Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT Sketsa

Chapter.08

Yang Pertama



Seperti biasa Mas Jarwo mengantarku ke rumah Mba Silvi sebelum jam tujuh. Mas David baru mau berangkat, tapi kali ini dia bawa sebuah koper besar. Dia berhenti dan menghampiriku.

"Aku mau pesananku dibuat dengan baik, Yo, oke?"

"Terbaik," aku mengangguk. "Sudah mau berangkat, Mas?"

"Pesawat jam sepuluh," katanya. "Sabtu kemarin kamu kemana? Kami cari-cari tapi kamu udah pergi."

"Ada janji," aku mengangkat bahu.

"Aku suka laki-laki yang memegang janjinya. Pasti orang baik." Dia kembali ke kopernya dan menariknya ke belakang mobil, mengangkatnya ke bagasi. Dengan lambaian, dia pergi.

Aku menoleh untuk lihat kerjaan berikutnya yang harus diselesaikan. Aku masih di sana, berkacak pinggang, ketika Mba Silvi keluar dari pintu depan. Dia memakai jubah sutra pendek dan kakinya yang telanjang meninggalkan jejak di atas rumput yang basah.

"Hai, Yo," dia datang dan berjinjit untuk mencium pipiku.

"Hari ini kerja?" Aku bertanya.

"Seperti biasa," katanya. "Mau makan siang lagi?"

"Asal rasa masakannya seenak yang sebelumnya," kataku, dan dia menyeringai.

"Nanti kita omongin soal gambar baru yang diminta Mas David, ya?"

"Boleh," kataku. "Tapi Mba Silvi ga keberatan kan soal itu?" Aku memandangnya. Dia mengangguk.

"Aku ga akan ngelakuin kalau aku keberatan, sekalipun buat Mas David."

"Oke."

Dia ragu-ragu, lalu menciumku lagi dan berbalik. Aku memandang pantatnya memantul di balik jubah tipis, menyaksikan pahanya yang mulus bergesek ringan saat berjalan. Aku menggelengkan kepala dan kembali melanjutkan kerjaan yang harus kuselesaikan.

Jam sembilan kurang Mba Silvi berangkat kerja, jam satu lebih dia pulang. Sudah enam jam aku kerja keras. Cuaca lebih dingin, tapi aku tetap berkeringat, kotor karena pekerjaanku. Hari ini aku sudah menanam beberapa pohon kecil, dan puas dengan hasil kerja pagiku.

Mba Silvi parkir di garasi kemudian keluar, jaket di atas bahunya, tiga kancing atas terbuka.

"Mandi?" dia bertanya.

Aku mengangguk dan ikut ke dalam.

"Kamu tahu tempatnya," katanya.

Aku menyusuri lantai kayu di lorong ke kamar mandi tamu, membuka baju, kuperhatikan ga ada handuk di rak biasanya tapi aku tetap masuk ke dalam bilik shower yang disekat selembar kaca bening. Aku sedang menyabuni punggung saat Mba Silvi masuk ke kamar mandi, di lengannya tersampir dua handuk putih besar, tapi cuma itu, ga ada yang lain di tubuhnya.

Dia menatapku, meletakkan handuk dengan hati-hati di rak dan berjalan mendekat.

"Butuh bantuan?" dia bertanya dari balik kaca.

Aku tidak menjawab.

Mba Silvi melirik ke bawah. Aku tahu penisku mulai mengeras. Dia memperhatikannya sebentar, lalu melihat ke atas.

"Kupikir kamu ga keberatan kalau aku masuk, nanti toh kamu akan menggambarku seperti ini..." dia mengangkat lengannya, menunjukkan tubuh telanjangnya padaku.

Aku sudah pernah lihat sebagian besar dari tubuhnya sebelumnya, tapi ini beda. Payudaranya bergerak saat dia menurunkan lengan, bergoyang dari sisi ke sisi. Putingnya terlihat keras dan menonjol. Perutnya yang rata menukik ke gundukan yang membukit. Rambut kemaluannya ga rapi tapi jarang-jarang.

Dia meletakkan tangannya di pintu kamar mandi dan menggesernya ke samping. Uap air hangat mengepul keluar menyambutnya. Dia menatapku dan kemudian melangkah masuk, menutup pintu kaca di belakangnya.

Dia mengangkat tangannya untuk memegang tanganku yang menempel didadaku, membalikannya dan mengambil sabun dari tanganku.

"Berbalik, aku sabuni punggungmu."

Aku berputar. Mba Silvi mengulurkan tangannya dan menyabuni punggungku, meratakannya dari pundak ke pinggangku.

"Badanmu bagus, Yo, tapi rasanya kamu sudah tahu itu."

"Ga juga. Tapi terima kasih."

"Apa menurutmu badanku bagus, Yo?"

Aku memandang dinding dan mengangguk. "Mba Silvi ga perlu mancing pujian. Badan Mba Silvi luar biasa bagus.”

"Apa kamu sudah ga sabar gambar aku?" Kurasakan dia bergerak lebih dekat, ujung putingnya menggesek punggungku. Dia menyelipkan tangannya yang bersabun lewat samping, mulai menyabuni perutku.

"Sangat," kataku. Aku bersandar padanya saat tangannya meluncur ke bawah, mencapai pusar dan kemudian melanjutkan. Jari-jarinya menyabuni bagian atas rambut kemaluanku. Dia rupanya ingin menggodaku karena tangannya turun langsung ke pahaku. Kurasakan lututnya menyentuh belakang lututku ketika dia membungkuk untuk membasuh kaki dan lututku. Saat dia kembali ke atas dia tidak main-main lagi, tangannya yang kecil melingkari pangkal penisku. Telapak tangannya yang bersabun meluncur sepanjang penisku, ragu-ragu setengah jalan tapi kemudian melanjutkan sampai ke ujung kepala penisku.

Penisku sangat keras sekarang, dan tanganku terulur ke belakang, menemukan dan merasakan lekuk pantatnya yang bulat, menariknya ke arahku, merasakan rambut kemaluannya menekan pahaku.

"Burungmu bagus, Yo. Ga segede punya Mas David, tapi bagus banget."

Sepertinya aku ga perlu menjawab.

"Kamu ga keberatan kalau aku bersihin kayak gini, kan?"

"Apa itu yang Mba lakuin?"

Aku merasakan kepalanya di bahuku, mengangguk. "Cuma bantu kamu," katanya.

"Mba sendiri gimana?" Aku bilang.

"Aku sudah mandi sebelum kesini."

"Jadi Mba ga butuh bantuan," kataku.

"Semua sudah bersih," katanya.

Aku hendak berbalik tetapi dia mendorong bahuku, membuatku tetap menghadap ke tembok. Kemudian dia mengulurkan tangannya yang lain dan membantu tangan yang pertama, keduanya mengosok penisku yang licin.

"Kayaknya aku udah bersih sekarang," kataku.

"Belum," gumamnya. "Kamu butuh yang lain dulu, kan?"

"Mungkin..."

Air mengalir turun di dada dan perutku, mengalir di tangannya di sekitar penisku. Aku mencoba mengalihkan perhatian pada hal lain, mangatur nafas, tidak ingin cepat-cepat orgasme. Aku tersenyum ke dinding ubin. Kita lihat berapa lama aku bisa bertahan pikirku. Tangannya bergerak cepat, sepertinya dia yakin aku sudah hampir mencapai puncak, dan aku bersandar padanya, masih memegang pantatnya.

Beberapa menit berlalu, lalu dia mendorong, kali ini membalikkan badanku. Aku berputar, penisku mencuat bebas saat pegangannya terlepas. Aku memegang pantatnya lagi dan menariknya ke arahku, tapi dia menolak, menggelengkan kepalanya.

Dia menempelkan wajahnya ke dadaku. "Aku ga akan biarin kamu menyetubuhiku, Yo. Belum saatnya."

Aku ga bilang apa-apa, jantungku berdebar kencang. Mba Silvi mendorong dadaku, mendorongku menempel ke ubin basah sehingga kami keluar dari siraman air shower lalu dia berlutut di depanku. Aku meraih ke bawah dan menyentuh payudaranya, menimbang beratnya di telapak tanganku. Dia mengangkat lengan dan menepis tanganku.

"Ga," katanya, dengan lembut.

Kemudian dia mencondongkan tubuh ke depan dan membuka mulutnya lalu menyelipkan kepala penisku di antara bibirnya. Aku ingat pengalaman dengan Febi di apartemen Mira, mulutnya didekat penisku. Seperti inilah yang kuharap akan terjadi, tapi waktu itu tidak terjadi. Sekarang, harapanku jadi nyata. Wanita cantik ini melahap batang penisku di dalam mulutnya. Rasanya panas dan sangat basah. Lidahnya bergoyang dan bermain-main di sekitar kepala. Dia mencengkram pantatku dan menarikku ke arahnya, berusaha mendorongku masuk lebih dalam. Kubiarkan dia memegang kendali, mencoba memasukkan sebanyak yang dia mau, yang ternyata banyak.

Kepalanya mundur lalu maju perlahan-lahan, lidahnya membelai lembut dari bawah. Jari-jarinya memainkan kantung telurku, menangkupnya, membelaiku.

Sementara itu mulutnya terus ingin lebih, terus menyedot aku kedalam. Kurasakan ujung penisku menyentuh tenggorokannya tapi dia tetap berusaha untuk mendorong lebih dalam lagi. Dia seperti tercekik, tapi tidak mau berhenti, dan setelah beberapa detik dia mundur, matanya memerah, mengambil nafas sebentar lalu mulai bergerak lagi.

"Mba Silvi," aku terkesiap.

Dia mengeluarkan penisku dari mulut, menatapku. "Aku pingin kamu muncrat di mulutku, Yo. Aku ingin merasakan pejumu." Mungkin gairah telah mengambil alih kesadarannya.

Aku menatapnya, lalu mengangguk. Dia menyeringai dan menjilat bibirnya, membukanya dan menelan kembali penisku.

Aku mulai membantunya mendorong pinggulku maju mundur, menggesekkan batang penisku di bibir dan lidahnya, menyetubuhi mulutnya.

Aku mencondongkan tubuh ke depan dan tanganku bertumpu pada ubin di atas kepalanya, merasakan kenikmatan mulai muncul perlahan-lahan, membesar, memuncak dan meluap. Aku berteriak dan mengisi mulutnya dengan spermaku. Ketika dia merasakan semprotan di tenggorokannya, dia membuka mulutnya lebar-lebar dan menelan seluruh cairan yang memenuhi mulutnya.

Setelah semburan kedua, kurasakan lututku bergetar, berusaha tetap menopang tubuhku tapi gagal. Penisku tercabut keluar dari mulutnya, saat semburan ketiga meledak, membasahi bibir dan wajahnya. Mba Silvi meraih penisku dengan tangannya yang bebas, menggosoknya dan mencoba untuk menyelipkannya kembali ke dalam mulut tapi aku sudah kadung menyembur untuk keempat, lima, dan enam kalinya membasahi dagu, dada dan bahunya.

"Ampun," kataku, meluncur ke bawah dinding keramik, terkapar di lantai, kakiku terbentang di sampingnya yang masih berlutut di depanku.

Mba Silvi menatapku, lidahnya menjulur keluar dan menjilat bibirnya yang tersiram spermaku.

"Sudah bersih sekarang," katanya.

"Wow," hanya itu yang bisa aku jawab.

"Gimana rasanya blowjobku?"

"Terbaik," kataku.

"Kamu pasti sudah sering," katanya, menatapku, "Bisa menahan selama itu."

Aku memandangnya, lalu berkata. "Pertama kali, Mba Silvi."

Matanya melebar dan dia menatapku. "Pertama... maksudmu... itu pertama kali kamu dioral, blowjob?"

"Kecuali kalau nempelin ujungnya ke mulut diitung juga."

"Kok cuma nempel?" dia berkata.

"Kayaknya dia ga tertarik sama aku."

Mba Silvi menampar kakiku. "Duh, ga mungkin. Kamu ganteng, badanmu bagus"

"Kurang kesempatan, kayaknya."

"Ga mungkin. Aku berani taruhan, aku yakin."

"Aku harap juga gitu," kataku.

Dia menatapku sebentar, lalu berkata, "Dan kamu masih perjaka...?"

Aku menganguk.

"Oh ga, Yo, aku ga bisa ngelakuin ini!"

"Kenapa ga bisa, Mba?," kataku.

"Ga. Perjaka mu harus dengan orang yang spesial."

"Kamu spesial, Mba Silvi... kamu cantik."

"Seharusnya seseorang yang kamu cintai, Yo, bukan ibu rumah tangga binal yang..."

"Aku ga peduli tentang cinta, Mba. Tapi aku peduli sama, Mba Silvi. Aku ingin bikin Mba bahagia."

"Yo ..." dia mulai lalu berhenti, dan aku bisa melihat sesuatu seperti rasa takut di matanya.

Aku tertawa pelan. "Gapapa, Mba. Aku ga akan jatuh cinta sama Mba Silvi, ini cuma dua orang yang lagi senang-senang, cuma itu. Tapi aku benar-benar pingin Mba Silvi jadi yang pertama buat aku. Jangan dibesar-besarkan lebih dari seharusnya. Kita jalani aja dulu. "

Ketakutan di matanya sudah sedikit surut, diganti oleh sesuatu yang lain. Hasrat? Nafsu? Atau itu cuma khayalanku?.

Aku mengangguk, meraih tangannya dan dia menepisnya lagi. Aku mengerutkan kening dan dia tersenyum padaku. "Belum saatnya, Yo...," bisiknya.

Aku mengerutkan kening padanya, bingung. Dia menyentuh penisku lagi, membelainya. "Kontol gagah," sisi liarnya kembali muncul.

Aku mengangkat kakiku dan menyandarkan di pinggangnya. Dia masih memainkan penisku yang sudah lembek di tangannya. Lalu dia mundur dan bangkit berdiri. Aku menatapnya, bibir vagina terlihat diantara kedua pahanya. Rambut kemaluannya masih basah dan menempel di kulitnya.

"Pakai bajumu, kita makan dulu. Aku ingin membahas soal gambar baru yang akan kita buat."

Dia berbalik, mengeringkan tubuhnya dengan handuk lalu berjalan telanjang keluar dari kamar mandi. Aku melakukan hal yang sama, tapi sebelumnya aku memakai celana jins dan mengganti kausku dengan yang bersih.

Ketika aku sampai di dapur, Mba Silvi sudah berpakaian, tetapi cuma jubah sutra tipis yang di pakai tadi pagi. Kain biru tua mengkilap dan menempel erat pada lekuk tubuhnya dengan cara yang sangat mengganggu.

Makanan sudah tersaji, sepertinya dia sudah menyiapkannya lebih awal.

Aku duduk di bangku dan mulai makan.

"Di mana tempat yang paling bagus untuk melakukannya, Yo?" dia bertanya.

"Gambar?"

Dia mengangguk. "Di dalam atau di luar?"

"Sebenarnya Mas David yang mau gambar ini," kataku. "Kira-kira dia sukanya gimana?."

"Ga ngerti juga."

Kulihat Mba Silvi masih bingung, lalu aku berkata, "Mba Silvi punya kamera? Kamera apa aja asal digital."

"Oh ada," katanya. "Kami punya dua atau tiga. Tunggu." Dia bangkit dan pergi dari dapur. Aku melanjutkan makan, menusuk sepotong ayam dan mengunyahnya.

Mba Silvi kembali dan menaruh sebuah kamera diatas meja. Aku mengambilnya lalu menyalakannya.

"Bisa dipakai?" dia bertanya

"Bisa kok," kataku. "Gimana kalau kita coba beberapa tempat, beberapa pose? Nanti aku foto semua, terus dipindahin ke komputer biar Mba Silvi bisa pilih mana yang bagus selagi aku kerja"

"Kamu nanti kerja lagi?"

Aku tertawa. "Aku harus nyelesaiin kerjaan di luar," kataku. "Jam empat aku masuk lagi."

Bibirnya manyun, dan aku tertawa lebih keras. "Itu ga akan berhasil, Mba."

Dia makin manyun lalu nyengir. "Kamu yang nanti bakalan nyesal, Bos." Tapi dia nyengir, semoga dia ga serius.

Setelah kami selesai makan, aku usul agar kami keliling rumah sambil coba cari tempat yang bisa jadi background yang bagus.

"Boleh ga?" Mba Silvi bertanya, meletakkan tangannya ke leher jubahnya.

"Silahkan," kataku, dan dia melepas jubahnya lalu meletakkannya di kursi. Dia berjalan di depanku, tampak cuek dan aku mengikuti, mengagumi cara pantat kecilnya bergoyang pada setiap langkah. Seluruh tubuhnya sangat ramping - tidak kurus, tetapi kencang.

Dia menuntunku ke ruang tamu yang besar. Aku memintanya untuk mencoba berbagai posisi di sofa kulit besar.

"Apa Mba tahu seperti apa yang dicari Mas David - atau Mba sendiri? Mau yang seksi, sensual, atau erotis?"

Mba Silvi menyeringai. "Kayaknya yang sensual deh. Kita sudah lebih dari seksi, tapi kayaknya kalau yang erotis Mas David belum siap."

"Belum siap?" Aku bilang.

Dia menyeringai dan mengubah posisi, berbaring telentang dan membuka lebar kakinya menunjukkan vaginanya ke kamera. "Tapi aku sudah."

"Kalau mau yang sensual, kakinya jangan dibuka selebar itu, Mba."

Dia merapatkan kakinya, menekuk satu lutut dan berpose. Aku membuat tiga foto dan memintanya untuk ganti pose.

Pose favoritku di ruang tamu adalah saat dia berdiri di jendela besar, memandang ke luar, tangannya bertumpu pada kaca, tubuhnya setengah berputar jadi cuma satu payudara yang kelihatan.

Kami pindah tempat lain di dalam rumah. Kami berhenti di sebuah pintu dan Mba Silvi menuntunku ke kamar yang sepertinya kamar mereka. Tempat tidurnya saja sudah terlihat lebih besar dari seluruh kamarku di rumah. Mba Silvi mencoba berpose di tempat tidur, tapi ga bisa nemu sudut yang bagus karena ukuran ranjang terlalu besar, jadi aku memintanya duduk di meja rias dan menangkapnya pantulannya di cermin. Seluruh punggung dan celah pantatnya yang dalam menghadap ke kamera, kedua payudaranya tampak di cermin. Aku suka yang itu.

Kami berpindah tempat lagi, lebih jauh ke belakang, dan kami sampai di sebuah ruangan dengan kolam renang indoor yang panjang tapi tidak terlalu lebar. Jendela tinggi berjajar sepanjang tembok samping, memberi efek cahaya berselang-seling. Mba Silvi berjalan ke tepi kolam dan melompat masuk, menyebrangi panjang kolam. Aku mengambil sejumlah foto punggungnya, beberapa foto saat dia berenang ke arahku, payudaranya yang basah berkilau terkena cahaya, beberapa foto lagi saat dia menarik diri keluar kolam dan air mengalir melalui sela-sela payudara ke perutnya. Aku memintanya untuk berdiri dekat jendela-jendela tinggi, melihat ke dalam ruangan. Beberapa foto sepertinya bagus mungkin karena pencahayaan yang berkilauan karena pantulan air kolam.

"Di luar?" Aku bertanya padanya.

Kami berjalan lagi melewati rumah dan keluar dari pintu lebar di ruang tamu. Kami mencoba beberapa foto di bangku taman, tetapi hasilnya kurang bagus. Mba Silvi memimpin jalan kebelakang menuju ke hutan, berpose dengan berbagai pohon, dari depan belakang dan samping.

Kami masuk lebih jauh, Mba Silvi melangkah dengan hati-hati diantara ranting, waspada pada serangga kecil dan laba-laba. Kami menemukan sebuah batu besar yang tertutup lumut kering.

Aku meminta Mba Silvi untuk mencoba duduk dan berbaring di batu, lumut jadi alasnya. Dia memutar badannya ke arahku, berpose untukku. Aku suka ketika dia berbaring di atas batu, kulitnya yang putih kontras dengan lumut yang gelap, tertimpa cahaya redup yang melewati celah dedaunan.

Mba Silvi berbaring di atas lumut, satu kaki terentang, jari-jari kakinya sedikit menyentuh karpet daun kering. Dia memakai satu lengan sebagai bantal dan tangan satunya diletakkan diatas pahanya. Aku berlutut dan bergerak di depannya, mengambil foto dari beberapa sudut. Cahaya menyinari payudaranya yang menonjol, menciptakan bayangan di bawahnya. Aku bisa lihat putingnya telah menonjol dan mengeras lagi.

Dia menyelipkan tangannya di atas pahanya dan jari-jarinya menyentuh vaginanya. Aku berhenti bernapas, mengarahkan kamera, mengambil lebih banyak foto.

Mba Silvi menggerakkan tangannya lagi dan jari-jarinya menutupi vagina. Dia menusukkan satu jari ke celahnya, memasukkan lalu menariknya keluar, berkilau dengan cairannya. Dia melihat ke bawah ke jarinya, lalu menatapku dan tersenyum.

Aku mengangguk, mendukungnya, sadar penisku sudah mengeras lagi.

Mba Silvi tersenyum lembut saat jarinya menyelinap keluar masuk. Aku bisa dengar suara becek dari vaginanya, bisa melihat jarinya yang berkilauan saat ditarik keluar. Dia mengesek klitorisnya dengan jari yang basah. Senyumnya semakin lebar saat dia mulai memakai dua jari untuk mengobel vaginanya. Aku duduk di tumitku, masih terus mengambil gambar.

Dia menatap mataku dan berkata, "Brengsek, aku basah banget, Yo."

"Aku bisa lihat," kataku. Aku ingin mengeluarkan penisku dari celana tapi takut merusak suasana. Aku mengubah posisi, berusaha supaya lebih nyaman.

"Apa tadi kamu jengkel pas ga bisa menyetubuhiku?"

"Aku nurut Mba Silvi aja."

"Kamu bukan cowok biasa, Yo, ya kan?"

"Sekarang aku merasa cukup normal," kataku.

"Aku tahu aku ga adil. Tapi aku menikmati saat sedang terangsang, ga cuma saat disetubuhi, tapi saat sedang terangsang, dan aku sudah terangsang dari tadi. Ya Tuhan, aku sudah banjir," katanya lagi .

Aku menyaksikan Mba Silvi mulai lebih serius menuntaskan birahinya, dua jari membuka bibir vaginanya, membuat cairannya yang licin keluar dan diratakan ke klitorisnya. Tangannya yang lain meluncur ke atas dan mulai membelai payudaranya, menarik putingnya, naik untuk membelai lehernya. Dia menyelipkan jari ke dalam mulutnya sendiri dan menariknya keluar dengan air liur, bertukar tangan dan memasukkan jari-jari yang berlumur cairan vagina ke mulutnya.

Dia terengah-engah, berusaha keras mencapai klimaks.

Aku duduk diam saat dia tampaknya lupa padaku, berkonsentrasi pada kenikmatan yang timbul dalam dirinya. Dia memutar payudaranya lebih keras, mendorong jari-jarinya jauh ke dalam vaginanya, perutnya mengencang. Tiba-tiba dia mulai mengerang dan mendesis, pinggulnya mulai bergetar dan kemudian dia menusukkan tiga jarinya, lalu empat, jauh ke dalam dirinya dan tersentak saat dia orgasme. Kameraku menangkap setiap momen, menangkap kenikmatan yang menenggelamkannya. Wajahnya berkerut lalu rileks. Tubuhnya mengikuti, akhirnya merosot ke bantalan lumut.

Aku menunggu, dan perlahan-lahan dia mulai menyadari sekitarnya, duduk kembali sambil seringai lebar.

"Terlalu erotis?" dia bertanya.

"Ya, agak berlebihan."

"Persetan, aku butuh ini."

"Aku bakal senang kalau bisa bantu," kataku.

"Kita masih punya seminggu, Yo. Ga usah buru-buru." Tiba-tiba dia duduk. "Ya Tuhan, aku harus kencing," katanya.

Dia bangkit dan berlari menjauh, berjongkok dan kencingnya menyembur dengan kencang. Dia masih menghadap kearahku, mungkin mau membiarkanku melihatnya.

"Aku lupa soal itu," katanya. "Setelah aku orgasme, aku selalu kebelet kencing." Dia tertawa. "Apa aku bikin kamu kaget, Yo?"

"Belum," kataku, dan dia menatapku dan tersenyum. Aku berdiri, menyerahkan kamera padanya. "Pilih dan putusin Mba Silvi mau pakai foto yang mana. Aku harus balik kerja."

"Haruskah?"

"Ya," kataku.

Dia mendatangiku, menekan dirinya ke tubuhku, payudara lembut, perut hangat, vagina basah. Dia meletakkan tangannya di belakang kepalaku dan menarikku ke bawah. Kali ini, saat lidahnya datang mencari, aku membuka mulutku, dan menyelipkan lidahku sendiri ke mulutnya.

Dia mundur, terengah-engah, dan mendorongku menjauh. "Pergilah, sebelum aku melakukan sesuatu yang bikin menyesal."

Aku menatapnya lalu tertawa terbahak-bahak. "Maksudnya sekarang masih belum ngelakuin itu?"

"Sialan kamu," katanya tersenyum malu, dan aku berbalik lalu kembali bekerja.

Aku bekerja sebaik mungkin, keringat mengucur deras, tidak peduli pada otot-ototku yang lelah, mencoba menghalangi pikiranku dari bayangan tentang Mba Silvi. Aku terus berharap dia keluar, masih telanjang, menarikku kedalam dan... Tapi sampai jam empat saat aku merapikan alat-alat belum ada kejadian seperti yang kuharapkan. Aku melepas sepatuku dan berjalan memutar ke samping rumah, kali ini masuk melalui pintu ruang tamu yang terbuka.

"Mba Silvi!" Aku memanggil. Ga ada jawaban.

Aku berjalan lebih jauh ke dalam rumah, mendengarkan setiap suara di kesunyian, lalu ketika aku masuk lebih dalam melalui lorong aku mendengar suara seperti ketukan dan aku mendatanginya. Dia duduk di depan monitor besar, memakai jubahnya, melihat foto-foto yang kuambil.

"Pilih yang mana?" Aku bertanya, dan dia melompat. Kulihat dia menarik tangannya dari pangkuan, mungkin barusan dia sedang memuaskan diri sendiri lagi. Apa mungkin dia sudah melakukan itu dari siang tadi? masturbasi sendiri, kencing, balik ke foto dan makin lama makin terangsang.

"Yo, aku ga tau," dia tampak gugup, membenarkan kecurigaanku. Dia ga keberatan masturbasi di depanku, tapi merasa berdosa saat ketahuan masturbasi diam-diam.

Aku mendekat dan berdiri di belakangnya, kali ini aku ga akan melepaskannya. Aku berhenti, bagian depan jinsku menekan bahunya. Aku membungkuk dan mengambil mouse mulai melihat foto-foto.

Aku kaget melihat berapa banyak yang sudah kufoto. Kaget juga melihat berapa banyak yang bagus.

"Ini buat Mas David atau buatmu, Mba?" Aku bertanya.

"Mas David. Aku mau sesuatu yang akan... menggairahkannya, merangsang birahinya. Sesuatu yang akan dia suka dan puja."

"Katamu dia suka gambarmu yang di luar. Jadi di luar?"

"Iya, kayaknya di luar," katanya.

"Aku suka yang pas Mba Silvi rebah di lumut," kataku.

Dia mendorong bahunya ke arahku. "Ya, aku juga suka yang itu. Tapi cahayanya gimana? Bisa kamu gambar juga?"

"Aku kepikiran untuk pakai cat minyak," kataku. " Jadi ga cuma sekedar sketsa hitam putih kayak kemarin, ada warna, cahaya dan bayangan."

"Sempet ga waktunya?" dia bertanya.

"Mepet sih. Aku takut catnya belum kering sempurna, jadi nanti mesti dibetulin lagi. Kalau sudah jadi aku kabari."

"Tapi kamu bisa kerjain sendiri kan, Yo? Aku ga mau ada orang lain yang lihat."

"Aku coba," kataku. "Seharusnya sudah siap sebelum aku ke Jakarta."

Aku memindahkan beberapa foto saat dia rebah di lumut ke desktop.

"Lihat, ini," kataku, membuka satu per satu secara detail, "Yang ini?"

Dia menatapnya selama beberapa menit, meletakkan tangannya di atas tanganku di mouse dan aku membiarkannya mengambil alih kendali. "Ya, benar. Itu bagus banget."

"Selama cuacanya mendukung."

"Butuh berapa lama?"

"Sketsa cat minyak, di luar? Lebih lama dari yang kemarin. Dan gambarnya lebih gede."

Dia mengangguk. "Mau mulai dari sekarang?"

Aku melirik ke luar jendela. Cahayanya masih bagus, udaranya hangat. "Boleh, kalau siap," kataku.

Kami berjalan kembali melewati hutan dan Mba Silvi melepas jubahnya dan menempatkan dirinya di atas batu. Aku menghampirinya, menyentuh lengannya, pinggulnya, kakinya, mengaturnya sesuai posisi yang kumau.

"Nyaman ga?" Aku bertanya.

Dia mengangguk. "Cuma sebentar kan."

"Satu jam," kataku. Aku mundur sedikit, menemukan bonggol pohon kering diposisi yang pas dan memulai sketsaku.

Setelah sepuluh menit Mba Silvi bilang dia kesemutan, jadi kubiarkan dia bergerak, lalu memintanya kembali ke posisi semula.

"Satu lagi," kataku, saat aku mulai menggambar lagi, "Mba Silvi ga boleh masturbasi lagi sampai waktunya habis."

"Sial, dia bergumam, berusaha untuk tidak menggerakkan bibirnya.

Aku tertawa dan melanjutkan.

Tepat saat waktunya habis dan cahaya mulai gelap, aku bilang dia boleh bangun. Dia berdiri dan memutar pingangnya, mengangkat tangannya di atas kepalanya. "Ya Tuhan, badanku kaku," katanya.

"Mau dipijat?" Aku bilang.

Dia menatapku. "Dasar kamu, Yo. Masih punya keahlian lain yang aku ga tahu?"

"Mungkin," kataku.

"Kedengarannya bagus. Yuk," dia menggandeng tangganku kembali ke rumah, langsung masuk ke kamarnya. Dia membaringkan dirinya tengkurap di atas tempat tidur, menatapku dan mengoyangkan pantatnya. "Siap," dia menyeringai.

Aku meletakkan sketsaku dan bergerak ke samping tempat tidur. Dia berbaring di tengah, dan untuk memijat aku harus berlutut disampingnya. Kuleletakkan tanganku rata di bahunya dan menekan ke bawah, memutarnya, lalu mengangkat tanganku dan kali ini memakai jariku menekan otot-ototnya. Dia bergerak-gerak lalu menghela nafas. Kurasakan lengannya terulur ke belakang dan menepuk celana jinsku di bagian paha.

"Kamu akan lebih nyaman tanpa ini," gumamnya ke bantal.

Aku ga protes. Aku bergeser turun dari tempat tidur dan membuka bajuku termasuk celana dalamku lalu berlutut di sampingnya di tempat tidur. Penisku berdiri tegak dan aku menjaganya agar tidak sampai menyentuh Mba Silvi. Tanganku kembali ke punggungnya dan memijat lagi, bergerak turun sejajar dengan lenggannya, menuju lembah pantatnya yang dalam, lalu ke pantatnya yang kencang. Aku memutar kedua pantatnya di telapak tanganku, menariknya terpisah untuk menunjukkan lubang pantatnya. Aku pindah ke kakinya, mulai dari telapak kakinya dan kembali keatas.

Aku mengeser tubuh ke samping pantatnya, membelai kakinya, melihat celah lembap di antara kedua kakinya. Aku bisa mencium aroma kewanitaan yang khas menyambutku, dan penisku sakit, mengangguk-angguk selagi aku memijat.

Mba Silvi mengangkat lengannya ke samping dan menyentuh kakiku. Kepalanya menyamping diatas bantal, memperhatikan penisku bergerak. Kemudian dia mengangkat tangan dan menggenggamnya, mulai membelaiku.

"Curang," kataku.

"Ga," gumamnya.

"Itu kalau Mba Silvi ga ngijinin aku ngelanjutin." Aku membungkuk dan ciumanku mendarat di kulitnya, bergerak menyusuri pinggulnya.

"Apa aku menggodamu, Yo?" dia bertanya.

"Mba sudah tahu jawabannya."

Dia mengangguk. "Rasanya gitu. Kamu mau hadiahmu sekarang?"

"Aku dapat hadiah?" Aku bilang.

Dia mengangguk lagi. "Iya dapat." Dia berguling telentang, membuka kakinya dan aku membungkuk lagi langsung mencium vaginanya. Aroma dan rasa membanjiri hidung dan mulutku. Aku mendorong kakinya ke samping dan menyelipkan lidahku jauh di dalam dirinya. Dia spontan melengkungkan punggungnya dan mendorong kemaluannya ke mulutku, lalu memutar dan mencari penisku dengan mulutnya sendiri. Kurasakan hangat nafasnya, sebelum mulutnya yang basah menyelimuti penisku.

Aku mengangkat kaki Mba Silvi dan mendorong wajahku kuat-kuat ke arahnya, mendorong lidahku di antara lipatan tipis bibir dalamnya. Dia mendorong ke arahku, mengayun kemaluannya kemulutku. Vaginanya sudah basah kuyup, dan kubayangkan dia mencoba masturbasi dari tadi, tapi ga cukup memuaskan gairahnya. Sekarang dia sudah siap, dan aku kaget saat mulutku tersiram cairan dari vaginanya, kemaluannnya ditempelkan erat ke wajahku, mengeram saat dia bergetar dan gemetar.

Penisku meluncur keluar dari mulutnya dan bersarang di lehernya. Aku berbalik, bergerak, meletakkan kemaluanku di antara payudaranya, menjepitkan dicelah yang dalam di tengahnya. Mba Silvi tersentak lagi, menggelengkan kepalanya. Aku terus memompa payudaranya, lidahku tetap menempel ke dalam vaginanya yang basah kuyup dan dia menyentak dan orgasme lagi untuk kedua kalinya dalam beberapa menit.

Aku merasakan tangannya di pinggulku, mendorongku menjauh.

"Stop," dia terkesiap.

Aku mengangkat kepalaku.

"Harus ambil napas. Berhenti sebentar."

Aku meluncur ke samping dan berbaring di tempat tidur, meletakkan tangan di payudaranya, dan mengelusnya. Gundukan itu sepadat dan selembut yang kubayangkan, putingnya keras menonjol keluar. Dia membiarkan aku membelainya, selama aku cuma menyentuhnya dengan ringan. Saat aku meremas lebih kencang, dia meraih lenganku dan menahannya.

"Tunggu sebentar," katanya.

"Perlu kencing?" Aku bertanya.

Dia membalikkan tangannya dan tertawa, "Sebenarnya, iya. Tunggu." Dia melompat dan berlari ke kamar mandi. Kudengar suara kencingnya, lalu suara gemericik dari keran saat dia membersihkan diri. Dia berlari kembali dan meluncurkan dirinya di tempat tidur, mendarat dengan kepala di pinggulku dan berguling dan menarik penis kerasku ke mulutnya. Aku meletakkan tanganku di belakang kepalanya dan menggerakkan pinggulku, mendorong sampai menyentuh tenggorokannya lagi beberapa saat, lalu melepas tanganku dari kepalanya memberi kesempatan untuk bernafas.

Aku meraihnya ketiaknya dan menariknya ke atas, menariknya ke atas tubuh aku.

Dia berbaring tengkurap diatasku, kakinya di samping pinggulku.

"Aku pingin banget menyetubuhimu," kataku.

Dia menatap wajahku, matanya berbinar. "Tunggu apa lagi?"

Aku meraih pinggulnya dan mengangkatnya ke atas penisku lalu menurunkannya. Aku merasakan kepala penisku menyentuh bibir vaginanya. Aku menatap matanya, dan ketika aku mendorong kemaluanku masuk aku melihat pupilnya melebar, merasakan bibir vaginanya terbelah membuka, hangat dan licin di dalam. Dia menggeliat, membetulkan posisi kakinya, dan membuatnya menelan perlahan batang penisku. Dibawah sadarku, aku tahu ini yang pertama buatku, tapi ga terasa seperti itu. Aku merasa memegang kendali, berpengalaman, siap untuk membuatnya meraih orgasme demi orgasme.

Mba Silvi mengangkat pinggulnya lalu menurunkannya lagi, lebih dalam setiap kali. Payudaranya berayun dan bergoyang seirama gerakan tubuhnya. Aku mengangkat tangan dan menggenggamnya, menarik putingnya dan dia menggigit bibir bawahnya, membungkuk dan menciumku, duduk lagi dan mengerakkan tubuhnya lebih keras, lebih cepat.

Aku meletakkan tanganku di pinggangnya, membantunya bergerak naik turun lebih cepat, mendorong ke dalam dirinya.

"Setubuhi aku, Yo," bisiknya.

Aku menekan penisku dalam-dalam, menariknya ke bawah untuk menciumnya, mendorongnya kembali, memompa jauh ke dalam dirinya, menyaksikan wajahnya menjadi sayu dan dia mulai gemetar.

"Oh, sial," bisiknya, "Aku dapet lagi!" Ada nada terkejut di suaranya, lalu punggungnya melengkung kaku beberapa saat, sebelum menjadi lemas dan dia berbaring di dadaku.

Penisku masih menancap keras didalamnya. Aku menggulingkannya sehingga dia di bawah, mulai menyetubuhinya dari atas. Dia mengangkat kakinya dan melilitkannya di pinggangku, melingkarkan lengannya di pundakku, kakinya menarik kemaluanku ke dalam vaginanya.

"Lagi," katanya.

Dia menatapku, hampir seperti takut, dan aku terus menyetubuhiya.

"Aku dapet lagi," katanya, dan pupil matanya melebar, matanya melotot, dan dia menyerah saat gelombang kenikmatan menerpanya. Dia mencengkeram aku dengan kakinya, memelukku dengan erat, lalu mendorong dadaku kebelakang.

"Ampun," katanya.

"Belum."

"Brengsek Yo, kamu belum dapet?"

"Belum."

"Aku ga tahu apa aku masih kuat," katanya.

"Pasti kuat." Aku menarik dan meraih pinggulnya, memaksanya bertumpu pada lututnya, lalu melebarkan kakinya agar bisa berlutut dibelakangnya. Lalu aku mengarahkan penisku ke celah vaginanya.

Aku memegangnya di sana, menggodanya, tidak bergerak, hanya menempel di bibir luarnya.

"Brengsek," bisiknya ke bantal.

"Kenapa, Mba?"

"Masukin," katanya lebih keras.

Aku mendorong, menyelipkan lima centi penisku ke dalam.

"Lagi. Masukin lebih dalam," katanya, mendorong pinggulnya kebelakang.

Aku mendorong kedepan tiba-tiba dan dia tersentak. Aku mencengkeram pinggulnya dan bergerak maju mundur, memompa vaginanya dalam-dalam. Vaginanya sempit, licin dan becek, tapi menjepit batangku dengan erat.

"Dapat lagi?" kataku.

Dia mengangguk ke bantal. "Kamu, Yo, tolong kamu juga dapat..." Ada nada memohon dalam suaranya.

"Mba mau aku ejakulasi?"

Dia mengangguk.

"Dimana?"

"Di dalam. Setubuhi aku, puasin aku dan basahi vaginaku. Tolong, Yo, Aku mohon..."

Aku tidak bisa bertahan lebih lama lagi. Aku menusuk lebih dalam, menabrakkan diri sedalam mungkin, ga peduli dengan Mba Silvi, hanya berfokus pada kepuasanku sendiri. Mba Silvi mulai mengerang dan mengejang dan wajahnya terbenam di dalam bantal, meredam erangannya.

Testisku mengencang dan aku merasakan tekanan bergerak ke ujung penisku. Aku menembakan sperma jauh di dalam vaginanya, Mba Silvi berteriak ke bantal dan mengejang di bawahku, menggeliat dan tiba-tiba dia jatuh tidak mampu lagi menopang tubuhnya, penisku terlepas dari vaginanya, masih muncrat membasahi pantat dan punggungnya, sampai ke bahunya. Aku meraih penisku dan mengarahkan ke vaginanya dan muncrat lagi, merasakan air mani aku masuk ke lubangnya.

Kami berdua terkapar, Mba Silvi berbaring telungkup, aku setengah tergeletak di atasnya, penisku sekarang melunak terbaring di celah pantatnya. Aku membelai kulitnya, meratakan air maniku ke celah pantatnya dan membelai vaginanya dengan jariku. Dia mengulurkan tangan dan meraih pergelangan tanganku.

"Aku bisa mati kalau sampai orgasme lagi," katanya.

"Besok kalau begitu," kataku, dan dia mengangguk.



Bersambung... Chapter.09
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd