Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA RINDIANI The Series - Pelangi untukku

Part 4



Rindiani

“Hen.. kamu udah lama kerja dihotel?” tanyaku saat kami dalam perjalanan pulang.

“Sudah enam tahun bu.” jawabnya singkat sambil melirikku sekilas melalui kaca spion yang tergantung di bagian tengah kabin depan.

“Lama juga yaa..” gumanku pelan.

“Gimana, enak kerja disini?”

“Iya bu, enak. Saya betah kerja disini. Apalagi sejak ditangani bos yang baru.”

“Orangnya baik, ramah.”

“Oh ya..?”

“Iya bu. Jarang ada orang seperti bos kita. Udah baik, cantik, gak sombong juga.”

Aku mengangguk pelan, memahami apa yang Hendra utarakan. Perlakuan yang manusiawi, menghargai dan peduli terhadap bawahannya adalah kunci utama mengapa beliau begitu dikagumi dan disukai oleh mereka yang berada dibawahnya.

Sejauh ini, aku belum menemukan seorang pun yang tidak menyukainya, walaupun Bayu pernah mengatakan bahwa ada yang tidak begitu menyukainya. Suatu hal yang sangat wajar, jika ada beberapa individu diantara seratusan karyawan yang seperti itu.

Aku sendiri pun belum mengenalnya, belum mengetahui lebih dalam tentang pribadinya. Dari sedikit cerita yang telah aku dengar, aku yakin, atasanku adalah sosok yang menyenangkan dan profesional.

Sesampainya di hotel, kembali larut dalam duniaku, dengan membaca buku-buku yang telah dibeli lelakiku. Aku benar-benar ingin terjun seutuhnya kedalam pekerjaan ini. Tekadku adalah untuk mulai meningkatkan income hotel, setidaknya dalam waktu dekat.

Karena terlalu asik membaca, aku tak memperhatikan keadaan diluar ruanganku, apalagi meja kerjaku membelakangi jendela kaca. Kutepuk keningku saat melirik jam di dinding. Hampir jam enam sore.

“Astagaaaa…” gumanku pelan sambil buru-buru membereskan buku dan memasukaannya kedalam laci meja kerja.

Suasana senja akhir pekan nan indah terlukis di langit kota pelajar, namun aku sedang terburu-buru untuk pulang kerumah, sehingga mengabaikannya begitu saja. Ada hal yang lebih penting yang menungguku di rumah, Pram, Lelakiku.

Aku merasa bertanggung jawab terhadap hidupnya atas semua yang telah ia berikan, atas semua yang telah ia lakukan untukku, walaupun sesungguhnya kami bukanlah sepasang kekasih ataupun suami istri.

Aku telah berjanji pada diriku sendiri untuk tetap menjadikannya pusat kehidupanku, walaupun telah bekerja dan harus menghabiskan sebagian besar waktuku di kantor.

Kodratku sebagai wanita pun tak lepas dari hal tersebut, dimana aku harus tetap mengutamakan tanggung jawabku dirumah, sama halnya dengan peran istri pada umumnya.

Hampir satu jam berlalu, akhirnya aku tiba dirumah. Aroma harum masakan tercium jelas seiring langkahku menuju ke dapur.

“Sayangg… maaf ibu terlambat pulang.” Kataku saat Pram sedang menghidangkan makanan berupa lauk pauk di meja makan.

Pram tersenyum, lantas mendekat.

“Gapapa bu, saya ngerti kok.”

“Sekarang ibu mandi, habis itu kita makan.” gumannya sambil memegang pinggangku dengan kedua tangan.

“Maafff…” kataku lagi karena merasa tak enak hati padanya.

Pram memelukku erat lantas mengecup keningku.

“Ibu gak salah, dan gak perlu minta maaf.” katanya dengan lembut sambil mengusap pipiku.

“Terima kasih..” bisikku pelan sambil kembali memelukknya dengan sangat erat.

“Sayang sudah mandi?” tanyaku saat pelukan kami berakhir.

Pram mengangguk pelan lalu duduk di kursi meja makan.

“Ya udah, ibu mandi dulu ya.. makasih udah masak untuk makan malam kita.” kataku lagi.

Pram meraih jemariku dan menggengamnya.

“Sama-sama bu.” gumannya pelan lalu menyandarkan wajah di perutku.

“Masih wangi.. padahal belum mandi” katanya lagi.

“Iyaaaa.. tapi ibu belum mandi lhooo.. bajunya aja yang wangi, tapi badannya kan enggak wangi.”

“Masa sih..??” tanyanya sambil menengadah untuk menatapku sementara kedua tangannya menarik ujung rok panjang yang kukenakan.

Aku tertawa pelan melihat tingkah lelakiku. Ia pandai dalam menciptakan suasan romantis dan mesra, yang bisa mencairkan suasana sekaligus menambah keintiman dalam hubungan kami.

“Masih wangi..” gumannya pelan saat mencium sedikit bagian perutku.

“Ini juga masih wangi..” katanya lagi sambil mencium permukaan celana dalam G string yang menutupi kemaluanku.

“Eehhh… ibu belum mandi sayang..” kataku sambil berusaha menjauhkan kepalanya dari pangkal pahaku.

Pram mengabaikanku dan tetap membiarkan wajahnya berada dekat kemaluanku, hanya beberapa centi jaraknya dari vaginaku.

“Boleh..?” tanyanya sambil menengadah, menatapku, sementara satu tangannya mengusap lembut permukaan celana dalamku.

Aku mengangguk pelan dan kembali membelai rambutnya.

“Itu kan punya sayang.. jadi gak perlu minta ijin.”

Pram tersenyun, kamudian kain celana dalam itu kesamping dan mengusapnya.

“Bukan saya aja, tapi kayakna punya Nina juga.” gumannya pelan lalu berdiri, sementara jemarinya tetap memanjakan kemaluanku dengan usapan lembut.

Aku hanya bisa tersenyum dan tertunduk malu.

“Berarti ibu gak boleh main sama dia lagi?”

Pram menghela nafas, melepaskan tangannya dari pangkal pahaku dan membiarkan rok panjangku kembali terjuntai, menutupi tubuhku.

“Jujur.. ibu suka main sama Nina?” tanyanya sambil membelai lembut pipiku.

Aku hanya bisa mengangguk pelan karena malu.

“Ibu nyaman?” tanyanya lagi.

Sekali lagi, aku hanya bisa mengangguk pelan.

“Saya minta cukup dengan Nina saja ya bu, jangan ada yang lain lagi, apalagi laki-laki lain.”

“Saya tidak berhak untuk melarang atau mengatur privasi ibu, tapi saya hanya bisa menyarankan seperti itu.”

“Enggak.. sayang berhak untuk mengatur ibu.” bantahku.

Pram menggeleng pelan, lantas mengecup keningku.

“Saya bukan siapa-siapa. Saya dan ibu hanya bisa saling mengingatkan dan menjaga satu sama lain.”

“Enggak..” kataku lagi.

“Ibu menganggap kamu adalah laki-laki yang berhak atas hidup ibu. Dan itu adalah kemauan ibu. Ibu cuman punya sayang yang selama ini selalu mendampingi dan membantu ibu.”

“Iya, saya paham bu.” jawabnya singkat.

“Maka dari itu, ibu menganggap diri ibu, hidup ibu milik kamu.”

Pram memahami apa yang kukatakan, begitu juga sebaliknya. Percakapan singkat dan mendalam itu diakhiri dengan sebuah ciuman mesra. Pram mendekapku begitu erat, melumat bibirku dengan penuh rasa, pun begitu sebaliknya.

Keterbukaan hati dan kejujuran yang tercipta di antara kami seakan melapangkan jalan hubungan kedua hati. Pram memahami dan memaklumi sepenuhnya tentang apa dan bagaimana harus bersikap terhadapku.

Dimataku, aku tak memiliki apapun untuk kusembunyikan atau kurahasiakan darinya, karena bagiku Pram adalah sosok laki-laki yang kini berhak sepenuhnya atas hidupku. Di lain sisi, aku pun menyadari bahwa aku tak bisa, tidak layak untuk mengatur kehidupannya.

Ada rasa khawatir, cemas jika akhirnya Pram menghilang dari hari-hariku karena wanita lain, namun, tentu saja aku tidak bisa mencegah, apalagi melarangnya jika ia melakukannya atas kemauan hatinya.

Pengalaman pahit kehilangan suami telah mengajariku tentang situasi seperti ini, dan aku tak bisa berbuat banyak selain mengikhlaskan, merelakannya.

Jauh di lubuk hatiku, aku yakin lelakiku bukanlah tipe lelaki pengkhianat seperti itu. Pram adalah sosok unik yang aku yakin, tidak akan pernah menyakitiku, tidak akan pernah melukai hatiku.

Dewi, Nina dan entah siapa lagi yang pernah mengenal dan dekat dengannya telah merasakan hal tersebut, begitu juga denganku.

“Ya udah, ibu mandi dulu ya..” kataku setelah pelukan kami terlepas.

Pram mengangguk, lantas merangkul pinggang dan melangkah bersamaku menuju ke kamar tidur.

“Sayang tiduran aja, istirahat sambil nungguin ibu mandi. Atau, kalo udah laper, sayang makan duluan gapapa.” Kataku sambil melucuti seluruh pakaian yang melekat ditubuhku.

Pram tersenyum sambil menggelengkan kepala, lantas menjatuhkan tubuh diatas kasur.

“Enggak. Nungguin ibu aja biar nanti makan bareng.”

Aku tengah menikmati guyuran air yang menaglir dari shower ketika Pram muncul didepan pintu kamar mandi. Ia tersenyum sambil melangkah mendekati dengan tubuh telanjang. Kemaluannya telah mengeras, berdiri tegak dengan perkasa.

“Katanya udah mandi?”

“Pengen mandi lagi, bareng ibu.”

Aku segera menarik lengannya agar lebih dekat denganku, bergabung bersamaku dibawah guyuran shower.

“Keras banget.” bisikku sambil meremas penisnya.

Pram tak berkata apapun, namun segera melumat bibirku dengan lembut. Aku yakin, lelakiku sedang ingin bercinta karena tak seperti biasanya, ia melakukan hal seperti ini.

Kupejamkan mata, menikmati kuluman bibirnya yang hangat dan sangat memanjakan itu. Satu tanganku segera melingkar dilehernya, sementara penisnya kumanjakan dengan kocokan pelan.

Tak sampai satu menit, lidahnya mulai menjalar, menelusuri leherku hingga ke bagian pundak. Kedua tangannya pun mulai ikut bermain, meremas kedua payudaraku dengan lembut.

Rangsangan yang ia berikan cukup membuaiku, membuatku terlena hingga mulai mendesah.

Perlahan, deru nafas lelakiku pun mulai memburu, seiring dengan detak jantungnya yang seolah sedang berpacu karena kocokan tanganku di penisnya pun semakin cepat.

Satu tanganku bergerak, mengarahkan kepalanya ke bagian dadaku, karena aku menginginkan lidahnya, bibirnya, mengerjai payudaraku. Pram pun menuruti keinginanku dan segera mengulum kedua putingku secara bergantian.

Yang mampu kulakukan hanyalah menggigit bibirku sendiri demi meredam rintihan dan desahan yang seakan ingin meledak.

Hisapannya terasa begitu kuat, membuat lututku gemetar karena rasa nikmat yang hebat. Sambil menikmati permainannya yang panas dan liar, satu tanganku bergerak turun, mempermainkan kemaluanku sendiri, sementara satu tanganku yang lain terus saja mengocok penisnya, membuatnya semakin liar dan buas dalam mengerjaiku. Aku benar-benar menikmatinya.

Beberapa saat berlalu dan sekujur dadaku telah dipenuhi oleh jejak-jejak kemerahan bekas hisapannya. Pram nampak begitu bernafsu, sangat buas, tak seperti hari-hari sebelumnya.

Sambil menghisap satu putingku, jemarinya memilin puting yang lain. Tentu saja aku sedikit kewalahan dalam menghadapi permainannya, apalagi kami melakukannya dalam posisi berdiri.

Semakin lama, lidahnya semakin bergerak menjauh, turun ke ke bagian perutku, dan terus bergerak liar hingga akhirnya ia bersimpuh. Aku tahu, ia akan melahap kemaluanku, ia akan menikmati vaginaku, seperti sebelum-sebelumnya.

Dengan perlahan jemarinya membuka bibir kemaluanku lalu memandanginya sesaat dan akhirnya langsung menjilatinya.

Tubuhku tersentak, di iringi rintihan yang mengalun pelan dari mulutku. Hisapan demi hisapan menghujani clitorisku, membuatku merinding, menggelinjang.

Inilah salah satu hal yang paling kusukai dari lelakiku, dimana ia sangat pandai dalam merangsangku, bahkan mampu membuatku orgasme tanpa harus menyetubuhiku. Aku begitu tergila-gila dengan permainan oralnya, suatu hal baru bagiku karena belum pernah merasakannya saat bersama suamiku.

Pram terlihat begitu terbuai, begitu menikmatinya, bahkan bibir kemaluanku pun dikulum, dihisap, layaknya sedang berciuman. Sudah barang tentu permainannya membuat cairan lubrikasi keluar dari vaginaku, membuatnya semakin licin dan memudahkan lidahnya untuk bergerak liar.

Sadar dengan keadaan tubuhku yang tak berdaya dan kepayahan dalam menahan permainannya, Pram menuntunku untuk bersandar di dinding, dan kembali membuka lebar kedua pahaku agar memberinya ruang untuk bergerak lebih leluasa dalam mengerjai vaginaku.

“Sayang… dikocokin..” gumanku lirih sambil mengusap rambutnya.

Pram memandangku sejenak sambil tersenyum, sementara satu tangannya mengusap kemaluanku. Kutundukkan tubuh dan segera melumat bibirnya dengan buas.

Aroma cairan dari kemaluanku tercium kuat, namun aku tak memperdulikannya. Aku telah terbiasa dengan aroma kenikmatan tersebut, bahkan telah berkali-kali mencicipinya, menelannya.

Hampir atu menit kami saling melumat bibir, sementara kedua payudaraku yang menggantung dihadapannya diremas, dipilin kedua putingnya dengan sedikit kasar. Tidak ada rasa sakit yang tercipta, melainkan birahi yang semakin bergejolak, semakin terbakar akibat perlakuan kasarnya.

Setelah melepaskan pagutan bibir, Pram kembali mengalihkan pandangannya ke arah pangkal pahaku. Tanpa membuang waktu, lidahnya kembali menjalar disana, bergerak bebas diantara bibir kemaluanku, menyapu bersih cairan yang keluar dari tubuhku.

Dan akhirnya, ia mengabulkan permintaanku ketika dua jarinya mulai bergerak masuk, menerobos celah sempit kemaluanku dan terus menusuk hingga kedua jari itu tenggelam sempurna dalam liang kenikmatanku.

Pram benar-benar memahami dan mengerti sepenuhnya tentang diriku. Apa yang ia lalukan terhadap kemaluanku menjadi pemandangan yang sangat menggairahkan, sangat memanjakan mataku.

Sebelumnya, saat masih menjalani rumah tangga bersama suamiku, sangat jarang bagiku untuk melihatnya mengerjaiku karena aku lebih memilih untuk memejamkan mata. Berbeda dengan yang terjadi saat aku melakukannya bersama Pram, dimana aku menjadi ketagihan, dan sangat menyukai pemandangan erotis seperti ini. Hal ini semakin membuatku bernafsu, dan tentu saja semakin mempercepat orgasmeku.

Sambil menghisap clitoris, dan mempermainkannya dengan ujung lidah, kedua jemarinya yang tertanam dalam liang kemaluanku mulai bergerak-gerak, menyentuh area disekitarnya. Hal ini menimbulkan rasa geli, rasa nikmat yang belipat ganda, terutama saat ia menyentuh G-spot, salah satu titik sensitif yang terletak dibagian dalam kemaluan wanita.


Sesekali tubuhku tersentak secara reflek saat jemarinya menyentuh titik tersebut, apalagi disaat bersamaan, clitorisku pun menjadi bulan-bulanan bibir dan lidahnya.

Aku benar-benar dibuatnya mabuk kepayang, terlalut dalam kubangan gejolak nafsu, hingga tanpa sadar kuremas kedua payudaraku, dan mempernainkan kedua putingku.

Tak lama berselang, tak sampai tiga menit kemudian, rangsangan hebat disekujur tubuhku pun berbuah orgasme hebat. Aku segera melepaskan payudara dan menjambak rambut lelakiku, mendesakkannya ke arah pangkal pahaku dengan sangat kuat.

Pram lelakiku hanya bisa berpasrah dan mengikuti kemauanku. Orgasme itu disertai dengan keluarnya air seni, mengalir melalui celah yang tercipta diantara pangkal paha dan wajah lelakiku yang menepel erat disana.

Aku benar-benar tak menyadari, benar-benar lupa segalanya sehingga melakukan hal tersebut.

Badai orgameku pun perlahan mereda setelah beberapa saat, disertai semakin melemahnya cengkraman jemariku pada kepala Pram. Lemah tak bertenaga, akhirnya kusandarkan tubuh sepenuhnya di dinding, sementara Pram menjauhkan kepalanya dari pangkal pahaku, pun begitu dengan kedua jarinya.

Mataku terpejam sempurna menikmati saat-saat indah itu, meresapinya hingga akhirnya nikmat itu mereda perlahan dan menghilang.

Kubuka mataku perlahan dan melihat lelakiku tersenyum. Ia pun bangkit berdiri dan segera memelukku dengan sangat erat. Aroma air seniku tercium dari sekujur tubuhnya.

“Maaaffff…” gumanku pelan sambil memelukknya erat.

“Kok maaf?” tanyanya heran.

“Ibu pipisin sayang..” balasku sambil menyembunyikan wajah dibelakang lehernya.

Pram tertawa, lantas meremas lembut kedua pantatku.

“Gapapa kok bu..” jawabnya singkat.

“Ibu gak sengaja.. keenakan.. jadinya lupa.”

“Sempet keminum?” tanyaku.

Pram mengangguk pelan. “Dikit..”

Aku tersenyum malu, dan kembali menyembunyikan wajah dibelakang lehernya.

“Rada asin..” sambungnya lagi.

“Udaahhh.. jangan dibahas.. maaluuuu.” protesku.

Pram semakin tertawa dan mempererat pelukannya. Hampir dua menit lamanya kami berpelukan mesra, hingga akhirnya ia mengecup keningku dan mengajakku kembali berdiri dibawah guyuran shower untuk melanjutkan mandi.

“Tadi ibu lupa waktu karena keenakan baca buku yang tadi kita beli.”

“Pas lihat jam, tau-tau udah jam enam.” sambungku.

“Yang penting ibu gak lupa makan siang, dan gak lupa saya bu.” balasnya sambil mengusapi sabun di punggungku.

Aku tertawa mendengar ucapannya, lantas menjulurkan tangan ke belakang dan meraih penisnya.

“Ya gak mungkin lupa kalo sama sayang..” balasku sambil meremas lembut kemaluannya.

“Apalagi sama ini..” sambungku sambil menoleh ke samping, memandang wajahnya, sementara tanganku memanjakan penisnya dengan kocokan pelan.


Seketika, perlakuanku padanya berbuah manis. Pram mendekatkan wajah dan kembali melumat bibirku.

Walaupun baru saja menikmati orgasme hebat, nafsu birahi kembali melingkupiku, apalagi aku belum merasakan keperkasaan penisnya di liang kenikmatanku.

Kedua tangannya kembali bermain di dadaku, meremasnya, memilin kedua putingku. Pundak dan sisi leherku pun dihujaninya dengan kecupan, hingga memantik nafsuku untuk kian berkobar.

Aku segera memutar tubuh untuk berhadapan dengannya dan kembali melumat bibirnya, sementara satu tanganku mengocok penisnya yang tegang sempurna. Hanya sesaat saling melumat bibir, aku bersimpuh di hadapannya dan langsung mengoralnya.

Kepala penisnya pun menjadi bulan-bulanan lidahku, sementara jemariku dengan lincah mengocok bagian batangnya. Pram mendesah dengan mata terpejam. Ia larut dalam kenikmatan yang kuberikan.

Sesekali ia menengadah sambil mengembuskan bafas yang tersengar berat. Melihatnya sangat menikmati permainan ini membuatku semakin bergairah. Dan seperti biasa, aku selalu memberi hal yang ia sukai, yaitu deepthroat.

Ia tak perlu meminta hal tersebut karena aku tahu, ia sangat menyukainya. Segera saja penisnya meluncur masuk kedalam mulutku hingga nyaris menyentuh kerongkonganku.

Pram mendesis dengan mata terpejam. Kedua tangannya menjambak rambutku dan menahan kepalaku hingga beberapa saat. Ketika ia menarik mundur pinggulnya, hembusan panjang nafasnya pun mengalun lembut.

Terdengar erotis dan memanjakan telingaku. Belum sempat penis itu keluar sempurna dari mulutku, aku segera memajukan kepala dengan gerakan cepat dan kembali menenggelamkan penisnya dalam mulutku. Tubuh lelakiku tersentak karena terkejut dengan permainanku, ia mengerang, mendesah pelan sambil memegang kepalaku.

Berkali-kali aku melakukan hal itu, dan tak mengendurkan kecepatan gerakan kepalaku hingga air liur menetes, membasahi sekujur dadaku. Selama itu pula lelakiku mengerang, mendesah sejadi-jadinya karena terpaan gelombang kenikmatan yang kuciptakan.

Kedua tanganku mencengkram erat pantatnya, dan dengan kasar memaksa pinggulnya untuk bergerak maju dan mundur, menyetubuhi mulutku, berkali-kali, berulang-ulang.

Tak sampai lima menit kemudian, kedua tangannya berusaha menjauhkan kepaalaku dari pangkal pahanya, namun aku menolaknya. Aku tetap bersikukuh melakukan hal itu, hingga akhirnya Pram mencapai orgasmenya.

Kedua pahanya menegang, kepalanya menengadah ke langit-langit kamar mandi dengan mata terpejam. Hembusan nafas nan panjang menyertai semburan sperma dalam jumlah besar kedalam mulutku.

Dan seperti biasanya, aku tak pernah menyia-nyiakan cairan kenikmatan lelakiku itu. Kulahap seluruhnya, kutelan tanpa rasa jijik sedikitpun.

Hampir satu menit berlalu, perlahan kukendurkan permainanku dengan memanjakan penisnya yang perlahan mulai melemas pasca semburan spermanya. Kuluman dan hisapan tetap kuberikan untuk memanjakannya hingga beberapa saat lamanya.

Dan ketika kurasakan telah cukup, akhirnya kulepaskan cengkraman bibirku dari penisnya sambil tersenyum pada Pram yang tengah menatap dan membelai rambutku. Sebuah kecupan lembut kuberikan tepat di ujung penisnya, sebelum akhirnya kembali berdiri.

Pram segera menyambut tubuhku dengan pelukan yang sangat erat.

“Makasih bu.” bisiknya lembut.

“Iya, sama-sama sayang.” balasku sambil mengecup pipinya dan memeluknya tak kalah erat.

Kata ‘terima kasih’ darinya membuatku tersentuh dan bahagia, karena aku tahu, ia mengucapkannya dengan kesungguhan hati, setelah merasakan kenikmatan yang kuberikan.

Caranya menjalani hubungan kami telah membuatku semakin sadar dan mengerti bahwa, keharmonisan yang tercipta diantara kami berdasarkan hal-hal kecil seperti ini.

Kebahagiaanku pun bertumbuh dan berkembang karena limpahan perhatian dan kasih sayangnya. Caranya memperlakukanku dalam keseharian kami bak seorang ratu membuatku semakin nyaman dan rela untuk melakukan apapun untuk membahagiakannya.

Aku bukanlah seorang remaja, bukan seorang gadis jelita yang sepadan dengan Pram, namun hanya seorang wanita biasa yang telah memiliki seorang putri, seorang ibu rumah tangga yang tengah berjalan menembus lorong kesendirian pasca kepergian sumiku karea perempuan lain.

Pram tidak memperdulikan semua itu dan tetap memperlakukanku seperti seorang putri. Ia menghormatiku dan dengan kesabaran penuh mendampingiku, menemaniku melewati keseharian.

Kegilaanku, kecintaanku pada seks pun berhasil diredam dan dikendalikannya. Aku tahu, ia tak ingin aku larut dalam dunia bebas hingga melupakan hal-hal penting lainnya. Ia bermaksud baik padaku.

“Kita langsung makan ya bu, saya laper.” kata Pram saat kami keluar dari kamar mandi.

“Iya, ibu juga laper.”

Buru-buru kami mengenakan pakaian dan langsung menuju ke meja makan.

“Untung ada sayang, jadi ada masak. Kalo ibu sendirian, pasti ibu lebih milih beli makan diluar.”

Menu makan malam sederhana buatan lelakiku menjadi santap malam yang istimewa bagi kami, apalagi rasa lapar yang mulai menyerang karena terlalu lama menghabiskan waktu dikamar mandi. Telur dadar, tahu dan tempe goreng, dan beberapa jenis sayuran rebus beserta sambel pun ludes dalam sekejab.

“Besok sayang ikut ibu pulang?” tanyaku sambil mencuci piring, sementara Pram berdiri disampingku.

“Besok saya gak ikut bu.”

“Saya harus mulai mengerjakan skripsi bu, mau mulai mengetik.” sambungnya.

“Iyaa.. gapapa kok, ibu senang sayang punya niat seperti itu.”

“Biar cepat selesai bu.”

“Oh iya, habis ini kita isi BBM buat mobil dulu ya, tadi ibu buru-buru pulang, jadi gak sempat mampir di SPBU.”

Pram mengangguk dan beralih ke meja makan, sementara aku membersihkan washtafel yang telah kugunakan untuk mencuci piring.



♡♡♡ Seri 13 TAMAT ♡♡♡

Sampai jumpa di seri selanjutnya

Terima kasih :rose:
 
Kurang panjang... Sebetulnya kalau dipindah ke cerbung bakal rame threat mbak Rin ini.
Maaf ya kalo kurang panjang :ampun: setiap seri itu udah ditarget minimal 12.000 karakter. Kalo lebih dari itu kayaknya berat bet eh.. gak mampu.

Kalo masuk cerbung sih kayaknya gak deh, disini aja cukup. Scara cerbung buat penulis2 handal. Saya mah anak bawang bang, baru lahir kemarin sore.. jadi mainnya disini aja dulu, sekalian belajar nulis..

Makasih bang :rose:
 
Gambar bergeraknya asik bgt. Vulgarnya gak barbar. Lebih ke sensual romantis.
Klo boleh tau minta sumber link-nya dong. 😁
 
Maaf ya kalo kurang panjang :ampun: setiap seri itu udah ditarget minimal 12.000 karakter. Kalo lebih dari itu kayaknya berat bet eh.. gak mampu.

Kalo masuk cerbung sih kayaknya gak deh, disini aja cukup. Scara cerbung buat penulis2 handal. Saya mah anak bawang bang, baru lahir kemarin sore.. jadi mainnya disini aja dulu, sekalian belajar nulis..

Makasih bang :rose:
Udah bagus kok penulisannya. Saya suka gaya tulisannya. Di cerbung banyak yg nggak bagus.
 
Part 4



Rindiani

“Hen.. kamu udah lama kerja dihotel?” tanyaku saat kami dalam perjalanan pulang.

“Sudah enam tahun bu.” jawabnya singkat sambil melirikku sekilas melalui kaca spion yang tergantung di bagian tengah kabin depan.

“Lama juga yaa..” gumanku pelan.

“Gimana, enak kerja disini?”

“Iya bu, enak. Saya betah kerja disini. Apalagi sejak ditangani bos yang baru.”

“Orangnya baik, ramah.”

“Oh ya..?”

“Iya bu. Jarang ada orang seperti bos kita. Udah baik, cantik, gak sombong juga.”

Aku mengangguk pelan, memahami apa yang Hendra utarakan. Perlakuan yang manusiawi, menghargai dan peduli terhadap bawahannya adalah kunci utama mengapa beliau begitu dikagumi dan disukai oleh mereka yang berada dibawahnya.

Sejauh ini, aku belum menemukan seorang pun yang tidak menyukainya, walaupun Bayu pernah mengatakan bahwa ada yang tidak begitu menyukainya. Suatu hal yang sangat wajar, jika ada beberapa individu diantara seratusan karyawan yang seperti itu.

Aku sendiri pun belum mengenalnya, belum mengetahui lebih dalam tentang pribadinya. Dari sedikit cerita yang telah aku dengar, aku yakin, atasanku adalah sosok yang menyenangkan dan profesional.

Sesampainya di hotel, kembali larut dalam duniaku, dengan membaca buku-buku yang telah dibeli lelakiku. Aku benar-benar ingin terjun seutuhnya kedalam pekerjaan ini. Tekadku adalah untuk mulai meningkatkan income hotel, setidaknya dalam waktu dekat.

Karena terlalu asik membaca, aku tak memperhatikan keadaan diluar ruanganku, apalagi meja kerjaku membelakangi jendela kaca. Kutepuk keningku saat melirik jam di dinding. Hampir jam enam sore.

“Astagaaaa…” gumanku pelan sambil buru-buru membereskan buku dan memasukaannya kedalam laci meja kerja.

Suasana senja akhir pekan nan indah terlukis di langit kota pelajar, namun aku sedang terburu-buru untuk pulang kerumah, sehingga mengabaikannya begitu saja. Ada hal yang lebih penting yang menungguku di rumah, Pram, Lelakiku.

Aku merasa bertanggung jawab terhadap hidupnya atas semua yang telah ia berikan, atas semua yang telah ia lakukan untukku, walaupun sesungguhnya kami bukanlah sepasang kekasih ataupun suami istri.

Aku telah berjanji pada diriku sendiri untuk tetap menjadikannya pusat kehidupanku, walaupun telah bekerja dan harus menghabiskan sebagian besar waktuku di kantor.

Kodratku sebagai wanita pun tak lepas dari hal tersebut, dimana aku harus tetap mengutamakan tanggung jawabku dirumah, sama halnya dengan peran istri pada umumnya.

Hampir satu jam berlalu, akhirnya aku tiba dirumah. Aroma harum masakan tercium jelas seiring langkahku menuju ke dapur.

“Sayangg… maaf ibu terlambat pulang.” Kataku saat Pram sedang menghidangkan makanan berupa lauk pauk di meja makan.

Pram tersenyum, lantas mendekat.

“Gapapa bu, saya ngerti kok.”

“Sekarang ibu mandi, habis itu kita makan.” gumannya sambil memegang pinggangku dengan kedua tangan.

“Maafff…” kataku lagi karena merasa tak enak hati padanya.

Pram memelukku erat lantas mengecup keningku.

“Ibu gak salah, dan gak perlu minta maaf.” katanya dengan lembut sambil mengusap pipiku.

“Terima kasih..” bisikku pelan sambil kembali memelukknya dengan sangat erat.

“Sayang sudah mandi?” tanyaku saat pelukan kami berakhir.

Pram mengangguk pelan lalu duduk di kursi meja makan.

“Ya udah, ibu mandi dulu ya.. makasih udah masak untuk makan malam kita.” kataku lagi.

Pram meraih jemariku dan menggengamnya.

“Sama-sama bu.” gumannya pelan lalu menyandarkan wajah di perutku.

“Masih wangi.. padahal belum mandi” katanya lagi.

“Iyaaaa.. tapi ibu belum mandi lhooo.. bajunya aja yang wangi, tapi badannya kan enggak wangi.”

“Masa sih..??” tanyanya sambil menengadah untuk menatapku sementara kedua tangannya menarik ujung rok panjang yang kukenakan.

Aku tertawa pelan melihat tingkah lelakiku. Ia pandai dalam menciptakan suasan romantis dan mesra, yang bisa mencairkan suasana sekaligus menambah keintiman dalam hubungan kami.

“Masih wangi..” gumannya pelan saat mencium sedikit bagian perutku.

“Ini juga masih wangi..” katanya lagi sambil mencium permukaan celana dalam G string yang menutupi kemaluanku.

“Eehhh… ibu belum mandi sayang..” kataku sambil berusaha menjauhkan kepalanya dari pangkal pahaku.

Pram mengabaikanku dan tetap membiarkan wajahnya berada dekat kemaluanku, hanya beberapa centi jaraknya dari vaginaku.

“Boleh..?” tanyanya sambil menengadah, menatapku, sementara satu tangannya mengusap lembut permukaan celana dalamku.

Aku mengangguk pelan dan kembali membelai rambutnya.

“Itu kan punya sayang.. jadi gak perlu minta ijin.”

Pram tersenyun, kamudian kain celana dalam itu kesamping dan mengusapnya.

“Bukan saya aja, tapi kayakna punya Nina juga.” gumannya pelan lalu berdiri, sementara jemarinya tetap memanjakan kemaluanku dengan usapan lembut.

Aku hanya bisa tersenyum dan tertunduk malu.

“Berarti ibu gak boleh main sama dia lagi?”

Pram menghela nafas, melepaskan tangannya dari pangkal pahaku dan membiarkan rok panjangku kembali terjuntai, menutupi tubuhku.

“Jujur.. ibu suka main sama Nina?” tanyanya sambil membelai lembut pipiku.

Aku hanya bisa mengangguk pelan karena malu.

“Ibu nyaman?” tanyanya lagi.

Sekali lagi, aku hanya bisa mengangguk pelan.

“Saya minta cukup dengan Nina saja ya bu, jangan ada yang lain lagi, apalagi laki-laki lain.”

“Saya tidak berhak untuk melarang atau mengatur privasi ibu, tapi saya hanya bisa menyarankan seperti itu.”

“Enggak.. sayang berhak untuk mengatur ibu.” bantahku.

Pram menggeleng pelan, lantas mengecup keningku.

“Saya bukan siapa-siapa. Saya dan ibu hanya bisa saling mengingatkan dan menjaga satu sama lain.”

“Enggak..” kataku lagi.

“Ibu menganggap kamu adalah laki-laki yang berhak atas hidup ibu. Dan itu adalah kemauan ibu. Ibu cuman punya sayang yang selama ini selalu mendampingi dan membantu ibu.”

“Iya, saya paham bu.” jawabnya singkat.

“Maka dari itu, ibu menganggap diri ibu, hidup ibu milik kamu.”

Pram memahami apa yang kukatakan, begitu juga sebaliknya. Percakapan singkat dan mendalam itu diakhiri dengan sebuah ciuman mesra. Pram mendekapku begitu erat, melumat bibirku dengan penuh rasa, pun begitu sebaliknya.

Keterbukaan hati dan kejujuran yang tercipta di antara kami seakan melapangkan jalan hubungan kedua hati. Pram memahami dan memaklumi sepenuhnya tentang apa dan bagaimana harus bersikap terhadapku.

Dimataku, aku tak memiliki apapun untuk kusembunyikan atau kurahasiakan darinya, karena bagiku Pram adalah sosok laki-laki yang kini berhak sepenuhnya atas hidupku. Di lain sisi, aku pun menyadari bahwa aku tak bisa, tidak layak untuk mengatur kehidupannya.

Ada rasa khawatir, cemas jika akhirnya Pram menghilang dari hari-hariku karena wanita lain, namun, tentu saja aku tidak bisa mencegah, apalagi melarangnya jika ia melakukannya atas kemauan hatinya.

Pengalaman pahit kehilangan suami telah mengajariku tentang situasi seperti ini, dan aku tak bisa berbuat banyak selain mengikhlaskan, merelakannya.

Jauh di lubuk hatiku, aku yakin lelakiku bukanlah tipe lelaki pengkhianat seperti itu. Pram adalah sosok unik yang aku yakin, tidak akan pernah menyakitiku, tidak akan pernah melukai hatiku.

Dewi, Nina dan entah siapa lagi yang pernah mengenal dan dekat dengannya telah merasakan hal tersebut, begitu juga denganku.

“Ya udah, ibu mandi dulu ya..” kataku setelah pelukan kami terlepas.

Pram mengangguk, lantas merangkul pinggang dan melangkah bersamaku menuju ke kamar tidur.

“Sayang tiduran aja, istirahat sambil nungguin ibu mandi. Atau, kalo udah laper, sayang makan duluan gapapa.” Kataku sambil melucuti seluruh pakaian yang melekat ditubuhku.

Pram tersenyum sambil menggelengkan kepala, lantas menjatuhkan tubuh diatas kasur.

“Enggak. Nungguin ibu aja biar nanti makan bareng.”

Aku tengah menikmati guyuran air yang menaglir dari shower ketika Pram muncul didepan pintu kamar mandi. Ia tersenyum sambil melangkah mendekati dengan tubuh telanjang. Kemaluannya telah mengeras, berdiri tegak dengan perkasa.

“Katanya udah mandi?”

“Pengen mandi lagi, bareng ibu.”

Aku segera menarik lengannya agar lebih dekat denganku, bergabung bersamaku dibawah guyuran shower.

“Keras banget.” bisikku sambil meremas penisnya.

Pram tak berkata apapun, namun segera melumat bibirku dengan lembut. Aku yakin, lelakiku sedang ingin bercinta karena tak seperti biasanya, ia melakukan hal seperti ini.

Kupejamkan mata, menikmati kuluman bibirnya yang hangat dan sangat memanjakan itu. Satu tanganku segera melingkar dilehernya, sementara penisnya kumanjakan dengan kocokan pelan.

Tak sampai satu menit, lidahnya mulai menjalar, menelusuri leherku hingga ke bagian pundak. Kedua tangannya pun mulai ikut bermain, meremas kedua payudaraku dengan lembut.

Rangsangan yang ia berikan cukup membuaiku, membuatku terlena hingga mulai mendesah.

Perlahan, deru nafas lelakiku pun mulai memburu, seiring dengan detak jantungnya yang seolah sedang berpacu karena kocokan tanganku di penisnya pun semakin cepat.

Satu tanganku bergerak, mengarahkan kepalanya ke bagian dadaku, karena aku menginginkan lidahnya, bibirnya, mengerjai payudaraku. Pram pun menuruti keinginanku dan segera mengulum kedua putingku secara bergantian.

Yang mampu kulakukan hanyalah menggigit bibirku sendiri demi meredam rintihan dan desahan yang seakan ingin meledak.

Hisapannya terasa begitu kuat, membuat lututku gemetar karena rasa nikmat yang hebat. Sambil menikmati permainannya yang panas dan liar, satu tanganku bergerak turun, mempermainkan kemaluanku sendiri, sementara satu tanganku yang lain terus saja mengocok penisnya, membuatnya semakin liar dan buas dalam mengerjaiku. Aku benar-benar menikmatinya.

Beberapa saat berlalu dan sekujur dadaku telah dipenuhi oleh jejak-jejak kemerahan bekas hisapannya. Pram nampak begitu bernafsu, sangat buas, tak seperti hari-hari sebelumnya.

Sambil menghisap satu putingku, jemarinya memilin puting yang lain. Tentu saja aku sedikit kewalahan dalam menghadapi permainannya, apalagi kami melakukannya dalam posisi berdiri.

Semakin lama, lidahnya semakin bergerak menjauh, turun ke ke bagian perutku, dan terus bergerak liar hingga akhirnya ia bersimpuh. Aku tahu, ia akan melahap kemaluanku, ia akan menikmati vaginaku, seperti sebelum-sebelumnya.

Dengan perlahan jemarinya membuka bibir kemaluanku lalu memandanginya sesaat dan akhirnya langsung menjilatinya.

Tubuhku tersentak, di iringi rintihan yang mengalun pelan dari mulutku. Hisapan demi hisapan menghujani clitorisku, membuatku merinding, menggelinjang.

Inilah salah satu hal yang paling kusukai dari lelakiku, dimana ia sangat pandai dalam merangsangku, bahkan mampu membuatku orgasme tanpa harus menyetubuhiku. Aku begitu tergila-gila dengan permainan oralnya, suatu hal baru bagiku karena belum pernah merasakannya saat bersama suamiku.

Pram terlihat begitu terbuai, begitu menikmatinya, bahkan bibir kemaluanku pun dikulum, dihisap, layaknya sedang berciuman. Sudah barang tentu permainannya membuat cairan lubrikasi keluar dari vaginaku, membuatnya semakin licin dan memudahkan lidahnya untuk bergerak liar.

Sadar dengan keadaan tubuhku yang tak berdaya dan kepayahan dalam menahan permainannya, Pram menuntunku untuk bersandar di dinding, dan kembali membuka lebar kedua pahaku agar memberinya ruang untuk bergerak lebih leluasa dalam mengerjai vaginaku.

“Sayang… dikocokin..” gumanku lirih sambil mengusap rambutnya.

Pram memandangku sejenak sambil tersenyum, sementara satu tangannya mengusap kemaluanku. Kutundukkan tubuh dan segera melumat bibirnya dengan buas.

Aroma cairan dari kemaluanku tercium kuat, namun aku tak memperdulikannya. Aku telah terbiasa dengan aroma kenikmatan tersebut, bahkan telah berkali-kali mencicipinya, menelannya.

Hampir atu menit kami saling melumat bibir, sementara kedua payudaraku yang menggantung dihadapannya diremas, dipilin kedua putingnya dengan sedikit kasar. Tidak ada rasa sakit yang tercipta, melainkan birahi yang semakin bergejolak, semakin terbakar akibat perlakuan kasarnya.

Setelah melepaskan pagutan bibir, Pram kembali mengalihkan pandangannya ke arah pangkal pahaku. Tanpa membuang waktu, lidahnya kembali menjalar disana, bergerak bebas diantara bibir kemaluanku, menyapu bersih cairan yang keluar dari tubuhku.

Dan akhirnya, ia mengabulkan permintaanku ketika dua jarinya mulai bergerak masuk, menerobos celah sempit kemaluanku dan terus menusuk hingga kedua jari itu tenggelam sempurna dalam liang kenikmatanku.

Pram benar-benar memahami dan mengerti sepenuhnya tentang diriku. Apa yang ia lalukan terhadap kemaluanku menjadi pemandangan yang sangat menggairahkan, sangat memanjakan mataku.

Sebelumnya, saat masih menjalani rumah tangga bersama suamiku, sangat jarang bagiku untuk melihatnya mengerjaiku karena aku lebih memilih untuk memejamkan mata. Berbeda dengan yang terjadi saat aku melakukannya bersama Pram, dimana aku menjadi ketagihan, dan sangat menyukai pemandangan erotis seperti ini. Hal ini semakin membuatku bernafsu, dan tentu saja semakin mempercepat orgasmeku.

Sambil menghisap clitoris, dan mempermainkannya dengan ujung lidah, kedua jemarinya yang tertanam dalam liang kemaluanku mulai bergerak-gerak, menyentuh area disekitarnya. Hal ini menimbulkan rasa geli, rasa nikmat yang belipat ganda, terutama saat ia menyentuh G-spot, salah satu titik sensitif yang terletak dibagian dalam kemaluan wanita.


Sesekali tubuhku tersentak secara reflek saat jemarinya menyentuh titik tersebut, apalagi disaat bersamaan, clitorisku pun menjadi bulan-bulanan bibir dan lidahnya.

Aku benar-benar dibuatnya mabuk kepayang, terlalut dalam kubangan gejolak nafsu, hingga tanpa sadar kuremas kedua payudaraku, dan mempernainkan kedua putingku.

Tak lama berselang, tak sampai tiga menit kemudian, rangsangan hebat disekujur tubuhku pun berbuah orgasme hebat. Aku segera melepaskan payudara dan menjambak rambut lelakiku, mendesakkannya ke arah pangkal pahaku dengan sangat kuat.

Pram lelakiku hanya bisa berpasrah dan mengikuti kemauanku. Orgasme itu disertai dengan keluarnya air seni, mengalir melalui celah yang tercipta diantara pangkal paha dan wajah lelakiku yang menepel erat disana.

Aku benar-benar tak menyadari, benar-benar lupa segalanya sehingga melakukan hal tersebut.

Badai orgameku pun perlahan mereda setelah beberapa saat, disertai semakin melemahnya cengkraman jemariku pada kepala Pram. Lemah tak bertenaga, akhirnya kusandarkan tubuh sepenuhnya di dinding, sementara Pram menjauhkan kepalanya dari pangkal pahaku, pun begitu dengan kedua jarinya.

Mataku terpejam sempurna menikmati saat-saat indah itu, meresapinya hingga akhirnya nikmat itu mereda perlahan dan menghilang.

Kubuka mataku perlahan dan melihat lelakiku tersenyum. Ia pun bangkit berdiri dan segera memelukku dengan sangat erat. Aroma air seniku tercium dari sekujur tubuhnya.

“Maaaffff…” gumanku pelan sambil memelukknya erat.

“Kok maaf?” tanyanya heran.

“Ibu pipisin sayang..” balasku sambil menyembunyikan wajah dibelakang lehernya.

Pram tertawa, lantas meremas lembut kedua pantatku.

“Gapapa kok bu..” jawabnya singkat.

“Ibu gak sengaja.. keenakan.. jadinya lupa.”

“Sempet keminum?” tanyaku.

Pram mengangguk pelan. “Dikit..”

Aku tersenyum malu, dan kembali menyembunyikan wajah dibelakang lehernya.

“Rada asin..” sambungnya lagi.

“Udaahhh.. jangan dibahas.. maaluuuu.” protesku.

Pram semakin tertawa dan mempererat pelukannya. Hampir dua menit lamanya kami berpelukan mesra, hingga akhirnya ia mengecup keningku dan mengajakku kembali berdiri dibawah guyuran shower untuk melanjutkan mandi.

“Tadi ibu lupa waktu karena keenakan baca buku yang tadi kita beli.”

“Pas lihat jam, tau-tau udah jam enam.” sambungku.

“Yang penting ibu gak lupa makan siang, dan gak lupa saya bu.” balasnya sambil mengusapi sabun di punggungku.

Aku tertawa mendengar ucapannya, lantas menjulurkan tangan ke belakang dan meraih penisnya.

“Ya gak mungkin lupa kalo sama sayang..” balasku sambil meremas lembut kemaluannya.

“Apalagi sama ini..” sambungku sambil menoleh ke samping, memandang wajahnya, sementara tanganku memanjakan penisnya dengan kocokan pelan.


Seketika, perlakuanku padanya berbuah manis. Pram mendekatkan wajah dan kembali melumat bibirku.

Walaupun baru saja menikmati orgasme hebat, nafsu birahi kembali melingkupiku, apalagi aku belum merasakan keperkasaan penisnya di liang kenikmatanku.

Kedua tangannya kembali bermain di dadaku, meremasnya, memilin kedua putingku. Pundak dan sisi leherku pun dihujaninya dengan kecupan, hingga memantik nafsuku untuk kian berkobar.

Aku segera memutar tubuh untuk berhadapan dengannya dan kembali melumat bibirnya, sementara satu tanganku mengocok penisnya yang tegang sempurna. Hanya sesaat saling melumat bibir, aku bersimpuh di hadapannya dan langsung mengoralnya.

Kepala penisnya pun menjadi bulan-bulanan lidahku, sementara jemariku dengan lincah mengocok bagian batangnya. Pram mendesah dengan mata terpejam. Ia larut dalam kenikmatan yang kuberikan.

Sesekali ia menengadah sambil mengembuskan bafas yang tersengar berat. Melihatnya sangat menikmati permainan ini membuatku semakin bergairah. Dan seperti biasa, aku selalu memberi hal yang ia sukai, yaitu deepthroat.

Ia tak perlu meminta hal tersebut karena aku tahu, ia sangat menyukainya. Segera saja penisnya meluncur masuk kedalam mulutku hingga nyaris menyentuh kerongkonganku.

Pram mendesis dengan mata terpejam. Kedua tangannya menjambak rambutku dan menahan kepalaku hingga beberapa saat. Ketika ia menarik mundur pinggulnya, hembusan panjang nafasnya pun mengalun lembut.

Terdengar erotis dan memanjakan telingaku. Belum sempat penis itu keluar sempurna dari mulutku, aku segera memajukan kepala dengan gerakan cepat dan kembali menenggelamkan penisnya dalam mulutku. Tubuh lelakiku tersentak karena terkejut dengan permainanku, ia mengerang, mendesah pelan sambil memegang kepalaku.

Berkali-kali aku melakukan hal itu, dan tak mengendurkan kecepatan gerakan kepalaku hingga air liur menetes, membasahi sekujur dadaku. Selama itu pula lelakiku mengerang, mendesah sejadi-jadinya karena terpaan gelombang kenikmatan yang kuciptakan.

Kedua tanganku mencengkram erat pantatnya, dan dengan kasar memaksa pinggulnya untuk bergerak maju dan mundur, menyetubuhi mulutku, berkali-kali, berulang-ulang.

Tak sampai lima menit kemudian, kedua tangannya berusaha menjauhkan kepaalaku dari pangkal pahanya, namun aku menolaknya. Aku tetap bersikukuh melakukan hal itu, hingga akhirnya Pram mencapai orgasmenya.

Kedua pahanya menegang, kepalanya menengadah ke langit-langit kamar mandi dengan mata terpejam. Hembusan nafas nan panjang menyertai semburan sperma dalam jumlah besar kedalam mulutku.

Dan seperti biasanya, aku tak pernah menyia-nyiakan cairan kenikmatan lelakiku itu. Kulahap seluruhnya, kutelan tanpa rasa jijik sedikitpun.

Hampir satu menit berlalu, perlahan kukendurkan permainanku dengan memanjakan penisnya yang perlahan mulai melemas pasca semburan spermanya. Kuluman dan hisapan tetap kuberikan untuk memanjakannya hingga beberapa saat lamanya.

Dan ketika kurasakan telah cukup, akhirnya kulepaskan cengkraman bibirku dari penisnya sambil tersenyum pada Pram yang tengah menatap dan membelai rambutku. Sebuah kecupan lembut kuberikan tepat di ujung penisnya, sebelum akhirnya kembali berdiri.

Pram segera menyambut tubuhku dengan pelukan yang sangat erat.

“Makasih bu.” bisiknya lembut.

“Iya, sama-sama sayang.” balasku sambil mengecup pipinya dan memeluknya tak kalah erat.

Kata ‘terima kasih’ darinya membuatku tersentuh dan bahagia, karena aku tahu, ia mengucapkannya dengan kesungguhan hati, setelah merasakan kenikmatan yang kuberikan.

Caranya menjalani hubungan kami telah membuatku semakin sadar dan mengerti bahwa, keharmonisan yang tercipta diantara kami berdasarkan hal-hal kecil seperti ini.

Kebahagiaanku pun bertumbuh dan berkembang karena limpahan perhatian dan kasih sayangnya. Caranya memperlakukanku dalam keseharian kami bak seorang ratu membuatku semakin nyaman dan rela untuk melakukan apapun untuk membahagiakannya.

Aku bukanlah seorang remaja, bukan seorang gadis jelita yang sepadan dengan Pram, namun hanya seorang wanita biasa yang telah memiliki seorang putri, seorang ibu rumah tangga yang tengah berjalan menembus lorong kesendirian pasca kepergian sumiku karea perempuan lain.

Pram tidak memperdulikan semua itu dan tetap memperlakukanku seperti seorang putri. Ia menghormatiku dan dengan kesabaran penuh mendampingiku, menemaniku melewati keseharian.

Kegilaanku, kecintaanku pada seks pun berhasil diredam dan dikendalikannya. Aku tahu, ia tak ingin aku larut dalam dunia bebas hingga melupakan hal-hal penting lainnya. Ia bermaksud baik padaku.

“Kita langsung makan ya bu, saya laper.” kata Pram saat kami keluar dari kamar mandi.

“Iya, ibu juga laper.”

Buru-buru kami mengenakan pakaian dan langsung menuju ke meja makan.

“Untung ada sayang, jadi ada masak. Kalo ibu sendirian, pasti ibu lebih milih beli makan diluar.”

Menu makan malam sederhana buatan lelakiku menjadi santap malam yang istimewa bagi kami, apalagi rasa lapar yang mulai menyerang karena terlalu lama menghabiskan waktu dikamar mandi. Telur dadar, tahu dan tempe goreng, dan beberapa jenis sayuran rebus beserta sambel pun ludes dalam sekejab.

“Besok sayang ikut ibu pulang?” tanyaku sambil mencuci piring, sementara Pram berdiri disampingku.

“Besok saya gak ikut bu.”

“Saya harus mulai mengerjakan skripsi bu, mau mulai mengetik.” sambungnya.

“Iyaa.. gapapa kok, ibu senang sayang punya niat seperti itu.”

“Biar cepat selesai bu.”

“Oh iya, habis ini kita isi BBM buat mobil dulu ya, tadi ibu buru-buru pulang, jadi gak sempat mampir di SPBU.”

Pram mengangguk dan beralih ke meja makan, sementara aku membersihkan washtafel yang telah kugunakan untuk mencuci piring.



♡♡♡ Seri 13 TAMAT ♡♡♡

Sampai jumpa di seri selanjutnya

Terima kasih :rose:
Makasih sistaaà suhuuu
 
Bimabet
Part 4



Rindiani

“Hen.. kamu udah lama kerja dihotel?” tanyaku saat kami dalam perjalanan pulang.

“Sudah enam tahun bu.” jawabnya singkat sambil melirikku sekilas melalui kaca spion yang tergantung di bagian tengah kabin depan.

“Lama juga yaa..” gumanku pelan.

“Gimana, enak kerja disini?”

“Iya bu, enak. Saya betah kerja disini. Apalagi sejak ditangani bos yang baru.”

“Orangnya baik, ramah.”

“Oh ya..?”

“Iya bu. Jarang ada orang seperti bos kita. Udah baik, cantik, gak sombong juga.”

Aku mengangguk pelan, memahami apa yang Hendra utarakan. Perlakuan yang manusiawi, menghargai dan peduli terhadap bawahannya adalah kunci utama mengapa beliau begitu dikagumi dan disukai oleh mereka yang berada dibawahnya.

Sejauh ini, aku belum menemukan seorang pun yang tidak menyukainya, walaupun Bayu pernah mengatakan bahwa ada yang tidak begitu menyukainya. Suatu hal yang sangat wajar, jika ada beberapa individu diantara seratusan karyawan yang seperti itu.

Aku sendiri pun belum mengenalnya, belum mengetahui lebih dalam tentang pribadinya. Dari sedikit cerita yang telah aku dengar, aku yakin, atasanku adalah sosok yang menyenangkan dan profesional.

Sesampainya di hotel, kembali larut dalam duniaku, dengan membaca buku-buku yang telah dibeli lelakiku. Aku benar-benar ingin terjun seutuhnya kedalam pekerjaan ini. Tekadku adalah untuk mulai meningkatkan income hotel, setidaknya dalam waktu dekat.

Karena terlalu asik membaca, aku tak memperhatikan keadaan diluar ruanganku, apalagi meja kerjaku membelakangi jendela kaca. Kutepuk keningku saat melirik jam di dinding. Hampir jam enam sore.

“Astagaaaa…” gumanku pelan sambil buru-buru membereskan buku dan memasukaannya kedalam laci meja kerja.

Suasana senja akhir pekan nan indah terlukis di langit kota pelajar, namun aku sedang terburu-buru untuk pulang kerumah, sehingga mengabaikannya begitu saja. Ada hal yang lebih penting yang menungguku di rumah, Pram, Lelakiku.

Aku merasa bertanggung jawab terhadap hidupnya atas semua yang telah ia berikan, atas semua yang telah ia lakukan untukku, walaupun sesungguhnya kami bukanlah sepasang kekasih ataupun suami istri.

Aku telah berjanji pada diriku sendiri untuk tetap menjadikannya pusat kehidupanku, walaupun telah bekerja dan harus menghabiskan sebagian besar waktuku di kantor.

Kodratku sebagai wanita pun tak lepas dari hal tersebut, dimana aku harus tetap mengutamakan tanggung jawabku dirumah, sama halnya dengan peran istri pada umumnya.

Hampir satu jam berlalu, akhirnya aku tiba dirumah. Aroma harum masakan tercium jelas seiring langkahku menuju ke dapur.

“Sayangg… maaf ibu terlambat pulang.” Kataku saat Pram sedang menghidangkan makanan berupa lauk pauk di meja makan.

Pram tersenyum, lantas mendekat.

“Gapapa bu, saya ngerti kok.”

“Sekarang ibu mandi, habis itu kita makan.” gumannya sambil memegang pinggangku dengan kedua tangan.

“Maafff…” kataku lagi karena merasa tak enak hati padanya.

Pram memelukku erat lantas mengecup keningku.

“Ibu gak salah, dan gak perlu minta maaf.” katanya dengan lembut sambil mengusap pipiku.

“Terima kasih..” bisikku pelan sambil kembali memelukknya dengan sangat erat.

“Sayang sudah mandi?” tanyaku saat pelukan kami berakhir.

Pram mengangguk pelan lalu duduk di kursi meja makan.

“Ya udah, ibu mandi dulu ya.. makasih udah masak untuk makan malam kita.” kataku lagi.

Pram meraih jemariku dan menggengamnya.

“Sama-sama bu.” gumannya pelan lalu menyandarkan wajah di perutku.

“Masih wangi.. padahal belum mandi” katanya lagi.

“Iyaaaa.. tapi ibu belum mandi lhooo.. bajunya aja yang wangi, tapi badannya kan enggak wangi.”

“Masa sih..??” tanyanya sambil menengadah untuk menatapku sementara kedua tangannya menarik ujung rok panjang yang kukenakan.

Aku tertawa pelan melihat tingkah lelakiku. Ia pandai dalam menciptakan suasan romantis dan mesra, yang bisa mencairkan suasana sekaligus menambah keintiman dalam hubungan kami.

“Masih wangi..” gumannya pelan saat mencium sedikit bagian perutku.

“Ini juga masih wangi..” katanya lagi sambil mencium permukaan celana dalam G string yang menutupi kemaluanku.

“Eehhh… ibu belum mandi sayang..” kataku sambil berusaha menjauhkan kepalanya dari pangkal pahaku.

Pram mengabaikanku dan tetap membiarkan wajahnya berada dekat kemaluanku, hanya beberapa centi jaraknya dari vaginaku.

“Boleh..?” tanyanya sambil menengadah, menatapku, sementara satu tangannya mengusap lembut permukaan celana dalamku.

Aku mengangguk pelan dan kembali membelai rambutnya.

“Itu kan punya sayang.. jadi gak perlu minta ijin.”

Pram tersenyun, kamudian kain celana dalam itu kesamping dan mengusapnya.

“Bukan saya aja, tapi kayakna punya Nina juga.” gumannya pelan lalu berdiri, sementara jemarinya tetap memanjakan kemaluanku dengan usapan lembut.

Aku hanya bisa tersenyum dan tertunduk malu.

“Berarti ibu gak boleh main sama dia lagi?”

Pram menghela nafas, melepaskan tangannya dari pangkal pahaku dan membiarkan rok panjangku kembali terjuntai, menutupi tubuhku.

“Jujur.. ibu suka main sama Nina?” tanyanya sambil membelai lembut pipiku.

Aku hanya bisa mengangguk pelan karena malu.

“Ibu nyaman?” tanyanya lagi.

Sekali lagi, aku hanya bisa mengangguk pelan.

“Saya minta cukup dengan Nina saja ya bu, jangan ada yang lain lagi, apalagi laki-laki lain.”

“Saya tidak berhak untuk melarang atau mengatur privasi ibu, tapi saya hanya bisa menyarankan seperti itu.”

“Enggak.. sayang berhak untuk mengatur ibu.” bantahku.

Pram menggeleng pelan, lantas mengecup keningku.

“Saya bukan siapa-siapa. Saya dan ibu hanya bisa saling mengingatkan dan menjaga satu sama lain.”

“Enggak..” kataku lagi.

“Ibu menganggap kamu adalah laki-laki yang berhak atas hidup ibu. Dan itu adalah kemauan ibu. Ibu cuman punya sayang yang selama ini selalu mendampingi dan membantu ibu.”

“Iya, saya paham bu.” jawabnya singkat.

“Maka dari itu, ibu menganggap diri ibu, hidup ibu milik kamu.”

Pram memahami apa yang kukatakan, begitu juga sebaliknya. Percakapan singkat dan mendalam itu diakhiri dengan sebuah ciuman mesra. Pram mendekapku begitu erat, melumat bibirku dengan penuh rasa, pun begitu sebaliknya.

Keterbukaan hati dan kejujuran yang tercipta di antara kami seakan melapangkan jalan hubungan kedua hati. Pram memahami dan memaklumi sepenuhnya tentang apa dan bagaimana harus bersikap terhadapku.

Dimataku, aku tak memiliki apapun untuk kusembunyikan atau kurahasiakan darinya, karena bagiku Pram adalah sosok laki-laki yang kini berhak sepenuhnya atas hidupku. Di lain sisi, aku pun menyadari bahwa aku tak bisa, tidak layak untuk mengatur kehidupannya.

Ada rasa khawatir, cemas jika akhirnya Pram menghilang dari hari-hariku karena wanita lain, namun, tentu saja aku tidak bisa mencegah, apalagi melarangnya jika ia melakukannya atas kemauan hatinya.

Pengalaman pahit kehilangan suami telah mengajariku tentang situasi seperti ini, dan aku tak bisa berbuat banyak selain mengikhlaskan, merelakannya.

Jauh di lubuk hatiku, aku yakin lelakiku bukanlah tipe lelaki pengkhianat seperti itu. Pram adalah sosok unik yang aku yakin, tidak akan pernah menyakitiku, tidak akan pernah melukai hatiku.

Dewi, Nina dan entah siapa lagi yang pernah mengenal dan dekat dengannya telah merasakan hal tersebut, begitu juga denganku.

“Ya udah, ibu mandi dulu ya..” kataku setelah pelukan kami terlepas.

Pram mengangguk, lantas merangkul pinggang dan melangkah bersamaku menuju ke kamar tidur.

“Sayang tiduran aja, istirahat sambil nungguin ibu mandi. Atau, kalo udah laper, sayang makan duluan gapapa.” Kataku sambil melucuti seluruh pakaian yang melekat ditubuhku.

Pram tersenyum sambil menggelengkan kepala, lantas menjatuhkan tubuh diatas kasur.

“Enggak. Nungguin ibu aja biar nanti makan bareng.”

Aku tengah menikmati guyuran air yang menaglir dari shower ketika Pram muncul didepan pintu kamar mandi. Ia tersenyum sambil melangkah mendekati dengan tubuh telanjang. Kemaluannya telah mengeras, berdiri tegak dengan perkasa.

“Katanya udah mandi?”

“Pengen mandi lagi, bareng ibu.”

Aku segera menarik lengannya agar lebih dekat denganku, bergabung bersamaku dibawah guyuran shower.

“Keras banget.” bisikku sambil meremas penisnya.

Pram tak berkata apapun, namun segera melumat bibirku dengan lembut. Aku yakin, lelakiku sedang ingin bercinta karena tak seperti biasanya, ia melakukan hal seperti ini.

Kupejamkan mata, menikmati kuluman bibirnya yang hangat dan sangat memanjakan itu. Satu tanganku segera melingkar dilehernya, sementara penisnya kumanjakan dengan kocokan pelan.

Tak sampai satu menit, lidahnya mulai menjalar, menelusuri leherku hingga ke bagian pundak. Kedua tangannya pun mulai ikut bermain, meremas kedua payudaraku dengan lembut.

Rangsangan yang ia berikan cukup membuaiku, membuatku terlena hingga mulai mendesah.

Perlahan, deru nafas lelakiku pun mulai memburu, seiring dengan detak jantungnya yang seolah sedang berpacu karena kocokan tanganku di penisnya pun semakin cepat.

Satu tanganku bergerak, mengarahkan kepalanya ke bagian dadaku, karena aku menginginkan lidahnya, bibirnya, mengerjai payudaraku. Pram pun menuruti keinginanku dan segera mengulum kedua putingku secara bergantian.

Yang mampu kulakukan hanyalah menggigit bibirku sendiri demi meredam rintihan dan desahan yang seakan ingin meledak.

Hisapannya terasa begitu kuat, membuat lututku gemetar karena rasa nikmat yang hebat. Sambil menikmati permainannya yang panas dan liar, satu tanganku bergerak turun, mempermainkan kemaluanku sendiri, sementara satu tanganku yang lain terus saja mengocok penisnya, membuatnya semakin liar dan buas dalam mengerjaiku. Aku benar-benar menikmatinya.

Beberapa saat berlalu dan sekujur dadaku telah dipenuhi oleh jejak-jejak kemerahan bekas hisapannya. Pram nampak begitu bernafsu, sangat buas, tak seperti hari-hari sebelumnya.

Sambil menghisap satu putingku, jemarinya memilin puting yang lain. Tentu saja aku sedikit kewalahan dalam menghadapi permainannya, apalagi kami melakukannya dalam posisi berdiri.

Semakin lama, lidahnya semakin bergerak menjauh, turun ke ke bagian perutku, dan terus bergerak liar hingga akhirnya ia bersimpuh. Aku tahu, ia akan melahap kemaluanku, ia akan menikmati vaginaku, seperti sebelum-sebelumnya.

Dengan perlahan jemarinya membuka bibir kemaluanku lalu memandanginya sesaat dan akhirnya langsung menjilatinya.

Tubuhku tersentak, di iringi rintihan yang mengalun pelan dari mulutku. Hisapan demi hisapan menghujani clitorisku, membuatku merinding, menggelinjang.

Inilah salah satu hal yang paling kusukai dari lelakiku, dimana ia sangat pandai dalam merangsangku, bahkan mampu membuatku orgasme tanpa harus menyetubuhiku. Aku begitu tergila-gila dengan permainan oralnya, suatu hal baru bagiku karena belum pernah merasakannya saat bersama suamiku.

Pram terlihat begitu terbuai, begitu menikmatinya, bahkan bibir kemaluanku pun dikulum, dihisap, layaknya sedang berciuman. Sudah barang tentu permainannya membuat cairan lubrikasi keluar dari vaginaku, membuatnya semakin licin dan memudahkan lidahnya untuk bergerak liar.

Sadar dengan keadaan tubuhku yang tak berdaya dan kepayahan dalam menahan permainannya, Pram menuntunku untuk bersandar di dinding, dan kembali membuka lebar kedua pahaku agar memberinya ruang untuk bergerak lebih leluasa dalam mengerjai vaginaku.

“Sayang… dikocokin..” gumanku lirih sambil mengusap rambutnya.

Pram memandangku sejenak sambil tersenyum, sementara satu tangannya mengusap kemaluanku. Kutundukkan tubuh dan segera melumat bibirnya dengan buas.

Aroma cairan dari kemaluanku tercium kuat, namun aku tak memperdulikannya. Aku telah terbiasa dengan aroma kenikmatan tersebut, bahkan telah berkali-kali mencicipinya, menelannya.

Hampir atu menit kami saling melumat bibir, sementara kedua payudaraku yang menggantung dihadapannya diremas, dipilin kedua putingnya dengan sedikit kasar. Tidak ada rasa sakit yang tercipta, melainkan birahi yang semakin bergejolak, semakin terbakar akibat perlakuan kasarnya.

Setelah melepaskan pagutan bibir, Pram kembali mengalihkan pandangannya ke arah pangkal pahaku. Tanpa membuang waktu, lidahnya kembali menjalar disana, bergerak bebas diantara bibir kemaluanku, menyapu bersih cairan yang keluar dari tubuhku.

Dan akhirnya, ia mengabulkan permintaanku ketika dua jarinya mulai bergerak masuk, menerobos celah sempit kemaluanku dan terus menusuk hingga kedua jari itu tenggelam sempurna dalam liang kenikmatanku.

Pram benar-benar memahami dan mengerti sepenuhnya tentang diriku. Apa yang ia lalukan terhadap kemaluanku menjadi pemandangan yang sangat menggairahkan, sangat memanjakan mataku.

Sebelumnya, saat masih menjalani rumah tangga bersama suamiku, sangat jarang bagiku untuk melihatnya mengerjaiku karena aku lebih memilih untuk memejamkan mata. Berbeda dengan yang terjadi saat aku melakukannya bersama Pram, dimana aku menjadi ketagihan, dan sangat menyukai pemandangan erotis seperti ini. Hal ini semakin membuatku bernafsu, dan tentu saja semakin mempercepat orgasmeku.

Sambil menghisap clitoris, dan mempermainkannya dengan ujung lidah, kedua jemarinya yang tertanam dalam liang kemaluanku mulai bergerak-gerak, menyentuh area disekitarnya. Hal ini menimbulkan rasa geli, rasa nikmat yang belipat ganda, terutama saat ia menyentuh G-spot, salah satu titik sensitif yang terletak dibagian dalam kemaluan wanita.


Sesekali tubuhku tersentak secara reflek saat jemarinya menyentuh titik tersebut, apalagi disaat bersamaan, clitorisku pun menjadi bulan-bulanan bibir dan lidahnya.

Aku benar-benar dibuatnya mabuk kepayang, terlalut dalam kubangan gejolak nafsu, hingga tanpa sadar kuremas kedua payudaraku, dan mempernainkan kedua putingku.

Tak lama berselang, tak sampai tiga menit kemudian, rangsangan hebat disekujur tubuhku pun berbuah orgasme hebat. Aku segera melepaskan payudara dan menjambak rambut lelakiku, mendesakkannya ke arah pangkal pahaku dengan sangat kuat.

Pram lelakiku hanya bisa berpasrah dan mengikuti kemauanku. Orgasme itu disertai dengan keluarnya air seni, mengalir melalui celah yang tercipta diantara pangkal paha dan wajah lelakiku yang menepel erat disana.

Aku benar-benar tak menyadari, benar-benar lupa segalanya sehingga melakukan hal tersebut.

Badai orgameku pun perlahan mereda setelah beberapa saat, disertai semakin melemahnya cengkraman jemariku pada kepala Pram. Lemah tak bertenaga, akhirnya kusandarkan tubuh sepenuhnya di dinding, sementara Pram menjauhkan kepalanya dari pangkal pahaku, pun begitu dengan kedua jarinya.

Mataku terpejam sempurna menikmati saat-saat indah itu, meresapinya hingga akhirnya nikmat itu mereda perlahan dan menghilang.

Kubuka mataku perlahan dan melihat lelakiku tersenyum. Ia pun bangkit berdiri dan segera memelukku dengan sangat erat. Aroma air seniku tercium dari sekujur tubuhnya.

“Maaaffff…” gumanku pelan sambil memelukknya erat.

“Kok maaf?” tanyanya heran.

“Ibu pipisin sayang..” balasku sambil menyembunyikan wajah dibelakang lehernya.

Pram tertawa, lantas meremas lembut kedua pantatku.

“Gapapa kok bu..” jawabnya singkat.

“Ibu gak sengaja.. keenakan.. jadinya lupa.”

“Sempet keminum?” tanyaku.

Pram mengangguk pelan. “Dikit..”

Aku tersenyum malu, dan kembali menyembunyikan wajah dibelakang lehernya.

“Rada asin..” sambungnya lagi.

“Udaahhh.. jangan dibahas.. maaluuuu.” protesku.

Pram semakin tertawa dan mempererat pelukannya. Hampir dua menit lamanya kami berpelukan mesra, hingga akhirnya ia mengecup keningku dan mengajakku kembali berdiri dibawah guyuran shower untuk melanjutkan mandi.

“Tadi ibu lupa waktu karena keenakan baca buku yang tadi kita beli.”

“Pas lihat jam, tau-tau udah jam enam.” sambungku.

“Yang penting ibu gak lupa makan siang, dan gak lupa saya bu.” balasnya sambil mengusapi sabun di punggungku.

Aku tertawa mendengar ucapannya, lantas menjulurkan tangan ke belakang dan meraih penisnya.

“Ya gak mungkin lupa kalo sama sayang..” balasku sambil meremas lembut kemaluannya.

“Apalagi sama ini..” sambungku sambil menoleh ke samping, memandang wajahnya, sementara tanganku memanjakan penisnya dengan kocokan pelan.


Seketika, perlakuanku padanya berbuah manis. Pram mendekatkan wajah dan kembali melumat bibirku.

Walaupun baru saja menikmati orgasme hebat, nafsu birahi kembali melingkupiku, apalagi aku belum merasakan keperkasaan penisnya di liang kenikmatanku.

Kedua tangannya kembali bermain di dadaku, meremasnya, memilin kedua putingku. Pundak dan sisi leherku pun dihujaninya dengan kecupan, hingga memantik nafsuku untuk kian berkobar.

Aku segera memutar tubuh untuk berhadapan dengannya dan kembali melumat bibirnya, sementara satu tanganku mengocok penisnya yang tegang sempurna. Hanya sesaat saling melumat bibir, aku bersimpuh di hadapannya dan langsung mengoralnya.

Kepala penisnya pun menjadi bulan-bulanan lidahku, sementara jemariku dengan lincah mengocok bagian batangnya. Pram mendesah dengan mata terpejam. Ia larut dalam kenikmatan yang kuberikan.

Sesekali ia menengadah sambil mengembuskan bafas yang tersengar berat. Melihatnya sangat menikmati permainan ini membuatku semakin bergairah. Dan seperti biasa, aku selalu memberi hal yang ia sukai, yaitu deepthroat.

Ia tak perlu meminta hal tersebut karena aku tahu, ia sangat menyukainya. Segera saja penisnya meluncur masuk kedalam mulutku hingga nyaris menyentuh kerongkonganku.

Pram mendesis dengan mata terpejam. Kedua tangannya menjambak rambutku dan menahan kepalaku hingga beberapa saat. Ketika ia menarik mundur pinggulnya, hembusan panjang nafasnya pun mengalun lembut.

Terdengar erotis dan memanjakan telingaku. Belum sempat penis itu keluar sempurna dari mulutku, aku segera memajukan kepala dengan gerakan cepat dan kembali menenggelamkan penisnya dalam mulutku. Tubuh lelakiku tersentak karena terkejut dengan permainanku, ia mengerang, mendesah pelan sambil memegang kepalaku.

Berkali-kali aku melakukan hal itu, dan tak mengendurkan kecepatan gerakan kepalaku hingga air liur menetes, membasahi sekujur dadaku. Selama itu pula lelakiku mengerang, mendesah sejadi-jadinya karena terpaan gelombang kenikmatan yang kuciptakan.

Kedua tanganku mencengkram erat pantatnya, dan dengan kasar memaksa pinggulnya untuk bergerak maju dan mundur, menyetubuhi mulutku, berkali-kali, berulang-ulang.

Tak sampai lima menit kemudian, kedua tangannya berusaha menjauhkan kepaalaku dari pangkal pahanya, namun aku menolaknya. Aku tetap bersikukuh melakukan hal itu, hingga akhirnya Pram mencapai orgasmenya.

Kedua pahanya menegang, kepalanya menengadah ke langit-langit kamar mandi dengan mata terpejam. Hembusan nafas nan panjang menyertai semburan sperma dalam jumlah besar kedalam mulutku.

Dan seperti biasanya, aku tak pernah menyia-nyiakan cairan kenikmatan lelakiku itu. Kulahap seluruhnya, kutelan tanpa rasa jijik sedikitpun.

Hampir satu menit berlalu, perlahan kukendurkan permainanku dengan memanjakan penisnya yang perlahan mulai melemas pasca semburan spermanya. Kuluman dan hisapan tetap kuberikan untuk memanjakannya hingga beberapa saat lamanya.

Dan ketika kurasakan telah cukup, akhirnya kulepaskan cengkraman bibirku dari penisnya sambil tersenyum pada Pram yang tengah menatap dan membelai rambutku. Sebuah kecupan lembut kuberikan tepat di ujung penisnya, sebelum akhirnya kembali berdiri.

Pram segera menyambut tubuhku dengan pelukan yang sangat erat.

“Makasih bu.” bisiknya lembut.

“Iya, sama-sama sayang.” balasku sambil mengecup pipinya dan memeluknya tak kalah erat.

Kata ‘terima kasih’ darinya membuatku tersentuh dan bahagia, karena aku tahu, ia mengucapkannya dengan kesungguhan hati, setelah merasakan kenikmatan yang kuberikan.

Caranya menjalani hubungan kami telah membuatku semakin sadar dan mengerti bahwa, keharmonisan yang tercipta diantara kami berdasarkan hal-hal kecil seperti ini.

Kebahagiaanku pun bertumbuh dan berkembang karena limpahan perhatian dan kasih sayangnya. Caranya memperlakukanku dalam keseharian kami bak seorang ratu membuatku semakin nyaman dan rela untuk melakukan apapun untuk membahagiakannya.

Aku bukanlah seorang remaja, bukan seorang gadis jelita yang sepadan dengan Pram, namun hanya seorang wanita biasa yang telah memiliki seorang putri, seorang ibu rumah tangga yang tengah berjalan menembus lorong kesendirian pasca kepergian sumiku karea perempuan lain.

Pram tidak memperdulikan semua itu dan tetap memperlakukanku seperti seorang putri. Ia menghormatiku dan dengan kesabaran penuh mendampingiku, menemaniku melewati keseharian.

Kegilaanku, kecintaanku pada seks pun berhasil diredam dan dikendalikannya. Aku tahu, ia tak ingin aku larut dalam dunia bebas hingga melupakan hal-hal penting lainnya. Ia bermaksud baik padaku.

“Kita langsung makan ya bu, saya laper.” kata Pram saat kami keluar dari kamar mandi.

“Iya, ibu juga laper.”

Buru-buru kami mengenakan pakaian dan langsung menuju ke meja makan.

“Untung ada sayang, jadi ada masak. Kalo ibu sendirian, pasti ibu lebih milih beli makan diluar.”

Menu makan malam sederhana buatan lelakiku menjadi santap malam yang istimewa bagi kami, apalagi rasa lapar yang mulai menyerang karena terlalu lama menghabiskan waktu dikamar mandi. Telur dadar, tahu dan tempe goreng, dan beberapa jenis sayuran rebus beserta sambel pun ludes dalam sekejab.

“Besok sayang ikut ibu pulang?” tanyaku sambil mencuci piring, sementara Pram berdiri disampingku.

“Besok saya gak ikut bu.”

“Saya harus mulai mengerjakan skripsi bu, mau mulai mengetik.” sambungnya.

“Iyaa.. gapapa kok, ibu senang sayang punya niat seperti itu.”

“Biar cepat selesai bu.”

“Oh iya, habis ini kita isi BBM buat mobil dulu ya, tadi ibu buru-buru pulang, jadi gak sempat mampir di SPBU.”

Pram mengangguk dan beralih ke meja makan, sementara aku membersihkan washtafel yang telah kugunakan untuk



mnunggu mrk menikah dan bahagia selalu ....enak banget bacax....romantis...tipe gue bang
Part 4



Rindiani

“Hen.. kamu udah lama kerja dihotel?” tanyaku saat kami dalam perjalanan pulang.

“Sudah enam tahun bu.” jawabnya singkat sambil melirikku sekilas melalui kaca spion yang tergantung di bagian tengah kabin depan.

“Lama juga yaa..” gumanku pelan.

“Gimana, enak kerja disini?”

“Iya bu, enak. Saya betah kerja disini. Apalagi sejak ditangani bos yang baru.”

“Orangnya baik, ramah.”

“Oh ya..?”

“Iya bu. Jarang ada orang seperti bos kita. Udah baik, cantik, gak sombong juga.”

Aku mengangguk pelan, memahami apa yang Hendra utarakan. Perlakuan yang manusiawi, menghargai dan peduli terhadap bawahannya adalah kunci utama mengapa beliau begitu dikagumi dan disukai oleh mereka yang berada dibawahnya.

Sejauh ini, aku belum menemukan seorang pun yang tidak menyukainya, walaupun Bayu pernah mengatakan bahwa ada yang tidak begitu menyukainya. Suatu hal yang sangat wajar, jika ada beberapa individu diantara seratusan karyawan yang seperti itu.

Aku sendiri pun belum mengenalnya, belum mengetahui lebih dalam tentang pribadinya. Dari sedikit cerita yang telah aku dengar, aku yakin, atasanku adalah sosok yang menyenangkan dan profesional.

Sesampainya di hotel, kembali larut dalam duniaku, dengan membaca buku-buku yang telah dibeli lelakiku. Aku benar-benar ingin terjun seutuhnya kedalam pekerjaan ini. Tekadku adalah untuk mulai meningkatkan income hotel, setidaknya dalam waktu dekat.

Karena terlalu asik membaca, aku tak memperhatikan keadaan diluar ruanganku, apalagi meja kerjaku membelakangi jendela kaca. Kutepuk keningku saat melirik jam di dinding. Hampir jam enam sore.

“Astagaaaa…” gumanku pelan sambil buru-buru membereskan buku dan memasukaannya kedalam laci meja kerja.

Suasana senja akhir pekan nan indah terlukis di langit kota pelajar, namun aku sedang terburu-buru untuk pulang kerumah, sehingga mengabaikannya begitu saja. Ada hal yang lebih penting yang menungguku di rumah, Pram, Lelakiku.

Aku merasa bertanggung jawab terhadap hidupnya atas semua yang telah ia berikan, atas semua yang telah ia lakukan untukku, walaupun sesungguhnya kami bukanlah sepasang kekasih ataupun suami istri.

Aku telah berjanji pada diriku sendiri untuk tetap menjadikannya pusat kehidupanku, walaupun telah bekerja dan harus menghabiskan sebagian besar waktuku di kantor.

Kodratku sebagai wanita pun tak lepas dari hal tersebut, dimana aku harus tetap mengutamakan tanggung jawabku dirumah, sama halnya dengan peran istri pada umumnya.

Hampir satu jam berlalu, akhirnya aku tiba dirumah. Aroma harum masakan tercium jelas seiring langkahku menuju ke dapur.

“Sayangg… maaf ibu terlambat pulang.” Kataku saat Pram sedang menghidangkan makanan berupa lauk pauk di meja makan.

Pram tersenyum, lantas mendekat.

“Gapapa bu, saya ngerti kok.”

“Sekarang ibu mandi, habis itu kita makan.” gumannya sambil memegang pinggangku dengan kedua tangan.

“Maafff…” kataku lagi karena merasa tak enak hati padanya.

Pram memelukku erat lantas mengecup keningku.

“Ibu gak salah, dan gak perlu minta maaf.” katanya dengan lembut sambil mengusap pipiku.

“Terima kasih..” bisikku pelan sambil kembali memelukknya dengan sangat erat.

“Sayang sudah mandi?” tanyaku saat pelukan kami berakhir.

Pram mengangguk pelan lalu duduk di kursi meja makan.

“Ya udah, ibu mandi dulu ya.. makasih udah masak untuk makan malam kita.” kataku lagi.

Pram meraih jemariku dan menggengamnya.

“Sama-sama bu.” gumannya pelan lalu menyandarkan wajah di perutku.

“Masih wangi.. padahal belum mandi” katanya lagi.

“Iyaaaa.. tapi ibu belum mandi lhooo.. bajunya aja yang wangi, tapi badannya kan enggak wangi.”

“Masa sih..??” tanyanya sambil menengadah untuk menatapku sementara kedua tangannya menarik ujung rok panjang yang kukenakan.

Aku tertawa pelan melihat tingkah lelakiku. Ia pandai dalam menciptakan suasan romantis dan mesra, yang bisa mencairkan suasana sekaligus menambah keintiman dalam hubungan kami.

“Masih wangi..” gumannya pelan saat mencium sedikit bagian perutku.

“Ini juga masih wangi..” katanya lagi sambil mencium permukaan celana dalam G string yang menutupi kemaluanku.

“Eehhh… ibu belum mandi sayang..” kataku sambil berusaha menjauhkan kepalanya dari pangkal pahaku.

Pram mengabaikanku dan tetap membiarkan wajahnya berada dekat kemaluanku, hanya beberapa centi jaraknya dari vaginaku.

“Boleh..?” tanyanya sambil menengadah, menatapku, sementara satu tangannya mengusap lembut permukaan celana dalamku.

Aku mengangguk pelan dan kembali membelai rambutnya.

“Itu kan punya sayang.. jadi gak perlu minta ijin.”

Pram tersenyun, kamudian kain celana dalam itu kesamping dan mengusapnya.

“Bukan saya aja, tapi kayakna punya Nina juga.” gumannya pelan lalu berdiri, sementara jemarinya tetap memanjakan kemaluanku dengan usapan lembut.

Aku hanya bisa tersenyum dan tertunduk malu.

“Berarti ibu gak boleh main sama dia lagi?”

Pram menghela nafas, melepaskan tangannya dari pangkal pahaku dan membiarkan rok panjangku kembali terjuntai, menutupi tubuhku.

“Jujur.. ibu suka main sama Nina?” tanyanya sambil membelai lembut pipiku.

Aku hanya bisa mengangguk pelan karena malu.

“Ibu nyaman?” tanyanya lagi.

Sekali lagi, aku hanya bisa mengangguk pelan.

“Saya minta cukup dengan Nina saja ya bu, jangan ada yang lain lagi, apalagi laki-laki lain.”

“Saya tidak berhak untuk melarang atau mengatur privasi ibu, tapi saya hanya bisa menyarankan seperti itu.”

“Enggak.. sayang berhak untuk mengatur ibu.” bantahku.

Pram menggeleng pelan, lantas mengecup keningku.

“Saya bukan siapa-siapa. Saya dan ibu hanya bisa saling mengingatkan dan menjaga satu sama lain.”

“Enggak..” kataku lagi.

“Ibu menganggap kamu adalah laki-laki yang berhak atas hidup ibu. Dan itu adalah kemauan ibu. Ibu cuman punya sayang yang selama ini selalu mendampingi dan membantu ibu.”

“Iya, saya paham bu.” jawabnya singkat.

“Maka dari itu, ibu menganggap diri ibu, hidup ibu milik kamu.”

Pram memahami apa yang kukatakan, begitu juga sebaliknya. Percakapan singkat dan mendalam itu diakhiri dengan sebuah ciuman mesra. Pram mendekapku begitu erat, melumat bibirku dengan penuh rasa, pun begitu sebaliknya.

Keterbukaan hati dan kejujuran yang tercipta di antara kami seakan melapangkan jalan hubungan kedua hati. Pram memahami dan memaklumi sepenuhnya tentang apa dan bagaimana harus bersikap terhadapku.

Dimataku, aku tak memiliki apapun untuk kusembunyikan atau kurahasiakan darinya, karena bagiku Pram adalah sosok laki-laki yang kini berhak sepenuhnya atas hidupku. Di lain sisi, aku pun menyadari bahwa aku tak bisa, tidak layak untuk mengatur kehidupannya.

Ada rasa khawatir, cemas jika akhirnya Pram menghilang dari hari-hariku karena wanita lain, namun, tentu saja aku tidak bisa mencegah, apalagi melarangnya jika ia melakukannya atas kemauan hatinya.

Pengalaman pahit kehilangan suami telah mengajariku tentang situasi seperti ini, dan aku tak bisa berbuat banyak selain mengikhlaskan, merelakannya.

Jauh di lubuk hatiku, aku yakin lelakiku bukanlah tipe lelaki pengkhianat seperti itu. Pram adalah sosok unik yang aku yakin, tidak akan pernah menyakitiku, tidak akan pernah melukai hatiku.

Dewi, Nina dan entah siapa lagi yang pernah mengenal dan dekat dengannya telah merasakan hal tersebut, begitu juga denganku.

“Ya udah, ibu mandi dulu ya..” kataku setelah pelukan kami terlepas.

Pram mengangguk, lantas merangkul pinggang dan melangkah bersamaku menuju ke kamar tidur.

“Sayang tiduran aja, istirahat sambil nungguin ibu mandi. Atau, kalo udah laper, sayang makan duluan gapapa.” Kataku sambil melucuti seluruh pakaian yang melekat ditubuhku.

Pram tersenyum sambil menggelengkan kepala, lantas menjatuhkan tubuh diatas kasur.

“Enggak. Nungguin ibu aja biar nanti makan bareng.”

Aku tengah menikmati guyuran air yang menaglir dari shower ketika Pram muncul didepan pintu kamar mandi. Ia tersenyum sambil melangkah mendekati dengan tubuh telanjang. Kemaluannya telah mengeras, berdiri tegak dengan perkasa.

“Katanya udah mandi?”

“Pengen mandi lagi, bareng ibu.”

Aku segera menarik lengannya agar lebih dekat denganku, bergabung bersamaku dibawah guyuran shower.

“Keras banget.” bisikku sambil meremas penisnya.

Pram tak berkata apapun, namun segera melumat bibirku dengan lembut. Aku yakin, lelakiku sedang ingin bercinta karena tak seperti biasanya, ia melakukan hal seperti ini.

Kupejamkan mata, menikmati kuluman bibirnya yang hangat dan sangat memanjakan itu. Satu tanganku segera melingkar dilehernya, sementara penisnya kumanjakan dengan kocokan pelan.

Tak sampai satu menit, lidahnya mulai menjalar, menelusuri leherku hingga ke bagian pundak. Kedua tangannya pun mulai ikut bermain, meremas kedua payudaraku dengan lembut.

Rangsangan yang ia berikan cukup membuaiku, membuatku terlena hingga mulai mendesah.

Perlahan, deru nafas lelakiku pun mulai memburu, seiring dengan detak jantungnya yang seolah sedang berpacu karena kocokan tanganku di penisnya pun semakin cepat.

Satu tanganku bergerak, mengarahkan kepalanya ke bagian dadaku, karena aku menginginkan lidahnya, bibirnya, mengerjai payudaraku. Pram pun menuruti keinginanku dan segera mengulum kedua putingku secara bergantian.

Yang mampu kulakukan hanyalah menggigit bibirku sendiri demi meredam rintihan dan desahan yang seakan ingin meledak.

Hisapannya terasa begitu kuat, membuat lututku gemetar karena rasa nikmat yang hebat. Sambil menikmati permainannya yang panas dan liar, satu tanganku bergerak turun, mempermainkan kemaluanku sendiri, sementara satu tanganku yang lain terus saja mengocok penisnya, membuatnya semakin liar dan buas dalam mengerjaiku. Aku benar-benar menikmatinya.

Beberapa saat berlalu dan sekujur dadaku telah dipenuhi oleh jejak-jejak kemerahan bekas hisapannya. Pram nampak begitu bernafsu, sangat buas, tak seperti hari-hari sebelumnya.

Sambil menghisap satu putingku, jemarinya memilin puting yang lain. Tentu saja aku sedikit kewalahan dalam menghadapi permainannya, apalagi kami melakukannya dalam posisi berdiri.

Semakin lama, lidahnya semakin bergerak menjauh, turun ke ke bagian perutku, dan terus bergerak liar hingga akhirnya ia bersimpuh. Aku tahu, ia akan melahap kemaluanku, ia akan menikmati vaginaku, seperti sebelum-sebelumnya.

Dengan perlahan jemarinya membuka bibir kemaluanku lalu memandanginya sesaat dan akhirnya langsung menjilatinya.

Tubuhku tersentak, di iringi rintihan yang mengalun pelan dari mulutku. Hisapan demi hisapan menghujani clitorisku, membuatku merinding, menggelinjang.

Inilah salah satu hal yang paling kusukai dari lelakiku, dimana ia sangat pandai dalam merangsangku, bahkan mampu membuatku orgasme tanpa harus menyetubuhiku. Aku begitu tergila-gila dengan permainan oralnya, suatu hal baru bagiku karena belum pernah merasakannya saat bersama suamiku.

Pram terlihat begitu terbuai, begitu menikmatinya, bahkan bibir kemaluanku pun dikulum, dihisap, layaknya sedang berciuman. Sudah barang tentu permainannya membuat cairan lubrikasi keluar dari vaginaku, membuatnya semakin licin dan memudahkan lidahnya untuk bergerak liar.

Sadar dengan keadaan tubuhku yang tak berdaya dan kepayahan dalam menahan permainannya, Pram menuntunku untuk bersandar di dinding, dan kembali membuka lebar kedua pahaku agar memberinya ruang untuk bergerak lebih leluasa dalam mengerjai vaginaku.

“Sayang… dikocokin..” gumanku lirih sambil mengusap rambutnya.

Pram memandangku sejenak sambil tersenyum, sementara satu tangannya mengusap kemaluanku. Kutundukkan tubuh dan segera melumat bibirnya dengan buas.

Aroma cairan dari kemaluanku tercium kuat, namun aku tak memperdulikannya. Aku telah terbiasa dengan aroma kenikmatan tersebut, bahkan telah berkali-kali mencicipinya, menelannya.

Hampir atu menit kami saling melumat bibir, sementara kedua payudaraku yang menggantung dihadapannya diremas, dipilin kedua putingnya dengan sedikit kasar. Tidak ada rasa sakit yang tercipta, melainkan birahi yang semakin bergejolak, semakin terbakar akibat perlakuan kasarnya.

Setelah melepaskan pagutan bibir, Pram kembali mengalihkan pandangannya ke arah pangkal pahaku. Tanpa membuang waktu, lidahnya kembali menjalar disana, bergerak bebas diantara bibir kemaluanku, menyapu bersih cairan yang keluar dari tubuhku.

Dan akhirnya, ia mengabulkan permintaanku ketika dua jarinya mulai bergerak masuk, menerobos celah sempit kemaluanku dan terus menusuk hingga kedua jari itu tenggelam sempurna dalam liang kenikmatanku.

Pram benar-benar memahami dan mengerti sepenuhnya tentang diriku. Apa yang ia lalukan terhadap kemaluanku menjadi pemandangan yang sangat menggairahkan, sangat memanjakan mataku.

Sebelumnya, saat masih menjalani rumah tangga bersama suamiku, sangat jarang bagiku untuk melihatnya mengerjaiku karena aku lebih memilih untuk memejamkan mata. Berbeda dengan yang terjadi saat aku melakukannya bersama Pram, dimana aku menjadi ketagihan, dan sangat menyukai pemandangan erotis seperti ini. Hal ini semakin membuatku bernafsu, dan tentu saja semakin mempercepat orgasmeku.

Sambil menghisap clitoris, dan mempermainkannya dengan ujung lidah, kedua jemarinya yang tertanam dalam liang kemaluanku mulai bergerak-gerak, menyentuh area disekitarnya. Hal ini menimbulkan rasa geli, rasa nikmat yang belipat ganda, terutama saat ia menyentuh G-spot, salah satu titik sensitif yang terletak dibagian dalam kemaluan wanita.


Sesekali tubuhku tersentak secara reflek saat jemarinya menyentuh titik tersebut, apalagi disaat bersamaan, clitorisku pun menjadi bulan-bulanan bibir dan lidahnya.

Aku benar-benar dibuatnya mabuk kepayang, terlalut dalam kubangan gejolak nafsu, hingga tanpa sadar kuremas kedua payudaraku, dan mempernainkan kedua putingku.

Tak lama berselang, tak sampai tiga menit kemudian, rangsangan hebat disekujur tubuhku pun berbuah orgasme hebat. Aku segera melepaskan payudara dan menjambak rambut lelakiku, mendesakkannya ke arah pangkal pahaku dengan sangat kuat.

Pram lelakiku hanya bisa berpasrah dan mengikuti kemauanku. Orgasme itu disertai dengan keluarnya air seni, mengalir melalui celah yang tercipta diantara pangkal paha dan wajah lelakiku yang menepel erat disana.

Aku benar-benar tak menyadari, benar-benar lupa segalanya sehingga melakukan hal tersebut.

Badai orgameku pun perlahan mereda setelah beberapa saat, disertai semakin melemahnya cengkraman jemariku pada kepala Pram. Lemah tak bertenaga, akhirnya kusandarkan tubuh sepenuhnya di dinding, sementara Pram menjauhkan kepalanya dari pangkal pahaku, pun begitu dengan kedua jarinya.

Mataku terpejam sempurna menikmati saat-saat indah itu, meresapinya hingga akhirnya nikmat itu mereda perlahan dan menghilang.

Kubuka mataku perlahan dan melihat lelakiku tersenyum. Ia pun bangkit berdiri dan segera memelukku dengan sangat erat. Aroma air seniku tercium dari sekujur tubuhnya.

“Maaaffff…” gumanku pelan sambil memelukknya erat.

“Kok maaf?” tanyanya heran.

“Ibu pipisin sayang..” balasku sambil menyembunyikan wajah dibelakang lehernya.

Pram tertawa, lantas meremas lembut kedua pantatku.

“Gapapa kok bu..” jawabnya singkat.

“Ibu gak sengaja.. keenakan.. jadinya lupa.”

“Sempet keminum?” tanyaku.

Pram mengangguk pelan. “Dikit..”

Aku tersenyum malu, dan kembali menyembunyikan wajah dibelakang lehernya.

“Rada asin..” sambungnya lagi.

“Udaahhh.. jangan dibahas.. maaluuuu.” protesku.

Pram semakin tertawa dan mempererat pelukannya. Hampir dua menit lamanya kami berpelukan mesra, hingga akhirnya ia mengecup keningku dan mengajakku kembali berdiri dibawah guyuran shower untuk melanjutkan mandi.

“Tadi ibu lupa waktu karena keenakan baca buku yang tadi kita beli.”

“Pas lihat jam, tau-tau udah jam enam.” sambungku.

“Yang penting ibu gak lupa makan siang, dan gak lupa saya bu.” balasnya sambil mengusapi sabun di punggungku.

Aku tertawa mendengar ucapannya, lantas menjulurkan tangan ke belakang dan meraih penisnya.

“Ya gak mungkin lupa kalo sama sayang..” balasku sambil meremas lembut kemaluannya.

“Apalagi sama ini..” sambungku sambil menoleh ke samping, memandang wajahnya, sementara tanganku memanjakan penisnya dengan kocokan pelan.


Seketika, perlakuanku padanya berbuah manis. Pram mendekatkan wajah dan kembali melumat bibirku.

Walaupun baru saja menikmati orgasme hebat, nafsu birahi kembali melingkupiku, apalagi aku belum merasakan keperkasaan penisnya di liang kenikmatanku.

Kedua tangannya kembali bermain di dadaku, meremasnya, memilin kedua putingku. Pundak dan sisi leherku pun dihujaninya dengan kecupan, hingga memantik nafsuku untuk kian berkobar.

Aku segera memutar tubuh untuk berhadapan dengannya dan kembali melumat bibirnya, sementara satu tanganku mengocok penisnya yang tegang sempurna. Hanya sesaat saling melumat bibir, aku bersimpuh di hadapannya dan langsung mengoralnya.

Kepala penisnya pun menjadi bulan-bulanan lidahku, sementara jemariku dengan lincah mengocok bagian batangnya. Pram mendesah dengan mata terpejam. Ia larut dalam kenikmatan yang kuberikan.

Sesekali ia menengadah sambil mengembuskan bafas yang tersengar berat. Melihatnya sangat menikmati permainan ini membuatku semakin bergairah. Dan seperti biasa, aku selalu memberi hal yang ia sukai, yaitu deepthroat.

Ia tak perlu meminta hal tersebut karena aku tahu, ia sangat menyukainya. Segera saja penisnya meluncur masuk kedalam mulutku hingga nyaris menyentuh kerongkonganku.

Pram mendesis dengan mata terpejam. Kedua tangannya menjambak rambutku dan menahan kepalaku hingga beberapa saat. Ketika ia menarik mundur pinggulnya, hembusan panjang nafasnya pun mengalun lembut.

Terdengar erotis dan memanjakan telingaku. Belum sempat penis itu keluar sempurna dari mulutku, aku segera memajukan kepala dengan gerakan cepat dan kembali menenggelamkan penisnya dalam mulutku. Tubuh lelakiku tersentak karena terkejut dengan permainanku, ia mengerang, mendesah pelan sambil memegang kepalaku.

Berkali-kali aku melakukan hal itu, dan tak mengendurkan kecepatan gerakan kepalaku hingga air liur menetes, membasahi sekujur dadaku. Selama itu pula lelakiku mengerang, mendesah sejadi-jadinya karena terpaan gelombang kenikmatan yang kuciptakan.

Kedua tanganku mencengkram erat pantatnya, dan dengan kasar memaksa pinggulnya untuk bergerak maju dan mundur, menyetubuhi mulutku, berkali-kali, berulang-ulang.

Tak sampai lima menit kemudian, kedua tangannya berusaha menjauhkan kepaalaku dari pangkal pahanya, namun aku menolaknya. Aku tetap bersikukuh melakukan hal itu, hingga akhirnya Pram mencapai orgasmenya.

Kedua pahanya menegang, kepalanya menengadah ke langit-langit kamar mandi dengan mata terpejam. Hembusan nafas nan panjang menyertai semburan sperma dalam jumlah besar kedalam mulutku.

Dan seperti biasanya, aku tak pernah menyia-nyiakan cairan kenikmatan lelakiku itu. Kulahap seluruhnya, kutelan tanpa rasa jijik sedikitpun.

Hampir satu menit berlalu, perlahan kukendurkan permainanku dengan memanjakan penisnya yang perlahan mulai melemas pasca semburan spermanya. Kuluman dan hisapan tetap kuberikan untuk memanjakannya hingga beberapa saat lamanya.

Dan ketika kurasakan telah cukup, akhirnya kulepaskan cengkraman bibirku dari penisnya sambil tersenyum pada Pram yang tengah menatap dan membelai rambutku. Sebuah kecupan lembut kuberikan tepat di ujung penisnya, sebelum akhirnya kembali berdiri.

Pram segera menyambut tubuhku dengan pelukan yang sangat erat.

“Makasih bu.” bisiknya lembut.

“Iya, sama-sama sayang.” balasku sambil mengecup pipinya dan memeluknya tak kalah erat.

Kata ‘terima kasih’ darinya membuatku tersentuh dan bahagia, karena aku tahu, ia mengucapkannya dengan kesungguhan hati, setelah merasakan kenikmatan yang kuberikan.

Caranya menjalani hubungan kami telah membuatku semakin sadar dan mengerti bahwa, keharmonisan yang tercipta diantara kami berdasarkan hal-hal kecil seperti ini.

Kebahagiaanku pun bertumbuh dan berkembang karena limpahan perhatian dan kasih sayangnya. Caranya memperlakukanku dalam keseharian kami bak seorang ratu membuatku semakin nyaman dan rela untuk melakukan apapun untuk membahagiakannya.

Aku bukanlah seorang remaja, bukan seorang gadis jelita yang sepadan dengan Pram, namun hanya seorang wanita biasa yang telah memiliki seorang putri, seorang ibu rumah tangga yang tengah berjalan menembus lorong kesendirian pasca kepergian sumiku karea perempuan lain.

Pram tidak memperdulikan semua itu dan tetap memperlakukanku seperti seorang putri. Ia menghormatiku dan dengan kesabaran penuh mendampingiku, menemaniku melewati keseharian.

Kegilaanku, kecintaanku pada seks pun berhasil diredam dan dikendalikannya. Aku tahu, ia tak ingin aku larut dalam dunia bebas hingga melupakan hal-hal penting lainnya. Ia bermaksud baik padaku.

“Kita langsung makan ya bu, saya laper.” kata Pram saat kami keluar dari kamar mandi.

“Iya, ibu juga laper.”

Buru-buru kami mengenakan pakaian dan langsung menuju ke meja makan.

“Untung ada sayang, jadi ada masak. Kalo ibu sendirian, pasti ibu lebih milih beli makan diluar.”

Menu makan malam sederhana buatan lelakiku menjadi santap malam yang istimewa bagi kami, apalagi rasa lapar yang mulai menyerang karena terlalu lama menghabiskan waktu dikamar mandi. Telur dadar, tahu dan tempe goreng, dan beberapa jenis sayuran rebus beserta sambel pun ludes dalam sekejab.

“Besok sayang ikut ibu pulang?” tanyaku sambil mencuci piring, sementara Pram berdiri disampingku.

“Besok saya gak ikut bu.”

“Saya harus mulai mengerjakan skripsi bu, mau mulai mengetik.” sambungnya.

“Iyaa.. gapapa kok, ibu senang sayang punya niat seperti itu.”

“Biar cepat selesai bu.”

“Oh iya, habis ini kita isi BBM buat mobil dulu ya, tadi ibu buru-buru pulang, jadi gak sempat mampir di SPBU.”

Pram mengangguk dan beralih ke meja makan, sementara aku membersihkan washtafel yang telah kugunakan untuk mencuci piring.



♡♡♡ Seri 13 TAMAT ♡♡♡

Sampai jumpa di seri selanjutnya

Terima kasih :rose:
Tdk sabaran mnunggu mereka menikah dan bahagia selamanya...walaupn psti dr pihakkel pram agak tdk setuju. Gue suka cerita sep ini romantis......krn gue paling tdk suka cerita klo sex hny utk kesenangan belaka
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd