Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT Sketsa

CHAPTER.07

Tak Terduga




Kamis pagi aku bangun merasakan suhu udara lebih panas lagi, jadi aku mengganti jinsku dengan celana olahraga. Aku bawa baju ganti, buat jaga-jaga, dan ga repot-repot lagi bawa bekal.

Mas Jarwo berkeliling sebentar, memeriksa kemajuan dan mengangguk. "Bagus, Yo," katanya, dan aku sangat senang.

Mas David berangkat kerja, dan sesaat kemudian Mba Silvi mengikuti.

Waktu makan siang tiba dan aku mandi, makan sebentar lalu kami pergi keluar.

Mba Silvi cuma memakai bikini two piece, tapi pas duduk dia membuka ikatan bagian atas dan atasan bikininya jatuh ke pangkuan

Aku membuka buku sketsa dan mulai bekerja. Mengikuti keinginan Mba Silvi, aku memanjangkan sketsa ke bawah, menampilkan sedikit putingnya di bagian bawah gambar. Aku bikin putingnya lebih gelap, jadi mereka lebih mencolok di atas kertas.

Setelah satu jam Mba Silvi mendekat, berdiri di sebelah lengan kursiku, menjatuhkan atasan bikininya ke rumput. Dia duduk didekatku, payudaranya yang telanjang menekan bahuku. Aroma tubuhnya menyelubungiku, sabun dan parfum, dan sedikit keringat karena duduk di panasnya siang.

Dia butuh waktu lama melihat sketsa itu. Kurasakan punggung tangannya nempel di lenganku.

"Sudah hampir selesai, Yo," katanya.

Aku mengangguk. "Besok sudah selesai, Mba, nanti dibingkai dulu."

"Tapi jangan sampai ada orang lain yang liat gambar ini," katanya sambil duduk. Payudaranya bergoyang.

"Aku bikin sendiri," kataku.

"Oke." Dia berdiri dan meregangkan tubuh memutar kekanan dan kiri, menunjukkan pantatnya yang ramping terbungkus celana bikini kecil. Dia berbalik dan mengaitkan kedua telapak tangannya di belakang kepala. Pasti sengaja, pikirku, ditunjukkan khusus buat aku. Payudaranya bergoyang. Perutnya yang rata membentang ke celana kecil, dan ketika tatapanku melayang turun, aku kaget melihat noda lembap kecil muncul di depan celana itu.


"Aku ganti baju dulu, terus aku antar kamu pulang." Mba Silvi masuk ke dalam dan aku duduk di kursi, mengerutkan kening. Penisku membesar di dalam celanaku dan aku berusaha membuatnya menciut ke ukuran biasa. Gundukan panjang yang terlihat jelas di celana olahragaku, dan aku ga mau Mba Silvi sampai ngeliat.

Aku bangun dan berjalan ke arah hutan, berjalan keliling sampai tonjolan itu ga kelihatan lagi.


------------------0----------------​


Jumat sore sama panasnya dengan kemarin. Mba Silvi keluar cuma pakai celana dalam bikini, Kutunggu dia duduk di bangku dan dengan lembut mengarahkannya ke posisi yang sama. Dia memandang kelewati bahuku dan aku sedang memberikan finishing untuk sketsa yang kubuat.

Sebelum genap satu jam, aku duduk dan bilang, "Oke. Kayaknya udah selesai, Mba."

Mba Silvi tetap di tempatnya, merentangkan tangan, meluruskan kakinya. Ketika dia menurunkan tangannya, dia menepuk bantal di sebelahnya. "Tunjukin sini, Yo."

Aku berjalan mendekat dan duduk di sebelahnya dengan jarak beberapa centi. Aku membalikkan buku sketsa untuk nunjukkin gambar yang udah selesai. Menurutku hasilnya bagus, salah satu yang paling bagus yang pernah aku buat.

Mba Silvi bergeser mendekat untuk melihat, walaupun sebenarnya ga perlu. Sekali lagi, payudaranya nempel di lenganku, agak ke bawah sekarang karena sekarang kami duduk di ketinggian yang sama. Putingnya terasa keras mengesek kulitku. Kaki telanjangnya menempel di kakiku, dan kayaknya aku salah pakai celana pendek. Aku bisa mencium aroma tubuhnya lagi, sama seperti kemarin, campuran bersih dan keringat dan juga, samar-samar, aku yakin ini aroma kewanitaannya. Aku melirik ke bawah. Ya, noda kecil yang lembab itu muncul lagi di sana.

Aku mencoba menganggap Mba Silvi terangsang karena berpose. Mira pernah bilang, kalau orang yang ga biasa, lalu harus menunjukkan tubuhnya, bisa memunculkan sifat eksibisionisme yang tersembunyi. Aku harap begitu. Tapi saat ini dia duduk sangat dekat.

"Yo," katanya lembut, "Ini luar biasa. Terima kasih." Dia meletakkan tangannya di atas tanganku. "Terima kasih banyak."

Dia nenempelkan tubuhnya erat kepadaku, dada, rusuk, paha bahkan tulang keringnya. Aku sangat sadar dia cuma punya secuil kain kecil yang menutup tubuhnya. Penisku mulai mengeras, dan aku ga bisa ngelakuin apa-apa untuk menyembunyikan kenyataan itu. Buku Sketsa menutupi sebagian besar tonjolan di celanaku, tetapi ga semua, dan aku bisa merasakannya membesar dan mendorong kain lentur dari celana olahragaku.

Mba Silvi terus bersandar padaku, menatap gambar, atau melihat melewatinya ke arah tanda gairahku, aku ga yakin yang mana. Tangannya tetap di punggungku, hangat dan lembut.

Aku ga berani bergerak atau menatap ke arahnya, karena kalau dia sampai menoleh ke arahku aku tahu aku pasti akan menciumnya. Dan setelah itu, entah...

Aku menjauh dan berdiri, menutup buku sketsa dan memegangnya menutupi selangkanganku.

"Lebih baik Mba Silvi anterin aku pulang sekarang, biar aku bisa buatin bingkainya. Besok pagi-pagi aku antar kesini."

"Jangan," katanya, masih duduk di bangku. "Aku ga mau Mas David ngeliat kamu. Aku yang akan ambil ke rumahmu."

Aku mengangguk. "Oke. Tapi kabari dulu."

Aku berputar dan berjalan di samping rumah, pura-pura memeriksa pekerjaanku sambil menunggu Mba Silvi ganti pakaian.

Ketika keluar, dia memakai salah satu atasan sutranya, yang ini berwarna krem gelap, tetapi cuma memakai celana dalam bikini berwana biru muda. Kulit perutnya terlihat di antara atasan dan celananya. Celana bikini itu sangat kecil, dipotong sangat rendah di bagian depan, dan dia tampak ga sadar ada rambut keriting kecil yang mengintip disana.

Mba Silvi mengemudi dan aku duduk di sampingnya, kami berdua diam. Aroma dalam mobil penuh dengan feromon, milik kami, dan ketika kami semakin dekat ke rumahku, aku sudah membuat keputusan.

Mba Silvi menginginkanku, sekarang aku sudah yakin. Dan aku juga menginginkannya. Aku ingin menidurinya, dan kalau dia juga mau, maka aku pasti akan melakukannya.

Ketika keputusan itu mendominasi pikiran, anehnya aku merasa rileks, dan penisku mulai melunak. Ketegangan menguap dari pundakku dan aku menyandarkan tubuhku di kursi, mengangkat tanganku, dan meletakkannya di samping bahu Mba Silvi. Matanya berpaling dari jalanan, dan aku melihat senyum kecil di bibirnya.

Dia berhenti di depan rumahku, menunduk untuk mencium pipiku yang sekarang jadi terbiasa. Aku menoleh padanya di saat terakhir dan bibir kami bertemu, singkat. Dia ga menarik diri, ga keliatan kaget.

"Sampai ketemu besok pagi," kataku, dan keluar.

Malam itu, setelah membuat bingkai dan membersihkan kacanya, aku menunjukkannya pada Ibu, yang mengangkat alisnya dan menatapku.

"Kenapa?" Aku bilang.

Dia menggeleng. "Ga kenapa-kenapa. Ini bagus. Tapi hati-hati, Yo."

"Bu!" Aku bilang.

Dia tersenyum dan menarikku ke arahnya, memelukku erat, mencium telingaku. "Hati-hati," bisiknya.

Aku membawa sketsa yang sudah jadi dan kini berbingkai ke kamarku, mengantungnya di tembok di seberang tempat tidur tempatku berbaring, dan menatapnya.

Setelah beberapa menit aku bangun dan membuka semua pakaianku lalu kembali ke tempat tidur.

Saat aku menatap sketsa, lama kelamaan penisku menjadi keras dan kaku. Aku menurunkan tanganku untuk mengenggamnya dan mulai membelai naik turun.

Aku mengocok penisku sambil menatap gambar, ditambah dengan ingatanku sendiri saat Mba Silvi yang cuma memakai celana bikini mungilnya, payudaranya yang besar dan bulat bergoyang dengan lembut saat dia bergerak.

Tidak butuh waktu lama untuk membuat aku ejakulasi, menembakkan cairan nikmat yang sepertinya tidak habis-habis, menyemprot kencang hampir mencapai bingkai itu, menembak lagi, lalu lagi.

Perlahan aku santai, bersandar di bantal, masih menatap gambar itu, membayangkan apa aku benar-benar akan meniduri Mba Silvi. Aku masih perjaka, tapi aku sudah melihat dan mengalami hal-hal yang cuma bisa diimpikan oleh kebanyakan orang. Tampaknya tinggal tunggu waktu saja aku akan kehilangan keperjakaanku. Tapi aku masih ingin melakukannya, masih ingin meniduri wanita cantik ini, yang aku percaya,akan menyerahkan dirinya padaku, semoga.

Sabtu pagi aku masih tertidur, saat Ibu masuk dan membangunkanku.

"Yo, Bu Silvi ada di bawah mencarimu."

Aku berguling dan memandangnya, menilai apa yang ditunjukkan oleh ekspresi wajahnya. Aku mengangguk dan mulai membuka selimut, lalu sadar aku masih telanjang dan menatap Ibu lagi.

Dia ketawa. "Aku sudah pernah lihat semua sebelumnya, Yo, tapi kalau kamu mau privasi," dan dia keluar kamar.

Ya, pikirku, mungkin Ibu sudah pernah lihat semuanya dulu, tapi belum pernah lihat saat sperma kering masih nempel di kulit perutku.

Aku pakai celana jins dan kaus lalu turun ke bawah. Mba Silvi berdiri di teras, tampak gugup. Dia senyum padaku dan aku menyerahkan sketsa yang sudah berbingkai ke arahnya, dibungkus kertas cokelat polos.

"Semua selesai," kataku.

"Terima kasih." Dia menerimanya, berdiri diam, belum siap untuk pergi. "Ibumu ga suka aku kesini, Yo?" dia bertanya.

"Ga sih, setahuku."



“Sikapnya cuma agak aneh."

"Jangan khawatir. Mungkin dia baru bangun, ini masih kepagian."

Mba Silvi menggigit bibir bawahnya dan tersenyum meminta maaf. "Maaf. Tapi aku udah ga sabar."

Aku balas tersenyum, membungkuk, dan mencium pipinya. Dia tersenyum, memalingkan mukanya ke wajahku dan aku menunduk lagi mencium bibirnya, menikmati waktuku.

"Semoga Mas David suka hadiahnya," kataku.

Dia menyeringai. "Pasti suka." Dia berbalik, berhenti, "Ya ampun, aku hampir lupa!" Dia menyandarkan bingkainya ke kusen dan menarik sebuah amplop dari kantong celana jinsnya. "Pembayaran untuk jasamu. Terima kasih."

Aku menerima amplop itu, menyelipkannya ke jinsku sendiri.

"Aku tambah sedikit bonus di sana, Yo," kata Mba Silvi, berbalik.

Setelah dia pergi, aku berjalan ke dapur kecil kami, duduk di meja dan minum kopi yang disiapkan Ibu.

"Cantik," katanya.

"Siapa, Mba Silvi?"

"Kamu tahu siapa yang Ibu maksud."

Aku memandang ke seberang meja ke arahnya. Dia tidak menyilangkan lengannya, dia tidak mengerutkan kening.

"Ya," kataku, "Cantik. Aku tahu."

Dia menatapku sebentar, lalu menggeleng. "Hati-hati, Yo. Ibu ga bisa ngasih tahu apa yang boleh dan ga boleh dilakukan lagi, kau sudah dewasa. Sebentar lagi kamu umur sembilan belas tahun, kau bisa bikin keputusan sendiri. hati-hati. . "

Aku mencondongkan tubuh ke depan dan mengenggam tangannya. "Bu, aku ga akan ngelakuin hal bodoh," kataku, berharap dia akan percaya padaku. Aku berpikir, mau meniduri istri David Budianto itu termasuk bodoh atau bukan. Ga, aku meralat diri sendiri, itu perbuatan bodoh. Tapi aku masih ingin melakukannya.

Ibu menghela nafas, tidak yakin harus berbuat apa, lalu menggelengkan kepalanya seolah sedang membersihkan pikirannya. "Hari ini ada rencana apa, Yo?"

"Ga ada," kataku. "Mungkin aku mau betulin saklar lampu yang lepas dibelakang itu, lalu mungkin ngajak Nadia ke Mall dan menonton film. Ibu mau ikut? Ibu kan kerja terus, butuh refreshing."

Dia balas tersenyum padaku. "Kamu anak baik, Yo. Terbaik."

"Ya, ya," kataku mengejek.

"Beneran," desaknya. "Tapi Ibu dirumah aja. Sebenarnya, kalau kalian pergi, Ibu ma mandi, malas-malasan di halaman belakang, dan mungkin berjemur telanjang, mumpung ga ada orang lain. ga ada yang bisa ngintip ke belakang." Dia tertawa saat melihat mulutku melonggo, meremas tanganku erat-erat.

"Kalau gitu nanti pas aku sama Nadia udah pulang aku mesti kasih peringatan biar Ibu tahu kami datang," kataku. "Jangan sampai Nadia kaget liat Ibu telanjang di rumah."

"Kalo kamu?"

"Aku lebih kaget lagi, Bu."

Dia tersenyum lembut.



------------0-----------​



Aku memenuhi janjiku. Saat aku membawa sedan tua peninggalan Ayah masuk ke pekarangan rumah, aku membunyikan klakson dua kali. Adik perempuanku yang berumur delapan tahun, cekikikan di sebelah aku. "Lagi, Mas," katanya.

"Kamu aja," kataku, dan dia membungkuk dan membunyikan klakson. Aku meraih tangan kecilnya ketika dia mau membunyikannya lagi.

"Sudah cukup, sayang, nanti tetangga pada ngomel."

Kami masuk, dan aku membanting pintu depan.

Saat itu jam enam malam, di dalam rumah aku bisa mencium aroma sabun mandi dan sedikit aroma parfum yang biasa dipakai Ibu kalau ada acara-acara tertentu. Aku mengajak Nadia ke dapur dan memberinya susu dan kue, lalu berjalan ke belakang untuk melihat apakah Ibu dengar peringatan yang aku berikan.

Aku melihatnya dengan punggung menghadapku, dia menarik jubah handuknya ke atas bahu. Sepintas aku melihat punggungnya yang telanjang dan lekuk pantatnya yang paling atas, dan menyadari betapa Ibuku masih terlihat seksi. Umurnya tiga puluh delapan, dan kurasa dia sangat pandai menjaga bentuk tubuhnya. Aku menggelengkan kepala, bertanya-tanya apa yang sedang kupikirkan. Mba Silvi punya banyak hal yang harus dipertanggungjawabkan. Rasanya aku jadi ga bisa berhenti mikirin seks.

Ibu berbalik dan melihatku di pintu dan tersenyum, merapikan jubahnya dan mengikat talinya.

"Terima kasih buat peringatannya," katanya.

"Gimana soremu?"

Dia berjalan menyeberang ke pintu belakang dan mengulurkan tangan untuk memelukku. "Luar biasa. Sangat luar biasa. Enak banget berjemur di bawah matahari sore."

"Selama ga ada tetangga yang datang dan ngeliat." Aku membalas pelukannya.

Dia meringkuk di pelukanku, badannya terasa hangat karena berjemur, wangi sabun mandinya, dahinya menempel di bawah daguku. Aku bisa merasakan payudaranya yang lembut menekan tulang rusukku, pinggulnya mendorong pinggulku. Aku memeluknya selama beberapa menit, menikmati kedekatan kami. Aku dan ibuku selalu dekat sejak dulu, tetapi akhir-akhir ini kami berdua terlalu sibuk untuk duduk dan ngobrol seperti yang biasa kami lakukan. Aku bisa merasakan hubungan kami berubah saat Ibu mulai melihatku sebagai laki-laki dan bukan anak-anak lagi. sebaliknya, aku harus mengakui, aku pun mulai melihatnya sebagai seorang wanita, seorang wanita yang sangat menarik, dan pikiran itu menggangguku.

"Gimana kalau," kataku ke atas kepalanya. "Aku beli cemilan terus sewa film. Setelah Nadia tidur, kita bersantai dan nonton film bareng. Minum segelas atau dua gelas anggur yang kita dapet dari Om Bambang."

Ibu mengencangkan pelukannya. "Kedengarannya terlalu mewah, Yo. Tapi Ibu setuju, mumpung kamu belum ke Jakarta."

Aku mencium bagian atas kepalanya dan melepaskan diri dari pelukannya. "Aku bikinin pizza buat makan malam. Ibu ganti baju aja dulu."

"Ibu tetap pake ini aja," katanya.

"Oke. Ibu duduk dulu, nonton TV, santai kayak tadi"

Dia tertawa. "Ya ampun, Yo, kok Ibu jadi dimanjain gini sih?"

"Karena aku sayang Ibu, dan aku pingin manjain Ibu. Aku bentar lagi pergi."

Senyumnya memudar dan dia mengangguk. "Jangan ngingetin Ibu."

Dia berbelok ke ruang tamu dan aku kembali ke dapur. Aku bercanda dengan Nadia sambil membuat pizza. Ketika sudah matang, Ibu datang dan bergabung dengan kami dan aku mulai menuangkan segelas anggur untuknya.

"Bu," kata Nadia, "Kok Ibu cuma pakai jubah gitu?"

Ibu tertawa. "Ibu pakai jubah mahal lho ini."

"Tapi cuma itu!" Kata Nadia.

"Aku baru mandi, Sayang, dan belum sempat ganti lagi habis itu."

Nadia mengangguk dengan serius. "Baumu wangi," katanya, dan kami tertawa.

Setelah makan malam, Ibu dan Nadia balik ke ruang tamu untuk nonton kartun. Aku mencuci piring dan membereskan semuanya. Setelah selesai, aku menyusul keruang tamu.

"Nadia juga mau mandi," kata Ibu. "Ibu temeni dulu sampai dia tidur"

"Jangan lupa kencan kita," kataku.

Aku pergi ke lorong, mengambil kunci mobil untuk pergi ke toko. Aku baru membuka pintu depan saat telepon kami berdering. Aku berbalik dan menjawab.

"Halo, dengan Yohan."

"Yo, bagus, kamu di rumah," kata Mba Silvi. "Kamu bisa kesini?"

"Sekarang? Ke rumahmu?"

"Iya sekarang. Ke rumahku. Mas David sudah membuka hadiah dari aku, dan dia mau bilang terima kasih secara langsung. Dia benar-benar suka hadiahnya, Yo. Terima kasih."

"Aku ga tahu, Mba," kataku, "aku ada rencana malam ini."

"Tolong," pintanya, "Cuma setengah jam. Tolong banget..."

"Siapa yang nelpon?" Ibu memanggil dari dalam rumah.

Aku menutupi corong. "Mba Silvi," kataku. "Dia mengundang aku ke rumahnya sebentar. Mas David suka sama hadiahnya dan mau bilang terima kasih."

Ibu datang mendekat, ekspresi aneh di wajahnya, lalu dia tersenyum. "Ya sudah, sana pergi. Kita bisa nonton film itu lain kali. Masih ada waktu sebelum kamu pergi, Yo."

Aku menatapnya. "Aku lebih suka di sini sama Ibu,” kataku.

Dia menggeleng. "Pergi terus pulang secepatnya. Tapi kamu harus kesana - Mas David Budianto itu orang penting disini, kamu ga boleh bikin dia kecewa."

"Ibu yakin?"

Dia mengangguk. "Kalau kamu berangkat sekarang, mungkin kita masih sempat untuk nonton nanti."

Aku mengangkat gagang telepon. "Lima belas menit lagi, Mba."

"Oke! Kami tunggu disini."

Setelah menutup telepon, aku berbalik ke dalam, tetapi Ibu sudah masuk untuk menemani Nadia. Aku keluar dan membawa sedan tua kami ke arah rumah mereka.

Ga tau kenapa aku ga kepikiran sama sekali kalau sedang ada pesta besar dirumah mereka. Aku parkir di ujung barisan mobil yang memanjang di jalan dekat rumah mereka, mengunci mobil dan berjalan melewati Mercedes, BMW, Lexus - bahkan mobil-mobil sports car mahal yang jarang aku lihat dikota ini. Semoga mobilku ga dianggap rongsokan terus diderek pergi dari sini.

Pintu depan terbuka, musik dan suara tawa bercampur jadi satu. Aku melihat sekeliling sebelum masuk ke dalam. Untung sebagian besar kerjaanku di bagian depan rumah sudah selesai. Kolamnya keliatan bagus, seolah-olah sudah ada sejak bertahun-tahun. Tumpukan tanah semuanya tertutup batu atau tanaman.

Di dalam aku berjalan melewati orang-orang, yang sebagian besar ga kukenal. Aku mencoba kedapur, tapi ga ngeliat Mba Silvi atau Mas David. Aku ke ruang tamu dan ruang keluarga besar di belakang. Masih belum ada tanda-tanda mereka. Aku keluar dan memutar ke belakang. Mereka sedang duduk berdua di bangku tempat aku melukis Mba Silvi, kepala mereka saling menempel.

Aku berdiri agak jauh dan batuk. Mba Silvi melirik ke atas kemudian lompat dari bangku dan berlari ke arahku. Dia memelukku erat-erat lalu mencium bibirku dengan bersemangat.

Kulihat Mas David berdiri dan datang, seorang pria berbadan, tinggi dan kekar, sosoknya yang gelap terlihat tenang. Ketika dia mendatangi kami, dia menyeringai dan menjulurkan tangan. Aku menyambutnya dan kami bersalaman dengan erat.

"Luar biasa, Yo," katanya. "Aku benar-benar suka karya buatanmu. Aku belum pernah lihat Silvi lebih cantik daripada di lukisan itu."

Aku mengangkat bahu, mungkin wajahku memerah. Mas David melepaskan tanganku dan aku melenturkan jari-jariku. Ga ada yang patah. Mba Silvi masih memegang lenganku, menempelkan sisi tubuhnya.

"Kami sudah diskusi," kata Mas David, lalu menatapku dan menambahkan, "Kamu belum minum? Silvi, ambilin sesuatu buat dia. Apa racunmu, Yo? "

"Bir sudah cukup."

"Cuma bir?"

Aku mengangguk. Mba Silvi melepaskan aku, sepertinya enggan, dan Mas David berkata, "Duduk, aku mau bicara denganmu."

"Oke," kataku. Aku pergi ke kursi yang aku pakai saat menggambar Mba Silvi. Mas David balik ke bangku. Dia duduk dengan mencondongkan tubuh ke depan dengan tangan di pahanya.

"Aku benar-benar sangat berterima kasih buat apa yang sudah kamu lakukan minggu ini. Entah bagaimana itu mengubah Silvi, dan aku suka gambarnya. Sangat suka. Itu bikin aku melihat Silvi dalam perspektif baru. Kadang-kadang kamu dapat kesulitan, ya?"

Aku mengangguk, ga terlalu paham apa yang dia maksud.

"Aku melihat Silvi berbeda sekarang, dan itu berkat kamu, Yo." Dia sekarang duduk lebih tegak. "Aku mau nanya sesuatu ke kamu, Yo, dan jangan salah paham."

O-ow, pikirku.

"Berapa Silvi bayar kamu buat bikin gambar itu?"

"Aku ga bisa kasih tahu, Mas. Itu kan hadiah buat Mas David." Aku ingat tentang 'sedikit tambahan' yang dia beri. Harganya satu juta – menurutku lebih dari cukup, tapi di dalam amplop itu Mba Silvi memasukkan dua puluh lembar seratus ribuan.

Dia tertawa. "Ah, ga ada salahnya dicoba. Aku mau kamu bikin lukisan lain buat aku. Paling ga satu lagi. Aku berharap bisa dapat gambaran berapa biayanya..." Dia memandang ke arahku. Aku sama sekali ga berani menyebutkan harga, aku berharap Mba Silvi cepat datang bawain bir buat aku, lalu menolong aku menjawab.

Mas David menarik napas, berkata, "Oke. Ini kesepakatannya, Yo. Apa kamu mau melukis Silvi lagi, kayak minggu ini, tapi keliatan sedikit lebih banyak?"

"Satu badan?" Aku bilang.

"Ya, satu badan. Tapi..." Untuk pertama kalinya aku lihat Mas David tampak malu dan kehilangan kata-kata. "Aku ga yakin gimana ngomongnya yang pas, jadi aku langsung to the point aja. Bisa ga kamu gambar dia telanjang?"

"Mas David mau istrinya...," aku memulai, lalu ga mampu melanjutkan.

Mas David mengangkat tangannya. "Ya, aku tahu ini aneh, tapi setelah yang pertama kemarin, aku mau sesuatu yang lebih ... eh ... terbuka. Lebih jelas? Kamu ngerti maksudku?"

"Ehmm..Ngerti, Mas."

"Jadi, gimana menurutmu, Yo? lima juta cukup?"

"Lima juta!"

"Oke, oke, bilang aja kamu minta berapa kalau gitu."

"Bukan gitu, Mas, lima juta udah cukup, lebih dari cukup."

Sekarang Mas David berdiri dan mendekat, tangannya terulur. Aku berdiri dan dia meraih tanganku, meremas lagi.

“Deal.” aku mengangguk setuju.

"Bagus. Beres kalau gitu. Minggu depan aku harus ke Sumatera hampir seminggu penuh, tapi Silvi bilang aku ga selalu harus ada disini buat ngecek progresnya. Jadi besok aku kasih cek pembayarannya sebelum aku berangkat."

"Bayarnya nanti aja kalau gambarnya udah selesai, Mas. Aku percaya sama Mas kok."

Dia tertawa. "Bagus. Aku juga percaya sama kamu, Yo. Silvi bilang kamu cowo yang gentleman banget."

"Mba Silvi terlalu memuji," kataku, pas saat dia kembali dari mengambilkan bir dingin buat aku. Mungkin dari tadi dia berdiri di dapur menunggu urusan kami selesai.

Dia berdiri sebelah Mas David dan memeluk perutnya yang besar.

"Yohan bilang dia mau," kata Mas David.

Mba Silvi tersenyum. "Aku tahu dia pasti mau." Dia menatapku dari samping suaminya dan tersenyum. Ada sesuatu yang berkilauan di matanya, sesuatu yang ga kukenali.

Pintu belakang terbuka dan seseorang berteriak dari sana, "Si Bangsat ada di sini! Hei, David, pesta macam apa ini? Masa yang ulang tahun malah sembunyi di situ?"

Mas David tertawa dan melepas pelukan istrinya. Dia menampar pundakku. "Jangan pergi, Yo, nikmati pestanya. Kita ngobrol lagi nanti." Dia masuk kedalam bergabung dengan kerumunan.

Mba Silvi mendekat ke arahku, tersenyum dan menyentuh lenganku.

"Apa aku barusan ga salah dengar, Mba?" Aku bilang. "Suamimu pingin kamu telanjang lalu berpose didepanku?"

Dia mengangguk.

"Dia mau keluar kota hampir seminggu penuh?"

Dia mengangguk lagi.

"Dan Mba bilang ke dia supaya percaya sama aku?"

Dia mengangguk lagi, bergeser makin mendekatiku.

"Aku bilang setuju ke Mas David, tapi aku mungkin harus pikirin ini lagi," kataku.

Dia meletakkan tangannya dadaku dan mencondongkan badan kearahku. "Ga ada yang perlu dipikirin, Yo. Mas David suka dengan akibatnya."

“Akibat?

"Mas David benar-benar suka sketsamu. Dan dia benar-benar mau lihat sisi lain dariku - dalam ketelanjangan ... Boleh aku cerita sesuatu, Yo, tapi jangan kaget."

"Entah," kataku, "Coba aja."

"Aku sebenernya istri kedua Mas David, kami masih terhitung sepupu jauh yang dijodohkan orang tua kami. Istri pertama Mas David ketahuan selingkuh sama pegawai kepercayaan Mas David. Itu yang bikin Mas David ga mau ada pembantu di rumah ini. Pernikahan yah bisa dibilang terpaksa bikin Mas David dan aku, kami ga banyak... berhubungan suami istri. Aku masih cinta dia, aku sangat cinta sama dia, tetapi dia ga butuh bentuk fisik dari cinta. Tapi hari ini, aku lihat pandangan matanya berbeda saat dia lihat sketsamu." Dia tersenyum manis, mendekat. "Pagi ini dia merobek bajuku dan menyetubuhiku sampai... Pokoknya, itu karena perbuatanmu, Yo. Terima kasih."

Dia menjulurkan tangan dan meletakkan tangannya di belakang leherku lalu menarikku ke mulutnya. Aku merasakan bibirnya terbuka, tapi aku menutup bibirku, bahkan saat aku merasakannya lidah nya keluar dan menjelajahi bibirku.

Mba Silvi mundur, terus menatapku. "Kamu ngerti kan, Yo?"

"Aku ga yakin, Mba. Jujur, aku ga yakin. Mba Silvi mungkin harus jelasin padaku satu persatu."

Dia memiringkan kepalanya ke satu sisi, lalu tersenyum. "Ga, aku ga percaya aku perlu ngelakuin itu." Dia berbalik, rambutnya diikat dan lehernya yang panjang terlihat. "Kalau nanti kita ga sempet ketemu, sampai jumpa hari Senin," katanya, dan pergi.

Aku menjatuhkan diri ke kursi taman, meneguk birku dan merasakannya melewati tenggorokanku.

Ada lebih banyak tawa dari dalam, suara-suara pria dan wanita berteriak, gelas berdenting, musik mengisi celah sisanya. Aku duduk dan menghabiskan birku, merentangkan kakiku kedepan, menatap gelap gulita di balik pepohonan. Jauh di atas jutaan bintang berkedip. Aku mendonggakkan kepala dan menatap ke atas.

Setelah sepuluh menit, sebuah bintang jatuh melintasi dari utara ke timur, meninggalkan jejak yang terang. Aku ingat Ibu pernah bilang harapanmu akan terkabul kalau melihat bintang, tapi aku ga berharap apa-apa . Aku ga bisa mutusin mana yang aku harapkan. Kemarin aku benar-benar siap, tapi hari ini semuanya berbeda. Mas David menghadiahkan istrinya padaku, pastinya hanya untuk sementara. Apa aku mau hadiah itu? Apa ternyata ada sisi buruk dibelakang nanti?

Aku bangkit dan meninggalkan botol birku yang kosong di atas rumput, berjalan ke depan menuju mobilku.

Sesampainya di rumah, aku pergi ke ruang tamu dan menemukan Ibu ketiduran di sofa, sebotol anggur kosong di atas meja, gelas dengan sedikit sisa anggur tertinggal di sampingnya. Dia telentang, kakinya terbentang, jubahnya tertarik dan tersibak. Aku bisa melihat pahanya sampai ke atas, ga sampai ke vaginanya, tapi hampir. Bagian atas sudah terbuka dan satu payudara terbuka bebas, kulitnya kemerahan akibat berjemur. Payudara yang indah, bahkan bisa dibandingkan dengan wanita yang usianya setengah dari Ibuku.

Aku berlutut di sampingnya dan menutup jubahnya, mendudukkannya dan memutarnya sehingga kakinya menempel di lantai. Aku menggoyangkan badannya dengan lembut, memegangi kepalanya yang terkulai, dan perlahan-lahan matanya terbuka.

Dia tersenyum miring. "Yohan. Yohanku. Kamu dapat filmnya?"

"Ibu lebih butuh tempat tidur dibanding film." kataku.

Dia mengangguk. "Ide bagus, Yohan." Dia mulai berdiri tetapi lututnya ga kuat menopang dan aku harus memeluknya agar dia tidak roboh.

"Gendong?" Kataku, mengulang kata-kata yang sering Dia dan Ayah katakan padaku saat aku masih kecil.

Dia mengangguk. "Gendong," dia setuju.

Aku meletakkan tanganku di bawah kedua kakinya, tangannya melingkar di leherku, lalu aku mengangkat kedua kakinya melingkari pingganku. Kepalanya bersandar di dadaku dan jubahnya terbuka lagi.

"Sialan," gumamnya, menarik-nariknya, tapi aku ga tahu dia mau menutup atau membukanya.

"Waktunya tidur, Bu," kataku, dan membawanya ke kamarnya.

Aku mendudukkannya dengan lembut keatas seprai. Aku ga tahu apa yang harus dilakukan dengan jubah itu, biarkan atau lepaskan. Tapi dia sudah membuat keputusan dengan berusaha mengeluarkan kedua tangannya dari lengan jubah. Keduanya terlepas dan jubahnya jatuh ke perutnya. Dia lalu berbaring telentang, matanya setengah terpejam, payudaranya terbuka. Masih kencang, pikirku, menunduk.

"Lepaskan, Yohan. Aku ga mau tidur dengan benda sialan ini."

Aku membungkuk dan menarik talinya, mendudukkannya dan melepaskan jubahnya, memindahkannya kepalanya ke bantal. Aku harap, semoga, besok pagi dia ga inget apa-apa. Mungkin karena itu aku masih disini memandangnya, terbaring telanjang di bawahku, rambut kemaluannya menutupi celah di vaginanya, menyembunyikan rahasianya. Dia bergumam dan berguling ke samping, mengangkat lutut ke atas. Aku menarik selimut keatasnya dan berbalik.

"Goodnite Kiss, Yohan," gumamnya.

"'Malam, Bu."

"Cium," ulangnya.

Aku berbalik dan membungkuk. Dia berguling telentang lagi, meraih belakang kepalaku dan menarikku ke mulut. Untuk kedua kalinya malam ini aku harus menutup mulut ketika lidah mencari jalan masuk.

Aku meraih tangannya dan dengan lembut menariknya dari leherku, menarik selimut menutupi payudaranya.

"Tidur nyenyak, Bu," kataku.

"Jangan pergi, Yohan," gumamnya.

"Selamat malam Bu." Aku benar-benar berharap dia ga akan ingat ini besok.

Hari Minggu berjalan dengan tenang. Ibu baru bangun jam sebelas siang. Aku membangunkan Nadia dan menyiapkan sarapannya, lalu mengantarnya ke rumah temannya.

Aku kembali tepat ketika Ibu keluar. Dia masih belum berganti baju, memakai jubah handuk lagi. Dia tampak pucat. "Ya Tuhan, Yohan, semalem aku minum berapa banyak?" Dia ke dapur dan duduk di kursi. Aku menuangkan jus jeruk dan meletakkan gelas di depannya.

"Sebotol penuh."

Dia menggelengkan kepalanya dan meringis. "Terlalu banyak."

Aku memperhatikannya sejenak. "Ibu mau makan sesuatu?"

Dia mengerang.

"Hari ini Ibu mau ganti baju atau mau berjemur telanjang lagi?"

Dia tersenyum kecil. "Seneng ya kamu?"

"Kayak yang Ibu bilang ke aku, aku sudah pernah liat semuanya sebelumnya."

Dia mengerutkan kening. "Kamu belum pernah lihat Ibu telanjang kan, Yo?"

Aku tertawa. "Ibu bilang dulu sering ngajak aku mandi bareng pas aku masih kecil."

Dia tersenyum. "Ya. Aku lupa soal itu."

"Dan tadi pas bangun Ibu pakai apa?"

Dia mengerutkan kening, dan kesadaran baru memasuki pikirannya yang kacau, lalu mulutnya membentuk huruf O karena kaget.

"Apa kamu yang mindahin Ibu ke kamar, Yo?" dia bertanya, menatap tangannya, ga ingin menatap mataku.

"Gapapa, Bu. Ibu juga akan melakukan hal yang sama buat aku."

Dia terus menunduk memandangi tangannya, lalu berkata dengan tenang, "Jadi, rasanya kamu sudah ngeliat Ibu telanjang."

"Aku ga liat kok, Bu," kataku, berbohong.

"Ya Tuhan Yohan, aku contoh Ibu yang jelek."

Aku mendekat dan memeluknya, mendekapnya dari belakang dan mencium kepalanya. "Ibu adalah Ibu terbaik yang pernah ada. Aku dan Nadia tahu itu. Ibu juga tahu itu."

Aku merasa dia menggeleng, tetapi dia ga bilang apa-apa.

"Kalau mau Ibu bisa tidur lagi," kataku, melepaskannya. "Aku mau keluar untuk olahraga. Nadia di rumah temennya sampai malam. Nanti aku jemput dan bawa pulang."

Ibu mengulurkan tangan dan membelai tanganku. "Terima kasih, Yo. Ibu cuma mau rebahan bentar."

Aku menuangkan jus lagi dan dia membawanya ke kamar. Aku ke kamarku sendiri dan melepas pakaianku, melihat ke bawah pada kemaluanku yang semi-terangsang. Rasanya sudah seperti itu seminggu ini. Aku memakai kaos tanpa lengan dan celana pendek dan keluar untuk mencari sepatuku.

Aku membuka pintu belakang dan keluar ke udara sejuk halaman, mulai melakukan streching.

Kulihat jendela kamar Ibu terbuka, kaca jendela terkena cahaya dan mencerminkan tepian tempat tidurnya. Aku memperhatikan pantulan itu dan melihat sebentuk gerakan di kaca dan Ibu berbaring di tempat tidur. Pantulan itu terpotong, kurang jelas, dan aku cuma bisa melihat kepala dan bahu Ibu, tapi kayaknya dia sudah melepas jubahnya lagi dan berbaring telanjang di ranjang.

Aku berbalik dan membungkuk, mengulurkan tanganku rata di tanah di antara kakiku, mengulangi gerakan itu enam kali dan menegakkan tubuh.

Aku memandang ke halaman belakang kami yang mungil, beberapa semak dan tanaman yang tumbuh di pagar, dan mau tidak mau membandingkannya dengan ukuran tempat Mba Silvi.

Aku berdiri sebentar, menikmati udara sejuk di kulitku, dan perlahan-lahan mendengar suara keluar dari kamar Ibu. Aku berbalik, mendengarkan, melirik ke jendela yang terbuka. Gambar Ibu yang terpotong bergerak. Bahu kanannya goyang-goyang. Aku bisa dengar per di ranjangnya berdecit. Mulutku ternganga, melihat Ibu memutar kepalanya ke satu sisi lalu ke sisi lain. Bahunya bergetar. Aku ga bisa lihat wajahnya dengan jelas di kaca, tapi matanya tampak tertutup rapat, mulutnya terbuka.

Aku tahu aku seharusnya jogging, tetapi sekarang aku ga bisa bergerak menjauh. Aku berdiri di sana, memperhatikan pantulan dari kaca, mendengarkan decit springbed yang semakin cepat. Aku ga tahu berapa lama ini sudah berlangsung, lima menit atau lima belas. Yang aku tahu aku terpaku di tempat, menonton dan mendengarkan sampai gerakannya berubah menjadi tidak beraturan, mulutnya terbuka lebar dan bedspring berdecit makin kencang, berhenti, bunyi lagi lalu diam. Ibu menjerit keras saat mencapai klimaksnya.

Aku bergerak cepat, tiarap di belakang rumah. Kalau aku bisa ngelihat di pantulan, Ibu mungkin bisa lihat aku juga. Aku nunggu, mendengar, tetapi ga ada suara lagi. Aku merangkak keluar melalui rumah dan menutup pintu depan tanpa bersuara, mulai jogging menyusuri jalan, menuju tepi kota.




Bersambung... Chapter.08
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd