Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT Sketsa

Chapter.09

Hasil Akhir




Selasa pagi, Mas Jarwo berjalan di sekitar lokasi bersamaku lagi, menunjukkan beberapa tempat yang butuhkan perbaikan, tetapi secara umum puas dengan kerjaanku. Setelah dia pergi, kudengar pintu depan terbuka dan Mba Silvi keluar ke rerumputan. Dia memakai jubah sutra biru tua, berjalan ke arahku dan melepas ikatannya, membuka bagian depan dan menarik tubuh telanjangnya ke arahku, menarik kepalaku ke bawah dan menciumku dalam-dalam.

"Mba Silvi selalu menyapa pegawai dengan cara ini?" Aku bilang.

Dia mengangguk, menciumku lagi. Aku menyelipkan tanganku ke belakang dan memeluk pinggangnya.

"Bagus biar semangat," kataku.

Dia tersenyum, berkata, "Makan siang?", Menutup jubahnya dan kembali ke dalam. Tepat sebelum jam satu aku masuk dan mandi, makan siang dengan Mba Silvi, lalu kami kembali ke hutan. Dia sudah hafal posenya sekarang dan mengatur posisinya sendiri. Kami mengambar selama dua jam, setelah itu Mba Silvi masuk ke dalam dan aku kembali ke kerjaanku.

Jam lima kami kembali ke hutan dan menghabiskan satu jam lagi bikin lukisan itu, lalu berjalan ke rumah ke kamarnya.

Aku menelanjangi diri dan bergabung dengannya di tempat tidur, membelai kulitnya yang halus, bermain dengan titik-titik sensitif yang kutemukan di tubuhnya. Satu ada di lengan bagian dalam, atas dekat ketiaknya dan dia gemetar ketika aku menciumnya. Yang lain ada di belakang telinganya. Satu lagi di tengah punggungnya, sejajar dengan pinggangnya. Lain lagi di paha bagian dalamnya, hampir sama dengan yang di lengan, dan aku menciumnya di sana lalu mencium vaginanya membuat dia melengkungkan punggungnya dan mengerang.

Mba Silvi mendorong bahuku, memintaku berbaring telentang, lalu memegang kemaluanku. Dia mendekatkan wajahnya ke penisku, menatapku, memiringkan kepalanya, lalu dia menciumku lembut di kepala penisku, menciumku lagi, setiap ciuman menjadi lebih sensual, tiap ciuman membuat penisku masuk lebih banyak di antara bibirnya. Dia mengangkat kepalanya dan menatapku.

"Biar Mba puasin kamu." katanya.

Aku menatapnya dan mengangguk.

Mba Silvi balik ke penisku, mulai menciumnya lagi, membuatnya basah, memasukkan kepalanya perlahan, tapi kali ini ga sampai dalam, hanya sampai kepala penisku tenggelam di bibirnya, lidahnya yang bekerja membasahi sisa panjang batangku.

"Aku suka bolamu," katanya. "Rajin dicukur ya? Rasanya halus banget."

"Iya," kataku.

"Mm. Rasanya enak. Kamu keberatan sama bulu vaginaku, Yo?"

"Aku ga keberatan, Mba."

"Kayaknya Mas David ga suka kalau aku cukur."

"Pernah nanya?"

"Kami ga pernah ngobrol soal itu sih," katanya, lalu mengatupkan bibirnya mengelilingi penisku lagi. Aku memperhatikannya sebentar, tertarik melihat penisku di dalam mulutnya, mencoba merekam apa yang kulihat karena aku akan menggambarnya nanti, saat aku sampai di rumah.

Aku meraih pinggulnya dan berusaha menariknya. Aku mau membalas perlakuannya di kemaluanku, tapi dia menolak.

"Nikmati aja, Yo. Aku mau pejumu dimulutku." Dia menjilati bolaku, lalu berkata, "Dan setelah itu, kamu akan menyetubuhiku."

Aku tersenyum, menghela nafas ketika dia membuka mulut dan mengulum penisku lagi.

Aku berbaring, menonton, menunggu, berusaha menikmati semua, hangat dan geli di penisku. Mba Silvi bisa merasakan otot-ototku berkedut, menegang setiap kali dia mendorong penisku di antara bibirnya, tetapi dia tidak berusaha merubah tempo hisapannya.

Rasa sakit itu tumbuh, mulai menuntut untuk dilepaskan, dan sekarang Mba Silvi merespon kebutuhanku, dia menarik mundur, menahan bibirnya di ujung kemaluanku, tangannya sekarang menggosok batangku dan pemandangan itu luar biasa dan aku tidak bisa menahan diri dan menyemprotkan air mani ke bibirnya. Bibirnya dipenuhi cairanku, menetes ke dagunya, dan saat semburan kedua dia membuka mulutnya dan membawa batangku kembali ke dalam, menelan sisa air maniku.

Ketika batangku melembek, dia tetap menahannya di dalam mulutnya, menggulung dengan lidahnya, menyedot dan menjilat selama lima menit tanpa istirahat sampai dia merasa aku mulai mengeras lagi. Dia bangkit, menggeser tubuhnya diatasku dan menciumku. Rasa dan aroma sperma melapisi bibirnya, membuatku mengecapnya saat berciuman, "Seperti apa rasanya?"

"Kamu tahu seperti apa rasanya," kataku, menyentuh bibirnya.

Dia tersenyum malu-malu

Dia menarik diri, berbaring tengkurap, dan membuka kedua kakinya. "Setubuhi aku, Yo. Setubuhi aku keras dan cepat."

Aku merangkak diatasnya, mengangkat sedikit pinggulnya dan menyelipkan penisku dari belakang. Aku bisa melihat penisku meluncur ke bawah diantara pahanya, membuka bibir vaginanya.

"Lebih kencang," gerutunya, dan aku mendorong seluruh penisku kedalam dan mulai memompanya dengan cepat dan kasar.

Dia mengerang dan mendongakan kepalanya, jemarinya mengenggam bantal, dan mendorong pantatnya kearahku.

Aku menidurinya dengan kasar membuatnya orgasme sekali, tapi aku tidak memberinya kesempatan bernafas dan tetap melanjutkan sampai kami berdua menegang dan menyemburkan cairan kenikmatan bersama, lalu ambruk menimpanya, menempelkan dadaku ke punggungnya yang berkeringat.

Aku mencium punggungnya, merasakan keringat asinnya.

"Apa Mas David tahu aku sedang meniduri istrinya?" Aku bertanya.

"Ga tahu," katanya. "Mungkin dia tahu, tapi aku ga yakin."

"Kalau dia masuk sekarang dan menangkap basah kita, apa dia akan bunuh aku?"

Dia menggelengkan kepalanya. "Aku ga tahu, Yo. Apa kamu merasa bersalah?"

"Haruskah? "

"Menurutku ga," kata Mba Silvi. "Ini luar biasa, dan aku suka apa yang kita lakuin, tapi kita tahu ini cuma sementara, cuma beberapa hari. Kita manfaatin sebisanya."

Aku mencium punggungnya, turun ke pinggangnya, turun ke pantatnya dan sengaja menjilat lubang pantatnya membuat dia gemetar.

"Brengsek, jorok kamu, Yo."

"Aku sudah mandi," kataku. "Ga jorok sama sekali." Aku menjilat lagi dan dia menyentak kedepan.

"Pas kamu jilat rasanya enak. Jadi kepikir gimana rasanya kalau aku ijinin kamu anal."

"Aku ga mau," kataku. "Aku cuma menjelajahi seluruh tubuhmu."

"Aku ga pernah di tusuk di pantat," katanya.

"Aku ga pernah nusuk siapa pun di pantat," jawabku.

Mba Silvi tertawa. "Sudah kuduga," katanya.

Aku menampar pantatnya dan berguling. "Aku harus pulang. Aku harus ngerjain lukisan itu."

Pada hari Rabu kami bercinta segera setelah aku sampai untuk kerja. Mas Jarwo baru saja pergi saat Mba Silvi menyeret aku masuk dan menarik celana jeansku ke bawah, lalu menyandarkan diri di tembok saat kusetubuhi.

Kami bercinta lagi saat makan siang, dan dua kali lagi di malam hari.

Kamis dia langsung menarikku ke dalam dan memberikan blowjob, celana jeansku masih di pergelangan kakiku, saat tangannya mendorongku bersandar ke dinding. Setelah aku ejakulasi di mulutnya dia menyeka bibirnya dengan tangan, menciumku, dan berkata, "Mas David akan pulang lebih cepat. Malam ini."

"Oh."

Dia menciumku lagi, berkata, "Kita ga harus makan siang," dan aku menyeringai, dan dia berkata, "Aku mau nyoba sesuatu yang istimewa sama kamu." Dia menciumku lagi dan meninggalkanku di lorong, celana jeans masih melingkari pergelangan kakiku.

Cuaca berubah lagi dan meskipun awan menutupi matahari hampir sepanjang pagi, panas dan lembab dan keringat mengalir deras ke aku, membasahi kemeja dan jins aku.

Tepat sebelum jam satu aku selesai dan masuk ke dalam. Mba Silvi sedang duduk di undakan menuju ruang tengah, menungguku, jubah biru gelapnya terbuka untuk memperlihatkan tubuhnya, kakinya yang ramping terbujur menuruni tangga.

"Cepat mandi. Aku tunggu di dalam," katanya.

Aku membuka baju di depannya, sengaja menunjukkan penisku yang sudah mengeras, sebelum masuk ke kamar mandi. Lima menit aku sudah selesai lalu berjalan ke kamar tidur utama.

Mba Silvi sedang berbaring telentang di tempat tidurnya, satu lutut diangkat, jari-jarinya bermain-main di vaginanya.

"Buat aku orgasme, Yo, setelah itu aku punya hadiah buat kamu."

"Oh ya?" Aku naik ke tempat tidur, mulai mencium jari-jari kakinya, merambat ke atas. Aku bisa mencium aroma seksnya yang kuat kamar itu, dan saat aku sampai di vaginanya, dia lebih basah dari yang pernah kulihat. Aku menghisap cairan vaginanya dengan mulutku, mencucukkan lidahku ke dalam dan merasakan permukananya yang licin. Aku menarik ujung kelentitnya dengan bibirku, menyedotnya dengan keras, menggigitnya dengan gigiku membuat dia mengerang dengan panik.

Cuma butuh tiga menit dia mengelinjang dan menggeliat di bawah mulutku, mendorong wajahku ke vaginanya, mendengus "ya, ya, ya ..." berulang-ulang lagi.

Perlahan dia berhenti bergerak. Wajah aku dibanjiri dengan cairannya lalu aku mencium naik ke atas perutnya, atas payudaranya dan sampai ke mulutnya.

"Ini akan jadi yang terakhir, Yo," katanya, pandangannya tampak sedih.

"Aku tahu ini pasti terjadi," kataku. "Sejauh ini sudah sangat memuaskan."

Dia menciumku dan memelukku. "Kamu pengertian banget. Kenapa kamu bisa sedewasa ini di usiamu?"

"Masa?"

Dia menggelengkan kepalanya. "Aku ga tahu. Aku asal ngomong. Kamu mau hadiahmu sekarang?" Dia mengedipkan matanya dan menyeringai.

"Apa itu?" Aku mencium titik di bawah telinganya dan dia merinding.

"Aku," katanya.

"Aku sudah punya kamu," jawabku.

"Pantatku," katanya.

Aku memandangnya. Matanya berkilat, wajahnya memerah.

"Aku mau kamu coba anal denganku, Yo. Kamu juga mau kan?"

"Mba Silvi yakin?"

"Rasanya gitu."

"Mba sudah pernah sebelumnya?"

Dia menggelengkan kepalanya.

"Yakin mau nyoba?"

Dia mengangguk.

"Tapi kita perlu.. tahu kan.. pelumas atau apa gitu?"

Dia berguling, meraih ke laci samping tempat tidur, mengeluarkan botol plastik bening kecil.

"Ada," katanya, menyerahkannya padaku. "Kamu mau, Yo? Kamu mau kita coba?"

"Ya ampun... Asal Mba yakin."

"Aku mau," katanya. "Aku dari dulu pingin nyoba, tapi Mas David ga suka yang seperti itu. Tapi pas kamu... jilat di sana, itu benar-benar bikin aku terangsang. Aku mau nyoba sama kamu.."

"Kita coba pelan-pelan, Mba," kataku.

Dia mengangguk, menggigit bibir bawahnya, tatapannya sangat mengoda.

"Boleh aku jilat dulu?" Aku bertanya.

"Pantatku?"

Aku mengangguk.

"Kamu ga... merasa itu kotor?"

"Aku ga masalah kok sebelumnya," kataku. "Mba sendiri gimana?"

Dia mengangguk, tampak malu sekarang. "Aku suka banget," akunya.

Aku menciumnya, mencium leher dan bahunya, mencium payudaranya dan saat aku bergerak ke bawah, dia berguling, membuka kakinya dan mengangkat pantat bulatnya sehingga celahnya terbuka dan memperlihatkan lubang keriput merah muda ditengahnya.

Akhirnya lidahku menyentuh lubang pantatnya dan dia bergerak-gerak. Aku menjilatnya lagi dan merasakannya rileks, mendorong kakinya dan membuka pahanya lebih lebar. Aku meludahinya sedikit, membukanya dengan jariku sebelum mendorong lidahku ke dalam, perlahan saja dan dia seperti menggigil.

"Enak?" Aku bertanya.

"Luar biasa," gumamnya. "Tapi, kamu ga jijik?"

Aku menjilatnya lagi, mendorong lidahku ke dalam lubang, mendorong dengan keras sampai lubangnya membuka dan lidahku bisa masuk ke dalam. Aku menggelengkan kepalaku, membasahi celah pantatnya dengan lidahku, lalu mundur dan berkata, "Rasanya enak."

Aku mengambil botol kecil pelumas dan meneteskan ke dalam lubang pantatnya, meratakannya dengan ujung jariku, membuka pantatnya lebih lebar dan meneteskan lebih dalam.

"Ya Tuhan, aku ga percaya kita akan ngelakuin ini."

"Kalau mau berhenti bilang aja."

Dia menggelengkan kepalanya, tangannya terkepal memegangi seprei. "Masukin, Yo. Masukin sekarang... Please..."

Aku menuangkan minyak ke tanganku, meratakannya ke kemaluanku dan kemudian memposisikan diriku. Kepala penisku menempel di lubangnya yang berkedut seperti bernafas. Aku menekan sedikit membuatnya terbuka.

"Nnn," gerutunya.

"Sakit?"

"Sesak," katanya.

Aku menekan lagi, kepala penisku berhasil masuk dan aku menunggu, terpesona melihat pemandangan itu.

"Aii," erangnya.

"Sakit?" Aku bertanya lagi.

Dia mengangguk ke bantal. "Sedikit, ya ..."

Aku menarik keluar penisku dan lubang pantatnya menutup. Warnanya sudah lebih merah, tidak sepucat tadi.

"Ga, coba lagi, aku mau kamu masikin ke pantatku Yo."

"Aku ga mau, Mba Silvi kesakitan."

"Coba lagi," katanya.

Aku memberikan lebih banyak pelumas ke dalam tubuhnya, mendorong jari ke pantatnya dan dia bergerak-gerak mencoba untuk menikmatinya, tapi aku tahu dia kesakitan. Aku menggerakkan jariku, menunduk dan mencium pantatnya.

"Aku ga bisa," kataku.

Dia berguling, berbaring miring menatapku, dan aku bisa melihat air mata mulai mengalir di matanya, lalu tiba-tiba dia menangis keras. Aku meraihnya dan memeluknya, membelai rambutnya.

"Hei, hei, gapapa Mba... Aku ga masalah..."

"Aku mau ...," dia menelan ludah, "Aku mau ngasih kamu sesuatu yang istimewa, Yo. Aku mau ngasih sesuatu yang belum pernah kamu dapat." Isak tangisnya menjadi makin kencang.

Aku mencium matanya, merasakan air matanya yang asin.

"Sudah, Mba Silvi. Kamu yang ngambil keperjakaanku. Mba sudah ngasih banyak minggu ini, aku akan selalu ingat, pengalaman pertamaku. Mba istimewa."

"Oh Yo," dia memegangi wajahku dan menciumku, menciumku lagi dan lagi. "Setubuhi aku, Yo, bercinta denganku keluarin di dalam... Apapun yang kamu mau, Yo"

"Persis seperti ini," kataku bersungguh-sungguh. Dia duduk di pangkuanku menghadap kearahku, mencondongkan tubuh untuk menciumku, bergeser sedikit dan merasakan penisku di perutnya dan dia menatapku, tersenyum lalu meraih kebawah dan mengarahkan penisku ke vaginanya.

"Buang-buang pelumas mahal," katanya saat penisku memasuki vaginanya.

"Aku menikmati prosesnya," kataku.

"Aku masih ga tahu kok kamu bisa suka cium pantatku."

"Itu bikin aku terangsang, Mba," kataku.

Dia menggelengkan kepala seolah-olah ga percaya, tetapi disaat yang sama dia juga mulai bergerak naik turun di pangkuanku, pahanya melingkar di pinggangku, kepalanya jatuh ke depan, payudaranya yang indah bergoyang dan berguncang. Aku mencengkeram pinggulnya dan mendorong ke dalam, merasakan kepala penisku menabrak rahimnya, mengisi celah kemaluannya.

Aku menikmati pemandangan saat Mba Silvi mengangkangiku, duduk tegak sekarang, meletakkan tangannya di kepalanya dan menyelipkan jari-jari di rambutnya, tubuhnya tegak, payudaranya bergoyang liar dari sisi ke sisi saat dia memompa dengan keras. Dia menggigit bibir bawahnya dan bernafas pendek-pendek saat kenikmatan itu datang. Aku menahan penisku di dalam, merasakan batang penisku diurut. Mba Silvi bergetar, lalu membuka matanya lebar-lebar dan menatapku, menatap jauh ke dalam mataku, dan menunggu.

"Ayo," bisiknya.

Aku tahu akupun hampir sampai.

Mba Silvi tersenyum dan mengangguk. "Lanjutin," katanya lagi dan aku tak bisa menahan diri lagi, menyembur jauh di dalam dirinya dan dia tertawa, menekan ke bawah, lalu dengan cepat bangkit dan ketika aku muncrat untuk kedua kalinya aku memercik di perutnya, tapi dia membungkuk ke bawah, memegang penisku dan membuka mulutnya. Terlambat, aku menembak lagi di leher dan bibirnya, kemudian dia memasukkan kepala penisku di mulutnya membuat tembakan berikutnya langsung di dalam mulutnya, dia menelannya jauh ke tenggorokannya ketika aku bergidik.

Dia melepaskanku saat penisku melunak, naik kembali tubuhku dan menciumku, mengolesi bibirku dengan maniku sendiri.

Mba Silvi menangis lagi, lembut.

"Ini ga akan terjadi lagi, Yo, aku bakal kangen kamu."

"Aku ga akan pernah ngelupain, Mba Silvi."

Dia menatapku dan menggerakkan mulutnya sedikit. "Aku mau bilang aku cinta kamu... tapi aku ga boleh."

"Mba boleh bilang," kataku. "Mba Silvi tahu aku juga cinta."

"Oh Yo, aku memang cinta kamu. Rasanya aku benar-benar jatuh cinta sama kamu."

"Gapapa," kataku saat air matanya bertambah. Aku memeluknya saat aku bergetar dan terisak, mencium wajah dan rambutnya. "Aku juga cinta. Selalu. Tapi kita harus move on, Mba Silvi. Mas David juga mencintaimu, dan kamu mencintainya."

Dia mengangguk ke arahku. "Aku tahu. Dan aku cinta Mas David. Tapi aku pasti bakal kangen banget sama kamu."

Setelah itu kami berpelukan beberapa waktu, lalu aku membantu mengganti seprai, kembali ke pekerjaanku di halaman, menenggelamkan diriku ke dalam pekerjaan sampai otot-ototku sakit dan keringat mengucur deras. Suasana hatiku aneh. Aku sedih karena petualangan seksualku dengan Mba Silvi sudah berakhir, tapi juga senang karena semuanya sudah berakhir. Aku tahu ini cuma khayalan sementara, dan sekarang aku siap untuk pindah, ke hubungan yang lain.

Hampir jam enam saat mobil Mas David tiba. Mba Silvi keluar untuk menyambutnya dan mereka saling berpelukan cukup lama. Lalu Mas David menjatuhkan kopernya dan berjalan mendekat, menepuk punggungku.

"Aku tahu kamu sudah hampir selesai di sini," katanya.

Aku melihat sekeliling, dan memang benar. Meskipun ada gangguan, taman sudah selesai. Besok aku akan beberes, memeriksa ulang semuanya, lalu selesai.

Mas David berbisik, meskipun Mba Silvi masuk ke dalam rumah. "Gimana lukisannya?"

"Sabtu siap," kataku, dan dia mengangguk.

"Kamu sudah mau dibayar?"

"Bayar pas Mas David lihat lukisannya. Belum tentu Mas David suka."

Dia tertawa, menampar punggungku lagi. "Ga mungkin lah, Yo."

Ga lama setelah Mas Jarwo tiba, berkeliling 10 menit memeriksa pekerjaanku dan mengangguk. "Bagus," katanya. Bagi Mas Jarwo itu pidato, dan aku diam-diam puas atas pujiannya.

Malam itu aku membawa lukisan Mba Silvi ke kamarku dan terus bekerja menyelesaikannya. Sebagian besar sudah selesai, sekarang cuma tinggal dipoles sedikit. Jam sepuluh aku naik ke tempat tidur, mengistirahatkan ototku yang masih sakit.

Jumat setelah bekerja, aku menyelesaikannya, memasang bingkai dan mengantungnya di seberang tempat tidurku. Aku berbaring telanjang, menatapnya, tapi ga terangsang. Tapi aku senang. Itu adalah karya terbaik yang pernah kubuat. Aku bisa melihat wajahnya yang sensual, cara tubuhnya berbaring di bebatuan berlumut. Dia berbaring, satu tangan di atas kepalanya, yang lain bertumpu di sisi perutnya. Aku mengecilkan sedikit payudaranya, membuat putingnya lebih panjang dan lebih gelap. Aku menangkap cahaya di kulitnya dan mebuatnya bersinar, memancarkan seksualitasnya. Kaki kanannya sedikit terangkat, pahanya sedikit terbuka, dan sinar matahari menyinari rambut kemaluannya yang keemasan dan membuatnya berkilau.

Aku telah membentuk lapisan-lapisan hijau, cokelat, dan abu-abu untuk merekam lumut dan bebatuan serta dedaunan yang berserakan. Di latar belakang pohon-pohon dibuat bentuk-bentuk samar tanpa terlalu detail, membawa fokus pada sosok di depan.

Harus diakui, lukisan itu bagus banget.

Aku turun dari tempat tidur dan menurunkannya, memutarnya menghadap dinding dan naik kembali ke tempat tidur lalu mengeliat. Ga tahu kenapa aku merasa sangat santai dan puas.

Sabtu pagi menjelang siang aku pergi ke rumah mereka membawa lukisan. Mba Silvi menyapaku di pintu dengan ciuman, menahannya sebentar.

"Mas David lagi ke kota," katanya, lalu menarik wajahnya, "Tapi ga lama. Itu lukisannya?"

Aku mengangguk.

"Bantuin masang?"

"Boleh."

Aku mengikutinya di sepanjang lorong yang biasa. Sketsa asliku dipasang di dinding yang menghadap tempat tidur. Kami menurunkannya, dan aku mengebor beberapa lubang baru di beberapa titik untuk memperkuat.

Aku menoleh ke Mba Silvi. "Sabar ya, Mba.”


"Aku buatin kopi," katanya sambil berjalan keluar.



Aku membuka bungkus lukisan itu dan memasangnya di tembok, mundur ke belakang dan mengamati, mengangguk. Bagus. Aku mengambil alat dan membuat tempat baru untuk gambar pertama, agak ke samping. Lalu aku mengeluarkan plastik hitam dan mengeluarkan lima foto kecil yang berbingkai . Aku sudah memilih beberapa foto Mba Silvi dan mengeditnya sedikit, menghilangkan warna dan menambah kontras. Aku memasang mereka di sisi satunya.

Ada foto favoritku yang kena sinar matahari di jendela ruang tamu. Yang lain di kolam saat dia keluar dari air. Satu foto di kamarnya, terpantul di cermin meja rias. Yang lain foto Mba Silvi memeluk pohon besar, sebagian besar tubuhnya tertutup batang, satu kaki dan payudara kanannya terlihat. Yang terakhir hanpir sama dengan lukisan utama, tapi menunjukkan Mba Silvi lebih erotis, semoga aku ga kelewatan. Di sini dia menyelipkan jarinya ke dalam vaginanya. Ga terlalu jelas, tapi kalau dilihat dari dekat bisa kelihatan, bahkan wajahnya yang bergairah. Aku melihatnya lagi, ragu-ragu, tanganku baru terulur untuk menurunkannya ketika Mba Silvi berkata, "Yo, itu bagus banget!"

Dia berdiri di pintu kamar, dua cangkir kopi mengepul di atas nampan, beberapa kue kecil. Dia berjalan mendekat, menaruh nampan lalu datang melihat lebih jelas. Dia memperhatikan lukisan itu, lalu foto-fotonya, aku bergeser, memberi ruang padanya.

"Ya Tuhan, Yo, ini luar biasa. Benar-benar luar biasa."

"Menurut Mba, Mas David bakal suka?"

Dia mengangguk dengan antusias. "Dia pasti suka."

"Termasuk yang itu?" Aku menunjuk ke foto terakhir. "Aku ga yakin yang itu."

"Keluhatannya pas aku hampir orgasme," kata Mba Silvi.

"Aku tahu. Berlebihan?"

Dia menggelengkan kepalanya. "Aku suka. Biarin aja disitu."

"Mas David ga akan mikir... Setelah itu kelanjutannya apa?"

Dia melirik ke arahku. "Dia tahu." Itu kenyataan, faktanya.

"Dia ga marah?"

"Dia tahu itu ga serius. Ya Tuhan, kedengarannya ga masuk akal. Tahu kan maksudku."

Aku tersenyum. "Aku tahu."

Dia menyeringai. "Brengsek. Semoga dia belum balik. Aku sudah basah, Yo."

"Simpan itu buat Mas David."

Kami membawa kopi keluar dan duduk di dapur, dua puluh menit kemudian pintu depan kebuka dan Mas David masuk.

"Yohan! Apa kabar?"

"Kayak biasa, Mas." kataku.

"Jadi?" Dia bertanya.

"Di atas," kataku.

"Ayo tunjukin," katanya.

"Kayaknya harus Mba Silvi yang nunjukin."

Mas David memandangi istrinya. Mba Silvi mengangguk malu-malu lalu turun dari bangku. Ketika dia melewatiku, dia berhenti dan mencium pipiku, lalu menarik pipiku mengdapnya dan mencium bibirku. "Terima kasih, Yo," bisiknya.

Dia memimpin suaminya ke kamar. Lima menit kemudian aku bisa menebak apa yang terjadi di dalam, tergoda untuk memastikannya sendiri, tapi mengeleng lalu memilih menghabiskan kopiku. Aku sudah dapat terlalu banyak hal dalam dua minggu dari Mba Silvi dan bahkan Mas David, serakah kalau aku masih ingin lebih. Aku bangkit dan berjalan keluar dengan diam-diam dari rumah.





Bersambung... Chapter.10
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd