Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT Sketsa

Bimabet
CHAPTER.02

DUNIA BARU



Mira menarik napas dalam-dalam dan menatapku. "Bukan gitu, Yo. Aku cuma ga mau kamu mengira..." Dia ragu-ragu, menunggu lama, lalu berkata, "Kamu tahu aku lesbian, kan?"

"hah.. eh.. gimana-gimana?" kataku.

"Kupikir kamu tahu" katanya.

Aku menggelengkan kepala antara kaget dan ga percaya.

"Aku mau ajak kamu ketemu temenku besok, tapi kamu mungkin ga cocok sama tempat kami janjian. Kamu cowok normal, kan?"

Aku mengangguk.

"Yo, mukamu merah!" Mira menyeringai.

"Yah ... cuma ... kita belum pernah ngobrol soal ini sebelumnya, kan? Kaget aja tadi."

Mira mengulurkan tangan dan meremas tanganku lagi. "Aku sayang kamu, Yo; bukan ke arah situ sih. Tetapi kalau suatu saat aku tiba-tiba bisa suka cowo, kamu yang pertama akan aku hubungi, oke?"

Aku ga bisa bilang apa-apa, dan Mira tertawa ngakak, "Kalau mukamu lebih merah lagi, pasti bakal meledak tuh!"

Mira berdiri dan mulai membersihkan piring. "Ayo, bantu aku nyuci piring, abis itu kita nyantai sambil cerita-cerita lagi."

Kami duduk di ujung sofa yang besar dengan kaki kami terulur ke satu sama lain tumpang tindih. Itu cara kami duduk ketika masih anak-anak, ketika Mira masih tinggal bareng kami di Purworejo. Rasanya benar-benar nyaman, dan menenangkan.

"Sekarang," kata Mira, "aku mau melihat contoh gambar yang kamu bawa untuk besok."

“Harus ya? Aku ga yakin hasilnya bagus."

"Tapi kamu sudah bawa kan?"

"Bawa sih."

"Sini aku lihat, cuz."

Aku memutar badan dan meraih tas koperku, membungkuk di atas lengan sofa, membuka ritsletingnya dan mengeluarkan sebuah map kecil yang berisi contoh gambarku. Aku berbalik dan dengan ragu menyerahkannya ke Mira.

Dia melepas ikatannya dan membuka tiap halaman satu persatu, memiringkan kepala ke satu sisi dan mulai membolak-balik gambarku. Dia, berhenti di beberapa gambar dan butuh waktu lebih lama sebelum melanjutkan ke gambar lain. Aku duduk diam, menunggu.

Akhirnya dia menutup map itu dan mengikatnya lagi.

"Apa aku bakal diketawain di kampus?" Tanyaku. Mira menggelengkan kepalanya. "Bagus kok. Sebagian masih polos, tapi itu menunjukkan kamu kurang pengalamanmu, tetapi kelihatannya kamu punya bakat dan itu yang penting."

"Kamu serius, Mir?"

Dia mengangguk. "Kamu pasti bisa."

Aku tersenyum, "Semoga. Aku jadi makin pingin kuliah disini sekarang. "

Mira tersenyum, "Aku juga, Yo." Lalu dia menambahkan, "Kamu tadi bawa banyak sketsa wajah, lengan, kaki, tangan yang biasa. Tetapi ga ada satupun yang satu badan utuh. Sudah pernah menggambar hidup? Menggambar langsung model manusia di depan kelas gitu?"

"Mana ada yang kayak gitu di Purworejo?" Aku tertawa.

"Menggambar hidup itu favoritku. Aku suka menggambar orang." Kata Mira lalu terdiam sebentar,
"Kau sudah delapan belas tahun sekarang, kan? " tambahnya


Aku mengangguk,

"Besok kamu boleh ikut aku kalau kamu mau."

"Terima kasih," kataku.

Mira tertawa, "Terima kasih besok aja, setelah kamu tau kita kemana."

Kami ngobrol sampai aku mulai menguap. Mira memperhatikan dan kemudian menepuk kakiku. "Tidur sana, kamu udah cape keliatannya."

Aku mengangguk, "Aku sudah ngantuk banget" kataku.

"Ya udah kamu pake kamar mandi duluan” katanya, "aku mau ganti baju dulu dikamar."

Aku sikat gigi dan mencuci muka. Mira masih di kamarnya, tetapi sudah meletakkan bantal dan selimut di sofa, jadi aku melepas baju dan celana jinsku dan tidur cuma pakai celana pendek. Aku baru saja mulai memejamkan mata saat Mira berjalan keluar dari kamarnya ke kamar mandi. Dia sudah ganti baju dan cuma pakai tanktop putih kecil dan hotpants biru, seksi banget. Mira sadar aku ngeliatin dia dan aku langsung pura-pura lihat kearah lain.

Dia ketawa, "Ga apa-apa Yo, liatin aja kalau mau. Aku ga keberatan kok." Lalu dia menambahkan, "Aku ga pernah merasa keberatan dari dulu." Dia tahu aku suka ngeliatin dia dari jauh tiap liburan di Bali.

Aku tahu mukaku pasti sudah merah lagi.

Mira masuk ke kamar mandi dan aku mendengar gemericik air. Dia keluar lalu mematikan lampu utama, menyisakan cahaya redup dari kamarnya. Dia mendekat ke sofa dan berlutut di sampingku, membungkuk dan mencium pipiku lalu menempelkan jidatnya ke bibirku. Aku bisa mencium bau sabun di wajahnya dan sampo di rambutnya.

"Tidur nyenyak, Yo. Semoga beruntung besok pagi."

Aku bangun sebelum jam tujuh dan mencoba bergerak setenang mungkin, masuk ke kamar mandi dan mandi. Saat aku keluar, aku memakai celana kain hitam dan kemeja lengan panjang biru yang sudah disetrika oleh Ibu. Aku berdiri di kamar mandi, mengikat dasi di depan cermin ketika Mira masuk.


"Pagi. Bisa keluar bentar ga? Kebelet pipis nih"

"Oh, ok" kataku, melesat keluar melalui pintu.

Saat Mira keluar, dia menatapku. “Astaga, kamu jangan pakai itu!" Dia berkata.

Aku melihat ke bawah. "Lho, kenapa kalau pakai baju ini?"

"Disini kampus seni, Yo. Sekolah seni ga seperti tempat lain, penampilan kasual adalah bagian dari gaya hidup. Pakai lagi jeans yang kemarin. Kemejanya gapapa, tapi digulung aja lengannya dan ga usah pakai dasi."

"Kata Ibu ini biar keliatan pintar." kataku.

"Pinter ga dipakai di sini. Lagian dia ga bakal tau kamu pakai baju apa kan. Aku pingin kamu berhasil dalam wawancara ini, Yo. Percaya deh sama aku."

"Ya, kalau kamu yakin," kataku. Aku meraih celana jinsku dan kembali ke kamar mandi untuk berganti pakaian.

Kami berangkat ke kampus bareng, dan Mira memaksa untuk mengantar sampai ke depan ruang interview. Sampai di depan ruang 307, Mira mengintip ke dalam dari kaca di pintu lalu tersenyum dan bilang, "Yang interview kamu nanti Mas Ricky."

"Kamu kenal?"

"Dia dosenku semester lalu. Ayo, aku anterin masuk. "

"Yakin? Emang boleh?"

"Tenang aja, Mas Ricky salah satu dosen favorit disini. Dia baru lulus dari sini beberapa tahun lalu, karena itu dia akrab banget sama mahasiswa sini dan ga mau dipanggil Pak."

Mira lalu dengan singkat memperkenalkan aku sebagai adiknya.

“Apa dia sejago kamu, Mir?”

“Belum, Mas, tapi nanti dia bakal lebih jago dari aku.” Jawab Mira

Lalu Mira keluar dengan janji untuk bertemu aku dua jam lagi di luar pintu masuk utama.



-----------------0----------------​



Dua jam kemudian aku melihat Mira menunggu di depan gerbang dan saat dia melihat aku, dia melompat-lompat, persis seperti anak kecil. "Gimana?"

"Gimana apanya?"

"Gimana hasilnya? Diterima ga?"

"Kayaknya sih bagus," kataku. "Mas Ricky bilang akan dikabari dalam beberapa minggu."

"Emang gitu sih prosesnya," katanya, "Tapi gimana menurutmu sendiri?"

"Aku cocok sih. Aku suka tempatnya. Aku suka gambaran kuliahnya."

"Berapa lama tadi didalam?" dia bertanya.

"Ini baru selesai langsung kesini," kataku. "Sekitar sepuluh menit lalu."

Mira melompat-lompat lagi, lalu memelukku erat-erat. "Ya ampun, Yo, itu pertanda bagus! Ga ada yang pernah diinterview selama itu kecuali mereka bakal diterima. Ayo, malam ini kita rayain."

"Tapi," kataku, "apa ga mending nunggu pengumuman hasilnya dulu?."

"Dasar," kata Mira, "Pasti diterima lah. Ayo."

Kami naik bus kembali ke apartemennya dan Mira membuatkan makan siang. Aku harus menceritakan ulang detail interviewku tadi ke Mira. Saat kami selesai tanpa sadar sudah jam 3 sore. "Wow, cepet banget udah jam segini. Yo, aku mau mandi sebelum kita pergi. Kamu mau mandi lagi ga?"

"Aku tadi kan sudah mandi."

Mira mencondongkan tubuh ke arahku dan mengendus-endus, mengernyitkan hidungnya, "Bau keringat, bro. Ntar mandi lagi setelahku."

Aku mengangkat lenganku dan mengendus, "Ya, emang rada bau dikit sih.”

Mira melompat ke kamarnya dan beberapa menit kemudian keluar lagi memakai jubah satin putih dengan tali di pinggang menuju ke kamar mandi.

Mira mandi cukup lama, tetapi saat dia keluar dia keliatan luar biasa cantik. Masih cuma memakai jubah satin yang tadi kulitnya terlihat putih, dan bercahaya.

"Giliranmu," katanya.

Aku bangkit dan masuk ke kamar mandi yang penuh aroma harum. Aku baru mandi selama lima menit ketika aku mendengar pintu terbuka.

"Permisi," Mira berteriak, "Janji ga ngintip, aku lupa lipstikku. Ya ampun! maaf - aku melihat."

Aku berdiri tegang tidak berani bergerak di kamar mandi, menghadap ke dinding.

Lalu Mira bilang, "Ya ampun Yo, badanmu bagus banget."

"Ya, memang," kataku ke ubin.

"Serius, aku ga bohong. Hampir bikin aku suka sama cowo."

"Cuma hampir?" Aku bercanda.

Dia tertawa, "Iya, hampir aja," katanya, dan aku mendengar pintu tertutup.

Aku menghela napas lega, mulai membilas diri dan mendengar pintu terbuka lagi.

"Yo, besok, aku mau minta tolong. Tolong banget."

"Boleh, apapun yang kamu mau," kataku, berbalik untuk menyembunyikan bagian depanku.

"Aku ingin menggambarmu," kata Mira.

"Oke."

Pintunya tertutup lagi. Sekali lagi aku menghela napas, tepat saat pintu terbuka untuk ketiga kalinya.

"Telanjang, tentu saja," kata Mira, dan pintu tertutup dan ga terbuka lagi.

Aku mematikan pancuran dan melangkah keluar, dengan handuk kering. Aku melihat ke bawah ke penisku yang sudah mengeras dari tadi. Sial, kupikir, Mira mungkin ga nafsu sama cowo, tapi kan bukan berarti cowo ga nafsu sama dia. Aku melanjutkan berpakaian, bercukur, dan keluar dari kamar mandi.

Mira duduk di sofa. Dia sudah pakai gaun biru tua panjang dengan motif putih kecil di atasnya. Gaun itu model kancing di depan dan potongannya cukup rendah yang menunjukkan belahan dadanya, panjang sampai antara lutut dan pergelangan kaki. Rambutnya diikat keatas sehingga lehernya yang jenjang terbuka. Bibirnya pucat berwarna natural, dan dia menggunakan eyeliner.

"Wow, Mir, kamu kelihatan cantik," kataku.

"Terima kasih. Yuk kita berangkat."

"Eh, ya, yuk." Aku memakai sepatuku dan melangkah keluar. Mira menyusupkan tangannya di sikuku dan mengandengku keluar. Kami berjalan kaki dari apartemen menuju ke sebuah komplek ruko yang tidak terlalu jauh dari apartemen Mira. Kami berjalan ke ruko paling ujung lalu turun melalui tangga ke semacam ruang bawah tanah yang pintunya dijaga seorang berbadan besar. Mira tampaknya sudah dikenal dan disapa oleh penjaga itu.

"Boleh bawa temen baru ga, Mas?"

"Boleh aja. Tapi dia sudah tahu kan disini tempat macam apa?"

"Tahu kok," kata Mira acuh tak acuh, menandatangani buku tamu sebelum membawaku ke sebuah ruangan besar, diterangi lampu redup dengan panggung kecil di satu ujung, dilengkapi dengan drum dan gitar, tetapi ga ada pemusiknya.

"Kamu biasa nongkrong disini?" Aku bertanya.

"Biasanya," kata Mira. "Kamu gapapa kan, Yo?"

"Ini klub gay, kan?" Aku bertanya.

Mira mengangguk.

"Termasuk cowo?"

Dia tersenyum. "Beberapa, tapi kamu aman kok, kebanyakan aku sudah kenal dan nanti aku kasih tau ke mereka kalau kamu cowo normal."

"Bagus," kataku, dan baru sadar kalau suaraku terdengar tegang.

"Mira!" Seorang gadis muda menjerit dan mendatangi kami, meraih bahu Mira dan tanpa basa-basi mencium bibir Mira.

"Apa ini dia?" wanita itu bertanya.

Mira mengangguk. "Iya. Yo, kenalin ini Febi, Febi ini Yohan."

Aku mengulurkan tangan, tetapi Febi meraih pundakku lalu karena dia jauh lebih pendek, menarik leherku menunduk agar bisa menciumku di mulut.

Wow, batinku. Lipstiknya terasa seperti ceri, dan ini pengalaman pertamaku ciuman di bibir.

"Hai, Yo. Udah lama gue pingin ketemu elo sejak Mira cerita kalau elo ada disini. Ayo, kita beli minum."

"Eh," kataku, "Emang boleh?."

"Oh, boleh lah, siapa yang ngelarang," kata Febi.

Aku memandangi Mira dan dia hanya mengangkat bahu dan tersenyum. Febi mengandeng kedua tangan kami dan menarik kami ke meja bar untuk memesan minum. Bartendernya seorang pria berusia 40 tahunan berambut pink dan memakai singlet jaring-jaring hitam ketat.


Febi pesan koktail buat dia dan Mira, serta bir untukku. Aku berdiri memandang sekeliling ruangan, berusaha ga merhatiin bartender yang dari tadi masih melihat ke arahku.



Untungnya, isi ruangan itu sembilan puluh persen cewe. Aku ga masalah dengan orientasi seksual orang lain, tetapi kan serem juga kalau seruangan sama banyak cowo gay yang agresif.

Aku cowo normal. Kalau lihat dua cewe yang ciuman atau malah grepe-grepe satu sama lain aku juga nafsu. Tapi kalau dua cowo bermesraan.. eh.. mending jangan dibayangin lah. Tapi disini aku cuma ngikut Mira dan aku ga mau dia kapok sudah ngajak aku. Ini adalah kotanya, tempat nongkrongnya, aku akan menyesuaikan diri asal ga ada sesuatu yang aneh-aneh.

Kami menemukan meja yang masih kosong dan duduk disana.

"Mira," kata Febi, "Lo bilang dia ganteng, tapi wow!"

Aku merasakan wajah memerah. Masa sih Mira cerita ke temen-temennya kalau aku ganteng?

"Dan ya ampun, imut banget sih!" Febi menjerit karena melihat wajahku memerah. "Jadi pingin diremes terus dicaplok deh?" Mereka berdua ketawa.

Febi memaksaku untuk cerita tentang tempat asalku, sekolahku, cita-citaku, dan aku pelan-pelan sudah mulai nyaman ngobrol dengannya. Dia ceria dan rada konyol, tetapi kelihatan kalau dia orang yang tulus ke orang lain.

Kebalikan dari Mira yang tinggi dan langsing, Febi pendek dan tubuhnya terlihat berisi. Rambutnya diwarna pirang dan sepasang payudara yang besar dibungkus oleh baju yang sangat ketat sehingga kelihatan dadanya hampir melompat keluar. Yang lebih mengagetkan, belakangan aku tahu ternyata dia dan Mira pacaran.

Aku mulai rileks, menghabiskan sebotol bir dan merasa cukup pede untuk pesan satu botol lagi dari bar, bahkan mengobrol dengan bartender. Ini memang bukan pertama kali aku mengkonsumsi alkohol, tapi ga terlalu sering juga sebelumnya.

Saat aku kembali ke meja, gantian aku memaksa Febi untuk bercerita tentang dia. Mira tersenyum kepadaku di seberang meja, sepertinya senang karena aku bisa akrab dengan Febi.

Beberapa saat sebelum tengah malam, kami keluar dari klub dan pulang ke apartment Mira, Febi juga ikut bersama kami.

Sofa itu cukup besar untuk menampung kami bertiga. Aku duduk di satu ujung, Mira dan Febi meringkuk lain jauh dariku saling berpelukan. Mereka minum cukup banyak tadi dan sepertinya mabuk.

Aku menyandarkan kepalaku di bantal dan memperhatikan mereka. Lengan mereka melingkari bahu satu sama lain dan mata mereka saling memandang. Febi meletakkan tangannya di pipi Mira dan menarik wajahnya kearahnya.

Aku cuma bisa memandang saat mereka mulai berciuman dan lama kelamaan ciumannya semakin panas. Aku yang juga sedikit terpengaruh alkohol terpesona dengan adegan didepanku. Mulut mereka terbuka dan aku melihat lidah mereka saling membelit satu sama lain.

Tiba-tiba Mira berhenti lalu duduk, ingat aku masih ada di sana. Dia tampak bingung, sama sekali lupa tentang aku. Febi mengulurkan tangan ke wajahnya lagi, tetapi Mira menepisnya.

"Kita seharusnya ga godain Yohan yang malang, ntar dia kepingin lho" katanya

Febi berbalik untuk menatapku. Aku melihat ada kancing yang terlepas di blusnya dan gerakan mengeser badan membuat kainnya tertarik makin lebar. Putingnya terlihat samar-samar menembus bahan tipis bajunya yang sepertinya basah karena keringat.

"Kita bisa kasih live show buat dia," kata Febi.

"Ga ah," kata Mira, melirik ke arahku dan mengangkat bahu. "Maaf Yo, Febi tadi kebawa nafsu."

"Enak aja, Lu juga udah nafsu kan," kata Febi. "Pindah ke kamar aja yuk, Mir."

Mira menatapku lagi dan aku mengangguk, "Santai, Mir. Aku di sini aja tidur, aku sudah bilang ga mau menghalangi."

Seandainya ga mabuk, Mira pasti akan membujuk Febi untuk pulang, tetapi karena dia mabuk, dan terlanjur nafsu, jadi dia cuma mengangguk dan menarik tangan Febi ke kamar tidur.

Aku menunggu sebentar lalu bangkit untuk kencing, mematikan lampu, membuka kaso dan celana jinsku lalu berbaring di sofa hanya memakai celana pendek, menarik selimut menutupi badanku. Masih terbayang adegan panas yang baru saja kulihat tadi. Aku merasa penisku mulai mengeliat di dalam celana.

Aku tentu ga mau melakukan yang aneh-aneh karena aku sedang numpang di tempat sepupuku sendiri. Aku menghela nafas panjang untuk menangkan diri dan memilih untuk tidur. Aku hampir berhasil saat aku mendengar rintihan dari arah pintu kamar.

"Acchh... yaaa.. shhh.. lagi disitu.. Yesss..!"

Lalu kudengar suara keras, "Ssst!"

Terdengar gumaman, lalu sunyi selama lima menit. Tapi ga lama suara-suara kecil mulai terdengar keluar lagi. Derakan springbed, decak bibir saat berciuman, erangan yang lebih keras. Aku berguling dari satu sisi ke sisi yang lain dan menarik bantal menutupi telingaku mencoba memblokir suara masuk ke telinggaku.

Setelah beberapa lama semuanya jadi sunyi. Aku mulai tertidur lagi sampai cahaya menerpa mataku saat pintu kamar terbuka. Aku mengintip ke seberang saat Febi keluar telanjang dari dalam kamar, untuk sesaat tubuhnya terlihat jelas olehku.

Payudaranya sangat besar, setidaknya 36D, pinggulnya lebar dan bulu kemaluannya dicukur bersih. Dia berjingkat menuju ke kamar mandi dan masuk ke dalam. Aku mendengar dia buang air kecil dan kemudian menyiram toilet. Dia berjingkat-jingkat kembali dan aku melihat pantatnya yang bulat terkena sinar lampu saat dia kembali, dan mendengar dia berteriak, "Goodnight Yo," dan terkikik.

Aku baru bisa tidur setelah jam dua pagi, dan tidur sampai jam sembilan Sabtu pagi saat Febi keluar dari kamar dan meninggalkan apartemen Mira. Langit tampak cerah dan sinar matahari menyinari tirai jendela. Aku bangkit, hanya memakai celana pendek dan berjalan-jalan di ruang tamu kecil sambil melihat koleksi buku-buku tentang Seni dan tumpukan map yang berisi gambar-gambar hitam putih yang sepertinya dibuat oleh Mira. Mira membuat suara di kamarnya dan kemudian keluar sambil mengikat jubahnya.

"Pagi bro," katanya, "Bentar, aku pipis dulu." Dia berlari ke kamar mandi dan menutup pintu.

Aku terus menelusuri dan mulai mencari-cari di antara tumpukan Map. Aku memutuskan untuk memulai dari yang paling bawah karena aku berasumsi itu yang paling awal dibuat, jadi aku bisa lihat perkembangan Mira. Bahkan yang paling awal ini jauh lebih bagus dibanding apa yang sudah aku buat, dan aku mulai berpikir apa aku benar-benar punya bakat setidaknya seperti Mira. Aku selesai melihat halaman terakhir dan lalu menarik map lain yang terselip di bawah tumpukan kertas.

"Jangan!" Mira berkata dari belakangku, "itu koleksi pribadi."

Aku berhenti dengan tangan masih memegang map itu, "Maaf, aku ga bermaksud bongkar-bongkar."

"Ga apa-apa," katanya, "Cuma yang itu beda dari yang lain."

Kata-katanya malah bikin aku penasaran, dan sebelum Mira bisa mengambil map itu, aku membukanya.

"Wow," kataku.

"Sudah dibilang jangan!" Kata Mira.

Aku sedang melihat gambar seorang wanita muda, telanjang cuma memakai stoking putih, berbaring telentang di sofa. Tangannya menangkup bukit kemaluannya dan sebuah jari didorong masuk ke dalam vaginanya.

"Um, maaf, Mir," kataku, menutup map. "Aku ga ngira ..."

"Ah, sial, udah terlanjur ketahuan juga!" dia mengumam lalu melanjutkan. "Begitulah caraku membiayai kuliahku."

"Apa? Dengan jadi model-" Aku terkejut.

"Bukan gitu, bego!" dia berkata, "Dengan menggambar seperti itu. Aku dapat menghasilkan Rp 100.000,- untuk satu sketsa seperti itu, beberapa lebih mahal malahan. Aku pernah jual satu seharga Rp 500.000,-."

"Wow. Jadi, sudah berapa banyak gambar yang pernah kamu buat?" Kekagetanku sekarang berubah jadi kagum.

"Ratusan," katanya. "Aku menjual hasil gambarnya lewat internet."

"Emang ada yang beli?"

"Banyak orang yang menganggap gambar lukisan lebih erotis daripada foto. Yang jelas lebih erotis daripada pornografi," kata Miranda.

"Tapi.. tapi maksudku, ini juga pornografi, kan?"

"Ga juga. Atau seenggaknya, aku ga berpikir gitu. Gambar, lukisan, bahkan yang cuma sketsa, lebih misterius, mereka lebih bisa membuat orang berimajinasi."

Dia merebut map dari tanganku dan menutupnya. "kalau kamu ga masalah dengan itu, aku bisa tunjukin gambar yang lain. Tapi aku pikirin dulu, oke?"

"Oke," aku mengangguk.

"Ayo," katanya, "kita beli sarapan trus kita jalan-jalan keliling."

Saat kami berjalan mencari sarapan, aku tersadar sesuatu dan berkata, "Mir – Kenapa kamu butuh uang buat kuliah? Ayahmu orang kaya, kan?"

Mulutnya sedikit merengut dan dia berkata, "Aku ga mau apa pun dari keparat itu!"

"Mir?" Aku tahu dia ga akur sama ayahnya, tetapi kemarahannya ini cukup mengagetkan.

Dia menggelengkan kepalanya dan memaksa senyum. "Lupakan aja, Yo. Aku bisa hidup sendiri, aku ga butuh apa pun darinya."

Kami kembali ke apartemen menjelang sore, wajah kami merah padam karena kepanasan, dan Mira menyalakan AC dan membuat kopi.

"Laper ga?" dia bertanya.

Aku menggelengkan kepalaku, "Ga terlalu. Seharusnya sih laper tapi ga pingin makan. Kopi aja cukup."

Setelah bikin kopi, Mira duduk kembali di ujung sofa sambil menyeruput cangkirnya, menatapku. Aku masih terpesona oleh gambar erotisnya dan bertanya apa dia punya yang lain.

Dia mengangguk, "Ya, beberapa."

"Semua cewe?" Aku bertanya.

"Lebih baik gambar apa yang kita sudah hafal kan?" dia tertawa. "Aku ga punya banyak kenalan cowo."

"Tapi kamu kan bisa... cari di internet atau... membayangkan gitu?"

"Aku lebih suka menggambar langsung pakai model. Pernah sih gambar model cowo telanjang, di kampus juga ada mata kuliahnya, tetapi susah nyari model cowo, karena kalau mereka sampai ereksi, mereka bakal dipecat. Jadi ya, sejauh ini cuma cewe. Meskipun aku tahu lebih banyak pembeli yang nyari gambar cowo."

"Masa sih?"

"Oh banyak, pembeli yang gay lebih banyak malah dibanding yang normal. Dan harganya juga lebih mahal. Tapi aku senang dengan apa yang kupunya sekarang. Kecuali ..." dia berhenti dan memalingkan muka.

Aku minum kopiku sebentar, lalu berkata, "Tadi malam katanya kamu mau menggambar aku. Apa maksudnya gambar kayak gitu?"

"Mungkin aku cuma kebawa suasana, karena kamu disini, terus aku ngeliat bentuk badanmu pas kamu mandi kemarin.."

"Kirain serius" kataku.

"Yah ... kalau kamu bersedia sih, aku mau aja. Tapi kamu nyaman ga? Kamu tahu kan maksudku? Kamu nanti harus telanjang terus berpose didepanku?"

Aku mengangkat bahu, "Aku ga tahu... dan ga akan tahu kalau belum dicoba kan? Itu juga kalau kamu serius."


"Oke kalau kamu yakin" Dia menatapku dari atas cangkirnya.

"Terus aku harus...?" Aku merentangkan tangan aku.

"Kamu bisa buka baju di kamar mandi terus keluar ke sini, pakai handuk dulu juga boleh. Nanti aku arahin posenya. Tapi Yo, asal kamu beneran yakin aja sih tentang ini. Aku ga mau maksa. "

Aku mengangkat bahu lagi, "Itung-itung ini sebagai pengganti ongkos sewa selama aku numpang disini." Aku bangkit dan pergi ke kamar mandi sebelum salah satu dari kami berubah pikiran. Aku melepas kausku, melepas celana jinsku dan kemudian setelah ragu-ragu sebentar lepas celana dalam. Aku menunduk dan menghela nafas lega bahwa burungku masih tenang-tenang dibawah sana. Bakal malu banget kalau belum apa-apa sudah ngaceng duluan. Ya semoga dia bisa jinak sampai selesai nanti.

Aku melilitkan salah satu handuk putih besar di pinggangku lalu keluar.

Mira sudah memindahkan tripod dan kamera lebih dekat ke sofa, dan menumpuk semua bantal di salah satu ujungnya.

Dia menatapku dan tersenyum, "Aku cuma lihat sekilas kemarin, tapi aku ga salah. Badanmu benar-benar keren, Yo. Aku ga ingat kau punya otot seperti ini sebelumnya."

"Mungkin karena beberapa bulan ini aku kerja di kontraktor, jadi kuli bangunan" kataku.

"Bisa jadi," kata Mira, "Tapi ini bagus malahan. Ototmu kelihatan alami dan gedenya ga berlebihan. "

Aku mengangkat bahu, malu atas pujian itu. "Aku mesti pose gimana nih?" Aku bertanya.

"Oke," Mira berbicara dengan nada datar, mungkin dia mencoba membuat ini terkesan normal agar aku lebih nyaman. "Lepaskan handuk dan duduk di bantal."

Aku menarik handuk dan menjatuhkannya, memperhatikan bahwa mata Mira sempat melirik kebawah dan kemudian kembali ke wajahku dengan cepat. Aku duduk menyamping setengah berbaring di sofa dan bergeser sedikit ke belakang, "Seperti ini?"

"Sedikit lebih rendah. Aku mau satu kakimu selonjor ke depan... ya, seperti itu. Sekarang, yang satunya nempel di sandaran belakang sofa jadi kakimu terpisah ... sedikit lagi, ya, seperti itu." Dia mengamati aku, matanya lebih fokus sekarang, memindai dari wajah ke kakiku lalu kembali.

"Letakkan tangan kananmu di belakang sofa ... ya, bagus ... Dan lengan satunya diatas pahamu ... bukan gitu, telapak tangannya rata, sedikit lagi... sedikit lagi ... bagus. "

Dia berdiri sejenak mengamati aku, lalu berlutut dan menyetel kamera. Saat dia berdiri lagi, dia memegang remote control kamera dan menekan dua kali.

"Buat jaga-jaga kalau aku bikin salah pas ngegambar, jadi aku foto. Kalau kamu pegel dan butuh break gerak-gerak aja, nanti bisa lihat pose sebelumnya dari hasil foto juga.”

"Emang butuh berapa lama ini?" Aku bertanya.

"Biasanya cuma sekitar sejam. Aku masih akan tambah-tambahin lagi setelah itu, tetapi buat sketsa awal ga akan terlalu lama. Sekarang, santai saja."

Mira mengambil buku sketsa lalu duduk bersila di lantai. Dia melihat ke arahku, menarik garis di bukunya, melihat ke atas lagi berulang-ulang.

Setelah sepuluh menit dia makin tenggelam dalam pekerjaannya, matanya terus-menerus melesat ke arahku dan kemudian kembali ke bawah.

Kira-kira lima belas menit kemudian aku mulai ga fokus. Aku mulai membayangkan betapa senangnya kalau aku diterima di kampus ini. Aku bisa ketemu Mira tiap hari, bisa ngeliatin wajahnya yang cantik, kulitnya yang mulus, pinggangnya yang ramping, dadanya yang bulat. Lalu tanpa sadar aku mulai melirik ke arah Mira. Kali ini dia ga sadar aku menatapnya. Dia masih duduk dengan kaki bersila, pahanya yang ramping terbungkus celana jins biru. Dia memakai kaus berleher lebar yang sedikit turun saat dia menunduk, aku bisa melihat belahan dadanya yang dalam dan tali bra putih di bahunya.

Saat itulah aku sadar penisku mulai mengeliat dan membesar.

Mira terus menggambar untuk sementara waktu, lalu saat dia melihat ke atas lagi, pensilnya berhenti bergerak dan dia cuma diam menatap penisku.

Shit.



Bersambung... Chapter.03
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd