Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA RINDIANI The Series - Pelangi untukku

Bimabet
habis baca maratoon
keren huuu ceritanya
kayaknya bakal3some nih, dan mbak rin apakah akan ada affair di kerjaan barunya? wajib di tunggu
saran domg hu, kasih mulustrasinya lebih banyak lagi
terimakasih
sehat selalu
Mulustrasi itu rada sulit nyarinya bang, jadi ya seadanya aja ya.. tapi biasanya di tiap seri ada kok, walo gak banyak.

Makasih bang :rose:
 
Sudah beberapa tahun saya menjadi silence reader, baru kali ini saya mau mengomentarin cerita ini. Cerita yang sangat menarik dengan bahasa yang asik. Kalo menurut saya antara mba Rin, Pram, Nina sama2 ingin melakukan 3S, hanya ketiganya ga ada yang berani memulainya.
Waaaaa..... makasih makasih makasih...

Seneng aja bisa buat SR ikutan reply dimari. Makasih banget bang.

Kalo tentang 3S ini... hhmmmm... no comment dulu ya bang.. scara masih berkaitan dengan beberapa seri kedepan.

Sekali lagi makasih udah ikut meramaikan kisah Rindiani :rose:
 
Ttp dengan alurnyaa hu..
Menurut saya sih cukup rindi sama pram ajaa yg explore kegilaan masing² ajaa udah cukup, ngga perlu ada tindakan menyeleweng sama org² lain, kalo side story tokoh lain gpp deh di bikin biar ngga monoton rindi sama pram mulu
Nah ini nih..
Sempet kepikiran buat side story juga sih, cuman takutnya ntar alurnya jadi bercabang gitu, ntar malah jadi kurang gimana gitu sama inti kisahnya..

Tapi..
Idenya boleh juga sih, patut di pertimbangkan..

Makasih banyak ya :rose:
 
Wah makin ga sabar nunggu mbak Rin mulai petualangan di tempat kerja. Cerita ini berasa real, sebab akibatnya jelas. Apalagi Pram ke Nina dan Rita itu gue banget. Ngeliat sohib sendiri pake pakaian sembarangan begitu emang ngenes. Pengen ditusuk aja, tapi persahabatan pasti berubah. Nggak mungkin nusuk sohib sendiri tanpa ada perasaan. Entah rasa bersalah, rasa ingin ngulang, rasa intim, yg pasti nusuk sohib itu nggak sama kayak nusuk orang lain. Jadi cuma bisa ngocok sambil bayangin aja.
Untuk mbak Rin, penasaran gimana nanti jadinya. Apa minta Pram pakein g stringnya lagi buat ditusuk temen di kantor atau tetap sama Pram aja? Kalau mbak Rin jadi nakal, itu salah Pram. Udah tau mbak Rin gampang gatal, malah nusuknya jarang.

I
Kalo ngelihat alurnya, terutama untuk dua seri yang akan datang, hhmmmm... ku jadi bingung sendiri :mati:

Akankah ada affair di kantor?
Rindi makin nakal?
Nina makin berani?

Hhmmmm... entahlah..

Maaf ya gak bisa comment banyak, scara itu rahasia dapur bang. Ha ha ha ha...

Makasih bang :rose:
 
Teman-teman, Terima kasih untuk komentarnya. Makasih banget buat kritik, saran, dan masukan dari kalian semua.. saya senang dengan respon kalian semua karena kalian peduli dan mencoba membantu jalannya kisah Rindiani.

Sekali lagi saya sampaikan, bahwa penulisan kisah Rindiani telah selesai hingga serie terakhir. Belum final sih, tapi masih nambah pengembangan frame aja.

Plotnya udah fix, dan gk akan ada perubahan apapun. Jadi mohon maaf sebesar-besarnya jika ada beberapa masukan dan saran yang mungkin gak akan terwujud di seri-seri selanjutnya.

Karena berdasarkan kisah nyata, maka saya usahakan untuk membuatnya se-real mungkin, demi menjaga alur kisah dan imajinasi yang telah terbentuk sejauh ini.

Mohon maaf sebesar-besarnya jika kisah ini cenderung datar-datar saja, tanpa konflik yang menjadi bumbu penyedap imajinasi :ampun:

Sekali lagi saya ucapkan terima kasih atas apresiasi kalian semua :ampun:
Justru karena plotnya udah fix, malah Saya seneng. Jadi ga terlalu ikutin alur yg diminta pembaca, dan ga melebar kemana mana ceritanya.
 
Teman-teman, Terima kasih untuk komentarnya. Makasih banget buat kritik, saran, dan masukan dari kalian semua.. saya senang dengan respon kalian semua karena kalian peduli dan mencoba membantu jalannya kisah Rindiani.

Sekali lagi saya sampaikan, bahwa penulisan kisah Rindiani telah selesai hingga serie terakhir. Belum final sih, tapi masih nambah pengembangan frame aja.

Plotnya udah fix, dan gk akan ada perubahan apapun. Jadi mohon maaf sebesar-besarnya jika ada beberapa masukan dan saran yang mungkin gak akan terwujud di seri-seri selanjutnya.

Karena berdasarkan kisah nyata, maka saya usahakan untuk membuatnya se-real mungkin, demi menjaga alur kisah dan imajinasi yang telah terbentuk sejauh ini.

Mohon maaf sebesar-besarnya jika kisah ini cenderung datar-datar saja, tanpa konflik yang menjadi bumbu penyedap imajinasi :ampun:

Sekali lagi saya ucapkan terima kasih atas apresiasi kalian semua :ampun:
Kisahnya sdh sgt bagus koq
 
RINDIANI The Series – Seri 13
Hati Yang Berbunga​


Part 1



Rindiani


Keberanian Nina dalam menggoda Pram dihadapanku mungkin akan terlihat janggal bagi orang lain, terutama bagi wanita lain. Namun tidak bagiku, karena aku telah mengenal Nina, dan telah mengenal lelakiku, Pram. Aku tidak merasa cemburu sedikit pun karena hal itu merupakan sesuatu yang terlihat sebagai hal yang biasa bagiku.

“Bu, kita istirahat dulu ya, nanti aja baru masak.” Kata Pram setelah keluar dari kamar mandi.

“Iya, ibu juga belum laper kok.”

Aku langsung duduk ditepian ranjang, sementara Pram membuka lemari dan mengambil pakaian untuknya.

“Sayang.. sini..” kataku sambil menjulurkan satu tanganku.

Pram menutup pintu lemari, dan mendekatiku dengan pakaian ditangannya. Satu tanganku segera melingkar di pinggangnya, sementara tangannku yang lain meraih pakaian yang ia pegang. Pram berdiri diantara kedua pahaku sehingga kemaluannya begitu dekat dengan wajahku.

“Nanti aja pakai bajunya.” gumanku sambil meletakkan pakaian itu disampingku.

Pram hanya tersenyum, dan segera setelahnya, kukecup perut lelakiku dengan mesra. Ia segera naik ke atas ranjang dan berbaring, lalu menuntun tubuhku untuk ikut berbaring disisinya.

“Sayang, bathup itu mahal gak sih?” tanyaku sambil menumpangkan satu kaki diatas pinggulnya.

“Enggak terlalu sih bu. Kenapa?”

“Gapapa sih, pengen ganti kamar mandi kita, biar pakai bathup kayak di ruangan kerja ibu itu.”

“Tapi nanti, ibu mau nabung dulu, kumpulin duit dulu.”

Dengan lembut, Pram mengusap pipiku, lalu membenahi rambut yang terserak di keningku.

“Kalo ibu mau, biar nanti saya yang urus.”

“Enggak ah, jangan. Lagian gak terlalu penting juga kok. Yang kayaknya mendesak itu laptop sama meja kerja. Kayaknya ibu bakal butuh.”

“Sama pakaian kerja.” sambung Pram.

Aku mengangguk pelan, merebahkan kepala didadanya. Satu tangannya melingkar ditengkuk, dengan telapak bermuara di lenganku.


“Meja kerjanya mau ditaruh dimana bu?”

“Belum tau.. apa dikamar tidur, atau di ruang tengah. Menurut sayang bagusnya dimana?”

“Dikamar ini aja bu, dekat pintu. Meja rias ibu kita geser, sampai mepet ke dinding dekat jendela.” katanya sambil melihat sisi kamar tidurku.

“Iya, boleh juga. Bagus.” “Tapi nanti.. ibu beli setelah gajian.”

Satu tangannya yang lain mengusap pipiku, lalu menuntun wajahku untuk mendekat ke arahnya. Pram melumat bibirku dengan lembut. Bibir atas, bibir bagian bawah, semua mendapat bagiannya masing-masing hingga beberapa saat lamanya.

“Sini..” gumannya pelan sambil kembali menuntun tubuhku untuk naik keatas tubuhnya, menindihnya.

Aku selalu merasa senang dan nyaman dengan caranya memperlakukanku seperti ini. Kelembutan dan curahan perhatian yang melimpah membuatku sungguh merasa nyaman dan betah untuk mengjabiskan waktu bersamanya.

“Laptop, meja kerja, dan pakaian kerja ibu nanti saya yang belikan.” katanya sambil mengusap pipiku, sementara satu tangannya yang lain melingkar di pinggangku.

“Enggak sayang.. ibu gak mau. Semua itu kebutuhan ibu, dan ibu gak mau membebankan ke kamu.”

“Ibu harus belajar mandiri, belajar mengatur semua kebutuhan hidup ibu.”

Pram, lelakiku, mendekatkan wajah ke arahku, lalu kembali melumat bibirku dengan lembut. Nyaman, dan bahagia, segera melingkupi, mengisi ruang kalbuku.

“Saya paham bu, saya ngerti. Saya melakukannya bukan hanya untuk ibu, tapi untuk Nova. Maksud saya, sebaiknya ibu menabung uang itu untuk keperluan Nova. Ibu harus mulai mempersiapkan masa depan Nova, mulai dari sekarang.”

Pram menyentuh hatiku, membuatku terenyuh dan terharu. Ia bahkan telah memikirkan masa depan putriku, sesuatu yang selama ini menjadi beban terberat dalam hatiku.

Dengan siku berpijak di sisi lehernya, kuletakkan kedua tapak tangan di pipinya, menatapnya dalam-dalam hingga beberapa saat. Demikian juga dengan Pram, balas menatap mataku dalam diam.

“Ibu gak tau bagaimana caranya membalas semua ini. Kamu terlalu baik sama ibu dan Nova.”

Pram tersenyum, membenari beberapa helai rambut dikeningku, lalu menyisipkannya di telinga.

“Saya ingin masa depan Nova terjamin, dan kita harus bisa memastikannya mulai dari sekarang. Dia sudah kehilangan ayahnya, jadi, setidaknya, kita harus menjadi yang terbaik untuknya.”

Aku mengangguk pelan, lalu mengecup keningnya.

“Itu alasan mengapa sayang meminta ibu untuk gak membantu Galang sementara ini?” tanyaku.

Pram mengangguk, lalu mengusap punggungku.

“Saya minta, tolong ibu dengarkan saya. Bukan hanya untuk ibu, tapi untuk Nova. Saya sayang Nova bu, dan saya gak mau Nova hidup kekurangan satu hal pun dimasa depan, terutama materi.”

“Jujur saja, ibu merasa itulah beban terberat selama ini. Masa depan Nova.”

Pram tersenyum, lalu mengecup ujung hidungku.

“Pasti berat.. apalagi sambil harus memenuhi kebutuhan hidup ibu sendiri. Singel parent itu berat.”

“Tapi.. saya yakin ibu mampu melewatinya. Ibu punya niat yang baik untuk Nova. Setiap niat baik selalu mendapatkan jalan keluarnya sendiri.”

“Kamu yakin??” Pram mengangguk pelan sementara usapannya terus menjalar di punggung hingga ke pinggangku.

“Iya, saya yakin. Ibu pernah jatuh terpuruk karena suami ibu sendiri. Tapi lihat kondisi ibu sekarang? Ibu bangkit, ibu berjalan, dan ibu bisa melewatinya, bahkan dengan tersenyum.”

“Karena kamu ada disamping ibu, makanya ibu bisa bangkit. Kalo nanti kamu udah lulus, udah wisuda dan pulang kampung. Entah bagaimana ibu menghadapi semua ini.”

Pram menuntun kepalaku untuk bersandar di dadanya. Satu tangannya mengusap kepalaku dengan lembut dan berkali-kali ia mengecupnya dengan mesra.

“Ibu pasti bisa..” gumannya pelan.

Aku yang sekarang adalah Rindiani yang terlahir kembali karena kehadiran Pram. Ia menata semua ruang kehidupanku dengan sedemikian rupa sehingga aku pun nyaman dan bahagia dengan diriku, dengan kehidupanku sendiri.

Disisi lain, kehadirannya membuatku semakin jauh terlena, menimbulkan ketergantunggan terhadap sosoknya. Pemikirannya yang jauh kedepan, dan dewasa selalu memberiku jalan lain, yang aku yakin akan sangat berguna untuk masa depanku.

Lama kami berdiam diri, membiarkan keheningan menyelimuti kamar tidurku, menikmati waktu sambil berpelukan mesra.

“Sayang, ngomong-ngomong, dulu waktu Nina main ke kontrakan sayang, dia sering pakai pakaian kayak tadi..?”

Pram mengangguk pelan.

“Pantesan tadi sayang gak kaget. Kayak biasa aja gitu. Padahal memeknya nyetak banget, kayak gak pakai daleman.”

“Emang sayang gak pengen ngerasain punya Nina?”

Pram tertawa lalu berguling hingga posisi kami pun berubah. Kini, tubuh telanjangnya yang menindihku.

“Kok ibu nanyanya gitu sih??”

“Cuman pengen tau aja kok..”

“Saya kan udah bilang, saya laki-laki normal bu, pasti ya pengen.. tapi saya gak mau seperti itu. Saya gak mau menyakiti ibu.”

“Kalo pun beneran kejadian, ibu gak marah kok sayang, dan kayaknya gak sakit juga karena ibu tau, kamu pasti tetap akan menjadi Pram yang selalu menyayangi ibu. Ibu tau, kamu peduli dan sudah menempatkan ibu dalam hatimu.” jawabku sambil meletakkan satu tapak tanganku tepat dijantungnya.

“Ibu juga kenal Nina, ibu tau dia, walaupun gak sedalam seperti kenal kamu. Dia hanya pengen bercinta aja, gak lebih. Hanya sebatas seks, tanpa main hati, main perasaan.”

Pram menatapku dalam-dalam sambil menghembuskan nafas panjang secara perlahan.

“Saya gak berani bu..” gumannya pelan.

“Emang sayang takut apa?”

Lagi-lagi ia tersenyum, lalu melumat bibirku dengan lembut.

“Mungkin komitmen awalnya hanya sebatas seks, tapi kita gak tau nanti kedepannya. Bisa aja mulai ada rasa, mulai main hati.”

“Ibu tau, dan ibu yakin, Pram gak akan seperti itu. Tapi mungkin Nina yang akan main hati.”

“Kamu laki-laki istimewa, dan semua temanmu tau hal itu.”

“Enggak kok bu. Saya orang biasa. Yang membuat saya istimewa karena bisa dekat dengan ibu.”

“Maksudnya gimana?”

“Sebelum kenal dekat dengan ibu, saya gak tau sama sekali tentang dunia perempuan, tentang bagaimana kehidupan rumah tangga. Tapi sekarang, saya bisa belajar dari ibu tentang semua itu.”

“Dan kamu berhasil. Dimata ibu, kamu berhasil mempelajari hal itu dan sudah membuktikannya. Kamu sudah menjadi suami ideal bagi ibu.”

“Kamu tau cara membahagiakan ibu. Kamu tau cara memperlakukan ibu, dan ibu bahagia dengan semua itu.”

“Maka dari itu, ibu gak khawatir kalo kamu mau main sama Nina. Karena kamu gak akan bisa menyakiti ibu. Ibu yakin akan hal itu.”

“Kenapa harus Nina?” tanyanya lagi.

“Karena ibu kenal dan tau Nina. Dan Pram pun kenal Nina.”

“Kalo semisal sayang mau, mungkin bukan cuman Nina yang udah sayang dapetin. Mungkin Rita, Dewi, dan banyak cewek lain yang udah sayang dapetin.”

Pram tersenyum sambil mencubit pipiku.

“Saya gak seganteng itu bu.” katanya kemudian.

“Bukan masalah gantengnya sayang.. tapi ini lhooo..” kataku sambil meletakkan tangan di dadanya.

“Hatimu lemah lembut. Penuh kesabaran. Ibu yakin, hal itu yang menyebabkan Nova lengket banget sama kamu.”

“Saya gak tau kenapa, tapi saya sayang banget sama Nova..”

Aku tersenyum dan kembali mengusap pipinya.

“Karena hatimu penuh dengan kasih sayang.”

“Bukan hanya terhadap Nova, tetapi hampir ke semua orang yang kamu kenal.”

Setelah perbincangan singkat itu, kami kembali larut dalam diam. Lelakiku memanjakan diri dengan menyandarkan kepala diantara kedua payudaraku. Kuusap, kubelai rambutnya dengan penuh rasa.


===


Dibandingkan denganku, banyak perempuan lain diluar sana yang ia kenali, jauh lebih menarik, jauh lebih cantik dan seksi daripadaku.

Namun entah mengapa, keberuntungan kembali berpihak padaku, setelah kehilangan suami, aku mendapatkan lelaki pengganti yang jauh lebih baik daripada dia, dalam segala hal.

Mungkin saja, Pram berkata jujur bahwa ia bukan melihat fisik, tetapi hati, ia melihat diriku seutuhnya.

“Bu, kita makan diluar aja yuk, Nanti sekalian cari pakaian kerja buat ibu.” katanya sambil menyandarkan dagu tepat ditengah dadaku.

Kembali kuusap pipi lelakiku, menyentuh ujung hidungnya dengan ujung jariku.

“Boleh.. tapi ibu yang traktir. Ibu yang bayar belanjaan gimana, deal?”

Pram tersenyum lantas beringsut, mensejajarkan wajahnya dengan wajahku. Kedua sikunya berpijak di kedua sisi kepalaku.

“Nanti kita lihat.” jawabnya singkat, lantas melumat bibirku dengan lembut hingga beberapa saat lamanya.

“Dari tadi ibu diciumin terus, emang sayang gak bosen?” tanyaku.

“Enggak..” jawabnya singkat sambil menggelengkan kepala.

“Ibu bosen..?”

Aku pun menggelengkan kepala dan kembali melumat bibirnya. Dengan penuh perasaan kukulum bibir atasnya, dan ia pun melakukan hal yang sama pada bibir bagian bawah milikku. Lidah-lidah kami bertautan, saling menyentuh, saling menghisap secara bergantian, hingga hampir dua menit lamanya.

Setelah puas bermanja-manja dan menikmati kebersamaan dengannya, akhirnya kami pun turun dari ranjang.

“Bingung.. pakai celana panjang apa rok??” gumanku sambil melihat-lihat koleksi pakaian yang tergantung dalam lemari.

“Yang penting harus pakai jilbab.” balasnya sambil mengenakan celana dalam.

“Eehhh.. bentar-bentar.. tunggu.” kataku cepat saat melihat Pram hendak mengenakan celana panjang.

Pram menatapku heran dan segera membatalkan niat untuk mengenakan celana panjang itu. Aku melangkah mendekat, dan bersimpuh dihadapannya.

“Bentar aja kok sayang.. pengen ngicipin ini.” kataku sambil menurunkan celana dalamnya.

Penis lelakiku masih belum mengeras dan hal tersebut membuatku merasa gemes. Tanpa persetujuannya, aku langsung melahap kemaluannya, dan dengan mudah memasukkan seluruh bagiannya kedalam mulutku.


Didalam mulut, lidahku menari liar, membelai penisnya, dan berkali-kali kuhisap hingga hanya dalam beberapa detik, kemaluan lelakiku kembali mengeras aku.

Aku bisa melihat Pram sedang berusaha mengatur nafasnya, karena ia nampak berusaha melawan rangsangan yang kuberikan.

“Ehhh.. cepet banget bangunnya. Udah tegang..” gumanku sambil mengocok penisnya sementara mataku tertuju pada wajahnya.

Pram memegang kedua lenganku, dan menuntunku untuk berdiri.

“Udah malam bu, kita harus makan dan belanja.”

“Kalo ibu gak mau, gimana?”

Pram tertawa sambil mencubit pipiku dengan lembut.

“Harus mau, kalo gak mau, nanti ibu gak dapet jatah.”

Aku tertawa lantas memeluknya dengan sangat erat. Aku tahu, ia sedang bercanda dan candaan itu sukses membuatku tersenyum.


= = =


Karena terlalu berlama-lama diatas ranjang, akhirnya kami memilih menu makan malam seadanya, hanya demi mengejar waktu untuk berbelanja pakaian kerja buatku.

“Kira-Kira ibu butuh apa aja?” tanyanya sambil menyuapkan mie ayam kedalam mulut.

“Rok panjang, flat shoes, abaya, stocking, jilbab, blazer, tanktop, sama apa lagi ibu lupa, nanti deh ibu lihat, pasti inget kalo udah masuk ke toko.”

“Kalo gitu, kita belanja ke Gardena atau galeria mall aja bu, kalo gak dapet, kita ke Malioboro.”

Aku mengangguk, dan terus menyantap soto pesananku.

“Oh iya, ibu inget..”

“Inget apa?”

“Sama ibu butuh kontol sayang.” bisikku nakal ditengah keramaian warung tersebut.

Pram tertawa pelan dan nyaris tersedak karena ulahku.

“Nanti pulang saya kasih dildo aja.” balasnya sambil berbisik, lalu tersenyum.

“Gak mau.. dildonya kecil.. ibu mau punya sayang aja.. gede.. biar puas.” balasku.

Tingkah kami dengan berbisik dan tertawa pelan tersebut sedikit banyak menarik perhatian para pengunjung yang sedang menikmati makan malam. Bahkan si pelayan warung tersebut ikut tersenyum ramah ke arah kami.

“Mas dan mbak emang pasangan ideal. Pasangan romantis.” katanya saat aku hendak meraih uang dari dalam tas cangklong yang kubawa.

Belum sempat aku menyerahkan uang tersebut, Pram mendahuluiku dan membayar.

“Makasih mas..” jawab si pelayan.

“Katanya ibu yang traktir, gimana sih?” tanyaku.

Pram hanya tersenyum sementara si pelayan sedikit bingung dengan tingkah kami berdua.

“Maaf mas, istri saya emang kadang begini, agak ribet sama urusan bayar membayar.”

Si pelayan hanya tersenyum, dan sesaat setelah membayar, Pram merangkul lenganku lalu kami pun meninggalkan warung tersebut.

“Jadi malu…” gumanku sambil tersenyum saat kami telah melanjutkan perjalanan.

“Malu kenapa bu?” tanyanya heran.

“Itu lhooo tadi… sayang bilang kalo ibu istri kamu.”

Pram tersenyum, lantas menarik lenganku untuk bergeser, mendekat ke arahnya.

“Gantian.. kemarin kan ibu juga gitu, bilang kalo saya suami ibu.” katanya sambil mengendalikan stir.

Kulingkarkan tangan dipinggangnya dan merebahkan kepala dipundaknya. Anganku segera melayang, membayangkan jika saja aku adalah wanita pilihannya, wanita yang menjadi istrinya. Bayangan itu melintas dikepalaku, dan membuatku tersenyum.

Kecupan dipermukaan jilbabku akhirnya membuyarkan lamunanku.

“Bu, parkirannya pada penuh.” Kata Pram sambil memperhatikan deretan kendaraan disepanjang tepi jalan.

“Kita langsung ke Malioboro aja deh Pram, lagian disana kan banyak koleksinya, banyak toko-tokonya.”

Pram mengangguk, lantas kami pun melanjutkan perjalanan. Hiruk pikuk dan lalu lalang kendaraan di jalan protokol membuat perjalanan kami sedikit lebih lambat.

“Selain pakaian, ibu mau belanja apa lagi?”

“Kayaknya sih cuman pakaian aja, sepatu, tas. Itu aja.”

“Ibu gak perlu make-up?” tanyanya.

Aku tersenyum dan mengecup pipinya. “Emang ibu kurang cantik? Atau makeupnya kurang ngejreng?”

“Bukan.. bukan gitu bu.. maksud saya, siapa tau make up ibu dirumah udah habis atau tinggal dikit, jadi sekalian kita beli.”

“Kayaknya make up masih ada kok, lagian ibu kan jarang dandan. Kalo pun dandan, biasanya kan cuman tipis aja.”

Hampir sepuluh menit kemudian, kami pun tiba di Maliobro. Icon kota pelajar yang telah mendunia ini selalu dipadati oleh pengunjung, walaupun hanya sekedar untuk berjalan-jalan santai, menikmati suasananya.

Pram memegang tanganku, menggengam erat jemariku saat berjalan. Satu tanganku melingkar di pinggangnya, suatu hal yang membuatku merasa nyaman dan senang.

“Kita kayak ABG lagi pacaran.” gumanku pelan.

“Kita kan emang pacaran.. ibu lupa?”

“Iya, ibu inget kok, tapi rasanya kayak beneran pacaran.”

Pram hanya tersenyum, dan kurasakan ia meremas tanganku yang berada dalam genggamannya.

Kami sedang melangkah memasuki sebuah toko yang tengah dipadati oleh pengunjung ketika Pram hendak berbalik arah dan meninggalkan toko itu.

“Mbaaaakkkkkk Rrriiiiiiiinnnnn…” teriak Rita ditengah kerumunan pengunjung lain.

“Mampusss..” guman Pram Pelan.

Dibelakangnya, Nina tersenyum manis ke arah kami dan ikut melangkah bersama Rita, menghampiriku dan Pram.

Pram, lelakiku hanya berdiri mematung ketika Rita menghampiri dan memeluk tubuhnya.

“Kamu ini, teriakin nama mbak, yang dipeluk malah Pram.” protesku sambil melepaskan pelukan pada Nina.

“Lhooo.. biarin.. itu kan mbak lagi peluk Nina. Kasian Pram, gak ada meluk.”

Nina tertawa pelan, begitu juga dengan aku, karena melihat Pram yang tampak canggung dan malu karena ulah Rita.

“Kalian kok ada disini?” tanya Rita sambil memandangku dan Pram secara bergantian.

"Kalian ngikutin aku?? Iya kaannnn??”

“Kalian kangen aku kaaaannnn??” katanya lagi tanpa jeda dengan wajah jahil.

Pram hanya menghela nafas panjang dan sedikit menundukkan wajah.

“Mbak mau cari jilbab sama sepatu.” jawabku.

“Udah.. ayo belanja.” Kata Pram kemudian sambil menarik lengan Rita karena ia merasa malu menjadi perhatian beberapa pengunjung lain.

“Eehhhhh… kok aku digandeng gini sih??” protes Rita, namun diabaikan oleh Pram.

“Mbak Rin, ini aku yang digandeng lho ya, bukan aku yang minta..” katanya sambil menoleh kearahku.

Aku hanya mengangguk pelan sambil tersenyum melihat tingkahnya. Ia membuatku gemes, geregetan karena keusilannya yang tak memandang waktu dan tempat.

“Aku mau dibelanjain??” tanyanya lagi.

“Apa mau cari kesempatan pegang-pegang tangan aku?? Hayoooo.. ngaku aja.. iyaa kaannnn???”

Pram tak menjawabnya dan terus memegang lengan Rita, sementara aku dan Nina hanya bisa tersenyum geli melihat tingkah mereka.

“Niinnn… kita mau dibelanjain Pram.” kata Rita sambil menoleh ke belakang, ke arah kami.

Nina hanya mengangguk dan terus melangkah disisiku. Satu tanganku merangkul pinggangnya, begitu juga dengannya.

“Pram mati kutu.” bisik Nina sambil tersenyum.

Aku tersenyum geli memandangi tingkah kedua orang tersebut, hingga akhirnya kami sampai di lantai dua, lantai khusus untuk pakain wanita.

“Udah.. sekarang kalian belanja..” kata Pram, lalu melepaskan pegangan tangannya pada lengan Rita.

“Yeeeeyyyyyy… girls time” teriak Rita.

Lagi-lagi, Pram menghela nafas panjang, lalu memandangku dan Nina, sementara Rita telah menenggelamkan dirinya diantara beragam koleksi pakaian wanita yang terpajang di sepanjang lorong.

“Sayang gak ikut?” tanyaku.

“Enggak bu, saya tunggu disini aja.” katanya.

Akhirnya, aku dan Nina meninggalkan Pram, melangkah mengikuti Rita yang terlebih dahulu melihat beragam koleksi kemeja, celana panjang, dan rok yang tergantung disepanjang lorong lantai dua.

“Mbak mau cari apa?” tanya Nina.

“Mau cari Blazer, abaya, jilbab, tanktop, rok panjang, flat shoes, hot pants, legging, tas. Itu aja.”

“Buat kerja? Kok banyak banget??”

Aku mengangguk pelan dan mulai ikut memilih jilbab bersama Nina, sedangkan Rita larut dalam kesenangannya, melihat-lihat beragam tas dan aksesoris wanita.

“Kalian kesini naik apa?” tanyaku, sambil beralih melihat koleksi rok panjang.

“Naik taksi mbak. Tadi aku ngajak Rita soalnya dia juga mau beli celana panjang sama kemeja.”

Aku memilih beberapa helai rok panjang beserta jilbab, begitu juga dengan Nina dan ingin mencobanya di fitting room yang terletak di bagian sudut lantai dua.

“Sayang, ibu nyoba jilbab sam rok panjang ini ya..” kataku setelah menghampirinya.

“Iya bu, kalo gitu saya ke lantai bawah aja ya bu, mau lihat-lihat kemeja sama jaket.”

Pram pun pergi meninggalkan kami, dan aku kembali melangkah menyusul Nina yang telah terlebih dahulu berjalan menuju ke fitting room.

“Rit, mbak nyobain ini dulu ya.” pesanku pada Rita sambil menunjukkan beberapa helai jilbab dan rok panjang ditanganku.

“Mau di temenin?”

“Gak perlu sayang, kamu pilih aja dulu belanjaanmu..”

Aku mengetuk pintu fitting room, dimana Nina telah berada didalamnya, dan ketika pintu sedikit terbuka, aku langsung masuk kedalam dan kembali mengunci pintu tersebut.

Nina telah melucuti celana jeans yang ia kenakan, hingga hanya menyisakan celana dalam berwarna hitam di pinggulnya. Kulitnya semakin terlihat putih karena kontras dengan warna celana dalam tersebut.

Nina segera mencoba rok panjang yang telah ia pilih, dan memutar tubuhnya beberapa kali untuk melihat kecocokan pada pinggulnya.

“Bagus kok Nin. Pas banget..” gumanku sambil melucuti rok panjang yang masih melekat di pinggulku.

Nina mengangguk dan kembali melepaskan rok tersebut, lalu menggantungkannya di belakang pintu.

“Lhoooo.. kok??" tanyaku heran karena kaget melihat Nina melucuti celana dalamnya.

Nina segera meletakkan jari telunjuknya didepan bibirku, memintaku untuk diam. Perlahan ia mendekatkan wajah.

“Ninn..” gumanku pelan saat bibirnya nyaris mendarat di bibirku.

Tak ada jawaban darinya, dan ia pun memejamkan mata, melumat bibirku dengan lembut. Caranya menciumku sungguh sangat berbeda dari sebelumnya, sangat lembut dan penuh rasa.

Awalnya, aku tak membalas lumatannya. Aku hanya berdiam diri, membiarkannya menikmati bibirku. Tak sampai sepuluh detik, Nina menuntun tanganku kearah pangkal pahanya, menekan jemariku disana. Ia memintaku untuk menyentuh kemaluannya.

Ia lantas meninggalkan tanganku disana dan langsung menyelipkan tangannya kedalam celana dalamku. Tentu saja aku mulai terangsan akibat perlakuannya tersebut dan segera membalas melumat bibirnya dengan sedikit kasar.

Pun demikian dengan pangkal pahanya, jemariku menari liar, membelai, mengusap, mempermainkan vaginanya yang telah basah.

Hampir satu menit berlalu ketika akhirnya Nina membuka kancing kemeja yang menutupi tububnya dan mengeluarkan payudara dari dalam bra yang melindunginya.

Dengan lembut ia menuntun kepalaku untuk sedikit menunduk, mengarah ke bagian dadanya. Nina ingin aku mengerjai kedua payudaranya yang ranum. Aku tak menolaknya karena telah terbuai dalam kenikmatan akibat permainan jemarinya di pangkal pahaku. Dan tanpa membuang waktu, aku langsung melahap kedua putingnya secara bergantian.

Kuhisap, kukulum, dan kujilati dengan rakus sementara dibagian bawah, satu jariku telah menerobos memasuki liang vaginanya.

Satu tangannya menekan bagian belakang kepalaku, sementara tangan lainnya pun sibuk mengocok liang vaginaku. Kami benar-benar terlarut dalam kegilaan yang luar biasa nekat dan panas karena Rita sedang berada diluar sana, tak jauh dari bilik fitting room yang kami gunakan.

Hampir dua menit berlalu, Nina kembali mendesak kepalaku untuk lebih menunduk, hingga akhirnya aku bersimpuh di hadapannya.

Untuk pertama kalinya, akhirnya lidahku menyentuh kemaluan wanita, vagina Nina, sahabat Pram. Sesekali aku melirik keatas, melihat Nina menggigit bibirnya sendiri sambil meremas payudaranya karena satu tangannya yang lain sedang menekan bagian belakang kepalaku kearah pangkal pahanya.

Kegilaanku bertambah ketika satu tanganku ikut bermain dengan kembali menusuk masuk kedalam liang vaginanya. Nina merintih pelan, pinggulnya bergerak pelan seiring tusukan dua jari yang memanjakan liang vaginanya. Basah, sangat basah karena begitu banyak cairan yang keluar dari kemaluan Nina, hingga mengalir kebagian lenganku.

Tak sampai satu menit, sebuah hisapan keras kulayangkan ke bagian clitorisnya, dan Nina pun menyambut datangnya oragsmenya. Sekujur pahanya menegang dan bergetar, begitu juga dengan kedua puting payudaranya, mengeras sempurna.

Berkali-kali aku menjilati kemaluannya, menelusuri belahan vaginanya, membersihkan cairan orgasme itu dan menelannya. Dan hanya dalam waktu singkat, pangkal paha Nina pun kembali bersih.

Cengkraman jemarinya si kepalaku pun akhirnya melemah, hingga akhirnya terlepas. Ia memandangiku dengan tatapan sayu dan nafas yang menderu.

Perlahan aku bangkit berdiri sambil menghisap jemariku yang berlumuran cairan orgasmenya.

“Gilaa..” guman Nina pelan lalu tersenyum.

Aku pun kembali tersenyum padanya dan Nina segera melumat bibirku. Sesekali digigitnya bibirku dengan lembut, dan kedua tangannya meremas payudaraku. Segera setelah pagutan bibir kami terlepas, ia meraih tissue dari dalam tasnya.

“Gak sampe seepuluh menit, udah KO akunya.” gumannya sambil membersihkan kemaluannya dengan tissue basah, sementara aku membersihkan sekitar bibirku.

Segera setelah Nina kembali mengenakan celana dalamnya, kami mendengar suara Rita memanggil, disertai ketukan pintu bilik.

“Kalian lama banget..”

“Nyobain pakaian apa main catur sih??” sambungnya sambil menggantungkan beberapa helai rok span dibelakang pintu.

“Kita main bola dulu, baru nyobain pakaian. Ini bolanya, ada dua..” kata Nina sambil membenahi bra yang kembali menutupi payudaranya.”

“Gila.” guman rita singkat sambil melucuti celana panjangnya.

Aku yang sedari tadi telah gemes dan geregetan melihat tingkahnya semakin dibuatnya bertambah, hingga aku harus mengepalkan tanganku sendiri demi menahan perasaanku.

Nina yang melihat ekspresi wajahku hanya tertawa pelan. Ia lantas mengedipkan mata sambil menunjuk ke arah Rita yang tengah meraih rok span yang ia bawa.

“Lama-lama mbak cium juga kamu Rit..” gerutuku.

Rita hanya menatapku sekilas, lalu bersiap mencoba rok itu.

“Sarap.. emang berani??” tanyanya santai.

Aku segera mendekatinya, merapatkan tubuh hingga Rita terdesak, terhimpit dengan dinding bilik dibelakangnya.

“Beneran mau mbak cium??” tanyaku sambil menatap matanya.

“Eh..anu.. mbak…enggak.. ini apaan sih..??” protesnya kerika satu tanganku mulai merayap, mengusap pahanya.

Aku semakin mendekatkan wajah, menyisakan sedikit ruang diantara bibir kami sehingga membuatnya semakin terdesak dan kewalahan dengan kegilaanku.

“Adduuhhhhhh.. ini kenapa.. anu.. itu anu.. enggak..eehhh.” katanya ketika tanganku terus merayap naik, nyaris menyentuh kemaluannya.

Ia berusaha memberontak, menjauhkan tubuhku, namun Nina segera mendekat dan ikut membantuku hingga ia tak bisa berbuat banyak untuk melawan kami.

“Kalo mbak Rin boleh cium kamu, aku juga mau kok Rit.” Kata Nina dengan wajah serius.

“Ihh… kok ini...aduhh.. ini kok pada gini sih..??” protesnya saat Nina ikut membelai pahanya, bahkan jemarinya mengusap permukaan celana dalam Rita.

Aku benar-benar tak mampu menahan tawaku lagi saat melihat Rita pasrah dan tak mampu melawan kegilaanku dan Nina.

Wajahnya pucat pasi dan butiran keringat muncul di keningnya. Perlahan aku mengendurkan desakan pada tubuhnya, namun tetap memandangnya dengan wajah serius, begitu juga dengan Nina.

Rita benar-benar ketakutan, ia terlihat pasrah pada nasibnya. Seketika, Nina pun tertawa, kedua tangannya membekap erat mulutnya sendiri.

“Hhhhiiiiiiiiiihhhhhhhhhhh…!” seru Rita sambil mencubit pinggang kami sekaligus.

“Kalian gilaaaaaaa…” katanya lagi.

Aku dan Nina tertawa geli melihat Rita yang sedang melampiaskan perasaan marahnya.

“Aku kira aku mau diperkosa beneran..” gerutunya sambil mencoba rok span yang telah ia pilih.

“Ya enggaklah Rit, gimana mau perkosa, kontol aja kita gak punya. Kita kan adanya memek, sama kayak kamu.” balas Nina.

Rita menatap Nina sejenak lalu mengigit lengannya dengan tiba-tiba hingga Nina menjerit dan berusaha menghindar.

“Buuuu…” teriak Pram dari luar disertai beberapa kali ketukan pintu.

“Ibu gapapa? Baik-baik aja?” tanyanya.

“Iya, gapapa kok Pram. Ini lho Rita sama Nina lagi bercanda.”

Segera setelahnya, tak ada lagi suara dari arah luar, dan kami melanjutkan untuk mencoba pakaian yang telah kami pilih.

“Bagus gak Nin?” tanya Rita sambil melihat dirinya lewat cermin.

“Bagus.. cuman kurang panjang dikit. Kalo dipakai buat kuliah rada gak pas aja.”

“Masa sih?” kata Rita sambil melihat ujung roknya yang sedikit lebih tinggi dari lututnya.

“Iya Rit, kurang panjang dikit.” gumanku.

“Berarti cocoknya buat jalan-jalan aja.” jawabnya.

Hampir sepuluh menit berlalu hingga akhirnya kami keluar dari bilik tersebut. Pram lelakiku tengah bercakap-cakap dengan seorang wanita muda, pegawai toko tersebut.

“Pram udah selesai belanja?” tanyaku setelah menghampirinya.

“Saya gak belanja kok bu. Tadi cuman lihat-lihat aja.”

Aku menyerahkan barang-barang belanjaanku berupa blazer, jilbab, tanktop, dan rok panjang pada wanita tersebut.

“Masih kurang apa lagi bu?”

“belum pilih legging, hot pant, sama stocking.”

“Mau beli disini atau cari di toko lain?”

“Disini aja sayang, biar gak repot keliling.”

“Yuk, kita cari sekarang.”

“Beneran?? Sayang mau temenin??” tanyaku.

Pram mengangguk lantas merangkul pinggangku dan mengajakku berjalan menyusuri lorong lantai dua tersebut.

“Stockingnya yang warna hitam aja ya bu.” guman Pram sambil terus mendampingiku, melihat-lihat beragam koleksi yang ada.

Aku mengangguk , dan meraih empat helai sekaligus dengan beragam corak. Tanpa sepengetahuanku, Pram memilih legging yang berada tak jauh dari tempatku berdiri, dan menyerahkannya padaku, begitu juga dengan tanktop.

“Mbak, kami ke lantai tiga ya, mau lihat-lihat tas sama sepatu.” kata Rita.

“Iya.. duluan aja, nanti mbak nyusul.”

“Pram gak pengen ikut? Nemenin kita gitu..” katanya lagi.

“Enggakkkkkk… Pram disini aja nemenin mbak..” potongku dengan cepat dengan suara sedikit keras.

“Idihhhh.. biasa aja kalik mbakkkkkkk…gak usah teriak gitu, aku belum budek..” balasnya.

“Udah.. buruan.. ntar kita kemalaman..” kata Nina sambil menarik lengan Rita dan membawanya pergi.

Pram hanya tertawa pelan dan kembali mendampingiku.

“Anak itu bener-bener menguji kesabaran kita.” gumannya.




♡♡♡ bersambung ♡♡♡

Part 2 akan rilis dalam beberapa jam kedepan Terima kasih :rose:
 
Tumben nih Sist merah_delima agak lama updatenya... Hihihi... Gasabarrrrrrrrrr....

Semangat sisttttaaahhh...
Maaf ya bang, scara ini kerjaan di RL gk ada abisnya :sendiri:
Makanya up selalu molor.. kalo ada waktu luang baru bisa edit, jadi rada lama baru busa siap update.

Sekali lagi, mohon maaf ya bang :ampun:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd