Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Rapuh -TAMAT

Bagian 2


Rumah bapaknya Arief, cukup sederhana. Rumah tersebut adalah tempat dimana arief tumbuh sampai dewasa. Tidak ada yang spesial dengan bangunannya, hanya rumah berukuran 6 x 10 meter dengan halaman yang luas. Di halaman itu juga tidak ada yang spesial, hanya tanaman-tanaman terawat serta pohon mangga yang tinggi. Ayahnya Arief memang terkenal suka berkebun, sehingga dengan banyak tanaman di halaman sudah mencerminkan bagaimana wataknya.

"Kakeeek!" seru Khalil ketika melihat kakeknya sedang memotongi dahan-dahan kering di salah satu tanamannya.

"Eh, Khalil. Ada apa ke sini? Tumben sekali," ucap sang kakek. Pandangan lelaki tua itu beralih ke seorang pria yang tak lain dan tak bukan adalah anaknya. Itu bukan tatapan suka, melainkan tatapan menghakimi. Khalil langsung menggelayut manja di gendongan kakeknya. "Mau lihat ikan? Kakek punya ikan buesar."

"Mau mau!" seru Khalil.

Arief hendak mencium tangan ayahnya, tetapi lelaki itu menghindar. "Kalau bukan karena Khalil, kau sudah aku usir"

Arief mendesah. Ada perasaan menyesal kenapa dia tidak pernah menuruti nasihat orang tuanya. Namun, bagaimana dia harus menurut sedangkan siapapun yang tinggal di desa ini tahu siapa itu Rah Panji Suroso. Marga Suroso yang ada pada namanya itu bukanlah marga sembarangan di kampung kecil ini.

Mereka berjalan menuju ke samping rumah. Di sana ada kolam ikan yang berisi puluhan ikan koi. Khalil turun dari gendongan kakeknya dan langsung duduk di pinggir kolam. Dia seru sendiri dengan dunianya menjulurkan jarinya ke pinggir kolam. Beberapa ikan sampai menghampirinya dan bocah itu histeris sendiri. Suroso memberikan sebungkus makanan ikan kepada anak tersebut, lalu bocah itu dengan gembira memberi makan ikan.

"Aku mohon maaf," kata Arief. Perlahan-lahan Arief pun berlutut kepada ayahnya.

"Bangun! Kau sudah tak pantas lagi berlutut di hadapanku," kata Suroso sambil mengambil tempat duduk di pinggir kolam dengan kedua kakinya dimasukkan ke dalam air. Ikan-ikan kecil pun mulai menghampirinya.

"Seharusnya aku dengar nasihat bapak," ucap Arief.

"Apa? Kau dikhianati?"

Arief hanya mengangguk.

Suroso tertawa. "Yo ngono kuwi. Bocah ora ngrungokne omongane wong tuwo. Masiho bapakmu iki preman, tapi bapakmu iku ngerti opo sing apik kanggo anake! (Makanya. Anak tidak mendengarkan omongan orang tua. Meskipun bapakmu ini preman tapi bapakmu itu tahu apa yang paling baik untuk anaknya)"

"Tapi aku tidak menyesal. Ini sudah keputusanku, bapak tahu sendiri alasannya. Aku melakukan semua ini juga, karena bapak," ucap Arief.

"Trus, sekarang kamu datang ke bapak buat apa? Kau bawa anakmu agar hati bapak luluh?"

Arief mendesah. Dia lalu melepaskan sepatunya, menaikkan celananya selutut, setelah itu duduk di samping ayahnya sambil kedua kakinya dimasukkan ke dalam air. "Bapak tahu aku sangat benci bapak, karena bapak memaksakan kehendak, keras dan kadang tidak mengert apa yang anakmu rasakan. Setidaknya, aku mulai menyadari nasihat bapak agar tidak percaya kepada siapapun sampai aku benar-benar menguji orang itu adalah benar. Aku telah dimainkan oleh perasaanku sendiri."

"Arief, bapak itu sangat mencintai ibumu. Bapak sangat terpukul dan merasa kehilangan saat ibumu meninggal karena kanker. Bahkan sampai sekarang bapak merawat semua peninggalan ibumu, tanaman-tanaman itu, ikan-ikan ini. Kalau bukan karena cinta, bapak tidak akan melakukannya. Itulah kenapa sampai sekarang bapak tidak menikah lagi. Cinta bapak cuma satu untuk ibumu. Sejak kecil bapak sudah mengajarkanmu tentang dosa pengkhianatan, makanya bapak tidak suka berkhianat sampai akhir pun ibumu tidak pernah berkhianat. Bapak memilih ibumu, karena yakin dia tidak akan berkhianat. Dia seorang perempuan pilihan yang tidak ada duanya."

Arief terhenyak. "B-bapak tahu?"

"Kamu kira bapak diam saja selama ini? Bapak tahu kamu akan bercerai dengan Jannah. Bapak sudah beritahu kamu sejak awal Jannah bukan perempuan baik-baik. Biarpun dia terlihat lugu dan polos, tapi itu hanya apa yang ingin dia tampakkan kepadamu," ujar Suroso. Dia mengambil sedikit makanan ikan lalu menyebarnya di atas kolam. Ikan-ikan pun mulai berebut.

"Kalau bapak tahu tentang Jannah, kenapa tidak cerita kepadaku?" tanya Arief.

Suroso menggeleng. "Kau benci bapak. Dan karena kebencian itu, bapak tidak ingin kamu membentakku. Kau mungkin tidak sadar, tapi ketahuilah hal yang paling menyakitkan bagi orang tua adalah mendengar anaknya membentak kepada orang tuanya. Satu-satunya wasiat dari ibumu kepada bapak adalah agar menyayangimu dan mendidikmu dengan baik. Walaupun bapakmu ini bukan orang baik-baik, tapi bapak bersyukur kamu sekarang sudah jadi orang baik. Itu poin yang utama. Bapak bersyukur kamu tidak minum, tidak ngobat, tidak jadi preman seperti bapak, terlebih lagi kamu ikut kegiatan kampus, jadi aktivis. Tapi itulah kesalahanmu, kau itu terlalu baik jadi orang."

Arief mengernyit. "Maksud bapak?"

"Jangan terlalu baik jadi orang. Kadang orang itu kesal, marah dan itu wajar sebagai manusia. Terkadang kita harus menolak para pengemis yang meminta-minta kepada kita. Terkadang juga kita harus membunuh semut yang menggigit. Terkadang pula kita tidak perlu menolong orang yang sedang kecelakaan di jalan. Bukan berarti kita tidak peka atau tidak peduli. Tetapi, ada hal yang lebih penting dari itu, yaitu seberapa pentingnya apa yang kita lakukan."

"Tapi menjadi orang baik bukankah tidak apa-apa. Aku juga akan berusaha menolong banyak selama aku bisa," kata Arief.

"Itu tadi. Selama kamu bisa, kau hanya membuang-buang waktu dengan idealismemu itu. Dan aku yakin kamu ingin mengubur idealismemu dengan datang ke tempatku. Katakan kalau aku salah!"

Arief menggeleng. "Aku tetap pada idealismeku. Aku hanya ingin meminta bantuan bapak."

"Omong kosong. Dengan kau pergi ke rumah ini, sudah jelas kau ingin menggugurkan idealismemu itu. Aku tahu semuanya, aku ini bapakmu."

Arief mendesah. Dia kalah kalau soal berdebat dengan bapaknya. Akhirnya untuk beberapa saat dia pun terdiam. Menikmati pemandangan kolam dan Khalil yang sedang sibuk bercengkerama dengan ikan-ikan.

"Aku tak mau tahu apa masalahmu, tapi kalau butuh bantuan bapak dengan senang hati menolong. Tapi ada syaratnya," ucap Suroso tiba-tiba.

"Katakan syaratnya! Kalau itu bisa aku lakukan akan aku lakukan," ucap Arief.

"Kamu pasti sanggup."

"Apa itu?"

Suroso hanya tersenyum. Dia beranjak dari pinggir kolam lalu memanggil Khalil, "Khalil, makan yuk? Kakek tadi masak ikan. Khalil mau?"

Khalil merasa terpanggi. "Mau mau mau!" dengan tingkah lucunya Khalil langsung menghampiri kakeknya. Mereka bergandengan tangan memasuki rumah. Tak lama kemudian Arief pun menyusul.


* * *​


Empat Bulan kemudian.....



"Apa ini, bi?" tanya Leli saat menerima selembar surat bermaterai dan sudah ditanda tangani oleh suaminya, Pak RT dan Pak RW.

"Baca saja," kata ustadz Thalib.

Leli pun membacanya dengan seksama. Perlahan-lahan hatinya bergemuruh saat mengetahui isi dari lembaran dokumen itu. "Abi mau nikah lagi?"

"Iya, kuharap kamu mau menandatanganinya," kata ustadz Thalib.

Mata Leli berkaca-kaca. "Bi, apa kekuaranganku selama ini? Kenapa ini tiba-tiba? Apa salahku sampai Abi ingin menikah lagi?"

Ustadz Thalib berlutut di hadapan istrinya yang saat itu sedang duduk di atas ranjangnya. "Kau tidak ada yang kurang, sayang. Kau sempurna, sangat sempurna. Aku menikahimu, karena kau baik, anak orang baik-baik dan juga agamamu bagus. Karena itulah aku menikahimu."

"Bohong, lalu ini apa?"

"Jannah adalah temanku dan dia baru saja bercerai dengan suaminya. Aku kasihan kepadanya dan aku ingin membantunya. Itu saja."

"Membantunya? Membantunya dengan menikahinya?"

"Itu lebih baik. Rumah ini akan lebih ramai, kau punya saudara baru, anak-anak juga akan dididik oleh wanita shalih lainnya. Dan ini aku lakukan juga agar aku bisa menahan pandanganku dan kemaluanku. Bukankah itu alasan pernikahan, sayangku?" gombal Thalib.

"Enggak, Bi. Ini nggak masuk akal. Abi bilang akan mencintaiku," ucap Leli sambil terisak.

"Sayang, aku mencintaimu. Tidak perlu kau ragukan itu. Dan karena aku ingin menjaga cintaku agar tetap suci dan menjauhi zina, maka aku menikah lagi. Menikah itu bukan perselingkuhan. Maka dari itulah aku tempuh jalan ini. Aku berjanji akan terus memenuhi kewajibanku kepadamu, kepada anak-anak kita. Kau tak perlu khawatir."

Leli melemparkan pandangannya. Dia bingung statusnya sebagai istri seorang ustadz. Memang menerima lamaran Thalib adalah keputusan dia dan juga keluarganya. Namun, saat tiba-tiba suaminya memutuskan menikah lagi ini adalah ujian terberatnya. Bagaimana suaminya bisa berpikiran seperti itu? Walaupun di dalam agama tidak dilarang, tetapi ini terlalu cepat baginya. Kebahagiaan dalam pernikahan saja belum lama dia rasakan sudah ada ujian seperti ini. Apa nanti yang bisa dia ceritakan kepada anak mereka ketika bertanya, Siapa perempuan yang bersama ayahnya itu?

"Umi masih tidak setuju Abi menikah lagi. Apalah aku, Bi. Aku hanya seorang perempuan yang sudah tidak memiliki orang tua lagi. Kalau pun aku pergi, aku harus pergi kemana? Umi hanya punya kepercayaan terhadap Abi. Kalau memang itu keputusan Abi, Umi akan izinkan. Abi tahu hukumnya, tahu ilmunya, Abi seorang ustadz. Sedangkan aku bukan. Aku hanya wanita biasa. Umi akan izinkan dengan satu syarat aku tak mau dia tinggal serumah dengan kita dan karena kita sudah punya anak, maka Abi harus memberikan perhatian lebih kepadaku daripada dia. Kalau Abi tidak menuruti syarat ini, Abi tidak akan melihat Umi lagi untuk selamanya."

Thalib terkejut mendengarnya. Syarat istrinya sebenarnya bisa saja dia penuhi, tetapi ancamannya sangat mengerikan. Dia bisa mempersiapkan rumah untuk Jannah, memberikan giliran lebih untuk Leli tidak masalah. Hanya saja tidak ingin Leli pergi begitu saja. Terlebih lagi ancama Leli itu tidak main-main. Dia hidup sebetang kara sekarang dan hanya memiliki Thalib sebagai suaminya. Kalau misalnya suaminya berlaku tidak adil kepadanya, ia bisa saja pergi tanpa beban. Namun, satu yang pasti Thalib masih mencintainya.

"Umi, aku sangat mencintaimu. Kau tak perlu meragukannya," kata Thalib. "Semua syaratmu akan aku penuhi."

Leli mengambil pena lalu menandatangani surat pernyataan kesediaannya untuk dipoligami. Tak ada kata terucap. Meskipun setelah mendapatkan tanda tangan itu Thalib mencium ubun-ubunnya. Dia hanya bisa pasrah menyerahkan semua kepada Sang Pencipta. Entah takdir apa yang akan menantinya ke depan.

"Aku ingin bertemu dengan Jannah," ucap Leli sebelum Thalib keluar dari kamar.

"Besok aku akan membawamu kepadanya," kata Thalib sambil tersenyum, "Insyaa Allah ini adalah ladang pahala bagi Umi."

"Ini juga adalah lada dosa bagimu, Bi. Jangan Abi lupakan itu!" kata Leli.

Thalib tak bersuara lagi. Dia pergi meninggalkan kamar istrinya. Leli pun meneteskan air mata, mencoba menata hatinya atas apa yang terjadi hari ini.

Dari luar terdengar suara mesin mobil dinyalakan, pertanda suaminya sedang bersiap berangkat untuk mengisi kajian di salah satu masjid. Jadwal suaminya memang cukup padat kecuali hari Jumat. Hampir setiap hari suaminya mengisi kajian di mana-mana. Kharisma ustadz Thalib memang tak bisa digantikan oleh siapapun, mungkin itu juga yang membuat Leli bertekuk lutut di hadapan suaminya. Apapun yang diinginkan suaminya tak pernah tidak dipenuhi.

Perempuan cantik itu kemudian menatap cermin di lemari pakaiannya. Dia tidak memakai kerudung, karena memang berada di dalam rumah. Rambutnya tergerai panjang sebahu. Tubuhnya masih seksi, padat berisi. Siapapun pasti tergila-gila juga kepadanya. Apa yang kurang dari dirinya? Setiap gaya yang diinginkan suaimnya diranjang pun dia patuhi. Lalu apa yang kurang sehingga suaminya ingin menikah lagi?

Perlahan-lahan Leli melepaskan pakaiannya satu demi satu. Cahaya lampu kamarnya sepertinya tak sabar untuk bisa menyinari dan membelai lembut kulit cerahnya. Leli memiliki tubuh yang sangat sempurna, siapapun akan tergila-gila kepadanya. Hanya saja, sekarang ini ada sedikit lemak di sana-sini. Meskipun begitu dia benar-benar masih terbilang sebagai bidadari turun dari kayangan.

Lama Leli bercermin, memutar tubuhnya, memijat bokongnya, memang payudaranya sedikit turun karena dia benar-benar menghabiskan waktu dua tahun untuk menyapih anaknya. Tetap saja itu payudara yang cukup kecang dan mulus dengan urat-urat hijaunya terlihat. Siapa lelaki yang sanggup untuk menahan diri melihat dua bola daging itu? Perutnya tidak rata, sedikit berisi, tapi bukan berarti Leli gendut.

Leli mendesah. Mustahil suaminya tidak tertarik dengan tubuhnya yang setiap bulan selalu dirawat. Hanya satu yang ada di pikirannya, khusnuzhon. Berprasangka baik bahwa memang niat suaminya adalah untuk menolong orang. Toh, apa yang dilakukan orang yang khusnuzhon dalam permasalahan ini tidaklah salah. Kalau misalnya suaminya curang, maka dia akan kena batunya. Kalau benar, maka dia akan mendapatkan pahala.

Seluruh pertanyaan kenapa dan mengapa masih menggelayut di dalam benaknya, hingga akhirnya dia memutuskan untuk bisa melupakan persoalan hari ini, walaupun itu rasanya tidak mungkin. Leli segera berpakaian lagi untuk melihat dimana putranya berada. Ternyata putranya sedang bermain sambil menonton televisi. Sementara itu pembantunya Bi Tini sedang sibuk di dapur.

Tiba-tiba bel berbunyi. Leli mengernyit. Segera dia memakai kerudung. Bi Tini saat itu tergopoh-gopoh akan membuka pintu, tapi dicegah oleh Leli karena dia sendiri yang akan membuka pintu.

"Biar saya saja, Bi," ucap Leli.

Pembantunya pun kembali lagi ke dapur. Leli yang sudah memakai kerudungnya itu pun kemudian membuka pintu. Tampak di luar pagar seorang pengirim paket sedang berdiri menunggu tuan rumah muncul.

"Paket. Dengan Bu Leli Indriana?" tanya kurir tersebut.

"Ya, saya," jawab Leli.

Kurir tersebut menyerahkan amplop coklat dengan isi yang lumayan berat. Dokumen? Atau apa? Leli menerka-nerka. Setelah menyerahkan paketnya si kurir pun pergi. Keheranan Leli segera pergi ke dalam rumah untuk membuka isi paketnya. Amplop coklat itu pun kemudian dibuka. Ada beberapa lembar surat, serta sebuah flashdisk.

Perempuan itu pun kemudian duduk di sofa sambil membaca isi surat tersebut.


"Assalaamu'alaikum. Ibu Leli, perkenalkan saya Arief.

Mungkin ibu sangat terkejut kenapa saya memberikan amplop ini dengan isi surat dan sebuah flashdisk USB. Saya adalah mantan suami Jannah. Wanita yang mungkin akan dinikahi oleh suami ibu."


Leli terkejut. Dia kemudian beranjak dari sofa untuk buru-buru masuk ke kamar. Dia tak ingin permasalahan ini sampai diketahui oleh Bi Tini. Setelah berada di kamar dan merasa aman, dia pun lanjut membaca isi surat tersebut.


"Saya hanya orang biasa dan tidak punya maksud apapun. Adapun alasan saya mengirimkan surat ini adalah ingin menyampaikan kelakuan istri saya dan suami ibu. Ibu boleh membuka isi flashdisk tersebut. Isi flash disk ini berisi adegan mesum mereka. Silakan kalau ingin percaya kepada saya atau tidak. Intinya saya sudah memberikan bukti-bukti perselingkuhan mereka.

Ustadz Thalib termasuk ustadz yang saya hormati dulu. Bahkan dia adalah senior saya di kampus. Sayangnya, saya tidak tahu kalau istri saya ternyata masih menyimpan perasaan cintanya kepada Thalib sampai sekarang. Dia mempermainkan rumah tangga kami, menyakitiku dan anakku. Mereka berani berjanji untuk memesan hotel tanpa sepengetahuanku dan berhubungan suami istri sedangkan aku masih berstatus sebagai suaminya.

Saya tidak bermaksud agar Ibu Leli percaya kepada saya. Bukti-bukti ini saya berikan agar Ibu Leli tahu kalau suami ibu tidak sebaik yang ibu kira. Dan hendaknya ibu tidak menceritakan bukti-bukti ini kepada suami ibu terlebih dahulu, sebab saya ingin berbicara dulu dengan ibu, kalau ibu berkenan. Hubungi saya di nomor yang tertera di surat ini.


Wassalamu'alaikum.

Arief"



Jantung Leli berdebar-debar. Bukti perselingkuhan? Dia nyaris tak percaya. Sejurus kemudian dia mengambil dokumen lainnya. Ternyata bukti chat antara Jannah dan suaminya. Dari mulai Jannah pamer susu, suaminya pamer titit dan percakapan mesra lainnya. Wajah Leli memerah. Dia nyaris meledak.

Dia pun membuka laptop untuk melihat isi flashdisknya. Apakah harus dilihat? Bagaimana kalau itu benar suaminya? Kalau memang benar runtuhlah selama ini persangkaan baiknya. Dia tak peduli. Dia ingin lihat apakah benar suaminya sebejat itu.

Laptop sudah nyala dan akhirnya isi flashdisk tersebut dibuka. Ada beberapa file dan Leli menangis ketika melihat isi dari video yang dimainkannya. Di sana ada suaminya sedang menindih seorang perempuan. Hatinya hancur seketika. Dengan gemetar Leli mengambil ponselnya lalu menekan nomor Arief.

Tak butuh waktu lama hingga akhirnya Arief menjawab teleponnya, "Halo?"

"Ini... ini benar? Benarkah suamiku melakukan ini semua?" tanya Leli sambil menangis.

"Sebaiknya kita bertemu untuk membicarakan ini lebih lanjut. Itu kalau Bu Leli tidak keberatan. Saya akan kirimkan alamatnya," jawab Arief. Setelah itu Arief menutup telepon.

Leli masih kebingungan. Beberapa saat lalu dia menandatangi surat pernyataan izin poligami suaminya, sekarang ada bukti perselingkuhan dia dengan calon istri barunya. Apa yang harus dia lakukan? Rasanya saat itu Leli hampir pingsan. Namun, ketika dia teringat dengan putranya, akhirnya dia tetap berusaha tegar dan kuat.

Setelah lima belas menit beralu, Leli sudah berdandan, memakai jilbab lebar dan berencana untuk keluar. Bi Tini yang melihatnya pun terkejut.

"Umi mau kemana?" tanya Bi Tini.

"Titip Hafiz sebentar ya, Bi. Ada urusan mendadak," jawab Leli.

Leli tak lupa membawa amplop coklat tadi. Semuanya harus jelas apa yang terjadi. Dia ingin bertemu dengan Arief. Entah apakah Arief berbohong atau tidak. Tapi dia harus mendapatkan kejelasan dan kepastian. Kalau misalnya suaminya memang berbohong dan selingkuh, maka tak ada cara lain selain dia harus pergi meninggalkan suaminya. Dia akan menggugat suaminya karena telah membohonginya selama ini.


================

tubikonticrot
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd