Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT Sketsa

Menarik ceritanya Hu.. keren deh si Yohan.. ttp semangat Hu..

Sehat dan bahagia. Sukses d RL Hu
 
CHAPTER.05

PURA-PURA



Malam itu aku tidur luar biasa nyenyak dan ga bangun sampai Febi menggoyang bahuku di pagi hari.

"Gue jalan dulu, Yo. Makasih buat semalam."

Aku menyeringai padanya, "Harusnya aku yang bilang terima kasih. Sudah dikasih pertunjukkan erotis. Dan buat setelahnya..."

Dia menyeringai kembali, menciumku dan pergi. Aku berbaring dengan nyaman di bawah selimut di sofa dan mendengar Mira mulai bergerak. Dia memakai jubah pendeknya dan masuk ke kamar mandi dan aku mendengar pancuran shower Ketika keluar, baunya harum: bersih dan seksi.

"Busmu jam berapa, Yo?" dia bertanya ketika dia melewati aku.

"Jam satu," kataku.

Dia melirik jam dinding di atas wastafel dapur. Masih jam setengah sepuluh pagi..

"Sana mandi dulu, aku buatin sarapan, setelah itu aku punya sesuatu buat kamu."

Aku membuka selimut dan berjalan ke kamar mandi dengan celana pendek kemarin. Aku menyalakan air panas untuk mandi, menyesuaikan suhu yang pas, lalu masuk dibawah guyuran shower, keramas, menyabuni diriku dengan memberikan perhatian lebih pada penis dan pantatku.

Ketika aku keluar aku menganti celana pendekku dengan celana jeans, pakai kaus yang bersih dan kemudian duduk di meja dapur. Mira telah menyiapkan dua set piring dan cangkir, sebuah amplop putih polos disandarkan di antara piring dan cangkirku. Dia menuliskan nama Yohan Wahyudi di depannya dengan tulisan yang indah.

"Apa ini?" Aku bertanya.

"Bagianmu," katanya. Dia meletakkan telur di piring aku, mengisi cangkirku dengan kopi dan duduk di hadapanku dengan sarapannya sendiri.

"Bagian apa?"

"Kayaknya hasil berbuat dosa," dia tertawa.

Aku mengerutkan kening, mengambil amplop dan membuka tutupnya. Aku melihat isinya dan menemukan setumpuk uang kertas seratus ribuan.

"Buat apa ini?" Tanyaku, menarik uangnya keluar dan mulai menghitung. Amplop itu berisi persis lima juta Rupiah.

"Terakhir kali kamu kesini, aku ambil foto-fotomu, Yo, aku pakai untuk bikin beberapa gambar, dan mereka laku keras."

"Oh," kataku, dan kemudian, "Tapi harusnya kan ini punyamu, Mir."

"Aku sudah ambil bagianku. Yang aku kasih ke kamu cuma sepertiganya."

"Ada berapa gambar?" Aku bertanya.

"Sekitar seratus," katanya.

"Seratus!"

"Kamu model yang bagus. Dan gambar yang kubuat dari fotomu jauh lebih ekspresif dibanding yang pernah kubuat sebelumnya." Dia mencondongkan tubuh ke depan, matanya berkilauan senang. "Yo, ada pasar yang besar untuk jenis gambar yang kubuat. Kayaknya kita bisa dapat banyak uang, kalau kamu mau bantu aku lagi."

Aku menatapnya ke seberang meja, telur-telurku sudah dingin di atas piring. "Bantu dengan cara...?"

Mira mengangkat bahu dan aku jadi sadar bagian leher jubahnya terbuka, memperlihatkan bulatan payudaranya yang bergerak bebas. "Asal kamu mau, Yo. Mungkin ..."

"Kamu mau aku... ehm... masturbasi lagi?" Aku bertanya.

"Bukan..., tapi sesuatu yang lain..."

Jantungku berdebar-debar menunggu lanjutan kata-katanya.

"Sesuatu yang lain?" Aku bilang.

"Aku dapat ide baru, setelah lihat apa yang kamu lakukan sama Febi semalam."

"Yaitu?" Jantungku berdegup kencang, dan aku yakin Mira bisa mendengarnya dari seberang meja.

"Kamu tahu aku ga suka cowok, Yo, tapi aku tidak keberatan harus pura-pura, demi untuk bisa dapat sesuatu yang baru."

"Kamu mau aku ngapain, Mira?" Kataku, berusaha menjaga getaran dari suaraku.

"Mungkin kalau kita bisa atur dengan benar, kita bisa pura-pura berhubungan badan," katanya. "Ga akan benar-benar berhubungan badan sih yang pasti," tambahnya.

Tentu saja, pikirku.

"Aku akan atur kamera dan dijalankan pakai remote lalu nanti hasil fotonya bisa dipakai jadi template. Kayaknya kita akan bisa menghasilkan sebanyak kemarin lagi, mungkin lebih. Gimana menurutmu, Yo?"

"Aku ga tahu, Mir, aku ga yakin."

Dia mengangkat bahu lagi dan tersenyum, "Oke. Aku ga maksa. Aku bisa paham kalau kamu ga mau."

"Bukan itu, Mir, tapi..."

"Tapi apa, Yo?"

"Gimana kalau aku terangsang? Kamu tahu kan maksudku?"

Dia mengangkat bahu seksi itu lagi. "Mungkin malah lebih bagus kalau kamu benar-benar terangsang," katanya. "Ga ada yang mau beli gambar burung yang lemas, kan?"

"Sialan, Mir," kataku.

"Ya atau ga?" Dia bertanya. "Ga ada paksaan, Yo."

Aku memandang ke arahnya, sepupuku yang cantik, dan merasakan emosi yang naik turun dan mengalir dalam diriku seperti gelombang. Aku menarik napas dalam-dalam, menahan udara di perutku dan kemudian menghembuskannya perlahan lewat mulut. Aku mengangguk.

"Oke," kataku.

"Beneran?" Dia tersenyum.

Aku mengangguk. "Aku pikir begitu."

Dia melompat dan leher jubahnya merosot ke samping dan menunjukkan padaku betapa indah payudaranya. Dia dengan malas menutupnya kembali.

"Ayo kita mulai. Eh, abisin dulu sarapanmu."

"Aku ga lapar lagi," kataku.

"Aku juga." Dia tertawa.

"Kamu mau gimana ngelakuinnya?" Aku bertanya.

Dia mengambil tripod dan kamera dan menempatkannya di depan sofa, berlutut dan memeriksa arah bidikan dan menyesuaikan zoom. Dia mengambil remote kecil dan mengenggamnya di tangan. Kemudian dia melepaskan ikatan jubahnya dan melepaskan dari bahunya, tanpa menghadap kearahku, dan melemparkannya ke meja di belakangnya. Aku melihat sisi payudaranya bergoyang saat dia bergerak, punggung dan pantatnya bergerak lentur saat dia memindahkan berat badannya. Dia berdiri hanya dengan sepasang celana dalam berwarna senada dengan kulitnya, ga lebih dari g-string, sebaris tali kecil di belakang yang tersembunyi di dalam celah pantatnya.

Dia berbalik menghadapku sepenuhnya dan berkata, "Aku ingin dapat sebanyak mungkin posisi yang kita bisa. Aku belum yakin gimana kita akan ngelakuin ini, tapi kita bisa cari caranya sambil jalan. Lepas celana jeans dan celana dalammu lalu mendekat kesini. Kamu harus bantu aku karena aku juga ga tau posisi seperti apa yang mungkin benar."

Aku membuka jinsku dan melepasnya, diikuti dengan celana dalamku.

"Oh, bagus... kamu sudah setengah ereksi."

Saat dia berbicara penisku mengangguk lalu berdiri tegak.

Mira melihatnya dan terkikik. "Apa dia bangun karena aku?" dia berkata.

"Apa kamu lihat ada orang lain?"

"Wow, aku tersanjung."

"Maaf, Mir," kataku. "Aku tahu kamu suka cewek, tapi kayaknya beritanya belum sampai ke penisku."

"Jangan minta maaf," katanya. "Semakin keras semakin bagus untuk apa yang kita mau. Tiduran di tepi sofa. "

Aku menuruti arahannya.

"Taruh pantatmu di ujung bantal ... ya, seperti itu. lebarin kakimu, kamu pura-pura jadi aku."

Aku membuka pahaku dan tertawa terbahak-bahak.

"Kenapa?" Kata Mira.

"Aku ga yakin, akan ada yang ngira aku sebagai kamu," kataku.

Dia terkikik. "Ga, mungkin ga ada. Tapi aku harus dapat perkiraan posisinya dulu." Dia melihat melalui lensa kamera dan kemudian mengeser kamera beberapa meter ke kanan. "Oke, sekarang bangun dulu supaya aku bisa duduk di sana."

Aku berdiri dan memperhatikan dia mengambil posisi yang baru saja kulakukan. Payudaranya lebih rata saat dia berbaring, tetapi hanya sedikit. Aku bertanya-tanya kenapa putingnya keliatan sudah keras. Dia memanggilku ke arahnya.

"Berlutut di sini," dia menunjuk di antara pahanya yang terbuka. Segitiga kecil berbahan nilon semi-transparan nyaris tidak bisa menutupi vaginanya dan aku bisa melihat dengan jelas celah yang terbuka melalui bahan itu.

"Lebih dekat," katanya, dan menekan remote dan aku mendengar kamera bereaksi.

Dia meletakkan tangan di pinggangku dan menarikku lebih dekat. "Kau harus pura-pura masukin burungmu ke dalam vaginaku," katanya.

Aku mengeser lututku lebih dekat sampai kepala penisku tinggal berjarak lima centi dari selangkangannya yang terbuka. Tangannya di pinggangku menarikku lagi.

"Lagi," katanya.

Aku bergeser dan mendorong pinggulku ke depan. Kepala penisku cuma satu centi dari bibir vaginanya sekarang terpisah oleh selembar kain mungil yang transparan. Aku menatap ga berkedip dan menyaksikan segumpal cairan bening menetes dari kepala penisku.

"Ups," gumamku.

"Jangan khawatir," katanya. "Aku tersanjung, ya kan. Dorong lebih dekat ke arahku. Karena itu aku pakai ini biar kelihatannya kamu benar-benar lagi berhubungan badan denganku. Tapi kita ga akan benar-benar ngelakuin itu."

"Ga," kataku. "Kita cuma pura-pura."

Aku mencondongkan tubuh ke depan dan kepala penisku menekan kain tipis. Rasanya hampir ga ada penghalang sama sekali dan aku bisa merasakan bibir montok vaginanya merekah dan kain celana dalamnya terdorong masuk tanpa perlawanan dan sekitar 1 cm dari ujung penisku terjepit diantara bibir vaginanya yang terbuka.

Kamera mengeluarkan suara “klik” cepat beberapa kali.

"Bagus," kata Mira, dan untuk pertama kalinya suaranya terdengar tegang.

"Ganti posisi lain?" Aku bertanya.

Dia menatapku ragu-ragu, lalu mengangguk. "Ya, aku punya beberapa ide. Gimana kalau aku di atas?"

Aku memundurkan tubuhku, meninggalkan noda basah besar di bagian depan celana dalamnya, membuat kainnya semakin transparan. Kain nilon masih terselip di dalam bibir vaginanya, dia meraih ke bawah dan menariknya keluar. Aku berpikir apa noda basah itu karena cairan pelumasku, atau dari Mira sendiri.

Dia memintaku untuk berbaring telentang di sofa dan kemudian berlutut mengangkangi perutku, perlahan-lahan merendahkan tubuhnya sampai seluruh penisku yang kaku menempel di perutnya.

"Kamu masih belum berubah pikiran kan?" katanya, menatap ke bawah di tempat kulit kami saling menempel.

"Rasanya belum," kataku.

"Apa kamu sedang terangsang banget?" dia bertanya.

"Begitulah," jawabku.

"Apa kamu sudah hampir ejakulasi?"

Aku menggelengkan kepala, "Kayaknya belum."

"Apa kamu terangsang banget tadi malam?" dia bertanya. "Melihat aku dan Febi?"

Aku mengangguk. "Menurutmu?"

"Mmm." Dia mengangguk. "Kurasa itu yang aku harapkan terjadi. Aku ingin kamu senang, Yo. Dan itu membuatku terangsang, melakukan itu di hadapanmu."

"Oh ya?" Aku bilang.

Dia mengangguk, lalu berkata, "Tapi ayo kita lanjutkan ini dulu," suaranya bergetar lebih dari sebelumnya. Dia menurunkan dirinya sehingga vaginanya menghimpit bolaku, dan aku bisa membayangkan bahwa dari belakang akan kelihatan seperti penisku sedang masuk ke dalam dirinya. Kamera terdengar. Dia memindahkan posisi tubuhnya beberapa kali diatasku sambil mengambil lebih banyak foto, mencoba sudut yang lain, menarik dan mendorongku ke posisi berbeda. Lalu dia menjauhkan diri. Noda basah di celana dalamnya jelas lebih besar sekarang, dan aku tahu kali ini pasti bukan karena pelumasku.

"Berdiri," katanya, lalu mengambil tempatku dalam keadaan telungkup di sofa, lututnya di lantai, pantatnya menungging ke udara.

"Anal seks," katanya.

"Apa!"

"Pura-pura kita lagi anal seks," katanya.

"Oh," kataku, lalu, "Apa ga sebaiknya aku pura-pura menjilat lubang pantatmu dulu?"

"Ide bagus," katanya dan kakinya terbuka lebih lebar. Aku melihat hanya sebuah tali kecil celana dalam yang menutupi lubang pantatnya, warna merah muda yang lebih gelap di sekeliling lubang pantat mengintip dari kedua sisi tali.

Aku berlutut dan mendekatkan wajahku ke celah pantatnya. Aku bisa mencium aroma yang manis dan agak amis.

"Apa aku jilat beneran?" Aku bertanya. "Karena aku ga keberatan."

"Coba kamu bisa seberapa dekat tanpa menyentuh," katanya, "Nanti kita lihat gimana hasilnya."

Aku menurunkan wajahku lebih rendah dan merasakan kulit halus pantatnya menempel di daguku saat aku mendorong masuk. Aku menjulurkan lidahku dan mencoba mendekatkannya ke lubang pantatnya sebisa mungkin tanpa menyentuhnya.

"Oke," kataku dengan suara tegang. "Sebaiknya cepat, aku ga yakin aku bisa bertahan berapa lama di sini," kataku.

Kamera berbunyi dengan cepat dan kemudian Mira berkata, "Aku ga pernah kepikiran, Yo, aku benar-benar minta maaf. Ga kepikir sama sekali konsekuensi dari permintaanku. Kamu mungkin ga mau mendekatkan mukamu ke pantatku, ya kan."

Aku mulai tertawa. "Kamu sama sekali ga paham, Mir," kataku.

"Maksudnya?"

"Yah ... sebenarnya, ini malah bikin aku terangsang lebih dari sebelumnya. "

"Oh," katanya.

"Siap lagi?" Aku bilang.

"Siap."

Aku mendorong wajahku kembali di antara kedua bongkah pantatnya dan kali ini ujung lidahku bergerak lebih jauh dari yang kupikirkan dan kurasakan lidahku menyentuh sedikit lubang pantatnya. Tubuh Mira berkedut, tetapi bukannya menjauh, dia malah mendorong mundur dan membuat seluruh permukaan lidahku sekarang menempel rata di celah pantatnya menutupi lubang.

Aku reflek menarik tubuhku mundur dan duduk di tumitku.

"Apa kamu dapat fotonya?" Aku bilang.

"Aku ..." Mira ragu-ragu dan kudengar dia menarik napas, "Kayaknya dapat."

"Maaf. Aku ga bermaksud sampai sejauh itu."

"Gapapa," kata Mira. "Ini bukan pertama kalinya ada lidah nempel di anusku."

"Kayaknya sih gitu," kataku.

Mira tertawa. "Kita ini sedang apa, Yo?"

"Mana aku tahu," kataku. "Tapi ini seni, ya kan?"

"Ya," kata Mira.

"Lanjut?"

"Oke. Berpura-puralah bersetubuh denganku sekarang, seolah-olah kamu masukkan penismu kepantatku."

Dia menurunkan kepalanya lagi ke atas bantal dan aku bergerak mendekatinya, membiarkan penisku menempel di celah pantatnya, ga berani untuk menempelkannya di tempat yang seharusnya, memastikan aku ga menyentuhnya di titik sensitif itu.

"Lebih dekat," gerutunya setelah mengambil beberapa foto, dan aku bergerak maju, menyelipkan kemaluanku di sepanjang celahnya sampai mentok, kantong telurku menempel pada vaginanya dibatasi selembar kain tipis. Lima foto lagi dan kemudian dia mendorong kakiku dengan tangannya.

"Sudah cukup?" Aku bilang.

"Mm," jawabnya. Suaranya tidak sepenuhnya normal.

"Mira, apa ini bikin kamu terangsang juga?"

Dia berguling, menatap mataku, dan kemudian mengangguk.

"Aku ga mau berhubungan badan denganmu, Mira."

"Terima kasih," katanya dengan sinis.

"Maksudku, aku mau. Aku mau berhubungan badan denganmu, tapi kamu tahu apa yang kumaksud. Aku ga akan berhubungan badan denganmu."

Dia mengulurkan tangan dan menepuk perutku, "Bodoh, aku tahu kok apa yang kamu maksud. Sini mendekat dan berlutut di atasku, pura-pura oral seks."

"Ya ampun, Mir."

"Ga, pura-pura," katanya.

Aku mengangkangi payudaranya dan mengarahkan penisku ke mulutnya. Mira melihat lewat sampingku ke kamera dan mengerutkan kening, meletakkan tangannya di pundakku dan menarik dirinya keluar dari bawahku. Aku merasakan batangku tergesek oleh payudaranya saat dia bergerak, helai rambutnya mengelitik pangkal penis dan telurku. Dia memindahkan kamera sehingga sekarang berada di sebelah sofa, lensanya mengarah ke tempat di mana kepalanya tadi berada. Kemudian dia menggeliat dan merosot kembali di bawah aku, mengulangi gesekan panjang payudaranya yang lembut di batang penisku.

"Maaf," katanya, "Ga sengaja."

"Ga sengaja apanya?" Kataku polos.

Dia bergeser lebih jauh ke bawah dan berhenti saat kepala jamur yang membengkak sekarang tinggal berjarak beberapa centi dari bibirnya. Dia membuka mulutnya dan mengerutkan bibir seolah dia akan menyedotku. Aku merasakan tangannya di pantatku saat dia menarikku ke depan. Aku hilang keseimbangan dan penisku hampir tersodok langsung ke mulutnya, untungnya aku bisa meraih sandaran sofa dan berhenti tepat pada waktunya.

"Nnn nn nnn nnn nn n," kata Mira.

"Apa?"

Dia meletakkan tangannya di pinggangku dan mendorongku menjauh.

"Kalau aku buka mulut lebar-lebar, bisa ga kamu masukin dua centi ke dalam? Aku akan berusaha untuk ga nyentuh atau apa pun."

"Luar biasa," kataku, dan tertawa.

Dia menampar pantatku dan kembali ke posisinya tadi. Aku menggeser pinggulku ke depan dan menyaksikan kepala penisku melewati bibirnya, tidak berani bergerak. Aku bisa lihat setetes cairan pelumas mulai muncul dari lubang penisku dan berharap itu ga akan menetes sebelum aku menarik mundur.

Terdengar suara kamera lalu aku bergerak mundur.

"Tunggu," kata Mira.

Aku berhenti. Dia mengangkat tangannya dan memegang penisku, lalu diam.

Dia menatapku.

"Aku mau memegangnya, pura-pura aku lagi ngocok ke mulutku. Boleh kan?"

Aku mengangguk.

Dia menarik pinggangku sampai posisiku sesuai yang dia mau, lalu memposisikan tangannya di sekitar bagian tengah penisku. Dia ga meremas aku dengan keras, tetapi cuma sentuhannya aja sudah terlalu nikmat buatku, dan aku berusaha dengan segala cara dan usaha agar ga muncrat di wajahnya. Aku membuat suara mengeram dalam tenggorokanku pada saat aku mendengar kamera mengambil gambar. Keringat sebesar jagung muncul di seluruh bagian wajahku, pertanda seberapa besar usahaku menahan diri

"Kamu gapapa, Yo?" Mira bertanya, tangannya masih melingkar di penisku.

"Hampir," kataku.

"Ini ga adil, kan?" dia berkata.

"Gapapa, Mir, aku bisa ngerti."

Dia mendorong pinggulku dan melepas genggamannya dari penisku.

"Balik badan terus duduk di sofa, Yo," katanya. Aku menjatuhkan diri di sampingnya dan dia berpindah tempat di antara pahaku. Aku menatapnya, tapi dia memandang penisku. Ukurannya lebih besar dan lebih keras dari yang pernah aku lihat, dan aliran pelumas terus-menerus keluar dan menetes sepanjang batangku.

"Yo?" Kata Mira.

"Ya?"

"Boleh aku selesaikan? Sebagai ucapan terima kasih?"

"Ya Tuhan ..."

"Boleh ga?"

"Kalau kamu yakin - aku tahu kamu ga tertarik sama cowok."

"Aku belum pernah ngelakuin ini," katanya. "Aku ga pernah ingin ngelakuin ini. Tapi kamu beda, Yo. Rasanya aku bisa ngelakuin ini buat kamu dan itu beda dengan kalau aku ngelakuin ke cowok lain."

"Anggap aku sebagai kontol kehormatan," kataku.

Dia tertawa pelan. "Jangan banyak omong, bro, atau aku akan berubah pikiran."

Tangannya bergerak di atas pahaku dan menyentuh kantung telurku yang membengkak.

Dia mengengam penisku lagi dan mulai dengan lembut membelainya naik dan turun.

"Ajarin aku mesti gimana, Yo," katanya. "Kamu tahu kan aku ga ngerti caranya."

"Sudah betul kok," kataku, melihat ke bawah untuk menyaksikan jari-jarinya yang ramping menyelimuti penisku, membelainya dari pangkal sampai ke kepala.

Aku melihat tangannya yang lain turun ke bawah dan menyelinap di antara kedua kakinya, meraba ke balik kain segitiga kecil. Dia menarik jari-jarinya dan membawanya ke kepala penisku, membasahinya dengan cairan licin dari vaginanya. Aku mengerang dan pinggulku tanpa sadar bergerak maju.

Mira terkejut. "Kupikir sudah waktunya," katanya.

"Hampir. Mira, di mana remote untuk kamera."

Dia melihat sekeliling, melihatnya di lantai. Dia mengambilnya dan memberikannya kepada aku. Aku memegangnya di tangan kiriku di samping, tersembunyi dari pandangan.

Mira mulai membelai aku lagi, tangannya kembali turun ke selangkangannya dan kali ini tetap di sana.

Aku berusaha sekuat tenaga menahan orgasme. Aku pingin orgasme, tapi aku ga mau Mira menghentikan apa yang dilakukannya. Aku perhatikan saat Mira mulai menggocok lebih cepat dan menggerakkan jari-jari tangannya yang lain dengan cepat keluar masuk vaginanya yang basah. Kepalanya terkulai dan mulutnya terbuka. Payudaranya yang sempurna bergetar dan berayun, putingnya yang merah muda panjang dan keras. Dia bernapas dengan cepat, dan aku menunggu, menunggu, menunggu ...

"Nnnnnn!" dia mendengus, dan aku melihatnya gemetar. Tangannya mencengkeram penisku lebih erat dan bergetar, lalu mulai menggosok dengan panik. Kontrol gerakannya hilang, dia mengejang, tangannya mengencang lalu hampir lepas, tapi itu sudah ga perlu sekarang. Punggungnya melengkung dan pahanya bergetar dan dia menekan tangannya ke bawah pada kemaluanya sendiri ketika aku tidak mampu bertahan lebih lama menahan tekanan dari dalam penisku.

Sperma muncrat dan terlempar jauh di atas kepalaku ke belakang sofa, dan aku setengah sadar menekan jari ke remote saat aku muncrat lagi, kali ini mendarat di pipiku, lagi di dadaku, lagi di perutku, lagi di pusarku, lagi di tangan Mira ... lagi di jari-jarinya ... lagi, mengalir di sepanjang batang penisku dan punggung tangannya ...

Mira masih terus mengesek penisku, lebih lambat sekarang, meratakan lelehan sperma sepanjang kemaluanku, melihatnya mulai menyusut, terpesona karena perubahan bentuknya.

Aku bergidik dan mengejang, lalu meraih tangan Mira dan menghentikannya karena penisku jadi terlalu sensitif untuk disentuh dan kemudian menghela napas.

"Puas?" Kata Mira.

"Oh ya," kataku. "Dan kamu?"

"Kurasa aku juga sama terangsangnya denganmu, Yo. Aku ga tahan..."

"Luar biasa," kataku.

"Ya, kan?" dia berkata.

"Mira," kataku, "Apa yang akan kita lakukan nanti kalau sudah mulai tinggal bersama?"

"Jaga perilakumu," katanya, dan tersenyum. "Kamu akan terlalu sibuk pacaran dengan mahasiswi-mahasiswa muda yang cantik untuk memikirkan hal seperti ini."

Aku menatap wajahnya yang cantik dan ga bilang apapun.

Akhirnya Mira menjauh dariku dan menyeka tangannya dengan tisu, tetapi sebelum dia melakukannya dia mengangkatnya ke wajahnya dan membalikkannya, menatap sperma yang berkilau yang melumuri bagian belakang tangannya.

Aku bangkit dari sofa dan pergi ke kamar mandi untuk mandi cepat untuk membersihkan diri. Ketika aku keluar, Mira sudah berpakaian dan kami duduk di meja dapur dan makan sarapan kami yang tertunda.

Tak lama kemudian tiba saatnya aku pulang dan Mira mengantarku ke terminal, menciumku sebelum aku pergi. Aku merasa bahwa ciuman kali ini lebih lama dan bergairah daripada ciuman sebelumnya, tapi itu mungkin cuma angan-angan. Sepupuku yang nakal membuatku mempunyai banyak pikiran liar dan rasa dia ga sadar apa yang sudah dia lakukan.

Aku menoleh dan memandang ke luar jendela ke arahnya ketika busku menjauh, melihatnya sampai ke sudut dan dia menghilang dari pandangan, masih berdiri di trotoar tempat kami mengucapkan selamat tinggal.



Bersambung... Chapter.06
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd