Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Senyuman Kekasihku

Tenaaang ,,, sama sama menunggu adegan dimana siren dan vale melakukannya sebelum nikah,,,karena suasana kamar gelap gulita dan siren tdk bisa membedakan mana vale dan mana revan,,pasti seru episodenya nanti,,,makasih apdetnya suhu,,
 
Siren di tembak pakai cicin berlian klepek2 deh ....
Apakah siren tau kalau sebenarnya revan aka vale punya saudara kembar identik volte (maaf kalau sakah) kan kembar identik tu biasanya punya filling sang sangat kuat. Semuanya punya rasa yang sama terhadap siren baik cinta asmara dan sifat yang sama mungkin kah siren bisa berbagi cinta sama vale dan volte.
Siren punya suami 2 kembar identik asik tu kayaknya.
Siap non lanjutin.
 
Senyuman Kekasihku

Part 26. Di Lamar








Siren mengerjap pelan, tidur lelapnya terganggu karena guncangan kendaraan yang ia tumpangi. Pelukannya pada perut Revan di pererat. Kepalanya merapat bersandar ke dada bidang Revan.

"Sampai mana ini, Kak?" tanyanya sembari menguap, tidak ada malu-malunya.

Revan terkekeh pelan. Ia gemas sekali dengan kekasihnya yang menurutnya sangat lucu.

"Sebentar lagi sampai, Sayang."

Diusapnya lembut dahi Siren dan menyampirkan helaian rambut yang menutupi wajah cantik Siren ke telinga.

"Lama banget sih, Kak. Pegel tahu." keluh Siren. Matanya terbuka, ia tegakan duduknya dan meregangkan tubuhnya seraya merilekskan otot-otot yang kaku.

Revan tersenyum simpul. Ia tak begitu menanggapi celotehan Siren. Lagipula harusnya Revanlah yang pegal karena Siren hanya tertidur sepanjang perjalananan. Revan memaklumi Siren yang kelelahan lantaran percintaannya beruntun.

Revan khilaf, sekhilaf-khilafnya. Semalam saja sudah beberapa ronde sampai pagi. Siangnya terulang kembali gara-gara ketagihan bersetubuh.

Berbagai tehknik diperagakan dari mulai gaya konvensional hingga gaya profesional.

Alhasil selama 3 jam perjalanan Siren tertidur pulas dipelukan Revan. Hari sudah menjelang sore. Mobil memasuki tempat wisata dengan panorama sangat indah. Hamparan daratan tinggi terlihat amat mengagumkan dan menenangkan dari balik kaca jendela mobil.

Kendaraan mulai memadati area parkir. Setelah membayar karcis, mobil kembali melaju dan mencari tempat pemberhentian. Mobil terparkir dengan rapih dibantu petugas penjaga parkiran.

Revan keluar dahulu dari dalam mobil, ia memakai ransel dan mengulurkan tangannya untuk kekasihnya agar segera turun.

"Pak sopir, bapak tunggu disini saja yah. Jangan ngintipin kita pacaran." tukas Siren sebelum keluar dari mobil.

Si sopir senyum-senyum melihat dari kaca spion. "Baik, non." jawabnya patuh.

Siren terpesona mengedarkan pandangan menatap pegunungan di depannya. Ia melipat tangan di depan dadanya merasakan hawa sejuk bagai menyentuh pori-pori hingga ke tulangnya.

Siren merasa sangat beruntung, karena Revan sudah menyiapkan mantel yang pas dengan ukurannya.

Karena sebelumnya Revan sudah bisa menebak apa yang akan dibawa Siren. Isi kopernya kebanyakan barang-barang yang tidak diperlukan.

Makanya sebelum pergi Revan sendirilah yang menyiapkan seluruh keperluan Siren dari mulai tas, sepatu, celana jeans panjang, mantel hangat, hingga syal.

"Dingin yah, Kak. Kakak tahu saja tempat pacaran yang enak." Siren berkhayal mesum.

Revan terkekeh, mengacak rambut Siren.

"Iih Kakak kebiasaan deh." Siren mencebik kesal.

"Kakak gemas sama kamu." jujur Revan. Ia menggemgam tangan kanan Siren. "Tempat ini special bagi Kakak. Kenangan masa kecil Kakak."

Revan memandang jauh ke dua bukit menjulang tinggi bak lukisan di hadapannya. Ia terkenang kembali saat ibunya membawanya kesini kala usianya 10 Tahun.

Ya. Sebelum mengasingkan diri ke Thailand, ibunya Marta memang mengajaknya ke tempat ini. Kampung halaman kakek angkat Marta yang sempat merawatnya sebelum ia menetap di Thailand.

Siren tergugu melihat raut sedih di wajah Revan. Ia ikut merasakan apa yang Revan rasakan.

"Jangan sedih, aku sayang Kakak selamanya."

Siren mendekat dan memeluk Revan. Sedang Revan tersadar dari lamunan. Hatinya melumer, gadis yang ia cintai, menyayangi kekurangannya dengan tulus.

"Kita jalan. Kakak ada kejutan buat kamu."

"Beneran?" mata Siren berbinar-binar. Pelukannya dilepas, kedua tangannya memegang pipinya sendiri. "Aku tahu Kakak mau ngelamar aku kan?" lanjutnya kegeeran.

"Tidak. Kakak hanya ingin menunjukan sesuatu." kilah Revan tersenyum tipis.

"Kok gitu?" protes Siren. "Dasar patung."

Siren menghentakan kakinya kesal dan berjalan sembari mengegangkan kaki, ia meninggalkan Revan di belakang.

Revan tergelak geli melihat kekasihnya berjalan sangat aneh. "Jalannya biasa saja, Sayang."

Siren berbalik menghunuskan matanya tajam. "Ini kan gara-gara Kakak." tangannya bertolak pinggang.

"Kamu yang mancing." Revan mendekati Siren, bibirnya berbisik halus. "Kakak akan belikan sabuk yang tidak mudah putus."

Semburat merah muncul di wajah Siren. "Iih Kakak ngomong apa sih." sahutnya pura-pura polos. "Itu kan biar Kakak tidak kabur."

Revan tergelak, memeluk mesra kekasihnya. Mereka tak sadar para pengunjung yang berlalu-lalang memperhatikan mereka berdua berbisik-bisik.

"Kak dilihat orang malu." ucap Siren pelan. Namun perlukannya sengaja dipererat. Bibirnya melancip, mengejek para wanita yang ia tahu dari tadi selalu memperhatikan Revan. Seolah ingin menunjukan kalau Revan hanya miliknya.

Wanita mana yang tidak terpesona memandang pria blasteran Italia dan Thailand seperti Revan. Walaupun pahatan wajah Italiano sudah bercampur dengan keimutan wajah sang ibunda. Namun tak mengurangi wibawa dan pesonanya.

Apalagi jika tersenyum. Bisa membuat banyak wanita rela memberikan kenikmatan secara cuma-cuma.

Siren saja sampai kesengsem. Debaran jantungnya bertalu-talu. Meskipun sudah berkali-kali bercinta dan mendesah bersama.

"Kita lanjutin jalannya?" ajak Revan.

Siren mengangguk dan tersenyum, ia menyetujui usul Revan. Mereka berjalan bergandengan menelusuri jalan setapak. Menuruni tangga dan berhenti di taman.

"Tas Kakak isinya apa?" Siren melihat ransel Revan yang penuh.

Revan menoleh sesaat ke belakang melihat ransel yang ia bawa. "Snack buat kamu. Bukankah kamu suka makan?"

Siren nyengir kuda lalu mengerutkan dahi. "Kapan belinya? Dari semalam kan Kakak sama aku."

"Kakak meminta mereka yang membelinya." Revan menengok ke belakang.

Siren mengikuti arah mata Revan dan menoleh. Ia terkejut melihat Phaitoon dan Channarong yang tiba-tiba berada di belakang membuntuti mereka, menjaga jarak.

"Sejak kapan mereka ada disini? Kok aku tidak tahu, Kak."

"Sejak kita berada disini."

"Jadi mereka yang selalu menyiapkan makanan buat kita?"

Revan mengangguk. "Iya, Sayang. Tugas mereka memang menjaga kita."

Siren memanyunkan bibirnya. Acara ingin berdua saja dengan kekasihnya terganggu dua makluk kembar muka datar beda usia.

"Kalau gini sih namanya bukan bulan madu ih." gumamnya sebal. "Suruh pergi, Kak. Aku mau duaan saja sama Kakak. Yah baba! Jangan-jangan semalam mereka ngintipin kita!!" seru Siren terpekik.

Pikirannya melayang penyatuan semalam. Desahan yang ia keluarkan keras sekali, hingga bisa terdengar sampai rumah tetangga.

Siren menutup mulut dengan kedua tangannya. Sedang Revan terkekeh dan menggeleng kecil, ia tidak menyangka pikiran kekasihnya sekonyol itu. Ia menghela napas sesaat. Kemudian tangannya merogoh saku celananya, mengambil ponsel dan menelpon seseorang.

Revan menghubungi seseorang dengan bicara bahasa Thailand beberapa menit. Siren natap curiga. Ia mendekati Revan, telinganya ia dekatkan dengan gagang ponsel.

Revan menegang sesaat setelah bergesekan dengan Siren. Kekasihnya melompat-lompat, kepoh ingin mendengar pembicaraan. Ia seolah tidak sadar memberi efek maksimal pada milik Revan yang tersentuh tak sengaja dengan perutnya.

Revan meremas dan menahan erat pinggang kekasihnya agar berhenti bergerak. Tapi apalah daya, Siren sangat ingin tahu siapa yang dihubungi Revan. Pria atau wanita?

Siren berhenti bergerak saat ia mendengar suara pria menjawab telepon. Hatinya lega. Ia menjauhkan tubuhnya dari Revan. Namun gerakannya terhenti karena Revan merengkuh pinggangnya sangat kuat.

Siren malah cekikikan dan ngusel-ngusel senang di dada Revan. Membuat Revan melenguh tertahan. Seleting jaket yang Revan pakai di buka.Jari telunjuknya berputar-putar mengelilingi puting Revan.

"Sayang, sebentar." pinta Revan masih bercakap-cakap di telepon.

Kekasihnya malah memencet dan memelintir pelan puting Revan. Pipi Revan bersemu merah dan menahan napas. Siren makin jahil, tangannya kini merambat ke celana Revan yang membesar dan mengelusnya perlahan dari luar celana.

Revan membulatkan matanya. Telepon ia matikan dan tangannya menangkap pergerakan tangan Siren yang hampir masuk ke dalam celananya.

"Banyak orang, Sayang."

"Lagian telponnya lama. Memang ada yang lebih penting dari aku?" sarkas Siren.

"Tidak ada satu orangpun yang lebih penting dari kamu, Sayang. Kakak hubungi Phaitoon. Kamu bilang tidak mau diganggu."

"Apa mereka sudah pergi?" tanya Siren celingukan.

Revan mengangguk.

"Yess!!" pekik Siren kegirangan. Meloncat memeluk Revan. Kakinya melingkar ke pinggang Revan kuat.

Revan terkejut. Untung saja mereka tidak terjatuh bersama. Revan menahan kuat pinggang Siren.

Posisi seperti ini yang mereka pakai saat Revan kerasukan setan napsu. Napas Revan memburu, jika tempat ini sepi Siren pasti sudah polos dibuatnya.

Revan menurunkan Siren kembali. Menahan gejolak gairah yang akan ia tebus saat di villa nanti.

Mereka melanjutkan perjalanan. Melihat panorama menakjubkan terpampang di depan kedua insan tersebut. Pewisata berdatangan dan mulai ramai menikmati keindahan alam disini.

Tanaman liar tumbuh di sepajang jalan setapak. Padang rumput di penuhi bunga bermekaran yang condong ke arah barat.

Akhirnya mereka sampai pada sebuah telaga. Mata Revan terpaku pada sederetan bunga yang merunduk.

Siren celingak-celinguk heran melihat Revan melamun. "Kakak liatin apa?"

"Dulu disini terdapat banyak sekali dandelion."

"Dandelion?!"

Revan tersenyum tipis. "Dandelion atau Randa Tapak adalah tanaman liar jenis Taraxacum, dari famili Asteraceae yang berasal dari Eropa dan Asia yang kemudian menyebar ke segala tempat. Termasuk ke daerah sini. Bunganya sangat indah, jika mekar akan berwarna kuning." jelasnya pada Siren.

Siren menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Kakak kan cowok ngapain suka sama bunga." ia cengar-cengir.

"Kakak suka pilosofi bunga itu. Serpihan-serpihan kecil bunganya yang ringan akan terbang terbawa angin dan menyebar kemana pun ia mau, yang akhirnya akan tumbuh menjadi bunga baru di tempat ia jatuh dan membawa kehidupan baru. Bunga dandelion, terlihat sangat rapuh, namun sangat kuat, sangat indah, dan memiliki arti yang dalam. Kuat menentang angin, terbang tinggi dan menjelajah angkasa, dan akhirnya hingga di suatu tempat untuk tumbuh menjadi kehidupan baru."

Siren mangguk-mangguk. Ia tertarik oleh penjelasan Revan. Bibirnya membentuk hurup O. "Ohh.. Bunganya yang mana, Kak?"

Revan menuntun Siren ke arah semak bebatuan kecil yang berada di pinggiran telaga.

"Ini bunganya. Namanya dandelion."

"Mirip bunga krisan, Kak. Warnanya kuning. Gimana cara terbangnya?" Siren mengerutkan dahi, ia menelisik lebih dekat dan berjongkok.

"Ini baru mekar, Sayang. Bunga liar itu nantinya akan berwarna putih dan akan mudah tertiup oleh angin."

Siren bangkit berdiri disamping Revan.

"Oh.. Begitu.. Pengetahuan aku tentang bunga sedikit, Kak."

"Bukannya kamu punya kebun di teras samping. Semua bunga yang kamu tanam indah, Sayang."

Siren menggeleng tak setuju. "Bagiku yang paling indah itu selalu melihat senyuman Kakak."

Hati Revan melumer. Kejeniusan otaknya tak berpungsi melawan gombalan Siren.

"Beliin bibitnya yah Kak. Aku mau tanam di kebun nanti."

"Iya. Nanti Kakak belikan bibitnya."

"Celana dalam kesayangan aku juga gantiin, Kak." ceplos Siren teringat celana dalam kesayangannya yang di robek Revan.

Revan tergelak. Tangannya memegang perutnya sakit tertawanya kencang sekali.

"Kok ketawa sih? Aku tuh serius, Kak."

Siren memanyunkan bibir kesal. Ia jadi terbayang detik-detik terakhir tercerai-berainya ikatan benang sutra segitiga pembungkus terakhirnya semalam.

Revan menahan tawanya. "Maaf, Sayang. Kakak bisa tertawa lepas jika bicara dengan kamu." tangan kirinya merangkul kekasihnya. "Sabuknya mau juga?"

"Mau. Tapi yang sama persis yah, Kak. Tadi pagi Kak denden telpon nyariin sabuknya." polos Siren.

Padahal Revan ingin mengusilinya tapi di tahan takut kekasihnya akan ngambek lagi.

"Iya, Sayang." Revan mengacak kembali rambut Siren gemas.

"Jangan, Kak. Ih sudah rapih rambut aku."

"Kakak tidak tahan kalau lihat kamu cemberut."

"Kiss dong, bukan diacak-acak."

Cup.

Siren membulatkan matanya seakan tidak percaya Revan mengecup bibirnya di depan umum. Revan kan pendiam dan pemalu!

Sepertinya Revan telah banyak berubah setelah berpacaran dengannya.

"Kakak sehat?"

"Kenapa?"

"Tumben berani? Disini kan banyak orang, Kak. Lihat deh mereka ngeliatin."

"Kakak tidak perduli. Karena yang Kakak perdulikan hanya calon istri Kakak. Yang sekarang tepat berada di hadadapan Kakak."

Siren merona. Debaran jantungnya kencang sekali. Revan sudah mulai mahir merayu. Ucapan kekasihnya barusan merupakan mata air abadi di padang rumput hatinya. Jiwanya damai berdekatan dengan Revan.

"Kakak tahu kan, setiap hari aku sering jatuh?" ucap Siren menyendu.

"Iya. Jalannya hati-hati Sayang."

"Bukan itu."

"Lalu?"

"Jatuh hati sama Kakak." Siren cengengesan.

Revan tergelak kencang. "Kakak kangen sama rayuan maut dan puisi-puisi kamu."

"Aku juga, kangen godain Kakak. Apalagi lihat pipi Kakak merona merah. Rasanya pengen cium bibirnya."

Cup.

"Ih Kakak tidak permisi dulu. Kalau kiss itu yang lama Kak." protes Siren. Tapi senyumannya kian melebar. "Dilihat orang tuh."

"Mereka sibuk dengan pasangan mereka masing-masing." Revan senyum-senyum.

"Oiya, Kak. Kalau lihat telaga begini kayaknya mau mandi deh."

"Nanti tenggelam, Sayang."

"Yah gapapa. Kan tenggelam bersama gairah dan percintaan kita saja." Siren makin ngayal. "Tapi, Kak. Seks dalam air keren juga kali yah, Kak." Siren terkekeh mesum.

"Airnya sangat dingin Sayang."

"Nanti juga hangat. Yang penting kan pemanasannya harus tepat."

Revan menggeleng kepala pelan. Menjelaskan sesuatu pada kekasihnya tidak bisa hanya dengan teori, ia harus mempraktekannya secara langsung di rumah nanti.

"Cahaya jingga akan tenggelam."

Pandangan Revan kini tertuju pada garis piringan yang hampir menghilang di telan cakrawala. Siren ikut menoleh menyaksikan sinar emas kemerahaan.

"Indah sekali."

"Iya keren Kak."

Matanya kembali menatap Siren. Siluet tubuh kekasihnya disinari cahaya keemasan. Revan mengeluarkan kotak kecil dan membukanya sedikit, menunjukannya di depan mata Siren.

Siren terpaku melihat kilauan cincin berlian tepat berada di depan matanya. Kilau putihnya beradu dengan matahari senja. Bentuk cahanya kini seperti bintang.

"Kakak pakaikan."

"Ini buat aku, Kak?"

Siren masih terperangah. Mulutnya terbuka lebar. Yang ada dalam pikirannya, betapa mahal harga berlian itu.

Revan tersenyum, mengeluarkan cincin berlian putih dan menggapai jemari Siren. Kedua pasang mata bersirat cinta, terkunci.

Dengan restu sinar kemerahan di langit sore. Cincin itu perlahan melingkar di jari manis Siren.

Di dekatkannya kelima jari tersorot dengan mata penuh takjub. Debaran di dadanya berdentum hebat.

Siren berkaca-kaca, ia terharu. Impiannya menjadi kenyataan setelah penantian panjang. Ia menyentuh pipi Revan sebelah kanan dengan tangan kirinya yang memakai cincin, diusapnya lembut dengan ibu jarinya.

"Pernah suatu hari ragu menyelimuti asa
Aku dan kamu tenggelam pada ego
Yang merajai kebodohan dibasuh penderitaan
Tapi itu dulu!
Kini tersematlah sebuah janji
Berwujud lingkaran cinta dijari manisku
Aku hanya ingin bersama dengan si pemilik hatiku
Bernapas bersama aliran darahmu
Terbuai abadi di putihnya kasihmu
Hanya itu
Miliki aku selamanya."

Bulir air kebahagiaan menetes tak terbendung lagi membasahi pipi Siren.

Revan trenyuh, matanya berkaca-kaca. Kedua tangannya menangkup kedua pipi Siren.

"Sentuhan jemarimu di wajahku
Bagai hangat terik mentari yang menyinariku
Senyum terindahmu menghilangkan duka
Yang selama ini membelengguku
Kuhitung setiap langkah kebersamaan kita
Sepertinya masih kurang
Karena aku ingin terus menghitungnya sampai waktuku habis
Kaulah satu-satunya cahaya dalam hidupku, kekasihku
Tu sei la mia per sempre.
(Milikku selamanya)."



Bersambung ke Part 27.






Mohon maaf jika masih banya typo :ampun:

Setelah perenungan, pergolakan, dan pertimbangan. Nanti eneng akan selalu memakai author pov sampai waktu yang di tentukan. :D

Ini semua dikarenakan gaya bahasa eneng yang labil.

Tapi suwer tekewer kewer deh.
Tees berani sumpah demi duit ceban mamah maksa :pandaketawa: ini semua murni tulisan eneng. Mesti beberapa ada yang dibantuin editor sih 😂 tapi dikit loh 😃

Moga terhibur yah :angel:
Koq fotonya mirip saya saat masih muda ya wkwk
 
Om ngomong apaan?

Terus eneng sapa yang rebutin?

Bukanya Volte juga mulai suka dengan Siren,masak sih nggak terusik toh Volte dapat dukungan dari Si Iblis Tua...
Dan Vale dapet dukungan dari sang Bunda.. dan ini keluarga Mafia kan, dan yang pernah saya baca para boss mafia sangat gemar menggoda wanita yang sudah bersuami....

Kisah Qabil dan Habil ,Habil membunuh Qabil karena Iqlima...
Ramayana,terjadi perang besar karena Shinta direbut Rahwana...
 
Dikit" up nya teh jadi tambah pensran cerita ke depan nya Kya gimana...
D antosan nya teh.
Kalo kebanyakan enengnya kepucingan om hehr...
Masih kepo, gmana situasi di rumah Deni 😂
Sabar nya om, bentar agi kok mateng.
Yang ditunggu reaksi Volte nih ajak perang atau gak. Mungkin malah ajak Valen ngelawan Iblis Van ya neng. Ditunggu deh up berikut biar ada pencerahan dan mungkin beraroma bawang jg :bingung::bingung::bingung:
Valen teh saha om? :mati:
Vale om Valerio...

Tees alergi bawang om hehe..
Tapi boleh juga dikasih bawang :pandaketawa:
Tenaaang ,,, sama sama menunggu adegan dimana siren dan vale melakukannya sebelum nikah,,,karena suasana kamar gelap gulita dan siren tdk bisa membedakan mana vale dan mana revan,,pasti seru episodenya nanti,,,makasih apdetnya suhu,,
Aih kok bisa gitu om, imaacih yah rekomen bat :jempol:
Makasih updatenya neng @gadissoyu :beer:

Kalo soal cerita romantis,Eneng emang jagonya!!!
Sami sami om, moga suka yah..
Tuh kan eneng geer agi masa :kk:
Maacih neng. Update nya mantul
Imaacih ki, saran atuh ki..
Siren di tembak pakai cicin berlian klepek2 deh ....
Apakah siren tau kalau sebenarnya revan aka vale punya saudara kembar identik volte (maaf kalau sakah) kan kembar identik tu biasanya punya filling sang sangat kuat. Semuanya punya rasa yang sama terhadap siren baik cinta asmara dan sifat yang sama mungkin kah siren bisa berbagi cinta sama vale dan volte.
Siren punya suami 2 kembar identik asik tu kayaknya.
Siap non lanjutin.
Siren belum tau om, scen mendebarkan itu mah :panlok4:
Sabar nya om, entar eneng kasi yang nanas dan banjir :D
Nich TS yang mecum apa siren yang mecum, kok update nya pengen dimanjain terus, hehehe...

Makasih neng ayu udah update...
Sami sami om, moga terhibur yah.
Teesnya lah om :malu:

Tapi beneran nih mah gegara mamang, bukan eneng ciuss deh :Peace:
Makasih ning up nya
Sami sami om, moga terhibur yah...
Koq fotonya mirip saya saat masih muda ya wkwk
Berarti karang dah tuwir? 😂😂😂
Om ngomong apaan?

Terus eneng sapa yang rebutin?

Bukanya Volte juga mulai suka dengan Siren,masak sih nggak terusik toh Volte dapat dukungan dari Si Iblis Tua...
Dan Vale dapet dukungan dari sang Bunda.. dan ini keluarga Mafia kan, dan yang pernah saya baca para boss mafia sangat gemar menggoda wanita yang sudah bersuami....

Kisah Qabil dan Habil ,Habil membunuh Qabil karena Iqlima...
Ramayana,terjadi perang besar karena Shinta direbut Rahwana...
Nah itu masi lahacia :D
Kan belum keluar semua masa lalunya yang telah berlalu...
Makasih up'y mbakAyu......

Tandon dulu mbakAyu...

Semoga mbakAyu selalu sehat,tambah ayu & jgn lupa senyum'y ya😀😀
Sami sami mbah, baca yah awas kalo kaga...

Amin...
Lancar terus kerjaannya yah mbah, sehat selalu juga..
 
Kuenya lembut bener lumer d lidah.....
Nagih nagih lg nih.....
Lg sejuk hati ini...
Kala sepasang kekasih memandang indanya semesta......











Thx u suhu "GADISSAYU".....
Sami sami om, yang lumer mag bentaran agi nongol om hehe...
makasih sudah, baca sudah, komen belum ya neng @gadissoyu hehehe.. Mau komen apa ya?? Semua sudah baik, alur, kontennya, antar part sudah baik, oya isi barangkali, seneng lihat part ini, saat revan ngeluarkan cicin, plus gaya siren minta jatah,
kayak iklan sudah sarapan revan?? Mana sempat haahahaha
Disempet sempetin om :lol:
 
Berbagai tehknik diperagakan dari mulai gaya konvensional hingga gaya profesional.

... ..... :pandaketawa:


Siren menghentakan kakinya kesal dan berjalan sembari mengegangkan kaki, ia meninggalkan Revan di belakang.

Coba yang ini kasih mulustrasi lah :hammer: !


Dari sini seterusnya mau pake pov seperti ini?
 
Bimabet
Senyuman Kekasihku

Part 27. Bangkitnya Putra Iblis






Rumah Rissa...


Sepuluh menit berlalu, pintu itu terbuka. Deni dan Rissa tampak terkejut melihat tamu di depan pintu.

Mereka tahu Marta ialah tetangga seberang rumahnya. Tetapi mereka hampir tidak pernah berbincang sebagaimana tetangga semestinya.

"Ibu Marta, silahkan masuk Bu." sapa Rissa ramah. Raut wajah Rissa masih bertanya-tanya masalah apa terjadi hingga tetangganya berkunjung ke rumahnya.

Marta tersenyum basa-basi. Ia memperhatikan tampilan Deni yang acak-acakan, hanya Rissa saja yang rambutnya tersisir rapih. Kepala Marta menggeleng sekilas, sedang Vabio menatap jengah. Mereka semua memasuki ruang tamu.

"Auww..." pekik Marta terpeleset.

"Kau tak apa?" Vabio menangkap tubuh Marta sebelum terjatuh.

"Ya.. Ada air lengket di lantai."

Mata Rissa melotot, pipinya bersemu merah sepertinya ia tahu cairan apa itu? Ia menoleh pada Deni yang lagi nyengir.

Marta menunduk dan memeriksa sepatunya, ada lendir yang menempel. Marta menutup mulutnya mual, ia tampak jijik.

Vabio mendengus kasar. Ia kesal pada pasangan muda-mudi tidak senonoh tersebut. Aura dingin terpancar dari Vabio, Marta melihatnya dan mengalihkan amarah Vabio. Marta tidak ingin lamarannya menjadi berantakan.

"Vab, bantu aku berjalan." Marta tersenyum manis merangkul lengan Vabio manja.

Vabio membalasnya dengan penuh kasih sayang merangkul istrinya mesra. "Si, signora (Ya, nyonya)." lalu mengedipkan matanya.

Marta gelagapan. Ia telah memancing anak iblis bangkit dari persemayamannya. Pipi Marta bersemu merah.

Kaki Marta menggesek pelan di lantai yang kering. Lalu kembali melangkah.

"Si..silahkan duduk, Tante eh.. Maaf, Ibu Marta." gugup Rissa. "Maafkan kami tidak sopan menyambut tamu."

"Tidak apa-apa Rissa. Saya yang datang terlalu dini dan mengganggu olahraga pagi kalian." sindir Marta halus tapi tajam.

Marta dan Vabio duduk di sofa dekat jendela luar. Sedang Deni dan Rissa tampak kikuk duduk berhadapan dengan mereka.

Marta menutup dan mengusap hidungnya. Penciumannya yang tajam dapat menangkap aroma bekas persetubuhan. Matanya menoleh pada Vabio yang sedari tadi hanya menatap Marta dengan cinta.

Tangan Marta menyenggol lengan Vabio. Ia tidak ingin Vabio salah fokus.

"Hem..hem... Perkenalkan ini suamiku Vabio, ayahnya Revan. Kami datang kesini untuk melamar Siren untuk menjadi istri dari putraku." ucap Marta sopan. Tanpa basa-basi.

Deni dan Rissa melongo, terkejut saling menoleh bingung. "Maaf Bu. Tapi adik kami masih sangat muda. Ia baru saja lulus SMA." tolak Rissa halus.

"Kami sudah menyiapkan segala sesuatunya, nak Rissa. Kita tidak bisa menunda pesta pernikahan mereka." tekan Marta halus. Tangannya mengipas tidak berhenti.

"Tapi Siren akan kuliah dan cita-citanya mau jadi dokter kayak Susan, Bu. Mungkin 8 Tahun lagi Siren siap menikah." sela Deni ngasal.

Emosi Vabio terpancing. "Adikmu harus cepat menaikah dengan putraku. Aku tidak ingin cucuku lahir di luar nikah." balas Vabio cepat, logat Italiano masih terasa kental hingga pengucapan bahasa Indonesianya terasa lucu.

Deni dan Rissa melotot, shock. Tak mampu bersuara. Bagai ada petir di atas kepalanya.

"Hem.." Marta berdehem. "Nak Deni dan nak Rissa kita harus segera melaksanakan pesta pernikahan mereka. Anakku dan adikmu saling mencintai. Lagipula..." Marta berackting menangis. Wajahnya sendu, air matanya menetes. Marta menghapus dengan jari telunjuknya dengan anggun.

"Lagipula?" sahut Rissa. "Apa yang dimaksud suami Ibu tadi?"

"Kami datang dengan maksud baik. Kami berharap keluarga kalian juga mengerti dan menyambutnya dengan tangan terbuka."

Ambigu!

Rissa cemas atas perkataan Marta. Sedang Deni melongo tidak percaya.

"Maksud Ibu? Saya tidak mengerti arah pembicaraan Ibu." Rissa bersuara.

"Kami tidak ingin cucu kami lahir di luar pernikahan. Makanya kami datang untuk melamar adikmu." terang Marta.

Rissa munutup mulutnya. Kepalanya pusing dan jatuh pingsan. Deni terkejut dan panik, tangannya menyanggah istri tercintanya dan menyandarkan pada bahunya. Kini Deni dapat mengerti arah pembicaraan pasangan suami istri di depannya.

"Yang bangun, Yang.. Duh masa kalah sama Siren, kita harus lebih giat lagi mainnya." ceplos Deni ngasal.

Marta dan Vabio menggelengkan kepalanya bersamaan. Mereka tidak mengira keluarga calon besannya unettitude.

Rissa belum juga sadar. Deni semakin kelabakan. "Ibu tetangga seberang. Emang bener adik saya melendung sama anak ibu?" tanya Deni tidak sopan.

"Kamu tidak mengetahui hubungan adikmu dengan putraku?" Marta bertanya balik.

"Gimana mau tahu, adik saya saja gak cerita." Deni mengacak kembali rambutnya. Ia menyandarkan istrinya ke sandaran sofa.

Deni gusar. Ia bangkit lalu berlari ke kamar mencari minyak kayu putih dan kembali ke ruang tamu serta mengolesi sedikit di hidung Rissa.

Rissa mengerjap perlahan, tersadar dari pingsannya. Deni membantu istrinya bangun dan duduk dengan tegap.

"Udah mendingan, Yang?" tanya Deni.

Rissa mengangguk lemah. Ia menatap pasangan suami istri di depannya.

"Apa benar adik kami hamil oleh putra Ibu?" lirih Rissa, matanya berkaca-kaca.

Marta menghela napas dalam. "Benar nak Rissa. Oleh sebab itu, kami kesini ingin melamar adik kalian. Tolong diterima niat baik dari kami." Marta melembutkan suaranya.

Rissa menangis kencang sekali di pelukan Deni. Jika Siren menikah dan di bawa pergi suaminya, itu berarti ia akan kehilangan adik kesayangannya.

"Udah dong, Yang. Kamu jangan iri gitu. Tar malem kita usaha lagi yah!" Deni menghibur Rissa.

Rissa tertegun mendengar perkataan Deni. Suami bodohnya sudah salah tangkap. Rissa kembali menangis, kali ini karena ulah suaminya. "Den kita harus cepat telepon Siren kita harus tahu masalah sebenarnya."

"Tapi, Yang. Siren pinter juga milih calon yah! Kayaknya mereka bukan orang sembarangan." bisik Deni pada Rissa.

Rissa mengangguk cepat. "Iya bener. Gak kayak aku yah." cibir Rissa halus.

"Kok kamu gitu sih, Yang." Deni menggerutu kesal.

"Josse... Bawa masuk barang-barang ke dalam." perintah Marta pada ajudan Vabio. (bicara bahasa Italiano).

Seorang pria bule membawa banyak sekali handbag dan bingkisan yang sangat besar. Dibungkus dengan rapi disertai pita merah. Ia meletakan semuanya di atas meja hampir tidak muat. Separuh lagi di letakan di atas sofa yang kosong.

Deni dan Rissa terperangah melihat berbagai macam barang-barang mahal merek branded internasional. Rissa tahu pasti isinya, satu handbag tersebut nilaniya berkisar puluhan atau ratusan juta rupiah.

Deni menelan air liur, matanya tidak berkedip. Tangannya terulur ingin menyentuh kotak perhiasan yang besar sekali, ia berpikir isinya berlian atau batu jamrud triliunan rupiah.

Plakk..

"Auu... Sakit, Yang."

Rissa memukul tangan Deni.

"Maaf Bu, kami tidak bisa menerima hadiah sebanyak ini. Kami harus bicara pribadi pada Siren terlebih dahulu. Bukan maksud kami menghina atau merendahkan keluarga Anda. Bersedia atau tidak, kami serahkan keputusan pada adik kami." ucap Rissa sopan.

"Kok gitu, Yang?" Deni tak setuju. Rissa memelototi Deni tajam.

Marta tersenyum bangga, ia tahu keluarga besannya bukan orang yang mata duitan. Sedang Vabio mendengus dingin.

"Saya tahu itu nak Rissa. Siren saat ini sedang honeymoon bersama putraku. Siren akan sangat bahagia jika kalian menerima semua hadiah ini."

"Maksud Ibu?" Rissa terkejut. Adiknya telah berbohong.

"Kami tidak bisa menerima lamaran Ibu." marah Deni spontan. Hatinya geram, marah dan kecewa karena Siren sudah berani membohonginya.

"Den, adik kita harus menikah. Anaknya akan lahir tanpa ayah kalau kita menolak lamaran mereka. Kita harus tanyakan dulu baik-baik pada Siren." bentak Rissa galak.

"Tapi, Yang_" bantah Deni.

"Sudah kamu diam dulu. Jangan memperkeruh suasana." geram Rissa.

Hati Deni menciut melihat kemarahan istrinya. Ia memanyunkan bibirnya.

Marta tertawa kecil melihat perkelahian muda-mudi tersebut. "Kami pulang dulu, maaf mengganggu aktifitas kalian. Hadiah ini berikanlah pada calon menantu kami. Kami berharap ada kabar baik dari kalian nanti." pamit Marta sopan.

"Baiklah, kami akan bicarakan dahulu masalah ini dengan keluarga besar kami." jawab Rissa sopan.

"Permisi.."

Marta bangkit bersama Vabio dan pulang ke rumahnya.

Rissa merosot lemas dan jatuh bersandar ke sofa. Deni menggaruk kepalanya kesal. Ia tidak pernah tahu permasalahan yang dihadapi adiknya.

Deni mengutuk dirinya. Ia merasa tidak becus menjadi kakak. Hatinya gelisah, "Apa bener Siren hamil?" pikirnya tidak tenang.

Jika benar, kenapa jerih payahnya sekian lama juga belum membuahkan hasil bersama istri yang ia nikahi hampir 4 Tahun!




***



Siangnya Marta dan Vabio bersiap akan pergi. Mereka tidak mau menunda lagi melamar Siren untuk Valerio. Apalagi ia sering frustasi sendiri. Akhir-akhir minggu ini mimpinya sangat menyeramkan

Mereka berangkat dengan mobil pribadi dan menyewa sopir sebagai penunjuk jalan. Josse ajudan setia Vabio, duduk di depan sebelah sang sopir.

Dua mobil di belakang semua pengawal Vandals yang ikut membuntuti mobil tuannya di depan.

Hiruk pikuk kota Jakarta sangat kentara. Pagi-pagi saja sudah macet. Kedua tangan Marta menggemgam erat.

Vabio menggemgam erat kedua tangan Marta. Rupanya sedari tadi ia memperhatikan istrinya.

Marta menoleh tersenyum manis. Dada Vabio bergetar tiap kali melihat senyuman istrinya. Vabio berharap lebih, ia memepet tubuh Marta dan merangkul.

Kedua insan sudah berumur seperti merasakan jatuh cinta kembali. Marta merasa suasana di dalam mobil sangat panas. Mungkin saja AC-nya rusak.

Marta mengambil kipas dari dalam tasnya. Vabio meneguk saliva, melihat belahan payudara istrinya dari belakang. Tangan Vabio merangkul pinggang Marta, posesif.

Kedua orang di depan kemudi berwajah datar hanya diam saja tanpa tahu hal yang terjadi di belakangnya. Sedang kedua insan di jok belakang bergerak-gerak gelisah.

Vabio seperti mendapat angin segar. Bukan dari kipasan tangan Marta tetapi istrinya diam saja diremas-remas bagian pinggulnya. Perbuatan nakal Vabio membuat Marta menahan desahan di ujung bibirnya.

Mobil memasuki jalan pedesaan yang tidak terdapat jalan aspal. Mendapatkan alamat kampung halaman Siren bukan masalah sulit bagi Marta.

3 kendaraan mewah berhenti di depan sebuah rumah sederhana dengan pelataran yang luas dan rindang.

Vabio mengangkat tangannya yang tadi merangkul istrinya. Sedang istrinya diam saja dengan raut wajah kesal, seolah tak rela tangan Vabio lepas dari pinggulnya.

Josse membukan pintu untuk Vabio. Tuan dan nyonyanya segara turun dan melangkahkan kakinya ke teras depan.

Seorang wanita setengah baya memakai baju terusan sederhana keluar dari dalam rumah. Wanita itu mengerutkan dahi, menatap bingung pada sepasang tamu yang baru saja tiba.

"Cari siapa Bu?" ucap wanita itu ramah dan tersenyum.

"Apa Ibu yang bernama Ani?" Marta berbalik tanya sambari menelisik wajah wanita itu.

Marta mengamati wajah wanita paruh baya. Kulitnya putih mulus tanpa cela, walaupun guratan tipis kentara di bawah sudut matanya. Sangat cantik sebagaimana wanita pedesaan lainnya. Tampak ayu dan memesona.

Marta tersenyum, sedih. Ia kembali teringat sesuatu. Hatinya tersayat jika teringat akan hal menyedihkan tersebut. Ia memaksa senyum menyambut keramahan wanita di depannya.

Ruang tamu dengan 3 orang berperangai berbeda duduk berhadapan. Marta berbasa-basi, ia mencoba bersikap ramah. Biar bagaimanapun juga di hadapannya ialah calon besan.

Pembicaraan yang awalnya canggung bagi kedua wanita sebaya tersebut menjadi menegangkan. Wanita bernama Ani, yakni ibundanya Siren tercengang mendengar penuturan Marta.

Sedangkan wajah datar dan dingin khas Vabio biasa saja mendengarnya. Menurut Vabio, wanita selalu bereaksi berlebihan jika mendengar hal yang tidak enak didengar.

Ani memejamkan matanya sesaat. Tangannya bergetar, ia tak percaya akan penjelasan yang Marta katakan. Ani berpikir ia harus menanyakan sendiri pada putri semata wayangnya. Suaminya Kana belum juga kembali dari restoran. Di rumah hanya ia sendiri. Ani kebingungan.

Ani menolak keras hadiah yang diberikan Marta. Ia tak mau begitu saja menerima lamaran dari orang yang tidak ia kenal.

"Vab, bisa tinggalkan kami berdua saja. Kami akan berbicara antara sesama wanita." ucap Marta lembut pada suaminya.

Vabio tersenyum memikat. Ia mengedipkan matanya sebelum pergi keluar menuruti istrinya. Marta berdehem, dadanya berdebar-debar gairah.

Marta berpindah duduk ke sebelah Ani. Tangannya menangkup kedua tangan Ani. Wajahnya condong ke dekat telinga Ani. Ia berbisik sesuatu yang membuat Ani membulatkan matanya.

Ani tambah bergetar. Tubuhnya melemas seolah semua tulangnya diangkat dari tubuhnya. Matanya berair dan terus saja menetes. Ani shock berat, ia bimbang dan hampir tumbang.

Marta mengelus lembut tangan Ani. Ia menjanjikan suatu hal yang dijawab anggukan kepala Ani.

Apa itu berarti Ani menerima lamarannya?

Entah.. Yang pasti Marta tersenyum senang. Pasangan suami istri itu berpamitan dan pergi meninggalkan Ani yang masih menangis



***


Kediaman Marta...


Marta termenung di depan kaca jendela kamarnya. Tatapan matanya kosong, padahal otaknya sedang berpikir.

"Apa yang kau pikirkan?" tanya Vabio, yang entah sejak kapan berada di belakang tubuhnya.

Hembusan napas panas Vabio menerpa tengkuknya. Marta meremang ia tersadar dari lamunan.

"Tidak. Aku hanya merindukan taman bungaku. Kau lihat tanaman itu Siren yang menanamnya selama aku tidak pulang ke rumah ini." Marta mengalihkan kegugupannya.

"Kau cantik dilihat dari manapun, signora." napas Vabio semakin berat.

Hati Marta melemah!

"Kau.. Hemm... Kau istirahatlah Vab, kau mungkin kelelahan." Marta menjawab dengan napas tersengal-sengal.

Tidak ada sentuhan. Hanya saja bagi Marta, tubuhnya tidak terkendali tertarik begitu saja dengan aura pikat yang kuat pada Vabio.

"Kau lah yang butuh istirahat, signora."

Vabio memajukan langkahnya. Tubuh mereka hampir berhimpitan. Mungkin satu senti lagi milik Vabio terjepit belahan bokong Marta.

"Aku akan mengambil minuman untukmu." ucap Marta mencari alasan.

Bulunya merinding. Marta berhenti tak bergerak lagi. Ia terpaku di tempatnya berdiri bagai seonggok patung lilin yang siap meleleh. Badan Marta merapat pada jendela kaca, pipi kanannya terasa dingin, payudaranya tergenjet, kedua tangannya menempel di kedua sisi bidang kaca.

"Kau tahu, betapa lama aku mendambakan suasana seperti ini." suara serak khas Vabio. Ia menahan gejolak. "Air dingin tidak dapat menyembuhkan gairah dalam diriku. Aku sakit. Sangat sakit.. Dimana kau menyembunyikan obatku." lidah Vabio mencucupi telinga Marta.

"Vab, sadarlah. Ini..jendela siapa saja bisa melihat kita." Marta mendesah lemah.

Gesekan itupun terjadi. Selangkangan Vabio mengeras maksimal merasakan empuknya bokong seksi istrinya. "Rrgghh... Apa yang kau berikan padaku. Kau tidak memberiku kebebasan mengalihkan mataku dari dirimu signora." Vabio menggeram.

Cumbuan di tengkuk Marta meruntuhkan barier kokoh yang ia pasang untuk mencegah hatinya terbakar gairah kembali.

Bibir Marta terbuka tanpa suara. Mata sayu memantul dari kaca melihat bibir Vabio yang sedang merajalela di bahu Marta yang terbuka. Vabio sangat ahli menyentuh titik-titik kelemahan seorang wanita.

"Vab, kau gila. Orang lain akan terkejut jika memperhatikan jendela kamarku."

Marta memekik. Keberadaan tangan Vabio mencakup payudaranya. Sedangkan tangan satunya meremas bagian lain. Entah sejak kapan seleting gaun belakangnya dibuka suaminya. Sejak tadi Vabio masih tampak sibuk beraktifitas fisik sendiri memicu semangat gairah pada istrinya.

"Ijinkan aku melakukannya signora. Hilangkan penderitaan yang selama ini menyiksaku. Berikan perintah padaku agar menuntaskan ini dengan indah." suara berat Vabio menarik perhatian Marta menyetujui usulan penyelesaian hasrat biologisnya.

Vabio menyeringai. Bola matanya menggelap. Sekilas namun pasti ia menangkap anggukan samar istrinya. Marta tak karuan, reaksi tubuhnya bagai dikendalikan oleh pikiran Vabio. Ia masih terperangah saat kedua tangannya sendiri melolosi gaun hitam yang ia kenakan.

Jatuh ke bawah. Celana dalam beserta bra begitu saja lepas dari tempatnya. Marta tak fokus, terkena sihir dari manik Vabio yang selalu memandang lekat penuh gairah mengacau kewarasannya.

Otak dan pergerakan tangan Marta tak harmonis. Isi pikirannya mengatakan jangan lemah namun ia berbalik menghadap Vabio bahkan kedua tangannya membuka kancing kemeja suaminya satu persatu penuh penghayatan.

Alarm tanda bahaya berdentang kencang di kepala Marta, mengembalikan akal sempurna yang ia punya. Jemari tangan Marta berhenti sesaat di ujung seleting celana Vabio.

"Signora, aku siap mati demi apapun. Di dalam tubuhku tidak ada organ yang dapat menawarkan racun. Kau tahu kenapa? Karena isteriku membawa hatiku pergi." suara seleting terbuka nyaring terdengar di seisi ruangan kamar.

Hati Marta memuncak senang. Disaat para wanita lain melakukan berbagai macam cara menaklukan hati putra Vandals, bahkan rela menjual diri sembari mengemis cinta satu malamnya Vabio. Namun seumur hidupnya pria itu hanya fokus memerah kedua susunya bergantian.

Kelemahan terbesar Vabio ialah jika Marta sudah membusung. Pertahanannya akan langsung luruh bagai buih sabun memecah di udara.

Marta menatap minat, tubuh shirtless suaminya sendiri. Air liurnya hampir saja menetes. Jika percintaan ini terjadi, pastinya harus menjadi pergumulan terdasyat dalam hidupnya karena jiwanya yang sekian lama menjauh menyendiri.

Desahan halus keluar. Kedua tangan Marta memeluk belakang leher, Vabio mengangkatnya dan meletakannya ke tempat tidur dengan pandangan tak pernah lepas saling mengharap.

Lengan kekar itu mengukung possesif tubuh telanjang di bawahnya. Mata Vabio berkabut napsu yang membumbung tinggi. Terbukti dari kuatnya hentakan pertama sampai Marta menjerit histeris.

"Vab, aku belum siap." bentak Marta membelokan matanya. Meringis sakit.

"Ayolah signora. Pemanasan pada wanita hanya untuk penis pria tidak bertahan lama. Namun aku berbeda. Ukuran dan diameter penisku menakjubkan bukan? Kau telah merasakan kegilaanku dulu." Vabio menggeram. Kini matanya seperti bara api yang siap melalap siapa saja yang berada di hadapannya. "Lagipula lubangmu sangat familiar mengenali siapa pemiliknya." Vabio menarik sudut bibirnya melengkung ke atas.

"Kau menyakitiku tuan arogan. Oh ya ampun, aku membangkitkan putra iblis yang telah lama terkubur." Marta menutup mulutnya. Ia melupakan nyeri pada pangkal pahanya. Tubuhnya sudah lebih rileks karena ucapan Vabio.

"Ingin bertaruh denganku?" mata mesum Vabio kembali mendikte Marta menuruti segala ucapannya. Tangan Marta kini merangkul dan meremas leher suaminya.

Desahan nama Vabio dan tarikan napas yang memburu akhir dari takluknya singa betina ke tangan raja serigala yang kelaparan. Pacuan birahi yang penuh samangat berarti sangat jelas gencatan senjata akan dilakukan.

Hingga malam hari tidak ada satu orang pun yang keluar dari kamar pribadi Marta. Pertarungan sengit terjadi dan tak bisa di elakan lagi. Hanya suara gaduh desahan napas serta jeritan nikmat keduanya yang nampak terdengar.

Sepertinya Vabio menggunakan kesempatan ini dengan sebaik-baiknya.


Bersambung ke Part 28.




Mohon maaf jika masih banya typo :ampun:
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd