Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Rapuh -TAMAT

Bagian 9

Dada Leli bergemuruh malam itu. Bagaimana tidak? Dia ada di kamarnya, sedangkan suaminya sedang satu kamar dengan Azizah. Tak harus dia melihatnya secara langsung untuk tahu apa yang sedang dilakukan oleh kedua orang itu di dalam kamar.

Malam itu Leli pura-pura tidur, tetapi dia tahu apa yang sebenarnya terjadi. Thalib diam-diam masuk ke kamar Azizah. Setelah itu mencoba untuk merayu Azizah hingga kemudian kedua insan lawan jenis ini terlibat persetubuhan. Jebakan yang direncanakan oleh Arief berhasil dilaksanakan.

“Sudah dilaksanakan” tulis Leli di pesan singkat ke Arief.

Tak ada respond dari Arief, tapi ada pemberitahuan kalau Arief sudah membacanya. Leli sebenarnya masih tidak percaya dengan apa yang terjadi. Namun, setelah semua bukti yang dia lihat, akhirnya mau tak mau ia harus mengakui kalau suaminya benar-benar bajingan.

Haruskah dia ikut andil dalam rencana balas dendam ini? Pertanyaan-pertanyaan itu terlintas di benaknya. Setiap yang namanya balas dendam pasti salah. Lalu, apa alasannya sampai ia harus melakukan ini? Sakit hati? Jelas. Tetapi, ada alasan yang lebih tinggi dari sekedar sakit hati. Dia adalah seorang petarung dan ingin membuktikan kepada suaminya dia bisa hidup tanpa suaminya. Dia ingin agar Thalib mendapatkan rasa sakit yang telah dia rasakan selama ini.

Di kamarnya, Azizah memejamkan mata mendapatkan genjotan bertubi-tubi dari Thalib. Apakah dia merasa jijik kepada Thalib? Jawabnya tidak. Dia justru melakukannya dengan pasrah, sukarela, semua hanya untuk Arief. Orang yang dia sukai, orang yang dia cintai.

Wanita makhluk yang sangat unik. Mampu menyembunyikan perasaannya, bahkan berpura-pura merasa nikmat saat bercinta, padahal sebenarnya tidak. Azizah menahan diri, bahkan di saat matanya terpejam, yang dia bayangkan adalah Arief. Persetubuhan terakhir mereka yang panas. Dia rindu batangnya Arief, ingin sekali lagi batang keras itu menusuknya tanpa henti sampai ia terkapar.

Tak terasa kuku-kuku Azizah mencengkeram punggung Thalib. Sang ustadz pun merasa tersanjung saat melihat mata Azizah terpejam, bibir bawahnya digigit dan jemarinya mencengkeram punggungnya. Artinya Azizah seolah-olah menikmati persetubuhan ini, meskipun tanpa suara berisik.

Kedutan demi kedutan dirasakan oleh Thalib, terlebih Azizah menggerakkan otot-otot vaginanya untuk mencengkeram batang kejantanan ustadz tersebut. Alhasil Thalib makin kelimpungan. Dia keenakan mendapatkan perilaku itu. Gerakannya makin tak beraturan, kecepatannya makin tinggi, hingga akhirnya dia mengerang disusul dengan Azizah dengan mulut menganga.

Persetubuhan itu diakhiri dengan Thalib menindih tubuh Azizah. Perlahan-lahan penisnya mengkerut lalu keluar begitu saja meninggalkan bekas cairan putih kental meluber dari kemaluan Azizah. Napas kedua insan ini saling memburu. Peluh mereka bercucuran. Thalib tahu diri. Dia tidak mungkin terus-terusan menindih Azizah. Segera ia merayap lalu berbaring di samping Azizah.

“Mas, jangan tinggalin aku ya?” ucap Azizah.

“Tentu saja sayang, tidak akan,” jawab Thalib. Dia merangkul Azizah sambil mencium kening perempuan itu. Thalib pun tertidur di kamar itu sambil memeluk Azizah.

Janda kembang itu pun mendesah. Dia bernapas lega, rencananya berhasil. Dia bercinta tanpa kondom dengan Thalib. Tapi ini baru sekali. Dia belum yakin juga virus yang dia bawa ini sudah tertular kepada Thalib begitu saja. Dia ingin bercinta lagi dengan lelaki ini nanti. Kalau bisa setiap hari agar dia benar-benar yakin.

* * *​

Pagi itu Leli tampak mengepak barang-barangnya, yang berisi pakaian. Subuh itu dia tidak melihat suaminya di sebelahnya. Tak perlu ditanya lagi dimana suaminya, pasti ada di kamar sebelah. Setelah ini Leli akan memakai alasan untuk bisa keluar dari rumah ini. Dia sudah merencanakan untuk pergi ke mana dan dengan alasan apa.

Thalib keluar dari kamar Azizah dan terkejut melihat Leli menggeret koper baju. “Umi? Umi mau kemana?”

“Abi lupa ya?” tanya Leli.

Thalib menunduk.

“Kalau memang Abi ingin menikah lagi, maka Umi tidak ingin tinggal satu atap dengan perempuan itu. Memang Umi setuju kalau Abi poligami, tapi bukan berarti Abi mendahului. Memangnya Umi nggak tahu apa yang abi lakukan tadi malam di kamar Azizah?”

“Maafkan, Abi. Tapi Abi akan bertanggung jawab.”

“Bagaimana dengan Jannah?”

“Iya, dia juga akan menjadi tanggung jawab Abi.”

Leli menggeleng-gelengkan kepala. “Umi akan pergi ke rumah orang tua. Mengajak anak-anak. Abi berkunjung saja kalau ingin.”

“Serius. Biar Abi antarkan,” ucap Thalib.

“Nggak usah. Urus saja Azizah, urus juga Jannah,” kata Leli.

“Anak-anak dimana?”

“Sudah di mobil. Umi nggak ingin ditemui untuk beberapa waktu. Jadi, jangan pernah berkunjung ke rumah. Umi nggak mau nanti Abi cekcok ama keluarga Umi.”

Thalib mengangguk. Dia paham apa yang ada di kepala istrinya. Dia memang bodoh, tak kuasa melihat godaan kemolekan tubuh Azizah. Dia hanya bisa melepas pergi istri dan anaknya pagi itu. Untuk sementara waktu dia mengizinkan istrinya untuk menenangkan diri. Sebab, dia tahu tidak mudah seorang istri untuk berpoligami.

Azizah mengintip dari balik pintu. Hari ini dia menyaksikan awal kehancuran bagi seorang Thalib.

* * *​

Terdengar suara seorang perempuan sedang bernyanyi. Dia adalah Jannah, seorang perempuan yang sudah melewati masa iddah setelah bercerai dengan suaminya. Sambil menyapu rumah, dia bersenandung. Hari-harinya adalah hari-hari bahagia, meskipun dalam dirinya dia merindukan Khalil, tetapi tidak serindu itu.

Setelah ruangan demi ruangan rumah bersih. Dia pun duduk di sofa menonton tv. Mengganti-ganti channel TV, hingga dia menghentikan pencetan remote saat ada berita yang muncul di televisi.

“Pemirsa, pembunuhan misterius terjadi di sebuah perumahan elit. Seluruh anggota keluarga dibantai secara sadis oleh seorang misterius. Sampai sekarang pihak yang berwenang masih menyelidiki kasus ini,” kata pewarta berita.

Lalu tampillah seorang dari pihak kepolisian memberikan komentarnya, “Kami masih menyelidiki apakah ini pembunuhan dari orang yang punya dendam atau ini pembunuhan yang berkaitan dengan kasus yang lain.”

“Menurut bapak apakah si pelaku kenal dengan korban?” tanya reporter.

“Kalau dari pintu yang tidak didobrak, tidak ada paksaan bahkan salah satu korban terbunuh saat menonton televisi, sepertinya korban kenal dengan pelaku,” ucap polisi tersebut.

Tangan Jannah gemetar. Dia menjatuhkan remote tv. Dia pun memeluk tubuhnya sendiri. Bulu kuduknya meremang.

“Tidak mungkin, kenapa? Kenapa dia melakukannya lagi?” gumam Jannah, “kenapa? Kenapa? Apakah karena aku? Tidak. Bukan. Yang aku lakukan sudah benar. Aku sudah melakukan hal yang benar…..”

Mata Jannah berkaca-kaca hingga air matanya keluar. Tidak lama kemudian, dia mengambil ponselnya lalu menelpon Thalib.

Thalib langsung mengangkatnya, “Iya, ada apa, sayang?”

“Bisa nggak temanin aku sekarang?” tanya Jannah.

“Nggak bisa sayang, hari ini aku harus ngisi di beberapa tempat,” jawab Thalib, “lagipula aku sedang mengurus surat-surat untuk kita agar segera menikah.”

Jannah menghela napas. Jadi, hari ini aku sendiri? Pikirnya.

“Tenang, besok aku akan seharian di sana. Istriku sudah memberikan lampu hijau,” ucap Thalib.

“Serius?” tanya Jannah dengan mata melotot.

“Iya.”

“Alhamdulillah….”

“Seneng ya?”

“Iyalah.”

“Aku juga mau ngomong sesuatu ama kamu, tapi besok aja ya.”

“Duh…. Ayang….kangen….,” ucap Jannah manja.

“Sabar. Besok ya?”

“Pengen disodok.”

“Aku juga pengen nyodok.”

Jannah iseng mengambil gambar payudaranya. Dia berfoto seksi dengan memakai kerudung, tetapi payudaranya terekspos. Tak lupa ia julurkan lidahnya. Thalib yang menerima foto itu jadi adem panas.

“Duh, jadi nggak sabar kepingin kesana.”

“Ya ke sini dong.”

“Sayang, nggak bisa hari ini. Sabar ya?”

“Iya deh,” ucap Jannah sambil menggerutu.

“Ya udah, sampai besok cayangku.”

“Iya.”

“Assalaamualaikum”

“Walaikumsalam”

Jannah menutup teleponnya. Dia melihat seekor burung hinggap di tiang jemuran yang terlihat dari jendela. Melihat burung kecil yang sedang bertengger itu Jannah teringat tentang sesuatu. Setelah dia pergi meninggalkan Arief lalu membawa Khalil, sebenarnya dia ingin melakukan satu hal. Yaitu, menjauhkan Khalil dari bapaknya.

Naluri keibuannya benar-benar tergerak bukan hanya, karena dia merasa salah mencintai seseorang, tetapi dia juga takut. Ketakutan itu begitu nyata ketika dia menyadari satu hal, apa yang sebenarnya terjadi kepada Arief. Bayangannya melesat ke tahun-tahun pertama dia mengenal Arief.

Arief yang baik. Arief yang penyayang. Sangat perhatian, sangat murah senyum. Namun, di satu pihak dia mendapati mayat-mayat burung-burung kecil berserakan di halaman rumahnya. Kepala makhluk malang itu semuanya diputar sampai lepas.

Dia masih ingat bagaimana Arief mengajarkan kepada Khalil bagaimana burung-burung itu mati dengan cara kepalanya diputar hingga terlepas. Khalil pun menirunya, keduanya tertawa seakan-akan hal itu adalah hal yang lucu. Rasanya terlambat untuk bisa menyelamatkan Khalil dari Arief. Hingga kemudian Jannah menyerah dan melepaskan Khalil. Bukan karena dia ibu yang jahat, tetapi dia takut. Khalil tertular gen psikopat dari ayahnya.

* * *

=================bersambung================​

NB: pemanasan dulu gaes. Lama nggak nulis. Rada kaku.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd