Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG SIDE STORY (The Lucky Bastard - racebannon)

Setelah Anggia, mau bahas siapa?

  • Nica

    Votes: 76 16,6%
  • Karen

    Votes: 109 23,8%
  • Mayang

    Votes: 145 31,7%
  • Nayla

    Votes: 152 33,2%

  • Total voters
    458
  • Poll closed .
Status
Please reply by conversation.

racebannon

Guru Besar Semprot
Daftar
8 Nov 2010
Post
2.074
Like diterima
16.693
Bimabet
Salam...

Thread ini dimaksudkan untuk menampung Side Story para tokoh-tokoh perempuan yang telah mewarnai cerita bersambung The Lucky Bastard. Bagi yang belum membacanya, disarankan untuk membacanya terlebih dahulu, gak banyak kok, cuma 50 episode aja (haha).

Karena kisahnya sudah tamat dan saya pribadi gak fokus nulis di thread tersebut, karena merasa ceritanya sudah beres, maka saya memindahkan semua tempat untuk bercerita tentang side storynya di thread baru. Mudah-mudahan lebih nyaman.



------------------------------------------

SIDE STORY INDEX:

#1. ANGGIA - PART 1
#2. ANGGIA - PART 2
#3. ANGGIA - PART 3
#4. ANGGIA - PART 4
#5. ANGGIA - PART 5
#6. ANGGIA - PART 6
#7. ANGGIA - PART 7
#8. ANGGIA - PART 8
#9. ANGGIA - PART 9
#10. ANGGIA - PART 10
#11. ANGGIA - PART 11
#12. ANGGIA - PART 12
#13. ANGGIA - PART 13
#14. ANGGIA - PART 14
#15. ANGGIA - PART 15
#16. ANGGIA - PART 16


------------------------------------------

THE GIRLS
  1. Anggia: Berusia akhir 20an. Pragmatis, sinis, dan senang bercanda. Keturunan tionghoa, tinggi, langsing dan bertampang judes.
    copy10.jpg


  2. Mayang: Berusia pertengahan 30an. Janda beranak satu. Labil dan galau, serta bingung menentukan masa depannya. Berkulit sawo matang, bermata teduh dan bertampang kalem.
    glitch14.jpg


  3. Nica: Berusia awal 20an. Karyawan baru dengan tingkat optimisme yang tinggi. Kekanak-kanakan, cenderung polos dan naif. Berkulit putih, berkacamata dan bertubuh mungil.
    glitch15.jpg


  4. Nayla: Berusia awal 20an. Sepupu dari tokoh utama, dekat dari kecil. Normal girl from normal family. Sebentar lagi akan lulus kuliah.
    copy_o12.jpg


  5. Karen: Berusia pertengahan 20an. Mantan pacar sang tokoh utama Lucky Bastard. Pekerja seni.
    copy_o11.jpg

------------------------------------------

TOKOH PENDUKUNG
  1. AKU: tokoh utama di cerita The Lucky Bastard.
  2. Rendy: teman sekamar tokoh utama, cuek, tidak pernah serius, dan amburadul.
  3. Adrian: sepupu Nica, berumur awal 30-an. Tinggi, berkacamata dan brewokan lebat. Berasal dari keluarga high class.
  4. Intan: Mantan Pacar Adrian
  5. Gladys: Sekertaris Pribadi ayah Adrian
  6. Cheryl: Manajer Pub. Kisahnya akan lebih lengkap di cerbung Matahari dari Timur
  7. Vivi: Pengganti Gladys di kantor.
 
Terakhir diubah:
SIDE STORY
ANGGIA | PART - 1

timeline : PART 28 - 29 The Lucky Bastard


------------------------------------------

glitch25.jpg

Anggia

"Lama amat... Katanya OTW..." keluh Anggia dalam hati, tak sabar menunggu Adrian. Adrian, pria yang membuatnya speechless dalam beberapa waktu ini, sesuatu yang ia harapkan bisa mengisi kegalauannya. Apalagi diam diam ia merasa bersalah lama-lama, jika menggunakan sahabatnya sendiri untuk mengisi kesendiriannya. Intinya dia tidak ingin mengulanginya lagi, walau candaannya soal itu sering membuatnya geli, membayangkan sahabatnya sewot dan berpikir yang tidak tidak soal dirinya.

Kemang, awal tahun. Jalanan yang mulai sibuk ketika pagi dan tak berhenti sibuk ketika malam. Anggia mungkin rindu dengan sepinya Ubud ketika malam. Tempat dimana ia memutuskan untuk tidak lagi berhubungan intim dengan sahabatnya sendiri dan memutuskan untuk mengalihkan perhatian kepada Adrian, pria yang ramah, good looking dan tampaknya mengisi kekosongan itu.

Ya, dia tahu bahwa masalah agama mungkin akan menerpa lagi. Tapi dia ingin mencoba lagi. Susah berapa lama ia muak dengan lelaki dari lingkungan gereja yang selalu dibawa oleh Asthia dan ayahnya. "Dan gue heran kenapa Asthia bisa nyambung ama mereka semua. Dan satunya dikawin. Dipacarin dari SMA lagi... Apa gak mati bosen" pikir Anggia sambil mencoba mulai meminum mojito mocktail yang ia pesan tadi, sambil menunggu Adrian.

Oleh-oleh dari Bali sudah ia bawa dalam tasnya. Tak istimewa memang, hanya asbak unik dari kayu bekas kapal. Tapi dia pun heran kenapa Adrian mau menemuinya demi asbak itu. Dia berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa Adrian memang tertarik kepadanya. Rasa insecure yang umum dimiliki perempuan seumurnya. Rasa insecure yang coba ia tutupi dengan hiburan duniawi. Terutama hubungan seksual.

"Kalo aja dia mau ya..." Anggia membayangkan sahabatnya yang pendiam dan menurutnya sok misterius itu.

"Sori?"
"Eh.. Apa kabar?" senyum Anggia saat Adrian menghampirinya.
"Nah bener, dikirain orang lain, abis jadi pendek sih rambutnya" senyum Adrian manis dibalik muka lelahnya. Adrian segera duduk dan membakar rokok.

"Gimana bali?" tanya Adrian dengan ramah.
"Nice, kayak biasa, kalau Singapore gimana kemaren?"
"Ya... Standar lah.."

------------------------------------------

Singapura, akhir tahun. Disaat semua orang sedang bersiap liburan. Namun tidak bagi Adrian. Pekerjaan membuatnya berada di kota itu. Pertemuan dengan perwakilan dari Taiwan, membuatnya mewakili ayahnya pergi kesana untuk beberapa pertemuan

Tapi malam itu, ada pertemuan yang lain.

Intan merintih keras saat Adrian dengan kasar memasukkan jarinya ke lubang vaginanya. "Pelan... Ahhhh... Ahhh..." rintihannya berhenti saat Adrian mencium bibirnya dengan kasar. Bibirnya yang sensual dilumat dengan penuh nafsu oleh Adrian. Mereka berdua bergumul dengan telanjang bulat diatas kasur, di kamar hotel yang ditempati Adrian.

glitch15.jpg

Intan

Bagian kewanitaannya sudah sangat basah, dan Adrian tampaknya sudah tidak sabar ingin menggagahinya. Penis Adrian yang tegak sudah dibalut oleh kondom.

"Sini" seru Adrian sambil menarik pantat Intan, lalu langsung memasuki vaginanya tanpa ampun. Memompanya, terus, sambil beberapa kali menepuk kasar pantatnya.

"Ahhh... Shit... Aahhh..." Intan meraung pelan oleh perlakuan Adrian. Adrian tampak tidak peduli, ia terus menyerang dan menggagahi Intan.

"Dri.. Bangsat lo... Ahh..."
"Lebih enak kan dari laki lo?"
"Berisik lo... Ahh... Shit.."

"Untung laki lo lagi ke Malay ya?" bisik Adrian nakal.
"Ssshhh..."

Setiap ke Singapura, Adrian pasti selalu berusaha mengontak Intan, mantan pacarnya yang sekarang telah menikah dengan orang Singapura dan tinggal disana. Walaupun telah menikah dengan tanpa ada masalah-masalah aneh, tapi kenyataannya Intan sedang bersama Adrian di atas kasur itu. Saling memuaskan nafsu mereka.

Aksi yang super panas mereka pertontonkan di kamar itu, kepada saksi bisu furniture dan semua elemen dikamar itu. Intan tampak seksi dalam posisi itu. Posisi yang mengeksploitasi nafsu kebinatangan manusia. Doggy style. Adrian menarik tangan Intan kebelakang, menjadikan buah dadanya maju kedepan, dan berguncang setiap kali Adrian menumbukkan pahanya ke pantat Intan. Intan hanya pasrah, dan mendesah, merintih, mengerang dan mengeluarkan suara suara penuh gairah malam itu.

Permainan yang begitu kasar dan gila. Sesuatu yang sangat tidak romantis, penuh nafsu dan peluh. Tangan Adrian merambah, meraba dan meremas buah dada Intan dengan kasar.

"Aahh.... Adrian... Jangan kasar-kasar..." keluh Intan.
"Laki lo mainnya gak gini ya?"
"Jangan bawa-bawa dia... Uhh...."
"Di dalem ya?"
"Jangan... Ahh..."
"Biar anaknya jadi anak gue hahaha...."
"Bacot lo kebanyakan... Nnghh... Dri... Ahh.."
"Kayaknya bentar lagi lo orgasme deh.."
"Sok tau..."

Tapi Adrian benar, karena memang sebelumnya stimulasi yang diberikannya pada Intan memang sangat maksimal. Tidak hanya rabaan tangan, tapi juga permainan mulut dan jari ke daerah kewanitaan Intan sudah sangat panjang malam itu. Reaksi tubuh Intan semakin menggila. Badannya berguncang dengan hebatnya menerima semua serangan Adrian yang penuh nafsu dan penuh percaya diri.

"Uhhh..." Intan lantas menegang dan menggelinjang pelan, sesaat badannya berhenti bergetar.
"Udah? Makanya jangan sombong" ledek Adrian. Adrian melepas Intan yang lantas terkulai lemah di kasur.

------------------------------------------

Adrian berbaring santai sambil melihat-lihat media sosial. Dia melihat foto-foto Anggia yang sedang berlibur di Bali. Rambut panjangnya yang lebat dan tubuhnya yang ramping menjadi perhatian tersendiri baginya. Apalagi disaat ada tanda tanda bahwa Anggia tertarik padanya. Pikiran Adrian jauh melayang menuju adegan ranjang. Betapa indahnya mungkin, jika Anggia bisa tampil polos dan menjadi objek seks bagi Adrian. Pikiran pikiran dangkal dan kotor menjadi tajuk utama kepala Adrian malam itu.

Intan sedang sibuk. Sibuk dimana? Sibuk dibawah sana, sedang mengulum penis Adrian pelan pelan sambil mengocoknya teratur. Bibirnya melingkari penis Adrian, sambil mencoba membuat Adrian terpuaskan olehnya.

"Ni cewek cakep banget deh..." Adrian membuka suara.
"Mmh?"
"Jangan diemut kalo mau ngomong dong..."
"Siapa?"
"Seniornya si Nica di kantor"
"Oh... Pasti lo langsung mikir jorok"
"Hahaha..."

Intan melanjutkan kegiatannya. Dia tak sabar ingin menyudahinya, memberikan kenikmatan sesaat bagi Adrian. Kocokannya makin keras, lidahnya semakin bermain dan kulumannya semakin liar. Tak terbayang rasanya. Intan terus mengocok dan mengulum, seakan penis itu tidak akan pernah keluar dari mulutnya. Dia terus berkonsentrasi.

Dan.

"Ihh... Lo kok gak bilang bilang kalo mau keluar?" keluh Intan.
"Biarin, biar keluar di mulut..."
"Jorok tau.."
"Tapi suka kan?"
"Duh.. Netes netes.." sperma Adrian keluar dari mulut Intan, terlihat sangat seksi walaupun dia tidak menyukainya.

Hubungan yang ilegal. Antara mantan pacar. Apalagi Intan sudah menikah. Tapi begitulah mereka. Selalu seperti itu setiap Adrian ada kesempatan di Singapura. Dan bodohnya walau Intan biasanya menolak, tapi selalu luluh juga. Dan tebak penyebab mereka putus. Kurangnya komitmen dari Adrian adalah penyebab utama berpisahnya mereka. Di dalam kepala Adrian sama sekali tidak ada pernikahan. Sama sekali tidak ada keinginan untuk membangun keluarga. Dirinya hanya ingin mencari kesenangan saja. Kepuasan singkat dalam hubungan hubungan yang passionate tapi semu.

------------------------------------------

Pagi. Intan sudah beres mandi dan bersiap untuk segera pergi.

"Chatting sama siapa sih mukanya seneng amat?" tanyanya ke Adrian.
"Cewek yang kemaren"
"Mana coba liat"

"Waduh... Bahaya ini sih. Kalah gue" komentar Intan saat melihat foto Anggia. "Lo dah pasti mikir jorok liat cewek ini"
"Haha"
"Pasti mau dipacarin dulu"
"Apapun to get in her pants lah" ujar Adrian dengan antusias.
"Gue balik ya, laki gue ntar sore udah pulang nih dari Malay..."
"Salamin... Bilang kalo kalian ga punya punya anak ntar gue bikinin" ledek Adrian sambil melihat Intan berlalu dengan muka sinisnya keluar kamar.

------------------------------------------

Itulah ingatan tentang Singapura di kepala Adrian malam itu. Tapi dia tetap berusaha menjaga imagenya dengan tidak mengeluarkan ekspresi ekspresi aneh yang mungkin keluar di depan Anggia.

"Jumat macet bener ya? Tanya Anggia.
"Banget... Untung gue jalannya agak cepetan dari kantor bokap..." jawab Adrian sambil memanggil waiter.

"Yang rekomen disini apa ya?" tanya Adrian tanpa melihat menu.
"Kita ada lamb chop pak, atau mungkin mau foie gras nya?"
"Lamb chop boleh deh. Kalo wine nya yang oke?"
"Kita ada Alvondale La Luna sama Mormoreto Vintage...."
"Alvondelo dulu deh.. Ntar kalo ga cukup tambah... Udah pesen makanan Nggi?"

"Aaa... Apa ya... Tuna Carpaccio nya dulu deh ya mas..."
"Masa cuma makan gitu?" tanya Adrian.
"Abis apa dong?"
"Yaudah itu dulu ya, ntar saya panggil lagi kalo perlu..."

Anggia mendadak pusing. Langsung pesen wine mahal? Mesen makanan gak pake liat menu dan gak liat harga? Mampus gue. Ternyata beneran ya ada orang kayak gini. Perasaan temen temen gue yang ortunya tajir mampus aja ga se serampangan ini mesennya. Pikiran pikiran semacam itu muncul di kepala Anggia. Alam bawah sadarnya seperti panik, namun dia berusaha untuk tidak mewujudkannya. Lantas dia menyesap mocktail mojito untuk sekedar meringankan beban sosialnya.

"Gue dah lama gak ke bali..." celetuk Adrian.
"Kapan terakhir?"
"Taun lalu lah, waktu ada opening hotelnya temen gue. Enak sih emang suasananya disana... Kayak waktu tuh berjalan lambat banget." senyum Adrian di balik facial hairnya yang lebat.

Anggia hanya mengangguk.

"Eh, habis ini mau ke Ecobar?"
"Mmm... Boleh..." jawab Anggia manis.
"Kayaknya enakan ngobrol disana"

------------------------------------------

Pukul 12 malam. Anggia bersender ke Adrian. Kepalanya sudah berat, dan rasanya semua minuman yang masuk ke mulutnya kini berubah menjadi labirin berputar. Dia jadi sulit mendengarkan apapun yang Adrian bicarakan padanya.

"Dri.... Sorry... Gue gak kuat..." Anggia bergelayutan di tangan Adrian.
"Mau balik?"
"Iya..."
"Yaudah gue anterin ya?"
"Gue bawa mobil.... Gue simpen di kantor..." keluh Anggia.
"Mana kunci lo, tar gue suruh supir gue bawain besok ke rumah lo..." bisik Adrian sambil berusaha memapah Anggia

Anggia dengan sekuat tenaga merogoh tasnya, untuk menemukan kunci mobilnya dalam kesulitan. Setelah berhasil menemukannya, ia lantas memberikannya pada Adrian. Setelah membayar bill dan lain-lain, Adrian lantas berusaha untuk membantu Anggia berjalan ke mobilnya. Dirinya memeluk Anggia dari samping. Sekilas orang melihat mereka tampak seperti sudah menjalin hubungan. Padahal cuma seseorang membantu orang lainnya yang mabuk untuk berjalan ke mobil. Pada saat itulah terasa wangi tubuh Anggia membuat Adrian terangsang, memberikan pengalaman lain yang terbayangkan mendadak selain obrolan malam itu.

Dengan susah payah Anggia berhasil masuk ke mobil Adrian.

"Rumah lo dimana?"
"Mmmh?"
"Rumah, dimana? Mau ke minimarket dulu beli kopi?"
"Boleh, kayaknya enakan gitu... Gak enak sama orang rumah balik-balik teler gini, apalagi kalo masih ada yang bangun..." jawab Anggia panjang.
"Oke"

Adrian lalu naik di kursi supir, dan mulai menyetir perlahan keluar dari parkiran. Tak lama kemudian mobil hitam besar itu menghampiri sebuah mini market yang agak sepi. Anggia berusaha menahan peningnya dan mencoba membuka pintu.

"Eh, gak usah turun, biar gue aja yang beliin" senyum Adrian. Dan Anggia pun pasrah saat melihat Adrian turun tanpa mematikan mobilnya, berniat membelikan sesuatu untuk mengurangi pening Anggia. Kopi atau entahlah. Anggia pun mencoba menutup matanya, menahan rasa mual yang tiba-tiba muncul. Tunggu, sepertinya aku menduduki sesuatu, pikir Anggia. Dan benar. Jas Adrian yang berwarna abu-abu tua ada dibawah badan Anggia. Dengan enggan Anggia menarik jas tersebut untuk melemparnya ke jok belakang. Namun bau yang muncul dari jas itu, melempar memori Anggia ke tempat lain. Bau sahabatnya sendiri. Bau rokok. Bau yang familiar, bau yang dia dengan mati-matian berusaha untuk melupakannya, menahan hasrat yang semakin lama ia sadari kalau itu tidak benar. Sama saja dengan menipu sahabat sendiri. Menipu diri sendiri. Sudahlah, walaupun itu nyaman dan memuaskan, itu rasanya makin lama tidak benar, apalagi setelah kejadian Threesome di Bali. Aduh, itu hot banget, pikirnya. Tapi sudahlah... jangan pernah dipikirkan lagi.

"Sori kalo lama..." Adrian memberikan kopi panas dalam gelas plastik ke Anggia tiba-tiba. Anggia mengambilnya dan meminumnya perlahan.
"Dan sori kalo ngerepotin...."
"Gapapa kali Nggi..." senyum manis Adrian muncul lagi. Anggia balas tersenyum dengan lemah, dan mendadak ia berpikir macam-macam. Duh, coba orang rumah gak rese, gue inepin kali ya.. pikirnya liar.

"Anyway.. mau sambil jalan balik?" tanya Adrian.
"Eh, boleh..."
"Tunjukkin jalannya ya"
"Oke.."

------------------------------------------

"Makasih ya udah nganterin..." Anggia bersiap turun dari mobil Adrian, yang bertengger di depan rumah Anggia.
"Sama-sama... Until next time ya?"
"Daah..." Anggia melambaikan tangannya ke mobil Adrian yang perlahan menghilang. Sukses, pikir Anggia. Pasti kedepannya makin banyak alasan untuk bertemu dengannya. Dan kemudian Anggia merayap malas menuju kamarnya dari depan rumah. Untunglah tidak ada orang rumahnya yang bangun sehingga dia bisa dengan leluasa langsung masuk ke kamarnya, dan melemparkan dirinya di kasur. Di kepalanya terngiang-ngiang bau rokok yang pekat, dan dia tidak sabar menunggu pertemuan selanjutnya dengan Adrian.

------------------------------------------

"Eh sori baru bales, gue lagi jalan balik" balas Adrian ke Intan lewat sosial media.
"Oh gimana? Sukses?"
"Eh belom tidur?"
"Bakal, nunggu laki gue balik nih"
"Pasti sama cewek lain tuh.."
"Berisik ah, btw gimana? Sukses lo tidurin?"
"Belom lah gila, pelan-pelan dong... Tapi pasti lah, gak lama, udah gak tahan gue, seksi banget"
"Yaudah, nih kalo gitu buat lo, karena lo ga jadi nidurin anak orang malem ini"

Intan lantas mengirim foto dirinya, telanjang dada dengan ekspresi muka yang seakan mengundang tiap lelaki untuk menidurinya. Sangat-sangat mengundang. Adrian hanya tersenyum melihat foto itu, lalu melempar handphonenya ke jok penumpang. Dan dengan pelan ia menyetir, menunggu hari esok yang mungkin lebih menguntungkan untuknya.

------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
SIDE STORY
ANGGIA | PART - 2

timeline : PART 28 - 29 The Lucky Bastard


------------------------------------------

glitch25.jpg

Anggia

"Senyum-senyum sendiri kayak orang gila" tegur suara dari balik Anggia.
"Biarin"
"Jalan lagi ama Adrian?"
"Yoi... Lo gak cemburu kan?" tanya Anggia nakal ke sahabatnya.
"Bodo.."
"Kalo fuckboy cemburu kasian... sini yuk gue kelonin lagi"
"Gila lo Nggi" jawabnya sambil membakar rokok.

Sudah beberapa kali Anggia dan Adrian makan malam bersama atau sekedar bertemu dan mengobrol di waktu-waktu mereka. Dan Anggia sudah membuat rencana, dia akan membeli wine dan bertamu ke rumah Adrian. Karena selama ini, Adrian lah yang selalu membayar makanan dan minuman yang menemani pertemuan mereka. Besok sabtu, saatnya. Dan dengan bodohnya sampai sekarang dia belum membeli wine.

"Tar temenin gue ke Kemvil yak" perintah Anggia.
"Ngapain?"
"Beli wine, buat Adrian"
"Sendiri aja"
"Eh... Ayo, jangan ngelawan, tar malem ya? Sekalian cari makan yuk" ajak Anggia.
"Males"
"Ayo"
"Males"
"Idih.. ayo..."

------------------------------------------

Adrian sedang bengong dan menatap ke layar laptopnya di ruangan pribadinya di kantor ayahnya. Jumat malam yang sepi, tinggal sedikit orang di kantor itu, di lantai 15 dari gedung perkantoran yang tinggi di Simatupang. Tak banyak yang bisa ia kerjakan, walau posisinya cukup tinggi di kantor itu. Intinya dia hanya menjadi cadangan ayahnya dan dia pun banyak mengurusi bisnis-bisnis lain yang dimiliki ayahnya, selain perusahaan mining service ini.

Pintu lalu terbuka dan Gladys memasuki ruangan.


glitch16.jpg

Gladys

"Mas... ini ada beberapa yang belum dicek sama Bapak, tadi saya telpon, katanya suruh Mas yang cek dan sign" ujarnya sambil menutup pintu dan mendekati Adrian.
"Mana coba"

Gladys berdiri di sebelah Adrian, dan menyerahkan kertas-kertas itu. Adrian menghela nafas dan merebahkan dirinya ke kursi.

"Bapak juga bilang, katanya Mas kebanyakan main, harus lebih fokus lagi ke kerjaan"
"Alah, ada gak ada gue juga ga ngaruh buat dia..." keluhnya sambil mempelajari tulisan-tulisan dalam dokumen itu.
"Saya cuma nyampein aja Mas...."

Mendadak Adrian menarik Gladys ke pangkuannya, dan Gladys duduk diatas pangkuan Adrian, sambil Adrian memeluk pinggangnya dan menghirup harum rambutnya.

"Mas, jangan kayak gini..."
"Kalo gak suka kok gak nolak?" tangan Adrian mulai meraba ke buah dada Gladys. Gladys berusaha menahan tangan Adrian yang nakal.
"Mas kan udah punya pacar...."
"Siapa bilang? Kamu tau darimana?"
"Dari ig mas..."
"Itu mah baru kenal... sekarang gue masih jomblo...."
"Mas.. jangan dong... ini di kantor..."
"Alah, pertama kali kita ngapa-ngapain kan di ruangan ini...."
"Ya jangan lagi..."
"Nih, udah gue sign..."
"Udah dibaca belum?"
"Kayak ngaruh aja gue baca apa enggak..."

Gladys pun kembali berdiri dan mengumpulkan dokumen di meja Adrian. "Saya permisi ya..." Adrian mengangguk dan kembali dengan malas membuka laptopnya, membrowsing toko online air soft gun maupun action figure action figure mahal yang biasa ia beli untuk mengisi hidupnya. Dia tak sabar menunggu esok sebenarnya. Anggia akan datang ke rumahnya, dia sudah berjanji akan membawa wine, dan Adrian akan mencoba memasakkan steak karya tangannya untuk mereka berdua.

------------------------------------------

"Oh... my... God... Ini enak banget! Lo belajar dimana masak kayak gini?" tanya Anggia yang masih amaze oleh masakan Adrian. Meja makan di tengah ruangan minimalis itu sudah terisi penuh oleh makanan yang dimasak Adrian, dan dua gelas wine yang isinya dibawa oleh Anggia.

Sore itu Anggia bertamu ke rumah Adrian. Hari sabtu yang sunyi di daerah Patal Senayan. Rumah tiga tingkat itu tampak mati pada hari-hari biasanya. Sehabis Anggia datang, Adrian tentunya mengajak Anggia untuk tur. Lantai pertama tidak ada apa-apa, hanya digunakan sebagai garasi, tentunya dengan beberapa mobil mahal dan motor mahal. Lantai dua ada ruang tamu yang terkoneksi ke tangga, di lantai itu terdapat kamar tidur utama, dapur, dan ruang makan. lalu lantai terakhir, disana ada kamar kosong, yang bisa difungsikan sebagai kamar tamu dan ada satu kamar kerja.

Kamar kerja yang bisa dibilang bukan kamar kerja. Tapi kamar bermain. Mancave. Disana ada satu set home theater mini, dengan satu komputer gaming, juga beberapa console gaming yang terbaru. Satu lemari penuh dengan Action Figure mahal seperti Hot Toys maupun Sideshow. Tak lupa ada satu minibar, dengan koleksi minuman lengkap terpajang disana. Disana ada sofabed besar yang cukup untuk tiga orang.

Benar-benar bachelor house. Rumah yang tidak dipersiapkan untuk membangun keluarga. Rumah yang bisa dipakai bersenang-senang dengan maksimal. Rumah berdesign minimalis.

"Jadi gimana ceritanya lo jadi tinggal sendiri disini?" tanya Anggia.

"Ini dulu rumah dibeli ama bokap, terus disewain, ke expat... lama-lama abis expatnya abis kosong gitu aja, ga laku-laku disewain juga.. Gue pake aja akhirnya. Males tinggal bareng ortu mulu" ujar Adrian panjang. Kebebasan yang diidamkan Anggia. Kebebasan yang mungkin baru bisa didapat kalau dia menikah. Dengan siapa tapi? Apakah Adrian. Wait. Ini pacaran aja belom, beda agama lagi. Dia berpikir terlalu jauh.

Pemikiran insecure yang biasa hadir di kepala perempuan single seusianya. Khawatir akan pasangan. Khawatir akan pilihan hidup. Khawatir yang pada ujungnya akan membawa kita kepilihan yang salah.

"So.... Abis ini ngapain?" tanya Adrian sambil menuangkan wine ke gelas.
"Ga tau... Mau jalan males ya? Kenyang soalnya... Dan pasti macet sabtu maghrib mah..." jawab Anggia.
"Hmm.... Lo suka film apa?"
"Apa ya?"
"Gw ada beberapa BluRay Disc baru sih... Banyak yang belom ditonton..."
"Boleh aja..."

------------------------------------------

Film diputar di depan televisi layar besar. Adegan demi adegan mengalir, dialog dialog saling bertukar dengan serunya. Dua gelas wine yang kosong ada di meja bar. Di atas coffee table, sebotol Martini terbuka, dengan sepasang gelas yang berisi es terletak dengan seadanya. Es di dalamnya mencair dan mencair perlahan.

Waktu berjalan dan berhenti. Seakan tidak ada yang peduli lagi pada adegan yang berlangsung di layar televisi. Sahutan mereka tak terdengar.

Entah bagaimana dua orang itu melakukan hal itu. Angin dari mana, dan arahnya kemana, tidak ada yang tahu. Sofa bed itu telah berubah posisi. Anggia dan Adrian berbaring di atasnya, berpakaian lengkap, dengan bergumul, berciuman dengan ganasnya tanpa henti. Televisi menonton mereka. Menonton mereka mempertukarkan gairah dan nafsu. Menonton mereka saling memagut bibir tanpa mengambil nafas. Menonton dua manusia yang sedang bemesraan.

Sedikit alkohol, suasana yang tenang menjelang malam, dua orang manusia dan waktu yang tepat, maka terjadilah.

Ini semua terjadi. Anggia berbaring telentang, dengan Adrian ada di aras tubuhnya, perlahan menyerang bibirnya. Nafas mereka beradu dalam keramaian di layar kaca. Kepala Anggia kosong. Di dalam kepalanya cuma ada bayangan Adrian yang sedang ia cium. Dia takut untuk bergerak. Takut untuk berbuat kesalahan yang bisa merusak suasana saat itu. Dia memasrahkan dirinya, menerima Adrian yang menerkamnya dengan ganas. Menciumi bibirnya seakan tidak ada lagi hari esok. Melumatnya. Nafas Adrian membuat Anggia merasakan yang ia rasakan sekarang. Perasaan takut. Takut membuat kesan yang salah. Apakah sinyalnya berhasil diterima Adrian? Apakah dia tampak murahan? Ataukah Adrian hanya mengambil keuntungan darinya? Atau sebaliknya?

Adrian menggenggam tangan Anggia erat. Saru tangannya mendadak meraba paha Anggia, sampai kepinggangnya. Dan ciuman itu terus terjadi. Seakan tidak ada celah bagi Anggia untuk melepasnya.

Anggia merasakan tangan itu merayap lembut, menstimulasi bagian pahanya. Sementara ia berkonsentrasi untuk menikmati ciuman yang luar biasa itu. Tangannya hanya bisa pasrah, menuruti apa yang Adrian inginkan terjadi. Tak cuma itu yang dia rasakan. Tapi perasaan tak menentu yang ada di hatinya. Apakah ini tepat? Apakah aku tidak loncat terlalu jauh saat ini? Semua pikiran itu berkelebat di kepala Anggia, merusak konsentrasinya, dan berusaha menghancurkan harapannya. Untunglah semua gerakan dan sentuhan Adrian bisa membuatnya tenang.

Ciuman yang penuh nafsu dan sentuhan yang lembut. Semua hal yang bisa membuat hati perempuan luluh pada saat itu. Adrian melepaskan ciumannya, lalu tangannya menyentuh pipi Anggia dan tersenyum. Nafas Anggia menjadi berat, memperhatikan setiap lekukan wajah Adrian, mencoba mencari celah di dalam kesempurnaan di matanya. Bagi setiap perempuan, lelaki itu tanpa cela. Dalam artinya mereka bisa memakai dan menunjukkan kelemahan mereka tanpa malu, tidak banyak hal yang di khawatirkan seperti perempuan. Dan kelemahan Anggia hampir muncul. Dia sudah tidak tahan ingin melepas baju yang makin lama seperti mengganggu gerakan tubuhnya dan pandangannya. Rasanya baju ini seperti melilit dirinya, mengganggu pernapasannya. Nafas berat penuh nafsu dan rasa sesak psikosomatis memenuhi kepalanya. Haruskah ia mulai duluan? Atau dia pasrah kepada Adrian? Ataukah Adrian yang mulai duluan? Terus terang Anggia tersesat pada saat ini. Seribu pemikiran berkecamuk di kepalanya. Seribu pemikiran yang tidak aman yang dibuat-buat sendiri.

Karena sesungguhnya Adrian selalu siap dalam keadaan apapun. Siap untuk menaklukkan. Siap untuk menguasai.

"Can I?" tanya Adrian lembut sambil memegang kancing rugged pants nya. Anggia panik dalam hati. Haruskah ia menjawabnya? Ataukah membukanya? Ataukah hanya diam saja?

Refleksnya menguasai. Ia mengangguk sambil menggigit bibirnya. Lampu hijau. It's a yes. Adrian hanya butuh anggukan itu untuk dapat menjajah daerah baru. Menancapkan kekuasaannya disana. Menancapkan pengaruh semu dalam propaganda cinta bullshitnya. Adrian lalu perlahan membuka kancingnya, dan menurunkan resleting celana Anggia. Lantas pelan-pelan ia menurunkan celana itu, dibantu oleh gerak badan Anggia yang agak terganggu oleh badannya sendiri.

Anggia lalu berinisiatif. Dia membuka sedikit demi sedikit kancing oxford tops nya. Adrian menunggu sambil memasukkan tangannya dan menyentuh lembut perut rata Anggia. Dan kini terbuka sudah. Anggia memakai baju dalam yang serasi, berwarna merah marun. Dari pilihan baju dalamnya saja sudah terlihat kalau Anggia seperti mengharapkan hal yang sekarang sedang akan terjadi ini untuk jadi kenyataan. Kenyataan yang ia inginkan. Yang ia tahu sekarang hanya mengikuti arahan Adrian.

Adrian membuka T-shirtnya, hanya untuk kemudian memeluk Anggia lagi. Dia lalu membenamkan kepalanya perlahan diantara kedua buah dada Anggia yang proporsional. Tangannya satu menyentuh lembut pantat Anggia yang dilapisi oleh celana dalam yang indah itu. Anggia menelan ludahnya. Ini pria pertama yang akan menidurinya setelah sahabatnya sendiri. Tapi dia tidak boleh memperlakukannya seperti itu. Dia harus datang dan menerima Adrian sebagai salah satu faktor romatis dalam dirinya. Bukan sebagai alat pemuas saja. Dan Adrian lalu perlahan menjelajahi Anggia. Dari belahan buah dadanya, berlanjut ke arah lehernya. Adrian menggerakkan permukaan hidungnya untuk memberikan sentuhan pada Anggia, sekaligus menghirup aroma tubuhnya.

Anggia menerima stimulasi yang ia inginkan. Adrian menjelajah, dan sekekali menciumi leher dan bagian bawah telinga Anggia. Rambutnya yang sekarang pendek memudahkan Adrian melakukan semua hal itu. Perjalanan Adrian menjelajahi semua sudut leher Anggia belum selesai. Tapi Anggia mendadak memainkan jarinya di antara pinggang dan perut Adrian. Adrian menerima sinyal itu sebagai tanda untuk dia melepas celananya.

Film yang diputar di televisi layar datar itu sudah bukan tontonan lagi.

Anggia menelan ludah saat ia melihat Adrian telanjang bulat di depan dirinya. Tanpa sehelai benangpun. Sudah agak lama dia tidak melihat penis berdiri tegak seperti itu. Benda yang sesaat lagi akan berbagi kenikmatan dengan dirinya. Benda yang sesaat lagi untuk sejenak akan menjadi bagian dari dirinya.

Anggia diam saja, tetap berbaring dalam baju dalamnya. Adrian perlahan merogoh saku celananya yang sudah terlepas, mengambil dan memasang kondom dengan hati hati. Dia sudah mempersiapkannya, pikir Anggia. Berarti aku tidak murahan. Kami berdua memang menginginkan ini terjadi. Bukan hanya aku saja yang tidak jelas tampil dan seducing Adrian out of nowhere. Adrian kembali merayap, kembali mencoba menguasai tubuh Anggia yang hampir polos itu. Kembali, ciuman demi ciuman dimulai. Kali ini dimulai dari perut Anggia. Tangan Anggia menyentuh punggung Adrian yang melayang di atasnya. Adrian mencoba menguasai Anggia dengan menciumi seluruh permukaan badannya. Perut, dada, leher, dan kembali ke bibir. Mereka berdua berciuman kembali dengan panasnya. Nafas mereka beradu, saling bertukar hasrat. Anggia memeluk Adrian kencang, dan Adrian mencoba melingkari pinggang Anggia dengan tangannya. Dan perlahan, Adrian mencoba membawa tubuh Anggia dan mengangkatnya.

Dia angkat, lalu Anggia pun masuk kedalam pangkuannya. Ke dalam pangkuan pria itu. Ke dalam raihan tangan Adrian. Anggia lantas merasa kecil. Merasa seluruh badannya terlindungi. Adrian kembali menciumnya. Perlahan, sambil tangannya mencoba membuka BH Anggia yang menghalangi pandangannya dari tadi.

Terbuka. Kini tubuh bagian atas Anggia tanpa pelindung sama sekali. Buah dadanya dengan jelas terlihat. Dua buah benda indah yang terbentuk dengan baiknya. Yang berada di tempatnya yang sempurna. Sebuah benda yang tidak besar, namun sangat indah jika dilihat dalam proporsi badan Anggia yang lebih tinggi daripada kebanyakan perempuan Indonesia. Lekukannya terlihat sangat alami, terlihat sangat cocok berada disana. Adrian perlahan, sambil mencium Anggia, mencoba menyentuhnya.

Ada rasa geli, dan rasa penolakan otomatis yang berasal dari tubuh Anggia. Tapi Anggia berusaha menahannya. Dia berusaha memfokuskan agar tangannya tidak bergerak dari leher Adrian. Tidak bergerak. Tetap disana, lawan rasa geli itu. Lawan rasa geli dari sentuhan lembut Adrian yang mencoba meremasnya perlahan. Mencoba memainkan putingnya, mencoba menyentuh kulit di sekitarnya dengan punggung tangannya yang berbulu halus. Dan mencoba untuk menggenggamnya, menggenggamnya dengan penuh kelembutan. Dengan penuh nafsu yang ditahan. Dengan penuh penghayatan.

"Nggh..." Anggia mendesah perlahan saat Adrian mempermainkan buah dadanya.
"Sori, sakit ya?" bisik Adrian lembut.
"Enggak... lanjutin aja" bisik Anggia dalam nada yang sudah tidak wajar lagi. Hasrat dan nafsu sudah memenuhi kepalanya. Pemikirannya sudah tidak logis lagi. Dan suara-suara yang nanti akan keluar dari mulutnya jauh lebih tidak logis lagi.

Habis, habis sudah seluruh permukaan buah dada Anggia diraba dan diremas dengan lembut oleh Adrian. Habis dan seluruhnya terkuasai. Adrian kini sudah hapal bagian mana yang sensitif jika disentuh, sehingga memudahkan pergerakannya di kemudian hari. Adrian lalu mulai menambah stimulasinya. Dia tidak hanya menyerang Anggia dengan tangannya, tetapi dengan bibirnya dan lidahnya. Adrian mulai mempermainkan puting Anggia, menciumnya, menghisapnya lembut, dan sesekali menjilatinya. Anggia mengulum bibirnya, pasrah akan semua kegelian dan kenyamanan yang diterima olehnya.

"Hhh.... Mhhh..... Mhhhh......." Anggia tak kuasa menerima serangan itu. Bertubi-tubi. Lebih dahsyat dari apa yang ia alami sebelum ini. Lebih tanpa malu-malu dan ragu-ragu. Semua serangan itu dia terima dengan pasrah. "Ahhh...." desahnya pelan saat gigi Adrian mempermainkan putingnya, menggigitnya lembut dengan penuh percaya diri. Belum lagi sapuan lidah yang berputar itu. Benar-benar stimulasi yang luar biasa, dan nafsu Anggia langsung naik ke ubun-ubun.

Sementara itu, walau bibir dan tangan Adrian sibuk, satu tangan lagi tidak. Satu tangan lagi masuk ke dalam celana dalam Anggia, meraba pantatnya dengan lembut tetapi tegas. Remasan yang Anggia sukai. Remasan yang membuatnya terstimulasi dengan gilanya. Lama Adrian mempermainkan Anggia dengan cara seperti itu. Entah kenapa energi Anggia seperti tersedot dengan luar biasanya. Adrian lalu membaringkan tubuh Anggia lagi, dan menarik perlahan celana dalamnya.

Kini Anggia sudah bugil total. Tanpa pertahanan. Tubuhnya yang indah, tinggi semampai dan langsing itu sudah bugil total di atas sofa bed. Sudah siap untuk adegan berikutnya. Tapi Adrian lantas memberikan rangsangan lagi. Adrian mulai menciumi dan merambah betis Anggia, naik terus ke pahanya yang mulus, lalu berakhir di perut Anggia. Perlahan ia menjelajahi daerah itu. Menikmati setiap kontur dan lekuk tubuh Anggia. Menikmati kesempurnaan dan ketidak sempurnaanya. Menikmati tubuh manusia. Menikmati kelahiran sebuah hasrat yang menggebu. Adrian menyingkap paha Anggia perlahan.

"Do you want this?" tanya Adrian mengkonfirmasi.
Anggia hanya bisa mengangguk.

Gila. Karena semua rangsangan tadi, tak butuh waktu lama untuk memunculkan kelembaban yang luar biasa di vaginanya. Bisa terasa perubahannya dalam waktu yang mereka tempuh tadi. Good foreplay means good sex. Good sex means satisfaction. Satisfaction means love. Itu yang ada di kepala Anggia. Anggia meraba bibir vaginanya sendiri, untuk memberikan stimulasi tambahan. Damn. Dia tidak tahu kalau sudah basah dibawah sana. Tidak sebanyak yang dibayangkan, tetapi cukup. Cukup untuk penetrasi tanpa rasa sakit. Cukup untuk melancarkan urusan kedepannya. Cukup untuk bercinta.

Adrian pun tahu, untuk hubungan pertama, mungkin kurang begitu baik jika dia mempermainkan vagina Anggia dengan gilanya menggunakan tangan dan bibir. Maka ia mencoba untuk play along, melihat bahasa tubuh Anggia yang sudah siap. Adrian perlahan menimpa tubuh Anggia dengan lembut, sambil memasukkan perlahan penisnya ke dalam vagina Anggia.

"Aaah...." desah yang lebih terdengar seperti lega keluar dari mulut Anggia. Penis Adrian masuk, masuk dengan sempurna ke dalam tubuh Anggia. Kini mereka jadi satu. Anggia melipat kakinya, memudahkan pergerakan Adrian ke dalam tubuhnya. Adrian dengan lembut, menggerakkan dirinya ke dalam tubuh Anggia. Tangan Anggia memeluk pinggang Adrian. Adrian memompakan penisnya dengan perlahan, sembari mempermainkan rambut Anggia dengan tangannya. Ia menatap Anggia dalam. Menatap dengan pandangan penuh harap. Pandangan yang bisa membius setiap perempuan yang bersamanya. Nafas Anggia memberat. Dia tidak menyangka posisi konvensional bisa senikmat itu. Rasanya luar biasa. Rasanya seperti semua stimulasi yang masuk ke dalam tubuhnya merayap pelan dari daerah kewanitaannya ke kepalanya. Rasanya ingin dia berubah posisi sesuai dengan pengalamannya. Tetapi kenapa sekali ini rasanya begitu benar dan nyaman? Rasanya begitu nikmat tanpa gerakan-gerakan yang tidak perlu?

Adrian perlahan bangkit, sambil meraih kaki kiri Anggia, melipatnya dan menyilangkannya di depan dirinya. Badan Anggia terpaksa miring. Terpaksa berubah posisi sedikit. Adrian tetap tegak lurus, setengah berdiri, bersimpuh. Satu kaki Anggia ada di bawah Adrian. Satu kakinya dilipat, ditahan oleh tangan Adrian. Anggia tampak tidak berdaya. Serangan itu tiba lagi. Perlahan tapi pasti, ritme pergerakan Adrian membuat Anggia tidak kuasa. Stimulasi yang gila, stimulasi yang luar biasa dirasakan oleh Anggia. Dirasakan menguasai dirinya. Anggia yang biasanya begitu ingin dominan dalam setiap hubungan seksualnya, kini didominiasi tanpa ampun oleh Adrian dengan gerakan-gerakan yang lembut namun dengan rangsangan luar biasa. Pasti sejarah orang ini gila, pikir Anggia.

I'm lost. Badanku tersesat. Pikir Anggia.

Bisa dirasakan dengan posisi yang sederhana ini stimulasi luar biasa dirasakan Anggia. Adrian cukup sabar melakukannya. Adrian berhenti, lantas malah mengangkan tubuh Anggia. Dia angkat dengan lembut, mengembalikan posisi kaki Anggia, lalu duduk dan mendudukkan Anggia di pangkuannya. Dengan lembut ia lantas memeluk Anggia. Anggia tidak ingin diam. Dia mulai bergerak. Mulai menggerakkan pantatnya dengan lembut dalam posisi duduk seperti itu. Dalam posisi yang sangat merangsangnya. Dalam posisi duduk seperti itu, penis Adrian masuk lebih dalam lagi dalam vaginanya. Kakinya bertumpu ke sofa bed, sebagai tumpuan gerakannya. Dia menyeimbangkan tubuhnya dengan memeluk leher Adrian. Adrian pun memeluk Anggia dengan erat. Dia ikut bergerak lembut, memanfaatkan konstruksi sofa bed untuk saling berbalas rangsangan dengan Anggia.

Anggia mencoba menciumi leher Adrian. Mereka tampak luar biasa. Seperti sebuah adegan bersatunya dua insan manusia dengan sempurna. Seperti saling melengkapi. Saling berbalas nafsu dan hasrat. Saling memberikan rangsangan.

"Ahhh... Shit.." Anggia merasakan sesuatu tiba-tiba muncul. Tak mungkin ia secepat itu. Biasanya butuh waktu dan stimulasi yang lama. Adrian merasakan itu sebagai tanda. Ia lalu malah membaringkan tubuh Anggia lagi. Dia meraih kaki Anggia, menggenggamnya erat.

Adrian bergerak semakin kencang, semakin menguasai tubuh Anggia dengan semua gerakannya. Gerakan yang luar biasa. Gerakan yang membuat pertahanan Anggia luluh lantak. Hancur. Sudah lama Anggia tidak mendesah, meracau dan mengerang sehebat itu.

"Adrian.... aaahh...."

Adrian hanya tersenyum. Dia tahu hari ini jalan untuk memberikan Anggia kenikmatan sangat lebar. Sangat terbuka baginya. Dia tidak ingin membuang waktu, karena ini baru awal. Ini baru permulaan. Ini bukan apa-apa. Ini hanyalah satu rintangan sebelum petualangan yang lebih gila lagi. Ini hanya pembuka. Pembuka yang membuat Anggia kepayahan. Semua rangsangan awal yang diberikan oleh Adrian memang dimaksudkan untuk membuat semuanya lancar. Sabar dan lama di awal, tapi bisa cepat dan to the point di akhir. Itulah yang selalu Adrian lakukan untuk memuaskan setiap petualangannya dengan perempuan. Meperdaya perempuan agar selalu menempel erat pada dirinya. Agar tidak bisa hidup tanpa dirinya. Agar selalu terbuai dan tertipu oleh rangsangan seks. Menguasai mereka, menjadikan mereka mainan. Menjadikan mereka alat. Menjadikan mereka subordinatnya dalam mencapai kepuasan. Dan Anggia sudah terjebak. Anggia menyerahkan begitu saja semua pertahannanya pada Adrian. Tangannya memeluk buah dadanya sendiri, dan bisa ia rasakan, di tengah dinginnya ruangan itu, ada rasa panas dan hangat yang bergejolak di bawah perutnya.

"Ahhh...." Anggia mengejang.
"Ahhh... Ahhh.... Adrian... Ahhh...." Anggia menegang. Mengejang. Menegang. Dan pada akhirnya menegang dan melentingkan badannya dengan sempurna.

"Aaaah........" tubuhnya bergetar pelan, sedikit demi sedikit menuju lemas. Rasanya luar biasa. Adrian menghentikan permainannya. Anggia bahkan tidak tahu Adrian sudah mencapai kenikmatan atau belum. Karena rasanya Adrian tidak berubah ekspresi, namun bisa terlihat ada kepuasan di sana.

Adrian lalu mendekati Anggia tanpa melepas penisnya. Ia mencium Anggia, Menciumnya dengan mesra dan sangat penuh nafsu. Anggia pun larut. Larut. Tenggelam. Tak berdaya.

------------------------------------------

"Kepengen mandi..." bisik Anggia ke Adrian. Mereka berdua berbaring telanjang di atas sofa bed itu. Televisi sudah mati sedari tadi. Mereka berbaring malas, kadang tertidur sebentar. Kadang saling berciuman dan saling berpelukan.

"Kamar mandi di lantai ini di sebelah tangga.... Bentar, gue ambilin handuk ya..."
"Kok gue sih... Aku gitu dong... haha" bisik Anggia.
"Aku ambilin" senyum Adrian lembut. Aku-Kamu. Perangkap Adrian berhasil. Tindak tanduk romantisnya memberikan harapan bagi Anggia padanya. Harapan yang bisa membuat Adrian mengikat Anggia. Mengikatnya dalam waktu yang dia inginkan. Tidak tahu sampai kapan. Tapi kita tahu untuk apa.

Adrian berdiri, berlalu. Anggia berbaring dan menatap langit-langit. Gila. Ini luar biasa sekali. Sudah lama ia tidak orgasme sedemikian nikmat dari posisi-posisi dan rangsangan konvensional. Dia benar-benar mengerti tubuh perempuan. Dia benar-benar tauh bagaimana rasanya membuat perempuan orgasme. Gila. Ini gila. Adrian kembali, dan memberikan handuk pada Anggia.

"Yaudah, aku mandi" senyum Anggia dengan manisnya, untuk kemudian berjalan perlahan menuju kamar mandi. Kamar mandi yang terlihat bersih namun sepertinya jarang dipakai itu. Anggia lantas duduk di kloset, mengingat-ngingat kejadian tadi. Gila. Adrian luar biasa. Pikirannya jauh melayang, jauh membayangkan hal-hal yang tampaknya berlebihan. Dia ingin terus rasanya merasakan kegilaan bersama Adrian. Anggia berdiri, lalu masuk ke shower booth, menyalakan air hangat yang membasuh badannya. Air itu jatuh perlahan, menyegarkan pikirannya yang dari tadi sudah terasa segar.

Mendadak pintu terbuka. Adrian masuk.

"Boleh join?" senyumnya. Anggia kaget, dan mengangguk dengan senyum. Adrian lantas masuk, ikut menikmati air hangat. Mereka berpelukan dan berciuman di bawah shower. Mereka berciuman lama, memadu kasih dibawah terjangan air hangat. Tapi mendadak Adrian merubah posisinya. Ia membalikkan tubuh Anggia, menekannya ke dinding dan melebarkan kaki Anggia. Ia melakukannya dengan cepat, sehingga Anggia tidak punya waktu lagi untuk merespon. Anggia kaget, tapi yang dirasakan berikutnya kenikmatan. Penis yang polos tanpa kondom memasuki vaginanya dengan mendadak.

"Ahhh... Adrian... pelan-pelan..."
"Sstt.."

Adrian memegang pinggang dan kaki Anggia. Lalu ia memompakan dirinya ke dalam tubuh Anggia. Anggia merasa tak berdaya. Antara perasaan dikuasai dan kenikmatan.

"Mmmahhh.... Ahhhh... Ahhh...." Anggia pasrah. Suaranya bergema di kamar mandi itu. Dia tahu malam ini masih panjang. Dan dia sudah bisa merasakan kenikmatan-kenikmatan lain yang akan dia rasakan.

------------------------------------------

"Oke, udah gue periksa semua... Makasih ya udah mau lembur" ujar Adrian ke Gladys, malam hari itu. Adrian duduk dengan santai di kursinya. Ruang kerjanya tertutup dan terkunci rapat. Gladys hanya mengenakan pakaian dalamnya. Pakaian dalam hitam yang kontras dengan kulitnya yang putih dan bersinar. Adrian duduk tanpa celana. Gladys sedang mengulum penis Adrian dengan seksama. Tangannya bertumpu pada kursi Adrian, dan kepalanya bergerak maju mundur, mengulum dan kadang menjilati penis Adrian.

Adrian mengelus lembut rambut Gladys, yang sedang berkonsentrasi. Adrian mengambil handphonenya, merekam kegiatan seksi yang Gladys lakukan. Gladys hanya pasrah, melakukannya dengan penuh penghayatan. Kantor sudah sangat sepi, sepertinya hanya tinggal mereka berdua disana.

Gladys bergerak semakin cepat, kadang berhenti untuk memasukkan penis itu dalam-dalam ke tenggorokannya. Dia berusaha agar air liurnya tidak menetes dari bibirnya.

"Gue mau keluar, bentar lagi..." aba-aba dari Adrian membuat Gladys semakin berusaha memberikan Adrian kenikmatan. Mendadak Adrian bangkit, seperti menyuruh Gladys untuk berbaring di lantai. Gladys hanya diam, sambil membuka mulutnya. Pada saat itulah Adrian mengocokkan penisnya di depan muka Gladys, dan perlahan sperma tumpah ke muka dan mulut Gladys. Pemandangan yang sangat seksi. Gladys tampak menerimanya dengan pasrah. Cairan hangat itu memenuhi wajahnya dan masuk ke dalam mulutnya. Dia dengan susah payah berusaha agar tidak ada yang menetes ke lantai.

Tetesan terakhir masuk ke mulut Gladys.

"Bersihin dong pake lidah" perintah Adrian. Gladys menurut. Lidahya lantas menjilati kepala penis Adrian dengan cermat. Sepertinya ia sudah sering melakukan kegiatan ini kepada Adrian. Kegiatan yang penuh skandal ini. Adrian menyudahinya. Lalu ia duduk kembali dan mengambil kertas tisu untuk membersihkan dirinya sendiri. Gladys juga berusaha membersihkan mukanya.

"Ini terakhir ya Mas..." bisik Gladys.
"Kenapa?"
"Aku udah liat, Mas udah in a relationship.. Aku gak mau kayak gini terus"
"Tenang aja, lo gak bakal bisa nolak kok"
"Mas... " ujar Gladys sambil menyeka mukanya dengan kertas tisu.
"Selama gue masih seneng sama elo, gue gak akan lepas elo.." Adrian mendekat, dan meremas buah dada Gladys dengan kasar. Gladys hanya bisa mengaduh tertahan tanpa suara. Dia tahu dirinya akan sulit lepas dari Adrian.

------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
SIDE STORY
ANGGIA | PART - 3

timeline : PART 29 - 30 The Lucky Bastard

------------------------------------------

glitch25.jpg

Anggia

------------------------------------------

"Gak bisa nginep aja sayang?" Adrian memeluk Anggia erat di atas kasurnya.
"Gak bisa... Aku mau banget, tapi aku kan masih tinggal sama orang tuaku..." Anggia lalu mencium tangan Adrian, menjelajahinya sampai ke pipi Adrian.
"Yaudah, tar aku anterin ya..."

Pukul 9 malam, hari sabtu. Sudah sebulan mereka berdua bersama. Semua dinner mahal itu. Semua Wine mahal. Semua adegan seks yang mereka eksplorasi.

"Ga usah masuk rumah tapi ya Dri... Di depan aja ntar" ujar Anggia dengan malas. Dia masih terngiang-ngiang nasihat ayahnya minggu lalu. "Kamu mau sampai kapan, pacaran terus sama yang beda agama, coba kamu contoh Asthia, sudah lama kan dia nikah, pacarannya juga awet. Di gereja kurang apa? Anak-anak gereja itu baik-baik semua lho, dan asalnya juga dari keluarga yang baik..."

"Adrian juga dari keluarga yang baik pah..."
"Oke, orang baik, tapi cinta itu didasari iman, iman yang sama akan membuat hubungan yang kuat kedepannya, Anggia..."
"Iya pah.."

Dia sudah malas mengingatnya. Obrolan sebelum ke gereja. Habis ia diinterograsi soal Adrian. Keluarga Adrian memang high profile. Sangat high profile. Masa depan akan cerah bila menjadi Mrs. Adrian. Tapi perbedaan latar belakang budaya dan agama menjadi penghambat di mata ayah Anggia. Dan bahkan Anggia belum berpikir sama sekali untuk menikah. Dia hanya ingin menghabiskan waktu bersama Adrian, bergelimang perhatian dan seks yang luar biasa. Sekarang rumah Adrian telah menjadi sarang Anggia. Rumah yang sangat ia sukai.

Sekarang tubuh telanjang mereka berdua ada di balik selimut. Seharian mereka menghabiskan waktu di rumah itu. Menghabiskan waktu berdua. Waktu yang ingin Anggia hentikan. Dia tampaknya terlena oleh semua perbuatan Adrian yang memanjakannya. Memanjakannya habis habisan. Dia ingat tadi siang, saat mereka berdua sedang berjalan di salah satu Mall di Senayan.

"Waduh" kaget Anggia melihat sesuatu di kejauhan. Eskrim ada di tangannya.
"Kenapa?" tanya Adrian.
"Ferragamo lagi diskon, temenin yuk liat-liat doang"

"Flap bag nya lucu banget... Duh didiskon aja masih segini yak harganya" Anggia meringis melihat enam digit angka di belakang.

"Suka?" tanya Adrian setengah cuek.
"Suka banget.."
"Mau?"
"Masa gak mau"
"Sini aku beliin"
"Hah?"

Anggia hanya melongo melihat proses itu. Adrian memanggil pegawai toko, menunjuk, lalu ke kasir, menggesek kartu kredit. Selesai. Gila. Ada apa ini? Biasanya ia harus menabung beberapa bulan untuk bisa membeli fashion item mahal kesukaannya. Ini? Gak pake mikir? Ini anak tajir atau gimana sih?

Gila. Sebulan ini benar-benar gila, semua hal yang dilakukan oleh Adrian memanjakan Anggia. Mulai dari caranya memperlakukannya, dari hadiah-hadiah mendadaknya, dari kejutan kejutan kecil dan masakan yang ia masakkan untuknya. Semua itu membuainya, membuai Anggia sampai membius. Menurunkan penjagaannya. Menurunkan kewaspadaannya. Menjadikan Adrian sebagai tempatnya bergantung.

------------------------------------------

"Gladys, masuk ke ruangan gue ya..." panggil Adrian melalui interkom. Beberapa pasang mata menatap Gladys curiga, penuh tanya dan penuh bisik. Gladys berjalan dengan enggan sembari membetulkan lipatan bajunya. Ia lalu membuka ruangan Adrian, dan menutupnya dari dalam.

"Kenapa mas?"
"Gue denger dari bokap, katanya lo mau resign?"
"Iya..."
"Kenapa?"
"Saya mau nikah.."
"Kamu?" kaget Adrian.

"Iya....."
"Emang kamu punya pacar?"
"Punya mas....."

"Dan selama ini gue gak tau?"
"Mas gak pernah nanya..."
"Kapan tanggal pastinya?"
"Kira-kira dua bulan lagi?"
"Udah cari gantinya?"
"Lagi mau mas.... Saya kan baru bilang ke bapak kemaren..."

"Ada-ada aja sih... Yaudah sana... Balik kerja..." Adrian mendadak agak kosong perasaannya. One of his concubine akan hilang. Dia tidak suka akan kondisi itu.

------------------------------------------

"Kamu udah tau kan soal Gladys?" tanya lelaki setengah baya yang berpenampilan sangat rapih itu, sambil menghisap rokok setelah makan siang. Adrian masih makan, di depan Ayahnya. Dia hanya mengangguk pelan, pelan dan sunyi seperti suasana siang itu di coffee shop lobby gedung perkantoran di Simatupang.

"Kok saya gak tau ya kalau dia punya pacar?" tanya Adrian cuek.
"Kamu gak pernah mau tau soal hidup orang lain soalnya... Papa aja tau dari awal kok...."
"Orang mana?"
"Kantor sebelah..."
"Oh.."

Adrian menyelesaikan makannya, lalu langsung mengambil sebatang rokok dan membakarnya.

"Kamu? Gimana? Sudah mau disusul Annisa lho.."
"Biarin aja dia nyusul"
"Emang kamu gak ada perempuan yang deket sama kamu?"
"Ada sih..."

"Kalo gitu kenalin ke orang tua kamu dong, biar papa mama kenal....."
"Kapan-kapan lah..."
"Ada rencana nikah?"
"Gak tau" jawab Adrian pendek.

"Selalu begitu jawabnya... Dari jaman Intan dulu, sampai dia udah nikah, kalau kamu ditanya soal masa depan, jawabnya selalu gitu..." sang ayah terlihat kesal.

"Abis gimana?" jawab Adrian cuek tanpa melihat ayahnya.
"Sekali kali coba kamu pikirin hidup kamu itu mau dibawa kemana"

Adrian hanya mengangguk pelan. Membayangkan seseorang akan lepas darinya.

------------------------------------------

"Sekarang kalo makan siang ama gue gak pernah lepas dari henpon"
"Cemburu?" tanya Anggia dengan muka jahil ke sahabat dekatnya.
"Mana mungkin cemburu...."

"Eh Rendy apa kabar sih... Abis bali ga banyak omong lagi dia di wassap..."
"Rendy sibuk. Jadi agak sering ke luar kota dia" jawab sahabatnya.

Anggia menatap sahabatnya yang sedang menyetir dengan pelan, mencari tempat makan siang yang cocok. Sudah sejak Bali mereka tak bersama lagi. Tak melakukan apa yang biasa mereka lakukan dulu. Hal yang tidak dibanggakan Anggia, sebenarnya. Tapi mau bagaimana lagi. Kesempatan-kesempatan itu ia gunakan untuk mengisi kekosongan perasaannya. Untunglah sekarang ada Adrian. Adrian yang sangat memanjakannya.

------------------------------------------

"Gladys resign?" tanya Intan di sosial media.

"Yoi"
"Kawin?"
"Ga salah"
"Punya pacar?"
"Selama ini iya... Dan cuma gue aja yang gak tau... Hahaha"

Musik elektronik mengalun dengan agak deras di telinga Adrian. Ia berpindah ke window chat dengan Anggia. Anggia sudah mau tidur. Dia mengirimkan foto dengan ekspresi sok lucu ke Adrian. Adrian membalasnya dengan emoticon hati. Dengan muka datar dan bosan.

"Malem Dri"
"Eh, Cheryl..."
"Sendirian?"
"Iya"

sadasd10.jpg

Cheryl

Malam hari menjelang tengah malam, minum sendirian di sebuah pub di Mega Kuningan. Cheryl, sang manajer tampak melihat raut muka Adrian yang tampaknya sedang tidak dalam kondisi baik.

"Kok bete gitu? Baru diputusin?"
"Kagak, ada karyawan yang resign"
"Alah, perusahaan lo pasti bisa cari gantinya kan...."
"Yang ini beda"
"Kenapa?"
"Ada alasannya..."
"Cewek?"
"Iya"
"Ini sih pasti mainan lo lagi...." senyum Cheryl mengerti apa yang Adrian pikirkan.

"Udah lah, relain aja..." lanjut Cheryl.
"Lo sendiri? Senengnya makan DJ atau orang yang manggung disini kan, sama aja bingung kan kalo mereka mendadak ilang..." balas Adrian
"Lo kayak anak kemaren sore mikirnya... Yang kayak gitu mah cuma buat ngemil aja... Makanya punya pacar dong, buat jadi main course elo...haha"

"Pacar ada sih..."
"Mana"
"Ini"

Adrian menunjukkan fotonya dengan Anggia di handphone nya. Cheryl lantas menilai dalam kepalanya.

"Cakep"
"Banget.." balas Adrian.
"Nah, itu makanan utama lo. Sisanya mah cemilan doang... "
"Nah, cowok lo sendiri apa kabar?" tanya Adrian ke Cheryl.
"Baik baik aja.... Dia nanyain lo tuh, kok ga main motor lagi?"
"Males... "

"Iya lah males, main cewek kok biasanya...." ledek Cheryl.
"Tai ah.."

Cheryl hanya tertawa, sambil memberi tanda ke bartender agar mengisi kembali gelas Adrian yang kosong. Malam masih panjang.

------------------------------------------

"Lho, adiknya Adrian mau nikah?" Tanya Anggia.
"Iya" jawab Adrian pelan di sore hari itu. Sore hari lagi di hari Sabtu yang malas di rumah Adrian.
"Aku gak pernah tau soal keluarga kamu secara detail sih, tapi aku denger-denger dikit dari Nica pas di kantor, katanya sepupunya mau nikah, aku pikir yang mana, taunya adik kamu..."

Adrian hanya senyum dan mematikan rokoknya di asbak.

"Keluarga besar kamu ama Nica gimana sih silsilahnya? Aku udah pernah cerita kan soal keluargaku. Aku jadi penasaran, hahaha..."
"Yaudah, nih liat ya..."

Adrian lalu menyalakan televisi layar datar besarnya, dan mengaktifkan mode mirroring. Lantas ia memirror screen di handphonenya ke layar televisi.

"Ini keluarga besarku" Adrian menunjukkan foto lebaran kemarin.
"Lah, ada dia!" foto sahabat Anggia masih ada disana, ya, waktu lebaran kemarin ia memang masih berpacaran dengan Nica.

"Haha, nah, bokap itu anak pertama. Yang itu orangnya, rambut putih semua, kacamata. Yang pake jilbab di sebelahnya itu nyokap. Anak ada dua, aku yang pertama, dan itu adikku, Annisa." Adrian menunjuk ke seseorang perempuan muda berjilbab trendy yang ada di sebelahnya.

"Dan itu calon lakinya, dokter bedah.. Annisa sekarang banyak urusin bisnis bokap dan nyokap juga"

Anggia manggut-manggut saja, sambil terus memperhatikan foto itu.

"Ini om gue yang kedua, bokapnya Nica, ini istrinya, dan ini udah kenal lah ya, Nica. Kakaknya Nica lagi kuliah di Australia, udah nikah, namanya Tasia. Kayaknya di masa depan tu anak bakal jadi calon diplomat atau menlu deh. Yang gitu-gitu pokoknya" Adrian lalu menggeser foto itu, untuk memperlihatkan yang lain.

"Ini anak ke tiga, Anak cewek satu-satunya, tante gue yang ini punya usaha catering dan bakery, beberapa cabang lah di jabodetabek. Ini laki nya. Ini anaknya, Niken, yang bantuin usaha nyokapnya dan ini adeknya, Rangga yang masih kuliah...."

Oke, Adrian, Annisa. Lalu Tasia, Nica. Kemudian Niken, Rangga. Anggia berusaha menghapalkan semua nama. Modal untuk ke acara kawinan, pikirnya. Lagipula dia senang mengenal hal-hal seperti ini. Tapi dia agak sedikit menghela nafas, karena melihat ibu dan adik Adrian berjilbab. Dia khawatir orang tua Adrian akan bereaksi sama seperti ayahnya soal hubungan beda agama ini. Tapi selama ini Adrian terlihat cuek. Jadi dia akan mengandalkan perlindungan dan semua limpahan perhatian Adrian jika saja itu semua terjadi.

"Lanjut, ini yang terakhir, om gue yang paling kecil. Ini istrinya. Nah, ini anaknya. Tiga biji. Rachel, kuliah di Singapur, Rasya, kuliah di Bandung. Sama Rania, yang terakhir ini masih SMA" jelas Adrian menutup sesi perkenalan keluarga besar dari pihak ayahnya. "Mau lanjut yang keluarga besar nyokap?" Tanya Adrian sambil tersenyum.
"Ntar dulu deh... hahah... lagi aku apalin..."

"Sini dong sayang... Bosen aku..." Adrian lantas mematikan televisinya dan menarik Anggia masuk ke dalam pelukannya. Anggia menurut dan lantas mereka berdua berciuman di atas sofa bed.

------------------------------------------

Anggia sudah telanjang bulat di atas kasur. Posisinya ada di atas tubuh Adrian. Adrian menggenggam pantat Anggia dengan keras, sementara Anggia berusaha memuaskan Adrian dengan menggerakkan pantatnya naik turun. Situasi yang sangat indah. Tubuh Anggia yang seperti karya seni itu sedang berusaha memuaskan Adrian.

Anggia merasakan panas membara di dalam dirinya. Merasakan nafsu yang luar biasa. Merasakan betapa dirinya sangat menikmati hubungan seksual ini. Penis Adrian menghunjam begitu dalam ke dalam lubang kewanitaannya, membuat dirinya mersakan stimulasi duniawi yang merambat dengan deras, merusak dan mencoba merusak konsentrasinya untuk memuaskan Adrian. Tapi sepertinya dia kalah lagi. Sudah tidak bisa ditahan lagi. Rasanya tidak ada gunanya melawan.

"Aahhh... Adrian.... Mmmh...... Aaaah...." Anggia pun lemas lunglai di atas tubuh Adrian. Penis Adrian masih menancap di vaginanya, Anggia yang sudah lelah pun akhirnya mencoba mengeluarkan penis Adrian dari dalam dirinya. Adrian bangkit, lalu mencium kening Anggia dengan lembut, lantas menatapnya dan memainkan rambut Anggia. Anggia tersenyum dengan lelahnya, menatap Adrian dengan mata sayu dan kepuasan dalam dirinya.

"Kamu belum ya?"
"Belum" jawab Adrian pelan sambil kembali mencium kening Anggia.
"Kalo gitu kamu bebas ngapa-ngapain aku... Aku pasrah"
"Serius?" senyum Adrian setengah mencibir.
"Serius..."
"Oke kalo gitu, bentar ya...."

Adrian mendadak bangkit, dan membuka laci di kamarnya. Ia mengeluarkan borgol yang terbuat dari kulit.

"Uuh... nakal..." bisik Anggia dari atas kasur.
"Sini..." Adrian memakaikannya ke tangan Anggia. Anggia menaruh kedua tangannya di belakang punggungnya. Dia pun mendadak excited akan permainan itu. Selesai. Tangan Anggia ada di belakang tubuhnya, dan Anggia pun terlihat helpless dalam posisi itu. Dia berbaring telentang. Dan Adrian akan memulai ronde kedua.

Adrian memulai dengan menciumi bibir Anggia dengan ganas. Anggia yang kehilangan control atas tangannya, agak sulit mengimbangi, jadi ia hanya menerima saja ciuman demi ciuman yang dilancarkan oleh Adrian. Tangan Adrian mempermainkan area kewanitaannya, yang sudah basah akibat permainan tadi.

"Mmmhh..." Anggia mendesah tertahan dalam ciuman Adrian, akibat stimulasi jari Adrian ke bibir vaginanya. Matanya terpejam, kepayahan menerima serangan ciuman yang ganas dan permainan jari yang agak kasar. Jari-jari Adrian menyerang dengan gila. Terkadang ia masuk, memasturbasikan Anggia yang sudah mendapatkan puncak kenikmatan. Bagian yang distimulasi jadi jauh lebih sensitif daripada biasanya. Ia lemah.

Adrian menghentikan ciumannya yang ganas itu setelah beberapa saat.

Nafas Anggia menjadi sangat berat. Ia menatap Adrian dengan dalam. Adrian hanya tersenyum kecil, sambil mencium kening Anggia. Tanpa bicara ia lalu menarik dan memeluk paksa tubuh Anggia. Penisnya yang masih tegak dan kini tanpa kondom sekarang ada di depan mulut Anggia. Anggia dengan otomatis membuka mulutnya. Penis itu masuk dengan penuh ke mulut Anggia, dengan posisi yang tidak nyaman bagi Anggia. Adrian duduk dan bersender ke bedhead. Sementara Anggia bersimpuh dengan tangan terikat ke belakang, sambil kepalanya berada dalam raihan tangan Adrian, yang menggerakkannya untuk membantu Anggia mengulum penisnya.

"Mmmh.... Mmmmpph..." Anggia tampak kepayahan karena dia tidak bisa mengatur ritme kulumannya sendiri dalam kondisi terikat. Dia bisa merasakan air liurnya seperti mau keluar dari bibirnya. Belum lagi ia takut tersedak. Air matanya sedikit keluar dengan otomatis.

Cukup lama ia berada dalam posisi yang tidak nyaman itu. Air liurnya kadang menetes. Dan ia sangat berhati-hati agar penis Adrian tidak masuk terlalu dalam dan membuatnya tersedak. Pada saat Adrian menyudahi posisi itu, Anggia akhirnya bisa bernapas lega.

"Gila...." bisik Anggia.
"Kamu gak papa?"
"It was... So overwhelming... Yet sexy..." bisi Anggia dengan senyumnya. Ekspresinya tampak seperti sehabis lari maraton. Nafasnya masih berat dan tampak lelah. Adrian lantas tersenyum.

"I still have a surprise for you..."
"Can't wait"

Adrian berdiri dan kembali membuka laci yang sama. Anggia lantas berfantasi. Apa selanjutnya? Ball gag? Dildo? Penutup mata? Pecut? Pikiran Anggia lari kemana mana. Eh, bukan. Apa itu? Botol plastik? Yang biasa kita lihat di apotik dan kasir swalayan? Lube? Tapi aku sudah basah. Pikiran Anggia lari kemana-mana.

Adrian menghampirinya dan mencium bibirnya. "Kamu percaya aku kan?"
"Percaya, tapi..."
"Relax, oke?"

Adrian lantas mengangkat tubuh Anggia dan memangkunya. Ia mencium Anggia dengan penuh nafsu. Lalu ia menidurkan Anggia, telungkup. Anggia berdebar. Ia menunggu apa yang akan terjadi. Penantian beberapa detik terasa sangat lama. Terasa sangat exciting. "Eh... Dri?"

Jari yang dingin dan basah bermain di sekitar lubang pantat Anggia. Anggia kaget.

"Adrian... Jangan disitu..."
"Relax.. Kalo kamu rileks, ga akan sakit kok..."
"Jangan Dri..."
"Gakpapa kok, trust me.."
"Adrian.. Please..."

Jari jari Adrian yang beraksi membasahi lubang pantat Anggia dengan lube membuat Anggia geli. Tapi ia sedikit tidak berdaya karena badannya terikat dan agak lemas. Sementara lube sudah membasahi pantat Anggia. Dan tangan Adrian menahan pinggang Anggia agar ia tidak berontak.

"Adrian... Stop"
"..."
"Dri bakal sakit ini Dri...." Anggia berusaha mengerahkan tenaganya, tapi dia kalah kuat oleh kedua tangan Adrian yang tampaknya sigap memegangi badannya.
"Sayang... Udah jangan gini... Aaahh..." jari Adrian masuk, bermaksud melemaskan lubang pantat Anggia untuk jalan masuk penisnya.

"Adrian... Sayang... Stop... Ahhh... Nanti sakiiiit..."

Beberapa kali jari itu keluar masuk untuk meratakan lube di lubang pantat Anggia. Dan jari itu menghilang. Kini ada benda lain yang tampaknya siap di belakang Anggia. Kedua tangan Adrian memegangi badan Anggia. Anggia bisa merasakan penis yang tegang itu perlahan memasuki lubang pantatnya dengan bantuan lube. Perlahan, pelan, dan perasaan mulas mulai muncul dalam tubuh Anggia.

"Nngggaaaah.... Aaaah.... Adrian... Gak enak.."

Perlahan penis itu bergerak dengan susah payah di dalam lubang pantat Anggia. Anggia meringis dan meracau. Mukanya perlahan bersemu merah. Menahan sakit dan menahan mulas. Lama kelamaan berubah jadi mual. Tapi entah kenapa ada satu sisi di dalam dirinya yang mengizinkan Adrian mendominasi dirinya. Harusnya jika ia tidak menginginkannya, dia bisa saja menolak dengan keras. Tapi ini hanya mulutnya saja. Badannya tetap pasrah menerima perlakuan Adrian yang bisa dibilang sangat mendominasinya.

"Uuuhh.. Dri... Cepetan... Aku gak tahan..."
"Sebentar..."

Adrian dengan ganas menggerakkan penisnya. Anggia terus meracau, dengan muka merah dan badan yang tegang karena takut. Takut akan banyak hal. Kesakitan, dan beberapa hal lain yang agak kurang pantas ditulis disini.

"Dri... Jangan di dalem.. Ngggh..." Anggia pun akhirnya bisa rileks. Penis Adrian keluar dari lubang pantatnya. Rasa hangat terasa di lubang pantat Anggia. Anggia tak berdaya. Ia beringsut pelan, menekuk tubuhnya. Dia merasakan rasa panas di lubang pantatnya dan mulas itu belum hilang.

"Adrian..."
"Ya?"
"It was... So exciting.... But.."
"But?"
"Aku kesakitan..."
"First time sih ya?"
"Iya...."

"Okay.. Next time I'll be more gentle..." Adrian mencium kening Anggia yang basah oleh peluh. Leather cuff nua akhirnya dibuka. Dan Anggia langsung memeluk Adrian. Badannya penuh keringat, dan ia mendapatkan kehangatan yang tadi dicarinya dalam pelukan Adrian.

------------------------------------------

Tak berapa lama setelah Gladys memutuskan untuk resign, kini penggantinya akan memulai hari pertama di kantor itu. Gladys masih ada disana, di bulan terakhirnya. Dia akan memandu karyawan baru itu untuk menggantikan tugas-tugasnya sebagai asisten pribadi ayah Adrian.

"Mas... Dipanggil bapak ke ruang rapat.." ujar Gladys via interkom. Adrian dengan malas lalu berdiri, merapikan bajunya dan berlalu ke ruang rapat, dan memasukinya dengan seadanya.

"Nah, ini anak saya, Adrian... Ini gantinya Gladys, kenalkan" ujar Ayahnya Adrian sambil menunjuk perempuan muda yang duduk di ruang rapat itu.

"Halo pak... Vivi.."
"Adrian"

glitch10.jpg

Vivi

"Kamu fresh graduate kan?" tanya Ayah Adrian.
"Iya pak.."
"Kalau gitu jangan cuman Gladys yang ngajarin ya, kamu juga Dri..."

Adrian hanya mengangguk. Pikirannya tidak disitu. Pikirannya ada di badan Anggia. Badan Anggia yang indah. Dan mangsa baru di depannya. Kesemuanya melemparkan benaknya ke alam lain. Alam petualangannya.

------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
SIDE STORY
ANGGIA | PART - 4

timeline : PART 30 - 35 The Lucky Bastard

------------------------------------------

glitch25.jpg

Anggia

------------------------------------------

"Kamu kok diem aja tadi?" keluh Anggia.
"Habis aku harus gimana?"
"It was awkward"
"Bukan aku yang nanya soal itu.." Adrian tampak menjawab dengan cuek.

Ingatan yang ingin dihapus. Ingatan tentang makan malam dengan orang tua Adrian. Yang terjadi karena paksaan orang tuanya. Karena Adrian memang tidak pernah mencampurkan urusan pribadinya dan keluarga. Tapi ini harus terjadi. Terjadi karena memang wajar terjadi. Apalagi Anggia yang sedikit memaksa untuk datang ke acara pernikahan adik Adrian. Dan juga orang tua Adrian yang ingin bertemu dengan pacar anaknya, berkenalan, dan bermaksud memberi Anggia kain seragam untuk pernikahan Annisa, adik Adrian.

Ingatan tentang percakapan yang kaku tadi ingin segera dilupakan oleh Anggia.

"Kapan dong kamu nyusul?" senyum ayah Adrian kepada Adrian, saat makan malam tadi. Adrian tampak tidak fokus dan hanya memilih untuk memberi perhatian penuh ke makanan di depannya. Karena khawatir jawaban yang diberikan Adrian terlalu lama untuk keluar dari mulutnya, maka Anggia berinisiatif menjawab.

"Aduh om... Kita baru jalan itungan bulan kok.. Haha.. Masih jauh..." senyumnya.
"Gak ada salahnya dipikirin toh.." balas ayahnya Adrian.

"Dulu Anggia kuliah dimana?" Ibunya Adrian berusaha membuka pembicaraan ke arah lain dengan tiba-tiba.
"Trisakti tante.."
"Ooh... Dan sekarang sekantor sama Nica ya? Dulu Nica dimana sih, kok mama lupa?"
"UPH ma..." jawab Adrian tanpa melihat mata ibunya.

"Kalo Adrian dulu sempet di UI setahun, cuman gak beres kuliahnya setahun itu, kebanyakan main... Ancur..." komentar ayahnya. "Padahal sudah masuk ekonomi..."
"Jadi daripada di DO mundur aja ya dulu, jadi kita kirim aja ke Aussie, biar belajar mandiri..." sambung ibunya. "Untung ga bermasalah disana"

Adrian hanya senyum kecil sambil terus makan.

"Kalau SMA nya?"
"Di Tarakanita tante..."
"Kalau kami sekeluarga besar sih Labschool semua... Tadinya memang Adri mau kami masukin PL, tapi dipikir-pikir mendingan masuk sekolah yang lebih umum daripada masuk sekolah Katolik" balas Ibunya Adrian. "Memangnya Anggia dulu gak papa ngikuti pelajaran Agama katolik, kan disana wajib bukan?" lanjut Ibunya.

"Gakpapa tante... Kan saya Katolik..." jawab Anggia dengan ekspresi khawatir yang tidak bisa disembunyikan. Dan setelah topik itu, suasana jadi awkward luar biasa. Ternyata orangtua Adrian sama saja. Susah menerima pasangan yang beda agama. Dan payahnya, malam itu hanya Adrian yang terlihat biasa-biasa saja dan tidak awkward. Awkward yang Anggia khawatirkan. Yang ia berusaha hindari. Pikirnya dengan status keluarga Adrian yang high profile, mereka bisa lebih toleran terhadap pacar yang beda agama. Ternyata tidak juga. Sama saja dengan orang tua pacar-pacar Anggia sebelumnya. Dan ayahnya.

"BTW..."
"Ya Nggi?"
"Kamu bakal ngomongin ke mereka kan? Kalo kita sama sekali belom mikirin soal nikah, kita baru berapa bulan ini...."
"Gak usah lah"
"Kok gak usah?" tanya Angia gemas.
"Gak usah dipikirin..."
"Kok gitu?"
"Ya ga usah dipikirin aja, ribet" jawab Adrian cuek sambil menyetir dan menghisap rokoknya.
"Oh. Oke... Kalo gitu aku capek, anterin aku balik aja, gak usah ke rumah kamu dulu...." balas Anggia dingin ke Adrian.

"Oh? Siap Nggi" jawaban yang tidak diharapkan Anggia. Jawaban yang membuatnya kaget. Jujur, ia mengharapkan Adrian menahannya dan memberinya pengertian soal situasi tadi. Atau setidaknya comforting her. Tapi tidak. Dan Anggia semakin ingin cepat pulang.

------------------------------------------

"Lo gimana sih... Pacaran lagi kok dapetnya gitu lagi?" tanya Asthia.
"Abis gimana?" jawab Anggia pusing sambil menyeruput minuman ringan, di restoran fastfood itu, sehabis gereja minggu. Anak-anak Asthia sedang main di area permainan. Suami Asthia meninggalkan mereka terlebih dahulu, sedang ada urusan yang penting. Orang tua mereka sudah kembali ke rumah.

"Lo jangan bikin bokap senewen terus dong... Kasian udah tua.." Asthia mencoba menasihati.
"Jangan salahin gue dong... Gue cuman pengen happy... Yang pacaran kan bukan bokap.."
"Harusnya lo cari anak gereja aja..."
"Emangnya gue elo"
"Gue gak nyari. Dateng sendiri" senyum Asthia.
"Aduh, mulai abis ini deh, biarawatinya keluar...."

"Hus, jangan gitu dong... Gue kan cuma mau omongin yang baik-baik ke elo"
"Udah apal gue, pasti lo ngomongin soal iman, pernikahan, anak, dan lain lain... Tapi gue gak bisa ngebayangin kayak elo... Enak banget emang kayaknya, hidup gak ribet...." balas Anggia dengan kepusingannya sendiri.

Asthia hanya tersenyum. Maria Asthia Tan, kakak Anggia, di usia awal 30an nya. Dengan tiga anaknya. Sehabis lulus kuliah langsung menikah. Usia perkawinan sudah hampir 8 tahun dengan suaminya. Pacaran dari SMA, dengan sesama anak gereja. Hidup yang nyaman, enak, tanpa hambatan berarti dan semuanya lancar. Tapi Anggia entah kenapa horor membayangkannya. Mungkin karena dari dulu orang tua Anggia selalu memakai itu semua sebagai perbandingan ketika mereka menasihati Anggia soal pernikahan dan keluarga.

------------------------------------------

"Iya aku tau... Tapi aku tetep mau dateng...". "Gak papa sayang.... Iya aku ngerti, aku gak bakal dengerin omongan apapun yang gak enak...". "Iya emang masih lama, tapi perlu diobrolin dari sekarang... Fine.. Bye... Love you"

Anggia menarik nafas dalam dan melempar handphonenya ke pangkuannya.

"Kenapa?" tanya sahabatnya yang tiba-tiba muncul, di belakang Anggia di teras kantor. Tampaknya ia ingin merokok, ritual sorenya.
"Adeknya Adrian mau nikah"
"Oh... Terus?"
"Dia bilang gue gak usah dateng. Padahal menurut gue harusnya gue dateng. Adek pacar lo nikah, wajar kan kalo lo dateng?"
"Apa alasan dia ga pengen lo dateng?"
"Klasik"
"Klasik?"
"Gak cuma bokap gue yang gak suka gue ama dia pacaran"
"Oh..."
"Orang tuanya juga ga suka dia pacaran beda agama, chinese lagi.."
"Dianya gimana?"
"Dianya kayak gak mikirin. Santai santai aja"
"Jadi elu yang pusing?"
"Gue pengen serius ama dia... Gak mau ngehindar hindar dari masalah kayak gini. Sedangkan dia bilang ga usah dipikirin, dan ntar pas adeknya nikah ga usah dateng aja... Padahal gue udah siap kalo dateng dicuekin atau dijudesin ama keluarganya.... Dan gue butuh dia seenggaknya untuk nguatin perasaan gue, tanpa harus dia belain gue atau apa lah di depan keluarganya... Gue cuma butuh dia nyambut gue dan seneng sama ide kalo gue berani dateng ke keluarganya......" jelasnya panjang tanpa sedikitpun mengambil nafas.

"Bahaya itu... Orangnya kayak gimana sih? Gue belom sempet kenal" tanya sahabatnya lagi.
"Baik, banget. Royal. Manjain gue abis abisan. Tapi gak serius. Dalam artian ga bisa ngomongin masa depan dan kalo ketemu konflik dia cenderung menghindar..." Anggia menggigit kukunya. Kebiasaan buruk lamanya. Dia melakukannya kalau sedang senewen.

"Nggi... Kuku lo"
"Shit. Udah lama gak gigit gigit padahal" keluh Anggia.
"Lo cobain ajak ngomong dulu aja panjang lebar. Bikin dia dengerin lo" nasihat sahabatnya.
"Maunya. Liat ntar deh. Anaknya lagi sibuk ngurusin bisnis apa ntah..." lanjut Anggia, yang sedang berusaha membuat koneksi imajiner antara masalah ini dan Adrian yang mendadak jadi super sibuk. Apakah pacarnya ingin menghindar dari hal-hal seperti ini? Ayolah. Setidaknya harusnya ada sedikit omongan yang menenangkan soal hubungan mereka. Situasi yang tidak nyaman ini mau tidak mau harus segera dicari jalan keluarnya, bukan malah dihindari.

------------------------------------------

"Aku udah ngejait buat kawinan adek kamu..." bisik Anggia ke Adrian. Mereka ada di rumah Adrian lagi, malam itu. Malam setelah jam kerja. Kebetulan Adrian sedang free dan tidak ke Simatupang hari itu. Dia keliling ke beberapa tempat, dan memutuskan untuk tidak kembali ke kantor ayahnya. Dia memilih untuk pulang, dan memberi tahu Anggia bahwa ia ada di rumah.

"Oh, kok cepet? Ntar gak cukup lho bajunya" tanya Adrian sambil menatap ke arah televisi, dengan rokok di tangan.
"Aku? Gak bakal.. Udah lama banget aku gak naik timbangannya" Anggia bersandar ke Adrian, mencoba menikmati televisi juga.
"Yaudah..."

Sudah? begitu saja? tidak ada pertanyaan lain? Tidak ada pembicaraan mengenai keberterimaan orang tua Adrian? Sementara waktu ayahnya Anggia banyak mengeluhkan soal Adrian, dia selalu membicarakannya. Dan ia baru sadar waktu itu Adrian pun banyak menghindari pembicaraan itu. Kata-kata "ga usah dipikirin" "santai aja" selalu hadir dari mulutnya. Dan Anggia pun bingung. Di satu sisi ia nyaman dengan semua hal dari Adrian yang memanjakan dirinya, tapi di satu sisi, dia selalu menghindari dari hal-hal yang serius.

"Kok yaudah?" tanya Anggia bingung.
"Ya abis mau gimana?"
"Dri... serius dikit dong..."
"Nggi, ga perlu dipikirin kayak gitu, yang penting kan kita bareng, oke?" Adrian mengelus kepala Anggia, dan mencium keningnya. Anggia hanya bisa diam saja sambil masuk ke pelukan Adrian. Berharap tidak memikirkan hal-hal tersebut. Hal-hal yang mengawang.

"Kamu nginep disini aja... " bisik Adrian sambil memeluk dan tangannya mulai menggerayangi Anggia.
"Gak bisa..."
"Please... Aku pengen ngabisin semaleman sama kamu.."
"Dri.. aku juga pengen, tapi ntar ya, cari waktu, jangan sampe bikin bokap curiga..."

Mereka pun berciuman, tenggelam, dan sejenak melupakan hal-hal yang pelik.

------------------------------------------

Jam 8 malam, hari itu. Jakarta mulai ramai oleh para pekerjanya. Para pekerja yang mendambakan untuk segera berada di rumah mereka masing-masing, beristirahat dan bertemu dengan keluarga mereka.

Anggia sedang berada di ruangan sahabatnya, sambil memainkan kubus rubik dengan asal-asalan.

"Lo makan sama Karen ya malam ini?" tanya Anggia lemas.
"Iya"
"Gue bingung nih, dia ngehindar mulu kalo gue ajakin ngobrol serius..."
"Adrian?"
"Iya lah... Masa tukang rokok?"
"Hmm... Mesti lo kerasin kali Nggi..."
"Kerasin gimana? Marah gitu maksudnya?"
"Bukan, tegas aja, misal jika tidak ada kepastian, maka saya akan ngapain, gitu aja, give and take.. Ya nggak?"
"Haduh... Susah... Ntar malah putus kalo gitu.."
"Ya jangan ekstrim juga give and takenya Nggi..."
"Pusing ah... Bodo.. Mana gue mau ngajak dia dinner hari ini dia gak bisa lagi.. Sibuk katanya.." Anggia menekuk mukanya dan menaruh kubus rubik itu di tempatnya semula.

Sementara di belahan lain selatan Jakarta, Adrian sedang menyetir perlahan, dari arah Sudirman menuju Selatan, mencoba menyibak kemacetan Jakarta. Vivi ada di sebelahnya, memegang berkas-berkas yang harus dirapihkan kemudian.

"Ini banyak banget pak yang mesti diberesin, udah malem lagi sekarang, mau gak mau lembur kita...." keluhnya.
"Geli tau"
"Geli kenapa?"
"Pak... Kayak gue setua bokap aja...."
"Habis saya bingung manggilnya apa"
"Manggil nama gitu, atau minimal Mas kek... Haha"

"Oke.." Vivi terdiam lagi, melihat macetnya Jakarta dengan mata kepalanya sendiri. Tapi tak beda dengan kota asalnya, Bandung yang sekarang pun semakin macet.

"Ntar lah diliat ya, jangan diomongin sekarang, males lagi macet gini..." komentar Adrian.
"Iya mas..."

------------------------------------------

"Kok jadi gue sih?" keluh Rendy.
"Lagian lo mau aja gue suruh dateng ke mari..." ledek Anggia.
"Cowok lu mana?"
"Orang sibuk dia mah, udah pesen makan sana... Gue udah tadi..."

Kemang, jam 9 malam. Anggia belum ingin pulang. Karena Adrian dan sahabatnya tidak bisa menemaninya entah mengobrol atau apapun, dia memanggil manusia ini. Rendy. Untung Rendy sedang ada urusan malam itu di sekitaran Kemang, sehingga bisa dengan cepat ia mengiyakan ajakan Anggia. Atau juga karena fakta bahwa dia menggemari Anggia sejak lama. Anggia yang tak terjangkau olehnya.

"Jadi gue pemain cadangan gitu ya...."
"Kagak kali. Lo kan sama juga temen deket gue..."
"Jadi?"
"Jadi apanya?"
"Ada yang mau diobrolin?" tanya Rendy.
"Ga ada... Gue butuh temen aja."
"Hah"
"Kok hah, kayak gak kenal gue aja lo... Gue lagi bete, makanya butuh temen"
"Kirain ada yang penting"
"Jadi pertemanan kita gak penting?"
"Penting"
"Nah... Udah ga usah banyak komen... Cepet cerita gih... Cerita apa aja. Mau cerita lo abis donlot bokep apa aja silakan... Gue butuh denger orang cerita" keluh Anggia. Terlihat jelas bahwa kepalanya sedang pusing karena masalah keberterimaan orang tuanya dan orang tua Adrian atas hubungan mereka berdua. Ini masalah. Masalah yang bahkan Adrian sepertinya tak sedetik pun memikirkannya.

"Pusing ya Nggi?" tanya Rendy.
"Iya"
"Mungkin Adrian baru sekali ini pacaran beda agama kali..."
"Bisa jadi"
"Yaudah, ntar kalo lo dah gak bete bete amat sama dia, coba obrolin lagi... Mungkin dia juga pusing, karena itu makanya dia belum mau bahas, dia pikir dulu biar ga salah ngomong atau bersikap kali?" jelas Rendy dengan bijak.
"Masuk akal... Yaudah, paling abis nikahan adeknya gue bahas lagi deh.... Toh dia juga gak jadi dingin ama gue, tetep mesra mesra aja kok...." jawab Anggia.
"Nah.." Rendy tersenyum. Tersenyum melihat pujaannya agak tenang.

------------------------------------------

Simatupang, sementara jalanan berangsur sepi, tapi tidak dengan meja Adrian. Kertas-kertas bertumpuk. Vivi dengan cermatnya mencatat di buku catatannya.

"Jadi ini ntar kalo besok email penawaran mereka udah masuk, masukin harganya ke proposal... Tadi inget kan, katanya mereka bisa dapet kapal dengan harga lebih murah dari biasanya...."
"Iya mas"
"Dan jangan lupa, besok ingetin bapak juga, kalo ada penyesuaian harga buat beberapa spare part cadangan kapal... Biar dia gak kaget nanti kalo liat harga proposal akhir.... Eh bentar..."

Adrian mengangkat telponnya. Vivi diam dan memperhatikan Adrian. Gila. 30 tahun dan sudah berposisi setinggi ini di kantor ini. Tak peduli lagi dengan status ayah dan anak. Pasti ada sesuatu yang dimiliki orang ini sehingga ayahnya mempercayainya untuk urusan-urusan sepenting ini.

"Oh, sama Rendy? Yaudah... Paling sabtu ya? Oke... Bye.." telpon dari Anggia. Dan telpon singkat itu selesai. Adrian menaruhnya lagi di meja. Vivi pun penasaran.

"Istri mas?"
"Ah? Bukan, saya belom nikah"
"Pacar?"
"Kayaknya"
"Kok kayaknya?"
"Lo maunya tadi siapa?" Adrian tersenyum tipis dan kembali.ke beberapa berkas yang ada di tangannya.

"Oh... Maaf Mas... Nanya-nanya gak penting"
"Santai, take it easy..."
"Hehe... Abisnya saya belom tau apa-apa soal Mas, cuma taunya mas anaknya bapak..."
"Oh? Emang mau tau apa soal gue?"
"Apa ya... Bingung hehehehe...."
"Mending beresin kerjaan dulu, ntar abis itu beli makan mau? Kayaknya tadi makan malamnya kurang nendang kan?" ujar Adrian.
"Eh? Boleh mas..." senyum Vivi dengan manisnya.

------------------------------------------

Jam 11 malam. Kerjaan sudah beres, makanan sudah habis termakan. Adrian meregangkan tangannya dan ia berdiri, memperhatikan Vivi yang masih berkutat dengan buku catatannya. Ia lalu berjalan keluar, dan berjalan menuju toilet. Sambil buang air kecil, pikiran nakalnya lari kemana-mana. Ada calon baru di depannya. Dia mengutak atik isi kepalanya untuk merancang cara menarik perhatian Vivi.

Dan ia berjalan masuk lagi, menemukan Vivi sedang merentangkan tangannya, tampaknya seperti pegal.

"Pegel?"
"Iya mas... Ga sabar pengen pulang ke kosan"
"Kosan dimana?"
"Fatmawati..."
"Oh, mau dianterin nanti?"
"Ga usah, saya naek gojek aja..."
"Gojek? Dah malem lho, bahaya.... Dianterin ya?"
"Oke deh..."
"Harusnya pacar lo yang jemput"
"Eh tapi saya ga ada pacar..."
"Oh... Haha, my bad..."

Adrian berjalan ke lemarinya, membukanya dan mengeluarkan sebotol wine dan dua gelas.
"Sebelom balik"
"Aduh... Jadi gak enak hahaha...." Vivi tampak malu melihatnya.
"Gapapa, sekalian diabisin, udah rada lama soalnya, ntar alkoholnya ilang kalo kelamaan...."
"Oke mas"

Vivi pun menerima wine yang sudah dituang oleh Adrian ke gelas. Gelas beradu dan cairan itu masuk salam tenggorokan mereka berdua.

"Lo yakin ga punya pacar?" tanya Adrian.
"Haha, emang gak punya..." jawabnya.
"Boong"
"Kok boong?"
"Kan lo goodlooking gitu, masa ga ada cowok yang ngejar sih"
"Ah, saya emang suka ga beruntung urusan cinta cintaan" senyum Vivi. Duh, andaikan orang seperti Adrian available untuknya. Muda, good looking, dengan segala kekuatan bisnis dan pengaruh di dunia ini. Vivi mendadak membayangkan, betapa beruntungnya pacar Adrian tadi.

"Yah... Coba aja saya seberuntung pacarnya mas tadi..."
"Maksudnya?"
"Ya... Dia punya orang kayak mas, yang kayaknya bisa diandalkan oleh dia..." Vivi tersenyum malu, sedikit tersipu.

"Ah, lo bisa juga kok..." Adrian lantas duduk di meja, dengan posisi yang dekat dengan Vivi.
"Bisa gimana?"
"Bisa punya atau dipunyain orang kayak gue.."
"Ah, kan saya jomblo..."
"Gak mesti punya pacar kalo kayak gitu..."

"Maksudnya?" Vivi tersenyum, namun ia bingung, oleh pernyataan tadi.
"Haha... Gue tanya deh.. Lo pengen punya cowok kayak gue apa pengen punya gue?"
"Ah... Ahahahaha... Jangan ah mas... Siapa sih saya? Saya jamin orang kayak mas pacarnya cantik banget, hehe...."
"Dan elo juga cantik kok"
"Boong ah"
"Ga boong..."
"Jangan boong mas... Saya jadi gak enak" senyum Vivi malu. Namun ia perlahan masuk dalam cengkraman tak terlihat Adrian.

"Mau gue buktiin gak gue gak boong?"
"Hah?"
"Gue buktiin kalo gue gak boong"
"Gimana caranya"
"Gini..."

Tangan Adrian mendadak muncul, memegang dagu Vivi dengan lembut. Belum cukup waktu untuk Vivi beraksi, mendadak bibir Adrian menyentuh bibirnya. Dia kaget, berusaha berontak tapi badannya tak melawan. Tangan Adrian lalu turun, menjelajahi bahu dan turun ke pinggang Vivi. Ia menariknya perlahan, dan menuntun Vivi untuk berdiri. Adrian melepas ciumannya. Vivi dengan malu menatap. Nafasnya memburu, nervous, dan ia seperti tak berani menatap Adrian.

"Kalo lo gak mau, kita bisa berhenti dan lupain" bisik Adrian. Vivi terdiam. Hening. Lama. Tangannya berkeringat dingin.

"Gue anggep diem ini artinya mau..." dia mencium Vivi lagi. Dan dengan takut Vivi menerima ciumannya. Antara takut dan excited. Rasanya seperti melihat pertunjukkan kembang api di pinggir jurang.

Ia tenggelam. Tenggelam dalam ciuman Adrian yang penuh hasrat.

------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
gagal pertamax tapi mejeng di pejwan

suhu racebannon jangan lupa thread ini lhoooo...kayanya udah kesita fokusnya di project baru
 
Turut memantau di rumah baru rasa lama
:ngeteh:
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd