Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT Sketsa

CHAPTER.10

AWAL SEMPURNA







Musim kemarau lebih lama dari seharusnya. Perlahan Juli berlalu hari demi hari, ga terasa Agustus tiba dan aku tahu sebelum akhir bulan aku akan pergi.



Sejak balik dari Jakarta, aku sudah memberi sejumlah uang pada Ibu, bilang kalau aku sudah mengirim sketsa ke Mira dan dia berhasil menjualnya. Ibu ga mau nerima uangnya, tapi aku tahu sebenarnya dia butuh. Aku bilang kalau Ibu ga mau, pakai aja uangnya buat beli keperluan Nadia. Setelah itu aku rutin menyisihkan sedikit dari penghasilanku tiap bulan, dan kalau kurang aku tambahkan dari sebagian uang yang aku dapat dari Mba Silvi.



Mendekati waktuku pergi, sikap Ibu tampak berubah padaku, Dia memperlakukanku seperti orang dewasa, bukan lagi remaja, memercayai aku dengan hal-hal belum pernah dia lakukan sebelumnya. Suatu kali kami ngobrol sampai larut setelah Nadia tidur, bermalas-malasan di halaman, sambil dia cerita kalau dia merasa ga butuh pria lagi. Dia bilang dia sudah puas dengan hidupnya sekarang, dan ga mau ambil risiko sakit hati atau sedih saat membuka hati lagi untuk pria lain.



"Tapi Bu," kataku. "Ibu masih muda, dan masih cantik. Pasti ada laki-laki yang suka sama Ibu."



"Tapi Ibu ga mau, Yo. Ibu sudah terbiasa dan senang dengan kondisi sekarang."



"Tapi Ibu pasti punya..." Aku memulai, lalu berhenti. Aku merasa sudah terlalu jauh ikut campur.



"Pasti punya apa, Yo?" Ibu bertanya.



"Ga ada," kataku.



"Gapapa, Yo, kamu bisa bilang apa aja, kamu sudah dewasa." Dia meremas tanganku



Aku menghela nafas panjang. "Yah, Ibu pasti punya kebutuhan, Bu. Cinta, emosi, dan..." Aku merasakan wajahku memerah.



"Maksudmu seks, Yo?" Ibu berkata.



"Umm..Ya.."



"Ya memang," katanya. "Tapi Ibu ga butuh laki-laki cuma buat itu. Ada... cara lain."



Aku menatapnya, ingat pada pagi saat aku mendengarnya masturbasi di kamar.



"Aku cuma ga suka mikirin Ibu bakal sendiri, tanpa ada orang lain yang bantu," kataku.



"Ibu gapapa, Yo."



"Tapi kalau ada masalah, Ibu bakal bilang kan?"



Dia berbalik menatapku dan tersenyum aneh. "Ibu akan pastiin kamu tahu, Yo," jawabnya.



Akhirnya kami bangkit, mengucapkan selamat malam, lalu masuk ke kamar masing-masing. Aku berbaring di tempat tidur memandangi bayangan di langit-langit, memikirkan semua yang sudah kualami dan mungkin akan kualami nantinya.



Akhir minggu pertama Agustus, Mira menelepon.



"Yo, kamu bisa pindah kesini lebih awal?"



"Um, mungkin, kalau perlu. Kenapa?"



"Apartemen sudah siap, bagus kalau kamu bisa bantu pindahan. Dan aku mau kamu milih barang-barangmu sendiri."



"Aku ga mampu beli banyak barang, Mir," kataku.



"Kamu tahu kan aku bisa bantu soal itu."



"Aku mau beli pakai penghasilanku sendiri," kataku.



"Pasti, Yo. Kamu bisa kesini lebih cepat?"



"Aku ngomong dulu sama Ibu. Belum tentu diijinin pindah lebih cepat. Aku kabari besok pagi."



Ibu bilang dia ga keberatan aku pergi lebih awal. Kerjaan terakhirku dengan Mas Jarwo sudah selesai minggu lalu, dan memang sudah berencana dua minggu sebelum berangkat aku akan santai di rumah. Aku menelepon Mira lagi dan bilang aku berangkat Rabu pagi mungkin sampai sana malam.



Sebelum aku pergi, Ibu mengajak kami keluar untuk makan malam bertiga. Kami memang jarang menghabiskan waktu bertiga, makan direstoran atau hanya sekedar jalan-jalan di mall. Karena itu kami memutuskan untuk melakukan itu sekali ini.



Sampai di rumah, Aku mengangkat Nadia yang ketiduran di bangku belakang mobil ke kamarnya. Aku mengunci pintu dan jendela, lalu berdiri memandang keluar ke halaman saat Ibu memelukku dari belakang. Aku sadar payudaranya yang besar menekan punggungku, dan merasa ga nyaman saat aku mulai terangsang.



"Kejar mimpimu, Yo," bisik Ibu di telingaku. Napasnya hangat di leherku.



Aku berbalik dan memeluknya, meletakkan daguku di atas kepalanya.



"Ibu gapapa kan nantinya, Bu?"



Aku merasakan dia mengangguk. "Pasti."



"Kalau Ibu butuh sesuatu, kabari ya Bu."



Dia mengangguk lagi. Aku memeluknya lebih erat. "Aku bakal kangen Ibu," kataku.



"Ibu juga bakal kangen kamu," jawabnya, dan mengangkat wajahnya untuk menciumku. Cuma sekali, tapi bibirnya terasa hangat, dan lebih lembut dari yang pernah kurasakan sebelumnya, dan lebih lama daripada yang pernah terjadi sebelumnya. Aku merasa bibir Ibu terbuka seperti menungguku, dan sebelum aku melakukan sesuatu yang akan aku sesali, aku melepaskan diri.

Tubuhnya bergetar dan melangkah mundur. "Sebaiknya Ibu tidur. Selamat malam, Yohan."

"Selamat malam, Bu."





-----------------------------0-----------------------------​



Aku sampai di Jakarta sekitar jam enam sore, tapi sesampainya di terminal, Mira sudah disana menungguku. Dia memelukku, menciumku dan mengandeng tanganku, menuntunku pergi, tapi cuma untuk naik bus lain.

"Kita ga ke tempatmu?" Aku bertanya.

"Ya," katanya. "Tapi bukan yang lama."

Aku menyeringai. "Udah pindahan? Kapan?"

"Sekarang," jawabnya.

"Apa?"

Dia mengangkat tangannya dan menggemerincingkan beberapa kunci, lalu mengambil dua dari mereka dan memberikannya kepadaku. "Punyamu," katanya. "Kita pindah sekarang."

"Terus barang-barang nya?"

"Ah.. Nanti," katanya, "Kita ambil besok pagi. Aku cuma mau kita pindah sekarang!"

Aku biarkan Mira membuka kunci pintu dan kami masuk ke ruang kosong yang besar. Mira menekan tombol dan lampu menyala di langit-langit yang tinggi.

Sendirian di tengah ruangan, cuma ada satu perabot, sofa lamanya, dan aku tertawa terbahak-bahak.

"Tapi kamu tidur dimana, Mir?"

"Disitu juga cukup," jawabnya.

Dia mengangkat telepon dari dinding dan memesan makanan untuk kami.

"Sofanya baru aku pindahin tadi sore kok. Ambilin minuman di kulkas dong, gelasnya di lemari besar samping jendela."

Aku berjalan melintasi ruangan kosong itu, sepatuku bergema di lantai dan dinding, dan melemparkan tasku ke kamar kosong yang sudah diputuskan jadi akan jadi kamarku beberapa bulan lalu.



Aku kembali ke kulkas dan menemukan sebotol arak bali disana. Ini yang dibilang minuman di kulkas, pikirku. Kuambil botol itu bersama sepasang gelas dari lemari lalu kembali ke sofa.

Aku duduk dan bergabung dengannya di sana, menuangkan arak lalu menyerahkan ke Mira.

"Rasanya aneh," kataku, melihat sekeliling ke ruang yang luas.

Mira tersenyum. "Aneh yang positif, kan?"

Aku mengangguk dan balas tersenyum. "Ya, aneh yang positif."

Mira tiba-tiba melompat dan berkata, "Aku hampir lupa, aku beliin hadiah selamat datang buat kamu." Dia pergi ke dapur dan mengambil sesuatu dari laci.

"Ga perlu, Mir," kataku.

"Ga seberapa, tapi rasanya harus, buat persiapan awal kehidupan kampusmu." Dia menyeringai ketika dia memberiku sebuah kotak dibungkus kertas kado. “Buka," katanya.

Aku merobek kertas dan membalik kotak, membaca tulisan di samping, lalu tertawa malu.

Aku memegang sekotak kondom 24 ukurant XL. "Emm.. makasih, Mir."

Dia tertawa. “Semoga cukup. Seingatku ukurannya lumayan gede. Kalau sampe kamu hamilin anak orang, aku pasti ikut disalahin sama Ibumu." dia mengangkat bahu

"Makasih, Mir, ga nyangka kamu bijaksana banget," kataku.

Mira duduk di sofa, mendorongku sampai aku mengangkat lenganku dan membiarkannya bersandar, lenganku jadi bantal.

"Kamu pasti bawa sendiri ya," katanya.

"Ga lah. Karena itu makasih banyak lho."

"Tapi kamu sudah pernah..?"

Aku cuma diam.

Mira memutar dan menatapku. Sial, kenapa dia harus nempelin dadanya ke aku gini sih.

"Kamu sudah pernah ML?" dia berkata.

Aku mengangguk. "Perjakaku ilang bulan lalu," kataku.

"Hah? Baru bulan lalu?" Mira tertawa.

"Sebelumnya ga punya kesempatan."

"Tapi terakhir kali - kamu kayaknya udah pengalaman. Pas sama Febi itu, kami kira kamu udah pernah sebelumnya."

"Belum lah," kataku.

"Kamu harusnya bilang. Aku juga punya temen yang suka cowok kok. Pasti banyak yang bakal mau sama kamu."

"Yah.., sekarang udah ga perlu kan.." Aku mengangkat bahu lagi dan Mira meringkuk ke arahku dan aku meletakkan tanganku di bahunya.

"Enak ga?" Mira bertanya.

Aku tertawa . "Rahasia."

"Ga ada rahasia di antara kita," katanya.

Kupukul kepalanya pelan dengan bantal lalu dia membalasku dan kami akhirnya saling memukul dan melempar bantal sambil tertawa terbahak-bahak. Akhirnya Mira berhenti dengan ekspresi aneh di wajahnya dan berdiri.

"Sebaiknya aku tidur, Yo, besok aku harus mulai bantuin kamu cari pacar."

Dia berdiri dan pergi ke kamar mandi. Saat keluar, dia memakai kaos kebesaran dan bawahannya cuma celana dalam, lalu dia mendorong kakiku bergeser dan masuk ke bawah selimut di ujung sofa yang jauh dariku. Aku ke kamar mandi dan kembali cuma pakai celana pendekku, menyelinap di ujung satunya. Mau ga mau kaki kami terus bersentuhan dan ga mungkin kami hindari, jadi aku cuma berguling sehingga punggungku menghadap ke pintu depan dan menaruh kepalaku di bantal.

Paginya aku bangun dan menyadari posisi kami sudah berubah. Kami sekarang tidur di sisi sofa yang sama, Mira di bagian depan menghadap pintu, dan aku di belakangnya menempel ke sandaran belakang sofa menghadap Mira.

Seperti biasa penisku selalu bangun lebih pagi dariku dan kepalanya muncul dari sela pinggang celana pendekku. Menempel di bagian belakang paha Mira, sedikit dibawah pantatnya.

Perlahan aku meluruskan badan dan bergeser mundur sebisaku sambil mengatur nafas pelan dan dalam untuk menenangkan diri, berharap akan membuat ereksiku hilang.


"Pagi, Yo." gumam Mira.

"Hai," kataku. "Sudah bangun dari tadi?"

"Barusan," katanya, dan aku merasakannya bergerak, duduk dan menjatuhkan kakinya ke lantai. "Kopi?"

"Boleh."

Aku mendengarkan ketika Mira mondar-mandir di dapur, mendengar kopi mulai mendidih dan juga mencium bau roti panggang.

Mira membawa sepiring roti panggang dan dua cangkir kopi dan meletakkan semuanya di lantai, lalu duduk bersila di atas selimut di sofa. Dia masih memakai kaos dan celana dalam kecil yang semalam dipakai tidur. Leher kaosnya lebar dan tergantung miring ke satu sisi sampai hampir ke siku.

"Hari ini jadwal kita padat, Yo, gapapa kan?"

Aku mengangguk dan bergumam, "Oke" sambil mengunyah roti bakar.

"Kita harus ngambil barang-barang dari apartemen lama. Beberapa sudah tinggal dikirim dan bakal sampai siang nanti. Kalau sempat kita bisa belanja dulu beberapa barang lain yang kurang terus nanti ditata sekalian.”

"Aku ga akan bisa nyumbang banyak, Mir," kataku. "Lagi bokek."

Mira tertawa. "Siapa bilang." Dia bangkit dan mengambil tasnya di kamar, lalu kembali dan menjatuhkan amplop coklat ke perutku. "Hasil jualan," katanya.

Aku mengambil amplop dan melihat ke dalam. Uang tunai. Aku mulai menghitung dan Mira berkata, "Sepuluh juta, Yo. Gambar-gambar yang aku buat dari sesi terakhir terjual dengan lancar. Itu cuma sebagian kecil dari yang kita hasilkan. Aku menyisihkan sekitar lima puluh juta buat persiapan disini nanti. Gapapa kan? "

Aku menggelengkan kepalaku dengan bingung, "Terserah kamu, Mir."

Kami berpakaian dan berjalan bergandengan tangan ke halte bus, pergi ke pusat kota berkeliling ke toko-toko. Kami beli ranjang dan kasur. Kami berdua memilih ranjang dengan rangka logam. Lalu pindah lantai dan memilih handuk, tirai, meja kayu polos dan kursi untuk dapur, dua sofa lagi yang bisa dijadikan tempat tidur ganda untuk ruang tamu. Aku berusaha ga keliatan kaget saat semuanya dihitung dan lihat total tagihannya. Mira hampir ga berkedip dan bayar pakai kartu kreditnya.

"Hiburan," katanya. "Kau mau beli TV?"

"Kayaknya aku ga akan nonton TV," kataku. "Kamu?"

Dia menggeleng. "Musik kalau gitu. Yang kecil tapi bagus, plus beberapa laptop."

"Mir," kataku, "Gimana kamu nanti bayar semua ini?"

"Aku dah bilang, aku jual beberapa sketsa dari sesi terakhir kita. Aku masih punya lebih banyak lagi yang belum selesai. Yo, ada pasar besar untuk materi ini. Uang ga akan jadi masalah."

"Selama kamu yakin," kataku.

Dia tersenyum. "Oh, aku yakin. Seberapa jago kamu soal IT, Yo?"

"Lumayan. Aku dapat nilai A dalam ilmu komputer, dan aku sering main game dikit."

"Kamu bisa bikin website buat kita? Apa aja yang dibutuhin?"

"Aku ga tahu, pastinya komputer. Aku bisa gugling dan cari tahu caranya kalau perlu."

Kami berbelok ke kiri, ke bagian elektronik.

Kami membawa dua laptop baru ke rumah, membeli dua tas untuk mereka dan meninggalkan kotak di sana. Sekarang jam satu, jadi kami beli burger mekdi lalu pulang kerumah.

Sampai di apartmen aku menyiapkan laptop sementara Mira memimpin orang-orang yang mengirimkan barang dari apartemen lama dan mengatur posisi barang itu di sini. Untungnya Mira juga sudah langganan internet dan telepon, jadi aku duduk bersila di lantai dan gugling sampai aku menemukan informasi untuk bikin website "dewasa". Ada free trial tiga puluh hari lalu bayar lima juta per tahun termasuk biaya administrasi dan storage untuk menyimpan data. Sebenarnya aku ga yakin apa jualan kami masuk kategori “dewasa”, yang jelas jualan kami beda dari situs lain. Kami juga cuma akan menjual gambar buatan tangan kami sendiri.

Dalam perjalanan tadi kami sudah membicarakan apa yang dia mau, dan dia berencana menjual gambar yang bisa didonlod dengan harga antara lima puluh sampai dua ratus lima puluh ribu, dengan opsi untuk beli gambar asli dengan harga sampai satu juta. Setelah yang asli dibeli, akan dihapus dari situs dan diganti dengan yang lain. Kami juga akan menawarkan jasa untuk menggambar custom berdasarkan pesanan. Tapi opsi terakhir ini, terbatas untuk gambar pribadi yang belum pernah muncul di web manapun, terkait dengan royalti dan hukum.

Aku daftar free trial dan kami mulai memilih template yang ditawarkan. Nantinya, kami mungkin bakal bikin desain template sendiri, tapi buat permulaan pakai yang sudah ada dulu. Aku memilih template berwarna biru muda dan abu-abu supaya ga terlalu norak atau menarik perhatian banyak orang, harapannya pengunjung yang masuk adalah yang tahu apa yang mereka cari disini dan akhirnya beli.

Mira datang dan menyentuh pundakku. Aku menatapnya dan meringis. Punggungku sakit karena membungkuk di atas laptop dari tadi.

"Sekarang kamu bisa pindah ke meja, Yo. Tapi istirahat dulu. Aku sudah masak."

Aku jadi sadar ada aroma masakan. Mira sudah menyiapkan dua tempat di meja makan baru kami, dan aku juga baru tahu susunan ruangan sudah berubah tanpa kusadari. Dua sofa baru ditaruh di sebelah sofa lama Mira. Sebuah meja baru yang besar mepet ke dinding. Mira sudah menyiapkan printer dan laptop-nya, aku bangkit dan membawa laptopku mendekat dan memasang chargernya.

Makanannya enak, dan Mira menuangkan sisa arak kemarin untuk kami berdua. Setelah selesai makan dan beberes, Mira mengajakku ke area studio dan menyalakan lampu. Dia sudah menaruh lebih dari seratus sketsa di lantai yang luas.

"Ayo kita pilih dan pisahin mana yang mau kita upload sekarang, yang mau kita simpan, dan yang mau dibuang."

"Ini sudah semua?" Aku bertanya.

Mira menggelengkan kepalanya, "Cuma gelombang pertama. Aku punya tiga kali ini, tapi lantainya ga cukup kalau semua."

Aku berjalan menyusuri lantai, memandangi gambar-gambar itu. Hampir semuanya bagus. Mira punya bakat spesial yang bisa menghidupkan gambar-gambar kami.

Aku berhenti untuk mengamati lebih dari selusin gambar yang menunjukkan aku saat sesi pertama kami. Sepasang gambar telanjang biasa. Sisanya gambarku dalam keadaan ereksi. Di sebelahnya lagi ada dua puluh yang menangkap moment saat aku masturbasi.

Aku merasakan Mira berdiri di sampingku dan menoleh padanya.

"Gimana menurutmu?" dia bertanya.

"Luar biasa." Aku bilang. "Tapi aneh lihat gambar diri sendiri, terutama dalam keadaan seperti itu."

"Apa itu bikin kamu terangsang?" dia bertanya.

Aku menggelengkan kepala. "Ga tahu... mungkin dikit.” Aku melangkah di sepanjang deretan gambar, berjalan ke baris kedua pada deretan gambar Mira. "Ini aku yang bikin?"

Mira mengangguk. "Itu hasil kerjaanmu pas kamu disini, dan yang kamu kirim setelah kamu pulang."

Aku ingat Mira telah mengirimiku cetakan fotonya dan aku menyembunyikannya di bawah tempat tidur. Saat aku sendiri aku salin foto ke kertas gambar. Setiap aku selesai selusin, aku kirim balik ke Mira. Total aku sudah kirim empat paket termasuk foto aslinya.


"Ga ada yang sebagus gambarmu, "kataku.

Mira tertawa. "Aku sudah ngelakuin ini lebih lama darimu, Yo. Punyamu juga bagus kok. Dan aku senang gambar kita beda. Biar ada variasi."

Aku membungkuk untuk memperhatikan salah satu gambarnya. Di sudut kanan bawah ada tulisan “Mirage” kecil yang indah dan elegan. Singkatan dari nama lengkapnya, Miranda Grace Effendi.

"Begitukah caramu menandai semuanya?" Tanyaku.

Dia mengangguk. "Kamu harus selalu menandai hasil karyamu, semacam watermark. Kamu mau pake tanda apa?"

Aku tertawa. "Belum kepikiran."

Dia balas tertawa. "Pikirin aja. Yang pendek, ga terlalu norak. YW juga gapapa, tapi pikirin aja dulu."

Aku duduk ditumitku dan berkata, "Jadi kita harus apa, scan semua ini terus diupload?"

"Kita mulai aja beberapa dulu terus lihat nanti gimana. Kamu mau aku yang scan?"

"Boleh. Kasih tahu kalau sudah siap nanti aku upload ke website. Website kita sekarang kurang lebih udah online. Kita sudah punya cara pembayaran credit card dan tempat buat liat gambar thumbnail, dan orang-orang bisa lihat gambar full screen kalau mereka mau. Aku akan kasih watermark setelah discan nanti."

Kami tidur di ranjang baru kami masing-masing malam itu, aku tersenyum saat menyimpan kotak kondomku di meja samping tempat tidur.



Tiba-tiba saja sudah pagi saat kudengar musik dari luar.

Aku keluar dan melihat Mira duduk di meja, mengintip laptop.

"Ada apa?"


"Sini, Yo, kita sudah berhasil bikin penjualan pertama kita."

"Oh ya?," kataku, dan menarik kursi ke sebelahnya. Dia membuka panel admin situs web kami dan menunjukkan kami sudah menjual lima belas gambar dalam dua belas jam terakhir saat kami tidur semalam. Kami sudah menghasilkan lebih dari Rp 500.000,- dalam sepuluh jam. Saat aku melihat layar lagi, jumlahnya sudah naik jadi tujuh belas.

"Brengsek," bisik Mira, "Ini sukses, Yo, sukses!"

Dia berbalik dan memelukku, dan kurasakan payudaranya menempel di dadaku yang telanjang hanya dibatasi kain tipis jubahnya.

Kami sarapan lalu Mira bilang dia perlu olahraga dan mengajakku ke kolam renang dekat apartemen.

" Nanti kita balapan. Berani taruhan, aku pasti menang." Katanya.

"Oh ya? Kita lihat aja nanti."

Kolam renangnya cukup besar, dan pada pertengahan minggu seperti sekarang, sepi. Ga tahu kenapa cowok selalu ganti baju lebih cepat dibanding cewek, jadi aku sudah di kolam saat Mira keluar. Dia memakai baju renang ketat, dengan potongan tinggi di atas pinggulnya, dan dia tampak menakjubkan. Dia berjalan ke tepi kolam dan menyelam dalam satu gerakan, muncul beberapa meter dariku.

"Jadi balapan ga nih, Yo, atau kamu ga berani?"

"Siapa takut," kataku.

Kami berenang ke ujung kolam dan berdiri berdampingan.

"Siap?" Kata Mira.

"Siap," aku mengangguk.

"Tiga - dua-"

"Hei, curang!" Aku berteriak saat dia mendorong maju dan aku mengikuti secepat mungkin.

Aku sudah lama ga berenang, sejak lulus, tetapi aku sebenarnya cukup jago, dan merasa ga akan kalah dari Mira, tapi kalau harus empat kali bolak-balik panjang kolam, aku ga yakin. Dia berenang dengan gaya yang simple tapi bisa cepat dan lancar didalam air, dan aku harus kerja keras untuk menyusulnya.

Saat aku cukup dekat untuk didengarnya, aku bertanya, "Berapa kali?"

"Sepuluh," katanya.

"Sepuluh!"

"Ya... cuma sepuluh." Dan dia mempercepat gerakannya dan menjauh dariku.

Saat aku menyentuh ujung kolam untuk kesepuluh kalinya, Mira bersandar pada sisi kolam hampir ga terengah-engah.

"Ya ampun, Mir, kamu belajar renang dimana sih?"

"Aku ga tahu," dia tertawa. "Dari dulu udah gitu."

"Aku mesti latihan," kataku.

Dia tersenyum. "Aku suka berenang, suka dengan rasa air yang mengalir di sekujur tubuhku. Harusnya aku jadi lumba-lumba."

"Apa lumba-lumba punya toket?" Aku bertanya.

Dia menampar pundakku dan kemudian memandang melewatiku ketika ada orang lain berenang ke sisi kolam.

Aku menoleh untuk melihat, sembunyi-sembunyi, saat seorang wanita ramping dengan rambut dicat pirang menyentuh ujung kolam dan berhenti. Dia bernapas dengan lembut dan tersenyum pada kami.

"Sepi pagi ini, ya?" katanya, lalu mendorong dan bergerak menyebrangii kolam dengan gerakan santai.

Setelah dia berenang cukup jauh, Mira mencondongkan tubuh ke arahku, menempelkan pundakku ke pundakku, dan berbisik, "Menurutmu dia ngincar kamu atau aku?”

"Mungkin dia cuma mau berenang."

"Ga, dia lagi cari temen tidur," kata Mira. "Kamu ga akan percaya betapa gampang nemu yang kayak gitu disini."

"Serius?"

"Kita lihat aja, tunggu sampai dia balik kesini." Dia mendorongku menjauh darinya. "Bikin jarak sekitar dua meter di antara kita, Yo, lihat dia mendekat kemana."

Kami menyaksikan ketika dia mulai berenang kembali kearah kami. Aku cuma bisa lihat bagian atas kepalanya, rambut pirang pendek, dan bahu ramping, tapi dari yang kulihat pas dia berhenti sebelumnya kelihatannya sih dia cewek yang menarik. Kutaksir umurnya belum sampai 30 tahun.

Wanita itu menjulurkan tangannya kedepan saat dia mendekati sisi kolam lalu menurunkan kakinya dan berdiri, menggerakkan tangannya ke belakang untuk memeras air dari rambutnya. Mungkin dia sengaja ingin memamerkan payudara dan perutnya yang tak berlemak. Dia memakai bikini kecil yang menunjukkan belahan dada, dan di bawah menunjukkan pahanya sampai sebagian pantatnya.

Dia berbalik dan bersandar ke dinding kolam, lebih dekat padaku dibanding ke Mira. Aku melirik dan melihat Mira nyengir, aman karena wanita itu sama sekali ga lihat ke arah Mira. Mira mengangguk dengan semangat ke arahku dan tanggannya membuat gerakan mencengkeram.

"Renangmu jago," kataku, ga tahu lagi cara untuk mengawali permbicaraan.

Wanita itu memandang ke arahku. "Makasih. Ini olahraga yang bagus. Aku ke sini dua atau tiga kali seminggu. Buat membantu menjaga berat badan." Dia tersenyum.

Aku sengaja memandang tubuhnya, payudaranya yang membulat penuh dan perut ramping. "Sepertinya usahamu berhasil," kataku.

"Wah terima kasih." Dia tersenyum lebih lebar dan bergerak sedikit lebih dekat ke arahku. "Kayaknya kamu sendiri rajin olahraga." Pandangannya melekat di dadaku, turun ke perutku dan kemudian dengan sengaja ke selangkanganku. Penisku mengeliat sedikit demi sedikit saat kami berbicara dan membuat celanaku terasa sesak.

Aku perhatikan tangan kirinya dan berkata, "Kamu sudah menikah. Suamimu juga ikut kesini?"

Dia menyelam sebentar, lalu muncul lagi di sebelahku. Bahunya dengan ringan menyentuh sisi tubuhku.

"Ga - dia selalu sibuk banget. Dia sering keluar kota."

"Oh ya?" Aku bilang. "Sayang banget." Aku merentangkan tanganku di sepanjang tepi kolam. Lengan bagian dalam aku menyentuh bagian belakang bahunya dan aku bisa merasakan rambut basah yang dingin menempel di siku bagian dalamku.

"Ga juga," katanya, dan dia menyandarkan kepalanya ke lenganku. Kakinya yang melayang mengesek kakiku, pindah lalu kembali dan tetap menempel di kakiku.

Aku melihat Mira meluncur ke depan dan berenang ke sisi lain.

"Pacarmu?".

"Sepupu," kataku. "Kami kuliah dan tinggal bareng."

"Cantik," katanya. "Kuliah jurusan apa kamu? Oh, omong-omong aku Chintia, panggil aja Tia."

Aku mengulurkan tangan aku dan menjabat tangannya yang basah. "Aku Yohan. Aku kuliah seni."

"Seni, wow, bagus. Aku suka seni modern. Aku punya beberapa barang koleksi bagus di rumah - ga ada yang istimewa, tapi aku suka aja."

"Serius?" Aku berkata, "Kalau boleh kapan-kapan aku lihat."

"Kamu mau lihat?"

"Pasti. Aku selalu tertarik sama koleksi orang lain."

"Yah, hari ini aku bebas kalau kamu mau mampir. Kecuali kamu ada sesuatu yang lain."

Aku merentangkan tangan menghadapnya. "Apa kelihatannya aku punya sesuatu yang lain?"

Dia memandangku dari atas ke bawah, tertawa, sedikit gugup, lalu menempelkan tubuhnya padaku. Aku merasakan payudara kanannya mendorong dadaku.

"Gini aja," kataku, "Aku akan bilang ke sepupuku kalau aku ada acara dadakan dan nanti kita ketemu di luar, berapa, sepuluh, lima belas menit?"

"Boleh. Kalau mau nanti dirumah aku bisa bikinin makan siang sekalian."

Aku tersenyum dan meluncur ke samping, berenang ke tempat Mira bersandar di ujung lain.

Dia mengangkat alis ketika aku berhenti di sampingnya. "Jadi?"

"Kayaknya aku.." kataku sambil tersenyum malu.

"Sudah kubilang. Cewek-cewek di dekatmu bakal kayak laron lihat lampu. Bawa karetmu?"

Aku tertawa. "Aku bawa beberapa di dompet, siapa tahu kan."

"Yah.. sekarang bakal kepakai kan." Mira mendekat dan mencium bibirku. "Semoga sukses," bisiknya.

Aku berdiri di luar lima belas menit kemudian ketika Tia datang melalui pintu otomatis memakai blus katun putih lengan pendek dan rok pendek warna coklat, memperlihatkan betisnya yang telanjang dan mulus, rambutnya masih basah seperti belum sempat dikeringkan.

Dia mendekat dan mencium pipiku. "Siap?"

"Yuk."

Dia memimpin jalan ke mobilnya dan aku berjalan di belakang, menikmati gerakan pantatnya di dalam rok. Dia menekan remotenya dan dijawab oleh sebuah sport car mungil di depannya.

Tia menyalakan mesin dan mengemudi ke arah barat. Masuk ke jalan tol lalu menginjak gas dalam-dalam tanpa berkata apapun lalu keluar dan berbelok ke komplek perumahan mewah. Lima menit kemudian dia masuk ke garasi yang terbuka secara otomatis ketika kami mendekati dan menutup kami ketika kami sudah masuk.

Aku sudah memperhatikan kakinya sejak saat dia mengendarai mobil, roknya tertarik keatas memperlihatkan pahanya. Penisku mengeras di dalam celanaku dan beberapa kali Tia melirik ke arah tonjolan di celanaku itu. Bagian dalam mobil kecil itu sudah penuh dengan aroma gairah kami berdua, tinggal tunggu waktu untuk meledakkannya.

Baru dua hari aku pindah, tapi sepertinya ga butuh waktu lama untuk punya awal yang sempurna.

Saat Tia mematikan mesin, dia menoleh ke arahku dan aku membungkuk mencium mulutnya. Dia membuka bibirnya dan lidahku masuk ke mulutnya dan lidahnya membalas tak mau kalah. Aku meletakkan tangan di payudaranya lalu meremasnya dan dia mengerang dalam ciumannya sebelum menarik diri.

"Masuk," katanya terengah-engah dan aku keluar lalu mengikutinya.

Kami masuk ke dapurnya dari pintu samping aku memeluknya dari belakang dan menyelipkan kedua tanganku memegang payudaranya, menekan penisku yang keras ke pantatnya dan mencium lehernya. Dia menggeliat berbalik ke arahku dan aku menurunkan satu tangan mengangkat roknya, menyelipkan jari melalui sisi celana dalamnya yang kecil dan menemukan vaginanya yang basah. Dia mengerang saat jari-jariku menusuk ke dalam vaginanya yang basah kuyup.

"Naik," katanya, "Ayo naik."

Aku mencium daun telinganya dan berkata, "Kamu ga mau nunjukin lukisanmu dulu?"

"Lupain soal lukisan." Dia menarikl tanganku dan menuntunku ke lorong lebar, menaiki tangga dan aku mencuri kesempatan untuk meremas pantatnya tapi dia menepisku dan menarikku ke kamar, membanting pintu di belakang kami .

Dia berlutut di depanku dan membuka celanaku. Penisku membentuk tonjolan besar di celana dalamku.


Tia meraba penisku lalu naik dan menurunkan celana dalamku, membebaskan penisku. Kepalanya yang besar dan memerah menyentak ke atas, keras dan kaku. Tia mengenggamnya dan membelaiku dari pangkal ke ujung.

"Besar. Aku belum pernah lihat yang segede ini."

Aku ga punya jawaban, jadi aku tetap diam saat dia membelaiku lagi dan kemudian menundukkan kepalanya, memasukkan penisku ke mulutnya dan mulai menyedot. Ga sejago Mba Silvi dan cuma bisa menelan setengah panjang penisku di mulutnya, tapi mulutnya hangat dan lidahnya sangat aktif. Aku menggoyangkan pinggulku, menyetubuhi mulutnya, dan berusaha keras supaya ga cepat keluar.

Akhirnya aku mengangkatnya dan mendorongnya telentang di tempat tidur. Roknya tersingkap ke atas dan aku melihat celana dalam kecilnya yang sekarang transparan karena cairannya. Aku menariknya ke bawah, melepaskannya dari kakinya dan melemparkannya, lalu naik lagi dan mendorong lidahku langsung ke dalam vaginanya. Dia tersentak dan membuka kakinya lebar-lebar, mengangkat betisnya ke pundakku agar lidahku bisa masuk lebih dalam. Rambut kemaluannya dicukur atau di-wax, menyisakan bentuk segitiga yang rapi.

Air liurku menetes ke vaginanya yang sudah basah kuyup, mendorong lidahku maju mundur, menjilat di bibir dalam dan luarnya, menghisap klitorisnya yang mengeras dan terus bekerja tanpa henti sampai dia mulai gemetar dan berteriak lalu kudorong lidahku kedalam saat dia mencapai klimaks. Pinggulnya menyentak di depan wajahku beberapa kali dan kemudian kembali tenang.

"Enak, Yo. Kamu pinter banget."

Aku tersenyum dan ga bilang apa-apa.

Aku melepas kaosku dan bergerak ke atas untuk mengangkangi dadanya, membuat dia tahu aku ingin memasukkan penisku di mulutnya lagi. Dia membuka bibirnya dan aku mendorong ke dalam, mencondongkan tubuhku ke depan dan mulai terus-menerus menghujam mulutnya. Aku masih bisa menahan kenikmatan yang perlahan datang, menikmati kepasrahan Tia dibawahku.

Saat aku hampir mencapai titik ga bisa menahan lagi, aku menarik diri keluar dari mulutnya dan bergerak menelanjanginya. Aku membuka blousnya dan dia membuka bra-nya sendiri dan berbaring, telanjang bulat. Tubuhnya indah, payudaranya padat dengan puting yang gelap.



"Aku akan menidurimu sekarang, Tia," kataku.

"Mmm, lakuinn, Yo."

"Bilang apa yang kamu suka. Bilang apa yang kamu mau aku lakuin sekarang."

Dia tersenyum.

"Kamu bisa bilang apa pun yang kamu mau, Tia. Aku di sini untuk menyenangkanmu, ga ada orang lain. Bilang gimana kamu mau dientot."

Senyumnya semakin lebar dan dia berguling dan berlutut.

"Seperti ini, Yo," katanya. "Aku mau kamu entot aku kayak gini."

Aku meraih dan mengeluarkan dompet dari celanaku lalu mengeluarkan salah satu kondom yang kubawa.

Tia melihatnya dan berkata, "Kamu ga perlu itu, aku minum pil. Aku mau kontolmu telanjang di memekku, Yo. Entotin aku sekarang." Dia mulai memberitahu apa yang dia mau.

Aku menempatkan diri di antara kedua kakinya. Dia punya pantat yang indah dan sebelum aku melakukan yang lain aku membungkuk dan menempelkan lidahku di sepanjang lembah pantatnya, saat lidahku menyentuh anusnya, dia mendesah dan melonjak.

Lalu aku menegakkan tubuh dan mendorong kepala penisku ke bibir vaginanya, dia meletakkan kepalanya ke bawah dan mengangkat pantatnya lebih tinggi dan aku menekan lebih dalam meluncur kedalam dirinya.

"Entot aku, Yo," gumamnya ke bantal, "Entot memek sempitku pake kontol besarmu."

Dan memang sempit. Aku harus mendorong keras untuk masuk lebih dalam, untungnya sudah licin karena cairannya orgasmenya tadi, ada banyak pelumas dan aku memaksa masuk lebih dalam, mendorong sampai aku ga bisa lebih dalam, menabrak bagian dalamnya. Dia mengerang dan mengangkat pinggulnya lebih tinggi dan aku mencengkeram tulang pinggulnya yang keras dan mulai mendorong masuk dan keluar, bergerak keras dan cepat, mengisi vaginanya dengan keras nya batangku.

Tia mulai mengeluarkan suara mengeram yang keras setiap kali aku mendorong ke depan dan aku merasa dia hampir sampai ke orgasme keduanya. Aku mempercepat ritme-ku, menggedornya ketika dia semakin berisik, menusuk sampai mentok pada setiap ayunan sampai dia berteriak, "Fuck!" sekali sangat keras dan kejang di bawahku, gemetar dan menangis ga bisa dipahami dan lalu pelan-pelan jatuh menelungkup dengan penisku masih menancap di vaginanya.

Dia terengah-engah di bawahku dan aku berhenti bergerak untuk memberinya kesempatan sebelum punggungnya terangkat. Keringat muncul di punggungnya dan aku menjilatnya perlahan.

"Kamu binatang sialan," katanya. "Kok bisa sih kamu belum keluar juga?" Dia mencoba berguling menghadapku tapi ga bisa bergerak banyak karena aku masih menindih pantatnya.

"Kamu mau aku keluar?"

Dia mengangguk. "Aku mau pejumu."

"Di mana?"

"Bilang, Yo. Bilang kamu mau kaluarin dimana. Bebas kecuali di dalam pantatku."

Sayang sekali, pikirku, lalu berkata, "Di wajahmu."

"Boleh," katanya, dan memutar lagi, kali ini aku mengangkat pinggulku dan dia berguling. Aku bergerak keatas dan berlutut di bawah ketiaknya, selangkanganku menghadap wajahnya, penisku menunjuk bibirnya.


Lenganku bertumpu di sandaran tempat tidur dan mulai menikmati gesekan bibir dan mulutnya sepanjang batang penisku. Kali ini ga butuh waktu lama untuk mencapai puncak kenikmatanku, kurasakan bola testisku mengencang. Aku mendorong penisku lebih dalam di antara bibirnya sampai dia mulai tercekik dan mendorong dadaku. Aku mundur dan menarik keluar dari mulutnya lalu duduk di tumitku. Tia menyusul dan kedua tangannya mengenggam penisku dan mulai menggosok dengan cepat. Aku melihat ke bawah dan menyaksikan, wanita cantik dengan rambut diwarna pirang ini bercucuran keringat, payudaranya menekan pahaku, menatap mataku sayu, dan aku membiarkan kenikmatan menguasaiku.

Aku mendengus keras saat cairan maniku tersembur keluar. Tia mencoba mengarahkan ke mulutnya yang terbuka, mengalir langsung di antara bibirnya dan mengisi mulutnya, sebagian memercik ke wajahnya, ke dagu dan hidungnya, menetes ke lembah belahan dadanya.

Gerakan tanggannya lebih lambat sekarang, memeras dan bibirnya terus menghisap sampai tetes terakhir.

Aku berguling ke belakang dan berbaring kelelahan, memandangi saat dia meratakan air maniku di wajah dan payudara dengan jarinya.

"Luar biasa," kataku.

Dia merangkak diatasku, menciumku lagi. "Kamu luar biasa," katanya.

"Kita luar biasa," kataku, dan kami berdua tertawa.

Dia menepati kata-katanya, membuatkan aku makan siang, yang kami makan di dapur tanpa pakaian, lalu setelah itu kami bercinta lagi di meja makan dan kali ini aku menyemburkan maniku di dalam vaginanya.


Kami mandi bersama, terbawa suasana dan aku menyetubuhinya dari belakang berdiri di kamar mandi.



Setelah aku berpakaian dia mengantarku ke pintu depan menciumku. Di luar matahari mulai tengelam membuat awan berwarna merah muda.

"Yo, hari ini luar biasa. Tapi jangan mengira aku biasa ngelakuin ini. Dan aku ga mau kamu berpikir ini lebih dari sekedar bersenang-senang."

Aku tersenyum. "Ga masalah," kataku. "Kalau kita ketemu di kolam renang, dan kamu mau ulangi lagi, bilang aja. Kalau ga, ga masalah." Aku mengulangi.

"Makasih," katanya, lalu entah kenapa menambahkan, "Aku memang mencintai suamiku, tapi dia ga terlalu menyenangkan di ranjang, dan kadang aku cuma perlu - yah, kamu tahu lah."

"Ga ada yang salah soal itu," kataku. "Kamu wanita cantik. Kamu punya hasrat."

"Hm," katanya.

Aku menciumnya lagi dan keluar melalui pintu, berharap ga akan bertemu Tia lagi, dan aku benar.

Aku berjalan menyusuri jalan ke halte bus dan berjalan kembali ke apartemen dan pergi ke studio dan mulai membuat sketsa beberapa gambar yang aku simpan di kepalaku.

Setelah beberapa saat aku mendengar Mira datang dia ngobrol dengan seseorang, suaranya pelan dan aku tidak bisa mendengar jelas. Aku tetap di tempatku dan terus bekerja. Saat aku akhirnya menyerah dan menegakkan tubuh, Mira dan siapa pun yang bersamanya sudah tidur. Jam berbunyi pukul 2 pagi dan aku berjalan kamarku sendiri dan jatuh di atas selimut.



Bersambung... Chapter.11
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd