Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Rapuh -TAMAT

Bagian 14



Jemari mungil kecil berwarna kemerahan menyambut pagi itu. Hari dimana Khalil lahir ke dunia. Jannah bahagia melihat buah hatinya bergerak-gerak di sebelahnya, menyusu, menyesapi ASI yang keluar dari sumbernya. Arief juga bahagia, karena dia melihat manusia baru di dalam rumah tangga yang telah mereka bangun.

“Aku mau namai dia Khalil,” ucap Arief.

“Kenapa?” tanya istrinya.

“Yah, karena dia mungil,” jawab Arief.

Jannah terkekeh. Walaupun memang benar anaknya mungil, tapi apa harus dinamai Khalil?

“Maksudku, meskipun dia nanti sudah besar, aku ingin dia tetap anak kecilku, my little boy. Bukan begitu sayang?” tanya Arief sambil mengecup kening istrinya setelah semalam dia berjuang untuk melahirkan anak itu.

Jannah mengangguk. “Apapun namanya, semoga itu doa terbaik.”

Bahagia. Satu kata yang tidak akan pernah mereka lupakan. Buah hati itu telah membuat cinta Arief dan Jannah makin kuat. Ikatan cinta mereka seolah-olah tidak akan pernah terlepaskan sampai kapanpun. Jannah juga sudah bertekad untuk hidup semati bersama Arief, lelaki yang sekarang mengisi bagian hatinya yang kosong.

Hari-hari pun berlalu. Dimana semua impian Jannah mulai terwujud. Impian yang cukup sederhana, yaitu mendambakan keluarga yang kecil bahagia. Arief? Cukup menikmati hidupnya saja dengan keluarga kecilnya. Tidak ingin hal yang lebih. Namun, benarkah demikian?

Jannah masih ingat hari itu. Di sore hari dengan matahari yang sudah hendak tenggelam. Arief duduk di ruang tamu. Suaminya sedang menerima tamu seorang lelaki paruh baya. Wajah Arief terlihat datar. Jannah tak menyadari kalau ada tamu saat itu, karena dia ketiduran saat menidurkan Khalil. Lelaki paruh baya itu tersenyum kepadanya.

“Eh, ada tamu, Mas?” tanya Jannah.

“Bukan siapa-siapa. Tamunya sudah mau pulang,” jawab Arief.

“Begini caramu? Mengusir bapakmu sendiri?” ucap lelaki tua tersebut.

Jannah tak mengerti apa yang terjadi, tetapi ketika menyebutkan bapak, tentu saja Jannah yakin kalau lelaki itu adalah orang tua Arief. Memang saat pernikahan Arief tidak pernah menyebutkan keluarganya, bahkan orang tuanya juga tidak hadir. Arief hanya berkata orang tuanya sibuk dan ada di luar kota. Tentu saja melihat kenyataan ini Arief berbohong kepadanya.

“Aku sudah punya keluarga yang baik. Aku tidak ingin bapak berpengaruh kepada keluargaku,” kata Arief.

“Mas, dia orang tua mas?” tanya Jannah.

“Iya,” jawab Arief.

“Bapak, maafkan Mas Arief,” ucap Jannah, segera Jannah berjalan maju lalu berlutut di hadapan Suroso.

Suroso menyambut tangan Jannah dan menerima sungkemnya.

“Saya senang bapak ada di sini, saya minta doa restu bapak,” kata Jannah.

“Sayang, pergi dari dia!” pinta Arief, “kau tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.”

“Tapi dia kan orang tua mas,” kata Jannah.

“Sudahlah, tidak apa-apa. Memang aku bukan orang tua yang baik. Terima kasih atas jamuannya,” ucap Suroso. Orang tua itu lalu berdiri, demikian juga Jannah.

Jannah tak mengerti kenapa Arief berkata seperti itu. Seumur-umur baru kali ini dia melihat Arief marah.

“Sampaikan salamku kepada cucuku,” ucap Suroso, “aku pergi.”

Kedua suami istri itu hanya melihat kepergian Suroso yang menghilang dari balik pintu. Jannah yang tak mengerti mulai menginterogasi suaminya.

“Sebenarnya apa yang terjadi? Ada apa? Bukankah dia orang tua mas?”

Arief yang masih duduk di kursi pun menyandarkan punggungnya. “Kau mau tahu apa yang terjadi?”

Jannah ikut duduk di sebelahnya. “Tentu saja, aku ini istrimu.”

Arief menatap Jannah sambil tersenyum. Dia mencium bibir istrinya terlebih dahulu. “Kamu tahu kan kalau aku mencintaimu?”

Jannah mengangguk.

“Aku sebenarnya dulu hidup dalam dunia yang kelam. Keluargaku bukan orang baik-baik. Bapak adalah seorang tukang pukul. Tugasnya melenyapkan nyawa orang lain dan aku sebagai putranya adalah satu-satunya yang menjadi partnernya,” ucap Arief.

Jannah menelan ludah. Bagai tersambar petir, dia tak percaya dengan apa yang diucapkan Arief.

“Kau boleh percaya atau tidak. Tapi itulah kenyataannya. Aku jujur kepadamu dan aku ingin berubah setelah aku melihatmu. Kaulah yang membuatku berubah. Aku ikut pengajian ustadz Hamzah, itu juga salah satu tujuanku agar bisa berubah jadi orang baik. Kaulah salah satu alasan yang membuatku menjadi seperti sekarang ini,” tutur Arief.

Hati Jannah seperti tercubit. Dia merasa tersanjung dengan apa yang dikatakan Arief. Karena dialah pria yang ada di hadapannya ini berubah. “Betulkah itu, Mas?”

Arief mengusap kepala Jannah. “Kamu ingat pas aku tanya tentang kehidupan kepada ustadz Hamzah. Saat itulah aku ingin bisa lepas dari keluargaku. Sekarang aku sudah punya keluarga sendiri dan aku tak mau bapak ikut campur dalam urusan keluarga kita. Kau mau mendampingiku sampai akhir? Bersama-sama menuju surga-Nya?”

Di dalam pikiran Jannah, dia mulai mengurutkan peristiwa-peristiwa dimana Arief pertama kali ikut pengajian. Pertanyaan-pertanyaan Arief seputar pengajian mengindikasikan lelaki ini sedang ada masalah yang cukup pelik di dalam hidupnya. Ternyata permasalahannya cukup besar.

Bibir Jannah mengecup bibir suaminya. “Aku akan mendampingi Mas. Mas sudah sejauh ini.”

“Janji? Kau mau menerima apa yang ada pada diriku?”

Jannah mengangguk. “Iya, aku menerima Mas seutuhnya.”

Jannah kemudian naik ke pangkuan Arief. Keduanya kembali dalam percumbuan yang mesra. Bahkan pintu rumah mereka sudah lupakan masih terbuka. Kalau orang lain di jalan melihat mereka pasti akan ketahuan. Namun, mereka sudah suami istri. Siapa pula yang mau protes?

Tangan Arief mulai terpancing untuk menurunkan resleting gamis istrinya yang ada di punggung. Saat tangannya meraba punggung Jannah yang halus tersebut, tak ada pengait bra. Jannah sudah tak memakai daleman. Memang sengaja dia lakukan agar mudah menyusui anaknya, hal itu membuat Arief makin gemas dengan salah satu tangannya meremas-remas buah dada Jannah yang montok mengandung ASI.

Baju gamis itu mengendur, hingga terlepas, menampakkan Jannah, seorang perempuan alim memakai kerudung dengan tubuh bagian atas tanpa tertutup apapun. Arief tanpa disuruh pun sudah mencaplok dua bukit kembar tersebut. Jannah menggelinjang, meremas-remas rambut suaminya, dia tak salah memilih pria ini sebagai suaminya. Perlakuannya sangat lembut dan cepat merangsangnya. Sentuhan-sentuhan Arief benar-benar membuatnya mabuk kepayang.

Ruang tamu ini sebagai saksi dimana kedua insan ini dimabuk cinta. Jannah pasrah, memasrahkan apapun yang ada di dalam dirinya untuk Arief.

“Oh, Mas… ehhmm….” Jannah menggeliat dalam pelukan Arief. Bajunya juga sudah awut-awutan. Dengan lembut Arief sudah meloloskan pakaian Jannah hanya tersisa kerudung warna biru. Arief juga mulai melapaskan satu per satu pakaiannya. Jannah ikut membantu suaminya. Batang kontol suaminya sudah menunjuk ke mukanya.

Tangan lembut perempuan itu mulai menggenggam batang tersebut mengocoknya, lalu Arief bergerak menuju ke wajah istrinya. Sejurus kemudian Jannah sudah beraksi meremas, mengocok, menghisap batang suaminya. Ah, sungguh menggairahkan. Lidah Jannah menggelitik batang keras itu. Batang yang perkasa, yang sudah menyemprot ke rahimnya hingga tak terhitung. Jannah masih ingat bagaimana awal-awal mereka menikah. Hampir tiap hari Arief menggarapnya tak kenal waktu. Dan Jannah benar-benar haus akan seks. Mereka berdua ketagihan untuk bisa ngentot tiap hari dengan berbagai gaya.

Beberapa menit kemudian setelah Arief puas diblowjob, gantian Jannah yang menggelepar-gelepar seperti cacing kepanasan. Lidah Arief sudah mengobok-obok liang senggamanya. Jari Arief turut serta menggelitik klitoris Jannah, membuat Jannah makin menggila.

“Massshh…. Ohhkk. Udah, masss… ehmm…. Aku nggak tahan… ahhhhkkk!!!” Jannah melengkungkan tubuhnya. Matanya memutih, orgasme hebat datang dan vaginanya banjir cairan.

Beberapa detik kemudian Jannah lemas di atas sofa. Dadanya naik turun dan tangan kanannya ditempelkan di keningnya. Arief bangkit lalu menciumi bibir istrinya. Jannah masih dalam keadaan menikmati orgasmenya, lalu secara mengejutkan batang Arief ditusukkan begitu saja, yang membuat mata Jannah kembali terbuka.

“Aaaahhhh!” seru keduanya.

“Mas, kok enak ya?” tanya Jannah.

“Aku juga enak,” jawab Arief.

Arief pun menggenjot istrinya sambil memeluk tubuh istrinya yang masih terlihat mulus itu. Keduanya sudah dimabuk seks. Mereka nikmati sore itu dengan ngentot, ngentot dan ngentot. Untunglah anak mereka sudah tidur. Arief menikmati setiap seks bersama Jannah. Menindih Jannah adalah posisi favoritnya, sebab dia bisa melihat wajah orang yang dicintainya. Jannah juga suka melihat Arief, terlebih lagi saat melihat Arief orgasme, bersamaan dengan semburan-semburan sperma suaminya. Tidak ada yang lebih nikmat daripada itu. Rahimnya hangat, itulah yang dirasakan oleh Jannah setiap kali disiram benih oleh suaminya.

Mereka baru selesai bercinta setelah dua jam lamanya. Bersamaan dengan itu Khalil menangis. Keduanya tertawa, setelah baru menyadari hari sudah gelap. Arief juga baru menyadari kalau selama mereka bercinta pintu rumah masih terbuka. Ia buru-buru menutup pintu. Keduanya lalu melihat Khalil yang terbangun karena ngompol dan popoknya penuh.

Setelah Khalil diganti popok, Jannah pun menyusui anaknya lagi. Melihat tubuh Jannah yang masih telanjang dan masih memakai kerudung, kontol Arief ngaceng lagi. Dia mepet ke tubuh Jannah, menaikkan paha istrinya, lalu ditancapkannya lagi batang kontolnya.

“Mas ngaceng mulu sih?” keluh Jannah dengan menggodanya.

“Habisnya, kamu nafsuin,” jawab Arief.

“Ntar jadi lagi gimana?”

“Ya… nggak apa-apa kan? Biar Khalil punya adik,” kata Arief yang sekaligus memulai goyangannya.

Jannah pun digenjot Arief dari belakang sambil menyusui anaknya. Jannah menahan agar goyangan suaminya tidak mengganggu Khalil. Bagi Arief, hal itu sangat menggairahkan. Tak butuh waktu lama Khalil tertidur lagi dan keduanya pun melanjutkan lagi kegiatan silaturahim kelaminnya.

* * *​

Arief memang bisa diandalkan dalam segala hal. Lelaki yang tanggap terhadap apapun. Serta tidak pernah mengeluh terhadap kekuarangan Jannah. Awalnya Jannah mengira Arief memang dari keluarga yang bobrok dan ingin lepas dari keluarganya. Kata-kata Arief “melenyapkan nyawa” tidak pernah dianggap serius oleh Jannah. Perempuan itu mengira Suroso hanyalah preman biasa. Tidak lebih. Hingga suatu ketika peristiwa yang tidak pernah mereka sangka pun terjadi.

Sudah beberapa bulan Arief terkena PHK. Dia kerja serabutan dan cari pekerjaan sana-sini. Utang pun menumpuk. Jannah bingung, sebab tidak ada pemasukan sama sekali dalam dua bulan, sedangkan setiap hari mereka harus makan. Khalil butuh susu, butuh popok.

Setiap hari Arief pulang sampai malam. Berusaha untuk cari pekerjaan. Kadang sehari hanya membawa beberapa puluh ribu saja. Arief sudah bertekad tidak akan minta bantuan keluarganya lagi walaupun mampu. Uang dari tabungan keluarganya pun sudah habis. Jannah pun mencoba untuk berjualan online. Dari gamis, obat herbal dan lain-lain. Sedikit demi sedikit dia ada pemasukan, tetapi tetap saja tidak ada pemasukan yang cukup.

Mungkin memang sudah jadi hukum alam, dimana setiap orang yang ingin berubah akan diuji. Arief diuji dengan berbagai kesusahan, kesengsaraan dan kekurangan. Sudah lima bulan dia belum dapat pekerjaan. Selama itu pula Jannahlah satu-satunya yang jadi tulang punggung keluarga. Dia harus membagi waktunya untuk mengurus Khalil, ngepak barang untuk dikirim, malamnya melayani suaminya. Perempuan itu senang-senang saja melakukan itu, karena dia cinta kepada keluarganya, hingga suatu ketika terjadi sesuatu yang tidak dia inginkan.

Jannah kebingungan saat tubuhnya terikat di kursi. Mulutnya disekap kain. Kaki dan tangannya benar-benar terikat dengan kuat oleh tali. Yang membuat dia sadar adalah suara Khalil yang menangis. Dia kebingungan. Terakhir kali dia sedang menjemur baju, lalu tiba-tiba gelap tidak ingat apapun.

“Hmmpphhh!” jerit Jannah dengan suara tertahan.

Beberapa orang lelaki tidak dikenal tampak sedang duduk di kursi sedangkan yang lain sedang mondar-mandir di dalam rumah. Membongkar barang-barangnya, melemparkan satu per satu isi lemarinya. Dua orang berjaga-jaga di luar. Siapa mereka?

“Tidak ada,” ucap seorang yang baru saja keluar dari kamar. Jannah memperhatikan Khalil yang menangis. Tampak bocah itu sedang mencari-cari ibunya.

Orang yang sedang duduk di kursi menegakkan tubuhnya, lalu menatap ke Jannah. “Mana suamimu?”

Jannah menggeleng.

“Jangan bohong. Aku tahu salah satu keluarga Suroso tinggal di rumah ini. Dia telah mengambil uangku, bahkan menghabisi adikku. Aku ingin menuntut balas,” kata orang tersebut.

Jannah ketakutan dan matanya berair. Perlahan lelaki misterius itu membuka sumpalan mulut Jannah, sehingga sekarang Jannah bisa bernapas. “A-aku tidak tahu. Siapa kalian? Tolong jangan sakiti aku!”

Orang itu mendekat lalu memegang wajah Jannah. Tiba-tiba mulut busuknya mencium Jannah. Jannah berusaha menghindar, tetapi lelaki itu berhasil menciumnya. Sejurus kemudian susunya diremas-remas.

“Brengsek. Ini perempuan bodinya bagus!” kata lelaki itu.

“Udah, garap saja bos. Kami jaga di luar, kita gilir aja,” kata lelaki yang ada di luar rumah.

“Jangan! Kumohon! Jangaan!” pinta Jannah sambil menangis.

Si lelaki bertubuh besar itu tak peduli tangisan Jannah. Dia merobek baju Jannah hingga buah dadanya terutup bra terekspos. Si bos menelan ludah menyaksikan betapa putih dan mulusnya buah dada itu. Kepalanya pun dibenamkan ke jepitan toket lembut perempuan alim ini.

“Ah… jyancuk, wangi Cuk!” ucap Si Bos.

“Susune mulus, Bos. Sikat wis!” ucap anak buahnya.

“Jangaaan!” pinta Jannah.

Si Bos tidak mempedulikan. Dia menciumi dan menjilati payudara Jannah, setelah itu dia berdiri mengeluarkan isi celananya. Sejurus kemudian batang kontol hitamnya mencuat. Jannah ketakutan. Sebentar lagi kesuciannya akan ternoda. Dia memejamkan mata, tak berani melihat apa yang akan dilakukan oleh lelaki ini.

Sejurus kemudian buah dadanya ada yang meraba dan sesuatu bergerak-gerak di jepitan payudaranya. Ternyata, Si Bos sedang menjepitkan kontolnya di belahan toket mulusnya.

“Anjing, enak. Uuhhh… mulus banget sih toketmu, Nduk? Kok enak ya?” ucap Si Bos.

Si Bos bergerak-gerak pinggulnya maju mundur. Menikmati jepitan payudara Jannah pada kontolnya. Jannah memejamkan matanya dan tak mau melihat apa yang terjadi. Si Bos keenakan sehingga dia tidak tahu kalau dalam detik-detik tersebut satu persatu anak buahnya telah meregang nyawa.

Arief pulang mendapati rumahnya ada orang tak dikenal. Dia merusak pagar kayu tetangganya, mengambil paku besar yang menancap, setelah itu melompati pagar. Tentu saja hal menjijikkan yang dilakukan oleh para preman ini dilihatnya. Dengan ekspresi datar Arief menusukkan paku yang dia ambil tadi ke titik-titik vital dua orang yang berjaga di pintu rumahnya. Keduanya ambruk seketika. Sementara itu, tiga orang yang ada di dalam rumah merasa keheranan. Mereka pun keluar untuk memeriksa, sementara bos mereka asyik mengerjai Jannah.

Begitu cepat, Arief dengan paku penuh darah yang masih ada di tangannya menusukkan ke lubang telinga salah satu preman tersebut. Kedua preman lainnya syok, tidak siap hingga tiba-tiba Arief menusukkan lagi paku tersebut ke pembuluh nadi di leher salah satu orang, setelah itu orang terakhir dia geret tangannya, lalu dia tusukkan paku tadi ke ketiak orang tersebut berkali-kali, setelah itu dia tancapkan ke leher dan dia robek leher orang tersebut. Dua orang masih menggelepar di tanah dengan berusaha berteriak, tetapi suara mereka tercekat karena tenggorokan mereka dirobek oleh Arief dengan sebuah paku.

Dengan santai Arief masuk ke dalam rumah melemparkan pakunya ke lantai. Si Bos keenakan dengan apa yang dilakukannya, sehingga tak menyadari keberadaan Arief. Pemuda itu tidak tinggal diam, dia langsung mengunci leher Si Bos, setelah itu menariknya, memelitirnya dan menghantamkannya ke meja tamu hingga meja tersebut hancur. Hal selanjutnya Arief duduk di atas dada lelaki itu, lalu berkali-kali tinjunya menghantam wajah preman itu.

Jannah tentu saja terkejut. Dia syok melihat itu. Terlebih melihat bagaimana Arief dengan sangat santai menghajar orang-orang ini.

“Mas, sudah cukup! Mas! MAAS!!” teriak Jannah.

Arief menghentikan pukulannya. Si Bos wajahnya sudah tak berbentuk lagi. Arief lalu berdiri menghadap ke Jannah, melepaskan ikatan istrinya lalu memeluknya.

“Semua sudah berakhir. Semua sudah berakhir!” ucap Arief.

Perempuan itu gemetar. Antara dia takut dan senang karena Arief menyelamatkannya. Namun, melihat apa yang sudah diperbuat oleh Arief menghabisi orang-orang itu, tentu saja membuat dia sangat takut. Takut kalau misalnya Arief marah akan melukainya suatu saat nanti.

“Mas, janji mas tidak akan melakukan ini lagi?” tanya Jannah.

Arief memperhatikan Jannah yang gemetar. Menyadari Jannah takut, Arief hanya mengangguk. “Memangnya, selama ini aku berubah buat siapa?”

Semalaman keduanya tak tidur. Jannah sudah bisa menenangkan Khalil dan mengunci diri di kamar. Dia tidak tahu apa yang dilakukan Arief di luar, sebab suaminya menyuruhnya masuk kamar dan tidak membukanya sampai Arief yang menyuruh. Pagi datang dan Arief mengetuk pintu.

Perlahan-lahan Jannah keluar dan mendapati ruang tamunya bersih. Tidak ada mayat orang-orang yang sudah dihabisi oleh Arief. Jannah tidak bertanya.

“Hari ini kita pindah,” ucap Arief, “beresi barang-barangmu!”

Hanya perintah tanpa alasan. Namun, Jannah tahu apa yang sedang terjadi. Apa yang sebenarnya terjadi dengan masa lalu suaminya? Apakah separah ini?

Mereka pun pindah dan menetap di kota baru. Arief pun mulai usaha baru. Kerja apapun yang penting halal. Jannah juga melanjutkan bisnisnya jualan online dan mulai membuahkan hasil.

Waktu berlalu dengan begitu cepat, usia Khalil sudah masuk ke tahun kedua. Jannah makin berhasil dengan bisnisnya, sedangkan Arief masih belum memberikan tanda-tanda keberhasilan. Hingga suatu ketika saat Jannah dan Khalil berbelanja di swalayan seseorang menyapanya.

“Jannah?” sapa seorang lelaki.

Jannah yang saat itu sedang mendorong troli terkejut melihat orang yang menyapanya. “M-m-mas Thalib?”

Keduanya mematung. Sungguh perjumpaan yang tidak pernah disangka-sangka. Bagaimana mereka bisa berjumpa di tempat ini. Di kota ini? Di saat Jannah sudah mendapatkan kebahagiaan, kenapa orang ini hadir? Atau sebenarnya Jannah berusaha untuk terlihat bahagia?

Jannah pun terbangun dari mimpinya. Memori tentang masa lalunya masih saja membuatnya merinding. Alasan kebutuhan ekonomi memang salah satu hal yang membuat dia tidak puas kepada Arief. Selama ini dialah yang terus-menerus menopang kebutuhan keluarga, tetapi Arief sama sekali tidak pernah ada. Wajar saja kalau Jannah yang setiap saat dimanjakan oleh Thalib akhirnya kembali ke pangkuan Thalib. Sebab, dia sudah capek. Ditambah lagi kengerian tentang bayang-bayang wajah Arief yang sebenarnya. Siapa yang tidak ingin pergi menjauh dari Arief?

Bukan kejadian itu saja yang membuat Jannah makin mantab meninggalkan Arief. Hal yang membuat Jannah benar-benar sudah bertekad bulat meninggalkan Arief dan anaknya adalah bapak dan anak ini sama-sama memiliki gen psikopat.

* * *

===== Sambungan di bawah ======
 
Bagian 15



Pagi hari seharusnya menjadi hari yang bahagia untuk menyambut pagi. Namun, tidak bagi Jannah. Dia tahu persis keadaannya tidak baik. Seharusnya dia bisa lepas dari Arief. Seharusnya suaminya tidak akan pernah lagi mengganggunya. Bukankah pengadilan sudah memutuskan keadaan mereka? Lagipula, dia sudah menyerahkan Khalil kepada Arief.

Dia takut. Sebagaimana ingatan saat Khalil memutar kepala burung-burung itu hingga terlepas, atau membelah perut kucing peliharaan tetangga hanya untuk sekedar melihat jantung kucing itu berdetak. Mengingat itu semua Jannah takut. Dan sekarang dia ragu keputusannya meminta perlindungan Thalib adalah keputusan terbaik. Namun, apa yang dia punya?

Bayang-bayang ingatannya kembali ke saat nasib mempertemukan keduanya lagi. Jannah berjanji untuk bertemu dengan Thalib di mall. Jannah menjaga Khalil bermain di taman bermain, sedangkan Thalib menemuinya di tempat itu. Seolah-olah keduanya adalah pasangan suami istri yang sedang jaga anak.

“Jadi, bagaimana kehidupanmu?” tanya Thalib kepada Jannah.

“Yah, beginilah Mas. Aku sudah punya keluarga kecil dan hidupku bahagia,” jawab Jannah, “Mas sendiri?”

“Aku juga sudah punya keluarga,” jawab Thalib, “aku dijodohkan oleh pengasuh panti.”

“Apakah karena alasan itu Mas menghilang? Lalu, janji mas bagaimana?”

“Justru itu. Aku ingin minta maaf. Bukan maksudku menghilang waktu itu, tetapi keadaan tidak memungkinkan. Aku berada di dalam kondisi yang tidak bisa aku ceritakan.”

Jannah mendesah. “Aku sudah tidak peduli lagi dengan kondisi Mas. Aku sampai menemui orang tua Mas, tapi Mas tidak ada di sana. Aku sudah putus asa.”

“Iya, aku tahu.”

“Mas tahu?”

“Bapak yang cerita.”

“Sungguh aku merasa bersalah kepadamu. Tapi, apa kau sudah tidak mencintaiku lagi?”

“Cintaku sekarang untuk Mas Arief.”

Thalib menggenggam tangan Jannah. “Kau sudah melupakan perasaan itu? Kembalilah kepadaku. Kau beserta Khalil bisa hidup bersamaku.”

“Tidak semudah itu, Mas. Aku sudah punya keluarga, punya suami. Lalu, apa yang aku lakukan kepada suamiku?”

“Tinggalkan dia! Aku bisa membantumu untuk meninggalkan dia.”

Jannah menggeleng. “Enggak, Mas. Ini dosa.”

“Dosa? Lalu perbuatan kita? Yang sering kita lakukan dulu, yang kamu merengek untuk bisa dipuaskan?”

“Sudahlah, Mas. Semuanya sudah berubah.”

“Tapi perasaanku tidak berubah.”

Thalib terus merayu Jannah. Seharusnya Jannah tidak menanggapinya, tetapi ada di sisi ruang hatinya yang masih mendambakan Thalib, meskipun statusnya sekarang adalah istri orang. Dan akhirnya Jannah pun luluh. Hal itu semata-mata hanya karena dia ingin bisa jauh dari Arief.

“Aku bisa membantumu,” kata Thalib.

“Tidak semudah itu,” kata Jannah.

“Apa yang membuat ini tidak mudah? Apakah suamimu mencintaimu?”

“Dia sangat mencintaiku dan anakku.”

“Lalu bagaimana denganmu? Apakah kau sudah tidak mencintaiku lagi? Aku sekarang ada di sini dan siap untuk bertanggung jawab atas apapun yang terjadi. Kalau untuk urusan suamimu itu tanggung jawabku,” ucap Thalib.

“Baiklah, aku akan kembali ke Mas. Tapi dengan satu syarat,” ucap Jannah.

“Apa?” tanya Thalib.

“Miskinkan suamiku agar aku bisa lepas darinya. Aku tak mungkin pergi begitu saja tanpa alasan,” jawab Jannah.

Thalib yang mendengar itu merinding. Dia tak menyangka Jannah mengusulkan ide itu. Dan ini bukan sembarangan ide dari seseorang yang pernah dia cintai. Memang kedengarannya tidak masuk akal. Tetapi Thalib sudah punya kekuatan. Wina bisa membantunya.

Berawal dari sinilah kisah bagaimana kehidupan Arief “dimiskinkan” oleh Thalib. Keluarganya ditawari berbagai kemudahan untuk berhutang, hingga akhirnya mencekik Arief. Arief yang sudah terlanjur bucin kepada istrinya tak bisa berbuat banyak. Dia menurut saja, hingga akhirnya Jannah punya alasan untuk berpisah dari Arief. Tentunya, dia tidak ingin suaminya tahu kalau selama ini Thaliblah yang membantunya dan satu alasan bahwa cinta dia kepada Thalib masih ada.

Jannah untuk pertama kalinya bercinta dengan Thalib di saat Arief pergi bekerja. Thalib nekad datang ke rumah Jannah. Saat itu Khalil dibiarkan bermain dan menonton tv, sedangkan kedua orang yang cinta lama bersemi kembali ini saling memuaskan birahi.

Kontol itu Jannah sudah sangat merindukannya. Tak ada penolakan saat Thalib langsung mengeluarkan barangnya. Jannah rakus sekali mengisap, menyedot, mengocok. Thalib yang juga bernafsu sudah tak tahan ingin menggenjot Jannah. Pintu kamarnya dibuka, ketika Jannah disodok oleh Thalib dari belakang, dia mengawasi Khalil yang sedang bermain.

“Ahh…. Akhirnya aku dapatkan memekmu, Sayang,” ucap Thalib.

“Iya mass…. Ahhh…. Aku kangen kontol, Mas. Akhirnya masuk juga,” kata Jannah.

“Meskipun tidak perawan, tapi masih sempit. Ahh….ahhh…oohhhh…. anjing, enak banget!”

“Enak mas, kontolmu. Teruss… ahhhh….ohhhh.”

Tak terhitung berapa kali Thalib menodai rumah tangga Jannah. Jannah telah mendapatkan apa yang dia inginkan selama ini. Cinta dari kekasihnya, walaupun dengan cara yang salah. Namun, dia juga punya alasan lain kenapa harus pergi dari suaminya.

Khalil yang masih kecil, sebenarnya tidak tahu apa yang dilakukan oleh ibunya. Namun, anak kecil itu hanya memahami satu hal. Itu teman ibunya, bukan teman ayahnya. Khalil punya kebiasaan yang unik. Setiap kali ibunya selesai ngentot, dia selalu menarik rambut ibunya, seolah-olah paham apa yang dilakukan ibunya salah. Namun, hal itu hanya dijadikan bahan tertawaan oleh Thalib dan Jannah. Dan Khalil ikut tertawa. Tidak hanya itu. Dilain kesempatan setelah dua orang yang berzina ini lemas setelah memacu birahi, Khalil menghampiri mereka dan melemparkan bola-bola mainan kepada keduanya. Seolah-olah ia paham kalau keduanya pantas untuk dirajam. Bocah itu melempar sambil tertawa. Jannah dan Thalib menanggapinya kalau Khalil sedang ingin diajak bermain.

Akhirnya Jannah menggugat Arief. Bahkan, Jannah pun memutuskan pisah rumah dan menempati rumah yang diberikan oleh Thalib. Tentunya dia ingin memenangkan hak asuh Khalil. Namun, ada suatu hal yang membuat dia membiarkan Khalil dibawa oleh Arief. Membiarkan pengadilan mengetahui perselingkuhan dia dengan Thalib. Membiarkan Arief memberikan bukti-bukti tersebut dan Jannah mengakuinya. Hal itu karena suatu peristiwa yang membuatnya sadar akan hal bururuk tentang anaknya.

Sebulan hidup bersama Khalil pisah dari Arief sambil menunggu keputusan pengadilan, Jannah merasa biasa saja. Namun, selebihnya mulai ada yang aneh dengan Khalil. Tentunya Jannah masih ingat bagaimana Arief mengajari Khalil mencabut kepala burung-burung kecil yang dia beli. Jannah mengira Arief mengajari Khalil hal-hal yang jelek, tetapi dia membaca sebuah jurnal psikologi tentang gen psikopat. Awalnya Jannah merasa tidak mungkin Khalil memiliki gen psikopat. Namun, kali ini tidak.

“Khalil?” panggil Jannah. Anak itu tidak ada di kamarnya. Lalu kemana?

Sebagai seorang ibu tentu panik. Seluruh sudut rumah sudah dicari, tetapi anak itu tidak ada. Apakah pergi ke rumah temannya? Apakah diambil bapaknya? Rasanya tidak mungkin. Arief saja tidak tahu keberadaan dia sekarang ada dimana. Mustahil mantan suaminya tahu. Pasti di rumah teman. Jannah pun bergegas keluar rumah sambil memanggil-manggil nama anaknya.

Perumahan tempat Jannah tinggal itu tidak banyak tetangga. Rumahnya renggang-renggang, itu yang menyebabkan dia cukup nyaman, karena jauh dari gunjingan orang, terlebih Thalib sering singgah untuk memberi dia “jatah”. Jannah memperhatikan terdengar suara anak kecil tertawa. Sudah pasti itu suara Khalil. Rupanya anak itu tak jauh dari rumah, berada di pekarangan kosong yang ditumbuhi rumput yang cukup subur.

“Khalil?” panggil Jannah.

Dari kejauhan, tampak Khalil berjongkok membelakanginya. Jannah tentu saja penasaran sedang bermain apa anak itu. Namun, ada sesuatu yang aneh. Tangan Khalil sedang membawa sesuatu dan dipukul-pukulkannya ke tanah. Penasaran, Jannah pun mendekat. Saat itulah Jannah terkejut bukan main. Dia nyaris saja muntah saat itu juga.

Di hadapan bocah kecil itu ada beberapa ekor kucing yang sudah tidak berbentuk kepalanya dan badannya. Khalil memotong-motong dan mencacah badan kucing tersebut dengan pisau yang ada di tangan kanannya. Anehnya, anak itu senang dan sangat gembira, seperti mendapatkan mainan baru. Jannah segera menepis pisau itu lalu menggendong Khalil. Khalil kebingungan dengan sikap ibunya. Baju Khalil bersimbah darah, bukan darahnya, melainkan darah bangkai kucing yang barusan dia bunuh dan mutilasi.

Berhari-hari Jannah ketakutan dan trauma. Dia ingin benar-benar pergi dari kehidupan Arief, tetapi anaknya juga sepertinya punya pengaruh buruk. Mimpi buruk ini tidak akan berakhir kalau dia tidak segera pergi dari Arief, ataupun anaknya. Dia sangat sedih, tetapi menyadari gen psikopat Arief menurun ke Khalil, membuatnya melepaskan Khalil.

* * *​

Malam datang menyelimuti bumi. Sawah yang terlihat hijau asri mulai menggelap dengan beberapa kunang-kunang berhamburan. Terlihat seorang perempuan berada di kamarnya memandang langit berbintang dari jendela kamar. Leli mengusap pipinya, sungguh dia telah terlena dengan sentuhan Arief. Bingung.

Entah apa kemampuan Arief sampai setiap sentuhan yang dia berikan selalu membuat orang lain tak bisa melupakannya. Leli adalah salah satunya. Tak ada niat bagi Arief untuk merusak Leli, tetapi pengaruh dari tangan ajaibnya membuat Leli masih kepikiran sampai sekarang. Suaminya bahkan tidak pernah memberikan kehangatan seperti itu. Bagaimana dengan pernikahannya?

Leli kembali teringat dengan perjodohan itu. Dia anak sebatang kara yang diasuh di panti asuhan. Orang yang ada di rumah ini adalah orang tua angkatnya. Dari merekalah kemudian Leli kenal dengan Thalib lalu oleh kepala pondok dijodohkan. Sejak muda, dia selalu berusaha sendiri, mandiri dan tidak pernah meminta bantuan orang lain.

Impian setiap wanita adalah mendapatkan suami yang baik. Thalib adalah seorang ustadz, dengan harapan bisa mengantarnya menuju ke rumah tangga sakinah mawahdah warohmah. Tidak muluk-muluk keinginan itu. Thalib benar-benar memberikan segala hal yang dia inginkan, kebutuhan materi dan batin sangat sempurna. Hanya saja, dia tidak menyangka suaminya bisa melakukan perselingkuhan itu.

Jujur Leli tidak punya tempat untuk pergi. Dia tak mau membebani orang tua angkatnya. Meskipun orang tua angkatnya itu tidak keberatan, tetapi tetap saja ada perasaan yang tidak enak. Ya, karena tidak ada pertalian darah di antara mereka. Itu yang membuat perasaan Leli sama sekali tidak nyaman. Namun, hal itu ditepisnya. Dia ingin bisa membalas perbuatan Thalib yang sudah mengkhianati dan menghancurkan hidupnya. Kenyataan bahwa suaminya mata keranjang, telah membuat darah di dalam dirinya mendidih. Dia akan menanggung segala risiko yang terjadi. Rencana Arief sudah benar-benar matang dan dia yakin akan bisa memberikan Thalib pelajaran.

Leli memperhatikan ponselnya. Dia mainkan sesaat untuk melihat-lihat kontak. Ada satu kontak yang dia pandangi. Ragu untuk menelpon, ragu untuk menyapa dalam kata-kata chatting. Bingung, kenapa pria itu membuatnya bingung. Apa maksud dari sentuhannya? Suka? Atau bagaimana?

Lelah, Leli pun meletakkan ponselnya ke nakas. Dia membaringkan tubuhnya, hingga terlelap dalam buaian mimpi indah.

Mimpinya pun cukup aneh. Dia telanjang di hadapan Arief. Leli bingung, tetapi dia pasrah, terlebih ketika Arief mengenyot susunya dengan rakus, setelah itu keduanya saling mendesah saat kontol pria itu mengobok-obok vaginanya. Mimpi itu pun diselesaikan dengan orgasme hebat yang membuatnya terbangun, karena terdengar suara adzan subuh. Leli meraba selakangannya, celana dalamnya cukup basah dengan lendir. Mau tak mau pagi itu dia awali dengan mandi junub.

Setelah mandi dan salat, kedua orang tua angkat Leli pergi ke pasar. Leli mempersiapkan kebutuhan anaknya, setelah itu membiarkan anaknya main atau lihat tv. Sebab, tidak ada kegiatan lain di desa yang sepi ini. Leli juga masih sibuk membalasi chat, sebab dia juga kerja sebagai dropshiper bisnis online yang sudah ditekuninya selama ini. Itulah hal yang dilakukan Leli setiap hari. Dia sudah bertekad untuk tidak akan mengandalkan suaminya, hidup sendiri lebih baik baginya.

Kembali pikirannya dipenuhi oleh Arief. Kenapa pria itu kembali merasuki pikirannya? Padahal dia tahu memikirkan Arief saja sudah salah, apalagi sampai berharap.

Ponselnya tiba-tiba berbunyi. Panggilan masuk dari Arief. Leli langsung mengangkatnya.

“Assalaamu’alaikum,” sapa Leli.

“Wa’alaikumsalam. Ma’af, Mbak, kalau mengganggu,” kata Arief.

Siapa yang mengganggu. Justru sekarang hati Leli serasa berbunga-bunga. Dia juga bingung oleh sikapnya ini. “Tidak kok. Malah senang sekali….. eh, maksudku tidak menggangu.”

“Saya hanya ingin menyampaikan kabar kalau Thalib sudah tidak punya kekuatan lagi. Tinggal menunggu waktu saja. Wina sudah saya taklukkan. Satu-satunya kekuatannya sekarang hanyalah dirinya sendiri. Mbak masih ingin ini berlanjut sesuai dengan kesepakatan kita bukan?”

Leli mendesah. Dia sebenarnya tak ingin membahas hal ini. Tapi apa boleh buat. Dia sudah komitmen. “Iya, sesuai dengan kesepakatan. Aku ingin suamiku mendapatkan pelajaran.”

“Kalau begitu kita tinggal menunggu waktu saja hingga akta cerai mbak keluar. Sementara itu, apa mbak yakin Thalib tidak tahu tentang tempat tinggal mbak?”

“Jangan khawatir. Dia tidak akan berani datang kemari. Dia akan malu kepala panti kalau sampai mengetahui apa yang seebenarnya terjadi,” ujar Leli.

“Baiklah kalau begitu. Ini belum berakhir, Mbak. Sampai bom itu meledak dengan sendirinya,” kata Arief.

“Iya, terima kasih terus mengabariku tentang perkembangannya,” kata Leli.

“Iya, kalau ada perkembangan baru pasti aku kabari,” kata Arief.

“Boleh aku bertanya sesuatu?”

“Silakan.”

“Apa rencana Mas Arief setelah ini semua selesai?”

Arief berpikir sejenak. Dia juga tak tahu akan jawaban itu. “Entahlah, Mbak. Aku tidak punya rencana apapun selain meneruskan hidup dan merawat anakku.”

“Apa tidak ada rencana untuk mencarikan ibu baru buat anak Mas?” tanya Leli sambil tersenyum sendiri.

Arief terkekeh. “Ya, seharusnya saya punya rencana di situ. Memangnya kenapa Mbak?”

“Ah, enggak. Tanya aja,” ucap Leli sambil malu-malu kucing. Dia juga bingung akan perasaannya.

“Kenapa? Mbak mau menawarkan diri?”

“Iya. Eh….bukan maksudku….bukan begitu…,” ucap Leli gelagapan.

Arief tertawa. Wajah Leli memerah. Dia juga kebingungan kenapa bisa seperti itu. Dia memejamkan mata karena malu, tetapi telepon masih dia tempelkan di telinganya.

“Nanti kita lihat saja ya Mbak. Kalau berjodoh ya kita akan dipertemukan nantinya,” ucap Arief.

“Mas, ada waktu luang?” tanya Leli tiba-tiba.

“Ada, kenapa?”

“Bisa ajak saya ke mall atau kemana gitu? Jujur aku stress akhir-akhir ini. Masalah suami, masalah Hafiz, bikin kepalaku pusing. Aku mungkin butuh refreshing.”

“Oke, kapan?”

“Kepinginnya besok.”

“Baiklah, ajak anak mbak sekalian?”

“Kalau Mas nggak keberatan.”

“Tidak masalah.”

“Baiklah, besok ya.”

“Oke, besok aku jemput.”

Telepon itu pun diakhiri dengan perasaan berbunga Leli. Ini sungguh aneh. Dia sendiri bingung dengan kondisinya saat itu. Apakah karena nasib mereka sama? Ataukah karena komunikasi yang cukup sering sehingga membuat kedekatan itu tiba-tiba menimbulkan gejolak aneh? Leli bingung harus berbuat apa. Jantungnya berdegup kencang. Apa yang akan terjadi esok?

* * *
 
Bagian 16



Tidak ada yang lebih bahagia bagi Lista selain mendapatkan pekerjaan, apalagi di kantor orang yang sangat dia kagumi. Pagi itu Lista sudah berada di kantor Arief dengan pakaian rapi, kemeja hijau, jilbab warna senada dan rok warna hijau pula. Orang-orang kalau melihatnya jadi adem rasanya. Arief datang agak siang hari itu dan cukup takjub melihat Lista.

“Eh, Lista?” sapa Arief.

“Om,” jawab Lista.

“Oh, ya. Teman-teman kenalkan ya, ini pegawai baru kita Lista. Dia nanti yang akan menjadi admin,” ucap Arief.

Orang-orang di kantor pun mulai berkenalan dengan Lista. Arief lalu mengajari Lista tentang pekerjaan yang harus dia lakukan. Pembukuan-pembukuan dan catatan-catatan yang harus dia hafal. Lista cukup serius dalam memperhatikan apa yang diajarkan. Hari pertama ini dia habiskan untuk mempelajari jobdesc yang dia berikan. Hari kedua dia juga masih berkutat untuk memperhatikan pembukuan, hari ketiga pekerjaannya mulai lancar dan dia mulai paham apa yang harus dia lakukan.

Gadis itu sama sekali tidak tahu-menahu persoalan yang sedang dihadapi Arief, atau apapun yang Arief lakukan. Di matanya, pria ini orang yang sempurna. Calon suami-able baginya. Sudah lama sebenarnya Lista menaruh hati kepada orang yang sudah menolongnya ini. Sejak dari pertama Arief menolongnya, dia sudah menganggap sosok Arief adalah dewa bagi dirinya. Dan dia berjanji apapun yang diinginkan oleh Arief akan dia turuti, sayangnya Arief orangnya terlalu gentleman. Tidak pernah berpikiran atau berbuat macam-macam kepadanya. Hal itu makin membuatnya takjub dan menaruh hormat.

Sering di status WA dia memberikan puisi-puisi indahh seperti “Duhai matahariku, ingin rasanya aku bisa meraihmu, tapi aku takut tanganku melepuh karenamu. Apa pantas bumi menggapaimu?”

Tidak sedikit teman-temannya yang bertanya-tanya tentang statusnya itu. Memang status itu menggambarkan kalau Lista sedang kasmaran. Dan makin hari perasaan di dalam dadanya makin berkembang menjadi bangunan istana yang megah. Terkadang pula Arief mengantarnya pulang, terkadang juga mengajaknya makan siang. Meskipun, terkadang pula dia tahu kalau Arief pergi ke suatu tempat yang tidak dia ketahui.

“Lista, besok kayaknya aku tidak masuk,” ucap Arief, “minta tolong kalau ada yang mencari aku, katakan aku sedang ada urusan.”

“Oh, mau kemana, Pak?” tanya Lista.

“Ada urusan. Ada teman yang minta bantuan,” jawab Arief.

“B-baik pak,” kata Lista, “kalau bapak butuh bantuan aku bisa membantu.”

“Aku rasa tidak perlu, aku bisa mengatasinya sendiri,” kata Arief, “tapi, terima kasih lho. Kinerjamu bagus.”

Dipuji seperti itu, Lista pun melayang.

“Oh, ya. Kamu ada waktu besok weekend?” tanya Arief.

Lista menggelengkan kepalanya. “Tidak ada, pak.”

“Mau jalan?” tanya Arief, “kayaknya ada film bagus deh di bioskop. Itu kalau kamu nggak keberatan dan free juga sih.”

“Eh?” Lista tentu saja mau. “M-mau mau… oke… bisa… saya free kok pak. Saya masih single.”

Arief tertawa, “Siapa pula yang nanyain kamu jomlo atau tidak.”

“Oh, eh. Hehehehe.” Lista tersipu-sipu.

“Ya sudah, sampai besok sabtu,” kata Arief.

Lista mengangguk. Entah apa yang terjadi besok sabtu. Di otaknya dia sudah membayangkan sesuatu yang tidak-tidak. Menonton bersama si pujaan hati.

* * *​

Hari yang ditunggu oleh Leli pun tiba. Arief tiba dengan mobil SUV warna putih. Sebenarnya ini mobil perusahaan, tapi karena menganggur tak apalah dia pakai mobil tersebut. Leli sudah bersiap-siap dengan Hafiz menunggu kedatangan Arief. Begitu Arief datang, mereka pun segera naik ke mobil.

“Kita mau kemana?” tanya Leli.

“Mbak maunya kemana?” tanya balik Arief.

“Terserah deh, yang penting untuk refreshing,” jawab Leli.

“Ah, mau outbond?”

“Boleh.”

Akhirnya mereka pun pergi ke sebuah tempat wisata yang bisa ditempuh dengan dua setengah jam perjalanan. Tentunya, Leli sangat bahagia sekali diajak berpergian seperti ini. Di jalan pun mereka bicara banyak dan terkadang bercanda. Tidak ada kesedihan terpancar dari wajah Leli. Mereka juga mampir di salah satu toko swalayan untuk membeli snack dan minuman. Hari sudah menjelang siang saat mereka sampai di tempat wisata tersebut.

Tempat wisata itu merupakan tempat wisata yang lebih tepatnya adalah sebuah hutan cagar alam yang dilindungi. Di tempat itu mereka bisa melihat berbagai macam flora dan fauna. Hafiz juga senang bisa melihat hewan-hewan dan ikut memberi makan mereka. Tak lupa Arief mengajak Leli berfoto. Mereka seperti keluarga saja, tak ada yang curiga kalau mereka ini tidak punya ikatan apapun.

Setelah puas berkeliling, lalu perjalanan pun ditutup dengan memakan es krim. Mendung pun mulai bergulung-gulung menutupi langit, sehingga hujan pun turun dengan derasnya. Mau tak mau mereka harus berteduh di salah satu stand pujasera.

“Hujan badai,” ucap Arief sambil melihat langit dengan mendung yang cukup merata. Hari itu masih jam 15.00 tapi mendung membuatnya seperti sudah hampir gelap.

Leli pun mulai khawatir. Tempat tinggalnya cukup jauh dari tempat wisata ini. Takutnya dia akan pulang kemalaman. Arief, melepaskan jaketnya lalu menutupkannya ke kepala Hafiz.

“Kita ke mobil saja yuk. Segera pulang!” kata Arief, “Hafiz hati-hati ya nanti jalannya.”

Tangan Arief langsung menggandeng Leli dan tangan satunya memayungi Hafiz dengan jaketnya. Leli mau-mau saja tangan lelaki yang bukan mahramnya itu menggandenganya untuk menuju ke parkiran, menembus derasnya hujan, lalu masuk ke dalam mobil. Tentunya mereka basah kuyup, kecuali Hafiz. Arief dan Leli tertawa begitu mereka sampai di dalam mobil. Arief memperhatikan baju Leli yang basah, terlihat cetakan bra yang dikenakan Leli cukup jelas menonjol. Buah dada perempuan itu benar-benar ukuran ideal. Dada perempuan itu naik turun, matanya terpejam untuk mengatur napas. Arief, lalu melemparkan pandangannya ke arah lain, menghidupkan mesin dan bersiap untuk pulang.

Selama perjalanan tentu saja Leli menggigil, karena bajunya basah. Arief pun mematikan AC agar Leli tidak kedinginan. Karena kita berada di negara Indonesia, maka tidak ada pemanas di dalam mobil. Selama perjalanan ternyata hujan masih belum berhenti dan sialnya jalanan macet karena ada pohon tumbang dan jalanan longsor.

“Waduh, gimana dong?” tanya Leli dengan bibir menggigil.

“Kita cari penginapan?” tanya Arief.

“Ehm….gimana ya….,” Leli tampak kebingungan. Dia menoleh ke kursi belakang. Dia melihat anaknya sudah tertidur. Agak kasihan, mana dia tidak membawa baju ganti, basah-basahan pula karena hujan.

Pandangan Leli kembali mengarah ke Arief. Lucunya, ternyata Arief juga tadi menoleh ke Hafiz dan kini kedua wajah mereka saling berhadapan. Jarak keduanya cukup dekat. Dalam kondisi ini, sebenarnya Leli menginginkan sentuhan tangan Arief. Dia memang sudah dalam keadaan yang tidak bisa dihindari lagi. Hari ini batinnya terpuaskan dengan perhatian dari pria ini. Jiwanya dilengkapi dengan sosok pria yang sangat dia harapkan bisa menggantikan Thalib. Dia tak begitu mengenal Arief, tetapi dia sangat yakin Arief adalah pria yang bertanggung jawab terhadap keluarganya. Dan pria yang bertanggung jawab sudah cukup untuk hatinya luluh.

Tak terasa tangan Arief sudah sampai di pipinya lagi. Kedua mata Leli terpejam. Tangannya menggapai tangan Arief agar jangan sampai pergi dari tempat itu. Leli terkejut ketika Arief cukup berani menempelkan bibirnya. Kedua bibir bertemu dan mata Leli setengah terbuka. Arief mengecupnya. Satu kecupan. Dua kecupan. Tiga kecupan. Wajah pria itu miring, dan lidahnya mulai masuk ke dalam mulut istri ustadz tersebut. Keduanya pun saling memagut, melamut dan mengisap lidah satu sama lain. Napas Leli memburu, dia tahu ini salah, tapi dia sangat menginginkannya.

Sejurus kemudian Arief menghentikan ciuman itu. Menjauhkan wajahnya. Leli juga. Mereka kembali ke posisi masing-masing. Jantung mereka berdebar-debar. Yang dilakukan oleh Arief adalah segera memutar mobilnya mencari penginapan.

Tak susah mencari penginapan. Mereka langsung menemukannya dalam waktu sepuluh menit. Seolah-olah semesta waktu itu mendukung rencana mereka. Check-in juga sangat mudah dan kamar pun sudah didapatkan. Leli masih menggendong Hafiz yang tertidur. Mereka sengaja memilih kamar double bed. Sehingga bisa menidurkan Hafiz di ranjang satunya. Tidak banyak bicara antara keduanya. Kebisuan yang dibalut dengan bahasa tubuh.

Hafiz diletakkan di atas ranjang dan diberi selimut. Arief dan Leli memperhatikan anak itu sambil tersenyum, seolah-olah anak kecil itu adalah buah hati mereka. Tanpa bicara, Leli memperhatikan Arief, dan dia dulu yang memulai menciumi pria itu.

“Mbak yakin?” tanya Arief.

“Entahlah, tapi aku sangat ingin sekali sekarang ini,” jawab Leli.

“Aku sudah mencintai orang lain, mbak juga masih belum resmi bercerai. Kita sama saja dengan berzina,” kata Arief, “mbak kan seorang wanita yang ta’at agama.”

“Aku tak tahu kenapa aku selalu memikirkanmu, Mas. Aku tak bisa membohongi diri kalau aku sekarang ini sedang butuh, mas juga memancingku. Biarlah apa yang terjadi saat ini terjadilah. Kalau sudah ada yang mengisi hatimu, aku rela jadi yang kedua. Saat ini, aku hanya inginkan kamu, Mas.”

“Aku tidak akan mundur,” ucap Arief.

Kedua tangan Arief langsung beraksi. Tangan kiri menarik pantat Leli hingga kedua badan mereka menempel. Tangan kiri meremas buah dada Leli yang masih terbungkus pakaian. Dan bibir mereka kembali bersatu.

“Ahhhh….ehhmm…,” lenguh Leli keenakan saat buah dadanya diremas-remas. Mungkin karena suaminya sudah beberapa bulan ini tidak pernah menyentuhnya, sehingga sentuhan Arief terasa seperti nostalgia.

“Kau mau ngentot denganku?” bisik Arief di telinga Leli.

“Iya, Mas. Aku mau,” jawab Leli.

Tangan Arief mulai beraksi lagi, melepaskan satu persatu kancing baju perempuan itu, menanggalkan baju dan roknya. Sehingga kini hanya seorang perempuan memakai kerudung dengan BH dan celana dalam. Tubuh Leli sangat seksi, biarpun sudah memiliki anak. Ada memang lipatan lemak, tapi tidak menutupi kecantikannya. Leli juga membantu Arief melepaskan bajunya, hingga pria itu sekarang hanya memakai boxer dengan bagian selangkangan yang sudah mengeras.

Mata Arief sangat terpuaskan dengan tubuh Leli yang seksi dia pun mulai mengusap-usap punggung perempuan itu, menggiring Leli ambruk ke tempat tidur yang kosong. Tanpa dirasakan oleh Leli, Arief ternyata sudah melepaskan BH putihnya. Buah dada sempurna, pikir Arief.

Tangan kanan Arief bergerak nakal mengusap bagian bawah payudara Leli, lalu mempermainkannya dengan pijatan-pijatan lemput, setelah itu jempolnya mengusap pentil coklatnya. Perempuan itu memejamkan matanya, meresapi kegelian dan ransangan yang diberikan oleh lawan mainnya. Arief mulai memainkan lidahnya di pentil satunya. Jilatan-jilatan nakal, diiringi dengan sedotan-sedotan kuat, membuat Leli serasa melayang melayani bayi raksasa yang kini menyusu kepadanya.

Tiba-tiba aktivitas Arief berhenti. Leli membuka matanya. Dilihatnya ternyata Arief mulai meloloskan celana dalamnya. Boxer yang dipakai Arief juga dilepas. Mata Leli tak bisa berpindah dari daging keras panjang tersebut. Bulunya sedikit, sedangkan punya Leli gundul dan bersih. Memang beberapa hari yang lalu dia baru saja mencukurnya. Mata Arief langsung melihat belahan daging di selakangan ibu satu anak ini. Dia seperti melihat mangsa baru.

“Indah sekali,” puji Arief, “suamimu orang yang bodoh.”

Leli memejamkan matanya, seolah tahu apa yang akan dilakukan oleh Arief. Arief langsung mencaplok organ kewanitaannya, memainkan lidah dan bibirnya. Menyedoti cairan yang keluar akibat rangsangan-rangsangan Arief.

“Aahhhh….ehhmm…. Masss….adudududuh….aahhh….geliii,” lenguh Leli.

Tentu saja hal itu tak dipedulikan oleh Arief. Dia mendapatkan mainan baru. Lidahnya benar-benar menyusuri bibir memek perempuan berkerudung ini. Leli merasa kotor saat itu, sebab ada seorang yang bukan mahramnya menikmati kesucian yang harusnya dia jaga, tetapi dia juga menginginkannya. Kedua pahanya mulai menjepit kepala Arief dan kedua tangannya meremas kepala Arief. Badan Leli melengkung hingga pertahanannya pun jebol.

“Aahhh….. nyampeee….ahhh…massss!”

Arief menghentikan aktivitasnya, membiarkan Leli mengejat-ngejat menikmati orgasmenya. Perlahan-lahan Arief baranjak ke kepala Leli. Menyodorkan kontol kerasnya ke mulut Leli. Perempuan itu sudah tak perlu diajari lagi caranya untuk blowjob. Beberapa detik kemudian mulutnya sudah penuh dengan kontol perkasa itu. Lidah Leli kini gantian menggelitiki kepala kontol Arief, sedangkan jemari Arief meremas-remas buah dadanya.

“Ahh,… enak mbak. Mbak jago banget nyepong. Susu mbak juga sangat menggairahkan. Heran aku, kenapa suami mbak malah suka istri orang,” puji Arief.

Leli menatap mata Arief. Kedua mata mereka seperti memberikan isyarat kalau keduanya sama-sama menginginkan hal ini. Arief tak mau berlama-lama disepong. Dia segera turun ke bawah dan menindih perempuan ini.

“Sudah siap?” tanya Arief.

Leli mengangguk. Sorot matanya sudah berbeda. Sorot mata sange yang ingin dituntaskan birahinya. Arief menggesek-gesekkan kepala kontolnya di bibir memek Leli.

“Aku ingin keluar di dalam,” kata Arief, “tak apa-apa?”

Leli mengangguk. Dia sama sekali tak menolak semburan sperma Arief. Dia sangat menginginkannya, walaupun risikonya adalah hamil. Dia lebih ingin hamil dari lelaki ini daripada hamil dari suaminya.

“Aku ingin punya anak darimu,” kata Leli.

“Kenapa?” tanya Arief.

“Aku cinta kamu, Mas,” jawab Leli dengan hati yang jujur.

“Bagaimana kalau aku tidak mencintaimu dan ini hanya hubungan one night stand?”

“Tak apa. Aku akan menerimanya.”

Perlahan-lahan kontol Arief mulai menerobos masuk. Licin sekali, tetapi berasa. Keduanya melenguh, “Aahhhhh!”

Memek Leli meremas-remas batang kontol Arief. Hal yang tidak pernah dia sangka bisa dia lakukan. Arief merem melek menerima remasan-remasan itu, dia pun mulai menggerakkan pinggulnya. Dia ingin saat itu menjadi saat yang paling berharga bagi Leli. Leli sudah kepincut dengannya dan mau tak mau dia harus membuat saat ini menjadi saat-saat yang spesial. Setiap kali sodokan membuat payudara Leli memantul-mantul, Arief semakin bergairah. Dia menciumi bibir Leli, membiarkan kerudungnya tetap menempel di kepala Leli, sungguh pemandangan yang erotis. Kedua kaki Leli pun kini telah mengunci pinggang Arief. Kontol Arief benar-benar dibenamkan sampai penuh, hingga kedua telurnya menyentuh pantat perempuan ini.

“Ahh…. Dalem banget, Mas.”

“Nikmat?”

“Iya… aku ingin begini terus.”

“Nanti Hafiz bangun gimana?”

Leli menoleh ke arah Hafiz. “Hafiz, maafin umimu ya nak. Umi nggak tahan, umi sedang berzina..ahhh…uuhh…. mass… dalem banget.”

“Memekmu enak, meremas-remas kontolku.”

“Mas suka?”

“Iya.”

“Aku ingin jadi istri mas.”

“Aku ingin kau mengandung anakku.”

“Aku terima.”

Akhirnya Arief memacu agak cepat. Tubuh mereka benar-benar melekat, keringat pun sudah mencampur menjadi satu. AC di kamar itu tak akan mampu lagi mengalahkan bagaimana perpaduan panas kedua tubuh itu. Arief pun berganti gaya. Dia mencabut perlahan kontolnya, memutar tubuh Leli hingga menungging, lalu menyodoknya dari belakang.

Tidak tanggung-tanggung memang Arief mengentot seorang wanita muslimah ini. Dia hentakkan dengan kuat dan mantab pinggulnya, sehingga bunyi-bunyi erotis terdengar di kamar. Leli ingin menjerit, tetapi dia bungkam mulutnya agar anaknya tidak terbangung. Buah dadanya bergoyang-goyang, Arief pun menangkapnya dan meremasnya. Pantat beradu perut, kecipak suara cairan yang terus keluar dari memek Leli membuat semangat Arief untuk memompa perempuan ini.

Karena yang diinginkan Arief adalah menggarap Leli dengan berbagai gaya, maka dia kembali memutar tubuh Leli untuk miring. Setelah itu Arief tekuk kaki Leli menyamping, kemudian dia duduk, menempatkan kontolnya di memek Leli lalu bergoyang lagi. Perempuan itu pasrah dengan gaya apapun yang diinginkan oleh lelaki pujaannya ini. Dia sendiri heran, sirep apa yang digunakan oleh Arief sampai dia takluk, bahkan sudah cukup lama Arief mengocok memeknya dengan kontol perkasanya, beberapa kali juga Leli harus orgasme.

Kini Arief menindih Leli. Tentu saja ini saat penghabisan. Leli sudah lemas, bahkan ia pasrah saja, melebarkan pahanya agar Arief mudah menggarapnya. Tangannya hanya merangkul leher Arief dengan lemas, bibirnya dicium oleh Arief dan dadanya dimain-mainkan. Arief mulai menuju garis finish, goyangannya makin cepat dan makin membuat Leli menuju klimaks.

Tubuh Leli melengkung saat Arief mengejang, penisnya berkedut-kedut memancarkan air mani, kental, hangat dan banyak. Mata Leli memutih. Ini orgasme terhebat yang belum pernah dia rasakan. Bahkan suaminya tak pernah memberikan orgasme sehebat ini. Dia mendekap Arief erat-erat, Arief pun begitu. Dia habiskan spermanya di rahim Leli hingga keduanya lemas dan ambruk.

Arief mengatur napas. Kontolnya baru loyo separuh. Dia hendak mencabutnya, tetapi Leli mencegahnya dengan menekan pinggang Arief dengan kedua tangannya.

“Jangan dulu!” pinta Leli.

Akhirnya, Arief membiarkan kontolnya tetap menancap hingga mengecil, keluar sendiri dari liang surgawi tersebut. Arief kemudiang berguling ke samping. Terlentang menatap langit-langit kamar, sambil tangannya menggenggam tangan Leli.

“Makasih,” ucap Leli.

“Tidak. Aku yang makasih,” kata Arief.

“Mas tahu kan apa yang kita lakukan ini?”

“Iya, kita berzina.”

“Iya. Mas menyesal?”

“Tidak.”

“Aku juga tidak.”

Mereka sudah dewasa. Mereka tahu risiko yang akan mereka hadapi. Dan mereka juga tahu, kalau mereka tidak akan pernah bisa lolos yang namanya seks. Setelah istirahat beberapa menit, mereka pun mengulanginya lagi. Rasanya tak pernah puas Arief menggenjot tubuh Leli, Leli juga tak pernah puas ingin dientot oleh Arief. Kali ini Leli melepaskan kerudung saat melakukanya. Persetubuhan itu baru berhenti saat Hafiz mulai bangun. Itu pun Arief sudah muncrat tiga kali ke rahim Leli, bahkan saat Leli berdiri lendirnya pun menetes ke paha perempuan itu.

* * *​

Jam tiga pagi Arief terbangun karena ingin kencing. Dia mendapati Leli duduk di ranjang sambil mengusap-usap kepala anaknya. Dia masih belum memakai baju. Arief melihat baju-baju mereka sudah dijemur di hanger. Sepertinya Leli tadi yang mengurus saat dia tidur.

Setelah kencingnya tuntas, Arief berbalik ke tempat tidur. Kini dia mendapati Leli sudah berada di ranjangnya. Arief lalu masuk ke dalam selimut masih dalam keadaan telanjang. Mereka berciuman sejenak lalu saling berpelukan. Leli menempelkan kepalanya di dada Arief. Buah dadanya ditekan ke tubuh Arief. Sengaja hal itu dilakukan karena nyaman menurutnya.

“Kok nggak tidur? Apa nggak bisa tidur?” tanya Arief.

“Kepikiran ini,” jawab Leli sambil menggenggam kontol Arief yang masih loyo.

“Kenapa emangnya? Mau lagi?” tanya Arief.

“Ih, maunya.”

“Kalau mau ayo aja,” kata Arief. Bersamaan dengan itu kontolnya mulai sedikit demi sedikit bangun.

Leli tertawa. “Ganas banget sih. Kata mas tubuhku seksi ya?”

“Iya, seksi kok. Bahkan aku bisa nambah kan tadi?”

Leli mendongak untuk mencium Arief. Setelah mengecup bibir lelaki itu, Leli kembali ke posisi semula. Perlahan-lahan dia kocok batang kontol Arief.

“Memangnya, Mas suka ama seseorang?” tanya Leli.

“Iya,” jawab Arief.

“Siapa namanya?”

“Lista Herliana.”

“Cantik?”

“Iya.”

“Masih gadis?”

“Iya.”

Leli mendesah. “Ah, pantas. Aku sudah turun mesin.”

“Tapi kamu masih menarik, kok,” puji Arief.

“Iya, tapi aku tidak bisa menggantikan dia di hati Mas.”

“Cinta tak bisa dipaksakan, Mbak.”

“Iya, aku tahu. Tapi aku ingin Mas. Ayah dan ibuku sudah tiada. Walaupun sekarang aku tinggal dengan orang tua angkatku, tetapi tetap saja aku sebatang kara sekarang ini. Ditambah suamiku berkhianat. Kemana lagi aku harus pergi?” kata Leli. Dia pun terisak. Kocokan pada batang kontol Arief berhenti.

“Tak apa-apa kalau Mbak ikut aku. Tapi aku minta maaf tidak bisa membagi cintaku kepada orang lain,” kata Arief.

“Aku benci pada perempuan itu,” kata Leli.

“Jangan begitu dong. Kalau Mbak benci dia, mbak juga sama seperti membenciku.”

Leli membenamkan wajahnya ke dada Arief. “Please, biarkan aku dalam pelukan mas. Meskipun Mas punya tambatan hati. Izinkan aku juga dalam pelukan mas.”

“Aku takutnya ini hanya akan jadi nafsu belaka.”

“Tak apa. Mas boleh pakai tubuhku kapanpun, asal jangan pergi. Aku tahu Mas Arief orang baik. Mas sayang ama keluarga. Aku juga. Aku tak mau hidup bersama pengkhianat seperti suamiku. Aku maunya Mas,” kata Leli sambil menangis.

“Kau tahu aku tak bisa melakukannya. Bagaimana mungkin aku bisa ngentot wanita lain di depan orang yang aku cintai?”

“Tak apa-apa. Aku akan bilang padanya nanti. Aku akan membujuknya nanti,” kata Leli.

“Iya kalau dia mau. Kalau tidak?”

Leli terdiam.

“Hidup ini relatistis. Aku tahu perasaan Mbak sekarang sedang kalut, bingung dan bimbang. Mbak melakukan ini karena butuh, karena mbak jarang dibelai,” kata Arief mencoba menghiburnya. “Kalau mbak ingin ngentot ama aku, aku bisa dan siap kalau sedang mampu, tapi aku tidak mau memberikan cinta kepada mbak.”

Leli mendesah. Tangisnya masih terdengar. “Aku bodoh ya…hiks… mengharapkan sesuatu dari hal yang tidak mungkin aku gapai.”

“Aku tak bisa, Mbak. Cintaku hanya untuk satu orang,” kata Arief.

Tangan Leli kembali mengocok batang Arief. Batang itu pun bangun. Sebagai lelaki normal hal itu wajar. Terlebih lagi di atas tubuh Arief ada seorang perempuan seksi yang akan memberikan tubuhnya begitu saja kalau dia mau. Perempuan itu menghentikan kocokannya, kemudian dia bangun. Menempatkan selakangannya bertemu dengan selakangan Arief.

“Kalau begitu, aku akan bercinta terus denganmu sampai mas luluh,” kata Leli.

Tangan Leli menggapai batang kontol Arief, lalu menempatkannya di liang surgawi miliknya. Setelah itu ditekannya batang itu hingga masuk semua. Sejurus kemudian pinggulnya sudah meliuk-liuk di atas selakangan Arief.

“Ahhh….!” Lenguh keduanya.

“Enak kan?” tanya Leli, “aku bisa bikin mas keenakan lagi. Aku bisa bikin kantong mas kering.”

Arief menikmati goyangan Leli. Badan Leli yang masih bagus itu benar-benar bikin ngaceng. Arief pun mulai meremasi buah dada perempuan itu dan memilin-milin pentilnya. Tak lupa pinggulnya dia hentakkan ke atas beberapa kali, sehingga membuat Leli tersentak.

“Ahh….kok aku yang keenakan?” gumam Leli, “Mass… aduh… jangan dihentak gitu… aahhh….duuhh…dududuh… enaaak…..eehmm… ahhh…..!”

Leli pun tak kuasa, hingga dia ambruk, sementara itu pinggulnya terus bergerak naik turun. Batang kontol Arief yang sudah becek terkena lendir dari Leli makin mengeras. Arief mengalihkan tangannya untuk meremas-remas pantat Leli yang bahenol. Dia tekan kuat-kuat pantat itu bersamaan dengan orgasme yang datang kepada Leli.

“Ampppuuunn….. nikmat sekali…. Ah,… kenapa baru kali ini aku bercinta seperti ini. Kenapa suamiku tak bisa melakukannya?” tanya Leli.

Perempuan itu kelelahan. Dia berusaha mengatur napasnya, sampai Arief kembali bergoyang. Dia menggerakkan pinggulnya dengan cepat. Leli sudah lemas. Dia membiarkan perbuatan Arief itu, hingga Arief mengerang menyemprotkan lagi benih-benihnya ke rahim Leli.

“Aku cinta ama Mas,” kata Leli sambil menciumi Arief.

Arief tak menjawab. Keduanya lelah, lalu tertidur hingga sinar matahari membangunkan mereka.

* * *

======== tubi konticrot ==========

NB: Ki Dalang bertapa lagi...... Update index menyusul. Koneksi sedang tidak bagus Ki Sanak.
 
Dulu penasaran kenapa cerita sekeren ini (yang ternyata berberapa episode) ga masuk di forum cerbung.

Mungkin biar Ki dalang bisa Hiatus kalau lagi stuck biar cerita yang ketulis tetep bagus.

Disana cepet bener ditagihinnya sama pembaca, kalau disini kan memang ga nulis bersambung wkwkw

Semangat Ki dalang. Banyak pembaca menanti updatenya

Akhirnya ada Ki Sanak yang paham. Dan satu lagi, Ki Dalang nggak suka didikte. Makanya, Ki Dalang nggak pernah mau bikin cerita permintaan orang. Biarkan Ki Dalang membuat ceritanya sendiri. Semoga suka.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd