Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT Sketsa

CHAPTER.06

Hadiah Kejutan



Saat itu awal Juni dan cuaca di Purworejo sudah memasuki musim kemarau. Pekerjaan konstruksi Mas Jarwo semakin laris. Sudah beberapa kali aku harus bekerja sendirian di proyeknya, alasannya karena kekurangan pegawai. Hanya sesekali Mas Jarwo akan datang ke masing-masing proyek untuk mengecek pekerjaan anak buahnya. Kali ini aku kebagian tugas untuk mengerjakan renovasi landscape pekarangan rumah berlantai satu timur kota, berbatasan dengan hutan di belakangnya. Mas Jarwo ikut mengantarku pada hari Sabtu, melihat lokasi, bertemu dengan pasangan pemilik rumah dan memperkenalkanku pada mereka.

Sepertinya nyonya rumah yang ingin menata ulang rumahnya dengan membuat taman dari depan sampai samping rumahnya. Suaminya setuju tanpa banyak membantah, dan sepertinya punya banyak uang untuk menuruti setiap kemauan istrinya. Badannya besar, tingginya sekitar 180 cm, rambut cepak, wajahnya penuh dengan brewok tidak rapi. Sang istri setidaknya 25 cm lebih pendek dibanding suaminya, langsing dan cantik dengan rambut lurus kecoklatan dan kulit bersih. Suaminya pendiam, hanya menjawab jika ditanya langsung, tapi istrinya ramah, banyak senyum dan sangat bersemangat menjelaskan renovasi apa yang dia inginkan.

Mas Jarwo menjelaskan bahwa aku akan melakukan pekerjaan sendirian, dan akan butuh waktu sekitar dua minggu. Wanita itu bilang tidak masalah, pria itu mengangguk, melihat ke arah hutan, tidak tertarik dengan pembicaraan kami.

Cuaca pagi ini cerah setelah hujan semalam, Awan menggumpal hanya sesekali sinar matahari menerobos. Pria itu bernama David Budianto dan istrinya Silviana. Mas David tampak berusia sekitar empat puluh, Mba Silvi mungkin sepuluh tahun lebih muda, bahkan mungkin lebih. Mba Silvi berpenampilan menarik, ramah dan mudah akrab. Rencananya aku akan mulai bekerja hari Senin jam tujuh pagi. Pasti menyenangkan bekerja di lingkungan yang nyaman ini.



----------------------- o --------------------​



Mas Jarwo mengantarkan aku dan membantu menurunkan peralatan yang akan aku butuhkan. Dua hari awal aku akan mempersiapkan lokasi, lalu batu, tanah dan tanaman rencananya akan menyusul dikirim. Mas Jarwo meninggalkan aku dan aku memandang berkeliling ke halaman rumput, melewati jalan setapak dan mengetuk pintu depan.

Mas David segera membukanya, membawa tas kerja.

"Hei, Yo, pagi banget" Dia pasti ga dengar janjiannya hari Sabtu lalu, tapi aku kaget dia masih ingat namaku.

"Berusaha tepat waktu, Pak. Mas Jarwo bakal marah kalau ga."

Mas David tertawa dan menampar pundakku. " Panggil Mas aja, biar keliatan muda. Ya sudah selamat bersenang-senang ."

Pasti, pikirku: menggali, ngaduk tanah, melepas rumput.

"Silvi, Yohan sudah datang. Kasih dia kopi sebelum kamu pergi, Sayang!" Bersama itu, Mas David memakai remote-nya untuk membuka pintu garasi dan semenit kemudian pergi dengan mobil Mercedes baru.

Mba Silvi keluar dari pintu, dengan mata ngantuk, masih memakai daster rumah, dan memberiku secangkir kopi panas. Dia tersenyum dan kembali ke dalam tanpa bilang apa-apa. Aku membawa kopiku ke samping rumah dan duduk di bangku kayu sambil meminumnya pelan-pelan. Dari belakangku aku mendengar suara jendela dibuka dan kemudian suara pancuran air dari kamar mandi. Aku menoleh ke belakang, tapi pandanganku terhalang kaca mozaik yang tebal, sayang sekali karena aku tadinya merasa bisa ngintip Mba Silvi yang sedang mandi.

Aku meletakkan cangkir kosongku di samping pintu depan dan mulai bekerja. Aku harus mengelupas area rumput yang luas di depan rumah dan kemudian mulai mengali dan memindahkan tanahnya. Aku mulai mengupas rumput dan menumpuknya dengan rapi. Kalau ga diperlukan disini, Mas Jarwo bisa menjualnya di tempat lain, atau dipakai di proyek lain.

Tepat sebelum jam sembilan pintu depan terbuka dan Mba Silvi keluar, memakai baju kerja, blouse putih dilapisi blazer yang rapi, rok yang menyentuh bagian atas lututnya, rambut ditarik ke belakang dan diikat tinggi di bagian belakang kepalanya, kulit kakinya kecoklatan dan mulus.

Dia melambai dan memanggil, "Aku tinggal ya, Yo, rumah ga aku kunci, kalau kamu butuh sesuatu ambil sendiri ya di dalam" lalu naik dan memundurkan mobilnya dari garasi dan menghilang di jalan menuju kota.

Aku mengayunkan cangkul dan mulai membereskan potongan rumput berikutnya.

Tepat tengah hari aku selesai dan melepaskan kausku yang sudah basah karena keringat lalu duduk di bangku di samping rumah lagi, membuka bungkusan makan siang dan menghabiskannya perlahan-lahan sambil memandang hutan di belakang rumah. Hanya terdengar suara angin diantara daun-daun, bebas dari suara kendaraan bermotor.


Aku minum banyak air yang aku bawa dari rumah, lalu berjalan ke hutan dibelakang untuk buang air kecil. Setelah itu aku berjalan lebih jauh ke hutan. Setelah beberapa puluh meter baru tampak ada pagar yang membatasi, dan sepertinya sebagian hutan itu termasuk milik mereka memanjang sampai ke pekarangan depan yang aku sedang kerjakan. Udara terasa lebih sejuk dibelakang sini, tapi aku ga bisa lama-lama dan harus kembali bekerja.

Ketika aku kembali, aku memakai kausku lagi dan pergi ke depan tepat ketika Mba Silvi pulang. Dia keluar dari garasi, blazernya tersampir di lengan, dua kancing atas blus putihnya terbuka. Belahan dadanya terlihat olehku, terapit diantara dua gumpalan yang putih mulus, bergoyang ketika dia berjalan, memantul seperti puding. Aku mengelengkan kepala lalu menatap matanya, berharap dia tidak sadar aku memperhatikan dadanya. Pengalamanku di Jakarta membuat imajinasiku semakin liar akhir-akhir ini.

"Gimana hasilnya, Yo?" Dia berhenti dan melihat hasil pekerjaanku tadi pagi.

"Aman Bu," kataku.

"Panggil Mba aja, Yo, ok?."

Aku mengangguk. "Dalam beberapa hari ini pasti masih berantakan. Tapi ini baru persiapan. Paling lambat hari Rabu, Kamis, aku baru akan mulai beresin lagi dan setelah itu baru akan keliatan rapi."

Dia menyentuh lenganku. "Aku percaya sama kamu dan Mas Jarwo. Rumah ini dulu dia juga yang renovasi dari nol, dan kami berdua puas dengan hasilnya." Dia mengipasi wajahnya dengan tangan dan mengembungkan pipinya. "Panas banget di sini."

Aku mengangguk. Kausku basah kuyup dari depan dan belakang.

"Aku mau siapin makan dulu didalam," katanya. "Kamu mau minuman dingin, Yo?"

"Boleh, Mba," kataku, "Tapi aku harus nyelesaiin ini dulu."

"Bentar aja kok. Pasti enak kalau punya teman makan siang. Aku biasanya makan sendirian."

"Oke," kataku.

Dia berbalik ke arah rumah. "Kalau masuk, sepatumu dilepas ya."

"Pasti, Mba."

"Aku ganti baju dulu. Nanti aku panggil kalau sudah siap."

Aku kembali bekerja, memindahkan dan merapikan tumpukan rumput, lalu mulai menggali tanah dan memindahkannya ke bagian yang akan ditinggikan. Mereka ingin membuat kolam ikan besar yang memanjang sampai samping garasi, dan juga menanam beberapa pohon besar yang baru akan dikirim minggu depan.

Kurang lebih setengah jam kemudian aku dengar Mba Silvi memanggil. Aku merapikan alat-alat dan melepas sepatu botku, meninggalkannya di jalan setapak depan pintu. Aku mengetuk dan mengintip ke dalam.

"Langsung ke dapur," panggil Mba Silvi.

Aku menyusuri lorong lebar berlantai kayu, belok kiri dan memasuki dapur besar. Mba Silvi berdiri di sebelah meja besar di tengah ruangan. Dia sudah ganti memakai celana pendek dan blus krem tanpa lengan memperlihatkan bahu dan lengannya. Dia menunjuk ke segelas besar lemontea buatan sendiri yang diberi es batu.

"Ambil kursi. Duduk ajak aku ngobrol, Yo." Dia menarik bangku ke meja dan menyelipkan kakinya di bawah, mulai makan salad alpukat.

"Enak," kataku, sambil meneguk dalam-dalam.

"Terima kasih. Memang lebih enak kalau bikin sendiri, ya kan?"

"Sepertinya memang gitu."

"Jadi, sudah berapa lama kamu kerja sama Mas Jarwo, Yo? Kayaknya aku belum pernah lihat kamu di proyek sebelumnya."

"Sejak pertengahan tahun lalu," kataku. "Aku cuma bantu setahun sebelum aku kuliah."

"Kuliah?," katanya, mengangkat alisnya. "Jadi ini bukan kerjaan utamamu?"

Aku tertawa. "Ga, Mba. Ga ada masalah sih sama kerjaannya, tapi aku ga mau jadi kuli selamanya."

"Bagus cara pikirmu," katanya. "Pendidikan ga akan pernah sia-sia. Jurusan apa?"

"Seni Murni," kataku. "Seni rupa, menggambar."

Dia mengangguk dan menatapku dari balik gelasnya. "Menarik."

"Menurutku begitu," kataku.

"Dimana kuliahnya?"

"Jakarta. Sepupuku sudah di sana, dan kami jadi bisa saling ketemu. Dia bakal lulus tahun ini, tetapi mau lanjut S2."

"Hebat. Kamu jago ga, Yo? Aku mau lihat beberapa hasil karyamu."

Aku tertawa lagi. "Gapapa, Mba Silvi, ga harus sampai segitunya."

Dia balas tersenyum padaku. "Ga, aku serius. Aku suka lukisan, gambar, foto yang bagus. Aku selalu berusaha mencari hadiah tiap ulang tahun Mas David. Mungkin aku bisa beli sesuatu darimu, Yo!"

"Wah, Aku ga yakin aku punya yang sebagus itu, Mba," kataku.

"Rendah hati juga kamu. Aku kasih tahu, besok kamu bawa beberapa hasil karyamu dan aku akan melihatnya. Kalau aku pikir ada sesuatu yang menarik, aku mungkin akan membelinya."

Dia meraih dan menyentuh lenganku sebentar, tangannya pucat di kulitku yang kecokelatan. "Aku serius, Yo. Aku mau lihat beberapa koleksimu. Aku akan marah kalau besok kamu ga bawa apa-apa untuk ditunjukkan."

Aku mengangkat bahu. "Oke. Tapi kalau Mba ga suka jujur aja, aku ga berharap Mba Silvi akan beli sesuatu?"

Dia mengangguk. "Oke."

Aku menghabiskan minuman dan berdiri. "Lebih baik aku kerja lagi."

"Aku ga kemana-kemana sampai sore," kata Mba Silvi. "Nanti aku bawain minuman lagi."

"Terima kasih."

Aku berjalan keluar dan memakai sepatu bot aku lagi, kembali ke kerjaan kasar tukang bangunan.



------------------ 0 -------------------​



Besok paginya aku hampir lupa ga bawa portofolioku. Aku melek sampai malam, memilih mana yang harus aku bawa dan mana yang harus ditinggalkan. Ada setumpuk gambar yang sudah aku buat bareng Mira yang ga mungkin aku tunjukkan ke Mba Silvi, tetapi di sisi lain aku ingin menunjukkan padanya hasil karyaku yang paling bagus, masalahnya banyak dari itu adalah gambar-gambar baru yang ga cocok untuk ditunjukkan ke orang lain.

Pada akhirnya, aku menyelipkan potret Mira yang pertama kubuat, gambar kepala dan pundaknya, dan juga gambar Mira telanjang satu badan utuh. Aku mengubah beberapa bagian, dan ga mungkin ada yang menganggap ini gambar wanita yang sama - setidaknya kuharap begitu. Gambar telanjang itu cukup bagus dibanding dengan banyak gambar lain yang aku kerjakan. Aku juga membawa beberapa gambar yang sudah aku buat disini sejak kembali dari Jakarta, gambar wajah pria dan wanita, petani yang bekerja di sawah, seorang pria yang duduk di pikapnya sambil merokok. Secara keseluruhan, aku bawa dua puluh buah gambar.

Aku tiba disana sebelum jam tujuh pagi, seperti biasa menumpang mobil Mas Jarwo. Kuletakkan map itu di atas tas ransel yang berisi bekal makan siangku dan aku mulai bekerja. Tak lama kemudian Mas David keluar, menghampiriku untuk ngobrol tentang apa yang akan kukerjakan, menampar pundak aku lagi dan pergi. Kalau ada kesempatan aku mau tanya ke Mba Silvi apa pekerjaan suaminya, mungkin juga pekerjaan Mba Silvi sendiri.

Tepat sebelum jam sembilan dia keluar, berjalan ke arahku juga. Keringatku mengucur deras, udara lebih panas hari ini.

"Apa kamu bawa sesuatu untuk ditunjukkan?" dia bertanya, lengan terlipat di dadanya.

Aku mengangguk ke map di atas tasku. "Di sana."

Dia menyeringai. "Bagus. Nanti aku lihat pas makan siang. Kamu ikut makan siang kan, Yo?"

"Aku bawa bekal, Mba," kataku.

"Aku yakin kamu masih bisa nambah lagi. Makan sepuasnya. Kamu butuh banyak tenaga untuk kerjaan ini."

"Iya sih," kataku.

"Sampai ketemu nanti."

Aku terus bekerja dan pada jam satu bentuk kolam sudah terlihat. Aku berhenti dan menelepon Mas Jarwo di ponselku, memberitahunya pasir dan semen sudah bisa dikirim besok.

Aku melirik tasku. Bekalku masih dibungkus di dalam, dan aku lapar sekarang, tetapi memutuskan untuk menunggu.

Mba Silvi tiba jam setengah satu, jaket di atas bahunya, dua kancing atas terbuka memamerkan payudaranya yang bergoyang tiap dia melangkah.

"Setengah jam lagi kamu langsung masuk aja, Yo."

Aku menghabiskan waktu merapikan sisi-sisi kolam, membentuknya dengan sekop sesuai yang aku inginkan.

Mba Silvi memanggil dan aku melepas sepatu botku dan masuk ke dalam, baru sadar badanku berkeringat dan kotor banget.

Dia ada di dapur, memakai celana pendek yang beda dari kemarin, kali ini pakai tank top berwarna biru pucat yang kelihatannya berbahan sutra. Dari cara payudaranya bergerak di dalamnya, dia sepertinya ga pakai bra.

"Aku bikin salad ayam. Semoga kamu doyan, Yo?"

"Doyan, Mba," kataku, sungguh-sungguh.

Dia mengulurkan tangan. Aku menyerahkan map itu dan duduk di bangku, mendekat ke meja. Aku mengambil sendok garpu dan memperhatikan tanganku.

"Aku numpang cuci tangan dulu ga, Mba?"

Mba Silvi mendongak dari mempelajari gambarku. "Boleh. Pakai wastafel dapur, ada sabun di samping."

Saat aku mencuci tangan, Mba Silvi terus memperhatikan hasil karyaku. Dia meletakkan gambar berjejer, empat sekaligus di atas meja, mempelajari masing-masing beberapa saat, lalu melanjutkan, dan menggantinya dengan empat gambar lainnya.

Aku duduk di kursiku dan mulai makan, berusaha untuk ga memperhatikan ekspresinya.

Perutku sedikit mules saat aku melihat dia mengeluarkan potret Mira dan kemudian gambar yang telanjang. Dia menarik mereka ke arahnya dan melihat ke bawah, mengerucutkan bibirnya.

"Aku tidak yakin sama yang itu," kataku.

Dia melirik ke arahku. "Kenapa ga? Ini bagus banget." Dia menyentuh potret itu. "Siapa ini?"

"Itu Mira, sepupuku."

"Dia cantik banget."

"Memang dia cantik, Mba."

"Kalau yang ini?" Dia menunjuk ke gambar yang telanjang.

"Cuma model."

Mba Silvi mengangkat alis. "Cuma model? Badannya bagus banget untuk ukuran cuma model."

"Lumayan." Aku kembali ke makananku, berusaha menyembunyikan kegelisahanku karena ditanyai. Aku ga tahu kenapa aku merasa gugup.

Mba Silvi mengumpulkan semuanya dan memasukkannya kembali ke map.

"Aku ga mau beli ini," katanya.

Aku mengangguk, tapi sedikit kecewa. Mungkin aku berharap dia akan merasa aku jago. "Gapapa, Mba. Aku memang ga berharap-"

"Tapi aku punya request," katanya, memotongku.

"Request?"

"Iya request, itu kan namanya?"

"Eh, ya, mungkin." Jawabku masih belum tau arah pembicaraannya.

"Aku mau dilukis seperti sepupumu. Kepala dan pundak. Tapi lebih gede. Sekitar..” dia mengulurkan tangannya sekitar 50 centi terpisah, "Sekitar segini lebarnya, dan tingginya juga?"

Aku tertegun sejenak. "Mba Silvi, serius?"

Dia mengangguk. "Mas David ulang tahun Sabtu ini. Kalau aku jadi dilukis, kira-kira pas itu sudah selesai apa belum?"

Aku sudah memikirkannya. "Aku ga tau, Mba." Wajahnya terlihat kecewa. "Harusnya sih sempat, tapi aku kan masih harus ngerjain kebunmu, dan aku rasa Mba Silvi ga mau dilukis pas Mas David dirumah kan, buat surprise."

"Oh," katanya. "Aku belum kepikiran itu. Tapi Mas David ga pernah pulang sebelum jam delapan. Gimana kalau kamu kerja sampai jam empat, abis itu mulai lukis aku. Nanti aku anterin pulang?"

Aku memikirkannya, mengangguk. "Mungkin sudah mepet, tapi harusnya Jumat dah selesai, kalau kita mulai hari ini."

Mba Silvi menyeringai. "Oke. Oh - dan berapa biayanya? Aku ga paham soal beginian."

"Aku kasih tau besok,"kataku,"Kita liat dulu nanti sore hasilnya sejauh mana, kalau kira-kira bisa selesai, baru nanti ngomongin harga. "

"Setuju."

Aku menelepon Mas Jarwo dan memberi kabar kalau aku ga usah dijemput, syukur dia ga terlalu nanya kenapa, atau aku nanti pulang naik apa. Aku juga kirim kabar ke Ibu kalau nanti pulang telat.

Tapi baru jam lima kurang aku ngetuk pintu. Mba Silvi membuka pintu, masih pakai baju yang tadi siang.

"Aku harus melakukan apa, Yo? Aku belum pernah berpose untuk dilukis sebelumnya"

"Mba Silvi ada ide mau dilukis dimana?" Aku bilang. "Pikirin tentang Mas David, kira-kira dia bakal suka ngeliat Mba Silvi dimana?"

"Di taman," katanya seketika, "Dengan background hutan."

Kami keluar dan aku mendudukkan Mba Silvi di bangku, menghadap rumah sehingga sepintas dia dibingkai oleh pepohonan besar dibelakang nya. Aku merubah arah badannya minta supaya dia duduk menyamping lalu menoleh ke arahku, agak ke sebelah kananku. Lalu aku menarik satu kursi, membuka buku gambar kecilku, yang selalu aku bawa ke mana-mana, dan mulai bikin sketsa awal.

"Malam ini aku akan bikin sesuatu yang cepat," kataku. "Besok aku bawa kertas yang besar dan baru mulai menggambar sesuai yang Mba minta."

Mba Silvi mengangguk, dan aku berkata, "Coba jangan banyak gerak ya, Mba."

Aku melihatnya tersenyum sepintas. Dia hampir mengangguk lagi, lalu menatap ke satu sisi, ga berani banyak gerak.

Aku bekerja penuh selama hampir satu jam, dan saat itu aku bisa lihat Mba Silvi sudah mulai kesulitan untuk tetap berpose dan duduk diam. Sketsa kasar awalku sudah selesai dan menyuruhnya untuk santai. Dia menghela napas tiba-tiba, seolah-olah dari tadi dia menahan nafas dan duduk merosot di bangku.

"Itu susah banget," katanya.

"Lain kali mesti coba rileks dari awal. Mba Silvi pernah ikut yoga?" Aku bertanya padanya.

Dia menggelengkan kepalanya. "Pilates. Aerobik. Kalau yoga belum pernah."

"Cocok itu kalau buat latihan pose," kataku.

Dia bangkit dari bangku dan merentangkan tangannya tinggi-tinggi di atas kepala, melemaskan badannya yang terasa kaku. Atasan birunya ikut terangkat memperlihatkan perut yang rata. Dia mengerak-gerakan tangannya dan menghampiri aku.

"Boleh aku lihat? Atau kamu tipe seniman aneh yang ga boleh dilihat sampai selesai?"

"Bisa aja, Mba. Boleh lihat kok," kataku, dan membalik buku ke arahnya.

Dia mendekat dan duduk di lengan kursi taman yang lebar, membungkuk dan memperhatikan sketsa itu.

"Wow, Yo, ini luar biasa," akhirnya dia berkata.

"Ini cuma sketsa awal, buat ngeliat apa kayak gini yang Mba mau."

"Mas David bakal suka ini!"

"Kita mulai kerjain yang ukuran asli besok ya, Mba, abis kerja?"

Dia mengangguk, ga bergerak dari kursi. Kakinya yang halus tergantung di sebelah kakiku dan aku menarik tatapanku ke arah lain. Aku harus bisa profesional soal ini. Pengalaman baru. Aku tahu banget aku ga pernah sedikitpun profesional pas menggambar Mira, tapi Mba Silvi kan hampir orang asing, dan aku harus bisa ngontrol hormon remajaku.

Untungnya dia melirik jam tangannya dan melompat. "Sebaiknya aku antar kamu pulang dulu. Mas David bentar lagi pulang dan aku ga mau ngerusak kejutannya."

Dalam perjalanan ke rumahku, Mba Silvi berkata, "Sabtu bisa selesai, kan? Itu hari ulang tahunnya."

"Pasti," kataku, lebih yakin dari yang kurasakan.

Aku mengarahkan Mba Silvi ke jalan rumahku dan dia sedikit kaget lihat betapa sederhananya rumahku. Sebelum aku membuka pintu, dia membungkuk dan mencium pipiku dengan cepat.

"Makasih, Yo. Ini berarti banget buatku."

"Dengan senang hati, Mba."

"Oh, dan Yo," aku berhenti, satu kaki keluar dari mobil. "Bawain aku sketsa-sketsamu lagi buat dilihat. Aku benar-benar suka ngeliatnya. Gambar hidup khususnya."



Butuh hampir satu jam untuk memilih sepuluh gambar yang ga terlalu cabul untuk ditunjukkan ke Mba Silvi. Aku ragu-ragu tentang dua diantaranya, karena merupakan gambar yang aku buat dari sesi dengan Mira sebelumnya, gambarku yang telanjang, walaupun ga terlalu erotis atau apa. Aku cuma berharap Mba Silvi ga tau kalau itu aku.

Aku sedikit merinding saat memasukkan mereka kedalam map buat dibawa besok, dan berharap untuk ga terbawa suasana. Dalam hal ini Mba Silvi adalah majikanku, ga lebih. Dia mungkin cantik dan seksi, tetapi tetap majikanku, dan aku harus profesional.

Rabu bahkan lebih panas dan aku melepas kausku lebih awal. Pada siang hari saat Mba Silvi pulang, keringat sudah mengucur di leher dan dadaku sampai menetes ke celana jinsku, membuat bercak-bercak disana. Seperti biasa Mba Silvi keliatan keren. Dia datang ngeliat progres kerjaanku. Tepian kolam sudah rapi dan perlahan kuisi dengan air dari selang. Aku taruh beberapa batu alam di pinggirannya dan pada sore nanti kalau airnya sudah penuh pasti akan keliatan lebih bagus.

Mba Silvi mengangguk dan berkata, "Aku suka. Mau makan siang?"

"Boleh, terima kasih."

Dia berbalik dari kolam dan menatapku dari atas ke bawah. “Bukannya menghina, Yo, tetapi kamu harus mandi dulu sebelum kita makan?"

"Dibawa keluar aja Mba kalau gitu," kataku. "Aku ga mau bikin kotor rumah."

"Ga masalah. Masuk dan mandi di kamar mandi dalam."

"Beneran, Mba?"

"Kalau ga serius aku ga bakal nawari, Yo." Dia menyentuh lenganku sebentar dan berbalik.

Aku membuka sepatu botku dan meninggalkannya di dekat pintu, mengikuti Mba Silvi masuk. Dia menuntunku ke kanan, area rumah yang belum pernah aku lihat sebelumnya dan menunjuk pintu kayu.

"Pakai shower di sini. Aku juga mau mandi, tapi di kamar mandi di kamar. Lima belas menit?"

Aku mengangguk, masuk dan melepas bajuku. Ga ada kunci di bagian dalam pintu, mungkin karena mereka cuma tinggal berdua jadi ga butuh kunci. Lagian, Mba Silvi tahu aku ada di dalam, ga mungkin salah masuk.

Kamar mandinya besar dan bersih, mungkin Mba Silvi kalau sore bersih-bersih rumah karena aku belum pernah ketemu pembantu atau siapapun di rumah ini selain mereka berdua.

Aku mandi memakai air dingin biar lebih segar, menghilangkan keringat dan kotoran dari kegiatanku pagi ini. Aku sedang keramas ketika pintu kamar mandi kebuka.

"Aku ga lihat," kata Mba Silvi. "Ada beberapa handuk bersih di dekat pintu."

Aku mendengar pintu ditutup lagi. Mataku tertutup agar ga kemasukan sampo. Aku ga tahu Mba Silvi tadi ngelihat atau ga. Kalau iya, aku berdiri menghadap ke pintu dan dia pasti lihat semuanya. Aku hilangkan pikiran liarku, selesai membilas dan mengeringkannya dengan handuk putih besar.

Rasanya salah pakai celana jinsku yang bernoda keringat dan kotor, tetapi aku ga punya pilihan lain. Tapi kausku juga benar-benar basah kuyup karena keringat. Semoga Mba Silvi ga keberatan aku makan sambil telanjang dada.

Saat aku jalan ke dapur dia menata piring di atas meja dan menyajikan pasta, hangat dan lembut. Dia memakai celana pendek lain, beda dari hari sebelumnya, terbuat dari polyester yang nempel di pinggulnya yang ramping. Atasan sutera lainnya memamerkan bahu dan belahan dadanya, dan lagi-lagi dia kelihatannya ga pakai bra.

Meskipun di luar panas, di dalam rumah ber-AC dan sejuk. Mungkin itu yang bikin aku bisa ngeliat puting Mba Silvi menonjol dari bahan lembut atasannya.

Dia ngeliatin pas aku duduk, bertelanjang dada, dan tersenyum. "Aku lupa kamu ga bawa baju bersih buat ganti."

Aku balas tersenyum dan mengangkat bahu.

"Apa kamu bawain aku sketsa lagi?"

Aku meletakkan map itu di meja dan mendorongnya ke arahnya. "Itu Mba yang mau sendiri," kataku, mencoba bikin alasan dari awal.

Dia membukanya saat mulai makan, butuh waktu lama untuk tiap sketsa, bahkan lebih lama di beberapa sketsa. Aku ga yakin, tapi kayaknya tonjolan puting di dadanya makin jelas.

"Ya Tuhan, Yo, ternyata kamu beneran jago menggambar ya?"

"Semoga begitu, Mba" kataku.

"Ga, kamu memang jago." Dia menghabiskan salad dan berbalik ke arahku, kaki terselip di palang bangku, terbuka. Dia mencondongkan tubuh ke depan, kedua tangannya menopang di lutut dan atasan sutra terbuka dan aku bisa melihat payudaranya yang berayun. Bahan tipis dari celana pendeknya tertarik ketat di antara pahanya, dan ada sedikit gundukan yang menekannya.

Aku duduk dan melihat melewati bahunya. "Lebih baik aku kembali kerja," kataku.

Dia melirik arlojinya. "Ga usah buru-buru, Yo. Aku ga akan laporin ke Mas Jarwo. Gimana kalau kita mulai ngerjain gambar? Setengah jam cukup?"

"Sekarang?"

"Selagi kamu masih bersih," katanya, tersenyum.

"Iya juga sih. Tempat yang kemarin? Pohon di belakang?"

Dia mengangguk dan melewatiku. Dia berbau segar, dari sabun dan parfum lembut. Sinar matahari menyinari rambutnya saat dia membuka pintu besar dari dapur dan cahaya membentuk siluet saat dia berjinjit, satu kaki terangkat, meraih gerendel pintu diatas.

Aku mengikutinya, senang dia menghadap arah lain. Ada tonjolan yang jelas di celana jinsku.

Dia duduk di posisi yang sama seperti kemarin, tapi aku melihatnya menggeliat dan duduk lagi, mencoba untuk rileks di posisi yang lebih nyaman.

Aku membuka art pad baru yang lebih besar yang aku bawa, duduk di kursi taman yang sama seperti kemarin, dan mulai membuat garis wajah dan bahunya.

"Jadi mau dilukis kayak apa, Mba Silvi? Kepala aja, kepala dan bahu, atau mau sampai sedada?"

"Kepala dan bahu," katanya, mencoba ngomong tanpa bergerak. "Bisa ga kamu... emm, bikin supaya keliatannya aku ga pake apa-apa di atas?"

"Bisa, kalau Mba Silvi mau," kataku.

"Mas David suka itu," jawabnya. "Aku bisa lepas ini kalau perlu," tambahnya, bergerak untuk memegang bagian bawah atasan sutranya.

"Ga perlu," kataku, mengangkat tangan. "Rasanya Mba juga ga mau nunjukkin, ehm.. tahu kan maksudku?"

Dia berpikir, lalu menggeleng. "Ga sih. Tapi aku mau itu agak keliatan dikit, bagian atasnya, bulet gitu, bisa kan? Keliatan binal."

Aku mengangguk. "Nanti aku coba bayangin."

Dia berusaha nahan senyum dan gagal. "Tapi, jangan bayangin yang aneh-aneh."

"Aku coba. Sekarang, tolong jangan banyak gerak."

Angin sepoi-sepoi meniup rambutnya dan sebagian jatuh di wajahnya, tapi sepertinya keliatan bagus. Cahaya matahari di belakangnya membingkai rambutnya dalam siluet keemasan. Sepertinya bisa coba kupakai dalam gambar.

Setelah beberapa lama, aku menyandarkan punggungku ke belakang, puas dengan sketsa awal yang kubuat, Mba Silvi merilekskan badan dan mendekat padaku, duduk di lengan kursi seperti kemarin.

Aku memiringkan bukuku agar dia bisa lihat. Sejauh ini, cuma garis besar wajahnya, sedikit rambutnya, matanya, hidung dan mulutnya tergambar tetapi cuma sekilas. Aku sudah menarik garis kebawah untuk membentuk bahu dan bagian atas lengannya. Bulatan dadanya sudah sedikit tercetak dalam gambar. Aku bikin kelihatan kencang seakan-akan sedang ditopang oleh bra, dan menampilkan belahan dada. Gambar itu belum selesai, tapi aku bisa bayangkan apa yang harus kulakukan selanjutnya, dan menurutku hasilnya cukup bagus.

"Wow ...," kata Mba Silvi, "Luar biasa, Yo."

"Masih banyak yang kurang, Mba."

Dia membungkuk, menunjuk beberapa bagian, dan payudaranya yang bebas menempel di pundakku yang telanjang. Rasanya dia ga sadar apa yang terjadi. "Aku suka bagian ini, kamu sudah membentuk garis rambutku dengan indah."

Aku menutup buku sketsa dan berdiri. "Kayaknya aku harus balik kerja, Mba Silvi. Aku lebih suka ngerjain ini, tapi Mas Jarwo bisa marah kalau kerjaanku kacau."

Dia ketawa dan ikut berdiri, menghadapku, menatapku. Butuh semua tekad dan kesadaranku untuk ga memeluk pinggangnya dan menarik tubuhnya ke arahku.

"Aku ga akan biarin itu terjadi," katanya. "Sampai ketemu nanti." Dia berbalik dan kembali ke dapur, dan aku kembali ke kolam.

Sementara air terus mengisi kolam, aku mengatur posisi batu yang lebih besar di pinggiran kolam dan di atas gundukan tanah yang sudah aku bentuk di satu sisi. Besok kolam sudah jadi dan aku bisa mulai ngerjain bagian lain.

Jam lima aku beberes lalu mengetuk pintu. Mba Silvi menjawab hampir seketika, masih memakai atasan dan celana pendek tadi, kakinya telanjang. Keringat menetes dari dagu ke perutku dan dia memandangiku.

"Kamu mandi dulu cepetan, Yo. Aku buatin es teh abis itu kita lanjutin. Kausmu sudah aku cuci dan setrika, ada di kamar mandi."

"Wah, kok malah repot-repot, Mba."

"Tadi sekalian aku juga nyuci, ga masalah."

Aku pergi ke kamar mandi, mandi cepat-cepat, memakai celana jinsku lagi dan kaus yang baru dicuci.

Dapurnya kosong, tetapi Mba Silvi memanggil, "Di sini!" dari balik pintu dan aku berjalan kesana.

Dia duduk di bangku, sudah melepas atasannya. Dia duduk memegang atasannya untuk menutupi payudaranya, tapi pas aku keluar dia menjatuhkan bajunya ke pangkuan dan duduk di sana telanjang dari pinggang ke atas.

Payudaranya bahkan lebih indah dari yang aku bayangkan, bulat penuh di bagian bawah dan melengkung ke atas. Lingkaran sekitar putingnya berwarna terang, mengelilingi puting merah muda yang pucat, hampir ga ada bedanya dengan kulit di sekitarnya. Putingnya berdiri tegak, dan aku sekali lagi menganggap itu karena angin sepoi-sepoi yang sejuk.

"Kalau gini gapapa kan, Yo? Aku tahu kamu bilang bisa bayangin, tapi kupikir..." Dia mengangkat bahu, dan efek gerakan itu pada payudaranya mengganggu perhatianku.

"Aku ga akan melukismu telanjang dada, Mba, kamu bisa pakai bajumu kalau mau ..."

"Kamu keberatan kalau aku ga pake? Rasanya lebih bebas."

Aku menatapnya, ke matanya. Dia balas menatapku, tapi aku tidak bisa menebak apa yang dipikirkannya.

"Oke," kataku, mengambil buku sketsaku.

Satu jam kemudian gambar itu setengah jadi. Mba Silvi bangkit, menggeliat dengan menawan, lalu mendekati lengan kursiku. Dia memegang atasan sutranya di depan dada, tapi ga memakainya lagi.

Dia mencondongkan badan, sisi payudaranya yang telanjang menekan bahuku, tapi setidaknya sekarang aku pakai kaus. Dia memperhatikan sketsa itu, mengangguk.

"Bagus, Yo. Mungkin seharusnya kamu mengambarku telanjang dada - aku pingin tahu apa itu bakal bikin Mas David terangsang? Gimana menurutmu?"

"Aku?"

"Kamu," katanya, mendorongku dan tersenyum. "Apa menurutmu Mas David suka lukisanku dengan toket keliatan?" Dia sengaja kasar untuk meredakan ketegangan diantara kami.

"Dia belum mati kan?" Aku bertanya.

Dia tertawa. "Setahuku sih belum."

"Kalau gitu menurutku, ya, dia akan terangsang."

"Mmm," gumamnya, berpikir.

"Tapi ini udah ga bisa dirubah," kataku, "Kertasnya ga cukup untuk ditambah gambar... uh ... toketmu."

Dia menurunkan atasannya dan untuk sesaat memperhatikan dadanya sendiri. "Kayaknya mereka ga segede itu," katanya, lalu menutupi dadanya lagi.

"Ga juga sih. Tapi tetap ga cukup di sisa kertasnya."

Dia melihat sketsa itu. "Iya sih. Gimana kalau cuma putingnya sepintas? Cukup ga?"

Aku melihat gambar itu dan mengangguk. "Kalau kamu mau..."

"Mas David suka itu."

"Mba yakin soal itu, Mba? Aku ga mau Mas David ngangep aku sudah ngeliatin istrinya yang telanjang dada pas dia ga dirumah."

"Kamu ga lagi ngeliatin aku, Yo, ini seni. "

"Betul," kataku, "Tapi apa Mas David juga akan mikir gitu?"

"Mas David orang yang baik," katanya. "Ga akan terjadi apa-apa."

Akhirnya dia bangkit dan memakai bajunya, tanpa repot-repot berbalik, memberi aku kesempatan terakhir untuk melihat bongkah dadanya yang penuh bergoyang sebelum tertutup.



Bersambung... Chapter.07




Note :

Buat yang nyari Mira sabar ya, untuk beberapa episode ini Mira ga akan muncul. Mau ngembangin karakter Yohan dulu, biar pas sama timelinenya. Kalau mau maju mundur waktu tar saya yang newbie gini malah bingung sendiri.
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd