part 3
Hampir jam 8.30 kami tiba di kampus Pram. Sekumpulan wajah-wajah yang kami kenal berada didekat pintu masuk kedalam area gedung, sambil berbincang-berbincang.
“Cieeeeee.. romatis banget tuan dan nyonya ini.” Ledek Topan.
Aku tertawa mendengar celotehnya sambil berjalan disisi Pram, menuju ke arah mereka.
“Sayang.. lihat deh.. ini akibat kalo keseringan tidur malam sendirian. Otaknya jadi rada kurang dikit.” ceramah Pram sambil menatapku dan jari telunjuknya mengarah pada Topan.
“Bangkeeee…!” maki Pram. Ia tak mampu membalas ejekan Pram.
“Eh… tunggu tunggu..! Emang kalian kalo tidur berdua???” tanya rita dengan wajah serius.
“Sayang.. ini contoh nyata kalo keseringan peluk guling waktu bobo, padahal udah punya cowok.” Jawabku sambil melihat wajah Pram dengan serius, sementara jari telunjukku mengarah pada Rita.
“BODOOOOOOO AAAMMMAAATTTT…!” balas Rita dengan wajah kesal.
Kami semua tertawa melihat Rita yang nampak kesal karena ejekanku.
“Udahhh. Jangan ngomongin yang enak-enak mulu. Bentar lagi ujian noh.” Potong Salah seorang teman Pram yang bernama Galang.
Pram mengantarku terlebih dahulu ke warung sebelum mengikuti ujiannya.
“Pram, nanti selesai ujian jam berapa?”
“Jam 10 bu.”
"Trus abis itu mau ngapain lagi?”
“Pulang bu, istirahat, trus nanti sore jemput ibu.”
“Ibu mau minta tolong sama kamu, ngeposin surat lamaran pekerjaan. Tadi ibu lupa bawa. Bisa?”
“Bisa dong buuuu.”
“Ya udah, ini uangnya, buat ongkos kirimnya.” Kataku sambil menyerahkan sedikit uang padanya. “Udah, ibu simpan aja uangnya. Pakai uang saya aja. Kali aja kalo pakai uang saya, nanti ibu langsung dapet kerjaan.”
“Kamu ini ada-ada aja. Ya udah.. beneran nih kamu yang bayarin?”
“Iya.. beneran kok.”
“Makasih ya, Pram. Ya udah, ibu masuk dulu. Kamu juga moga sukses ujiannya.”
“Iya bu, makasih.”
‘Cuup.’ Sebuah kecupan kulayangkan ke bibirnya. Kecupan yang kulakukan dengan gerakan cepat karena takut terlihat oleh orang lain walaupun keadaan disekeliling kami sepi.
Hari ke-2 bekerja kujalani dengan penuh semangat. Entah mengapa, aku merasa hatiku sedang gembira, seolah tak memiliki beban yang harus kupikul. Sambil bekerja, sesekali aku terlibat perbincangan dengan beberapa pengunjung warung yang menyapaku. Semua berjalan indah, berjalan lancar.
Seiring berjalannya waktu, akhirnya aku pun mengenal teman-teman kuliah Pram. Topan, Rita, Nina, Galang dan, Deva.
Mereka adalah teman dekat Pram dan hampir setiap hari selalu bersama dikampus ini. Hanya Rita saja yang lebih muda dan berbeda angkatan dengan yang lain. Tubuhnya ramping dan sedikit lebih pendek dariku, namun paling sering membuat heboh, memancing keributan dalam hal bercanda dengan teman-temannya. Pram adalah salah satu objek candaan yang paling ia sukai.
Topan adalah salah satu yang paling sering menggoda Pram tentang status jomblo, sama seperti Rita. Perawakannya tinggi, dengan bodi yang ideal. Galang cenderung lebih pendiam, mirip dengan Pram. Begitu juga dengan Nina. Si Manis yang berasal dari provinsi paling Barat ini sangat jarang berbicara, namun ia sangat menikmati kebersamaan dengan yang lainnya.
Pasca keretakan rumah tanggaku, aku menutup diri dari lingkungan pertemananku. Hanya Pram yang dekat denganku setiap saat. Kedekatan itulah yang akhirnya membawa aku masuk kedalam dunianya, kedalaman lingkungan pertemanannya. Mereka memberi warna tersendiri dalam perjalanan hidupku.
Sesuai janjinya, Pram menjemputku setelah selesai bekerja. Seperti biasanya, kedua penghuni kost yang lainnya belum pulang, sehingga lingkungan rumah pun sepi. Sambil memarkirkan motornya disamping mobilku,
“Gimana hari ini bu, lancar?”
“Iya, lancar kok Pram.”
“Capek??”
“Enggak kok.. biasa aja Pram.”
“Ya udah, saya tinggal dulu ya bu, mau mandi.”
Aku menggelengkan kepala setelah mendapati tempat tidurku masih dalam keadaan berantakan. Noda-noda sisa hasil percintaanku dengan Pram pun telah mengering. Kami terburu-buru berangkat agar aku tak terlambat kerja dan Pram pun harus menempuh ujiannya.
Segera saja kulepaskan sprei yang membungkus kasurku, lalu meletakkannya diruang cuci, dibelakang dapur.
“Lho Pram, katanya mau mandi, kok malah kesini??”
“Saya inget, tadi pagi belum sempat beresin ranjang, jadi mau saya beresin sekarang.”
“Duuhhhh baik banget sih kamu..!” kataku sambil mencubit pipinya.
“Udah.. udah ibu beresin.. cuman kasurnya belum dijemur. Besok aja deh. Lagian ini udah sore.”
“Kasurnya basah ya bu?”
“Iyaaa, basah dikit kok Pram, agak lembab juga soalnya lama gak dijemur. Lagian ini kan lagi musim hujan.”
“Trus malam ini ibu tidurnya gimana?”
“Biasanya ibu tidur matanya merem”
“…..”
Pram tertawa mendengar jawabanku.
“Maksud saya, ibu tidurnya dimana?”
“Di sofa aja bisa kok. Empuk juga.”
“Kamar yang satunya belum sempet ibu beresin sih, nanti aja kalo sempet.”
“Ya udah, saya beresin sekarang ya bu, biar nanti malam ibu bisa tidur disitu.”
“Eehhh.. gak usah Pram. Besok-besok aja gak apa kok. Beneran gak apa-apa.”
“Udah, sekarang kamu mandi. Nanti malam kita masak buat makan malam bareng.” sambungku.
“Iya bu.”
“Maaf ya bu.”
“Lhooo.. kok minta maaf??”
“Gara-gara saya ibu jadi tidur di sofa.”
“Habisnya kamu sih…” jawabku sambil mendekat.
“Bikin ibu keenakan” lanjutku lagi dengan berbisik ditelinganya.
“Emang ibu suka?” tanyanya pelan.
“Sukaaa.. pake banget.”jawabku masih berbisik di telinganya.
“Kontol kamu enak banget, besar banget, bikin ibu ketagihan.” Sambungku lagi sambil mengusap kemaluannya yang masih terbungkus celana panjang.
Pram nampak terkejut jawabanku yang nakal dan vulgar.
“Bu..” katanya sambil memegang kedua lenganku.
“Saya senang ibu bisa gembira, bisa kembali ceria. Tapi kalo ngomongin yang nakal-nakal kayak gini, gak boleh sama sembarangan orang lho ya. Ibu harus tetap menjaga harga diri ibu didepan umum.”
“Iya.. maaf.” Kataku sambil tertunduk malu.
“Enggak, ibu gak salah kok. Ibu hanya mengungkapkan perasaan ibu aja. Dan hal itu gak salah kok.”
“Iya.. tapi kalo ngomong kayak gini sama kamu gak apa kan? Kamu gak risih kan? Gak marah kan?” tanyaku lagi. Sejujurnya aku khawatir Pram tidak suka dengan kebinalan yang baru saja kulakukan.
“Ya enggaklah bu. Justru saya senang ibu bisa mengekspresikan diri ibu. Ibu gak perlu malu-malu, gak perlu berpura-berpura didepan saya.”
“Tapi kalo bisa, cuman didepan saya aja ya bu. Jangan sama orang lain. Bukannya saya mau ngelarang ibu, tapi ibu harus tetap menjaga harga diri ibu didepan umum.”
Aku mengrti apa coba disampaikan olehnya. Ia hanya ingin melindungiku, ingin menjagaku agar tetap dihargai di depan orang lain.
Jika saja Pram berniat mengambil keuntungan dariku, ia telah melakukannya dari dulu, karena memiliki kesempatan yang terbuka lebar. Atau setidaknya jika hanya menginginkan tubuhku, tentu saja ia akan mendapatkannya dengan mudah. Dia satu-satunya lelaki yang selalu berada disampingku sejak suamiku pergi.
Namun Pram tetaplah Pram yang telah kukenal selama ini, dan aku percaya padanya. Dia bukanlah tipe lelaki seperti itu.
“Iya.. makasih ya Pram. Tolong ingetin ibu kalo salah bersikap didepan kamu. Atau di depan orang lain.”
“Iya.. pasti saya ingetin kok bu.”
“Berarti kalo sama kamu, ibu bebas mau ngapain aja, bebas ngomongin apa aja?”
“Iyaa.. kira-kira gitu. Yang penting ibu senang, yang penting ibu nyaman. Saya yakin ibu juga pasti gak akan berbuat sesuka hati ibu. Ibu bukan tipe perempuan seperti itu.”
“Duuuhhhhhh… baik banget siiihhhh kamu!” kataku sambil mencubit pipinya.
Kulingkarkan kedua tangan dilehernya sembari menatapnya. Kedua tangannya menyambut tubuhku dengan memegang pinggulku sangat erat. Tubuh kami hampir menyatu, hanya menyisakan sedikit ruang diatara wajah-wajah kami.
“Terima kasih ya. Karena kamu, ibu bisa bertahan, bisa menjalani semua ini dengan baik. Ibu semangat lagi dan bisa bangkit lagi. Ibu percaya, kamu bukan laki-laki nakal, bukan laki-laki yang akan mencelakakn ibu atau memanfaatkan ibu hanya untuk kesenangan kamu.”
“Boleh Ibu lanjutkan?” Tanyaku.
Pram menganggukan kepala.
“Kita sama-sama sudah dewasa, Walalupun usia kamu lebih muda dari ibu, tapi, bagi ibu, kamu jauh lebih dewasa dari usiamu. Kamu masih inget kejadian di rumah orang tua ibu, lalu kejadian tadi pagi?”
Pram kembali mengangguk, tatapan matanya masih mengarah padaku.
“Ibu menganggap semua itu terjadi atas keinginan kita. Dan jujur saja, ibu senang melakukannya sama kamu, karena kamu adalah orang yang ibu kenal, dan yang terpenting, ibu nyaman dan merasa terlindungi kalo ada disampingmu. Ibu percaya sama kamu. Entah kamu sadari atau enggak, kita sudah seperti suami istri lho. Bagi ibu, kamu cukup dewasa dan sangat bertanggung jawab. Kamu sayang Nova seperti kamu menyayangi anakmu sendiri. Hal-hal itulah yang membuat ibu nyaman dan percaya kamu.”
“Jangan pernah berubah ya, Pram. Tetaplah seperti ini, seperti Pram yang ibu kenal.”
Aku mengakhiri ungkapan isi hatiku. Aku lega karena telah berbicara secara jujur padanya, dan sangat bahagia dengan respon yang ia berikan.
Aku yakin Pram sangat menyayangiku walaupun ia belum pernah mengatakannya secara langsung. Ia lebih senang dan nyaman mengungkapkan perasaan sayangnya padaku lewat tindakan nyata. Aku sudah merasakannya, dan aku semakin nyaman dekat dengannya.
Beberapa saat berlalu, dan akhirnya kami berpelukan. Aku merasa lega karena telah mengungkapkan perasaanku. Sebuah pelukan hangat yang melambangkan perasaan hati kami ditengah senja yang sempurna.
“Kamu, ada yang mau kamu sampaikan ke ibu?” tanyaku sesaat setelah kami mengakhiri pelukan.
Lagi-lagi Pram hanya menggelengkan kepala.
Pram lantas mengecup bibirku, sebuah ciuman yang lembut dan hangat, ia melumat bibirku dengan pelan, seolah sedang ingin meresapinya.
Begitu juga denganku, berusaha melumat bibirnya dengan selembut mungkin, sejalan dengan suasana senja nan indah dalam selembar kisah perjalanan hidupku.
“Ya udah, sekarang ibu mandi, biar gak kemaleman, keburu dingin.” Kata Pram seraya melepaskan pelukannya.
Aku mengabaikan ucapannya dan tetap menatap matanya sambil tersenyum. Sekali lagi, dengan lembut kuusap kemaluannya yang masih tersembunyi dibalik celana jeans yang ia kenakan.
“Hhhmmm… ibu mulai nakal..” gumannya sambil mencubit pelan pipiku.
“Biariiiinnnn… weekkk…” protesku sambil menjulurkan sedikit lidahku untuk mengejeknya.
“Ibu, nakalnya sama orang yang ibu sayang kok. Lagian tadi kan kalo sama kamu, ibu bebas ngapain aja."Lanjutku lagi sambil menurunkan resleting celananya.
Pram mengerti apa yang kuinginkan, lantas membuka ikat pinggang dan kancing celananya.
“Pintu samping belum ditutup lho bu..” Lagi-lagi aku tak mengacuhkannya dan langsung bersimpuh dihadapannya.
Celana jeans yang masih menutupi pinggulnya pun kuturunkan dengan perlahan hingga ke bagian lutut, sekaligus dengan celana dalamnya.
Selama itu pula, mataku masih tetap menatapnya. Wajah Pram terlihat sedang tegang. Aku yakin ia pasti paham apa yang akan terjadi.
Aku merasa senang Pram membiarkanku melakukan apapun padanya, apalagi jika ia menikmatinya.
Masih dengan saling menatap, perlahan lidahku menjulur dan langsung menjilati bagian bawah ujung penisnya, lantas memasukkannya kedalam mulutku.
Aku terus memandang ke atas, melihat wajah Pram yang tampak sangat menikmati kulumanku dikepala penisnya, bagian yang bentuknya seperti jamur itu.
Melihat ekspresi wajahnya membuatku semakin senang dan bersemangat dalam mengerjai penisnya. Aku bahkan mencoba mempraktekkan
deepthroat agar menambah kenikmatan untuknya, namun selalu gagal karena ukuran penis Pram terlalu panjang.
Pram tampak terkesima dengan caraku mengoralnya, bahkan ia memperhatikanku dengan seksama. Ekspresi wajahnya menunjukkan bahwa Pram sangat menikmati apa yang kulakuan pada kemaluannya.
Setelah mencoba beberapa kali dan menemui kegagalan, akhirnya aku berhasil juga memasukan seluruh bagian penisnya kedalam mulutku. Kurasakan ujung kemaluannya masuk jauh hingga nyaris menyentuh kerongkonganku, praktis wajahku sampai menempel erat diperutnya.
Aku hanya mampu menahannya selama beberapa detik, lalu segera mengeluarkannya karena nyaris tersedak.
Air liur segera menetes melalui kedua sudut bibirku, begitupun dengan batang penis Pram, diselimuti oleh cairan kental dan bening yang berasal dari mulutku, membuatnya tampak semakin menggairahkanku.
Aksi
deepthroat yang kulakuan ternyata mampu membakar birahi Pram. Ia lantas menarik lenganku hingga aku kembali berdiri dihadapannya.
Dengan sedikit kasar ia melumat bibirku, secara bergantian bagian bibir atas dan bibir bawah dilumatnya dengan buas. Payudaraku yang masih terbungkus pakaianku pun tak luput dari keganasannya. Dengan sedikit keras, ia meremasnya hingga aku sedikit merasa kesakitan.
“Prammm.. sakit.” Gumaku sambil berusaha menyadarkannya. Ia tak mengucapkan sepatah kata pun, lalu kembali melumat bibirku.
Tangannya pun kembali mengerjai payudaraku, walaupun tidak sekasar tadi, namun tetap saja ia meremasnya dengan sedikit keras.
Baru kali ini aku mengalami hal ini, diperlakukan dengan kasar saat sedang bercinta, namun aku menyukainya, sangat menikmatinya karena melihat Pram begitu bernafsu, begitu bergairah terhadapku.
Dengan cepat Pram melucuti seluruh pakaian yang ada ditubuhku, dan aku membantunya dengan melepaskan jilbab yang masih menutupi kepalaku.
Inilah pertama kalinya aku bertelanjang diluar rumah, tepatnya di halaman belakang rumahku, yang terlindungi dengan sangat baik oleh pagar tembok setinggi dua meter.
Entah kapan Pram melepaskan celana jeans yang kuturnkan hingga ke lutunya, karena ketika aku memandang kebawah, Pram pun telah telanjang sepertiku.
Kami lembali berciuman, tangan-tangan kami mulai saling menjamah satu sama lain. Permainan jarinya di kemaluanku dengan cepat membuat vaginaku basah, apalagi disaat bersamaan kedua putingku dihisapnya dengan sangat keras.
Pram membuatku kewalahan menghadapi permainannya yang panas dan liar. Kucoba sekuat tenaga untuk menahan desahaan, karena kami sedang berada diluar rumah, dan pintu samping rumahku masih dalam keadaan terbuka.
Sambil menikmati hisapannya di puting dan kocokan 1 jarinya di vaginaku, tanganku sibuk memanjakan kemaluannya, mengocoknya dengan sedikit kasar untuk mengimbangi permainan Pram yang liar.
Liang vaginaku semakin licin seiring dengan makin banyaknya cairan yang keluar dan sedikit mengembung karena telah terangsang hebat. Kemaluanku terlihat merekah sempurna, sementara penis Pram telah mengeras maksimal.
Sejenak Pram mengendurkan kocokannya pada vaginaku, seolah ingin memberiku waktu beristirahat. Ia menatapku sementara jemarinya mengusap permukaan vaginaku yang telah basah sepenuhnya.
Beberapa detik berlalu, tiba-tiba Pram kembali mengocok vaginaku dengan kasar, bukan hanya satu jari, tapi dua jari sekaligus. Nafasku tercekat, sekujur tubuhku bergetar karena nikmat yang luar biasa hebat. Mulutku meracau tak henti-hentinya merasakan kocokannya yang kasar dan cepat.
“terruussss sayangggg.. terussss… puaskan ibu..” gumanku ditengah desahan yang tertahan.
Mendengar ucapanku itu, Pram semakin beringas memainkan kedua jarinya di liang kemaluanku. Tubuhku bahkan sampai bergetar dibuatnya.
“Ibu mau keluar..” gumanku sambil menahan kenikmatan yang semakin mendekati puncaknya.
Dan benar saja, hanya beberapa detik setelahnya, sebuah ledakan besar terjadi di dalam rubuhku. Sebuah orgasme hebat yang mengantarkan begitu banyak cairan keluar dari liang kemaluanku. Cairan itu mengalir melewati kedua jari Pram yang masih tenggelam dalam vaginaku hingga akhirnya jatuh menetes ke tanah. Sebagian lainnya mengalir melalui pahaku dan terus meluncur kebawah.
Ditengah kenikmatan orgasme itu, Dengan cepat Pram mencabut kedua jarinya, lantas memasukannya kedalam mulutku.
Aku benar-benar sedang melayang jauh, sedang berada dipuncak kenikmatan, sehingga krdua jarinya itu kujilati, kuhisap sampai bersih. Aku tak memperdulikan bahwa ada banyak cairan orgasmeku masih menempel di jarinya. Aku benar-benar tidak memperdulikannya!
Tubuhku benar-benar lemas, seluruh tenagaku terkuras habis karena menahan kenikmatan hebat sambil berdiri. Pram dengan sigap menahan pinggangku, agar aku tak ambruk ke tanah.
Hampir satu menit berlalu, Pram membimbing tubuhku agar menungging di tanah. Kedua tangan dan lututku kugunakan sebagai tumpuan. Pram ingin menyetubuhiku dengan ‘
doggie style!'
Tanpa memberi tanda, Pram langsung menghujamkan penisnya kedalam vaginaku. Lagi-lagi aku dikagetkannya dengan aksinya yang liar dan buas.
Pinggulnya mengentak dengan keras dalam setiap tusukan, dan mampu membuat tubuhku terhuyung-huyung. Pram lantas membimbing kedua kakiku untuk merapat, yang akan mengakibatkan liang vaginaku menyempit. Setelah itu, ia kembali menghujamkan penisnya. Ukurannya yang besar dan panjang mampu membuatku kembali bergairah.
Gesekan dengan dinding liang vaginaku saat penis itu menghujamku terasa seperti sedang menggaruk liang kemaluanku. Dalam beberapa saat, aku kembali larut dalam birahi, sedang menapaki jalan menuju orgasmeku yang kedua.
Aku benar-benar sedang kembali terangsang. Aku menoleh kebelakang, dan kulihat Pram begitu bersemangat, begitu buas menyetubuhiku. Kedua belah pantatku diremasnya, dan setiap kali pinggulnya maju menghentak, ia menarik pinggulku ke arah penisnya. Dan hasilnya tentu saja kemaluan Pram tenggelam sempurna, terjepit diantara liang vaginaku dan ujung penis Pram mampu menyentuh bagian terjauh didalam kemaluanku. Aku sangat menyukainya, dan sangat menimatinya.
Sekujur tubuhnya bermandikan peluh, membuatnya terlihat semakin seksi. Aku sangat bergairah melihatnya.
Hampir 15 menit menit ia menyetubuhiku dalam tempo cepat, mehujamkan penisnya dengan sangat dalam dan penuh nafsu kedalam liang kenikmatanku, hingga akhirnya perlahan melambat.
Pram lantas berhenti menyetubuhiku, mengeluarkan penisnya dari rongga vaginaku.
Lagi-lagi, dengan sedikit kasar ia menarik tanganku, memaksaku mengikuti langkahnya menuju ke ruang tengah.
Sekilas kulihat pintu masih terbuka lebat, dan keadaan sangat sepi diluar sana. Tampaknya kedua penghuni kost yang lain belum pulang. Pram sedikit mendorong tubuhku, hingga aku jatuh terlentang diatas sofa. Posisiku menghadap ke pintu, ke arah luar.
“Sayaaaggg.. pintunya belum ditutup lhoo..” kataku dengan mesra sambil mengusap pipinya dengan kedua tanganku.
“Biarinnn..”Jawab Pram singakat sambil menuntun kedua pahaku agar terbuka lebar.
Aku sedang menuai karmaku. Pram telah mengingatkanku tentang pintu yang masih terbuka saat aku hendak memulai percintaan kami, namun aku tak menggubrisnya. Cemas, khawatir jika saja ada orang yang datang, atau kedua penghuni kostku melintas, mereka akan langsung melihatku dengan jelas. Mereka akan melihat tubuh telanjangku, sedang bergumul dengan Pram.
Bukannya langsung menyetubuhiku, ia malah kembali memasukan 2 jarinya ke liang kenikmatanku. Permaina jemari itu berlangsung pelan dan penuh kelembutan, seirama dengan jilatan-jilatannya yang menghujani sekujur dadaku.
Lama-kelamaan, gerakan jemarinya semakin bertambah cepat, bahkan tubuhku sampai bergoyang dibuatnya. Perlakuan yang sama pun terjadi di kedua payudaraku, jilatan-jilatannya berubah menjadi hisapan-hisapan yang sangat keras, diselingi gigitan yang tak kalah keras di kedua putingku, secara bergantian dan membabi buta.
Aku merasakan sedikit kesakitan di vagina dan kedua putingku, namun entah mengapa, aku sangat menyukainya, aku sangat menikmatinya. Aku bahkan meremas rambut Pram dengan sangat keras dan menekan kepalanya kearah payudaraku.
“Aayyoooo… terussssiinnn sayangggggg.. cepetiiinnnnn…!” racauku sambil terus menjambak rambutnya.
Pram memenuhi permintaanku, dan kenikmatan yang kurasakan semakin berlipat ganda.
Hanya beberapa detik berselang, untuk pertama kalinya aku sampai terkencing akibat kocokan cepat dankasar Pram di vaginaku. Aku merasakan ledakan orgasme yang hebat untuk kedua kalinya! Tubuhku menggelinjang hebat seraya berusaha menutup rapat kedua pahaku, namun apa daya, Pram menahannya dan kedua jarinya terus menusuk kasar hingga urine yang keluar perlahan perlahan terhenti.
Keringat bercucuran, sekujur tubuhku bak sedang diguyur air. Basah seluruhnya, demikian juga dengan Pram.
Aku melupakan rasa cemas dan khawatir karena pintu yang terbuka lebar. Aku benar-benar terlarut dalam badai kenikmatan yang baru pertama kali kurasakan. Mataku terasa sayu, aku benar-benar lemah tak berdaya dengan kedua pahaku yang masih terbuka lebar, menghadap ke arah luar rumahku. Aku tak lagi memperdulikan jika ada orang lain melihatku.
Urine yang keluar dari kemaluanku membasahi lantai kermaik berwara putih. Beberapa bagian cairan kekuningan itu nampak menggenag. Sebagian lagi membasahi ujung sofa yang kududuki.
Pram nampak tersenyum bangga, lalu dengan lembut mengusap rambutku. Aku membalas dengan mengusap pipinya, sambil tersenyum.
Pram lantas merebahkan tubuhku dan tetap membuka lebar kedua pahaku. Satu kakiku kutekuk, dan kuangkat keudara, lalu diikuti oleh tubuhnya yang berbaring disisiku. Ia lantas memposisikan kemaluannya tepat di depan liang vaginaku. Akhirnya, Pram ingin menyetubuhiku!
Aku sangat senang, dan sangat menantikan kehadiran penisnya dalam liang kenikmatanku.
Dan benar saja, Pram mulai mendorong penisnya, memasuki liang vaginaku. Kali ini ia bermain dengan sangat lembut dan santai.
Ia seolah ingin menikmati permainan kami. Tubuhku yang tadinya lemas pun tak lagi kurasakan. Aku kembali bergairah setelah melihat penis Pram mulai memasuki liang kenikmatanku.
Sambil menggoyang pinggulnya, kami kembali berciuman, saling melumat bibir dengan lembut dan penuh perasaan.
Sesekali kami saling melemparkan senyum, lalu kembali berciuman Puas melumat bibir, ia menjilati sekujur leherku, sesekali digigitnya dengan lembut. Aku yakin, bekas gigitannya itu pasti meninggalkan memar diatas permukaan kulitku.
“Eeeehhhmmmmppp.. teruus sayang.. puasinnnnn ibu…”
“Ibu suka..?” tanyanya ditengah deru nafasnya.
“Ibuuuu… sukaaaa… “jawabku terbata-terbata karena tiba-tiba Pram menusukkan penisnya dengan keras dan sangat dalam.
“Aaaaaakkkhhhhhh…. Ibb… ibbuuu suka kontolmu sayanggggg..” lagi-lagi Pram mengentakkan pinggulnya sehingga penisnya masuk lebih jauh, hingga terasa mentok.
Penis Pram terus menghujam liang kenikmatanku dengan lancar, karena cairan kental dan bening mulai kembali mengalir keluar dari vaginaku. Mataku memandang sayu ke arah luar, tak memerdulikan pintu yang masih terbuka lebar.
Kemaluanku yang terisi penuh oleh penis Pram bisa saja menjadi tontonan orang lain yang mungkin tiba-tiba muncul didepan pintu.
Puas dengan posisi menyamping, Pram lantas kembali menuntun tubuhku untuk duduk. Pantatku diposisikannya tepat ditepian sofa. Kedua pahaku terbuka lebar, dengan lutut tertekuk.
Kedua tanganku memegang bagian belakang lutut, untuk menahan posisi tersebut, sesuai keinginan Pram.
Setelah merasa nyaman dan siap, Pram kembali memasukan penisnya. Masih seperti tadi, ia menikmatinya dengan memaju mundurkan pinggul dalam tempo sedang, namun menusuk sangat dalam, hingga seluruh bagian batang penianya tenggelam sempurna dalam liang kenikmatanku.
Aku bergidik memandang keluar masuk penis itu, pemandangan yang sangat aku sukai dan semakin menambah sensasi kenikmatan yang kurasakan.
Sesekali kami saling berciuman ditengah tusukan penisnya pada liang kenikmatanku.
“Ayooo sayang.. terussss… perkosa ibuuuu… puaskan ibu….”
“Perkosa ibu sampe kamu puasss…” gumanku ditengah kenikmatan hujaman penisnya.
Pram kembali melumat bibirku, kedua tangannya yang kasar dan kekar menjamah payudaraku, memilin putingnya, sementara tusukan penisnya terasa lebih cepat.
“Aaakkkhhhhhhhh….. ibuuu keluarrrr sayaaanggggg…!” Aku mendapatkan orgasme yang ketiga kalinya! Akibat rangsangan bertubi-tubi yang ia berikan dipayudara dan kemaluanku.
Hanya beberapa detik berselang, Pram pun mencapai puncak orgasmenya ditengah hujaman yang dalam di liang vaginaku.
Kurasakan spermanya menyembur deras dalam rahimku, lantas mengalir keluar melalui sedikit celah yang tersisa saat Pram menggoyang pinggulnya. Ia terus menyetubuhiku bahkan setelah beberapa saat sepermanya telah keluar!
Cairan kental berwarna kehijauan itu telah bercampur dengan cairan orgasmeku.
Pram ambruk. Tubuhnya jatuh perlahan menimpa tubuhku. Kusambut ia dengan pelukanku dan mengecup pipinya. Kakiku melingkar di pinggulnya dengan sangat erat untuk menahannya, menjaga agar ia tak menarik keluar penisnya. Aku ingin merasakan saat terakhir penis itu didalam tubuhku. Bisa kurasakan otot-otot selangkanganku sedang berkontraksi, meremas penis Pram yang masih terbenam disana.
Beberpa saat berlalu, kurasakan penis Pram telah meninggalkan liang vaginaku. Sperma bercampur cairan orgasmeku pun perlahan mengalir keluar, membasahi ujung sofa yang kududuki. Penis Pram kembali mengecil.
Beberapa menit berselang,
“Duuuuuhhhhh.. manja banget sih pacar ibu ini.” Protesku sambil mengusap punggungnya. Ia masih memanjakan dirinya diatas tubuhku, dalam dekapanku.
“Kayak Nova aja..” sambungku.
“Seharusnya ibu dong yang dimanjain, dibeli-belai.” Protesku lagi dengan bercanda.
Pram tertawa, lantas beringsut turun dari atas tubuhku.
“Sofanya basah..” gumanku sambil melirik ke ujung sofa yang kududuki, tepat dibawah kemaluanku.
Ia lantas menarik lenganku dan memaksaku berdiri mengikuti langkahnya, mendekati pintu yang terbuka.
Setelah kegilaan yang kami lakukan, bercinta dihalaman belakang, lalu diruang tengah dengan pintu terbuka lebar, aku sedikit khawatir, Pram ingin bercinta diteras samping rumah, yang berhadapan dengan 3 kamar kost. Jantungku berdebar tak karuan!
Sejenak ia mengintip, mengeluarkan kepalanya, seperti sedang mengawasi suasana sekitar luar rumahku. Dengan cepat ia menarik lenganku mengikuti langkahnya menuju ke kamarnya.
Sesampainya disana, ia lantas menarik tubuhku masuk kedalam, lalu mengunci pintunya. Aku pasrah, jika Pram ingin menyetubuhiku lagi dikamarnya.
Inilah kegilaan lain yang kulakukan bersamanya, berkeliaran disekitar pekarangan rumahku dengan keadaan telanjang. Aku benar-benar tidak menyadari dan tidak tahu darimana datangnya semua ini. Semua terjadi, dan mengalir begitu saja. Aku hanya melakukannya sesuai dengan naluriku, dan aku menyukainya. Tidak ada paksaan sama sekali, aku melakukan semuanya dengan senang hati.
Tidak seperti dugaanku, ia mengajakku berbaring diatas kasurnya. Ia ingin kami beristirahat. Tubuhku dipeluknya erat.
“Ibu kira kamu mau ngajak ibu bercinta lagi.” Gumanku sambil bermanja diatas tubuhnya.
“Emang ibu masih mau?”
“Hehehehehe… ibu istirahat dulu ya, masih lemes. Kamu hebat sih, kuat banget, bikin ibu kecapekan.”
“Habisnyaa ibu sih.. nggemesih..” balasnya sambil mengusap rambutku.
“Nggemesin gimana?” tanyaku penasaran sambil menatapnya.
“Ya nggemesin.. pokoknya nggemesin banget..”
“Iisshhhh.. iya nggemsin gimana? Apanya yang nggemesin..?? Tanyaku lagi sambil merengut.
“Eehhhmmm… anu…” Pram tampak ragu berterus terang padaku.
“Anu apa sih sayang? Hayo jujur... ibu udah jujur sama kamu lhooo.”
“Iyaa… anu.. pantat ibu itu lhoooo ngemesin.. Enak banget kalo dimasukin dari belakang. Empukk.”
“Oooo… maksud kamu kamu senang ngentotin ibu pake gaya doggie gitu?” tegasku.
“Iyaa.. gitu maksudnya.”
“Sayang.. kalo ngomong sama ibu, biasa aja ya, nomong aja langsung, gak perlu pakai bahasa formal.” Sambungku lagi sambil mengusap pipinya. Pram tersenyum malu.
“Udah.. itu aja yang nggemesin?” tanyaku lagi.
“Hehehe.. ibu juga pinter isepin punya saya. Apalagi tadi itu.. rasanya enak.. gila banget.”
“Udah..? Itu aja?”
“Ada lagi sih.. vagina ibu nggemesin.. enak banget dimasukin.. rasanya sempit.”
“Itu karena kontol kamu gede, sayang.. makanya rasanya memek ibu jadi sempit. Tau gak? Kontol kamu lebih gede lho daripada kontol suami ibu.. lebih panjang juga.”
“Ibu kalo ngomong jorok gitu kok jadi makin seksi ya?? Makin bikin geregetan.” Gumannya sambil meremas kedua belah bongkahan pantatku.
"Kamu suka ya??” Pram hanya tersenyum sambil menganggukan kepala. Ia lantas melumat bibirku dengan lembut.
Sikap Pram yang terbuka dan sangat menghargai, membuatku semakin nyaman dan berani berterus terang. Aku bahkan berani mengucapkan kata-kata kotor, kata-kata yang vulgar dengan bebas. Aku belum pernah melakukan hal seperti ini seumur hidupku. Bahkan terhadap suamiku.
Pelukan hangat, usapan penuh rasa sayang yang ia berikan pasca percintaan panas kami sangat berarti untukku, sangat bermakna. Setidaknya hal itu menunjukkan bahwa aku bukan sekedar pemuas nafsu belaka, bukan sekedar perempuan sepintas lalu baginya. Begitu juga dengan sikapnya yang manja, membaringkan tubuhnya diatasku, menempelkan kepala dipayudaraku. Aku sangat menyukainya, apalagi ia terlihat nyaman dan senang dengan hal itu. Dan, bukankan dada seorang wanita adalah salah tempat paling nyaman untuk bermanja-manja? Pram mengetahui hal itu, dan mendapatkannya dariku.
Sudah menjadi kodratku sebagai wanita untuk memberi rasa nyaman dan damai, memberi ketenangan bagi mereka yang berarti dalam hidupku, bagi mereka yang aku sayangi. Dan Pram adalah salah satunya, selain Nova putriku.
Hampir setengah jam aku bermanja diatas tubuh Pram, menikmati belaiannya, menikmati kecupan-kecupannya dikepalaku. Aku lantas beralih, tidur disampingnya. Lengannya kugunakan untuk menyangga kepalaku, satu kakiku kuletakkan diatas pinggulnya, menutupi penis Pram yang telah mengecil sejak tadi.
Suara deru mesin motor yang memasuki halaman depan rumah membuyarkan istirahatku. Nampaknya penghuni kostku mulai berdatangan, pulang dari rutinitasnya.
“Pram, lampu rumah belum dinyalain. Pintu samping juga masih terbuka.” Gumanku.
“Iya bu, ibu istirahat dulu disini. Biar saya yang nyalain.” Pram lantas meninggalkanku, dan menuju ke rumahku, setelah sebelumnya mengenakan pakaian sebelum keluar kamar.
Setelah beberapa saat, Pram kembali.
“Ibu istirahat disini sebentar ya Pram.”
Pram hanya mengangguk, lantas mengecup kepalaku. Diselimutinya tubuh telanjangku, dan hanya dalam beberapa menit kemudian, aku tertidur pulas karena tubuhku terasa sangat lelah.
Hampir dua jam kemudian aku terbangun. Pram masih tertidur pulas disampingku.
“Pram… Pram.. bangun sayang.” Bisikku lembut sambil mengusap pipinya.
Pram membuka matanya perlahan.
“Ibu mau mandi. Tapi ibu kan gak bawa pakaian kesini. Ibu gak berani keluar kalo telanjang begini.”
Pram hanya tersenyum melihat kebingunganku. Ia lantas menyingkirkan selimut yang menutupi tubuhku, kemudian memeluk tubuh telanjangku.
“Ibu mandi disini aja, nanti saya ambilin pakaian ibu.”
“Mandinya sama kamu?” tanyaku manja.
“Kalo ibu mau ya gak apa-apa, kita mandi bareng. Kalo perlu saya yang mandiin ibu.”
“Hhuuuuuuu…. Maunya…” jawabku dengan suara pelan sambil mencubit pipinya.
“Ya udah, kita mandi yuk.” Sambungku.
Tidak ada kejadian yang berarti selama kami mandi. Seperti janjinya, Pram benar-benar memadikanku. Menyiramkan air ke sekujur tubuhku, lalu menyabuniku. Ia melakukannya tanpa sedikitpun menggodaku.
“Duuhhhh.. udah keras aja sih ini..?” gumanku ketika memegang kemaluan Pram yang kembali mengeras.
“Berarti normal dong bu.. soalnya liat ibu telanjang gini..”
“Mau lagi??” tanyaku sambil mengocok pelan penisnya.
Pram menggeleng.
“Ibu harus istirahat.”
“Hari ini badan ibu udah terlalu capek.” Lanjutnya lagi.
Pram benar. Tubuhku telah kehabisan tenaga karena percintaan panas kami sore tadi. Aku harus mengistirahatkan diri.
Kami berpelukan mesra, dan berkali-kali beriuman dengan hangat. Tidak ada nafsu disana, hanya sebuah peluk dan ciuman yang melambangkan perasaan terdalam kami.
“Pram, baju ibu ada dilemari bagian atas ya. Pakaian dalamnya ada di bagian bawah. Paling bawah.” Aku berpesan padanya sebelum ia ke kamarku untuk mengambil pakaian.
Beberapa menit kemudian Pram kembali dengan pakaianku ditangannya.
“Makasih ya..”
“Udah nih? Ibu pakai baju sekarang?” tanyaku lagi.
Pram mendekatiku, lantas memeluk erat tubuhku.
“Sudah cukup untuk hari ini, sekarang ibu pakai bajunya. Kita masak.” Bisiknya.
Sebuah kecupan hangat mendarat di keningku, sebelum kami kembali ke rumahku.
Pakaian kami yang terserak dihalaman belakang pun masih tergeletak disana. Aku segera memungutnya, dan memasukannya kedalam mesin cuci. Dan Pram, lelaki yang beberapa jam lalu menyetubuhiku hingga tak berdaya itu sedang membersihkan lantai ruang tengah dari urine yang menggenag.
☆☆☆☆☆
Aku dan Pram sedang sibuk di dapur, memasak makan malam untuk kami ketika suara ketukan pintu terdengar dari depan.
Aku bergegas kedepan dan membuka pintu.
Suamiku berdiri disana, sementara seorang perempuan sedang menunggunya didalam mobil, yang terparkir di pinggir jalan, di depan pagar rumahku.
“Aku hanya mampir sebentar. Mau ambil pakaian.”
“Ada di gudang. Didalam koper.” Jawabku singkat.
Ia lantas menuju ke gudang yang terletak dibagian belakang rumah kami. Aku mengikutinya dari belakang. Sekilas ia melihat Pram, namun tak memperdulikannya.
Pram menatapku dengan tatapan yang aneh.
“Dimana Nova?” tanya suamiku.
“Dia bersama orangtuaku.”
“Kalo kamu gak mampu mengurusnya, biar saya yang mengurusnya.”
Aku benar-benar geram dengan sikap suamiku. Ia seolah tak menyadari akan kesalahannya padaku dan Nova. Dan bahkan dengan mudahnya ia ingin mengambil dariku. Aku benar-benar emosi melihatnya.
“Tenang mas, Bu Rindi bisa mengurus Nova. Saya mampu mengurus Nova. Jangan Khawatir.” Jawab Pram.
“Kamu siapa?!” Tanya suamiku dengan nada keras pada Pram.
Suasana menjadi sedikit tegang, namun Pram terlihat sangat tenang.
“Santai Mas. Duduk dulu. Akan saya jelaskan siapa saya.” Balas Pram, sambil duduk dikursi meja makan. Suamiku hanya berdiri, matanya menatap Pram dengan sangat tajam.
“Pram.. sudah. Jangan diteruskan.” Aku menegur Pram, agar membiarkan suamiku pergi dengan segera.
“Gak apa-apa bu, saya hanya ingin bicara.”
Suamiku masih saja berdiri, ia hanya meletakkan koper berisi pakaiannya dilantai, di samping kakinya. Aku mendekati Pram, berdiri dibelakangnya.
“Mas mau tau siapa saya? Oke saya akan beritahu.”
“Saya Pram. Saya kost disini. Saya kuliah dikampus yang sama dengan istri siri mas. Anita.”
“Pram…?? Kamu…” tanyaku kaget.
Tiba-tiba Pram menoleh ke arahku. “Ibu harus tahu apa yang saya ketahui.” Guman Pram.
“Oke, saya lanjutkan. Sebelum kejadian di kantor polisi, saya sudah tahu bahwa Anita adalah perempuan simpanan mas.”
“Saya tidak tahu kapan persisnya hubungan mas dan Anita berawal, saya hanya mengetahuinya sejak bu Rindi mengandung Nova.”
“Saya kebetulan kost disini, dan mas pasti tidak memperhatikan saya karena mas terlalu sibuk dengan Anita.”
“Saya tahu mas membohongi bu Rindi dengan alasan tugas luar kota, padahal mas menghabiskan waktu bersama Anita.”
“KURANG AJARRRR..!” teriak suamiku.
Pram hanya tertawa, terlihat begitu tenang, begitu santai.
“Dan tentang Nova. Saya mohon dengan sangat, mas jangan pernah berpikir untuk merebut Nova dari bu Rindi, apalagi sampai mencoba merebutnya. Selesaikan segera urusan mas dengan bu Rindi, dan jangan pernah menyakitinya lagi. Dia sudah cukup terluka dengan prilaku mas.” Pram yang tadinya terlihat santai dan tenang berubah seketika menjadi sangat serius. Suaranya pun terdengar tegas.
“Jika hal itu terjadi, saya tidak akan segan untuk menghancurkan hidup mas.”
“KAMU MENGANCAM SAYA??!"
“Tidak.. bukan ancaman. Tapi peringatan buat mas.”
Tanpa berkata apa-apa, suamiku pergi begitu saja, dan ketika sampai di pintu depan, ia menutupnya dengan kasar, membantingnya hingga menimbulkan suara yang cukup keras.
“Jadi sebelum mereka tertangkap dihotel malam itu, kamu udah tau ya??”
“Iya bu.”
“Kenapa kamu gak beritahu ibu??”
“Saya gak ingin menghancurkan rumah tangga ibu, apalagi saat itu ibu sedang hamil. Resikonya terlalu besar bu. Saya gak berani. Lagipula, masalah itu bukan urusan saya.”
“Ibu gak marah kan?” tanyanya.
“Enggak. Kamu melakukan apa yang menurutmu benar. Dan sudah terbukti, tanpa kamu beritahu pun, akhirnya perselingkuhan ini terbongkar.”
Cukup lama kami melewati waktu hanya dengan berdiam diri, tanpa sepatah kata pun.
“Ibu takut dia akan merebut Nova.” Gumanku lirih.
“Suami ibu gak akan berani melakukannya. Dan sepertinya dia bukan tipe orang yang tepat untuk membesarkan Nova. Jika memang dia perduli, seharusnya sudah sejak lama ia mengambil Nova dari ibu. Sejujurnya, saya yakin dia tidak perduli dengan Nova."
Jawaban Pram sedikit banyak membuatku tenang.
“Kalo dia sampai nekat gimana?”
Pram mendekatiku, kemudian menggengam erat kedua telapak tanganku.
“Selama saya masih ada disini, saya akan berusaha untuk membela ibu, memperjuangkan agar Nova tetap hidup bersama ibu. Ibu jangan khawatir.”
Sisa malam itu kuhabiskan dengan perasaan gundah gulana. Aku begitu takut kehilangan putriku. Masakan yang telah kami masak pun akhirnya hanya sedikit yang tertelan olehku.
“Bu, kasurnya belum diberesin, sofanya juga masih basah.”
“Malam ini ibu tidur dikamar saya aja ya..”
“Iya.. terserah kamu Pram.”
Pram bisa menagkap kegundahan hatiku. Ia mengerti kekhawatiran yang tengah kurasakan. Sepanjang malam ia memelukku, membelaiku dengan penuh kasih sayang, hingga aku terlelap, demi menenangkanku.
Bagaimana nasibku jika Nova diambil dariku? Rasa-rasanya aku takkan sanggup menghadapi kenyataan itu. Dialah penyemangatku, satu-satunya darah dagingku, Nova adalah hidupku.
Sebuah langkah di lembaran baru hidupku baru saja kumulai, namun sekali lagi, ada saja gangguan yang yang datang, selalu saja ada penggangu hidupku.
Sangat tidak adil bagiku, jika harus menghadapi kehidupan ini dengan berbagai masalah seperti ini. Aku lelah.
TAMAT