Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT Rara

User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
lale memang tong ini si nanta dih
ini mi nakasih habis cewe2na makassar

aih, rindu2 kurasa suhu sama kota daeng
ngopi di dg sija, makan mi titi, putar balik naik motor gara2 ada yg nutup jalan buat kondangan, hahahaha

kalo boleh saran, si nanta pindah ke jakarta saja, ngekos di rumah pak ancha
kali aja secelup lima belas celup dapat sama tetangga beliau... hihihi
kasian kan Max terus yg harus jadi korban
 
lale memang tong ini si nanta dih
ini mi nakasih habis cewe2na makassar

aih, rindu2 kurasa suhu sama kota daeng
ngopi di dg sija, makan mi titi, putar balik naik motor gara2 ada yg nutup jalan buat kondangan, hahahaha

kalo boleh saran, si nanta pindah ke jakarta saja, ngekos di rumah pak ancha
kali aja secelup lima belas celup dapat sama tetangga beliau... hihihi
kasian kan Max terus yg harus jadi korban


:D

Mie titi & daeng sija masih sama, bahkan tambah banyak cabangnya. Bertandangq, cappo'..
:)

Saran yang keren, nanti disampekan..
:D
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Update 05

***

Pattukku Limpoe. Sebuah desa di Kabupaten Bone, tempatku melaksanakan Kuliah Kerja Nyata, entah angkatan ke berapa. Rombongan almamaterku tiba di balai desa sore tadi, lalu berjalan kaki sekitar 8 km ke sebuah dusun di mana rumah posko sudah disediakan. Kami tiba di posko menjelang malam, karenanya sekretaris desa langsung menyilakan kami beristirahat.

Malam ini kami akan diperkenalkan kepada perangkat desa, juga kepada serombongan mahasiswa KKN dari kampus lain yang kebetulan ditempatkan di desa ini juga. Di samping itu kami sendiri juga belum saling mengenal, sebab berasal dari fakultas yang berbeda-beda.

Pada malam itulah aku pertama kali bertemu Citra.

***

Hara belum membalas sms-ku. Dia pulang ke kota asalnya berminggu-minggu yang lalu, pada hari ketika Daeng Rosi menangkap basah kami berdua di Pantai Apparalang. Sejak saat itu tidak ada kabar darinya. Telepon hanya diangkat sekali, menghabiskan obrolan yang tidak lebih dari sekadar basa-basi.

”Hey, how’s life there?” Aku bertanya

“Baik-baik saja semuanya..”

Terdiam. Keheningan yang mengapung lama.

“Tau Tilly Bagshawe gak?” Aku bertanya lagi.

“Siapa?”

“Itu penulis muda. Dia nulis novel yang ngelanjutin novel-novelnya Sidney Sheldon. Bahkan ada novelnya yang dibuat berdasarkan naskah Sidney Sheldon yang belum pernah diterbitkan. Baca deh, pasti suka.”

“Hoo, yang itu.. Heeh, aku tahu. Kemarin sudah beli. Cuma belum sempat baca.”

Jawaban Hara menambah kecanggungan yang sudah lebih dulu ada.


Berbalas-balas sms juga sama kakunya. Seperti ada yang salah. Entah bagaimana rasanya dari sisi Hara, setidaknya itu yang kurasa.

Tetapi memang aku tidak boleh berharap lebih. Toh, kami memang hanya sekadar teman. Teman dalam definisi Hara sendiri. Definisi yang kupilih untuk tidak - mau - mengerti.

Pesan - yang sudah kuketik setengah - untuknya tidak jadi kukirimkan. Kumasukkan kembali ponselku ke saku celana.

Di dalam, di posko, kepala desa sudah memulai sambutan. Seharusnya aku sudah duduk di dalam. Apalagi secara aklamasi, aku ditunjuk sebagai kordes (koordinator desa). Tetapi berada di tempat baru tanpa mengabari Hara menimbulkan semacam rasa gamang yang mengganggu. Walaupun pada akhirnya tidak jadi berkabar juga.

Sungguh ironis, sebab pacarku sendiri belum kukabari. Malam tadi dia berpesan, “Kirim kabar begitu sampai sana,” sambil menatapku mesra. Dia menggelutiku semalaman, seperti istri yang akan ditinggal suaminya ke medan perang.

Ohya, suhu sekalian, kekasih yang kuceritakan ini bukan lagi si gadis SMA. Kami sudah putus beberapa bulan yang lalu, walaupun tanpa kata-kata tertentu. (See the 8th part of Husna and Lily)

Tidak bisa kupungkiri, Hara banyak mempengaruhi kisah asmaraku. Pengalaman bercinta dengan Hara membuatku lebih berani mengeksplorasi hal-hal baru bersama pacarku yang dulu. Aku bahkan berani - beberapa kali - mengajak (mantan) pacarku bercinta di tempat terbuka di kampus, dan itu dapat dikatakan karena Hara.

Bercinta di tangga kampus kami - aku dan (mantan) pacarku - lakukan bukan semata karena tidak mendapat tempat yang tertutup, tetapi juga karena rasa beraniku untuk mencoba outdoor sex sudah ditumbuhkan lebih dulu oleh Hara, di sebuah pantai beberapa waktu sebelumnya.

Ketika kemudian pacarku mengira diri hamil, dan benakku mencari-cari seseorang yang dapat kujadikan tempat konsultasi, Hara-lah yang pertama terlintas di pikiranku. Aku sendiri bingung mengapa demikian. Syukurlah, ternyata pacarku ketika itu tidak benar-benar hamil, hanya masuk angin. (See the 7th part of Husna and Lily)

Dan harus pula kuakui, renggangnya komunikasiku dengan si anak SMA juga dikarenakan pikiranku masih selalu tertuju kepada Hara, di samping memang aku jatuh cinta - lagi? - kepada seorang wanita lain yang lebih dewasa.

Walaupun yang nampak berselingkuh adalah (mantan) pacarku, tetapi aku selalu tahu, akulah yang mendua lebih dulu. Terkutuklah sikapku yang tidak setia..

Aku mengintip sejenak ke dalam melalui jendela. Kata sambutan kepala desa sudah mendekati akhirnya. Ini berarti sebentar lagi giliranku untuk menyampaikan sesuatu. Beberapa kepala terlihat menoleh mencari-cari. Mungkin mencariku yang tengah menyepi di balkon. Diayun gamang di balik bayangan tiang.

Seseorang melangkah mendekat di belakangku. Langkah kakinya terdengar menderikkan lantai kayu. Ketika aku berbalik, mataku menangkap wajah seorang gadis dengan senyum terbuka.

“You found me!” kataku tiba-tiba.

“You weren't that hard to find.” Katanya.

Kami seketika tertawa. Kalimat yang biasa, tetapi secara kebetulan menjadi referensi yang diketahui berdua selalu begini dampaknya. Menimbulkan kesan menyenangkan dan memancing tawa.

“Gih, masuk. Kayaknya kamu deh yang dicari-cari teman-temanmu.” Katanya lagi, masih tertawa.

“Hehe, sip. Tadi cuma nelpon bentar ke rumah, jadi nyepi dulu.” Aku sedikit berbohong. Baiklah, aku berbohong, bukan sedikit. Tidak ada kadar gradual pada dusta.

“Eh, nama kamu siapa?” aku bertanya sambil berjalan masuk.

“Nanti habis ini bakal kenalan, kan?” katanya tersenyum.

***

Ohya, bagi yang tidak tahu. Dua kalimat percakapan pertama kami adalah penggalan percakapan dalam Hulk (2003). Sebuah quote yang tidak catchy. Tetapi sama-sama tahu tentang sesuatu yang tidak biasa itulah yang membuatnya istimewa.

Hari-hari bersama Citra bagaikan sepenggal keindahan kanak-kanak dalam album foto keluarga. Terpisah tetapi indah. Hilangkan dari albumnya, maka keseluruhan memori menjadi kaku dan hampa makna.

Citra Navishka, namanya.

***

“Chieee.. yang lagi sms-an..”

Kutolehkan wajah ke sumber suara. Citra menatapku dengan wajah basah. Setengah badannya di bawah leher berada di bawah permukaan air.

Aku duduk mencakung di atas batu besar di tepi sungai. Tadinya hendak langsung ikut melompat ke air, tetapi kemudian menyadari ponsel dan dompetku masih di saku.

Setiap menyentuh ponsel, mataku secara naluriah mencari indikator pesan baru. Tetapi pesan dari pacarku tidak menderingkan ponselku beberapa hari belakangan itu. Kuhela napas, meletakkan ponsel di atas batu, melepas baju lalu melompat menyusul Citra.

Citra memekik ketika tubuhku menyibak air di dekatnya. Kami berenang dengan riang, seperti anak kecil yang baru bertemu kubangan. Air jernih beriak menciprati bebatuan, oleh gerakan tangan kami yang saling menciprati, menirukan gesture pasangan muda dalam roman picisan.

Hari itu merupakan akhir pekan ketiga kami di desa. Kami - para mahasiswa - semakin akrab, terutama aku dan Citra.

Pagi hari seperti ini pada akhir pekan, teman-teman yang lain masih bergelung di tempat tidur. Aku selalu terbangun lebih pagi dari yang lain, kebiasaan sejak masa kanak-kanak. Ternyata Citra juga punya kebiasaan yang sama. Hal yang membuatku heran pada awalnya, melihat seorang gadis cantik yang - kelihatannya, dan benar ternyata - berasal dari keluarga yang berada namun memiliki kebiasaan hidup yang jauh dari perilaku malas.

Kami pernah melintasi sungai ini pada suatu sore, beberapa hari yang lalu ketika sedang melakukan survey jumlah penduduk. Subuh tadi, Citra langsung mengiyakan dengan riang ketika kuajak dia mandi di sini.

Citra adalah gadis dengan penampilan yang selalu bersih. Wajahnya ayu keibuan, dengan senyum yang.. entahlah.. sulit kujelaskan. Setiap kali senyum dan tatapan matanya terarah padaku, kurasakan sensasi aneh dalam diriku. Seolah kata hatiku sedang terbaca seperti buku. Seolah sebuah rahasia sedang digali dari dalam dadaku.

Ketika kuangkat wajahku dari dalam air, mata kami beradu dalam jarak yang dekat. Terlalu dekat. Aku berenang menjauh, menuju bagian sungai yang lebih dalam. Citra memanggilku,

“Jangan ke situ..!” serunya.

“Kenapa?” gerakanku terhenti.

“Itu, yang agak dalam itu, tempat mandiin kuda orang-orang sini.” Katanya sambil berenang mendekatiku.

“Kata siapa?”

“Kata aku.. Hihi..”

Citra bergerak cepat, berenang mendahuluiku ke tempat yang tadinya kutuju. Sial, kupikir dia serius.

Aku berenang mengejarnya, menangkap kakinya. Kami “bertarung” untuk sampai lebih dulu, dengan alasan yang tidak penting. Saling menarik dan menertawai tanpa ada juntrungannya. Aku berhenti menggeliat ketika kusadari posisi kami berubah ganjil; Citra memelukku dari belakang. Lengannya melingkari leherku, menumpukan berat badan sepenuhnya.

Kurasakan empuk payudaranya bertumpu di kepalaku, dan halus kulit pahanya di lenganku. Dia masih tertawa. Menertawakan gerakanku yang mati karena terkunci.

“Eh eh, ampun, kamu berat, Ra..”

Citra mencubitku. Tersadar akan kondisi kami yang menempel erat, Citra kemudian menjauhkan diri. Dia berenang beberapa meter dariku. Air yang sangat jernih membuatku bisa mengamati bentuk tubuhnya yang menggoda. Pinggulnya yang muncul sesekali di permukaan, terlihat membulat besar, lebih besar dari mahasiswi kebanyakan. Kaos hitam dan celana basket longgar yang dikenakannya melekat erat, menjiplakkan semua lekuk, memamerkan semua tanjung dan teluk.

Citra biasa dipanggil Cite’ atau Te’ oleh teman-teman yang lain. Tetapi aku memanggilnya Ra. Semula kulakukan tanpa sadar, tetapi kemudian aku tahu mengapa. Suhu sekalian juga. Dan Citra tidak keberatan kupanggil dengan nama itu.

“Kamu gak boleh duluan sampe di sini, hihi..” katanya terkikik.

“Ih, kenapa? Apa bedanya?”

“Laki-laki biasanya kalo berendam suka pipis. Kalo kamu duluan sampe, bisa-bisa dipipisin duluan airnya. Haha..” Matanya seperti terpejam sepenuhnya saat tertawa. Menyipit habis dengan manis.

“Huuu.. kata siapa cowok klo berenang suka pipis di air. Itu mitos..” kataku mendekat.

Kami berenang dalam diam beberapa saat. Citra bergerak ke tepian, lalu meraih sabun cair yang sebelumnya diletakkan di atas batu. Citra berdiri membelakangiku, lalu menarik bajunya ke atas.

“Hey! Bilang dulu dong kalo mau lepas baju!” Aku berseru panik.

“Haha, iyaaa.. Aku lupaaa.. Kamu hadap sana dulu gih! Hahaha..” Citra malah tertawa.

Aku membalikkan badan. Kuapungkan tubuhku dalam posisi terlentang di permukaan. Ada rasa penasaran hendak mencuri pandang ke arah Citra, tapi dari tempatku sekarang tentu akan kelihatan olehnya.

Kugerakkan tungkaiku perlahan, berusaha mencari posisi yang baik agar aku bisa melirik Citra tanpa kentara. Padahal tadinya dia sudah buka baju begitu saja. Aku-nya saja yang jaim, hihi..

Pada satu titik, ekor mataku dapat menjangkau posisi Citra tanpa perlu memutar wajah. Jarakku dengannya hanya beberapa langkah. Aku bisa mendengar suara gumamamnya bersenandung, juga suara usapan tangannya di tubuhnya yang bersabun.

Ketika mataku bisa melihat Citra dengan jelas, aku terbeliak akan apa yang kupandang..

Citra duduk memunggungiku, dengan punggung terpampang jelas, tanpa kain, tidak juga temali. Kulihat baju dan bra-nya tersampir pada batu di sampingnya. Kulitnya putih dengan semu kekuningan ditimpa larik cahaya pagi. Pinggangnya berlekuk indah, dengan sedikit lebihan di tepiannya. Plus size mungkin istilah yang tepat untuknya.

Bahunya yang basah memantulkan cahaya, putih seperti pualam. Rambutnya terjuntai slanting turun hingga belikat, sedikit ikal pada ujungnya. Menelusuri rambutnya ke ujung, kulihat tepian bulatan indah mengintip di balik ketiaknya. Hanya sedikit, tetapi cukup membuatku membayangkan bentuk payudaranya.

Pipinya yang sesekali terlihat nampak segar dengan bulir-bulir air yang mengembun. Lalu matanya..

“Hey! Malah ngintip! Das..”

Plok plok plok! Jring jring..

Suara dokar tiba-tiba terdengar mendekat. Di tepi sungai ini memang ada jalan setapak tanah, tepat di arah Citra sedang menghadap. Dokar kuda adalah salah satu sarana penduduk desa untuk mengangkut hasil bumi atau hutan ke desa.

Citra seketika bergerak melompat ke air dan membenamkan diri hingga leher. Sebuah dokar melintas terayun-ayun, ditarik kuda melintasi jalan setapak yang tidak rata. Petani tua di atasnya sedang serius mengendalikan lajunya, sedang wanita di sampingnya tersenyum dan melambai ke arah kami.

Aku dan Citra balas melambai, memandangi mereka hingga menghilang di ujung jalan.

“Dasar lale.. Malah ngintipin..” Citra berujar dengan mulut dimonyongkan.

“Ih, siapa juga yang ngintip.. Aku kan melototin..” Aku tertawa.

Citra seperti hendak mengejarku,

“Eit, eit.. Kamu pake baju dulu.. Kalo aku ngeliat lebih banyak nanti kamu marah..”

“Aku kan memang sudah marah!”

Citra membelalakkan mata, menggemaskan sekali.

“Hihi.. Maaf.. Cuma liat punggung kok..” Aku tersenyum menggaruk kepala.

“Bener cuma punggung?”

“Iya, bener.. Haha..”

“Awas ya, kalo liat yang lebih.. Aku sumpahin mata kamu jadi hilang bagusnya..”

“Hoo.. Jadi mata aku bagus ya, menurut kamu..” Kataku, masih tersenyum.

“Ih, kata siapa..?” Citra mendelik, kembali memunggungiku.

Dia berdiri bimbang dalam rendaman air sebahu. Lalu dengan pelan dia berkata,

“Ng, Ta.. Ambilin baju sama bra-ku dong.. Kalo kuambil sendiri, ntar kamu ngintip lagi..”

“Haha.. Gak ngintip kok, janji..” kataku tertawa.

“Kalo melototin lagi, iya..” lanjutku lagi.

Citra berbalik mengayunkan tangannya ke arahku. Cipratan air terlontar menyiramiku. Setelah puas menggodanya, aku melangkah menuju tepi sungai, mengambilkan pakaiannya.

Mata kami bersitatap saat aku melangkah mendekatinya, mengulurkan baju dan bra-nya. Aku masih memandangi wajahnya ketika dia memutar badan, mulai mengenakan bra-nya di dalam air.

“Kamu hadap sana..” Katanya lirih, lalu membenamkan tubuhnya lebih dalam ke air.

Hanya kuncup bahunya yang muncul di permukaan, ketika Citra mulai menyampirkan tali bra di pundaknya.

Aku mendekatinya dari belakang, Citra merasakan riak air ketika aku bergerak mendekat.

“Jangan ke sini dulu..” suaranya masih lirih.

Kuulurkan tangan ke punggungnya, menyentuh jari-jarinya yang sedang memasang kait bra.

“Ta.. Jangan..”

Suara Citra terdengar lirih, lebih menyerupai undangan daripada larangan.

Kupasangkan kait bra di punggungnya, kugerakkan telapak tanganku membelai kulitnya ke atas, menuju tengkuk, leher dan bahunya. Perlahan Citra membalikkan badan.

Mata kami saling kunci. Kurasakan napasnya menyapu wajahku, dalam tautan jarak yang sangat dekat. Terlalu dekat.

“Kamu tadi liat toket aku kan? Waktu aku lari ke air..” bisiknya lirih. Selirih suara air di sekitar kami.

Aku mengangguk.

"Bagus kok.." Kataku.

Citra tersenyum, tersipu.

Kedua tanganku berpindah menapak lehernya, mengapit wajahnya. Citra memejamkan mata, menyerah pada telapak tanganku yang menarik wajahnya ke arahku.

Lalu suara dokar lain menyelamatkan bibirnya..

***

Dengan riang kami berjalan ke arah desa dalam pakaian yang basah. Sesekali Citra menyenggolku, berusaha menjatuhkanku dari pematang sawah yang membujur dari tepi sungai ke perkampungan.

Beberapa saat sebelumnya, ketika sesuatu - yang akan terjadi namun entah apa - di antara kami terinterupsi, kecanggungan hadir di antara kami. Tetapi pribadi Citra yang riang segera mengambil kendali. Kami sadar, bahwa jika kami tidak mencairkan kebekuan yang terjadi, maka suasana kikuk akan terus muncul setiap saat kami berdekatan.

Kami berjalan bergandengan tangan, sampai rumah-rumah warga mulai terlihat di depan.

Bahkan ketika tangan kami tidak lagi saling genggam, kusadari telah hadir sesuatu di antara kami. Sesuatu yang tidak seharusnya ada, mengingat masing-masing kami telah dimiliki. Sesuatu yang memaksa kami membohongi diri..

***

Citra adalah pribadi yang bipolar. Seperti terdapat dua pribadi berbeda dalam dirinya yang muncul silih berganti tanpa terduga.

Pada satu kesempatan, dia akan berlaku mesra padaku. Membelai rambutku, tidak peduli tempat dan waktu. Tetapi pada kesempatan yang lain, tiba-tiba dia menamparku ketika tanganku terulur menyentuh wajahnya.

Aku terkadang bingung oleh perubahan suasana hatinya yang selalu mendadak.

“Kamu tahu bedanya Peter Parker dengan Spiderman?” tanyaku suatu hari, ketika kami sedang berdua saja menikmati pagi

Saat itu kami hanya berdua di beranda posko. Menikmati pagi berdua sebelum teman-teman lain terbangun.

“Kan orangnya sama?” jawab Citra, duduk di pagar pembatas beranda.

“Spiderman mendapatkan gadisnya.. Peter Parker nggak, hehe..” aku mengutip monolog terkenal Spiderman dari salah satu sekuel filmnya.

Citra tertawa keras sekali. Tawa yang sebenarnya sedikit berlebih, untuk perkataan yang tidak terlalu lucu. Tubuhnya agak condong dan terlihat akan jatuh dari posisi duduknya. Dengan cepat kutangkap tubuhnya,

“Hey, apaan sih, pegang-pegang.. Ih..” ucapan Citra mengejutkanku.

“Anu, itu.. kupikir tadi kamu bakal jatuh.. Maafkan..”

Saat kuangkat wajahku, aku terkejut melihatnya tertawa.

“Mukamu lucu kalo lagi bingung begitu.. Hihi..”

Citra mengerjaiku, seperti biasa.

***

Hari minggu sore, aku dan sebagian teman-teman KKN menghadiri panen jagung di ladang seorang warga. Sebagian teman yang lain sedang pulang ke Makassar.

Panen jagung di tempat ini dilakukan berhari-hari secara bergiliran. Pada hari ini, semua warga dusun membantu Pak Jusman dan Pak Hamda memetik jagungnya. Besok semuanya membantu di kebun warga yang lain lagi. Demikian seterusnya selama berhari-hari.

Aku dan teman-teman berpasang-pasangan, memetik jagung di sela rerimbunan yang tinggi. Aku - tentu saja - berpasangan dengan Citra. Berdua kami bergerak dalam satu garis, memetik buah jagung dan memasukkannya dalam keranjang bambu yang kubawa.

Sedikit pening kurasakan saat itu. Aku kekurangan tidur setelah bercinta semalaman dengan pacarku, yang datang membesukku dari Makassar. Semalam penuh memuaskan hasratnya, yang menggelutiku dengan liar. Mengigiti leherku hingga memerah, mencakari punggungku sampai perih. Menunggangku menuju orgasme bersama dalam batas terjauh fisikku.

Kekasihku menyewa sebuah kamar di suatu penginapan wisata, satu hari yang lalu. Dia mendesak datang, katanya hendak membicarakan sesuatu, yang ternyata adalah rencana perjodohan yang diatur oleh ayahnya.

“Kamu semalam di mana?” Citra bertanya sambil sibuk mematahkan tangkai jagung yang dipetiknya.

Kami berdua sedang berada dalam rimbunan yang cukup jauh dari yang lain. Posisi kami sangat terlindung dari pandangan.

“Dari Sumpanglabbu, ketemu teman.”

Sumpanglabbu adalah sebuah kawasan wisata pemandangan di Kabupaten Bone. Dipercaya merupakan titik tertinggi, di mana tepi wilayah Kerajaan Bugis dapat dilihat dari ujung ke ujung.

“Hoo..”

Sebuah jagung melayang ke arah wajahku.

“Hey, hati-hati dong, keranjangnya di sini, hihi..” Aku berseru dan tertawa pada Citra.

Lalu sebuah lagi membentur punggungku.

Kuangkat wajah, berusaha menangkap tatapan matanya. Citra Nampak gusar oleh sesuatu. Apakah karena sesuatu yang kukatakan sebelumnya? Dalam melangkah merenggut lepas jagung-jagung dari pelepahnya, wajahnya terus cemberut dan matanya menghindari tatapanku.

Kuhentikan langkahku lalu berbalik dan berjalan mendekatinya.

“Ra, kamu kenapa?”

Citra diam saja, meneruskan yang dilakukannya. Kutangkap tangannya. Dia diam sejenak, matanya menunduk menatap kaki kami berdua, lalu mengibaskan tangan, melepaskan peganganku.

Aku tidak pernah suka didiamkan seperti ini. Terlebih untuk kesalahan - atau bukan - yang aku tidak mengerti.

Kutarik tangan Citra seketika, kuputar tubuhnya menghadapku. Tanganku melingkar di pinggangnya, memeluk dalam posisi frontal yang erat.

“Bilang, Ra. Aku ada salah apa..”

Citra menunduk, tetap menghindari tatapanku.

“Aku bikin salah sama kamu, Ra?”

Citra menggeleng, tetap menunduk. Kuangkat dagunya dengan jari,

“Kalau begitu apa?”

Dengan mata berkaca, Citra mulai berkata,

“Kamu gak salah apa-apa. Aku yang salah..”

Aku paham. Citra tiba pada kesadaran yang membuatnya bimbang. Kami berdua merasakan ketertarikan satu sama lain, pada saat yang sama kami sadar bahwa cinta kami adalah milik orang lain. Perasaan ini mungkin sepele bagiku dan para pria pada umunya, tetapi cukup menohok batin bagi wanita.

Kusandarkan jidatnya di keningku. Kubelai pipinya dengan jari. Kurasakan tangan Citra merayap naik, membalas pelukanku.

Aku kehilangan kata-kata. Seorang pria yang sedang mencoba mendua memang seharusnya tidak berhak menjelaskan apa-apa.

Mata kami kembali beradu. Kudekatkan wajahku, menunduk ke arah bibir Citra yang seperti menunggu,

“Jangan..”

Citra mundur melepaskan diri.

“Banyak cupang di leher kamu..”

Citra meninggalkanku di sana, berdiri dalam kabut rasa kentang.

Duh, Batara ri Botillangi, mengapa bukan rasa bersalah yang kurasakan?

***

Timeline update ini paralel dengan Part 16 Husna dan Lily.

Belum ada fan service, suhu sekalian...

Semoga terhibur...


:)
 
Terakhir diubah:
Seperti biasa kata2 dan diksi nya beneran ajibb.. ane jujur aja suka gak ndong arti nya apaan tapi ane seneng baca nya..

Good job suhu :jempol:

Ternyata rara itu citra n hara toch..
 
Awal keakraban yang lale tapi so sweet:sayang:, senyum-senyum jadinya pas baca:o

Thanks updatenya, lama beneer kali ini...
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd