Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Rapuh -TAMAT

Terima kasih updatenya Suhu @wayangkulit :beer:
Terbaik Hu. Karyanya Nubie suka. :jempol:
G papa jarang2 update Hu, krn mencipta karya yg bagus tentu butuh waktu dan suasana yg mdukung. Terbukti sekalinya Ki Dalang update bikin asik bacanya, bikin nagih buat nunggu karya Ki Dalang berikutnya.
Monggo dilanjut
 
Ditunggu update nya suhu:ampun:
Perkembangan cerita nya sangat menarik, soft, terstruktur dan terencana..
Awalnya saja terguncang karena NTR thalib :)
 
Sehat-sehat selalu suhu
Biar bisa update ceritanya lg
Sangat menikmati calan cerita kisahnya
Terimakasih
 
Bagian 17


Sudah sebulan ini Thalib tidak melihat Leli di rumah. Ada penyesalan di dalam dirinya. Kenapa dia tidak bisa menahan diri dulu untuk tidak ngentotin Azizah yang menyebabkan Leli cemburu. Memang beberapa hari yang lalu mereka saling berkomunikasi lewat telepon, baik itu untuk menanyakan kabar atau ingin bicara dengan Hafiz. Namun, rasanya beda. Dia seperti kehilangan sesuatu yang sangat berharga. Dia juga kehilangan Hafiz yang tiap hari selalu memanggilnya “Abi”. Azizah terlihat merasa nyaman di rumah Thalib dan Thalib pun tak akan tidak menghiraukannya begitu saja. Tidak mungkin perempuan yang sudah digauli dan dijanjikan akan dinikahi dia usir begitu saja. Itu akan menurunkan martabatnya sebagai seorang ustadz, walaupun dia bisa dan mampu melakukannya.

Beberapa hari ini kondisi Thalib sedang tidak fit. Entah kenapa dia lemes banget, batuk kering yang sering dan demam beberapa hari. Sudah dia minum obat untuk menghilangkan itu. Mungkin hanya flu biasa. Dan hampir sebulan ini pula dia belum menemui Jannah. Dia sudah rindu sekali ingin bisa bertemu dengan perempuan yang dia cintai. Mau bagaimana lagi, selain jadwal ngisi kajiannya padat. Dia juga harus mengurus beberapa hal seperti yayasan dan tentu saja bisnis esek-esek berkedok syari’ah milik keluarga Wina.

Demi mengobati rindunya, Thalib pun melakukan video call dengan Jannah. “Assalaamu’alaikum, sayangku?”

“Walaikumsalam. Sayang, kok lama sih nggak pulang ke rumah. Udah kangen, nih. Sendirian itu nggak enak tauk,” ucap Jannah dengan manja.

“Yah, mau gimana lagi. Ada urusan yang harus aku selesaikan dulu, Sayang. Uhuk…uhuk…!” Thalib sedikit terbatuk-batuk.

“Eh, Sayangku sakit? Udah minum obat?” tanya Jannah khawatir.

“Udah. Makanya aku belum bisa ke sana. Kondisi tubuh sedang tidak fit. Padahal udah kangen,” kata Thalib tak kalah manjanya.

“Kangen apa?”

“Tahu dong, aku kangen apa.”

Jannah lalu membuka resleting gamisnya sambil memperlihatkan buah dadanya. Ternyata dia sengaja tidak memakai bra. Dua susu ranum pun terlihat di video call itu membuat Thalib, tentu saja ngaceng.

“Kangen ini ya?” goda Jannah.

“Tahu aja,” jawab Thalib.

Lalu Jannah mengarahkan kameranya ke bawah. Kakinya diangkat, lalu roknya diangkat pula sehingga memperlihatkan celana dalam Jannah berwarna putih. “Atau kangen yang ini.”

“Ah, kangen semuanya. Kepingin banget aku makan itu memek,” kata Thalib.

“Ih, dimakan. Emangnya apaan?”

“Kan itu kue apemku.”

“Ini bukan kue apem. Ini kue dorayaki. Kan warnanya coklat.”

“Iya, iya. Duh, jadi kangen beneran nih. Uhuk…uhuk…”

“Udah, mas istirahat aja dulu. Aku juga kangen kontol,” kata Jannah.

“Ketagihan ama kontolkukah?” goda Thalib sambil mengarahkan kameranya ke selakangannya.

“He-ehm, pengen lihat,” kata Jannah.

Thalib lalu membuka sarung dan celana dalamnya. Dia pun memperlihatkan batang kejantanannya yang mulai tegak.

“Udah kangen diemut yah?” goda Jannah.

“Iya, kepengen diemut atas dan bawah,” jawab Thalib.

“Mas sehat dulu gih, nanti kalau sudah sehat puas-puasin deh,” kata Jannah.

“Iya, sayang. Tapi kepengen lihat kamu colek-colekin memek,” pinta Thalib.

“Ya udah,” ucap Jannah. Dia pun mulai mengarahkan kamera ponsel ke selakangan. Dia melepaskan celana dalamnya, setelah itu dia letakkan ponsel menghadap ke arahnya, sehingga Thalib bisa melihat selingkuhannya itu duduk di atas kursi dengan gamis atas terbuka dan bawah terangkat. Jannah mulai beraksi.

Tangan kanan Jannah meremasi susunya, menggelitik pentilnya sendiri, sedangkan tangan kirinya mulai mengusap-usap klitorisnya. “Ohhh, mass. Kangen disedot susuku, kangen dijilat.”

Thalib pun tak kalah, dia juga mengocok penisnya. “Iya, Sayang. Aku kangen juga.”

Keduanya saling memperlihatkan alat kelamin mereka saat video call. Sementara itu Azizah menguping pembicaraan keduanya, setelah itu tersenyum penuh kemenangan. Pagi itu dia merasa misinya berhasil. Tinggal satu hal lagi, setelah Thalib mengetahui kalau dia tertular virus, dia akan pergi. Azizah tak pernah menyangka secepat ini tertular efeknya. Mungkin karena hampir tiap hari dia digarap oleh Thalib, apalagi Thalib tidak makan atau minum vitamin. Sehingga antibodi ustadz cabul itu menurun.

Kondisi Thalib makin hari makin menurun. Batuknya makin sering dan tiap malam berkeringat. Demamnya juga sudah tiga hari tidak sembuh. Akhirnya, mau tak mau dia pergi ke dokter. Setelah beristirahat dan minum obat dari dokter, sakitnya masih kunjung sembuh, sedangkan acaranya untuk mengisi kajian juga masih padat. Biarpun dia sakit, tetap saja dia sange. Malam hari masih ingin juga dipuaskan oleh Azizah. Azizah pun dengan sukarela melakukannya.

Dikarenakan sudah sebulan ini tidak mengkonsumsi ARV tubuh Azizah juga mulai lemah. Kondisinya mirip seperti kondisi yang dialami oleh Thalib. Thalib merasa ada yang tidak beres dengan tubuhnya. Dia merasa Azizah ketularan sakit yang dia derita, oleh karena itu dia berencana ingin pergi ke dokter untuk full check-up. Namun, pagi itu dia dikejutkan oleh sesuatu.

Sepucuk surat beramplop kuning dengan KOP Pengadilan Agama diantarkan oleh Tukang Pos. Bisa ditebak isinya adalah gugatan cerai oleh Leli. Thalib sudah berusaha sekuat tenaga untuk bisa membujuk Leli, tetapi rasanya sudah tidak bisa lagi. Dia juga bingung harus bagaimana, terlebih kondisinya sedang lemah. Untuk sesaat dia tidak begitu menghiraukan surat itu. Toh kalau misalnya Leli ingin berpisah darinya, maka dirinya tidak perlu menghadiri undangan dari Pengadilan Agama tersebut. Jahat? Ini tidak jahat. Namun, Thalib tahu tabiat istrinya. Leli tidak akan memaafkan perilakunya, terlebih sudah beberapa kali dia mengkhianati sang Istri, tetapi sang Istri tetap sabar.

Di rumah sakit, Thalib menunggu hasil test lab. Demikian juga Azizah yang menemaninya. Setelah lama menunggu, akhirnya dokter pun memanggil keduanya ke dalam ruangan. Dokter yang menangani mereka adalah dokter Imran.

“Silakan duduk, ustadz,” ucap dokter dengan sopan. Sebab, dokter ini juga sudah tahu kapasitas Thalib sebagai ustadz.

Thalib duduk dengan tenang. Dia berharap sakitnya hanya sakit biasa. Sudah sejak pagi mereka antri cek darah dan inilah hasil yang ditunggu. Namun, dari raut wajah dokter yang ada di hadapannya ini, sepertinya ini bukan hal yang baik.

“Bagaimana, dok?” tanya Thalib.

“Ustadz percaya kepada saya?” tanya dokter.

“Iya, selama ini saya selalu minta pendapat ke dokter. Makanya saya datang ke rumah sakit untuk menemui dokter,” jawab Thalib.

“Tapi mohon maaf, sebelumnya. Ibu ini siapa kalau boleh tahu?”

“Oh, dia calon istri saya,” jawab Thalib.

Azizah hanya mengangguk sambil menunduk. Dia tidak berani memperlihatkan wajahnya kepada dokter. Dokter pun mengangguk-angguk. Di tangan dokter Imran ada selembar kertas yang akan jadi hal yang berat bagi Thalib.

“Saya sebelumnya mohon maaf. Ustadz, kita fair saja ya. Ustadz pernah jajan di luar?” tanya dokter.

“Maksud dokter?”

“Iya, ustadz paham maksud saya,” jawab dokter dengan datar.

Thalib langsung mengerti arah pertanyaan dokter itu kemana. “Serius, dok?” tanya Thalib dengan wajah terkejut.

“Makanya saya perlu tanya.”

Thalib tidak akan mengelak kalau dia pernah ngentot dengan lebih dari satu wanita. Terlebih lagi setiap kali dia menemui Wina. Terkadang dia harus mencoba gadis-gadis perawan atau janda-janda yang butuh duit sebelum dijual oleh mucikari. Namun, Thalib yakin sekali kalau para wanita itu sudah dicek kesehatannya. Dia tak pernah jajan. Lalu, siapa? Azizah? Thalib menoleh kepada Azizah.

“Saya tak pernah jajan,” ucap Thalib tegas.

Dokter Imran pun menatap Azizah. “Ibu Azizah, apa ibu pernah berhubungan badan dengan lelaki lain atau memakai jarum suntik?”

“Jujur saya bukan orang yang memakai jarum suntik, tetapi kalau soal ranjang, selama ini saya hanya dengan ustadz saja melakukannya,” kata Azizah polos.

Dokter Irman menoleh ke arah Thalib. Pandangannya menyelidik. “Ustadz, ustadz harus jujur kepada saya. Ini juga untuk mengetahui sumber penyakit ini darimana.”

Thalib langsung merebut kertas yang ada di tangan dokter Imran. Dengan cepat Thalib membaca kertas itu dan di sana tertulis sesuatu yang membuatnya terkejut. Dia positif tertular HIV.

“Apa?” Thalib terkejut, “ini tidak mungkin. Bagaimana bisa?”

Azizah pura-pura terkejut saat juga membaca kertas satunya yang memberitahu hasil checkup. Dia pun histeris sambil memegangi kepalanya. “Tidaak! Tidak! Tidak! Ustadz, katakan ini bohong! Selama ini aku hanya main dengan ustadz saja, tak kusangka!” jerit Azizah sambil menangis.

Tangan Thalib langsung menutupi dahinya. Dia tak habis pikir bagaimana ini bisa terjadi. Satu-satunya yang bisa memberi penjelasan adalah Wina. Pasti ada laporan kesehatan dari wanita-wanita yang dia jual itu palsu. Siapa? Azizah bagi Thalib terlihat terlalu meyakinkan kalau dia baru tahu. Jadinya dia tidak begitu curiga kepada Azizah. Wina memang bisa saja memalsukan laporan kesehatan dari para wanita itu, lalu apa yang sebenarnya terjadi?

“Ini tidak mungkin,” gumam Thalib. Dan dia menyadari hidupnya makin kacau.

* * *​

Setelah pulang dari rumah sakit. Thalib menyuruh Azizah untuk tidak keluar rumah dan merahasiakan hal itu dari siapapun. Langkah selanjutnya yang ditempuh Thalib adalah mengkonfrontasi Wina. Hari itu juga dia menemui Wina. Seperti biasa, dia masuk tanpa permisi dan langsung membanting pintu.

Perempuan cantik dan judes itu terlihat santai di sofa sambil menghisap rokoknya. Hari itu Wina hanya memakai tanktop dan hotpants. Melihat Thalib datang Wina tak menghiraukannya. Ustadz tersebut langsung melemparkan laporan kesehatannya ke Wina. Perempuan itu lalu membaca lembaran tersebut.

“Katakan yang jujur. Ada salah satu wanita itu yang tertular HIV!” desak Thalib.

Wina cukup tenang, dia meletakkan rokoknya di asbak sambil masih membaca lembaran laporan kesehatan milik Thalib.

“Win, bicara!” desak Thalib.

“Kau ini, datang datang berisik, marah-marah nggak jelas. Apa urusannya denganku? Mau kau tertular HIV kek, atau tidak kek, bukan urusanku. Eh, jadi urusanku, dong. Aku nggak mau ngentot ama kamu lagi. Udah tertular gitu.”

“Heh, brengsek! Itu juga karena kamu. Pasti wanita-wanita itu ada yang tertular virus itu. Kau sengaja memalsukan data kesehatan mereka bukan?”

“Kau punya bukti kalau aku memalsukannya?”

“Itu, laporan kesehatan itu?” ucap Thalib sambil menunjuk.

“Hei, Pukon! Bisa saja ini dokter bohongin kamu. Selama ini memangnya aku pernah bohongin kamu? Duit juga aku kasih, kamu bisa seterkenal sekarang ini juga karena aku. Ustadz kondang, ustadz muda yang lemah lembut santun kepada siapapun. Siapa yang promosiin kamu? AKU! Wanita-wanita itu juga sudah dicek kesehatannya. KONTOL kau sendiri yang kegatelan mungkin, ngewe sembarangan!”

“Tidak mungkin. Azizah saja baru mengetahui keadaannya. Dia sampai menangis mengetahui kalau tertular dariku.”

“Hah? Hahahahahaha…” Wina tertawa sampai memegang perutnya.

Thalib kebingungan dengan tawa itu. “Ini tidak lucu, Win!”

“Ya jelas lucu, kau bisa percaya dengan wanita yang baru kau kenal. Aku yang bertahun-tahun kau kenal, yang bahkan perawanku kau ambil tidak kau percaya? Benar-benar TOLOL! Makanya KONTOL itu dipelihara biar nggak ngacengan, ngewe di sembarang memek. Sudah istri orang kau embat, sekarang orang yang kena HIV juga kau embat. Dasar Ustadz KONTOL!” kata Wina. “Asal kau tahu saja, aku kalau ngambil barang itu kualitasnya harus bagus dan bersih. Sekarang kalau tahu KONTOL kau sudah busuk, ya aku nggak akan mau lagi pake kau. Pergi sana! Aku sudah nggak butuh kau lagi. Makan tuh HIV!”

Wina melempar kertas laporan kesehatan tersebut.

“Maksudmu?” tanya Thalib.

“Aku sudah nggak butuh kau lagi.”

“Tidak butuh aku lagi?”

“Tidak butuh ya tidak butuh! Aku anggap kau sudah tidak berguna lagi,” ucap Wina sambil tersenyum sini.

“Apa?” tiba-tiba Thalib menerjang Wina lalu mencekiknya.

“Apa? Apa? Kau berani mencekikku? Kau mau papaku menghabisi kau dan keluargamu? Hah?” ancam Wina, Thalib lebih kencang mencekik Wina.

Wina berusaha melepaskan diri. “B-bajingan….anj….njiiing….uhuk…..aahhkk!”

“Seenaknya kau melakukan ini. Brengsek! Lalu yang aku lakukan selama ini buatmu apa, hah?”

“Aku hanya…ing-….in kont…tol….uhhkk…aahkk!” mata Wina mulai berair seiring kencangnya Thalib mencekiknya. “B-bunuh…aja… dasar kontol kecil! Kontol lemes! Jyancuk! Papaku akan benar-benar menghabisi keluargamu…tubuhmu… akan dimutilasi…bapakmu…akan dicacah…dikasih makan…ke babi…”

Sadar kalau usahanya mencekik Wina sia-sia, Thalib melepaskan perempuan itu. Wina terbatuk-batuk dan meludah. Perempuan itu tertawa melihat kebingungan Thalib.

“Sudah pergi sana! Hajar saja perempuan yang toketnya bagus itu. Kau sudah bebas, tidak perlu datang ke sini lagi!” kata Wina sambil tertawa.

Frustasi, Thalib segera menghubungi Azizah dengan ponselnya untuk meminta kejelasan. Bingung, Thalib pun segera keluar dari rumah Wina. Apa yang dikatakan Wina ada benarnya. Biarpun Wina bertingkah seperti itu, tidak mungkin dia berbohong. Tidak diangkat.

Beribu-ribu pertanyaan hinggap di kepala Thalib, semuanya berputar-putar kepada Azizah. Siapa Azizah? Padahal dia sudah mencari tahu latar belakang perempuan itu, tetapi sepertinya ada yang tidak benar. Thalib pun meninggalkan rumah Wina untuk mengkonfrontasi Azizah di rumah.

Namun, di rumah Kosong. Tidak ada Azizah, bahkan barang-barang Azizah pun tidak ada. Thalib makin frustasi. Perempuan itu tidak bisa dihubungi dan tidak tahu keberadaannya. Akhirnya Thalib menelpon seseorang.

“Halo?” terdengar suara di telepon.

“Aku ingin kau cari dimana Azizah,” jawab Thalib.

“Lho, ada apa Pak Ustadz? Bukannya dia di rumah?”

“Aku tidak tahu dia ada dimana. Aku hanya ingin dia kau temukan dan sekap. Jangan kau apa-apakan dia! Aku mau menginterogasinya!” perintah Thalib.

“Beres ustadz,” ucap orang itu mengakhiri pembicaraan.

Rumah dalam keadaan sepi. Tidak ada Leli, tidak ada anaknya. Thalib kini sendirian dengan kenyataan dirinya tertular HIV/AIDS. Dia pun langsung menyimpulkan ini pasti dari Azizah. Setiap perempuan yang digarapnya dari Wina pasti sudah dicek kesehatannya. Thalib kebobolan. Azizah bisa lolos karena tidak dalam pengawasan Wina. Apakah ada orang di balik ini yang menyuruh Azizah?

Nama-nama orang yang pernah menjadi musuhnya pun berputar-putar di dalam otaknya. Dia cari satu per-satu nama hingga akhirnya terbesit satu nama. Arief, mantan suami Jannah. Tidak mungkin, pikir Thalib. Kemungkinannya kecil kalau Arief memang yang merencanakan ini semua. Terlebih lagi bagaimana Arief bisa kenal Azizah?

“Bisa jadi! Itu bisa saja terjadi!” kata Thalib dalam hati. Itu bukan hal yang mustahil. Arief berusaha membalaskan dendamnya dengan cara ini. Pertanyaannya adalah bagaimana Arief bisa mengenal Azizah. Thalib mengambil kemungkinan terburuk ini, sebab dia sama sekali tidak pernah memantau gerak-gerik mantan suami Jannah itu.

Dengan cepat diraih ponselnya lalu menelpon Wina.

“Halo, Win!?” sapa Thalib.

“Ada apa? Sudah kamu tanyain apa perempuan itu?” tanya Wina di telepon.

“Ini kayaknya kerjaan mantan suaminya Jannah. Aku tidak tahu mengapa tapi feelingku kuat. Dia pasti ingin balas dendam kepadaku,” jawab Thalib.

“Oh, bagus. Sikat aja dia,” kata Wina, “itu bukan urusanku.”

“Tapi aku butuh bantuanmu.”

“Oke, oke. Tapi ini untuk yang terakhir, setelah ini kau sendirian. Hutangmu sudah lunas,” kata Wina.

“Serius?” tanya Thalib, “kenapa tiba-tiba?”

“Itu urusanku. Yang jelas aku sekarang punya mainan baru,” kata Wina.

“Maksud kamu?”

“Obviously! Kamu kena AIDS! Aku tidak mau kentu ama orang yang kena AIDS. Enak saja,” ujar Wina.

Thalib tak bisa membantahnya. Benar apa kata Wina. Thalib tahu suatu hari hal ini akan terjadi. Di satu pihak dia bersyukur bisa lepas dari bayang-bayang pelacur itu, di satu pihak dia merasa direndahkan. Tidak apa-apa. Daripada tidak memenuhi keinginannya, lalu keluarganya celaka. Memang untuk bisa lepas dari jerat perempuan itu hanya ada dua caranya. Wina mati atau dia yang mati. Namun, Tuhan berkata lain dengan memberinya penyakit yang membuat Wina jijik.

Tubuh Thalib mencari kursi setelah itu dia duduk. Ruang tamunya yang luas pun menjadi sempit. Perasaannya sedang kacau, pikirannya seperti dihantam palu besar, sehingga dia tak bisa lagi berpikir jernih. Namun, yang pasti bibirnya komat-kamit mengucapkan kata-kata “alhamdulillah” berulang kali.

Ada alasan kenapa Thalib selama ini takluk kepada Wina. Dia tak mau menyakiti orang tuanya. Orang tuanya seorang kyai yang disegani, kalau sampai tersiar kabar yang aneh-aneh tentang dirinya. Semuanya akan menyakiti orang tuanya. Memang benar dia adalah hasil dari dosa orang tuanya, tetapi bukan berarti ayahnya tidak menyayanginya. Thalib tahu setiap bulan Kyai Lutfi menjenguknya di panti asuhan adalah karena menyayanginya. Awalnya dia tidak tahu alasan tersebut sampai akhirnya Kyai Lutfi menceritakan semua. Sekarang, dia ingin membalas jasa orang tuanya. Dia juga ingin mendapatkan cintanya kembali dan tentu saja kalau ini semua perbuatan Arief, dia akan menenggelamkan Arief ke dalam bumi.

* * *

===== tubi kinti crit =====

NB: Ki Dalang masih belum bisa ngedit index. Sudah dicoba untuk formatnya bisa pake link. Tapi nggak bisa. Mungkin karena pengaruh proxy-nya yang mendisable script js, sehingga nggak bisa jalan script js untuk ngesavenya. Jadi, semoga nggak keberatan kalau gerilya tiap halaman. Hehehehe.
Apakah hampir tamat? Entahlah.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd