Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT Sketsa

Mantap....
Susunan kata2 mengalir indah..
Jd pengen terus mengikuti suhu besar
Makasih ya udah dibuatkan cerita yg indah..
 
CHAPTER.04

SAKSI MATA



Aku ingin menelepon Mira selama minggu pertama sejak aku pulang dari Jakarta, tapi aku berusaha mengabaikan itu. Pengalaman di Jakarta luar biasa, dan aku terus mengingatnya di kepalaku. Buat Mira mungkin itu hal yang biasa saja, dan aku ga mau jadi sepupu yang bikin dia jengkel karena terus-terusan menyinggung hal itu. Dia mungkin cuma beberapa tahun lebih tua dari aku, tapi tampak jauh lebih dewasa dan punya banyak pengalaman dalam hidupnya.

Hari-hari berikutnya aku mulai bekerja dan menyibukkan diri, membiarkan rasa lelah di badan menyita waktuku. Saat itu musim hujan, dan borongan pekerjaan Mas Jarwo lebih banyak dikerjakan di dalam rumah, ke pekerjaan yang lebih ringan dan praktis. Aku memasang shower, wastafel dapur, saluran air, pasang AC, mengganti keramik, memperbaiki daun jendela, berbeda-beda tiap hari.

Pada minggu kedua Januari ada surat yang menunggu aku di meja makanku. Ibu duduk di hadapanku dan Nadia, adik perempuanku yang berumur delapan tahun, melobergoyang-goyang ga sabar di kursinya.

Aku duduk dan menyeruput kopi, mengambil amplop itu, membaliknya untuk membaca stempel Sekolah Seni yang diembos, menyentuhkan jari-jariku ke tulisan yang timbul.

"Ya ampun, Yo, cepetan dibuka," kata Ibu, nyengir ga sabar.

Aku mengambil cutter dan memotong bagian atasnya, mengeluarkan surat yang diketik di dalamnya, membukanya. Aku membaca kata-kata satu kali, sekali lagi untuk memastikan.

"Yo!" Ibu berkata.

"Aku diterima," jawabku.

Nadia menjerit dan Ibu datang dan memelukku begitu erat hingga aku hampir tidak bisa bernapas, kepalaku terhimpit ke dalam belahan dadanya yang lembut.

"Telpon Miranda," kata Ibu ketika dia melepaskanku.

"Malam ini," kataku, "Nanti aku bisa telat kerja. Mas Jarwo akan sampai bentar lagi."

"Ya sudah, tapi jangan lupa kalau gitu."

Aku tersenyum pada ibuku yang cantik dan menggelengkan kepalaku, "Ga akan."

Aku bekerja lebih keras hari itu. Kali ini diluar ruangan, memotong pohon yang tumbuh terlalu rindang dan perlu dirapikan, memotong dahan besar agar mudah disingkirkan. Aku berkeringat berlebihan di udara musim hujan yang lembab. Ketika akhirnya aku pulang ke rumah, aku langsung mandi dan berganti memakai kaos yang warnanya sudah pudar. Ibu baru pulang dari kerja dan menyiapkan makanan kami.

"Telpon Miranda," katanya sambil tetap sibuk di dapur.

Aku memperhatikannya sejenak, memandangi kaki rampingnya yang terlihat karena daster yang dipakainya cukup pendek. Dia lebih cocok jadi kakakku, pikirku, dan berbalik mengambil telepon. Aku menghubungi nomor Mira dan menunggu. Nada panggil terdengar lima, enam, tujuh kali dan aku baru akan menutup telepon ketika dia mengangkat telepon.

"Halo, disini Miranda," katanya.

"Hai Mir, ini Yohan."

"Hai," katanya dan aku bisa mendengar senyum dalam suaranya.

"Apa kabar, Mir?"

"Ga usah basa-basi, Yo."

"Aku diterima," kataku.

Dia menjerit, sama seperti adikku pagi tadi, aku mendengar suara tepuk tangan dan benturan di gagang telepon.

"Yo, sudah kubilang kamu pasti diterima. Pasti seru kalau kamu sudah disini."

"Iya pasti seru, Mir."

Dia tertawa lagi dan aku merasa jantungku berdegup lebih cepat. Semoga ga akan terjadi apa-apa nanti...

Sejak itu aku meneleponnya dua minggu sekali dan kami mengobrol tentang apa saja walaupun ga terlalu penting. Dia cerita tentang kehidupan cintanya yang rumit, gimana dia putus sama Febi di awal Maret, ga bisa move on, lalu CLBK jadian lagi April, tapi dia merasa ada yang beda dan yakin Febi sudah selingkuh dengan cewe lain, walaupun dia ga berani nanya dan ga punya bukti.

Dia ingin tahu apa aku sudah dapat pacar dan aku tertawa dan mengakui kalau aku belum punya, belum ada kesempatan. Selain itu, aku terlalu capek setelah kerja untuk mikir tentang pacaran.

Lalu, pada hari Rabu minggu pertama Mei dia menelponku.

"Yo, kamu ada acara ga weekend ini?"

"Apa? Ga tau. Mungkin ada. Kenapa?"

"Aku nemu apartemen yang bagus, tapi aku mau minta pendapatmu juga."

"Kenapa aku?"

"Apartemennya punya dua kamar tidur, Yo, dan jauh lebih besar dari yang sekarang, dan menurutku kita bisa, gimana ya..., tinggal bareng pas kamu udah mulai kuliah."

"Wow, Mir, aku ga tahu. Kayaknya mahasiswa beasiswa dapat fasilitas asrama dari kampus."

"Aku tahu, tapi aku sudah periksa aturannya. Kamu ga harus tinggal di asrama kalau masih punya saudara yang bisa nampung di Jakarta. Dan kita saudara, kan?"

"Tapi berapa biayanya, Mir ... kamu tahu kondisi keuanganku kan."

"Kesini aja dulu, Yo, kita omongin disini. Aku mau kamu lihat tempatnya dulu. Aku mau minta pendapatmu. Bisa kan?"

"Nanti malem aku kabari lagi deh. Aku ada kerjaan Sabtu besok, nanti aku coba tanyain apa bisa ijin dulu."

"Usahain ya, Yo, please. Aku bakal senang kalau kita bisa ketemu lagi."

"Ya, sama, Mir. Nanti aku telpon."

Aku minta ijin ke Mas Jarwo, dan dia bilang boleh, dia bisa cari penganti sementara, tapi aku harus mengganti jam kerjaku lain kali. Aku pesan tiket bus dan menelepon Mira untuk memberi kabar.

Maka pada Jumat tengah malam aku sudah duduk di bus dalam perjalanan ke Jakarta. Lampu-lampu mobil yang berpapasan menyorot menyilaukan. Aku bisa tidur, tetapi ga pernah nyenyak. Aku senang, penasaran sekaligus kuatir.

Bus sampi di Jakarta jam enam pagi, tapi Mira sudah ada di terminal untuk menjemput aku. Pagi ini, udara Bulan Mei terasa sejuk dan dia memakai dress tipis, dia tampak cantik. Dia berlari dan melompat ke pelukanku, melilitkan kakinya yang panjang di pinggangku jadi aku harus menjatuhkan tasku dan menopang tubuhnya supaya ga jatuh. Dia mencium bibirku dan kemudian menundukkan kepalanya untuk menatapku, mengabaikan pandangan heran orang-orang di sekitar kami.

"Ya ampun, Yo, senang banget bisa ketemu kamu lagi... Walaupun kamu keliatan ga karuan"

"Terima kasih," kataku, "Kamu juga kelihatan cantik."

Dia tertawa dan turun dari pelukanku, berdiri berputar dua kali, dressnya terangkat dan menunjukkan pahanya yang mulus, "Emang aku cantik, ya kan? Ayo, aku traktir sarapan. Lapar kan?"

"Kelaparan," kataku, dan kami berjalan bergandengan tangan untuk mencari restoran yang sudah buka di sekitar sini.

Sambil sarapan, Mira bilang padaku bahwa kami bisa mengambil kunci apartemen dari agen di kantornya jam delapan, dan butuh satu jam untuk mencapai kantor itu, tapi gapapa, karena itu satu jam dari sini tetapi cuma setengah jam dari kampus. Dia ngomong dengan cepat, bersemangat, dan rasanya aku tahu karena apa.

Mira menceritakan dengan cepat kabarnya. Dia sudah menyelesaikan hampir semua mata kuliah yang wajib diambil, dan tinggal menyelesaikan skripsi nya semester ini. Kalau lancar, Mira bisa lulus dengan predikat cum laude. Selain itu dia diminta jadi asisten dosen untuk beberapa mata kuliah semester depan, ga mengherankan kalau melihat prestasinya selama ini.

Kami duduk di depot makan sambil ngobrol dan minum kopi sambil menunggu kantor agen apartemen buka, lalu saat akhirnya buka, kami meminjam kunci dengan janji mengembalikannya sore hari, lalu naik bus ke halte dekat lokasi apartemen yang kami tuju.

Aku membawa tasku ketika kami berjalan melewati blok unit pabrik tua dan tanah kosong yang secara bertahap berubah jadi apartemen. Di sana-sini tumpukan puing-puing dan bahan bangunan tergeletak sembarangan, tapi saat kami berjalan mendekati gedung apartemen yang kami tuju, jalanan terlihat lebih bersih dan bangunan-bangunan di bagian belakang telah selesai dibangun. Mungkin memang strategi pengembang untuk membangun area yang lebih belakang lebih dulu agar nantinya area depan bisa dijual dengan harga jauh lebih tinggi.

Apartemen itu berada di bangunan paling ujung, dan berdiri di semacam bukit kecil dan dilatari bayangan kota Jakarta. Bangunan ini dilengkapi lift, jadi kami memakainya untuk naik ke lantai enam. Beberapa area tanah disekitar apartemen sudah dikavling dan setiap kavling dibangun sekitar tiga sampai empat tower yang tidak terlalu tinggi. Apartemen yang ingin ditunjukkan oleh Mira padaku berada di lantai paling atas.

Dia mengandengku di sepanjang lorong ke pintu kayu paling ujung, menatapku dan menyerahkan kunci padaku. "Kamu yang buka, Yo. Aku nervous."

Aku menerima kunci dan membuka kunci pintu, mendorongnya terbuka dan kami masuk.

Ruangan itu kosong tanpa perabotan dan sangat luas. Pintu masuk mengarahkan kami ke tengah ruangan utama yang berukuran 9m x 6m. Di sebelah kanan kami ada dapur yang bersih dan dilengkapi dengan beberapa peralatan yang terpasang di tempatnya masing-masing, semua masih baru, kompor, penyedot asap, wastafel dan banyak colokan listrik. Di sebelah kiri dua jendela tinggi memperlihatkan pemandangan kearah kota. Disisi yang sama berjajar tiga buah pintu.

Di seberang pintu masuk, ada semacam tangga turunan lebar menuju ke ruangan yang lebih rendah dan berukuran kurang lebih sama dengan ruang sebelumnya. Langit-langit di sini miring ke bawah dan beberapa bagian terbuat dari kaca sehingga cahaya mahatari dapat masuk ke dalam ruangan ini. Balok-balok kayu yang tebal menjadi pemisah antara ruang utama dan ruangan itu yang sepertinya ruang kerja.

Mira menatapku dan melompat-lompat girang. "Bagaimana menurutmu, Yo?"

"Ya ampun Mira, ini luar biasa," kataku. "Tapi ga mungkin aku bisa bayar setengah sewa di tempat ini."

"Aku akan sudah punya penghasilan saat itu, Yo, dan aku cuma butuh patungan sepertiga harga sewanya."

"Tetap aja mahal..."

"Kita mampu kok, Yo. Satu tempat, bahkan satu tempat besar, lebih murah daripada dua yang kecil. Dan sewa studio juga mahal."

"Berapa harganya?" Aku bertanya.

"Bagianmu sekitar tiga juta," katanya.

"Seminggu?"

"Sebulan."

"Ga mungkin!"

"Mungkin," kata Mira, dan nyengir.

"Kok bisa?"

"Apartemen ini belum terlalu ramai, dan bangunan ini dimiliki oleh seorang seniman terkenal yang juga salah satu tutor di kampus dan dia memberi aku kesepakatan khusus."

"Dan apa yang harus kamu lakukan untuk mendapatkan itu, Mir?"

Dia menampar lenganku, "Ga ada, Yo! Dia cuma suka sama aku. Dia dan suaminya menghasilkan uang dari menyewakan unit apartemen. Dan dia bilang itu investasi. Saat dia menjual unit ini nanti, dia akan dapat untung dari situ."

"Kalau nanti dia naikkin harga sewa gimana?" Aku bertanya.

"Kita pikirin soal itu kalau itu udah terjadi, tapi dia ga akan melakukan itu. Ayolah Yo, ini bagus kan?" Dia berjalan menuju ke balok-balok pemisah dan bersandar disana. "Disini bisa kita buat jadi studio kita, cocok kan. Ini adalah semua yang kita butuhin, Yo."

Aku mengangguk. "Ya. Tapi kayaknya terlalu bagus untuk jadi nyata."

Dia berputar-putar lagi, bahan tipis dressnya terbang tinggi jadi dia tanpa sadar menunjukkan padaku celana dalamnya, lalu dia mengarahkan pandanganku ke pintu di sisi lain ruangan.

"Ini," katanya, sambil membungkuk, "Kamar tidur pertama." Kamar itu cukup besar, tidak sebesar ruang utama tempat kami berada, tetapi ukurannya cukup luas dan dilengkapi jendela yang menghadap ke pemandangan kota.

Dia membuka pintu tengah. "Kamar mandi. Lihat, ada shower dan bathtub." Ada dua pintu dari kamar mandi yang bisa tembus ke kedua kamar tidur, menghubungkan keduanya.

Pintu terakhir adalah kamar tidur kedua, sekitar sepertiga lebih besar dari yang pertama.

"Kamu mau kamar yang mana?" Kata Mira.

"Yang lebih besar buat kamarmu," kataku. "Lebih adil gitu karena kamu yang akan bayar sebagian besar uang sewanya."

Dia menyeringai. "Oke. Setuju. Jadi kita ambil?"

Aku menggelengkan kepala dan tertawa, "Apa boleh buat, ya."

Dia berlari ke arahku lagi dan melompat. Tapi kali ini aku sudah siap dan menangkapnya saat dia melingkarkan kakinya di pinggangku dan aku merasakan telapak tanganku menangkup penuh bulatan pantatnya. Tulang kemaluannya menekan perutku dan dia menatapku dengan kepala dimiringkan, lalu menciumku di mulut. Aku merasa penisku merespon dan memaksakan diri untuk tetap menutup bibirku. Ini cuma Mira yang sedang excited, ga lebih. Aku harus benar-benar hati-hati di sekitarnya saat kami sudah mulai tinggal bareng nanti, atau aku akan menghancurkan semuanya, dan aku terlalu sayang dia untuk membiarkan itu terjadi.

"Oh Yo," katanya, masih memelukku, "Ini akan sangat menyenangkan. Aku sudah ga sabar menunggu!"

Dengan enggan aku melepaskan tangan dari pantatnya dan dia merosot kembali ke lantai.

"Ayo kita kembalikan kunci dan aku akan menulis cek untuk pembayaran uang mukanya, setelah itu kita belanja."

"Mira, aku ga punya uang," kataku.

"Aku yang bayar. Aku mau beliin kamu baju yang bagus."

Aku merentangkan tanganku, "Maksudmu yang ini jelek?" Menunjukan jins dan kemeja biruku.

Mira tersenyum, "Kamu kelihatan ganteng pakai apa pun, Yo, tapi akan kelihatan lebih ganteng setelah kita selesai belanja nanti. Ayo."

Kami selesai hampir jam enam malam, dua belas jam setelah aku sampai di sini, sekarang selain tas yang kubawa dari rumah, aku juga bawa tiga tas lain berisi belanjaan yang sudah kami beli. Kira-kira dia sudah menghabiskan lebih dari dua juta Rupiah, dan aku cuma berharap dia ga nyesal nantinya.

Kami membuka bungkus belanjaan kami dan meletakkannya di sofa besar. Mira sudah memilihkan satu set lengkap baju baru untuk kupakai: kemeja biru gelap, celana dalam hitam dan celana chino hitam. Dia bilang sepatu bot masih bagus. Kemudian dia mendorongku ke kamar mandi, menyuruh aku untuk membersihkan diri, lalu kami akan pergi karena dia ingin memamerkan aku ke teman-temannya.

Aku keluar dari kamar mandi memakai pakaian baru dari Mira. Dia menatapku, berkacak pinggang, dan mengangguk. "Sempurna," katanya.

Sore itu hangat dan sinar matahari yang hampir tenggelam menyinari pucuk-pucuk gedung pencakar langit. Klub ini seperti memasuki dunia lain, tapi aku sedikit lebih familiar dengan isinya sekarang. Pelanggannya kebanyakan terdiri dari wanita, tetapi kali ini kami tidak duduk sendirian. Segera setelah kami masuk empat gadis lain datang ke Mira, menciumnya, dan menciumku. Awalnya aku kaget, dan Mira menertawai kekagetanku.

"Kami mungkin lesbian," katanya, "Tapi kita masih bisa mencium cowok tanpa muntah. Selain itu, aku bilang pada mereka kamu ga seperti cowok lain, kamu cowok baik-baik."

Aku tersenyum dan santai, kembali ke kursiku dengan bir dan menikmati waktu dikelilingi oleh lima wanita cantik. Beberapa jam kemudian Febi datang dan bergabung dengan kami. Aku lupa bertanya pada Mira apakah mereka masih pasangan, tapi dari cara mereka berciuman, kurasa memang masih.

Beberapa gadis pergi, tapi beberapa lainnya datang menggantikan bergabung dengan kami. Aku minum lebih banyak bir dan mulai bersenang-senang, bersantai dan menikmati waktu, agak terangsang oleh cara para gadis itu saling memandang, saling menyentuh. Pada saat malam semakin larut, dua dari mereka yang duduk di sebelahku mulai berciuman dengan panas, dan aku melihat tangan mereka saling membelai payudara yang lain, dan setelah itu mereka bangun dan pergi.

"Kita sebaiknya sudahi juga," kata Mira, "Sudah malam, dan rasanya Yohan sudah punya cukup keseruan buat satu malam."

Febi mengulurkan tangannya dan Mira meraih dan menariknya bangkit.

"Ga ada kata cukup untuk sesuatu yang menyenangkan," kata Febi.

Kami kembali melalui malam yang gelap ke apartemen Mira.

Kami duduk di sofa, Mira dan Febi di satu ujung, aku di ujung lain dengan jarak beberapa jengkal. Mira membuka anggur yang dibelinya di club. Febi meminumnya langsung dari botol, lalu menyerahkan pada Mira dan aku. Kami mematikan lampu, menyisakan lampu standar yang memancarkan cahaya lembut di samping sofa.

Aku duduk bersila, bersandar di lengan sofa, saat aku sadar sedang memandangi Febi dan Mira berciuman, dan bertanya-tanya sejak kapan itu berlangsung. Mungkin mereka lupa tentang aku lagi, karena mereka benar-benar menghayati ciuman mereka, mulut terbuka, lidah menari. Febi menurunkan tangannya dan meraba-raba payudara Mira, lalu turun ke pahanya dan menarik bahan tipis gaunnya ke atas.

Aku bisa melihat bagian atas paha Mira, dan tangan Febi bergerak keluar masuk diantara pahanya.

Tiba-tiba Mira duduk dan membuka mata, menghentikan tangan Febi. Dia melihat dari balik bahu pacarnya ke arahku dan tersenyum.

"Maaf Yo, kami kebablasan lagi. Kami akan masuk ke kamar."

Dia mulai bangkit tapi Febi menahannya dan menariknya ke bawah.

"Gue ga keberatan kalau dia lihat, Mir," katanya.

"Kita sudah pernah ngomongin ini kan, Feb." kata Mira, "Dan kamu bikin Yohan malu."

Aku sedikit terpengaruh alkohol dan aku menggelengkan kepala. "Aku ga malu," kataku, lalu, "Aku malah penasaran."

Febi tertawa, "Nah kan," katanya. "Ayolah Mir, kita beri anak itu tontonan untuk diceritain ke temennya di kampung."

Mira menatapku dan menghela nafas. "Aku ga tahu, Feb. Rasanya agak... entahlah..."

Aku berdiri. "Yaudah, aku akan duduk di sebelah sana, agak jauh dari sini. Pura-puranya aku ga di sini." Jantungku berdegup kencang saat kau menjauh, dan aku mulai berpikir mereka benar-benar akan bercinta didepanku.

Mira menggeleng lagi, "Ga, ga bisa gitu," tapi dia tidak bergerak untuk bangkit dan Febi meletakkan lengannya di atas bahunya dan menariknya sekali lagi mendekat.

Mira menanggapinya perlahan, dan saat Febi meraih wajahnya dan memutarnya, dia mulai membuka bibirnya dan mereka berciuman.

Aku duduk jauh di sudut, bersila di atas beanbag, tersembunyi di dalam bayangan, dan menyaksikan dalam diam...

Febi tampak lebih dominan, mendorong Mira ke bawah sampai hampir jatuh dari sofa. Tangannya kembali membelai paha Mira dan kali ini tangannya bergerak merambat ke atas perut, gaun Mira yang tipis ikut terangkat sampai melewati perut, menunjukkan celana dalam dan perutnya yang rata.

Febi mengusapkan punggung jari di sepanjang paha Mira dan menghentikannya sejenak di gundukan yang menonjol di antara kedua kakinya.

“Uhn..” Mira mengerang pelan dan pinggulnya terangkat untuk menyambut tangan Febi. Perlahan, Febi menarik gaun itu lebih tinggi, memperlihatkan seluruh perut Mira dan kemudian bulatan payudara yang terbungkus bra berwarna krem. Mira mengangkat tangannya dan pasrah saat Febi melewatkan gaun itu di atas kepalanya.

Mira mulai terpancing dan menarik-narik ritsleting di bagian belakang gaun Febi, menariknya ke bawah dan membuka hamparan panjang punggung berkulit halus yang terpotong oleh tali bra warna biru. Febi mencondongkan tubuh ke depan, bahan lembut gaunnya jatuh dari bahunya dan bagian atas tubuhnya bebas. Dia melanjutkan gerakan itu dan menundukkan kepalanya ke payudara Mira, meletakkan mulutnya yang terbuka langsung di atas puting susu dan mengisapnya melalui kain berenda.

Mira menarik-narik gaun Febi dan menariknya sampai ke pinggul.

Sekarang mereka tumpang tindih di sofa hanya memakai dalaman tipis, Mira krem dan Febi biru. Mira menarik Febi ke bawah sehingga dia berbaring di pahanya dan membuka kaitan bra, melepasnya. Payudara besar Febi terhimpit di perut Mira. Dia bergeser kebawah dan menundukkan kepalanya dan mencium bagian luar celana dalam Mira, menggerakkan lidahnya ke bagian tengah basah. Dia menyelipkan satu jari ke dalam karet celana dalam Mira dan mulai menariknya turun.

Sepintas aku melihat mata Mira terbuka dan menatap langsung ke arahku ketika Febi perlahan-lahan masih berusaha melepaskan celana dalam Mira, mula-mula memunjukkan bukit gundul kemaluannya, lalu bagian atas klitorisnya, dan akhirnya menunjukkan vaginanya dengan sempurna.

Febi meluncur keatas dan meletakkan kepalanya di antara paha telanjang Mira dan mulai menjilat vaginanya, mulai dari sisi luar dan bergerak ke dalam sampai lidahnya melewati celah di tengah dan kemudian menyentil klitorisnya.

“Ohh..” Mira mengerang dan otot-otot di kakinya mengencang.

Aku mulai merasa tidak nyaman dan harus meluruskan kakiku ke depan untuk memberi sedikit ruang buat penisku, tapi tetap terasa sakit, jadi aku geser ke samping dan ke atas. Batang penisku terasa sangat keras dan hampir menusuk keluar dari celanaku, aku ingin membuka ritsleting dan menariknya keluar, tetapi aku mencoba menahan diri. Sebenarnya aku yakin Mira atau Febi ga akan peduli, mereka terlalu sibuk satu sama lain. Dan Mira malah sudah pernah melihatku ereksi sebelumnya, bahkan ejakulasi.

Sambil melanjutkan rangsangannya pada vagina Mira, Febi meraih ke bawah dan menarik celana dalamnya sendiri sampai dia benar-benar telanjang. Aku bisa melihat dengan jelas pantatnya yang bulat, celah basah vaginanya terbelah di antara pahanya, lubang pantatnya berkontraksi di antara pantatnya. Sebuah jari meluncur kembali dan mulai bergerak keluar-masuk vagina Mira, sementara tangan satunya menyusup dari arah samping dan mendorong cup bra-nya ke atas untuk memperlihatkan payudaranya, lebih kecil dari Febi, tetapi bentuknya lebih sempurna.

Tiba-tiba, Febi meraih pinggul Mira dan membalikkan tubuhnya tengkurap diatas sofa. Febi meraih kaitan bra Mira dan membukanya lalu melemparkannya ke samping.

Mira merosot mundur sampai lututnya menempel di lantai lalu menunggingkan pantatnya lebih tinggi. Sekarang dari tempatku aku bisa melihat pantat mereka sudah sama-sama telanjang tanpa penghalang. Aku meraih ke bawah dan meletakkan tanganku menekan batangku yang makin terasa sakit.



Febi menundukkan kepalanya dan mencium bagian belakang paha Mira, bergerak ketengah dan kemudian menempelkan lidahnya sepanjang bibir kemaluan Mira yang terbuka. Jilatannya makin keatas secara bertahap sampai akhirnya mencapai lubang pantat Mira. Mira mengerang lebih keras dan mendorong tubuhnya ke belakang.

Febi kembali menjilati anus dan vagina Mira, terus menjilat, menggerakkan lidahnya dengan lincah bolak-balik diantara kedua lubang Mira, sementara tangannya menusuk di antara paha Mira dan mulai mengobel vaginanya lebih cepat.

Mira mulai mengerang terus-menerus, mendorong pantatnya kebelakang ke lidah Febi, kepalanya mendongak keatas sehingga lehernya melengkung ke belakang. Dia mulai mengejang, dan Febi meletakkan bibirnya langsung di atas vagina Mira dan mulai mennyedot cairan yang mengalir deras dari sana.

“Hmmm... OHWHH.... Febbbbiiii...”. Mira mengerang keras dan aku melihat kakinya kejang, jari-jari Febi dengan cepat bergerak keluar masuk dan kemudian Mira berteriak, teriak dua kali, tiga kali, kepalanya menggeleng ke kanan kiri, lalu bersamaan dengan erangan panjang kepalanya terkulai ke atas bantal.

Perlahan, orgasmenya mereda, dan dia menoleh kesamping, meraih ke belakang dengan tangannya lalu Febi menyambutnya untuk saling mengenggam. Kemudian Febi dengan sengaja menoleh ke arahku sambil mengedipkan matanya.

Dia naik ke sofa dan duduk dengan kedua kaki terbuka, bermain dengan vaginanya sendiri, dan berkata kepada Mira, "Giliran gue sekarang."

Mira bergerak di antara paha Febi dan menundukkan kepalanya, mulai menggerakkan lidahnya jauh kedalam celah bibir vagina Febi. Pantat Mira sekarang menungging menghadapku, dan aku bisa melihat celah basah yang licin di mana Febi tadi menjilatnya.

Febi tetap membuka matanya dan memandang melewati bahu Mira ke arahku, memegang payudara besar di masing-masing tangan, meremasnya dengan gerakan melingkar lalu berhenti di tengah, meraih puting susu dan mencubitnya dengan keras. Dia mengayunkan pinggulnya ke mulut Mira dan mulai mengerang pelan.

Masih menatapku, orgasmenya sampai dengan cepat, mencengkeram kepala Mira di antara pahanya, tubuhnya melengkung ke dalam saat gelombang kenikmatan melanda dirinya.

Mira menyandarkan kepalanya ke perut Febi dan meraih ke botol anggur dan menuangkan lebih banyak ke gelasnya, lalu berbalik dan duduk di lantai untuk meminumnya. Dia mengangkat matanya dan menatapku.

Tiba-tiba aku sadar diri, merosot di beanbag dengan tanganku mengelus kemaluanku dari luar celana. Lalu Mira tersenyum.

"Ada yang masih berpakaian lengkap, Feb."

Aku mendengar tawa. "Kita harus lakukan sesuatu kalau gitu. Lihat aja tonjolan di celana jinsnya. Itu pasti terasa sakit."

"Itu besar, kan?" Kata Mira.

"Gue mau lihat lebih dekat," kata Febi, dan turun dari sofa untuk berlutut di samping Mira.

Mira menatapnya dan tersenyum. "Silakan, aku ga keberatan."

"Yakin?"

"Tentu."

Seolah-olah mereka tidak perlu menanyakan pendapatku dulu.

Febi merangkak mendekat kearahku, payudaranya bergoyang dengan indah. Ketika dia sudah dekat, dia meraih pergelangan kakiku dan menarikku turun, menarikku ke lantai. Lalu dia berdiri dan masih memegang pergelangan kakiku menyeretku diatas lantai kayu. Dia melepaskan kakiku ketika dia sampai di sofa, berbalik dan menatapku. Aku berbaring di sana, pemandangannya terlalu indah untuk protes. Febi berdiri telanjang di atasku, vaginanya yang basah terbuka, payudaranya yang berat naik turun dengan lembut saat dia bernapas.

Febi bergerak dan meraih lenganku lalu menarikku ke atas. "Duduk di sofa," katanya, dan aku membantunya kali ini dan naik sendiri ke sofa.

Aku sadar Mira bangkit, tetapi tidak segera mengenakan pakaiannya. Dia pergi kebelakang dan kemudian kembali dengan kamera, lalu mulai memotret kami.

Febi menatap kekasihnya lagi, berkata, "Beneran gue boleh lanjutin ini, Mir?"

"Boleh," kata Mira. "Aku yakin dia juga suka."

"Apa aku ga punya hak untuk nentuin?" Aku bertanya.

"Ga ada sama sekali," kata Febi.

Dia meletakkan kedua telapak tangannya di atas lututku, mengeserkan keatas melalui paha bagian dalamku sampai tidak bisa naik lagi. Jari-jarinya menyentuh kedua bolaku, lalu dia menggerakkan tangan kanannya dan meletakkannya di atas penisku dari luar celana jinsku, membelai nya dengan lembut, aku tercekat dan tersentak.

"Jangan berani-berani ejakulasi sekarang," katanya.

"Kapan terakhir kali kamu melakukan ini, Feb" Aku bertanya. "Dengan cowok?"

"Ehmm... bentar ... sudah lumayan lama sih."

Dia meraih dan membuka ikat pinggang aku, menarik turun resleting, membuka celana jeansku dan menyelipkan tangannya ke dalam, menemukan penisku di dalam celana dalamku dan meremasnya. Dia terus melonggarkan jinsku, menariknya ke bawah dan lepas dan tidak lama kemudian celana dalamku menyusul. Penisku melompat saat mendapatkan kebebasannya, basah karena cairan pelumasku yang keluar dan Febi melihatnya, lalu menyentuh ujungnya dengan jarinya, merasakan kelicinannya, menggosoknya di sekitar kepala penisku.

Tangan satunya meraih penisku dan mengengamnya, tidak bergerak, hanya mengengam.

Aku mendengar Febi berbisik, "Panas ..." dan kemudian dia mendekatkan bibirnya ke kepala penisku.

Aku menyaksikan, menunggu. Dia memiringkan kepalanya ke satu arah, lalu ke arah sebaliknya, memandang kembali ke arahku, penisku masih digenggamnya, bibirnya tidak jauh dari sana, dan tersenyum.

"Gue belum pernah melihat penis sedekat ini sebelumnya," katanya.

"Katamu dulu pernah," kataku.

"Pernah. Udah lama banget. Tapi cuma handjob singkat. Gue suka cewek. Gue berhubungan badan dengan cewek, Yo. Tapi elo beda dari cowok lain. Mira pikir kamu juga beda."

"Terima kasih?" sahutku, ga tahu harus bilang apa.

Dia sepertinya ga mendengarku. "Gue mau...," gumam Febi, lalu menggelengkan kepalanya, "Gue ga tahu apa yang mau gue lakuin dengan benda ini ..." Dia menatapku. "Lo mau gue puasin?"

Aku mengangguk. Ya ampun, pikirku, tolong puasin aku.

Febi menghadapkan penisku ke wajahnya, menempelkannya di pipi, dan menggeser wajahnya ke bawah. Aku menggigil. Aku lalu sadar dia ga akan melakukan seperti apa yang kupikirkan. Dia ga akan mengulum penisku. Aku kecewa, ya jujur aku kecewa, tapi aku bisa paham. Kupikir aku bakal dapat blowjob pertamaku.

Kamera di tangan Mira mengeluarkan bunyi klik saat dia memotret kemaluanku yang menempel di wajah Febi yang hangat.

Febi mencium bagian bawah penisku, menempelkan bibirnya dengan lembut sepanjang batang kemaluanku. Aku merasakan jarinya meluncur ke atas pahaku, membukanya terpisah dan menangkup kantung telurku. Dia menggosok perlahan di sana, lalu membasahi jarinya dengan ludah. Kurasakan seluruh tubuhku terasa panas, titik-titik keringat muncul di dahiku.

Febi mulai menggocok penisku lebih serius sekarang, menggenggam batangku di telapak tangannya. Dia mendekatkan mulutnya dengan kepala penisku lalu meludahinya, jarinya membantu meratakan di sepanjang batang kemaluanku, tangannya licin sekarang. Dia menempelkan ujung kemaluanku dengan lembut di bibirnya, masih tertutup, hanya untuk menahan saat dia menggosok batangku.

"Bilang ya kalau udah hampir," gumamnya, dan aku merasakan getaran bibirnya di penisku.

Aku mengangguk. Aku ingin menegakkan badan, untuk meraih tengkuknya, memegangnya saat aku mendorong kemaluanku di antara bibirnya, tapi aku tahu itu ga mungkin aku lakukan, jadi aku tetap berbaring seperti semula, meremas bantal didekatku, dan membiarkannya memuaskan aku.

Dia mengangkat kepalanya, menatapku, dan berkata, "Mau coba pake toket gue, Yo?"

"Kalau kamu mau?"

Dia mengangguk, dan mengangkat dirinya sehingga payudaranya yang besar berayun di kedua sisi penisku yang basah dan kemudian mendorong mereka bersama, menjepit batang penisku diantara kedua payudaranya. Febi mengerakkan tubuhnya naik turun menjepit erat penisku di dadanya.

Aku ga bisa bertahan lebih lama lagi. Tekanan di penisku makin membesar, dan aku mendesis di antara gigiku saat tubuhku bergetar. Febi mengangguk, berkata, "Iya, terus".

Aku mengayunkan pinggulku ke depan dan menembakkan cairan kental di antara payudaranya. Semburan pertama keluar saat kepala penisku masih tenggelam di tengah payudaranya. Tapi semburan berikutnya terjadi tanpa penghalang lagi, sebagian membasahi dagunya, yang lain ke leher dan dadanya. Aku pikir aku ga bisa berhenti ejakulasi, tapi akhirnya aku kehabisan tenaga dan merosot kembali di atas sofa.

Febi duduk bersimpuh di lantai, dan membiarkan air maniku mengalir turun di kulitnya, di atas payudaranya. Dia meratakanya di seluruh bagian payudaranya sampai semua terlihat licin dan mengkilap.

Aku melihat Mira bergerak dan fokus pada apa yang Febi lakukan, foto demi foto dari saat semburan pertamaku hingga saat tersebar rata di bulatan payudara Febi yang besar sampai menetes ke perutnya.

"Jadi, dibanding yang dulu gimana, Feb?" Aku bertanya.

Febi memadangi dirinya sendiri dengan kagum dan tertawa. "Sialan lo Yo, gue ga pernah belepotan sperma gini! Gue jadi harus mandi sekarang."



Bersambung... Chapter.05
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd