Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT Sketsa

CHAPTER.03

TIMBAL BALIK



Mira terus menggambar untuk sementara waktu, lalu saat dia melihat ke atas lagi, pensilnya berhenti bergerak dan dia cuma diam menatap penisku.

Shit.

Aku melihat Mira hanya menatapku, masih belum menggambar, lalu aku melirik ke bawah untuk melihat kemaluanku mulai bergerak tanpa bisa kukendalikan.

"Maaf," kataku.

Mira mendongak padaku, dan pipinya tampak bersemu merah "Gapapa."

"Kau harus memecatku," kataku dan tertawa malu. "Kamu bilang gitu kan kalau modelnya ereksi."

Dia tertawa lembut, lalu berkata, "Yo, boleh ga aku gambar kamu kayak gini?" Dan kemudian, "Masih bisa lebih besar?"

Aku melihat ke bawah. "Ehm, masih."

"Wow," katanya. "Aku belum pernah lihat penis yang lagi ereksi sedekat ini..." dia menatap, mencari kata-kata. "Indah."

Aku sadar aku jadi makin terangsang mendengar Mira memuji penisku, dan penisku terayun ke atas dan sekarang bersandar di perutku, kepala jamur hampir mencapai pusarku.

"Maaf," kataku, "Sebaiknya aku pakai baju lagi," dan aku mulai duduk.

"Jangan," Mira mengangkat tangannya, "Jangan berani-berani. Aku pingin gambar kamu, kayak gini..." Dia berhenti tiba-tiba dan menatap wajahku. "Boleh ga, Yo? Boleh ga aku gambar kamu kayak gini?"

"Aku.. ga tahu, Mir, rasanya agak ... aneh,?"

"Yo, ga ada yang salah atau aneh saat orang terangsang. Ga ada sama sekali."

"Tapi aku terangsang gini, di depanmu, sepupuku sendiri?"

"Aku ga keberatan, Yo, beneran. Itu kalau kamu juga ga masalah."

Aku ga tahu harus bilang apa. Aku merasa ini salah telanjang didepan sepupuku sendiri, tapi juga sangat menggairahkan ereksi di depan Mira, gadis yang sering mengisi khayalanku.

Mira menatapku lagi. Dia merobek halaman yang sudah dia kerjakan dan mulai membuat sketsa di halaman baru dengan cepat.

"Bisa tahan berapa lama, Yo?"

"Ga tahu," kataku. "Mungkin beberapa menit, mungkin satu jam. Tergantung."

"Tergantung?" dia berkata.

"Ya... tergantung seberapa terangsang aku."

"Sekarang kamu masih terangsang?" katanya, masih menggambar.

"Ya, rasanya sih masih. Maaf Mira, tapi aku merasa bersalah terangsang di depanmu ..."

"Ini salahku," kata Mira. "Seharusnya aku ga biarin Febi nyium aku di depanmu semalam. Aku ga tahu itu bikin kamu jadi gini, tapi aku rasanya tetap mau ngelanjutin ini. Aku yang harus minta maaf."

"Ya, mungkin karena itu," kataku, berharap dia akan percaya aku dan ga sadar kalau sebenarnya dia yang bikin aku terangsang.

Mira tertawa sambil terus menggambar. "Aku dengar itu salah satu fantasi cowok, ngeliat dua cewek bermesraan?"

Aku mengangguk. "Aku juga dengar," kataku, lalu, "Mir, kapan kamu pertama kali tahu kalau kamu suka sesama jenis?" Itu adalah pertanyaan yang sudah ingin aku tanyakan padanya sejak tau dia lesbian, tapi ga pernah ada kesempatan sebelumnya.

Dia menatapku, menatap penisku. "Kapan kamu pertama kali tahu kalau kamu cowo normal?"

"Itu beda kasus lah."

"Sama aja lah. Mungkin pertanyaan yang benar adalah: Kapan kamu pertama kali tahu kamu suka cewe? Kayaknya sudah pasti kamu suka cewe kan ya." Dia tersenyum dan melirik pada kemaluanku.

"Saat aku ... sekitar dua belas tahun, kayaknya. Saat aku mulai ngeliat cewe bukan lagi sebagai sesuatu yang mengganggu, mulai ngeliat cewe sebagai sesuatu yang beda..."

Mira mengangguk, masih membuat sketsa, tangannya bergerak cepat. "Sama juga buat aku. Bedanya dalam kasusku, itu bukan cowo, tetapi cewe lain."

"Ribet ga sih?" Aku bertanya. "Maksudku, kamu kan bakal berbagi kamar mandi di tempat umum, kamu nongkrong sama cewe, pasti ribet kan?"

"Banget. Kamu ga akan percaya susahnya nahan perasaan. Kamu ingat semua surat yang dulu kukirim ke kamu?"

Aku mengangguk.

"Itu buat cewe-cewe yang aku taksir."

"Terus mereka bilang apa pas nerima suratmu?" Aku bertanya.

Mira tertawa. "Aku ga pernah mengirim satupun. Itu semua cuma cinta tak berbalas - atau nafsu tak berbalas."

"Jadi, kapan kamu..."

"Kapan aku apa?" Dia menatapku, senyum bermain di bibirnya.

"Kamu tahu maksudku," kataku.

"Ga pernah, sampai aku datang ke sini," katanya. "Suasananya beda, Jakarta beda, segala hal ada disini dan aku ga merasa aneh lagi, ga merasa sendiri, aku jadi sedikit.. liar."

"Oh ya? Liar gimana?"

Mira tertawa. "Kamu pasti pingin tahu tentang hubungan sesama cewe, kan? Kayaknya ceritaku bisa bikin kamu makin penasaran. Aku simpan dulu sampai kalau aku mabuk banget, baru aku bakal cerita."

Mira menyelesaikan sketsanya dan merobek halamannya, bikin lagi yang baru.

"Yo ... mau ga kamu, eh... mau ga kamu megang penismu?"

"Apa?"

"Coba kamu pegang penismu, seperti kalo pas lagi masturbasi? Aku mau gambar kamu seperti itu. Gapapa kan?"

Aku merasa setengah terpesona sekarang, dan mulai menggengam batang kemaluanku. Mira membuat sketsa, lalu mengambil kamera, mengambil foto beberapa kali dengan cepat.

"Coba gerakin sedikit ke atas dan ke bawah, aku mau lihat seperti apa itu."

Aku mulai mengosok penisku perlahan dari pangkal ke kepala. Kamera bersuara setiap kali Mira memotret.

Aku melirik ke bawah dan melihat cairan pelumas mulai keluar dari lubang kencingku dan menetes ke perutku.

Mira terkesiap. "Ya ampun, Yo, apa kamu baru ejakulasi?"

Meskipun aku sedang terangsang, aku tertawa. "Bukan, Mir, itu bukan ejakulasi."

"Oh. Kupikir, kamu tadi ..."

Aku ingat dia belum pernah melihat laki-laki ejakulasi, dan ga akan bisa bedain.

"Warnanya beda kalau itu sperma, "kataku," Warnanya putih, lebih banyak, lengket, dan akan muncrat lebih jauh dari itu."

"Oh," kata Mira lembut.

Aku memutuskan untuk melanjutkan. Aku pura-pura itu demi Mira, supaya dia kenal tubuh pria, tetapi sebenarnya karena ngobrol dengannya dalam keadaan seperti ini bikin gairah birahiku makin meningkat.

"Itu yang disebut pelumas. Bening, dan akan keluar saat aku terangsang. Bakal terus begitu sampai aku benar-benar ejakulasi."

Mira mengangguk, masih mengawasi, dan aku sadar aku masih menggocok penisku sendiri dan berhenti. "Eh, apa sudah cukup?" Aku bilang.

Dia mulai menatapku lagi. Aku bisa melihat leher dan dadanya bersemu merah. "Kamu boleh lanjutin kalau mau."

"Seharusnya aku berhenti dari tadi," kataku, mulai duduk. "Ini ga benar, Mir."

"Yo, aku minta maaf. Aku yang salah. Bikin kamu seperti ini. Aku benar-benar minta maaf ... tapi bukannya kamu harus sampai ejakulasi?"

Aku menggelengkan kepalaku, "Aku gapapa, Mir, beneran."

"Kamu bisa ke kamar mandi dan.. lanjutin di sana kalau mau."

Aku tersenyum. "Itu akan aneh juga, Mir. Sama aja, ga ada bedanya, toh kamu di sini tahu aku lagi ngapain didalam sana."

"Oh," katanya, "Aku ga mikir sampai kesana... Ya udah kamu boleh lanjutin dimana aja.. tapi sebenarnya kalau boleh, aku mau lihat. Aku belum pernah lihat cowok ejakulasi. Aku bisa ambil beberapa foto, bikin beberapa sketsa ... "dia terdiam, mungkin sadar dia terlalu banyak bicara.

"Rasanya itu bakal lebih salah," kataku, tetapi walaupun mulutku bilang begitu, tanganku sudah bergerak lagi meremas lembut penisku dan mulai bergerak naik turun.

"Sudah kubilang, Yo, ga ada yang salah. Kalau kamu menikmati, dan ga ada yang keberatan, maka ga ada yang salah. Apa kamu mau ejakulasi di depanku?" dia menambahkan dengan suara pelan.

Aku melanjutkan kocokanku, dan aku melihat Mira menatap penisku. "Apa kamu beneran pingin lihat?" Aku berbisik.

Dia mengangguk. Cuma itu yang perlu aku tahu.

Aku terus mengosok sambil bersandar merosot di sofa, meresapi rasa mengelitik yang mulai muncul di sepanjang batang kemaluanku.

Mira bersimpuh dan mengangkat kamera, memotret beberapa kali lagi.

"Sudah lumayan lama, Yo," kata Mira. "Apa memang selalu lama?"

Aku tertawa pelan.

"Ya ampun, itu benar-benar..." dia menggelengkan kepalanya "Seksi?" lanjutnya. Setelah beberapa saat dia berkata, "Tapi aku mau lihat kamu ejakulasi, Yo. Pikirin sesuatu yang seksi. Ingat yang dilakuin Febi sama aku tadi malam. Itu harusnya bikin cowo terangsang kan?"

"Iya," kataku.

"Kau pingin tahu apa yang dia lakukan di kamar ke aku?"

Aku menggelengkan kepala. Pingin sih, banget, tetapi rasanya akan melanggar privasi mereka. Sebaliknya aku mempercepat kocokanku, agar bisa orgasme, tapi ada sesuatu yang membuatku untuk ga pingin cepat-cepat orgasme; situasi, Mira yang makin mendekat untuk mengamati lebih jelas apa yang kulakukan. Tiga menit berlalu dan Mira meletakkan kamera di sampingnya dan lalu dengan perlahan melepas kausnya, memperlihatkan payudaranya yang sempurna terkurung di dalam bra renda semi-transparan. Aku bisa melihat dengan jelas putingnya yang menonjol berwarna merah muda.

"Apa ini bisa membantu?" katanya lembut.

Aku menatap dengan kagum. Kulitnya putih susu dan halus. Bulatan payudaranya yang naik turun saat dia bernafas, mendorong kuat cup branya.

Mira mengangkat tangan kirinya dan menangkupnya di bawah payudara kanannya, membelai perlahan-lahan ke atas dan kemudian menyelipkan jari-jarinya ke dalam cup bra, menyentuh putingnya.

“Sudah cukup,” kataku, pemandangan itu bikin aku ga bisa menahan lebih lama orgasmeku.

"Sekarang?" Mira bertanya dengan lembut.

Aku mengangguk dan mendengus. "Sekarang...uuhh"

Aku mendongakkan kepalaku ke belakang ketika semburan pertama keluar dari penisku, menyembur jauh keatas sampai melewati bahuku lalu semburan berikutnya susul menyusul terasa hangat membasahi dada dan perutku.

Selama itu aku hanya setengah mendengar suara klik-klik saat Mira dengan cepat menekan tombol kamera.

Setelah beberapa saat aku bisa merasakan tubuhku yang mengejang mulai reda, dan aku menghentikan kocokanku.

"WOW!" dia berkata. "Yo, itu luar biasa. Apa semburannya selalu sekuat itu?"

Aku mengangguk lemah, "Selalu."

Aku mulai merasa bersalah lagi, menyadari apa yang baru terjadi. Memaki diriku sendiri. Kalau sampai ini mengacaukan hubunganku dengan Mira, aku akan menyesal seumur hidupku.

Aku merasakan air mani mulai mengalir di sisi perutku dan berkata dengan cepat, "Mir, handuknya."

Mira sadar dari lamunannya dan melemparkan handuk padaku. Aku mengusapkannya di atas tubuhku dan mulai beranjak ke kamar mandi

"Rasanya aku harus mandi," kataku.

"Ide bagus," kata Mira. Aku ga bisa menebak apa yang dirasakan Mira dari getaran dalam suaranya, aku takut aku sudah melewati batas.

Ketika aku berjalan ke kamar mandi aku dengar suara klik saat Mira mengambil lebih banyak foto. Aku melirik ke belakang.

"Maaf," dia tersenyum, "Pantatmu terlihat sangat seksi saat kamu berjalan ke sana, aku ga bisa nahan diri."

"Tapi kamu kan ga suka cowok," kataku.

"Sesuatu yang indah selalu bisa dikagumi, Yo. Dan pantatmu termasuk sesuatu yang indah."

"Gombal," aku tertawa.

"Lapar?" Mira bertanya, dan aku baru sadar aku kelaparan

Aku mengangguk.

"Aku pesan chinese food gapapa kan?"

"Boleh," kataku, dan menutup pintu kamar mandi di belakangku.

Aku keramas dan menyabuni diriku sendiri, aku berdiri dibawah shower selama seperempat jam, membiarkan air mengalir di atas kepalaku, berharap itu bisa menghilangkan beberapa perasaan yang tertinggal di dada. Rasa bersalah, senang, takut, tapi sebagian besar rasa bersalah.

Aku dengar ketukan di pintu apartment dari kurir makanan. Aku tetap bertahan beberapa menit di kamar mandi, mengunting kuku, cukur jenggot, buka tutup keran wastafel, sampai akhirnya aku ga bisa sembunyi di kamar mandi lebih lama lagi, jadi aku keluar dan berpakaian lalu melangkah ke ruang tamu.

Kalau Mira punya perasaan yang sama seperti yang aku rasakan, dia sama sekali ga menunjukannya. Dia duduk di meja kecil, Laptop menyala, sambil makan dari kotak dengan sumpit.

“Sini," katanya, "Aku cuma mindahin foto-foto." Dia menepuk-nepuk udara di sampingnya. "Tarik kursi dan lihat."

Aku menyeret kursi dapur dan duduk di sebelahnya sambil makan, bersandar ke belakang.

Satu per satu foto muncul di layar sebagai gambar kecil. Mereka memenuhi layar sampai ke bawah. Kelihatannya ada sekitar seratus atau lebih dan aku bisa melihat bahwa mayoritas adalah foto saat aku orgasme. Aku belum bisa melihat dengan detail, tetapi hanya gambar kecil yang bergulir membuat perutku mual. Apa yang sudah kulakukan tadi?

Akhirnya semua foto selesai dipindahkan, dan Mira mengklik dua kali pada fotoku yang pertama. Itu menunjukkan aku pada awalnya, penis lembek dan menempel di pahaku.

Aku berbalik dan kembali ke ruang tamu ke tempat Mira meninggalkan sketsa-sketsa yang dibuatnya tadi, mengambilnya dan kembali ke kursi. Aku membandingkan foto di layar laptop dengan hasil gambar Mira.

"Gambarmu jauh lebih bagus," kataku, menunjukkannya padanya.

Dia meliriknya, kembali ke monitor. "Iyalah," katanya, ga ada nada bangga atau sombong di suaranya. "Aku sudah bilang kan tadi pagi. Sebuah gambar selalu lebih dari sekadar foto. Sebuah gambar menangkap bentuk asli, jiwa seseorang."

Dia membuka laci di meja dan mengeluarkan selembar kertas kalkir tipis.

"Gini caranya," katanya, meletakkan kertas di atas monitor dan dengan cepat membuat garis sesuai garis luar objek yang terlihat di layar. "Lalu aku pindahin ini ke kanvas dan menyelesaikan detailnya."

Dia menurunkan kertas kalkir dan mengeser ke foto-foto lain. Aku melihat foto Mira yang aku ambil saat mencoba kamera kemarin, "Coba lihat yang itu."

Dia mengklik dua kali dan fotonya muncul. Aku mengamatinya. Mira tampak mempesona, cantik alami. Rasanya aku sudah memotretnya dengan baik, tetapi Mira berkata, "Aku ga pernah mengira seperti itu penampilanku kalau di foto," dan melanjutkan. Aku mencoba untuk mengambil potongan ayam dari karton dengan sumpit dan selalu gagal.

"Ada garpu di dapur, Yo," kata Mira.

Aku bangkit dan mengambil garpu, lalu kembali.

Mira sudah sampai ke bagian aku mulai ereksi. Dia berhenti pada beberapa gambar, mengamatinya sejenak dan menghapus semua yang ga memenuhi standarnya, dan kemudian sampai di bagian pada waktu aku ejakulasi.

Ada sekitar lima puluh foto yang diambil dengan buru-buru. Beberapa blur dan harus dihapus. Pada akhirnya tersisa beberapa gambar yang memenuhi standar Mira. Dia membuka satu foto yang menunjukkan dada dan perutku yang belepotan sperma.

"Aku mau gambar yang ini, Yo. Boleh kan?"

"Kenapa?"

"Pingin aja. Dan ada alasan lain, tapi aku kasih taunya lain kali aja. Gapapa kan?"

Aku mengangkat bahu. Sudah terlambat untuk keberatan sekarang. "Gapapa sih."

Dia bangkit berdiri dan menunduk untuk mencium pipiku. "Terima kasih. Kayaknya aku harus mandi juga. Tinggalin aja karton makanannya, nanti aku beresin setelah mandi.”

Aku menghela nafas dan melanjutkan lagi makanku, lalu meraih laptop dan membuka lagi foto Mira yang kemarin kupotret. Aku mengambil selembar kertas kalkir dan meletakkannya di atas monitor, meniru cara yang dicontohkan Mira tadi, walaupun butuh waktu yang lebih lama.

Aku mengambil buku sketsaku dan memindahkan gambar ke sana, membuat garis-garis tipis dengan pensil. Aku menarik kursi agar bisa mengambar diatas meja, mengeluarkan pensil 4b dan mulai membuat garis yang lebih tebal, lalu detail wajahnya. Aku begitu asik dengan gambarku sehingga aku ga mendengar pintu kamar mandi terbuka dan baru sadar saat Mira duduk di sebelahku dan membungkuk untuk melihat apa yang aku lakukan.

Tiba-tiba aku merasakan dadanya yang cuma tertutup jubah tidurnya menekan lenganku. Dia ga pakai dalaman lagi setelah mandi, dan sekarang cuma memakai jubah tidur satin yang tipis.

"Itu bagus, Yo." Dia mengulurkan tangannya, "Boleh aku lihat?"

Aku menyerahkan buku gambar kepadanya.

Dia memegangnya di pangkuannya, mempelajarinya selama beberapa menit, lalu berkata, "Boleh aku tambahin?" sambil membuka telapak tangannya.

Aku memberinya pensil.

"Ini beneran bagus, tetapi kamu perlu nambahin lebih banyak bayangan. Cahaya dan bayangan, itu yang bikin beda. Nih," dia mencondongkan badan kedepan mendekatkan gambarku ke monitor dan pandanganku tertuju ke kaki panjangnya yang mulus, terbuka karena jubah tidurnya tersingkap dan memamerkan pahanya.

"Lihat, ada bayangan di sini dan di sini yang kamu lewatin." Dia mengambil pensil yang lebih lembut dan menggambar garis tebal lalu merentangkannya dengan jarinya, gerakan cepat yang pasti, menambahkan garis tegas pada tulang pipi. "Banyak yang bilang tulang pipiku bagus. Sekarang kamu bisa lihat di gambarmu."

Aku membungkuk dan melihat. Dia langsung membuat gambar itu tampak sepuluh kali lebih bagus.

Dia mengembalikan kertas itu kepadaku. "Sekarang kamu coba lagi."

Aku melihat layar, pada gambar aku, dan kemudian mencoba meniru apa yang dia lakukan, kali ini di sepanjang sisi hidungnya. Setelah selesai, aku bisa bilang kalau itu bikin gambarku lebih bagus, walaupun ga sebagus yang dibuat Mira.

"Karena itu kamu kesini, Yo, jadi kamu bisa belajar semua teknik gambar disini. Tapi ini.." dia menunjuk gambarku, "Ini lebih bagus dari apa pun yang pernah kubuat sebelum aku datang ke sini."

"Thanks, Mir."

Dia bangkit dan merapikan karton makanan kosong, lalu mengambilkan minum untukku.

"Mira, aku minta maaf... soal yang tadi," kataku.

"Kenapa yang tadi?"

"Aku merasa bersalah karena ngelakuin itu di depanmu. Aku ga mau kamu merasa ..." Aku terdiam.

Mira meletakkan tangannya di punggung tanganku. "Yo. Aku yang minta kamu untuk ngelakuin itu. Kamu sama sekali ga salah. Aku malah senang punya kesempatan ngeliat kamu ngelakuin itu. Semua orang pernah masturbasi kan?.”

"Tapi aku terbawa suasana," kataku.

"Bagus. Aku malah senang kalau kamu terbawa suasana, karena aku belum pernah ngeliat itu, dan aku penasaran, dan itu bikin aku merasa sekarang kita jadi lebih dekat dibanding sebelumnya, lagian kalau bukan kamu yang nunjukkin ke aku, terus siapa lagi? " Dia tersenyum padaku dan aku merasa jantung aku berdetak kencang.

"Apa kamu yakin, Mir?"

"Yakin. Dan seandainya nanti kamu berpose untukku lagi, terus terangsang, aku berharap kamu bisa ngelakuin lagi kayak tadi."

Aku meniup pipiku dan menggelengkan kepalaku. "Wow..."

"Dan sekarang..," katanya, bangkit. Dia berjalan ke sofa dan aku melihat tangannya bergerak ke depan pinggangnya dan tiba-tiba jubah satinnya sudah merosot dari bahunya dan jatuh di kakinya. Dia maju satu langkah lagi, pantatnya yang bulat sempurna bergerak lentur seirama langkahnya yang santai. Kakinya yang panjang tampak mulus dan bersih.

Dia kembali menatapku. "Kamu mau gambar aku sekarang?"

Aku cuma bisa menelan ludah dan kehilangan kata-kata.

Dia berbalik ke arahku dan untuk pertama kalinya aku melihat keindahan payudaranya yang telanjang. Mereka kelihatan padat, melengkung ke atas dari perutnya yang rata ke ujung-ujung putingnya yang meruncing kedepan, lalu menekuk lagi keatas ke dadanya. Mataku memandang turun ke perutnya yang ramping, pusar, tulang pinggulnya, ke persimpangan pahanya di mana vagina yang dicukur bersih bersarang.

"Wow," kataku. "Apa semua lesbian mencukur bersih bulu kemaluannya?"

"Semua lesbian?" katanya, mengerutkan kening, dan kemudian tertawa terbahak-bahak, membuat payudaranya bergoncang. "Febi bilang semalam dia sengaja telanjang didepanmu."

"Yah ...," kataku gugup.

"Ga, ga semua sih. Tapi aku dan Febi mencukurnya."

"Apa itu... apa itu... kenapa?"

Dia tertawa lagi. "Karena bagus aja. Itu bikin aku merasa seksi, bersih, dan itu bikin lebih sensitif. Oke? Kamu mau melongo seharian atau mau gambar aku?"

Aku berdiri dan meraih buku sketsaku. "Kamu mau kayak..."

"Terserah kamu," katanya. "Aku kan modelnya, kamu pelukisnya. Kamu harus anggap aku ini objek, yang mau dibentuk jadi karya seni. Pikirin apa yang mau kamu gambar, dan arahin aku seperti yang kamu mau." Dia berdiri menunggu, kaki sedikit terbuka, punggung lurus, tangan bertumpu di pinggangnya.

Aku mengambil napas dalam-dalam dan berjalan mendekatinya, menatap, berjalan, memandangi semua bagian tubuhnya yang indah. Aku harus bisa secepatnya menemukan satu hal yang mau aku gambar sebelum jantungku yang berdegup kencang melompat dari dadaku. Tetapi aku belum tahu gimana caranya.

Aku mencari kursi dan kuletakkan di depannya. "Duduk di situ," kataku. Dia melakukanya.

"Condongkan badan sedikit ke depan, tangan di atas lututmu, ya, seperti itu." Aku mengamatinya sejenak ketika dia memperhatikanku, tersenyum. "Luruskan punggungmu. Sekarang condongkan badan sedikit ke depan, seolah-olah kamu sedang lihat sesuatu di sini. Ya, begitu."

Dia tidak bergerak lagi, melirik ke arahku. Aku mengangguk.

Aku mengambil kursi lain dan duduk dua meter didepannya, mengamati sosoknya yang ada di depanku, dan mulai membuat sketsa. Aku bekerja pelan-pelan, dan hasilnya ga terlalu bagus, tetapi Mira tetap sabar. Aku lihat dia beberapa kali memindahkan posisi duduknya supaya ga kaku lalu balik ke pose awal, tetapi saat itu aku sudah ada di duniaku sendiri memindahkan apa yang ada direkam oleh mata ke kertas gambar melalui tanganku.

Akhirnya aku menegakkan tubuh dan meluruskan punggung yang pegal.

"Boleh aku lihat?" Mira bertanya, bangkit dan menepuk-nepuk pantatnya yang sepertinya pegal karena duduk terlalu lama. Payudaranya memantul ke atas dan ke bawah dan tiba-tiba aku ngeliat dia sebagai seorang wanita lagi. Dia melangkah kearahku dan mengambil sketsaku, berdiri di depanku saat dia mempelajarinya dan aku cuma bisa menatap vagina telanjangnya yang hanya berjarak beberapa centi di depanku.

Setelah satu menit, Mira mundur dan kembali ke sofa, masih mempelajari sketsa itu. Aku mengambil jubahnya dan menjatuhkannya di pangkuannya, sekedar menutupi vaginanya dari pandangan. Supaya aku lebih mudah menahan diri, tetapi payudara sialan itu masih kelihatan jelas.

"Bagus ga?" Aku bertanya.

"Bagus," katanya. "Sangat bagus. Kamu berbakat, Yo." Dia mengembalikan sketsa itu dan bersandar di bantal. “Ambilin minum dong, Yo, badanku masih kaku." Dia mengeliat sebentar, merentangkan kakinya jauh kedepan dan merentangkan tangan keatas kepalanya, gerakan itu membuat jubahnya jatuh ke lantai.

Aku bangkit dan mengambil segelas air, lalu kuberikan padanya.

"Makasih." Dia meneguk airnya dan aku melihat bahunya langsung relaks. "Ahhh" Dia mengambil dua tegukan lagi dan mengembalikan gelasnya.

"Mau aku ambilin jubahmu, Mir?"

Dia menunduk, seakan-akan baru sadar kalau masih telanjang, lalu menyeringai, "Ga usah, lebih enak gini. Gapapa kan, Yo? Kamu merasa terganggu ya kalau aku gini? "

"Oh ga, ga kok Mir, sama sekali ga terganggu."

Dia tertawa dan menggeliat lagi. "Ok kalau gitu – aku pasti bikin kamu terganggu, tapi beneran kamu mau aku pakai baju? Karena menurutku aku masih punya utang ke kamu," katanya.

"Oh ya?"

"Aku kan sudah lihat kamu masturbasi. Gimana kalau aku melakukan hal yang sama buatmu?"

Mulutku ternganga. "Mir?"

Dia tertawa. "Ekspresimu, Yo! Ya ampun. Harusnya emang gitu, kan?"

Aku mencoba menarik napas, menggelengkan kepala, tapi lalu cuma mengangguk saat tahu ini bukan khayalan.

"Mmm, bagus," katanya. "Aku merasa seksi dan terangsang, aku bisa tuntasin sendiri di kamar, tapi kamu sudah mau masturbasi di depanku, jadi aku juga harus mau ngelakuin itu di depanmu." Dia memindahkan posisi duduknya lebih ke tengah. "Duduk di sana, di atas beanbag. Aku ga mau kamu terlalu dekat."

Aku melihat sekeliling dan menemukan beanbag biru tua menempel di dinding dekat meja. Aku bangkit dan berjalan, lalu duduk di sana.

Mira meluruskan kakinya ke bawah. Dia mengangkat satu tangan ke payudaranya dan melihat ke bawah saat dia mengusap puting payudaranya dengan ujung jari. Putingnya mencuat dan mengeras seketika. Dia menjepitnya di antara telunjuk dan jempol lalu memutarnya perlahan membuatnya makin menonjol. Dia meletakkan tangannya di bawah payudaranya dan mulai memijatnya.

Tangannya yang lain mulai meluncur ke bawah perutnya, berhenti sebentar di bawah pusar lalu berlanjut kebawah. Dia menangkup bukit kemaluannya dengan telapak tangan dan mendesah panjang.

“Achh..”

Aku bisa melihat matanya jadi sayu dan bibirnya tersenyum.

Dia mengangkat telapak tangannya dan meletakkan dua jari di kedua sisi bibir vaginanya yang membukit lalu membelai dirinya sendiri dari paha ke klitoris, lalu menambahkan jari ketiga ke celah diantara pahanya. Dia menekan dengan jari tengah melewati bibir vaginanya dan aku bisa lihat vaginanya sudah sangat basah.

Tangannya yang lain membelai payudaranya, menarik-narik puting susu, membelai perut lalu kembali ke payudara dan lehernya.

Dia mengangkat tangan dari kemaluannya dan mengarahkannya ke mulut, memasukkan tiga jari ke dalam mulutnya, membasahi mereka dengan air liur, lalu kembali ke bawah, menusuk lebih dalam ke vaginanya. Aku bisa mencium aroma khas vagina wanita dari seberang ruangan.


Putingnya sekarang sangat keras dan berdiri tegak. Aku bisa lihat klitorisnya yang besar muncul melalui bibir kemaluannya dan berdiri tegak menunggu dijamah. Dia mulai menggerakkan jarinya dengan serius, memasukkan dua jari ke dalam, jempolnya menggosok klitorisnya.

Rona merah telah muncul di dada dan lehernya. Nafasnya mulai berat dan pendek.

"Mira," kataku, "Ceritain seperti apa rasanya."

"Ohhh nikmat banget, Yo. Hangat, basah dan tiap kali jariku bergerak rasanya geli tapi nikmat” dia berhenti, terengah-engah, "Rasanya kayak mau kencing tapi bukan dan ... "Dia membuka matanya tiba-tiba dan menatap ke arahku. "Dan Yo, ngobrol sama kamu, nyeritain rasanya, bikin ini makin menggairahkan," bisiknya, kagum dengan perasaan yang baru ditemuinya.

"Apa sudah hampir, Mir?"

"Hampir," gumamnya, "Ohh, bentar lagi ..."

Jari-jarinya mulai dipercepat. "Ahh..Enak," katanya, "Dikit lagi... terasa ... uhhnn ... terasa ... Auuhhhhhggg!" Dia berteriak kencang dan mendorong tiga jarinya kedalam, pinggulnya terangkat keatas. Otot-otot di perut rampingnya tegang dan badannya mengejang, berkelojotan, matanya terpejam erat. Dadanya naik turun seirama nafasnya yang cepat.

Perlahan-lahan orgasmenya mereda, tanggannya terkulai diatas badannya lalu Mira membuka mata, menatap langsung ke arahku dan dengan sengaja nunjukkin jari-jarinya yang basah karena cairan vaginanya. Dia masih bernapas dengan cepat, dan aku duduk terpesona, memandangi saat dia pulih dari hasrat birahi yang mereda.

"WOW," kataku.

"Memang wow," kata Mira. "Aku belum pernah orgasme kayak gitu seumur hidup. Makasih, Yo."

"Aku ga ngapa-ngapain." Aku tertawa.

"Kamu tahu bukan gitu sebenarnya, Yo. Aku jadi horny banget lihat kamu masturbasi tadi, itu yang bikin beda."

Aku menggelengkan kepalaku, "Ini ga aneh, kan, Mir?"

Dia tertawa. "Ya, ini rada aneh. Tapi itu yang bikin seru, Yo! Ohhh," dia menggeliatkan badannya dengan cepat. "Rasanya nikmat banget!"

Dia duduk dan mengambil jubahnya dari lantai, berdiri dan memakainya, menutupi tubuhnya yang indah.

"Aku merasa enteng banget sekarang, fresh banget. Sekarang kita cuma punya waktu sampai pagi, Yo. Abis itu kamu sudah harus pulang. Aku bakal kangen pas kamu udah pulang. "

"I’ll be back," kataku menirukan suara arnold di film terminator.

Kami saling cerita tentang hal-hal dari tahun yang lalu, hal-hal dari tahun di masa depan yang ingin kami lakukan. Hampir tengah malam ketika dia bangkit, menyikat giginya, lalu menciumku dengan lembut di bibir dan berkata, "Selamat malam Yo".

Aku melakukan hal yang sama, lalu membuka pakaian dan berbaring di sofa hanya memakai celana pendek seperti kemarin.

Aku hampir tertidur saat pintu kamar terbuka dan aku mendongak untuk melihatnya berdiri disinari sinar lembut dari lampu samping tempat tidurnya.

"Yo?"

"Ya, Mir?"

"Kalau mau.. kalau misal bakal lebih nyaman, kamu bisa tidur disini sama aku ..."

Aku menatapnya. "Makasih, Mir ... tapi lebih baik aku tetap di sini ."

"Ya sudah kalau gitu," katanya, dan aku mendengar senyum dalam suaranya. "Met malam."

"'Malam."

Pintunya tertutup.

Apa yang barusan kutolak, aku ga habis pikir. Dan kenapa aku tolak? Butuh waktu lama sampai aku berhasil tidur.

Cahaya pagi menerpa mataku saat Mira membuka tirai dan sinar matahari memasuki ruangan. Dia bergerak di dapur memakai jubah pendeknya, bikin roti bakar, mengoreng telur.

Aku duduk dan buru-buru mencari celana jinsku lalu tersadar, kenapa setelah apa yang terjadi kemarin, aku masih merasa malu. Aku menarik nafas dan bangkit hanya dengan celana pendekku.

"Pagi, tukang tidur," kata Mira, tertawa. "Tidur nyenyak?"

"Akhirnya."

"Ya, aku juga," katanya sedih, meletakkan piring di atas meja, menuang kopi. "Sini sarapan dulu."

Aku mendekat dan duduk di seberangnya, ga sengaja jari kakiku menyentuh kakinya yang telanjang dan buru-buru kutarik kebelakang, "Maaf."

"Ga perlu," katanya, dan dengan sengaja menempelkan telapak kakinya yang hangat di atas kakiku. Aku ingat dia dulu melakukan itu pas kami masih kecil.

"Makasih, Yo," kata Mira.

"Untuk?"

"Tadi malam. Nolak aku."

Aku memandangnya. "Itu ga gampang," kataku.

Dia mengangguk. "Aku tahu. Karena itu aku berterima kasih. Aku ga tahu apa yang merasukiku. Aku bahkan ga suka cowok, tetapi kalau misal kamu datang ke ranjangku tadi malam, mungkin aku akan biarin kamu meniduriku. "

Aku mengangguk.

"Dan aku juga mau kau ngelakuinnya. Gimanapun, aku mau. Tapi itu akan ngubah segalanya."

Aku mengangguk lagi.

"Aku suka hidupku, Yo. Aku ga mau itu berubah. Dan hubungan kita adalah bagian penting dari itu. Pagi ini hubungan kita lebih penting daripada dua hari yang lalu. Aku pikir kamu tahu itu semua, dan ternyata kamu lebih kuat dari aku. Makasih." Suaranya tercekat di tenggorokannya dan dia bangkit dengan cepat dan datang ke kursiku, menarik wajahku erat-erat ke payudaranya yang hangat, memeluk kepalaku, lalu dia mengangkat wajahku dan mencium lembut bibirku.

"Kita akan selalu jadi teman baik, Mir," kataku, dan ternyata suaraku juga bergetar.

Mata Mira basah. "Aku tahu," katanya, dia tersenyum.

Kami selesai sarapan, dan tanpa terasa aku harus naik bus pulang. Mira mengantarku kembali ke terminal, memelukku erat, menciumku sekali lagi dan kemudian melangkah pergi, menyeka matanya.

"Sampai jumpa tahun depan," katanya.

"Semoga," kataku.

Dia menggelengkan kepalanya. "Enggak. Sampai jumpa tahun depan."

Bus membawaku pergi, kembali melewati perjalanan yang panjang menuju ke kampung halamanku.



Bersambung... Chapter.04
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd