Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Santri dan Syahwat

Status
Please reply by conversation.
Yang luar biasa adalah referensi kitab2nya. Jangan jangan berdasarkan pengalaman suhu sebagai santri senior. Hehe
 
Chapter 12



Aku berjalan dengan kedua lututku membawa baki berisi wedang teh dan sedikit camilan ala kadarnya untuk disuguhkan kepada Nyai Aisyah, istri dari Mbah Yai Nafi dan juga ibu kandung dari wanita yang aku cintai Ning Sarah. Apakah dia tahu tentang hubunganku dengan Ning Sarah sehingga Nyai Aisyah datang ditemanai Zaenab dan Latifah, tapi kenapa harus bersama Zaenab? Wajahku terasa panas membayangkan kemungkinan terburuk yang akan menimpaku kalau Zaenab nyinyir menceritakan kejadian yang merenggut keperawanannya, tamatlah riwayatku. Tak ada lagi yang bisa menyelamatkan nasibku, aku meletakkan gelas dan penganan kecil dengan tangan gemetar. Aku ingin secepatnya menyelesaikan tugasku, lalu masuk dan bersembunyi di balik dinding yang memisahkan ruang tamu dengan ruang dalam. Dengan keberanian yang tersisa, aku menempelkan telinga di dinding kayu untuk mendengar percakapan Nyai Aisyah dan Ning Ishma.

"Ning, sepertinya jenengan butuh dua santriwati dalem untuk bantu bantu." Suara Nyai Aisyah membuatku lega karena rasa takutku tidak terbukti, kedatangan Nyai Aisyah tidak berhubungan denganku. Berarti, aku aman.

"Terima kasih Nyai atas perhatian jenengan, tapi masalah ini harus saya bicarakan dengan Gus Nur. Maaf, bukan saya mau menolak niat baik jenengan, lagi pula untuk saat ini saya belum membutuhkannnya, mungkin nanti kalau saya membutuhkan saya akan minta ke Nyai." Jawab Ning Ishma menolak secara halus, semoga Ning Ishma menolak saran dari Nyai Aisyah sehingga hubunganku dengannya bisa terjalin lebih lama lagi.

"Ini hanya sekedar saran, jenengan bisa menjadikan Zaenab atau Latifah sebagai santriwati dalem, atau bisa juga keduanya." Nyai Aisyah terdengar memaksa secara halus, sarannya tidak bisa diabaikan begitu saja oleh Ning Ishma.

"Enggeh Nyai, nanti saya kasih kabar setelah rembukan dengan Gus Nur." Jawab Ning Ishma halus, dia tidak berani mengambil keputusan ini seorang diri. Etika mengharuskannya meminta izin kepada Gus Nur. Walau dia mengatakan, pernikahannya batal demi hukum tapi di mata umum mereka masih tetap suami istri. Sudah kewajiban seorang istri untuk menjaga nama baik suaminya.

"Ya sudah, coba jenengan rembukan dulu dengan Gus Nur. Lagi pula tidak baik kalau jenengan hanya ditemani santri dalem pria." Nyai Aisyah berpamitan, setelah semua sarannya didengar oleh Ning Ishma walau Ning Ishma tidak menjanjikan sarannya akan diterima.

Terima kasih, Nyai..!" Ning Ishma mengantarkan Nyai Aisyah hingga teras rumah.

"Tidak baik menguping percakapan, kamu tahu itukan?" Suara lembut Ning Ishma menyadarkanku, aku menunduk malu dan bergegas masuk ke dalam kamarku.

"Kamu nggak mandi junub, Din..?" Goda Ning Ishma saat melintas di kamarku yang pintunya hanya tertutup selembar kain gorden yang sudah memudar warnanya, Ning Ishma melongok ke dalam melihatku yang sibuk mencari pakaian bersih untuk kukenakan ke masjid.

"Kamu dulu, Ning." Jawabku menoleh ke arahnya, wajahnya terlihat berbinar bahagia.

"Yakin, nggak mau mandi bareng?" Goda Ning Ishma, lidahnya membasahi bibirnya yang tipis dan merah alami, dia berjalan mendekatiku dengan langkah gemulai.

"Sebentar lagi Maghrib, Ning." Aku berusaha mengingatkan Ning Ishma, jangan sampai perbuatan bejat kami berlanjut. Toh kami bisa mencari waktu yang lebih luang.

"Ya sudah, padahal aku masih pengen." Ning Ishma pergi meninggalkanku.

Selesai Ning Ishma mandi, aku segera mandi dengan cepat. Aku ingin menemui Ning Sarah di bawah pohon mangga, hampir setiap sore dia duduk di situ dengan membawa sebuah kitab.

Benar saja, aku melihat Ning Sarah duduk di bawah pohon mangga, aku berjalan mendekatinya dengan jantung berdebar kencang.

"Ning..!" Tegurku lembut melihat Ning Sarah duduk di bawah pohon mangga seperti biasanya di waktu yang sama, ba'da asyar. Siluet bayangannya menyentuh rerumputan yang berada di hadapannya, cantik sekali sehingga mataku tidak mampu berkedip walau sesaat.

"Kamu nggak bisa mengucapkan salam, ya!" Ning Sarah menatapku dengan tatapan yang selalu membuat jantungku berdetak lebih kencang, ah panah asmara itu tepat menghujam hatiku.

"Maaf, Assalam mu'alaikum..!" Aku mengucapkan salam yang terlambat aku ucapkan, karena pesonaku membuatku lupa dengan semua adab.

"Wa'alaikum salam, biasakan mengucapkan salam karena itu do'a untuk saudara kita." Jawab Ning Sarah, dia menggeser duduknya hingga tepi, ada ruang yang harus kami jaga saat duduk berduaan seperti ini. Aku duduk dengan hati berbunga, hatiku masih tetap bisa menyentuhmu walau ada jarak di antara kita.

"Hafalanmu sudah sampai, bait ke berapa? Tanya Ning Sarah, mengingatkan ku dengan hafalan kitab Nazham Imrithi yang tidak bisa kulakukan, bayang-bayangmu selalu meruntuhkan bait-bait yang kuhafal dengan bersusah payah. Jangan salahkan aku, semuanya berhasil kau renggut dari pikiranku.

Ning, jangan bertanya berapa bait yang sudah kuhafal. Tanyakan kepadaku, berapa jam dalam sehari aku memikirkanmu, melukis wajahmu dalam setiap helaan nafas. Itu lebih sulit dari pada menghafal ribuan bait yang berhasil kau gugurkan seperti helaian daun kering yang luruh di atas hamparan bumi.

"Sudah, Ning. Pada saatnya nanti aku akan datang dengan hafalan yang kamu pinta." Jawabku malu, betapa bodohnya aku kalau dia tahu aku belum berhasil satu baitpun seperti permintaannya.

"Kapan?" Tanya Ning Sarah membuka kitab kuning yang sejak tadi hanya dipegangnya, seakan dia sedang berusaha menguji hafalanku. Ya Allah, dia semakin mendesakku dan sebentar lagi aku akan mempermalukan diriku.

"Ning, kenapa aku harus menghafal ilmu alat untuk bisa membaca kitab kuning, bukankah ada metode amtsilati yang lebih mudah dan diajarkan di pesantren ini? Menghafal seperti itu adalah metode lama sehingga banyak santri yang mengalami kesulitan harus menghafal sekian lama, pada akhirnya mereka mengubur mimpinya untuk bisa membaca kitab kuning. Mbah Yai ayahmu sudah menerima metode yang lebih mudah sebagai bagian dari pengajaran di pesantren ini sehingga beliau meminta Gus Nur untuk mengajarkan metode "amtsilati" sehingga para santri bisa membaca kita lebih cepat dari pada harus menghafal ribuan bait dari kitab alat." Ujarku menyerah, cepat atau lambat Ning Sarah akan tahu bahwa hafalan yang dia minta, gagal aku laksanakan.

"Aku hanya minta sarat seperti itu sebagai bukti cintamu, tapi kau berusaha mengabaikannya. Itu yang kamu bilang cinta, tanpa perjuangan dan pengorbanan meraihnya?" Tanya Ning Sarah menatapku tajam, senyumnya mendadak hilang dalam sekejap. Kecewa, harapannya kuruntuhkan dalam sekejap.

Aku menunduk, memaki kebodohan yang baru saja kuperbuat. Tapi semuanya sudah menjadi bubur, Ning Sarah tetaplah menjadi misteri yang tidak terpecahkan.

"Kamu pernah membaca Laela Majnun ? Atau kisah Sang Sufi Agung Jalaluddin Ar-Rumi ? Pengorbanan dan perjuangan mereka menggapai cinta, aku terlalu banyak berharap darimu." Ning Sarah meninggalkanku tanpa salam, sekecewa itukah kau padaku, Ning? Siluet bayangannya menyentuh tubuhku yang membeku melihat kepergiannya, hatiku memanggilmu dan tanganku terulur berusaha mencegah kepergiannya, namun rimbunan pohon menyembunyikannya dari jangkauanku. Kamu terlalu berharap dariku, aku tidak seagung Jalaluddin Ar-Rumi juga tidak segila Qaws.

"Kamu tidak akan bisa memilikinya, Kang. Dia terlalu suci untukmu, wanita baik baik hanya diperuntukkan untuk pria baik baik." Aku menoleh, Zaenab berdiri bersandar pada batang pohon yang sebagian rantingnya menutupi wajahnya. Entah sejak kapan dia berada di situ, memandangku dengan tangan aneh. Tangannya bersidekap di dada, kedatangannya seperti untuk mengadili ku.

"Nab..!" Perkataan Zaenab seperti menelanjangiku, aku bukanlah pria baik baik seperti penampilanku. Sarung yang kupakai, hanyalah identitas semu untuk menutupi borokku yang mengeluarkan bau tidak sedap.

"Kenapa Kang, kamu sudah lupa dengan apa yang pernah kita lakukan?" Tanya Zaenab mengingatkan ku dengan kejadian seminggu yang lalu, saat keperawanannya hilang. Kejadian gila, aneh dan tidak bisa kucerna dengan akal sehat. Begitulah cara iblis bermain, menjerit setiap target dengan cara yang tidak masuk akal. Bagaimana mungkin seorang perawan tiba tiba datang menyerahkan miliknya yang paling berharga, namun ternyata pengorbanannya sia sia.

"Itu bukan salahku, Nab." Aku berusaha membela diri, dan memang aku tidak bersalah dalam hal ini. Lalu siapa yang bersalah? Zaenab dengan kebodohannya, tidak ada kucing yang akan menolak sepotong daging yang tersaji di hadapannya.

"Aku tidak mengatakan itu kesalahanmu, semuanya terjadi karena kebodohanku yang meragukan kasih sayang Allah yang tidak bertepi. Aku hanya mengingatkan, setiap kejadian pasti akan berbuntut panjang. Bisa saja aku hamil oleh benih yang kau taburkan di rahimku Kang, aku takut." Jawab Zaenab, air matanya tumpah tak bisa dicegahnya, bayang bayang terburuk mengiringi penyesalannya.

"Itu, bukan kesalahku." Jawabku gamang, seorang anak yang lahir tanpa pernah mengenal ayahnya membuatku takut. Perlahan aku menggelengkan kepala, mengusir rasa takut yang menghujam kesadaranku.

"Ya, tapi anak itu akan menanggung kesalahan yang pernah kita lakukan." Zaenab berusaha menghapus air matanya sebelum orang lain melihat, seisi pondok akan heboh.

Aku menatap Zaenab, lalu beralih ke perutnya yang tiba-tiba membesar mengandung janin tak berdosa. Apakah kejadiannya akan seburuk itu, seorang bayi mungil yang suci harus menanggung dosa yang diperbuat orang tuanya? Tidak, setiap bayi yang lahir bersih tanpa dosa dan dia tidak berhak menanggung dosa ke dua orang tuanya yang egois, sehingga menimpakan semua kesalahan kepadanya.

"Aku akan bertanggung jawab kalau hal itu terjadi, aku janji." Jawabku mengepalkan kedua tanganku, perlu keberanian untuk mengambil keputusan penting. Ada yang lebih penting untuk diselamatkan, dari pada sekedar perasaanku.

"Apakah janjimu bisa dipercaya, Kang?" Tanya Zaenab, dia sudah berhasil mendesakku untuk bertanggung jawab apa bila perbuatan kami membuatnya hamil.

"Insya Allah, aku bisa dipercaya." Jawabku gelisah, bayang bayang Ning Sarah berkelebat menagih janjiku, dan sekarang aku justru berjanji kepada wanita lain. Begitu mudah aku menebar janji, dari satu wanita ke wanita lain.

"Buktikan, aku tunggu kamu di aula belakang ba"da isya, apa kamu orang yang bisa dipercaya atau tidak." Kata Zaenab, seperti Ning Sarah dia meninggalkan ku mematung, menatap matahari yang semakin tergelincir ke peraduannya. Sebentar lagi bumi kehilangan cahayanya, gelap segelap hatiku.

Kumandang Adzan Maghrib menyadarkanku, sudah waktunya aku bersujud menanggalkan semua urusan duniawi, menyerahkan semua harapan dan doa di atas sajadah. Dari berbagai penjuru para santri berjalan menuju masjid yang terletak di bagian depan sehingga masyarakat bisa ikut berjama"ah, mendapatkan pahala sebanyak banyaknya. Aku bergegas, membaur dengan para santri menuju masjid, Senda gurau yang terdengar tidak mampu menghilangkan kegelisahan ku.

Aku masuk ke dalam masjid yang sudah penuh oleh para santri dan masyarakat umum yang ikut berjamaah, suara qamat sudah terdengar dan semua orang mengisi Shaf Shaf yang masih kosong. Aku berdiri tepat di sebelah kiri Kang Shomad, dia tersenyum dan menepuk pundakku yang sempat ragu berdiri di sampingnya.


********

"Kang Shomad, boleh aku bicara?" Bisikku setelah selesai melaksanakan shalat Maghrib, Kang Shomad baru saja selesai shalat Sunnah.

"Boleh, kita ngobrol di depan saja." Jawab Kang Shomad, dia merangkul pundakku membuatku merasa nyaman saat berjalan menuju teras masjid, rasa hormatku semakin besar saat tahu dia selalu menolak panggilan Yai padahal menurut Mbah Yai Nafi dan Gus Nur, Kang Shomad sudah berhak menyandang panggilan itu. Dia lebih suka dipanggil dengan sebutan Kang, yang membuatnya tidak ada jarak antara santri dan dirinya.

"Ada apa, Din?" Tanya Kang Shomad memulai percakapan, dia menawariku rokok klobot yang tidak kutemui di daerah asalku, aku mengambil sebatang dan Kang Shomad menyalakan korek untukku, bau menyan dari rokok membuatku sedikit rileks.

"Cuma ingin ngobrol saja, Kang." Jawabku ragu, pantaskah aku menanyakan hal pribadi kepadanya, apa lagi ini berkaitan dengan Ning Sarah, aku seperti sengaja melakukan konfrontasi langsung dengannya.

"Oh, tak kira ada apa. Kamu betah mondok di sini, Din?" Kang Shomad tertawa kecil melihatku tersedak oleh asap rokok klobot pemberiannya yang pasti sudah kutolak, kalau saja aku masih punya persedian rokok.

"Betah, Kang. Soalnya...!" Hampir saja aku mengatakan hal yang membuatku betah adalah kehadiran Ning Sarah, wanita itu sudah berhasil membelenggu hari dan kebebasanku.

"Soalnya, apa?" Tanya Kang Shomad, dia begitu menikmati asap rokok klobot yang dihisapnya.

"Betah saja, saya dengar Kang Shomad dijodohkan oleh Mbah Yai dengan Ning Sarah?" Akhirnya aku berani menanyakan hal yang beberapa hari ini mengusik pikiranku, sudah jelas sainganku sangat berat, mustahil Mbah Yai mau menerimaku menjadi menantunya.

"Itu kan keinginan Mbah Yai, belum tentu Ning Sarah mau." Jawab Kang Shomad, bibirnya seperti tidak pernah berhenti tersenyum, nada suaranya begitu ringan tanpa beban.

"Loh, bukankah keinginan Mbah Yai sudah cukup, tidak perlu pendapat Ning Sarah." Jawabku heran, perjodohan seperti ini sudah biasa terjadi di pondok pesantren. Mbah Yai biasanya memilih jodoh yang dianggapnya pantas untuk anaknya, biasanya yang terpilih santri terbaik.

"Seorang wanita bisa menolak perjodohan yang dilakukan orang tuanya, itu tidak berdosa, bahkan dianjurkan" Jawab Kang Shomad, tutur katanya begitu bijak, kedalaman ilmunya terlihat semakin menonjol. Betapa aku merasa sangat tidak berharga di hadapan Kang Shomad.

"Oh, saya pikir wanita tidak bisa menolak perjodohan." Aku menarik nafas lega, setidaknya aku masih mempunyai harapan walaupun sangat kecil.

"Kamu naksir, Ning Sarah?" Tanya Kang Shomad, membuatku menunduk malu. Dia bisa menerka pikiranku dengan tepat.

"Eh, mana saya berani Kang.." aku menunduk tidak berani memandang wajah Kang Shomad, entah terbuat dari apa hatinya sehingga dia tidak terbebani menanyakan hal itu.

"Nggak usah malu mengakuinya, cinta itu anugerah dari Allah yang ditanamkan di hati setiap manusia. Lagi pula, perjodohan ini adalah rencana Mbah Yai, sedangkan semua keputusan ada di tangan Allah, tidak ada yang bisa mencegah kehendak Allah di muka bumi ini. Siapa tahu kehendak Allah adalah menjadikanmu sebagai suami Ning Sarah, tidak ada yang pernah tahu." Kang Shomad tertawa pelan melihatku begitu gugup, dia menepuk pundakku seakan aku bukanlah saingannya dalam mendapatkan cinta Ning Sarah. Hatinya begitu jernih, sejernih embun pagi yang menyejukkan.

""Terima kasih Kang, mana berani aku mendekati Ning Sarah." Jawabku pelan, takut kebohongan ku diketahui Kang Shomad.

"Ya sudah, aku mau dzikir sambil nunggu waktu shalat Isya." Kang Shomad menepuk pundakku sebelum meninggalkanku di teras masjid yang ramai oleh para santri menunggu waktu shalat isya.

"Kang, boleh aku tanya sekali lagi..?" Tanyaku menahan langkah kaki Kang Shomad, dia berbalik dan tersenyum.

"Insya Allah, apa yang akan kamu tanyakan?" Tanya Kang Shomad, dia kembali duduk di sampingku.

"Menurut Akang, metode hafalan ilmu alat dan metode terbaru itu mana yang lebih baik?" Tanyaku.

"Kedua duanya sama baiknya, mungkin metode hafalan akan terasa lebih sulit dibandingkan dengan metode terbaru. Perbedaan akan selalu membawa Rahmat, metode manapun yang kamu pilih akan sama baiknya." Jawab Kang Shomad bijak.

************

"Ada apa kamu ngajak ketemuan di sini, Nab?" Tanyaku heran, tempat ini lumayan gelap. Jarang ada yang berani mendatangi tempat ini siang hari, apa lagi malam hari.

"Aku hanya ingin ngobrol saja, Kang.!" Jawab Zaenab, dia duduk di pohon tumbang yang setiap hari dipotong kecil-kecil untuk dijadikan kayu bakar.

"Kenapa di tempat ini, bagaimana kalau ada yang lihat dan menimbulkan fitnah?" Aku duduk di sebelah Zaenab, tak ada jarak di antara kami karena panjang batang pohon yang tersisa setelah di potong kecil-kecil hanyalah 1 meter. Esok atau lusa, pohon tumbang ini hanya akan jadi sepenggal cerita yang dilupakan.

"Aku ingin berduaan dengan Kang Udin, setelah kejadian waktu itu aku sangat takut Kang." Jawab Zaenab lirih, tangannya gemetar.

"Ini semua adalah musibah, tidak yang perlu disesali kecuali kita bertaubat memohon ampun." Jawabku pelan, entah apa yang harus kulakukan? Wanita begitu sulit untuk dipahami, terlihat rapuh namun ada kekuatan yang tidak bisa kita mengerti.

"Atau mungkin azab, karena aku tidak mempercayai kasih sayang Allah. Aku putus asa dari pertolongan Allah." Zaenab mulai menangis, suaranya begitu memilukan. Untung semua santri-santriwati sedang mengikuti pengajian sehingga tidak akan ada yang mendengar tangisan Zaenab.

"Kalau kamu melihat Allah sebagai Tuhan yang kejam Tuhan yang pemarah sehingga selalu menimpakan hukuman dan azab kepada kita yang bersalah, mungkin itu adalah azab. Tapi kalau kamu melihat Allah sebagai Tuhan yang Maha Pengasih, Tuhan yang maha pemaaf, maka kamu akan melihat Rahmat Allah yang akan menerima taubat setiap insan sebesar apapun dosa yang sudah kita perbuat." Ah, ini nasehat lebih cocok untuk diriku, sudah banyak dosa yang membuatku semakin terpuruk, larut dalam pusaran nista.

"Aku nggak tahu Kang, sajak saat itu seperti ada sesuatu yang berbeda dengan diriku. Ada sebuah dorongan membuatku seperti gila, bahkan aku mulai melupakan hafalan demi hafalan yang susah payah aku pelajari." Zaenab menunduk, dia memegang tanganku dengan erat.

"Maksudmu, Nab?" Tanyaku takjub, apakah Zaenab merasakan hal yang sama sepertiku, sejak Ning Ishma mengenalkan ku pada kenikmatan syahwat.

"Aku nggak tahu Kang, perasaan apa yang saat ini aku alami. Aku hanya merasa berubah, aku...!" Zaenab menatapku, tatapannya terlihat aneh. Tiba tiba dia memeluk dan mencium bibirku dengan bernafsu, membuatku terkejut setengah mati.

Ciuman Zaenab begitu bernafsu, membakar gairahku sehingga aku mulai membalasnya dengan buas. Kami berciuman lama, bahkan tanganku mulai kehilangan kendali, hinggap di payudara Zaenab yang besar membuat Zaenab semakin bernafsu melumat bibirku. Hebat, dia begitu terampil berciuman. Entah dia belajar dari mana.

*Zaenab, Zaenab, kamu di mana?" Sebuah suara yang sangat aku kenal memanggil Zaenab, Zaenab melepaskan pelukannya.

"Latifah, Kang...!" Bisik Zaenab, suaranya gemetar.

"Nab, kamu di mana?" Latifah kembali memanggil, Zaenab memandangku panik.

"Coba di belakang aula, mungkin dia ada di situ..!" Kata Ning Sarah, tidak salah lagi itu suara Ning Sarah.

"Gelap, nggak mungkin Zaenab berani ke situ Ning." Jawab Latifah menyanggah perkataan Ning Sarah.

"Kita lihat dulu, baru bilang nggak mungkin." Jawab Ning Sarah, kali ini aku yang menjadi panik dengan kehadiran Ning Sarah.

"Gimana, ini..!" Aku semakin panik, suara ranting terinjak begitu dekat. Ke mana aku harus bersembunyi, di hadapanku ada tembok tinggi yang menghalangiku lari, tidak ada tempat yang bisa dijadikan untuk bersembunyi.

"Sembunyi..!" Bisik Zaenab, tangannya mencengkeram pergelangan tanganku sehingga kukunya yang panjang melukai kulitku.

"Di mana?" Aku berbisik, suara langkah kaki mereka semakin dekat. Kalau sampai mereka tahu aku dan Zaenab berduaan di sini, tamatlah harapanku memiliki Ning Sarah.



Bersambung......

Apakah yang akan terjadi, selanjutnya?

1 : Mereka berhasil sembunyi?

2 : mereka tertangkap basah?

Atau ada ide yang lainnya?





Hanya apdet ala kadarnya setelah liburan dua hari, semoga berkenan dan bisa menghibur para pembaca setia forum semprot.
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd