Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Rumble X Riot!

Status
Please reply by conversation.
nunggunya sama kaya nunggu beduk maghrib nih..........
 
EPISODE V: Farewell, Hawk/Welcome, Crow - PART I





Selesai deklarasi terbuka tantangan terhadap sang penguasa sekolah, aku kembali pulang. Hanya ada satu tempat yang bisa kutuju, yaitu kamar kostku. Tapi aku agak ragu, dua minggu aku telat bayar uang sewa, dan pasti si Ibu kost yang galak itu akan marah-marah. Memikirkan hal itu, membuat langkahku gontai.

Terlalu banyak yang harus aku selesaikan. Terlalu banyak hal-hal yang harus dipikirkan. Aku bahkan tak tahu lagi, kini aku berperan sebagai Elang atau Riza. Kadang aku bersikap lebih agresif dari biasanya, kadang aku tahu bahwa itu salah. Apa itu kepribadian? Bagaimana cara kerjanya dengan otak? Memikirkannya saja membuat kepalaku sakit.

Tapi yang jelas, aku kembali ingat dengan jelas masa-masa kecil dulu. Ingat bagaimana kedua tangan ini pernah mengakhiri hidup orang-orang. Mereka mungkin melihatku sebagai pribadi yang tenang dan pendiam, tapi mereka tak pernah tahu bahwa aku telah menjadi pembunuh di umur yang masih sangat muda; ketika seumuranku bermain boneka atau layang-layang.

Lalu siapa Elang? Sekarang, tiap kali menyebut nama itu, hanya ada kekosongan yang terasa. Seperti mencoba mengingat seseorang yang tak pernah ada. Dan semua ingatan buatan yang menyertainya kini bagai cerita dongeng pengantar tidur saja. Menyedihkan.

Tak terasa, aku sudah berada di depan pagar. Dibaliknya, gedung kost tiga lantai berdiri kokoh, dan tepat di lapangan tampak Ibu kost yang tengah menjemur pakaian. Aku baru saja ingin memutar haluan, ketika Ibu kost memergokiku dan berteriak lantang.

"Mau kemana kamu...?! Kabur?!"

Aduh, masalah baru. Aku terpaksa membuka pagar, masuk menghampirinya.

"Kemana aja selama ini? Main kabur aja ga bayar sewa, kalo emang mau pindah ngomong, yang mau ngekos banyak!"

Ibu-ibu dengan rambut ikal sebahu dan berdaster ini memang dikenal cerewet. Amat-sangat-cerewet. Apalagi kata-katanya yang tajam dan menusuk di hati. Dan ocehannya semakin menjadi-jadi hanya karena aku diam saja tak menanggapinya.

"Udah ga mampu bayar hah? Angkat kaki sekarang, terus bayar sewa selama dua minggu, kalo miskin gausah pake sewa kos sega--"

Ups, aku meninju perutnya. Dia terlalu berisik, membuat kuping pengang. Andaikan dia bisa lebih ramah, mungkin aku tak harus membuatnya pingsan seperti ini.

Aku meninggalkan wanita gendut itu, tergeletak di atas lantai beton lapangan. Kakiku sigap menaiki tangga, menuju kamarku. Ada beberapa barang yang mesti dibereskan sebelum angkat kaki dari sini.

Dan disanalah Mira, duduk meringkuk di depan pintu. Ketika melihatku, dia langsung bangun dan merapikan bajunya. Tak lupa yang menjadi ciri khas gadis ini: membetulkan letak kacamata.

"Tadi katanya ka-kamu... se-sekolah ya?"

Aku mengangguk. "Iya, cuma ketemu Kepala Sekolah aja. Terus pulang, kesini deh. Kok tau?"

Mira memperlihatkan pesan di layar ponselnya padaku. Disana tertulis satu pesan singkat tentang kehadiranku disekolah.

"Aku dikasih tau tadi, kebetulan juga aku ga sekolah jadi bisa langsung kesini. Oh iya, boleh masuk?"

Aku tertawa sinis, kemudian menggeleng.

"Kenapa?"

"Gue mau pindah dari sini, ga ada duit buat bayar sewa," jawabku.

Mira memandangku lekat, lalu bertanya lagi, "kemana pindahnya?"

"Belom tau, yang penting pergi aja dulu."

Aku agak heran ketika melihat satu senyum terkembang di bibirnya yang tipis. Dan sepertinya beberapa detik lagi aku akan tahu jawabannya.

"Kerumah aku aja yuk, tinggal disana. Daripada kamu ga ada tujuan, kan lumayan sekalian aku ada temennya," tawar Mira padaku.

"Jangan bercanda ah. Gue cuma bisa nyusahin doang loh, lagian mana boleh nanti sama orangtua lo?"

Mira mengenggam kedua tanganku erat, dan melihatku dengan mata berbinar. "Aku ga tinggal sama orangtua kan, mereka di luar negeri. Pulang cuma pas liburan sekolah aja," katanya.

"Lah jadi selama ini?"

"Tinggal sendiri, hehe. Makanya, aku kalo ga sekolah kesepian dirumah. Seenggaknya kalau ada kamu jadi lebih ramai."

Aku mulai menimbang-nimbang tawaran Mira. Jadikan saja ini opsi alternatif jika aku tak mendapatkan tempat tinggal baru. Sementara Mira, memperhatikan suasana sekitar yang sepi. Dan dia agak terkejut ketika melihat ke lapangan.

"Itu siapa? Kok tidur di lapangan?"

Aku segera menarik tangan Mira, menuruni tangga. "Yuk, pergi dulu dari sini."

Persetan dengan opsi alternatif. Aku lapar, haus, dan butuh tempat untuk mandi. Juga istirahat untuk menenangkan diri.


***


"Jadi, lo tinggal sendirian disini?" tanyaku, sambil memperhatikan rumah Mira dari pekarangan.

Mira mengangguk, lalu mengajakku masuk. Ternyata, Mira tinggal di perumahan berkonsep cluster. Ada lima rumah berderet dalam satu baris, dan karena di cluster ini ada dua baris rumah, maka total ada sepuluh rumah yang berdekatan dan berhadap-hadapan dalam satu lingkungan. Seperti kebanyakan rumah konsep cluster, tipe bangunannya pun minimalis-modern. Untuk ukuran gadis yang tinggal sendirian, this is too much.

"Bersihinnya capek pasti ya kalo sendirian gini?" tanyaku, memulai pembicaraan baru.

"Iya, capek banget," jawab Mira lirih. "Aku seminggu dua kali beres-beres rumah, tapi ga terlalu masalah. Yang ga enak itu kalo mau apa-apa tapi sendirian. Makan sendiri, nonton tivi sendiri, belajar juga sendiri, dan tidur pun sendiri," sambung dia.

Tidur bukannya biasanya sendiri? Terus, maksud dia apa? "Maksudnya? Tidurnya minta ditemenin gitu?"

Mira menggeleng pelan. "Aku ga pernah tidur bareng papa-mama dari kecil, selalu sendiri. Kadang, aku iri sama anak lain yang seenggaknya pernah tidur satu kasur dengan orangtua mereka," katanya.

Oh, begitu. Bodoh sekali aku, malah memikirkan hal-hal mesum. Yah, semua orang punya sisi kelam, hal-hal yang menyakitkan dalam hidup mereka. Beberapa ada yang terang-terangan menunjukkannya, beberapa ada yang dapat menyembunyikannya dengan rapat. Jika bisa membandingkan, Helen masih lebih baik. Setidaknya dia punya pembantu yang bisa disuruh seenaknya, sedangkan Mira selalu sendiri. Aku rasa, aku bisa mengerti perasaannya.

"Oh iya, aku mau nanya sesuatu," kata Mira.

"Apa?"

"Elang kemana?"

Aku seketika menoleh kearahnya. Kaget dengan pertanyaan kritis yang begitu tiba-tiba, aku tak dapat menyembunyikan raut kagetku.

"Maksudnya apa nanya gitu?"

Mira mendekatiku, lalu kembali menggenggam kedua tangan seperti yang dia lakukan tadi di depan kamar kostku. "Somehow, aku merasa kamu bukan Elang. Dari sikap, bahasa tubuh, intonasi suara, maupun pola pikir dalam berkata-kata. Kamu mengenaliku, juga semua orang yang kamu kenal selama sekolah, tapi kamu seakan hanya mengenal mereka sekedarnya." Mira menggenggam tanganku semakin erat. "Tangan kamu gemetar, seperti ada sesuatu yang disembunyiin. Kalau kamu Elang, kamu ga akan mau dipegang tangannya seperti ini. Jadi, apa yang terjadi selama dua minggu menghilang?"

Aku diam. Haruskah memberitahu Mira? Aku bahkan tak yakin untuk bercerita, tak yakin dia akan percaya. Mira akan menganggapku mengidap gangguan mental, disarankan konsultasi dengan psikiater, dan kembali masuk rumah sakit jiwa. Tidak, aku tak akan bercerita. Dan apakah dia percaya jika aku bercerita tentang suara-suara yang sering menggema di kepalaku? Tentu tidak.

Tapi pelukan hangat Mira padaku, menepis semua rasa ragu itu. Rasanya menentramkan. Ini pelukan paling nyaman yang pernah kurasakan. Milik orang yang tahu rasanya sendiri, dan tak mau ditinggal pergi.

"Kalo gue cerita... emang lo percaya?"

Mira mengangguk. "Setidaknya kamu lega karena udah cerita," katanya, lirih.

"Tapi darimana mesti dimulainya?" tanyaku.

Mira mengajakku duduk di sofa. Menghidangkan segelas sirup rasa jeruk, dan membuatku senyaman mungkin. Dia berbeda dengan Mira yang selama ini kukenal, atau yang selama ini Elang kenal, lebih tepatnya.

Aku pun menceritakan semuanya. Tentang awal mula suara-suara itu muncul, tentang identitasku, tentang masa laluku, tentang bagaimana ingatanku dimanipulasi, dan keherananku karena suara-suara itu kini telah menghilang. Mira mendengarkan dengan serius, sambil sesekali terlihat menahan nafas. Mungkin baginya, ini hanya cerita setara drama korea. Mungkin, dia tak benar-benar bisa mengerti ceritaku. Mungkin, setelah ini aku akan ditendang keluar dari rumahnya dan menganggapku orang gila. Mungkin.

"Menerima diri sendiri itu baik sebenarnya," komentar dia, pertama kali sehabis mendengar sampai tuntas ceritaku. "Tapi... ada beberapa hal yang mesti kamu selesaikan dulu sebelum kepribadian Elang benar-benar menghilang."

"Tapi gue, aduh gimana ngomongnya ini," balasku sembari menggaruk kepala yang tak gatal. "Tapi gue masih ngerasa gue yang biasanya, Mir."

"Bukan. Kamu pelan-pelan, tapi pasti, mulai berubah. Mulai dari tingkah laku, gaya bicara, bahkan detil interaksi. Elang seharusnya memanggil Mira dengan sebutan Mii-chan," kata Mira disertai senyum kecil padaku. "Sedikit lagi, kepribadian Elang beserta semua yang aku kenal darinya akan menghilang, seiring kepribadian asli kamu yang kembali. Aku sih ga masalah, tapi masalah itu ada di kamu."

"Tapi masalah gue apa? Iya gue ngerasa ada masalah, tapi ga tau apa."

"Hmph," Mira mendekatiku, lalu membelai lembut pipiku. "Coba temui Nia dan Jon, tanya kabar mereka. Mereka masih temen kamu kan?"

Oh iya. Nia dan Jon. Gara-gara aku lah, mereka jadi menderita. Dan sampai sekarang aku masih belum tahu kabar mereka berdua. Jika memang kepribadianku sebagai Elang akan menghilang, maka hal terakhir yang bisa kulakukan untuknya adalah menyelesaikan semua masalahnya. Dan itu harus.

"Mandi dulu, terus makan. Kamu mandi, aku masak buat makan. Belum makan kan?"

Ah, gadis ini ternyata perhatian sekali.


***


Saatnya berangkat sekolah. Tinggal di rumah Mira cukup menyenangkan, setidaknya lebih baik daripada tinggal sendiri. Pagi ini, Mira membuatkanku sarapan. Cukup perhatian juga anak ini. Dan berhubung aku tidak membawa pakaian ketika pindah kesini, maka jadilah aku bersekolah dengan memakai pakaian seadanya. Celananya masih bisa diakali, tapi seragamku sudah lecek dan bau matahari.

"Nih, pakai baju aku dulu aja. Itu kausnya di aku longgar, ukuran L soalnya. Di kamu pas mungkin," kata Mira sambil menyerahkanku sepotong kaus dan jaket baseball. "Emang gapapa pake jaket? Aku sih ada jaket yang ukurannya XL, coba aja pakai dulu."

"Ga masalah kok," aku mengganti baju, tepat di depan Mira, "Nah ini ngepas semua. Jaketnya juga nyaman. Gue pinjem dulu, makasih ya."

Kami pun berangkat menuju sekolah. Karena dirumah Mira tidak ada kendaraan, maka kami harus pergi kesana dengan berjalan kaki sampai area jalan raya, lalu menyambung dengan angkutan umum. Tidak masalah, lagipula selama tinggal di kost aku juga melakukan hal yang sama. Dan oh, meski tinggal serumah tapi aku tak berpikir akan melakukan hal-hal mesum dengan Mira. She's not my type, after all.

Ketika tiba di sekolah, bertepatan dengan bel tanda pelajaran pertama dimulai. Mira langsung tergesa-gesa menaiki anak tangga, menuju ke kelasnya. Sebelum menghilang dibalik pintu kelas, Mira menyempatkan bertanya padaku.

"Kamu dimana nanti?" tanyanya. Dapat kutangkap ada sedikit kecemasan di raut wajahnya.

Aku menunjuk ke arah atap. "Paling disana aja, ngabisin waktu sampe jam istirahat," jawabku.

"Jangan lupa kabarin kalau istirahat nanti ya," Mira melambaikan tangan, lalu segera masuk ke kelasnya. Aku menggelengkan kepala sedikit, lalu tersenyum kecil. Cewek itu terlalu baik, entah apa maksudnya dibalik semua perlakuan baik ini.

Yah, bukan berarti aku tak menghargai kebaikan orang lain. Tapi dari pengalamanku, tak ada orang yang benar-benar baik. Yang ada hanya orang yang baik dengan tujuan tertentu. Yep, everything has a purpose, dan ketulusan hanya mitos yang aku tak yakin itu benar-benar ada atau tidak. Tapi... Mira mengingatkanku bahwa ada kewajiban yang belum aku selesaikan. Dan ketika mengingat Nia, juga apa yang terjadi padanya, membuat emosiku memuncak.

Harus ada yang diberi pelajaran atas perbuatan mereka.

Maka, aku menaiki anak tangga menuju lantai tiga dimana kelas dua terletak. Langkahku cepat-cepat menuju kelas 2-A, berdiri di depan pintu kelas, lalu...

Bunyi gebrakan keras menggema memecah kesunyian suasana sekolah. Ups, aku menendang pintu terlalu keras, sehingga pintunya terlepas dan terpental ke dalam kelas. Murid-murid kelas tiga serentak menengok ke arah pintu, dan bisa kulihat ekspresi terkejut mereka ketika melihatku berdiri di ambang pintu.

"Ada yang liat Kai?" tanyaku, santai. Kedua tangan dimasukkan ke saku celana, berdiri bersandar dan mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kelas. "Gue ada urusan sama dia."

Salah satu penghuni kelas 2-A bereaksi terhadap tingkahku. Satu yang kepalanya plontos. "Berani macem-macem lu hah kesini?!" Dia tergesa-gesa menuju depan kelas, ingin mendekatiku. "Belom tau ngerinya anak ke—"

Kalimatnya terpaksa kuhentikan ketika aku melompat dan tiba-tiba kakiku telah berada di depan wajahnya. Si plontos terjengkang ke belakang akibat tendangan kakiku telak menghajar wajahnya. "Gue ga ada waktu ngeladenin sampah," aku melancarkan provokasi sambil mengetuk-ngetukkan sepatuku ke lantai. "Gue cuma ada perlu sama Kai, dan... oh iya, lupa. Sebenernya gue kesini mau ngehancurin kelas kalian. Ini-cuma-dendam-pribadi, hehe."

Seisi kelas serentak menghambur ingin menghajarku beramai-ramai. Aku bersiul sedikit untuk mengendalikan tensi emosi, tapi sepertinya itu kurang membantu. Yah... go all out, then.

Semoga-luka-kalian-tidak-terlalu-parah-nantinya.


***


Aku menaiki anak tangga yang menuju ke atap sekolah. Setelah membereskan urusan di kelas 2-A, dan menghajar beberapa anak kelas tiga yang sedang duduk-duduk di anak tangga barisan bawah yang menghalangi aksesku menuju atap. Bukan salahku, ini salah mereka yang cari gara-gara. Aku sudah berbaik hati bilang permisi, tapi mereka malah mencengkeram kerah kausku. Kalian tahu, itu agak mengganggu. Kausnya jadi melar di bagian kerahnya nanti.

Maka, aku sedikit bermain-main dengan mereka. Tidak, tak sampai sekarat. Hanya ada beberapa bunyi 'krek' di sana-sini, cukup untuk membuat mereka duduk manis selama beberapa bulan. Setelah itu, aku bisa dengan santai naik ke atap, dan bertemu Kai.

"Wah, beneran ada disini," sapaku pada Kai yang sedang duduk pada sebuah kursi kayu. "Gue mau nanya sesuatu dong."

Lucu, Kai terlihat kaget akan kedatanganku. Dia langsung mengambil sikap berjaga-jaga ketika aku mendekatinya. Menatapku tajam, dan ketika melihat bercak darah pada jaket dan kausku, tatapannya menjadi semakiii~n tajam.

"Lo tau dari mana gue disini?" tanya Kai, mengambil langkah mundur. "Apa jangan-jangan...."

Aku menggaruk kepala sebelum menjawab pertanyaannya. "Yah, agak makan tenaga juga. Mereka kayak kecoa, udah tumbang tapi tetep ngotot ngelawan," aku menghitung dengan memperlihatkan gestur membuka jari yang terkepal. "Satu, dua, empat... ngg... ternyata butuh seisi kelas biar dapet jawaban lo ada disini, ahahaha~"

Mata Kai semakin terbelalak lebar. Dia seakan tidak terima atas apa yang telah kulakukan. "Jadi... elo... temen-temen gue...."

"Ga sampe mati kok, cuma... yah, begitulah."

"BANGSAAAAT!" Kai langsung menerjangku, tapi aku dapat menghindar dengan melompat mundur. Lalu aku mengetukkan ujung kaki beberapa kali, dan diakhir ketukan yang kesekian, aku bergerak maju. Hasilnya, aku bergerak dengan sangat cepat bahkan sampai melewati Kai tanpa dia sadari. Aku bisa membayangkan wajah kagetnya itu, sepertinya lucu. Tapi—

"MAKAN NIH NYET!" Kai sudah berbalik badan lalu bergerak mengejarku dengan kecepatan yang sama, dan dia kini mengacungkan tinjunya ke arah mukaku. Tak ada waktu untuk menghindar, jadi...

Tangkis? Aku-bukan-pengecut.

Tinju Kai telak menghantam pipiku, tapi aku juga menyiapkan serangan balasan berupa tendangan yang bersarang mulus di perutnya. Aku sedikit kehilangan keseimbangan, sementara Kai terpental ke belakang. Lucu ketika melihatnya kepayahan begitu.

"Diem dulu. Gue mau nanya," kataku sambil mendekat.

Tapi Kai segera bangkit, dan bersiap melakukan perlawanan lagi. Aku menarik napas sejenak, lalu kaki kananku menghentak tanah, tepat ketika aku sedikit memiringkan badan menghindari tinjunya. Otomatis celah di dada Kai terbuka lebar, dan telapak tanganku dengan cepat menghantam dada sebelah kiri Kai lalu menghentaknya sekali. Efek hentakan itu membuat tubuh Kai lunglai, lalu ambruk ke lantai. Napasnya tersengal, bagai ikan yang menggelepar karena terdampar di daratan. Begitu menderita, begitu kepayahan.

Aku mengitari tubuh lemahnya, lalu duduk di kursi yang tadi dia duduki. "Kan dibilang, diem dulu. Kalo lo bisa tenang, gue juga ga mesti repot begini," kataku, enteng. "Jadi, gini.. ini soal Nia."

Kai masih berusaha mengatur napasnya, terlihat dari dadanya yang turun naik. Dia bahkan tak sanggup bergerak akibat pukulanku tadi. Kasihan. Poor lil' Kai. Tentu saja, sengaja kuincar jantungnya agar dia bisa segera kulumpuhkan. Tentu, dengan frekuensi tenaga yang kutakar sehingga tak sampai berakibat terlalu fatal untuknya. Dan lagi, itu teknik favorit yang Kakek ajarkan padaku. Damage? One-Hit KO.

"Waktu itu, bukannya kita anggap kejadian itu ga sah? Gue lepas kendali, dijeblosin ke penjara, dan lo pasti tau itu kan?"

Kai, dengan tersengal-sengal, mencoba menjawab. "Tapi... itu... haahh... haahh...."

"Engga, engga. Itu bukan cara yang sportif, senior. Yang gue sayangin, kenapa temen-temen lo masih... merkosa temen gue?" Aku menggelengkan kepala, sambil mendesah berat. "Gue tau, Nia itu cewek yang agak... ngg, apa namanya? Gampangan, ahaha. Tapi, tapi, dia temen sekelas gue. Dan temen macem apa yang ngebiarin temennya disakitin?"

"Ma-makanya, dengerin... haahh.. haahh... dengerin du-dulu," Kai mencengkeram dadanya kuat-kuat, seperti merasakan sakit yang amat sangat.

"Alibi apa lagi yang mau lo gunain buat pembelaan?"

"INI SERIUS, GUE GA BOONG!" Kai mencoba bangkit, menatapku tajam meski tubuhnya sendiri kini kepayahan. "Gue juga... gue juga ga tau kenapa pas... haahh... masuk kelas, baju Nia udah sobek-sobek. Dia... sorot matanya juga waktu itu kosong... haahh... dan bilang kalo anak kelas gue yang merkosa dia. Tapi, tapi... gue udah intruksiin supaya jangan ada yang masuk kelas sebelum waktu abis! Da-dan, gue sebenernya ga pernah serius buat niat merkosa Nia! Itu cuma bercanda aja, sekedar hasutan supaya... haahh... haahh... suasana jadi makin seru," jelas Kai diselingi tarikan napas beberapa kali.

Tunggu. Jadi, yang memperkosa Nia bukan seluruh anak kelas 2-A, tapi...

"Terus kemana orang-orang yang merkosa Nia sekarang?"

"Total ada enam orang. Dan gue... gue udah bikin perhitungan sama mereka. Pas gue tanya, mereka tadinya cuma mau bebasin Nia aja, tapi malah berakhir... yah, tau sendiri," kata Kai lagi. "Sekarang enam orang itu udah ga sekolah disini lagi. Kalo lo mau bales dendam, gue tau dimana masing-masing dari mereka biasa nongkrong. Ta-tapi.. hahh.. ini ga ada hubungannya sama anak kelas 2-A yang lain," Kai menutup kalimatnya dengan kepala tertunduk, sambil sebelah tangan masih mencengkeram dadanya. Dia semakin kepayahan, duduk bersandar pada pagar.

Aku diam. Diam seribu bahasa, diam tak berkata-kata, hanya diam. Semuanya menjadi semakin jelas, yap, jelas-jelas ini semua kesalahanku. Aku yang menyuruh para pemerkosa itu untuk membebaskan Nia, tanpa memperhitungkan kemungkinan bahwa mereka juga bisa memperkosa Nia. Kalau ada yang paling disalahkan, itu aku.

Aku tertunduk malu. Rasanya benar-benar tak nyaman. Seperti ini rasanya merasa bersalah? Aku punya andil besar dalam pengrusakan hidup orang lain, dan itu kesalahan yang fatal. Bagaimana aku harus bertanggung jawab? Bagaimana aku harus menjelaskan ini pada Nia? Bagaimana dengan orang-orang yang tadi kuhajar tanpa tahu salah mereka apa?

"Gue cabut," kataku, sambil berlalu. "Atur napas sebaik mungkin, tahan napas selama beberapa detik, keluarin, ulangi lagi. Terus gitu sampe sepuluh menit, nanti jantung kembali memompa darah. Oh iya, maaf tentang tadi," tambahku.

Aku menuruni anak tangga, meninggalkan Kai sendirian di atap. Perasaanku kacau, dan tak tahu harus berbuat apa. Balas dendam? Itu bisa dipikirkan nanti. Aku ingin menemui Nia, secepatnya. Tapi, aku tak punya muka untuk bertemu dia. Dan akan semakin malu jika nanti Nia tahu yang sebenarnya.

Masih ada Jon. Aku belum tahu bagaimana kondisinya sekarang.


***


Sepulang sekolah, aku minta diantarkan oleh Mira kerumah Jon. Setelah turun dari angkutan umum, aku dan Mira berjalan kaki sedikit sampai tiba di depan satu ruko berlantai dua. Mira bilang, bahwa keluarga Jon mengelola warung agen yang lumayan besar, dan mereka sendiri tinggal di lantai dua. Mira mengantarku sampai depan toko, lalu pamit untuk pulang lebih dulu.

Aku menarik napas panjang. Harus tenang, tenang. Bagaimanapun yang terjadi nanti, aku harus siap mental untuk segala kemungkinan.

"Permisi pak," sapaku pada seorang bapak gemuk yang sedang duduk-duduk di dalam toko. "Jon nya ada?"

Bapak itu mengamatiku lekat-lekat, lalu secara spontan menjawab, "oh, ada, ada. Temen sekolahnya? Maapken ya dek, Jono masih belum bisa masuk sekolah. Masih belum membaik." Bapak itu lalu mempersilahkanku masuk, kemudian mengantarkanku ke rumah di belakang toko. "Banyak tugas ya? Silahken naik ke lantai atas, Jono lagi tiduran aja di kamarnya," Bapak itu memanggil salah satu anak muda yang kelihatannya pegawai toko, "Ambilkan minum sama suguhan buat adek ini ya. Dek, Bapak masih jaga toko, adek naik duluan saja."

Aku mengangguk, lalu segera menaiki anak tangga. Sesuai intruksi, aku mencari kamar Jon. Cukup mudah, pasti kamar yang banyak ditempeli stiker di pintunya.

Ketika membuka pintu, aku melihat sesosok pria muda tergolek lemah diatas kasur. Tubuhnya semakin kurus semenjak terakhir kali aku melihatnya. Dan lagi, kondisinya belum pulih pasca kejadian itu—setelah yang kulakukan padanya. Tentu masih ada sedikit kesal di hati tiap mengingat kata-katanya yang memprovokasi, tapi... orang bilang teman adalah segalanya; tak terbatas salah dan marah.

"Eh, ada tamu," katanya lirih. "Masuk, masuk. Sori, agak berantakan. Belom sempet beres-beres gue," Jon menyunggingkan senyum kecil padaku. Suasana yang canggung.

"Belom bisa kali, bukan belom sempet. Masih aja gengsi dipelihara," balasku asal. Mencoba mencairkan suasana.

Jon mencoba bangkit untuk duduk bersandar pada dinding, tapi sepertinya masih kepayahan. Maka aku dengan sigap membantunya, lalu mengambil satu kursi untuk duduk di sebelah tepian kasurnya.

"Keluar kapan dari rumah sakit?"

Jon sedikit membuka selimut, dan memperlihatkan tubuh telanjang dadanya yang banyak dihiasi bekas-bekas luka lebam. Terlalu banyak, juga di lengan kanan terdapat luka yang telah diperban. Ah, yang itu bekas gigitanku. Aku bergidik ngeri melihat hasil perbuatanku sendiri. Tapi tak cukup kaget, karena aku pernah melakukan yang lebih mengerikan dari ini.

"Baru minggu kemaren, El." Jon menggaruk kepalanya, mengacak-acak rambutnya yang panjang sebahu itu. "Gue ga betah dirumah sakit. Makanannya ga ada rasanya, hambar semua. Akhirnya gue maksa-maksa aja buat pulang. Lo sendiri... gue denger dimasukin ke...."

Kalimat Jon menggantung, tapi aku mengerti bahwa dia tak ingin menyinggungku. "Rumah sakit jiwa? Yep, dua minggu gue disana. Untung ada Miss Jojo, kalo engga ga tau deh keluarnya kapan," kataku, sambil tersenyum lebar. "Jon, gue mau—"

"Woy, woy, woy, stop sampe disitu!" potong Jon, panik. "Cowok ga minta maaf kalo abis berantem sama temennya, kampret. Jangan bikin situasi ini kayak drama korea deh," tambahnya, dan dia menghela nafas diakhir kalimatnya.

"Tapi kan gara-gara gue, lo jadi—"

Lagi-lagi Jon memotong kalimatku. "Halah, cowok tuh berantem wajar El. Justru dari situ bisa keliatan kualitas temenan kita kayak gimana. Anggap aja ini lagi sparing, dan gue kalah. 1-0. Lain kali, kita sparing lagi," katanya.

"Oh, iya deh." Aku pun larut dalam diam. Rasa tak enak ini benar-benar mengganggu. Dan lagi, aku semakin merasa bersalah ketika melihat kondisinya sekarang.

"Terus pas lo dimasukin ke tempat begituan," Jon terlihat bergidik, lalu melanjutkan kalimatnya, "reaksi Helen gimana?"

Aku tersenyum kecil. Rasanya sakit juga ketika orang yang paling kamu harapkan ada untuk mengerti dirimu tapi malah yang paling pertama meninggalkanmu. "Helen pergi, bener-bener ninggalin gue. Yah, yaudahlah. Maunya dia gitu mungkin."

"Oh, bagus kalo gitu. Gue seneng dengernya," bales Jon.

Emosiku serentak memuncak, hampir saja aku tinju mukanya jika saja aku tak ingat kondisi Jon saat ini. Aku berusaha menenangkan diri, mengatur nafas serta emosi. Tenang, cukup berlaku tenang.

"Gue udah nerima kok kalo lo mau deketin Helen. Gimanapun juga, kan lo yang duluan kenal," balasku.

Tapi Jon malah tertawa. Ralat, dia tertawa dengan keras. Tertawa sampai rasa nyeri di tubuhnya muncul lagi. Aku terheran-heran akan sikapnya. Yap, emosiku hilang, berganti keheranan yang belum terjawab.

"Gue ga mau deketin cewek kayak gitu ya, ogah! Justru gue seneng kalo lo udah ngejauhin dia. Gue seneng," Jon menghela nafas panjang, "temen gue ga dimanfaatin lagi."

"Ma-maksudnya?"

"Alesan selama ini sikap gue yang seakan ga suka lo jadian sama Helen itu, soalnya gue tau Helen cuma mau manfaatin lo doang. Gue tau cewek itu ambisius, tapi rasanya dia udah kebangetan. Sehari sebelum gue... ehem, yang dihajar abis-abisan itu," Jon melirikku sekilas, bercandanya benar-benar membuatku tak enak, "gue ketemu Helen di kelas kita. Gue terang-terangan bilang ke dia kalo gue ga suka caranya yang manfaatin lo biar dia bisa nguasain kelas per kelas, terus ngalahin kakaknya. Helen bilang, motif dia itu cuma mau buktiin dirinya, jadi yang nanti ngewarisin tahta bokapnya itu dia. Dia juga bilang, bakal ngelakuin cara apapun. Jelas gue marah, terus gue tinggalin. Terus gue ketemu Mira di lantai bawah, dan Mira bilang kalo Kai nantang elo di atap sekolah besoknya.

"Makanya, gue nginep di sekolah dan pas hari H nya gue buru-buru ke lantai empat buat cegat elo, El. Gue percaya lo bisa ngalahin Kai, makanya gue ga mau lo ngelawan itu orang. Helen udah kebangetan, dan gue mesti gagalin rencana dia. Bagus deh, akhirnya gue berhasil juga," jelas Jon sambil tersenyum lebar.

Aku menatapnya dengan pandangan sedih. "Tapi kenapa harus ngomong gitu? Kenapa mesti bersikap seolah-olah lo itu orang jahat? Kenapa mesti nyulut emosi gue jadi gue lepas kendali?"

"Itu sih salah gue. Kalo aja gue bisa ngomong yang sebenernya tanpa gengsi, mungkin ga gini kejadiannya. Tapi percaya kata-kata gue, persepsi orang ga bisa dirubah kalo itu menyangkut orang yang dia suka. Lo lagi buta waktu itu, terlalu mentingin Helen. Makanya, satu-satunya yang bisa gue lakuin, ya itu... begitu itu, deh."

"Ma-maaf... maaf... gue... minta maaf...," aku menutup setengah wajahku dengan sebelah tangan, "gue bener-bener minta maaf... selama ini, selama ini... gue... udah..."

"Hidup kadang emang gitu. Apa yang keliatan bukan berarti yang sebenernya. Gue pribadi ga masalah, demi temen."

Nanti dulu! "Sebentar, tadi yang ngasih tau lo itu..."

Jon setengah mengangkat alis, menatapku, "Mira. Dia udah baik ngasih tau gue."

Oh, Mira. Mira, Mira, Mira, Mira, Mira, Mira, Mira, Mira, Mira, Mira, Mira! Kalau saja dia tak memberi tahu Jon, maka aku tak harus menghajar habis teman baikku ini. Dia juga punya andil, dan dia tak cerita? Oh bagus, sepulang dari sini akan kubuat perhitungan dengannya.

Pasti.

"Jon, gue pamit dulu ya. Lo istirahat aja, biar cepet sembuh. Nanti, kita ketemu di sekolah," kataku.

"Loh kemana? Bentar banget. Itu diminum dulu lah, udah disuguhin juga."

"Gue mau ketempat Mira," aku berdiri lalu menuju pintu. "Gue mau berterima kasih sama dia, hehe," jelasku, sambil melempar satu senyum lebar.

"Sip-sip, hati-hati dijalan," kata Jon sambil melambaikan tangan.

Aku keluar dari rumah Jon, dan sepanjang jalan aku gemetar. Membayangkan apa saja yang bisa kulakukan pada Mira.

Sepertinya... menyenangkan.





​(Bersambung ke PART II)
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
:haha:
[size=+2]:malu:selamat berbuka puasa:o[/size]​
'
#:baca::kopi::kopi::kopi: pakesusu
'
'
jadi begono kejadiannyo:cool:
'
:panlok4:asieekk..
bisa apalah-apalah sama Mi-chan..
cuma berduaan serumah
juga mau membuktikan
apa ia masih setia
dengan janjinya
:pandajahat:
 
Terakhir diubah:
Ah part 2....

Scene nya terlalu panjang dan mira masih terlalu misterius
 
awalnya nich cerita ga gw baca...eeee nyelonong di page 1...iseng baca...menarik juga...tumplek blek crow zero...lanjuuuuut
 
aduh2....miiichan mw d exe ma d siksa elang nih..asik2....
miss-bone-48.gif
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd