Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA RINDIANI The Series - Pelangi untukku

Part 3



Rindiani


Sejenak, kami larut dalam keheningan sambil terus memandangi Pram dan Nova yang tengah menikmati waktunya. Pikiranku kembali melayang jauh, mengingat awal keretakan rumah tanggaku. Memori itu akan selalu ada dan menjadi jarum yang selalu menyakiti jiwaku.

“Mbak gak kepingin balas dendam?” tanya Nina.

Aku menggelengkan kepala sambil menatapnya.

“Mbak udah ikhlaskan semua. Mbak anggap ini emang jalan takdir.” jawabku singkat.

“Emang mbak gak sakit hati??” tanyanya lagi.

“Awalnya sih sakit banget. Mbak sampe stres. Hampir tiga bulan mbak pulang kampung, menenangkan diri disana.”

“Trusss…?” tanya Nina.

“Pram yang membantu mbak selama ini. Dia yang nyemangatin, dia menghibur mbak sampai akhirnya mbak bisa bangkit lagi.”

Nina kembali melayangkan pandangannya ke arah lelakiku sambil melipat kedua tangan didepan dadanya.

“Setidaknya, Nova masih bisa merasakan kasih sayang dan perhatian dari Pram.” gumannya.

Aku hanya bisa mengangguk pelan, mengamini perkataan Nina. Sungguh sedih melihat nasib putriku, karena ulah suamiku, Nova harus menjalani hari-hari tanpa sosok ayah.

Sejauh ini, Pram adalah satu-satunya sosok laki-laki yang dekat dan akrab dengannya, ia mampu berperan sebagai sosok ayah bagi putriku. Namun, sampai berapa lama hal ini berlangsung, karena cepat atau lambat, Pram akan pergi dari kehidupan kami.

“Mbak gak kepingin cari suami lagi?” tanya Nina.

Aku tersenyum sambil menggeleng pelan dan terus memandangi kedua insan dihadapan kami.

“Mbak belum siap Nin, lagian belum resmi bercerai juga.”

“Paling enggak kan mulai membuka hati.. atau mungkin udah gak perlu cari jodoh lagi, soalnya udah ada Pram.” balasnya sambil bergeser mendekat kearahku, lalu tersenyum.

Aku pun mengalihkan pandanganku padanya sambil tersenyum.

“Kasihan dia. Dia layak untuk mendapatkan perempuan yang lebih baik dari mbak.”

“Usianya masih muda, jalan hidupnya masih panjang. Ada banyak perempuan diluar sana yang lebih layak untuk menjadi pendampingnya.”

Nina segera merangkul pinggangku dan menyandarkan kepalanya di pundakku sambil terus memandangi Pram dan Nova yang tengah asik bercanda ria.

“Apapun bisa terjadi, karena kita gak pernah tahu, kemana garis takdir akan membawa kita.” gumannya.

“Iya sih.. bener begitu.. tapi realistis aja deh. Pram masih muda, sedangkan mbak lebih tua dari dia. Janda, punya anak.”

“Jadi.. sebenernya mbak ada feeling ke Pram?” tanyanya pelan agar percakapan kami tak terdengar oleh lelakiku.

Aku tersenyum sambil menundukkan wajah.

“Ya gapapa sih mbak, itu kan wajar. Lagian kalo dia juga punya feeling yang sama, berarti kan gak ada masalah.”

“Gak semudah itu lho dek. Masih banyak yang harus dipikirkan.”

“Mikir apa lagi sih mbak?”

“Keluarga Pram juga punya andil lho, kalo seandainya mbak dan Pram bener-bener serius sama hubungan ini.”

Terdengar suara hembusan nafas panjang dari Nina. Aku yakin ia pun sedang memikirkan hal tersebut karena kedekatan kami.

“Kalo mbak Aya sih kayaknya gak masalah, tapi gak tahu papa mamanya.” kata Nina.

“Belum tentu juga sih Nin, biarpun kita akrab, deket, belum tentu mbak Aya setuju.”

“Ribet banget…” guman Nina pelan sambil kembali menyandarkan kepala di pundakku.

“Wajar aja sih, apalagi mbak Aya sayang banget sama Pram. Dia peduli banget sama adiknya.” sambungku.

Percakapan kami akhirnya terhenti ketika Nova melangkah perlahan menghampiri kami dan langsung memeluk kaki Nina.

Kepalanya menengadah, memandang Nina. Nina segera berjongkok dan menyambut putriku.

“Kok gak main sama mas Pram lagi?” tanya Nina sambil kengusap kening Nova yang berkeringat.

Bukannya menjawab pertanyaan Nina, Nova justru meminta Nina untuk mengendongnya. Tentu saja tingkah manjanya membuat Nina tersenyum dan segera mendekap Nova dalam pelukannya.

Tak berapa lama kemudian, mereka pun kembali memasuki rumah, bersantai di ruang tengah. Pram hanya tersenyum dan kembali menghampiriku.

“Emang tadi ngobrol apaan sih bu? Kayaknya serius banget.” tanyanya sambil berdiri disampingku.

“Gak ada yang penting kok sayang. Kita cuman ngobrolin tentanga masalah ibu itu.”

Pram hanya diam membisu, tatapannya melayang jauh, seakan menembus cakrawala senja yang perlahan mulai meredub.

“Ibu masih kepikiran masalah itu?”

Aku hanya bisa mengangguk pelan.

“Kalo seandainya gak ada Nova, mungkin ibu bisa lebih mudah menghadapi masalah ini.” gumanku.

“Ibu hanya bingung bagaimana menghadapi Nova, bagaimana bersikap, seandainya kelak Nova bertanya tentang ayahnya.” sambungku.

“Nova pasti akan mengerti. Hati dan pikirannya akan mampu menerima kenyataan pahit ini. Kelak, dia akan menjadi perempuan kuat seperti ibu.” Kata Pram.

Aku menoleh sejenak, memandangi wajah lelakiku yang selama ini selalu setia mendampingiku.

“Aminnn..” jawabku singkat.

Pram pun tersenyum dan segera bergeser mendekat. Satu tangannya segera melingkar di pinggangku dan mengajakku memasuki rumah, menuju ke ruang tengah.

“Lhoooo.. dedek mamam roti?” tanyaku setelah melihat Nova menggengam sebuah roti di tangannya.

“Nova udah makan dua lho mbak. Kayaknya dia suka.” kata Nina.

“Pasti nanti gak makan nasi.” kata Pram.

Segelas susu pun ludes dilahapnya, dan pada akhirnya, tiga potong roti oleh-oleh dari Nina pun lenyap.

“Gapapa gak makan nasi, roti kan kaya karbohidrat, sama aja kayak nasi.” sambung Nina.

Hampir setengah jam berlalu, dan Nova, putri kecilku mulai nampak mengantuk. Jam didinding menunjukkan waktu pukul tujuh malam. Tak sampai setengah jam kemudian, Nova pun terbuai dalam alam mimpi sambil menikmati belaian manja dari lelakiku.

“Dia udah bisa jadi suami.” bisik Nina sambil memandangi Pram yang tengah asik memanjakan putriku dalam dekapannya.

“Hee eemmm..” jawabku singkat.

Selanjutnya, kami kembali terdiam sambil menyaksikan pemandangan itu, dan lelakiku tampak begitu menikmati perannya sebagai lelaki dewasa bagi Nova, putriku.

“Nina mau nginep disini apa mau pulang?” tanyaku memecah keheningan.

“Emang kalo nginep disini gapapa?”

“Ya gapapa dong.” jawabku sambil menatapnya.

“Berarti kita bobonya bareng sama Pram?” tanyanya lagi sambil berbisik.

Senyum usil nan nakal segera terkembang dari wajah cantiknya. Entah apa yang Nina pikirkan, sehingga ia berani bertanya seperti itu terhadapku.

“Kita kalah sama Nova.” jawabku pelan.

“Pram bakal memilih menemani Nova daripada kita.” sambungku.

“Mbak yakin?” tanyanya sambil mulai menarik ujung rok panjang yang ia kenakan dengan perlahan.


♡♡♡bersambung♡♡♡

Part 4 akan rilis dalam beberapa jam kedepan
Terima kasih :rose:

 
Part 3



Rindiani


Sejenak, kami larut dalam keheningan sambil terus memandangi Pram dan Nova yang tengah menikmati waktunya. Pikiranku kembali melayang jauh, mengingat awal keretakan rumah tanggaku. Memori itu akan selalu ada dan menjadi jarum yang selalu menyakiti jiwaku.

“Mbak gak kepingin balas dendam?” tanya Nina.

Aku menggelengkan kepala sambil menatapnya.

“Mbak udah ikhlaskan semua. Mbak anggap ini emang jalan takdir.” jawabku singkat.

“Emang mbak gak sakit hati??” tanyanya lagi.

“Awalnya sih sakit banget. Mbak sampe stres. Hampir tiga bulan mbak pulang kampung, menenangkan diri disana.”

“Trusss…?” tanya Nina.

“Pram yang membantu mbak selama ini. Dia yang nyemangatin, dia menghibur mbak sampai akhirnya mbak bisa bangkit lagi.”

Nina kembali melayangkan pandangannya ke arah lelakiku sambil melipat kedua tangan didepan dadanya.

“Setidaknya, Nova masih bisa merasakan kasih sayang dan perhatian dari Pram.” gumannya.

Aku hanya bisa mengangguk pelan, mengamini perkataan Nina. Sungguh sedih melihat nasib putriku, karena ulah suamiku, Nova harus menjalani hari-hari tanpa sosok ayah.

Sejauh ini, Pram adalah satu-satunya sosok laki-laki yang dekat dan akrab dengannya, ia mampu berperan sebagai sosok ayah bagi putriku. Namun, sampai berapa lama hal ini berlangsung, karena cepat atau lambat, Pram akan pergi dari kehidupan kami.

“Mbak gak kepingin cari suami lagi?” tanya Nina.

Aku tersenyum sambil menggeleng pelan dan terus memandangi kedua insan dihadapan kami.

“Mbak belum siap Nin, lagian belum resmi bercerai juga.”

“Paling enggak kan mulai membuka hati.. atau mungkin udah gak perlu cari jodoh lagi, soalnya udah ada Pram.” balasnya sambil bergeser mendekat kearahku, lalu tersenyum.

Aku pun mengalihkan pandanganku padanya sambil tersenyum.

“Kasihan dia. Dia layak untuk mendapatkan perempuan yang lebih baik dari mbak.”

“Usianya masih muda, jalan hidupnya masih panjang. Ada banyak perempuan diluar sana yang lebih layak untuk menjadi pendampingnya.”

Nina segera merangkul pinggangku dan menyandarkan kepalanya di pundakku sambil terus memandangi Pram dan Nova yang tengah asik bercanda ria.

“Apapun bisa terjadi, karena kita gak pernah tahu, kemana garis takdir akan membawa kita.” gumannya.

“Iya sih.. bener begitu.. tapi realistis aja deh. Pram masih muda, sedangkan mbak lebih tua dari dia. Janda, punya anak.”

“Jadi.. sebenernya mbak ada feeling ke Pram?” tanyanya pelan agar percakapan kami tak terdengar oleh lelakiku.

Aku tersenyum sambil menundukkan wajah.

“Ya gapapa sih mbak, itu kan wajar. Lagian kalo dia juga punya feeling yang sama, berarti kan gak ada masalah.”

“Gak semudah itu lho dek. Masih banyak yang harus dipikirkan.”

“Mikir apa lagi sih mbak?”

“Keluarga Pram juga punya andil lho, kalo seandainya mbak dan Pram bener-bener serius sama hubungan ini.”

Terdengar suara hembusan nafas panjang dari Nina. Aku yakin ia pun sedang memikirkan hal tersebut karena kedekatan kami.

“Kalo mbak Aya sih kayaknya gak masalah, tapi gak tahu papa mamanya.” kata Nina.

“Belum tentu juga sih Nin, biarpun kita akrab, deket, belum tentu mbak Aya setuju.”

“Ribet banget…” guman Nina pelan sambil kembali menyandarkan kepala di pundakku.

“Wajar aja sih, apalagi mbak Aya sayang banget sama Pram. Dia peduli banget sama adiknya.” sambungku.

Percakapan kami akhirnya terhenti ketika Nova melangkah perlahan menghampiri kami dan langsung memeluk kaki Nina.

Kepalanya menengadah, memandang Nina. Nina segera berjongkok dan menyambut putriku.

“Kok gak main sama mas Pram lagi?” tanya Nina sambil kengusap kening Nova yang berkeringat.

Bukannya menjawab pertanyaan Nina, Nova justru meminta Nina untuk mengendongnya. Tentu saja tingkah manjanya membuat Nina tersenyum dan segera mendekap Nova dalam pelukannya.

Tak berapa lama kemudian, mereka pun kembali memasuki rumah, bersantai di ruang tengah. Pram hanya tersenyum dan kembali menghampiriku.

“Emang tadi ngobrol apaan sih bu? Kayaknya serius banget.” tanyanya sambil berdiri disampingku.

“Gak ada yang penting kok sayang. Kita cuman ngobrolin tentanga masalah ibu itu.”

Pram hanya diam membisu, tatapannya melayang jauh, seakan menembus cakrawala senja yang perlahan mulai meredub.

“Ibu masih kepikiran masalah itu?”

Aku hanya bisa mengangguk pelan.

“Kalo seandainya gak ada Nova, mungkin ibu bisa lebih mudah menghadapi masalah ini.” gumanku.

“Ibu hanya bingung bagaimana menghadapi Nova, bagaimana bersikap, seandainya kelak Nova bertanya tentang ayahnya.” sambungku.

“Nova pasti akan mengerti. Hati dan pikirannya akan mampu menerima kenyataan pahit ini. Kelak, dia akan menjadi perempuan kuat seperti ibu.” Kata Pram.

Aku menoleh sejenak, memandangi wajah lelakiku yang selama ini selalu setia mendampingiku.

“Aminnn..” jawabku singkat.

Pram pun tersenyum dan segera bergeser mendekat. Satu tangannya segera melingkar di pinggangku dan mengajakku memasuki rumah, menuju ke ruang tengah.

“Lhoooo.. dedek mamam roti?” tanyaku setelah melihat Nova menggengam sebuah roti di tangannya.

“Nova udah makan dua lho mbak. Kayaknya dia suka.” kata Nina.

“Pasti nanti gak makan nasi.” kata Pram.

Segelas susu pun ludes dilahapnya, dan pada akhirnya, tiga potong roti oleh-oleh dari Nina pun lenyap.

“Gapapa gak makan nasi, roti kan kaya karbohidrat, sama aja kayak nasi.” sambung Nina.

Hampir setengah jam berlalu, dan Nova, putri kecilku mulai nampak mengantuk. Jam didinding menunjukkan waktu pukul tujuh malam. Tak sampai setengah jam kemudian, Nova pun terbuai dalam alam mimpi sambil menikmati belaian manja dari lelakiku.

“Dia udah bisa jadi suami.” bisik Nina sambil memandangi Pram yang tengah asik memanjakan putriku dalam dekapannya.

“Hee eemmm..” jawabku singkat.

Selanjutnya, kami kembali terdiam sambil menyaksikan pemandangan itu, dan lelakiku tampak begitu menikmati perannya sebagai lelaki dewasa bagi Nova, putriku.

“Nina mau nginep disini apa mau pulang?” tanyaku memecah keheningan.

“Emang kalo nginep disini gapapa?”

“Ya gapapa dong.” jawabku sambil menatapnya.

“Berarti kita bobonya bareng sama Pram?” tanyanya lagi sambil berbisik.

Senyum usil nan nakal segera terkembang dari wajah cantiknya. Entah apa yang Nina pikirkan, sehingga ia berani bertanya seperti itu terhadapku.

“Kita kalah sama Nova.” jawabku pelan.

“Pram bakal memilih menemani Nova daripada kita.” sambungku.

“Mbak yakin?” tanyanya sambil mulai menarik ujung rok panjang yang ia kenakan dengan perlahan.


♡♡♡bersambung♡♡♡

Part 4 akan rilis dalam beberapa jam kedepan
Terima kasih :rose:
Makin seru aja
Apakah akan ada 3s?
Makasih updetannya mbak sist @merah_delima
 
mantap setelah sekian purnama ternyata ternyata updage lagi. mantapi semoga kedepan makin keren. menunggu foursomenya sama rita dan nina.ahahahha
kalk 3somemah mungkin update berikutnya kali ya.wkwkwk
 
Part 3



Rindiani


Sejenak, kami larut dalam keheningan sambil terus memandangi Pram dan Nova yang tengah menikmati waktunya. Pikiranku kembali melayang jauh, mengingat awal keretakan rumah tanggaku. Memori itu akan selalu ada dan menjadi jarum yang selalu menyakiti jiwaku.

“Mbak gak kepingin balas dendam?” tanya Nina.

Aku menggelengkan kepala sambil menatapnya.

“Mbak udah ikhlaskan semua. Mbak anggap ini emang jalan takdir.” jawabku singkat.

“Emang mbak gak sakit hati??” tanyanya lagi.

“Awalnya sih sakit banget. Mbak sampe stres. Hampir tiga bulan mbak pulang kampung, menenangkan diri disana.”

“Trusss…?” tanya Nina.

“Pram yang membantu mbak selama ini. Dia yang nyemangatin, dia menghibur mbak sampai akhirnya mbak bisa bangkit lagi.”

Nina kembali melayangkan pandangannya ke arah lelakiku sambil melipat kedua tangan didepan dadanya.

“Setidaknya, Nova masih bisa merasakan kasih sayang dan perhatian dari Pram.” gumannya.

Aku hanya bisa mengangguk pelan, mengamini perkataan Nina. Sungguh sedih melihat nasib putriku, karena ulah suamiku, Nova harus menjalani hari-hari tanpa sosok ayah.

Sejauh ini, Pram adalah satu-satunya sosok laki-laki yang dekat dan akrab dengannya, ia mampu berperan sebagai sosok ayah bagi putriku. Namun, sampai berapa lama hal ini berlangsung, karena cepat atau lambat, Pram akan pergi dari kehidupan kami.

“Mbak gak kepingin cari suami lagi?” tanya Nina.

Aku tersenyum sambil menggeleng pelan dan terus memandangi kedua insan dihadapan kami.

“Mbak belum siap Nin, lagian belum resmi bercerai juga.”

“Paling enggak kan mulai membuka hati.. atau mungkin udah gak perlu cari jodoh lagi, soalnya udah ada Pram.” balasnya sambil bergeser mendekat kearahku, lalu tersenyum.

Aku pun mengalihkan pandanganku padanya sambil tersenyum.

“Kasihan dia. Dia layak untuk mendapatkan perempuan yang lebih baik dari mbak.”

“Usianya masih muda, jalan hidupnya masih panjang. Ada banyak perempuan diluar sana yang lebih layak untuk menjadi pendampingnya.”

Nina segera merangkul pinggangku dan menyandarkan kepalanya di pundakku sambil terus memandangi Pram dan Nova yang tengah asik bercanda ria.

“Apapun bisa terjadi, karena kita gak pernah tahu, kemana garis takdir akan membawa kita.” gumannya.

“Iya sih.. bener begitu.. tapi realistis aja deh. Pram masih muda, sedangkan mbak lebih tua dari dia. Janda, punya anak.”

“Jadi.. sebenernya mbak ada feeling ke Pram?” tanyanya pelan agar percakapan kami tak terdengar oleh lelakiku.

Aku tersenyum sambil menundukkan wajah.

“Ya gapapa sih mbak, itu kan wajar. Lagian kalo dia juga punya feeling yang sama, berarti kan gak ada masalah.”

“Gak semudah itu lho dek. Masih banyak yang harus dipikirkan.”

“Mikir apa lagi sih mbak?”

“Keluarga Pram juga punya andil lho, kalo seandainya mbak dan Pram bener-bener serius sama hubungan ini.”

Terdengar suara hembusan nafas panjang dari Nina. Aku yakin ia pun sedang memikirkan hal tersebut karena kedekatan kami.

“Kalo mbak Aya sih kayaknya gak masalah, tapi gak tahu papa mamanya.” kata Nina.

“Belum tentu juga sih Nin, biarpun kita akrab, deket, belum tentu mbak Aya setuju.”

“Ribet banget…” guman Nina pelan sambil kembali menyandarkan kepala di pundakku.

“Wajar aja sih, apalagi mbak Aya sayang banget sama Pram. Dia peduli banget sama adiknya.” sambungku.

Percakapan kami akhirnya terhenti ketika Nova melangkah perlahan menghampiri kami dan langsung memeluk kaki Nina.

Kepalanya menengadah, memandang Nina. Nina segera berjongkok dan menyambut putriku.

“Kok gak main sama mas Pram lagi?” tanya Nina sambil kengusap kening Nova yang berkeringat.

Bukannya menjawab pertanyaan Nina, Nova justru meminta Nina untuk mengendongnya. Tentu saja tingkah manjanya membuat Nina tersenyum dan segera mendekap Nova dalam pelukannya.

Tak berapa lama kemudian, mereka pun kembali memasuki rumah, bersantai di ruang tengah. Pram hanya tersenyum dan kembali menghampiriku.

“Emang tadi ngobrol apaan sih bu? Kayaknya serius banget.” tanyanya sambil berdiri disampingku.

“Gak ada yang penting kok sayang. Kita cuman ngobrolin tentanga masalah ibu itu.”

Pram hanya diam membisu, tatapannya melayang jauh, seakan menembus cakrawala senja yang perlahan mulai meredub.

“Ibu masih kepikiran masalah itu?”

Aku hanya bisa mengangguk pelan.

“Kalo seandainya gak ada Nova, mungkin ibu bisa lebih mudah menghadapi masalah ini.” gumanku.

“Ibu hanya bingung bagaimana menghadapi Nova, bagaimana bersikap, seandainya kelak Nova bertanya tentang ayahnya.” sambungku.

“Nova pasti akan mengerti. Hati dan pikirannya akan mampu menerima kenyataan pahit ini. Kelak, dia akan menjadi perempuan kuat seperti ibu.” Kata Pram.

Aku menoleh sejenak, memandangi wajah lelakiku yang selama ini selalu setia mendampingiku.

“Aminnn..” jawabku singkat.

Pram pun tersenyum dan segera bergeser mendekat. Satu tangannya segera melingkar di pinggangku dan mengajakku memasuki rumah, menuju ke ruang tengah.

“Lhoooo.. dedek mamam roti?” tanyaku setelah melihat Nova menggengam sebuah roti di tangannya.

“Nova udah makan dua lho mbak. Kayaknya dia suka.” kata Nina.

“Pasti nanti gak makan nasi.” kata Pram.

Segelas susu pun ludes dilahapnya, dan pada akhirnya, tiga potong roti oleh-oleh dari Nina pun lenyap.

“Gapapa gak makan nasi, roti kan kaya karbohidrat, sama aja kayak nasi.” sambung Nina.

Hampir setengah jam berlalu, dan Nova, putri kecilku mulai nampak mengantuk. Jam didinding menunjukkan waktu pukul tujuh malam. Tak sampai setengah jam kemudian, Nova pun terbuai dalam alam mimpi sambil menikmati belaian manja dari lelakiku.

“Dia udah bisa jadi suami.” bisik Nina sambil memandangi Pram yang tengah asik memanjakan putriku dalam dekapannya.

“Hee eemmm..” jawabku singkat.

Selanjutnya, kami kembali terdiam sambil menyaksikan pemandangan itu, dan lelakiku tampak begitu menikmati perannya sebagai lelaki dewasa bagi Nova, putriku.

“Nina mau nginep disini apa mau pulang?” tanyaku memecah keheningan.

“Emang kalo nginep disini gapapa?”

“Ya gapapa dong.” jawabku sambil menatapnya.

“Berarti kita bobonya bareng sama Pram?” tanyanya lagi sambil berbisik.

Senyum usil nan nakal segera terkembang dari wajah cantiknya. Entah apa yang Nina pikirkan, sehingga ia berani bertanya seperti itu terhadapku.

“Kita kalah sama Nova.” jawabku pelan.

“Pram bakal memilih menemani Nova daripada kita.” sambungku.

“Mbak yakin?” tanyanya sambil mulai menarik ujung rok panjang yang ia kenakan dengan perlahan.


♡♡♡bersambung♡♡♡

Part 4 akan rilis dalam beberapa jam kedepan
Terima kasih :rose:
Suka banget dgn crita ini....smoga happy ending dgn pram ya.?walaupn ada konflik dr kel pram. Sekalian mmbr pelajaran pd mantan suami
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd