyakinannya selama ini.

*****

Jadwal update 2 hari sekali
end part 8
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd