Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
Absen malam di salah satu cerita yang menurut saya incest Ibu Anak terbaik yang pernah saya baca
 
Suhu , cerita anda sangat bagus, gaya bahasa, cara bertutur, mendeskripsikan suatu peristiwa juga terperinci dan jelas, saya berharap cerita bagus ini bisa diperpanjang
 
"Umi sudah lama nggak begini."

Aku yakin begini yang dimaksud Umi adalah berhubungan seks.

"Umi bahkan udah lupa …," Umi menatap ke arahku di sampingnya, yang langsung gelagapan karena kedapatan sedang memandanginya. "..., kapan terakhir kali disentuh laki-laki."

Kami rebahan bersisian. Masih sama-sama telanjang bulat. Beberapa menit setelah aku ejakulasi di dalam vaginanya.

"Abahmu itu punya istri muda."

Seketika kesadaranku penuh ditarik kembali. Informasi barusan menghantam seperti sebuah meteor. Aku kaget tapi tak bisa menunjukkannya. Napasku sedikit tertahan.

Aku hanya bisa menatap Umi. Dia tersenyum menatap langit-langit. Lalu terkekeh kecil.

"Nggak minta izin. Nggak ada penjelasan apa-apa. Tahu-tahu udah nikah lagi."

Aku mulai merasakan getaran di suara Umi.

"Kalau kamu merhatiin, abahmu jadi lebih sering keluar kota, kan?"

Aku mengangguk. Otomatis saja. Tak yakin juga Umi melihatku mengangguk.

"Itu pergi ke tempat istri mudanya. Di Kebumen."

Kebumen. Mencetuskan sesuatu di kepalaku. Momen di hari sebelumnya. Jadi itu alasan Umi langsung berubah raut wajahnya. Seandainya aku sudah tahu waktu itu.

Umi diam. Aku juga diam. Hanya terdengar suara tipis mesin AC.

Umi masih menatap langit-langit. Apa yang sedang dipikirkannya? Apa yang sedang dirasakannya?

Aku tak tahu harus bilang apa. Tak ada yang mengajariku cara menghibur perempuan yang dimadu suaminya.

Tubuhku bergerak sendiri, tanganku meraih dan merengkuh Umi dari samping. Kutempelkan bibirku di lengan kirinya, kukecup pelan. Kaki kiriku menindih betis kirinya.

Umi memegang tanganku yang memeluknya, mengusap-usapnya.

Aku otomatis mempererat rengkuhanku. Tanpa aku niatkan, penisku menekan ke pinggulnya. Sama sekali tak ada maksud seksual. Murni aku hanya ingin memberikan dukungan emosional, memberi tahu bahwa aku ada bersamanya, di sisinya, tidak akan pergi meninggalkannya.

Umi terus mengusap-usap tanganku. Lalu ia sedikit menangis. Dan sebagian hatiku ikut merapuh seiring lirih. Meski aku tak paham rasanya menjadi perempuan yang diduakan, aku masih bisa sedikit membayangkan rasa sakitnya dikhianati dan tak berdaya untuk berbuat apa-apa.

Kubiarkan Umi menangis untuk beberapa saat. Mungkin tak sempat juga ia menangis sebelumnya, karena tak ada yang tahu, dan tak ada yang ingin mengerti. Umi berhak menangis sepuas yang dia mau.

Sebagaimana dulu Umi memelukku ketika aku sedang jatuh-jatuhnya, akan kupastikan diriku juga hadir untuknya.

"Maafin Umi, Wan. Nggak seharusnya Umi cerita kayak gini ke kamu." Umi menyudahi isak tangisnya, seraya tangannya hendak menghapus jejak-jejak air mata.

Aku segera menahan tangan itu. Umi menatapku, sedikit terheran-heran. Aku menggeleng tegas.

Nggak. Umi nggak perlu meminta maaf. Umi nggak salah. Kata-kata di hatiku berhamburan, tapi urung kuucapkan.

Menggantikan tangannya, aku gunakan tanganku untuk menyeka air mata yang berlelehan di wajah Umi. Dia menatapku saat aku melakukannya. Kami bertatapan, dan aku percaya tatapan itu menghubungkan apa yang kurasa dan apa yang dia rasa, melebihi kemampuan kata-kata.

Umi menarik wajahku. Menciumku.

Ada perasaan yang sangat dalam pada ciuman itu. Sama seperti saling tatap, ia menghubungkan apa yang tak bisa dihubungkan oleh kata-kata. Rasa-rasanya aku jadi bisa mengerti pedihnya, sakitnya, lelahnya. Dan betapa ia bahagia bahwa ada aku di sampingnya di momen itu.

Lama kami berciuman—full bibir saja, tanpa lidah. Kedua tangan Umi memegang. Aku mengusap-usap kepalanya. Sungguh aku menyayangi manusia ini, terlepas dari segala sesuatunya. Ingin kubahagiakan dia.

Aku merasa saat itu Umi sedang membangun kembali harga dirinya. Bahwa dia masih sangat diinginkan oleh laki-laki. Bahwa dia tak layak diperlakukan semena-mena, bahkan oleh suaminya. Terutama oleh suaminya.

Umi mengangkat wajahku, kami bertatapan lagi.

Umi tersenyum. Kulihat ada kekuatan di matanya.

Sebelum aku sempat membalas senyumnya itu, Umi menarik wajahku kembali, lagi-lagi, membawaku pada bibir basahnya. Kali ini lidah Umi langsung menerobos masuk ke dalam mulutku. Suara kecipak langsung terdengar jelas.

Birahi langsung menanjak lagi. Penisku tak tunggu lama untuk bangkit berdiri, ujung kepalanya menyentuh rambut-rambut kemaluan Umi yang tercukur rapi. Saraf di sekujur tubuh kami menyala lagi bagai kembang api.

“Kamu mau lagi, sayang?”

Aku mengangguk dan tersenyum. Langsung kuterjang lagi bibinrnya.

Tangan Umi langsung menemukan batang penisku. “UHHH, udah keras lagi aja, sayang.” Ia urut perlahan batang itu. “Umi sepong dulu ya?”
Aku mengangguk saja.

Kami bangkit duduk. Aku membuka selangkangan, Umi langsung menurunkan wajahnya, dipandanginya penisku dengan penuh kekaguman. Seakan-akan itu adalah sebuah karya seni agung yang baru kali itu dia lihat. Senyumnya tak hilang-hilang.

Pertama, ia meraihnya dulu. Ia usap-usap lembut, sesekali ia urut perlahan. Lalu Umi dekatkan hidungnya, aku bisa merasakan embusan napasnya, hangat, lantas ia mengendus seperti sedang mengendus kembang mawar. Lalu secepat kucing menjilat permukaan air, ia julurkan lidahnya mencicipi setiap inci batang kemaluanku.

Sulit sekali kugambarkan kenikmatan psikologis yang kurasakan. Ada kedekatan, penerimaan, dan kenakalan yang diracik menjadi satu. Membuatku berbunga-bunga. Terutama ketika sesekali Umi menengadah, menatapku, tersenyum seperti anak kecil yang berterima kasih karena sudah diberi permen.

Gila.

Lama kelamaan, semakin banyak air liur Umi melapisi batang kemaluanku. Lalu dia sedot, dia isap, dia permainkan dengan lidahnya batangku itu. Kepalaku terasa berputar-putar.

“AHHH… Umi…”

Semakin liar Umi mengisap penisku, tangannya mengocok bagian pangkal. Suara air liur dan kenyotan mulutnya membuatku semakin gila.

“Ahh… enak, sayang?”

Aku mengangguk cepat-cepat.

“Ridwan juga mau jilatin memek Umi.”

Senyum Umi langsung semakin lebar.

“Oke, tapi Umi masih pengen isep kontol kamu. Sebentar lagi ya.”

Aku mengangguk. Umi lanjut menyepongku untuk beberapa saat. Ah, sialan enak sekali ampun. Tanganku sampai sedikit menjambak rambutnya.

Lalu kami bergantian. Umi mengangkang lebar, lantas wajahku membenam di selangkangannya. Lidahku langsung telaten mencari klitorisnya, begitu ketemu, kujilat keras-keras, Umi langsung kelojotan, pahanya menghimpit kepalaku, desahannya melengking tinggi.

“AHHH…!!! Ridwan… kamu apain Umi sayang…”

Aku semakin ganas menjilati, mengenyoti, mengobrak-abrik vagina Umi-ku sayang.

“AHH!! AHHHH!!! AHHHHH…!!!” Umi menjambak rambutku. Cukup keras. Bukannya merasa sakit, aku malah semakin bersemangat. “RIDWAAANNN…!! AHHHHHHHHHHH!!” Umi berteriak.

Sial, ini seru sekali. Ingin aku tertawa, tapi kutahan karena mulutku sibuk. Tiga kali jilat, satu kali sedot, tiga kali jilat, satu kali sedot. Begitu siklus yang kuterapkan.

“NGENCUK…!!” Teriak Umi.

Aku tak kuasa, mengekeh sedikit. Tak ada di semesta manapun kubayangkan ibuku yang begitu alim dalam balutan gamisnya, yang memimpin pengajian, menjadi idola ibu-ibu di kampung, yang kecerdasannya terpancar hanya dengan melihat sorot matanya, dengan semua kesempurnaannya itu, dia mengumpat. Rasa bangga menyelimuti diriku.

Tapi hanya sebentar.

Merasa kerjaku mengendur, tangan Umi cepat mendorong kepalaku, ia bahkan sedikit menggerak-gerakkan pinggulnya, menggesek-gesekkan labia becek miliknya dengan mulut dan hidungku. Sedikit aku sulit mengambil napas tapi kutahan saja. Sepertinya Umi hendak mencapai puncak.

Semakin lama semakin kuat ia menekan kepalaku. Tangannya menekan kepalaku, pinggulnya menekan selangkangannya sendiri. Kali ini betul-betul tak bisa mengambil napas aku. Namun, aku tahan saja. Akan kutahan sebisaku. Sebab aku yakin tak lama lagi dia akan mencapai puncaknya.

Benar saja.

Tak lama, Umi menekan kepalaku sekuat tangannya bisa, seperti betul-betul kali ini dia ingin memasukkanku kembali ke dalam rahimnya. Paha Umi menghimpit kuat di kedua pipiku. Sekujur tubuhnya bergetar-getar. Seraya ia meneriakkan namaku.

Meski hampir betulan hilang napas, betapa bungahnya aku.

Umi terengah-engah, masih tenggelam dalam ekstasinya. Aku tersenyum dan mulutku belepotan lendir vagina. Umi membuka sedikit matanya yang terpejam, melihat senyumku, lalu tersenyum balik. Sekejap kemudian menutup matanya lagi.

Sekitar lima menit kemudian baru Umi betul-betul membuka matanya lagi. Napasnya sudah sedikit turun. Senyumnya mengembang, aku jadi khawatir otot wajahnya pegal karena tersenyum terus.

“Makasih sayang.” Umi membelai pipiku. “Belum pernah Umi mengalami yang kayak tadi seumur hidup. Baru kali ini.” Aku semakin jemawa.

Umi lalu melirik ke batang penisku yang masih mengacung tegak menantangnya.

“Ya ampun, kesayangan Umi kasian.” Diraihnya batangku, ia beri ludah, lalu ia kocok pelan. “Udah pengen masuk ya?” Dia seperti mengajak ngobrol si batang. Lucu sekali parah.

Umi lalu menatap nakal ke arahku.

"Ayo, sayang, sini masukin." Umi mengangkang lebar, dua jarinya menyibak labia minor, menunjukkan interior lubang vaginanya yang mengkilap karena lendir.

Aku bergerak maju. Kuposisikan kontolku tepat di depan lubang itu. Tatapanku tak lepas dari alat kelamin kami yang hendak bersatu.

Satu tangan Umi yang lain meraih batangku, memajukannya, perlahan kepalanya pun melesak masuk. Aku betul-betul fokus memelototi proses persatuan itu. Entah kenapa.

Tak butuh waktu lama batang penisku masuk semua ke dalam vagina Umi. Barulah aku sempat memejamkan mata karena tak kuasa merasakan sensasi gesekan dan kehangatan yang melanda.

Aku seperti sedang dibetot ke dua titik ekstrim. Satu, ingin segera kumuntahkan air maniku, semuntah-muntahnya karena persatuan ini sungguh nikmat luar biasa. Dua, ingin kutahan selama-lamanya penis tegangku di dalam sana, karena nyaman kurasa, bersatu dan terhubung seutuh-utuhnya dengan orang yang paling kucintai di dunia.

Ketika aku membuka mata, Umi tengah menatapku dan tersenyum sangat manis luar biasa. Aku bergantian menatap wajah Umi dan menatap kelamin kami yang bersatu.

Perlahan, kumaju-mundurkan pinggulku. Saking nikmatnya, aku tak sadar tertawa kecil. Umi ikut-ikutan tertawa. Aku jadi tambah tertawa. Jadilah kami saling tertawa kecil, sambil tetap aku menggenjot pelan vaginanya.

"Kenapa?" Umi lalu bertanya. Masih sedikit terkekeh.

"Enak, Umi." Jawabku. Masih sedikit terkekeh juga.

"Kamu kayaknya seneng banget ngeliatin kontol kamu keluar masuk memek Umi."

"Iya. Enak aja ngelihatnya."

"Mungkin kontol kamu kangen sama memek Umi."

"Kangen?"

"Iya. Pengen ketemu lagi."

Aku lagi-lagi tertawa. Aneh sekali ucapan ibuku itu. Tapi lucu.

Malam itu kami mengentot berkali-kali tanpa kondom. Aku tak tahu pukul berapa kami akhirnya sama-sama kelelahan dan tertidur dengan cepat. Kami bahkan lupa makan malam.

Setiap selesai satu ronde, kami mengobrol, hal-hal apa saja. Yang ringan, yang berat, yang dalam, yang sepele, yang sedih, yang lucu, apa saja. Kadang sambil berpelukan. Kadang sambil duduk bersisian. Kadang aku duduk di kursi, Umi menyender di ranjang.

Aku semakin tenggelam dalam kehidupannya. Umi mengungkap banyak gosip-gosip di dalam keluarga yang tidak bakal mungkin dia ceritakan kepada anak-anaknya yang lain. Sebab banyak di antara gosip-gosip itu berkaitan dengan perkara ranjang. Aku berkali-kali melongo saat mengetahui cerita-cerita yang begitu mengejutkan. Rupanya orang-orang tak sekalem yang selama ini kukira.

Manusia begitu aneh.

Pagi-pagi bangun tidur, kami berdua kelaparan. Hanya cuci muka, kami lalu turun untuk mencari sarapan. Ketika sarapan kami mengobrol lagi seperti sebelumnya. Sumpah aku sekarang suka sekali mengobrol dengan Umi. Apa saja bisa diobrolkan. Tak pernah aku merasa senyaman ini dengan seseorang. Rasanya baik aku maupun Umi sedang memutar waktu.

Mungkin…

Mungkin kalau aku bukan terlahir sebagai anaknya, dan kami sama-sama bertemu saat masih muda, sepertinya aku pasti jatuh cinta padanya. Membayangkannya saja membuatku melayang-layang.

Benar-benar menyenangkan pagi itu. Lalu tiba-tiba saja terusik karena ada yang menelpon, bahkan mengajak video call. Ternyata adikku. Dia menelpon ke handphone-ku karena menelpon ke handphone Umi tak kunjung diangkat.

Sedikit ganjil rasanya ketika aku dan Umi agak gelagapan mengetahui si bungsu yang menelpon. Kenapa mesti grogi, coba?

Umi tersenyum kepada adikku lewat video call. Dulu aku tak akan berpikir apa-apa melihat senyum itu. Sekarang aku jadi menyadari bahwa senyum yang sedang Umi tunjukkan pada adikku itu sebetulnya adalah sebuah topeng. Bukan berarti ibuku berbohong. Hanya saja, senyum itu sangat berbeda dengan yang dia tunjukkan kepadaku tadi malam ketika tubuh kami bersatu.

Sekitar setengah jam adikku menelpon. Kami lalu kembali ke hotel setelah selesai makan.

Aku ketika itu berpikir apakah kami akan bersetubuh lagi? Sejujurnya memang aku masih ingin, tapi sejujurnya juga tubuhku sepertinya tak akan sanggup. Staminaku terkuras habis.

Aku bersyukur karena Umi berinisiatif mengajakku menemaninya berbelanja. Dia juga bilang ingin membelikanku sesuatu.

Kembali ke hotel, kami langsung mandi (sendiri-sendiri). Jam 10 kami check out.

Aku lalu menemani Umi berbelanja beberapa hal. Kalau kami belum pernah mengobrol panjang sebelumnya, aku pasti akan kaget melihat Umi belanja buku. Dan bukan sembarang buku, melainkan buku-buku yang dari judulnya saja sudah memancarkan intelektualitas tingkat tinggi. Di kemudian hari aku akhirnya tahu bahwa di lubuk hatinya Umi sempat punya cita-cita ingin jadi dosen.

Umi membelikanku satu setel pakaian. Aku lumayan tersipu, padahal seharusnya biasa saja. Wajar saja kan seorang ibu membelikan anak laki-lakinya pakaian?

Aku sempat menjajal pakaian itu untuk memastikan saja ukurannya pas, keluarku dari ruang fitting, Umi langsung berseru.

"Ya ampun…! Gantengnya anakku..."

Wajahku merah padam. Buru-buru masuk kembali ke ruang fitting. Apa sih? Kok bisa-bisanya aku malu?

Setengah jam sebelum jadwal berangkat, kami sudah tiba di stasiun. Kami makan siang cepat, lalu bergegas naik ke rangkaian kereta.

Kali ini kereta lebih ramai daripada waktu kami berangkat. Selama perjalanan pulang, mungkin karena kelelahan sehabis ngentot beronde-ronde, aku dan Umi tidur cukup lelap.

Hari sudah berganti malam ketika kami sampai di rumah. Baru terasa akhirnya pegal-pegal sekujur badan. Aku tak sempat memikirkan hal mesum. Segera pergi ke kamar untuk bersih-bersih. Di pikiranku hanya ingin segera tidur lagi sebab tidur di kereta sebelumnya tentu kurang berkualitas.

Ketika aku bersiap terlelap, pintu kamarku diketuk, lalu Umi masuk. Sudah pakai baju tidur. Apakah itu baju tidur baru yang dia beli tadi? Atau baju lama tapi memang aku tak pernah melihatnya saja? Entahlah. Yang jelas dia begitu cantik. Tak ingin lepas mataku memandang wajahnya.

Umi berkata ingin tidur bersama. Aku menerimanya sebagai betul-betul ajakan tidur secara harfiah, bukan ajakan yang lain-lain.

Kami tidur berpelukan dalam suasana hati yang sungguh damai.

Aku seperti tak bermimpi. Mungkin karena sepanjang hari-hari sebelumnya rasanya seperti mimpi. Bisa-bisanya aku hidup semujur ini.

***​

Dini hari.

Masih sulit untuk kupercaya.

Aku bangun dan melihat seorang wanita di sampingku.

Padahal tak ada yang perlu dipusingkan karena wanita itu adalah ibuku. Tak ayal, aku masih saja merasa takjub.

Lembut kubelai rambutnya. Rasa sayangku merangkak naik, memenuhi dada. Kukecup pelan pipinya. Ia masih terpejam.

Aku hendak bangkit untuk cuci muka. Tak mau sampai membangunkannya, kuatur supaya gerakanku sepelan mungkin dan tak bersuara. Tapi justru ketika aku hampir lepas dari ranjang, tangannya menggenggam pergelangan tanganku. Lalu ia tarik aku ke dalam pelukannya.

Ia mendekapku. Bisa kuhirup aroma tubuhnya yang membuatku langsung agak gila di pagi buta begini. Aku membalas dekapannya. Kami saling memeluk erat.

Lama-lama, saling peluk itu berganti niatnya—setidaknya buatku. Tak hanya mendekap erat, aku mulai menekan-nekan bagian bawah tubuhku. Aku baru sadar betapa konaknya diriku.

Stamina tubuh sudah kembali karena istirahat. Tak ada lagi halangan untuk hasrat seksualku yang langsung meroket naik.

Dari yang sebelumnya hanya mendekap, aku tak bisa mengontrol ketika tanganku mulai mengusap-usap. Punggungnya. Pinggangnya. Pantatnya, sambil kuremas pelan. Ia langsung tertawa kecil—tertahan.

"Ngapain kamu?" Tanyanya.

"Nggak…" Tapi aku tetap menggerayanginya.

Ia tak protes pun. Maka kulanjutkan lah.

Semakin jadi semakin erotis caraku menyentuh tubuhnya. Tanganku satu sudah menelusup ke balik celananya, mengusap—seperti menggaruk—bagian depan celana dalamnya.

Dia masih tak bereaksi apa-apa. Tidak menolak, tidak juga menyambut.

Mungkin harus kutingkatkan gerilyaku. Maka satu tanganku itu, bukan lagi hanya mengusap dari luar, tapi ini ia masuk ke dalam celana dalamnya. Kulit bertemu kulit, kurasakan bibir vaginanya. Sudah sedikit becek.

Dasar.

Lagaknya seolah hanya aku saja yang bernafsu.


"Kamu sange?" Tembaknya.

Kurasa aku tak perlu menjawab itu karena sudah sangat jelas sekali dari caraku mengobel celah kemaluannya.

"Pagi-pagi udah sange. Gimana sih?" Komentarnya.

Tak kuhiraukan. Aku tetap fokus mengucek labianya. Sengaja tak kusentuh dulu klitorisnya karena aku tak mau dia merasa diburu-buru.

Wajahku sedikit kuturunkan, lalu bertemulah dengan gundukan payudaranya. Kuendus dulu, sambil kugesek-gesek pelan hidungku.

Tangannya mulai turun, mengusap pahaku. Ini pertanda bahwa dia sudah mulai menyambutku. Tak lama, tangan itu berpindah juga menyentuh bagian depan celanaku.

Cukup lama kami begitu. Aku mengusap-usap vaginanya, dia mengurut pelan batang penisku.

"Sayang. Kamu mau ngentot?"

Lagi-lagi pertanyaan retoris. Kujawab dengan menaikkan kepalaku, lalu menyosor bibirnya. Kami bercipokan. Langsung juga dia melenguh ketika tanganku meremas buah dadanya.

Napasku memburu. Sial, aku luar biasa nafsu.

Terburu-buru, kulepaskan celanaku, sekaligus celana dalamku. Batang penisku yang sudah tegang langsung terjuntai, menyentuh bagian perutnya.

Dia langsung meraih batang itu dan langsung juga mengocoknya. Pelan tapi cengkeramannya kuat.

Tak lama, "Pelorotin celana Umi, sayang." Perintahnya. Aku menurut.

Kulepaskan dulu cipokan kami, lalu—lagi-lagi buru-buru—kutarik ke bawah celana tidurnya sekaligus celana dalamnya. Terpampang lah, meskipun remang-remang, rambut-rambut kemaluannya. Ingin kunikmati keindahan itu lebih lama tapi ada hal yang lebih penting untuk dilakukan.

Kembali kusosor bibirnya, kembali kami bercipokan penuh birahi, namun kali ini bagian bawah kami sama-sama sudah telanjang.

Sambil tetap mulut berpagutan, bagian bawah kami, seakan sudah tahu SOP-nya, menyesuaikan diri. Ia mengangkang, aku menurunkan pinggul.

Kelamin kami bergesekan. Langsung saja instingku mengambil alih, kugerakkan maju mundur di atas lipatan vaginanya. Ia juga ikut menggerak-gerakkan selangkangannya.

Semakin lama semakin becek di bawah sana. Sambil tetap menjaga posisi, aku berusaha menyelipkan batang pelirku. Cukup sulit karena tidak dibantu tangan. Tapi karena sudah sangat licinnya, dalam beberapa kali percobaan, akhirnya kepala pelirku berhasil nyungsep.

"AHHHH..!!! RIDWANN.."

Kutahan dulu tusukanku.

"Enak banget kontol kamu sayang…"

Kuteruskan perlahan.

"AHHHH… MHHHHH…"

Dia memejamkan matanya, menghayati rasa nikmat. Aku terus mendorong hingga akhirnya masuk seluruh penisku ke dalam lubang hangatnya.

Dia memelukku, kuku tangannya sedikit mencakar lenganku.

Setelah kurasa nyaman, mulai kutarik perlahan batang penisku, lalu kudorong lagi perlahan. Semakin lama semakin tidak perlahan-lahan.

"Kamu nakal banget sih, pagi-pagi udah ngentotin Umi gini." Ujarnya. Kujawab dengan cengiran.

Dia membelai wajahku. Kukecup telapak tangannya.

Dia lalu membuka kancing bajunya. Tak lama buah dadanya langsung menyembul ke luar. Ternyata tidak pakai BH.

"Sini sambil nenen ngentotnya."

Sial. Kata-katanya itu.
Kalau tidak waspada sudah barang tentu muncrat beruntun pelirku.

"Ahhh… pinter banget sih anak Umi nenennya…"

Dia usap-usap kepalaku dengan penuh rasa sayang. Dia terima batang kemaluanku yang keluar masuk vaginanya. Dia nikmati setiap kenyotan mulutku di puting susunya.

“Kalau capek bilang ya, sayang, nanti gantian Umi yang di atas.”

Aku menggeleng tegas. Aku tetap ingin posisi ini.

“Ya udah… nanti kalau udah mau keluar kasih tahu Umi ya.”

Sepertinya aku tak akan kuat berlama-lama kali ini, sebab nafsuku tiba-tiba naik tadi, tanpa kuantisipasi.

Bibirku datang lagi menyosor bibirnya, dia menerima dengan tenang. Genjotanku kecepatannya meningkat secara teratur. Dia mengalungkan kedua tangannya di leherku.

Aku tahu aku akan segera mencapai puncak. Hentakanku semakin kuat, suara peraduan dua selangkangan kami terdengar begitu nyaring tanpa ada suara lain yang merecoki.

Pada suatu momen genjotanku semakin cepat tak karuan.

“Udah mau keluar sayang?”

Aku mengangguk cepat.

Tak kuduga, dia tiba-tiba melingkarkan kakinya di pinggulku, membuat selangkangannya menjadi lebih terangkat, dan sudut hujamanku jadi semakin terbuka. Terang saja, pinggulku bergerak semakin liarnya.

“Ayo sayang… terus genjot…”

Kami berpelukan begitu erat, lebih tepatnya dia mendekap tubuhku begitu rapat.

“Ridwan… cah bagus… ayo dikit lagi sampe ya sayang…”

Aku terus menghujam dan menghujam.

“Ayo sayang. Keluarin. Keluarin peju kamu di memek Umi.”

Aaahhhh…

Aku semakin tak bisa mengontrol gerakan pinggulku.

Detik-detik ketika aku di ambang ejakulasi, dia mengatakan sesuatu yang menyebabkan seluruh bangunan psikologisku berceceran saking kuatnya apa yang dia katakan.

Dia berkata, tepat di samping telingaku. “Ayo sayang... hamilin Umi.”

Seperti bom atom. Kata-kata itu meluluhlantakkan seluruh pertahananku. Muncrat lah air maniku, berkali-kali, banyak sekali.

Betapa dahsyat sensasi yang kurasakan. Seakan-akan seluruh saraf di tubuhku bangkit sekaligus lumpuh. Seolah-olah di ambang hidup dan mati. Luapan emosi dan kenikmatan menjejali benak dan hatiku.

Aku ambruk di atas tubuhnya. Napas terengah-engah. Lemas sekujur badanku. Terasa ngilu. Kepalaku masih agak pening sisa ejakulasi.

Dia, lagi-lagi, mendekapku. Menerimaku.

“Kamu hebat sayang.”

Mendengar itu, jebol pula kantung air mataku. Awalnya pelan, semakin lama semakin naik, isak tangisku berdengung lirih.

Mendengarku terisak, dia mengangkat wajahku.

“Kenapa sayang?” Wajahnya tampak khawatir. Tapi ia segera tahu bahwa tangisanku bukanlah tangisan karena luka maupun kesedihan.

Dia mengecup pipiku dan keningku, lalu kembali mendekapku. Pada momen itu, aku merasa telah lahir kembali. Telah benar-benar hidup kembali. Seperti diberi kesempatan lagi.

***​

Epilog

Beberapa hari itu kami seperti pengantin baru. Setiap hari mengentot, bahkan ada yang seharian penuh isinya hanya mengentot. Malamnya tidur full karena kecapean.

Usai suatu ronde di ruang tamu, kami rebahan di sofa. Umi hanya memakai BH dan celana dalam. Aku hanya celana dalam. Kami capek sudah main tiga ronde.

"Dulu waktu pertama nikah nggak ada bulan madu. Langsung keliling kota-kota."

"Capek dong ya?"

"Iya. Sekarang juga capek sih. Tapi enak."

Aku tertawa.

"Baru sama kamu pertama kali Umi ngerasain nikmat yang sepenuhnya. Sebelum-sebelumnya nggak pernah kayak gini, Wan."

"Masa sih?"

"Dih, nggak percaya. Umi itu bahkan nggak pernah manggil sayang ke abah kamu."

Aku tertawa lagi. Kali ini tidak tahu kenapa.

"Aku kayaknya harus olahraga deh. Biar tambah kuat dan lama."

"Gaya…" Umi pura-pura meledek, "emang mau tiap hari?" Lanjutnya.

"Emang Umi nggak mau?"

Umi terdiam. Kami sama-sama tahu.

Di hari terakhir sebelum Abah dan saudara-saudaraku pulang, Umi menjadi sangat manja terhadapku. Mau dia menempel… terus. Tapi kami sedikit ngentot hari itu. Lebih banyak menonton film, mengobrol, mendengarkan lagu, atau sekadar diam saja sambil membaca buku.

Aku dan Umi sedang memasak di dapur ketika keluargaku pulang keesokan harinya. Kami berusaha untuk bertingkah wajar. Tapi sungguh sulit, mengingat hari-hari surgawi yang kami alami sebelumnya.

Setelah mendapatkan kembali kepercayaan diriku, aku mulai giat belajar untuk mempersiapkan tes masuk kuliah tahun depan. Meskipun banyak materinya, aku sama sekali tidak gentar. Aku merasa bisa menaklukkan materi sesulit apapun.

Perjalanan Abah ke luar kota menjadi sesuatu yang paling aku tunggu-tunggu. Ketika adik bungsu sekolah, berarti rumah jadi milik berdua. Biasaku langsung melenggang masuk ke kamar Umi begitu kudengar mobil Abah pergi.

Umi pun segera mengerti.

"Mau bibir? Mau nenen? Apa langsung mau memek?"

Aku setengah berlari menghampirinya.

"Mau Umi."
 
"Ayo sayang hamilin Umi" itu yang dikatakan Umi pada Ridwan, saat Ridwan akan ejakulasi, dan setelah Umi mengatakan itu Ridwan langsung berejakulasi dengan dahsyatnya didalam memek Uminya
 
Semoga saja suhu berkenan membuat sekuel cerita ini, karena di part pertama di halaman satu kan hubungan Percintaan antara Umi dan Ridwan masih tetap bertahan dan berjalan disaat Ridwan sudah bekerja, sukses dan dan kaya di ibukota Jakarta.
Jadi hubungan incest Umi dan Ridwan tersebut sebenarnya cukup panjang dan lama
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd