Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT Sketsa

Halo suhu semua..

Terima kasih buat perhatiannya sampai sejauh ini..

Cerita ini saya bagikan karena kebetulan ada waktu luang pas WFH, tapi sekarang setelah kita sudah sampai di chapter 10,

Dengan berat hati karena satu dan lain hal.. terpaksa..











Saya mau bilang kalau di halaman 1 sudah saya tambahin Index Cerita :Peace:

Hehehe.. semoga memudahkan buat yang mau ngikuti cerita ini..

Mungkin sudah terlambat, tapi seperti kata pepatah lebih baik terlambat, daripada dua tiga pulau terlampaui..

Enjoy.. :baris:
Biar lambat asal selamat om.
Tak kan lari gunung dikejar.
Lanjutkan lagi om, semakin seru.
 
Biar lambat asal selamat om.
Tak kan lari gunung dikejar.
Lanjutkan lagi om, semakin seru.
Gunung sih dikejar ga akan lari.. tapi kalau saya dikejar-kejar disuruh update enaknya lari apa gimana ya?

Ceritanya menarik. Patut utk mendirikan tenda.
BTW,sepupu di Jakarta bagaimana kabarnya? Dan kuliahnya bagaimana?
Mira kan udah muncul di chapter 10, Hu..
Soal kuliah, mungkin ga akan banyak fokus kesana.. tapi lihat ntar deh..
 
Halo suhu semua..

Terima kasih buat perhatiannya sampai sejauh ini..

Cerita ini saya bagikan karena kebetulan ada waktu luang pas WFH, tapi sekarang setelah kita sudah sampai di chapter 10,

Dengan berat hati karena satu dan lain hal.. terpaksa..











Saya mau bilang kalau di halaman 1 sudah saya tambahin Index Cerita :Peace:

Hehehe.. semoga memudahkan buat yang mau ngikuti cerita ini..

Mungkin sudah terlambat, tapi seperti kata pepatah lebih baik terlambat, daripada dua tiga pulau terlampaui..

Enjoy.. :baris:
Terima kasih index nya.. suhu..

>>> #URTHEBEST:ampun:
 
CHAPTER.11

SALING MEMPELAJARI





Aku terbangun keesokan harinya karena dibangunkan Mira. Aku berguling masih berpakaian lengkap dan menatap dengan cemberut ke arahnya yang duduk di sisi tempat tidurku. Dia kelihatan seperti baru bangun tidur dan masih pakai jubah krem kesayangannya. Secangkir kopi berasap di tangannya dan satu lagi diletakkan di meja.



“Pagi tukang tidur,”

"Pagi Mir," gumamku.

"Jadi?" katanya, mengangkat alisnya.

"Apa?"

Dia meletakkan kopinya dan kemudian memukul dadaku. "Berhasil?"

"Oh itu, pastilah, sampai lemas kok kemarin dia."

"Anjing kamu!" dia berkata sambil tersenyum lebar.

"Iya, sempat doggy juga kemarin."

Dia meninjuku lagi, kali ini lebih keras dan aku membalasnya. Dia meninju bahuku lagi, lalu aku meraih pinggangnya dan mengendongnya. Dia mungkin cepat di kolam renang, tapi soal tenaga aku selalu menang. Aku menjatuhkannya dan menindihnya, menahan lengannya dengan lututku, lalu mulai mengelitik pinggangnya.

Dia memberontak dan aku mencengkeramnya lebih erat, tapi dia terus menggeliat lagi sambil tertawa, jubahnya kusut dan tersingkap. Lalu aku sadar aku duduk di payudaranya yang telanjang. Aku berguling dan duduk di bantal. Mira tetap di tempatnya, masih tertawa, dan ga berusaha menutupi tubuhnya. Mungkin dia pikir aku sudah pernah lihat semuanya dan percuma ditutupi. Tapi gimanapun ini masih bikin aku terangsang dan aku menarik celanaku yang mulai sesak.

Mira memperhatikanku dan tersenyum. "Kayaknya ada yang bangun nih." dia tertawa.

"Ga ada hubungannya sama kamu, kalau cowok tiap pagi memang gini."

"Oh iya sih, aku lupa. Jadi bukan karena ini?" Dia menangkupkan telapak tangannya di payudaranya yang menakjubkan dan menggoyangkannya. Aku menatapnya, kagum melihat cara payudaranya bergetar dan bergerak.

"Bukan," kataku. "Mendingan kamu tunjukkin ke pacarmu di sebelah."

Dia terkekeh. "Boleh juga, mungkin dia bakal lebih menghargai barang bagus." Dia melepaskan tangannya dan menutup jubahnya. "Tapi serius, Yo, kamu ML, ya?"

Aku mengangguk.

"Enak ga? Kayak apa dia?"

"Kamu mau aku ceritain detail?"

Mira mengangkat bahu. "Cuma penasaran. Kalau ga mau cerita ya ga masalah."

"Aku bikin beberapa gambar pas aku pulang kemarin. Kamu bisa bayangin dari gambar-gambar itu."

"Oh ya? Tunggu bentar." Dia turun dari tempat tidur dan berlari keluar. Semenit kemudian dia kembali membawa beberapa lembar kertas gambar dan melompat duduk di sampingku lagi. Jubah sialan itu tersingkap dan menunjukkan sebagian besar pahanya. Kalau naik lebih tinggi, vaginanya akan terlihat jelas.

Mira mulai mengamati sketsa yang sudah kubuat, mengangguk, menghabiskan beberapa menit untuk tiap sketsa. Setelah selesai, dia berkata, "Wow, dia seksi ya kan?"

"Badannya bagus," kataku.

"Pantat bagus, payudara bagus," kata Mira. "Vagina juga bagus. Apa bibir vaginanya memang montok gitu?"

"Agak kutambahi," kataku. "Tapi benar-benar sempit."

Mira tertawa. "Iyalah. Barangmu segede itu. Kayaknya kamu ga sadar kamu punya senjata istimewa."

"Namanya juga masih belajar," kataku.

"Dia suka dari belakang ya?" Mira bertanya.

"Iya, Dia yang minta," kataku.

"Terus yang ini," Mira menunjukkan sketsa saat aku mengangkangi payudara Tia. Aku menggambar saat aku ejakulasi langsung ke mulutnya, menunjukkan air maniku meluber dari bibirnya dan jatuh ke dadanya.

"Aku yang suruh gaya itu," kataku, "Dia ga terlalu suka, tapi aku pingin."

"Cowok brengsek," kata Mira.

"Memang," kataku.

"Kapan kalian ketemu lagi?"

"Kayaknya ga. Dia cuma lagi gatal dan aku cuma alat yang dipakai untuk menggaruk. Bukannya aku ngeluh sih. "

"Sketsa bagus," kata Mira. "Nanti kita upload."

Kami berdua mendengar suara langkah kaki di ruang tamu dan Mira berseru, "Di sini, Joy!"

Seorang gadis hitam tinggi membuka pintu dan melihat ke dalam, lalu lompat balik saat melihat aku disana. Dia telanjang dan mengangkat menutupi payudaranya yang besar, satunya menutupi vaginanya.

"Gapapa," kata Mira, "Yohan ini seniman, dia sudah lihat semuanya, lagian dia ga suka cewek." Dia menyikut pinggangku.

"Dia mungkin sudah lihat semuanya, tapi dia ga akan lihat punyaku," kata gadis itu.

Mira menghela napas dan bangkit, merapikan jubahnya. "Aku kesana deh. Kopi?"

"Ga usah, aku harus pergi. Bosku telpon minta aku tambah shift, lain kali kita ketemu lagi kan?," kata Joy.

Mira berjalan kearahnya, memegang pundaknya dan mereka keluar. Aku bisa dengar suara mereka pergi ke kamar Mira. Lima menit kemudian percakapan samar kembali terdengar, lalu suara pintu apartemen kami tertutup dan Mira balik ke kamarku lalu duduk di tempat tidur, kakinya terbujur bersilang.

"Ada masalah?" Aku bertanya.

"Kayaknya aku ga akan nemui dia lagi," kata Mira.

"Kenapa? Keliatannya dia baik."

Mira menatapku dan menjulurkan lidahnya. "Cuma karena dadanya besar, dia kelihatan baik?"

Aku mengangkat bahu. "Sepintas. Kayak apa dia?"

Mira tertawa. "Payudara besar. Pantat bagus. Sex buruk."

"Serius?"

"Kayak papan kayu. Ga bisa puasin aku sama sekali."

"Dia sendiri puas?"

Mira menoleh dan menatapku. "Ga ada detail," katanya.

"Cuma penasaran," kataku.

Mira bergeser dan memasukkan kakinya ke bawah selimutku. "Tadinya aku berharap ada kesempatan kedua pagi ini. Tapi, dia malah pergi duluan. Bikin kentang doang."

Aku tertawa. "Yah, kayaknya aku ga bisa bantu kalau soal itu."

Mira menatapku. "Memang." Dia terus menatapku, mengamati dada dan bahuku, menatap perutku. Selimut masih menutupi bawah pinggangku, menyembunyikan kemaluanku yang masih sedikit tegang dari tadi.

"Kenapa?" Kataku.

"Aku cuma mau lihat apa yang dilihat cewek-cewek dari kamu, Yo." Dia terus mencari, dengan serius

"Sudah aku tutupi," kataku, bercanda.

"Ga - aku sudah pernah lihat. Pasti bukan itu yang mereka suka. Tapi ..." dia mengulurkan tangannya ke arahku, berhenti dengan jari-jarinya beberapa centi dari dadaku. "Boleh aku sentuh? Gagapa kan?"

"Kalau kamu mau," kataku.

Dia meletakkan telapak tangannya di dadaku. Kalau aku cewek, sekarang dia akan megang payudara kananku. Tangannya terasa hangat di kulitku. Dia mendiamkan tangannya di tempat itu selama setengah menit, lalu memindahkannya, dengan lembut merasakan otot-otot di bawah kulitku, menelusuri garis-garis di sekitar dadaku dan naik ke pundakku.

"Seingatku aku belum pernah lihat cowok dengan badan sebagus ini, Yo. Apa kamu tahu seperti apa tampangmu? Menurutmu gimana?"

"Aku dulu kurus, Mir. Mungkin karena kerjaan setahun in."

"Turunan," katanya, terus membelai kulitku. Sentuhannya cukup kuat dan aku bisa merasakannya menekan dan menyelidik, menemukan otot dan tulang yang mendasarinya. "Ibumu, punya gen bagus. Dia seksi. Yah, menurutku dia seksi."

"Lumayan."

Mira menggeleng, mendorong jari-jarinya di sekitar tulang selangka, menelusurinya. "Ga, dia lebih dari lumayan. Dia seksi. Aku kasih tahu ya, aku mau bercinta dengannya."

"Mir!" Aku berkata, kaget, tapi disaat yang sama teringat, aku sendiri hampir tergoda meniduri ibuku sendiri bulan lalu.

"Apa? Emang ga boleh cewek punya fantasi?”

"Dia bibimu," kataku.

Tiba-tiba Mira tampak serius. "Aku bisa cerita apapun ke kamu kan, Yo?"

Aku balas menatapnya. "Ya bolehlah."

Dia mengangguk. "Aku dulu naksir ibumu."

"Kamu serius?" Aku menelan ludah, terpesona dan terangsang di saat bersamaan.

"Pertama sadar aku umur dua belas tahun dan baru masuk masa puber, dan menurutku ibumu adalah makhluk paling cantik di bumi." Wajahnya melamun saat mengenang masa-masa itu. "Dulu aku mencoba memandangnya setiap ada kesempatan. Kamu tahu ibumu kan, dia suka pakai baju yang terbuka. Dulu kami malah sering mandi bareng, dan saat itu aku selalu memandangi ibumu. Payudaranya bagus."

"Oh ya?," kataku.

Mira tertawa pelan. "Kamu ga pernah perhatiin? Payudara indah. Luar biasa. Ga tahu sekarang kayak apa? Kami belum pernah ketemu lagi selama.. empat tahun kayaknya ya?"

Aku mengangguk. "Kurang lebih."

“Aku biasa tulis surat cinta buat dia. Ga pernah dikirim sih. Tapi buat anak umur segitu itu berarti banget. Aku selalu menunggu musim liburan sekolah saat kalian liburan ke Bali. "

"Kirain kamu pingin ketemu aku," kataku.

"Itu juga, Yo, beneran," dia mengulurkan tangan, meraih tanganku dan mengenggamnya di dekat payudaranya. Punggung tanganku bersandar di bulatan kenyal, dan mungkin dia ga sadar apa yang dia lakukan.

"Gapapa, Mir, aku ngerti."

Dia melirikku dan mengangguk.

"Apa saat itu kamu tahu kamu suka cewek?" Aku bertanya.

"Sepertinya."

"Kamu dulu berfantasi... tentang ibuku?"

Mira mengangguk.

"Puber," kataku.

Dia mengangguk untuk kedua kalinya dan menghela nafas, lalu berkata, "Tapi aku juga pingin ketemu kamu, Yo, serius. Kita begitu dekat, lebih dekat daripada siapa pun buatku. Sampai sekarang masih kan? "

"Rasanya gitu," kataku.

"Ya," kata Mira dengan pasti. "Aku dulu nunggu kalian berdua. Senang bisa godain kamu."

"Godain aku?"

Dia tertawa. "Aku tahu kamu sering ngeliatin payudaraku, Yo. Menurutmu aku ga tahu?"

"Aku? Ngeliatin payudaramu? Kamu ngomong apa sih."

Dia tertawa lebih keras, berguling, lalu tiba-tiba menarik jubahnya terbuka untuk menunjukkan payudaranya yang sempurna. "Ini, Yo. Masih suka ngeliatin?"

"Sudah pernah lihat," kataku, berpura-pura tidak peduli.

"Oh ya sudah kalau sudah cukup," lalu dia membetulkan jubahnya dan meletakkan telapak tangannya di dadaku lagi.

Aku menatapnya. Dia merasakan otot di dadaku, meraba tulang rusukku dan menelusurinya.

"Tapi kamu belum pernah pegang kan? Aku tahu kamu pingin meniduriku."

Jantungku tiba-tiba berdebar. Apa Mira bisa ngerasain itu dari telapak tangannya.

"Tapi aku ga mau," kataku. "Aku terlalu sayang kamu." Aku hampir mengatakan sangat mencintaimu, tapi ga jadi.

"Aku sayang kamu, Yo. Aku suka hubungan kita sekarang."

"Aku ga mau semuanya berubah, Mir," kataku, serius sekarang.

"Aku tahu. Dan mereka ga akan berubah. Tapi seorang gadis boleh main-main kan?" Dia menyeringai misterius dan berkata. "Berbaring, aku mau mempelajarimu sampai selesai, Yo. Aku benar-benar suka ini. Aku belum pernah nyentuh cowok kayak gini sebelumnya, aku menemukan banyak hal baru tentang anatomi cowok."

Aku diam ga bergerak. Jari-jari Mira sudah sampai di bagian atas perutku. Dia bergerak tiba-tiba, melempar selimut itu ke belakang, lalu meraih pergelangan kakiku dan menarikku ke bawah, jadi aku merosot turun dan terbaring telentang. Celana dalamku ga bisa menyembunyikan penisku yang ereksi penuh.

Mira memandangi tonjolan itu dan menghela nafas. "Kamu terangsang banget ya, Yo?"

"Bukan cuma aku yang gennya bagus, Mir, Kamu juga, ga salah dong kalau kau terangsang di dekatmu."

Dia tertawa pelan. "Kamu ga keberatan aku main-main bentar kan, Yo?"

"Apa aku keliatan protes?"

"Apa ini bikin kamu frustrasi?"

Aku mengangguk. "Tapi dalam arti yang baik. Aku suka.. ketegangan."

"Aku tahu maksudmu," katanya, lalu, "Boleh aku lepas? Aku perlu menelitimu. For Academic Purpose."

"Kamu dokternya," kataku, dan dia menyelipkan jarinya ke pinggang celana dalamku dan menariknya ke bawah.

Aku bertekad ga membantu, dan berbaring diam saat dia menarik keras, mencoba untuk meloloskan celana dalamku dari bawah pantatku.

"Bantuin dong, Yo," katanya. Rambut kemaluanku sekarang terekspos, lengkung samar dari pangkal penisku, terdorong ke bawah oleh kain celana dalamku.

"Kenapa?"

Dia memandangku jengkel dan menghela nafas. Dia menggulingkan aku ke samping, menarik celana pendek aku ke bawah, lalu menggulingkanku ke arah satunya dan menarik turun sampai ke pahaku. Penisku melompat bebas ke perutku dan Mira tertawa dan menyaksikannya mengangguk-angguk samar.

"Itu selalu bikin aku tertarik," katanya. "Aku belum pernah terangsang karena penis sebelumnya, tetapi kamu lain."

"Penisku bikin kamu terangsang?" Aku menggoda.

"Aku ga bilang gitu. Aku cuma bilang itu menarik."

Mira duduk dengan tumit di ujung tempat tidur, jubahnya sudah ga beraturan, memperlihatkan sebagian besar paha dan lekukan atas payudara kirinya.

Dia meletakkan tangannya di pergelangan kaki dan mengangkat kakiku, mulai memeriksa jari-jari kakiku dengan jari-jarinya, menggoyangkannya, merasakan selanya, menemukan tulang dan persendian. Wajahnya yang cantik berkonsentrasi penuh dan aku berbaring di sana mengawasinya, cara rambut panjangnya tergerai di bahunya, cara mulutnya yang penuh terangkat ke satu sisi saat dia mengamatiku.

Begitu serius sehingga perhatiannya padaku menjadi aseksual, dan ketika dia bergerak di sepanjang kakiku, menelusuri garis-garis tulang di sana, penisku mulai melunak. Kenapa bisa begitu, aku ga tahu, yang jelas sekarang penisku terbaring di perutku setengah membesar, sesekali berkedut.

"Ototmu banyak, Yo, tapi ga terlalu besar, kan?"

"Kan kamu yang sedang memeriksa."

Dia tertawa.

Dia mencapai pinggulku, sepertinya sengaja melewati apa yang ada di antara kedua kakiku, dan jari-jarinya menekan di beberapa tempat. Aku melompat saat jarinya menekan terlalu dalam dan membuatku geli, lalu dia berbisik, "Sorry."

Lalu dia pindah ke perutku, meraba ringan blok-blok otot dan menggerakkan jari-jarinya, menghitung.

"Six Pack?" dia berkata.

"Ga perhatiin."

"Ya, six pack." Katanya setelah menghitung lagi.

Dia lalu melanjutkan bergerak ke atas, dia meletakkan satu lutut di antara pahaku, yang lain di pinggangku. Jubah sutranya menyentuh kulitku dan aku merasakan kemaluanku mengeras lagi.

Mira menyentuh putingku dan aku melihatnya mengeras di bawah jarinya dan dia tertawa.

"Bukan cuma cewek, kalau gitu," katanya.


Jarinya membuat gerakan melingkar di sekitar putingku, mengantarkan getar-getar geli di sekujur tubuhku.

Akhirnya dia pindah, naik ke leherku, ke rahangku, mendorong kepalaku ke satu arah ke yang lain, mencengkeram daguku dan mengayunkannya dari satu sisi ke sisi lain, mempelajari cara persendianku bergerak dan otot-otot meregang. Lalu pindah ke tanganku dan menggerakkan lenganku, mengangkat masing-masing secara bergantian.

"Kenapa cowok ga mencukur ketiaknya, tapi lebih suka cewek cukuran?" dia bertanya.

"Ga pernah kepikiran. Tumbuhin aja kalau kamu mau."

"Yuck," kata Mira. "Ga mungkin! Apa kamu mau cukuran?"

"Kenapa ga," kataku. "Cuma ga pernah kepikiran aja."

"Bakal lebih bagus kalau bersih," katanya lembut.

"Terserah, nanti aku cukur," kataku.

Dia mendongak, tersenyum. "Ga. Biar aku yang cukurin. Tunggu," dan dia bangkit dari tempat tidur lalu masuk ke kamar mandi di antara kamar kami, kembali membawa pisau cukur, mangkuk, sikat, dan gunting kecil.

"Angkat tangan," katanya, aku memandangnya lalu menuruti perintahnya.

Mira naik lagi ke tempat tidur, seperti posisi sebelumnya, lutut kirinya berada diantara pahaku. Dia menghabiskan hampir lima menit di setiap ketiak, dan ketika selesai dia mundur. Duduk di lututku, hanya selembar sutra yang membatasi kulit kami bersentuhan.

"Sekarang bagus," katanya.

Dia menatapku. "Kamu ga terlalu berbulu, ya kan?" katanya, meletakkan tangan di dadaku yang tak berbulu. Dada dan perutku bersih dari bulu, hanya sepintas rambut kemaluanku membentuk garis yang menipis menuju pusar. Mira menyusurinya kebawah, tapi berhenti sebelum dia mencapai penisku. Aku melihatnya berpikir, dan aku tahu tentang apa, tapi kemudian dia bangkit dan mendorongku dengan kuat.

"Punggungmu belum," katanya, dan menggulingkanku.

Dia mulai dari kakiku lagi, naik ke pantatku dan menyusuri otot di sana, menekan jarinya di beberapa tempat, pindah ke pinggang, tulang punggung, pundakku. Saat dia sampai di leherku, dia duduk mengangkangi pinggangkuku, mencondongkan tubuh ke depan dan aku bisa merasakan puncak payudaranya yang bebas menekan dan menari di punggungku. Dia mengayunkan kepalaku lagi, dua jari di punggungku, merasakan bagaimana itu bergerak.

Kemudian dia bergerak mundur, menyelipkan tangan ke antara pahaku dan mendorong kakiku ke samping, membelah pahaku dan membuka celah pantatku.


"Save the best for last," kata Mira.

"Apa?"

"Kamu ga merasa aku melewati bagian itu, kan?" katanya.

"Sempet kepikiran," kataku. Lalu, "Mir, habis ini gantian aku yang periksa kamu boleh?"

"Boleh," katanya, santai.

Dia duduk di pergelangan kakiku dan aku merasakan ujung jarinya di pantatku.

"Pantatmu bagus," kata Mira.

"Makasih." Sahutku ga tahu harus bilang apalagi.

Lalu dia meletakkan jarinya langsung di lubang anusku, tidak menekan, hanya menyentuh.

"Gimana rasanya aku sentuh di sini, Yo?"

Aku mengangkat bahu.

Dia membungkuk, menekan payudaranya ke punggungku lagi sehingga kepalanya dekat denganku. "Jujur aja Yo, aku ingin tahu." Dia duduk lagi, meletakkan ujung jarinya lagi di lubang anusku.

Aku diam sejenak, memikirkannya, lalu berkata, "Rasanya enak, Mir."

"Oh ya?"

Aku mengangguk.

"Aku suka saat pantatku disentuh. Sensitif, salah satu titik sensitifkuku. Mungkin kamu juga sama. Kita kan saudara." Katanya

"Oh kamu belum lupa." Aku bilang.

"Lupa?" Kata Mira, lalu sadar apa yang kumaksud dan tertawa. "Apa menurutmu yang kita lakukan ini ga pantas sebagai sepupu?"

"Mungkin."

"Gimana kalau kita berhenti?"

"Kamu mau berhenti?"

"Ga."

"Kalau gitu jangan."

Mira akhirnya memindahkan jarinya, tapi siksaan yang indah berlanjut saat dia menyelipkan tangannya meraih kedua bolaku.

"Berlutut, Yo," katanya, dan aku menurut. Bolaku tergantung di depannya, tanpa penghalang, dan aku merasakan tangannya mengenggam lembut mereka, menimbang mereka, lalu jari-jarinya mulai menelusuri kulit di mana mereka terhubung dengan pahaku. Aku mengejang dan tersentak saat jarinya menyentuh beberapa tempat yang sangat sensitif dan mendengarnya tertawa.

"Oke, selesai di sini. Berbalik dan tiduran lagi."

Aku menurut dan dia meletakkan tangannya di penisku. Penisku mengeras lagi.

"Ada yang bergairah." dia bergumam.

"Manurutmu?"

Dia tertawa. "Ya ampun, Yo, aku suka banget godain kamu. Aku tahu itu jahat, tapi aku suka."

"Lanjutin," kataku. "Nanti juga terbiasa sendiri."

Dia tertawa lagi. "Nanti aku bantu bikin kamu puas, janji."

"Kalau kamu mainin gitu terus, Mir, mungkin ga lama lagi."

Dia menelusuri bagian bawah penisku, terpesona oleh urat yang menonjol sepanjang batang penisku, memeriksa bagaimana batangku terhubung dengan bola di bawahnya dan juga perutku di atas.

"Kau masih sering cukur," katanya.

"Sudah beberapa hari ga," kataku.

Dia melihat lebih dekat. "Iya, sudah mulai tumbuh lagi dikit. Aku bersihin ya?"

"Boleh."

Dia menatapku dan berkata, "Semuanya?"

Aku mengangguk. "Kalau kamu mau."

Dia menyeringai. "Aku mau."

Dia berguling dari tempat tidur lagi, pergi ke kamar mandi dan kembali dengan air segar dan kain flanel yang lembab kemudian mulai bekerja. Rasanya luar biasa saat dia menggosokkan tangannya untuk meratakan busa cukur di kemaluanku, di atas perut bawahku, di sekitar pangkal penisku, di atas penisku.

Butuh hampir dua puluh menit yang menyenangkan, lalu dia kembali ke kamar mandi, membasahi kain flanel dan kembali lalu menyekaku bersih.

"Gimana menurutmu, Yo?"

Aku melihat ke bawah, ga biasa lihat penisku telanjang tanpa bulu.

"Suka?" dia bertanya.

"Mungkin belum biasa," kataku.

"Aku suka kok," katanya. "Sekarang kelihatan bersih. Ga adil kalau cuma cewek yang harus bersih tanpa bulu."

"Ya sudah kalau demi keadilan, aku setuju aja deh," kataku.

"Deal. Giliranmu." Mira turun dari tempat tidur dan melepasi jubahnya, kembali ke tempat tidur dan berbaring telentang di sampingku.

"Semua buat kamu," katanya.

"Hati-hati kalau ngomong," kataku.

Dia menampar dada aku dengan ringan. "Kamu tahu maksudku."

Aku menghela nafas. "Mungkin."

Dia menyeringai dan mengangkat tangannya ke atas kepalanya, dengan sengaja memamerkan tubuhnya.

Aku mengikuti contohnya dan mulai dengan jari-jari kakinya, berlutut di atas kakinya, wajahku dekat, jari-jariku memeriksa dan menjelajah, dan ga lama aku mulai mengagumi apa yang dia tawarkan. Dia sudah memberikan seluruh tubuhnya, untuk kuperiksa dan jelajahi, aku terpikat pada keterbukaan, pada tingkat keintiman yang ditawarkan. Bahkan jari kakinya, mempelajarinya secara detail, sangat mengagumkan. Sekali dua kali Mira menggerakkan kakinya saat aku menggelitik, lalu aku berpindah, menyusuri tulang-tulang di kakinya, memutar pergelangan kakinya, mengikuti betisnya yang ramping hingga lututnya.

"Wanita diciptakan jauh lebih baik daripada pria, Mir," kataku.

"Aku ga tahu soal itu." Dia bersandar di tumpukan bantal, mengamati aku yang mempelajari kakinya.

"Tapi kamu kan lebih suka wanita, ya kan?"

"Iya. Kecuali kamu."

"Ya, aku tahu, aku kontol kehormatan. Kamu sudah pernah bilang."

Dia tertawa. "Rahasiaku yang terlarang. Tapi, jangan cerita-cerita ke pacarku kalau kita ngelakuin ini."

"Kita cuma saling belajar," kataku.

"Tetap jangan diceritain."

"Iya, janji," kataku.

Aku memandangi pahanya dari dekat, menekat jari-jariku dengan kuat ke ototnya membuatnya tersentak.



“Maaf,”



"Gapapa. Cuma kaget."

Aku menyelipkan tanganku ke pahanya, tengah antara lutut dan vagina, dan mendorong kakinya sedikit lebih lebar. Aku menyentuhkan ujung jari di sepanjang pahanya, merasakan turun naik ototnya. Mira punya celah saat kedua pahanya disatukan, celah yang seakan membingkai vaginanya, aku melihat bentuk dan tekstur kulitnya di sana. Aku bisa melihat, samar, jejak ringan rambut kemaluannya mulai tumbuh lagi, lalu mengangkat tanganku dan menyelipkan jari di atas rambut-rambut pendek, merasakan teksturnya.

"Kamu sering cukur, Mir," aku bertanya.

"Tiap pagi pas mandi."

"Tumbuh lagi kayak gini tiap hari?" Aku berkata, jariku menyusuri perutnya yang rata.

"Pinginnya dilaser, biar ga tumbuh lagi."

"Jadi, kamu mau kalau ga tumbuh lagi?"

"Kenapa aku mau tumbuh lagi?"

"Kamu suka ga berbulu di sini?"

"Pastilah."

"Kenapa?"

"Kamu ga suka?" dia bertanya.

"Aku lebih suka gini."

"Merangsang?"

Aku mengangguk. "Walaupun kamu ga suka cowok, bukan berarti cowok ga akan terangsang karena kamu."

"Bagus. Itu merangsangku juga. Pacar-pacarku juga. Dan rasanya enak."

Aku mengangguk lagi, pindah ke pinggulnya, ke perutnya, dia sangat ramping, tapi ototnya terasa kencang.

Aku meraba rusuknya, lalu berhenti di sisi payudaranya, lalu menatap matanya meminta ijin.

"Silakan," kata Mira, dan tersenyum saat jari-jariku meluncur ke payudaranya. Aku mengukurnya, menimbangnya di tangan aku, terpesona pada kekenyalan dan teksturnya. Jariku mengelilingi putingnya, lalu menyentuh mereka dan melihatnya merespon dan mengeras. Aku memilin salah satu lalu pindah ke yang lain, membuat mereka makin keras, dan Mira berkata, "Ga adil."

"Kamu tadi juga bikin putingku keras," kataku.

"Tapi punyamu lebih kecil."

"Sama aja," kataku.

Aku menyusuri lekuk atas payudaranya, terpesona pada bagaimana mereka mengalir ke dada, pindah ke tulang selangkanya, lehernya, menggerakkan kepalanya ke satu sisi dan mendorong rambutnya yang tebal ke belakang dan memeriksa telinganya, merasakan garis rambutnya, merasakan rongga mata dan hidungnya serta rahang dan bibir.

"Duduk, Mir," kataku, lalu menekan punggungnya condong ke depan.

Aku mau lihat seperti apa payudaranya saat ditarik gravitasi.

Mira menyilangkan kakinya dan membungkuk ke depan. Payudaranya menggantung, sedikit menjauhi tubuhnya, berayun lembut.

Aku meletakkan punggung jariku di bawah payudaranya. Bahkan saat membungkuk ke depan seperti ini, bentuk payudaranya tidak banyak berubah. Jariku bergerak naik dengan ringan menyusuri bulatan payudaranya sampai mencapai putingnya.

Mira menggigil. "Enak, Yo."

Putingnya sekarang kaku, dan aku menyentilnya pelan dengan ujung jari dan Mira mendesis lembut.

Seolah petir menyambar, aku berhenti, terpana. Rasa ga masuk akal memenuhi pikiranku dan aku merosot ke tempat tidur di sampingnya, memandang punggungnya.

"Kenapa, Yo?" Mira menoleh menatapku.

Aku mengangguk. "Rasanya.. sial.."

"Kenapa?" Dia berbalik, berlutut di sampingku, membungkuk di atasku sekarang.

Aku menggeleng dan tertawa. "Cuma.. Aku punya perasaan aneh tadi." Aku tertawa lagi. "Kayak deja vu tapi bukan deja vu. Ngeliat dan menyentuh payudaramu, aku jadi ingat tiap kali aku berfantasi tentangmu saat aku remaja, dan rasanya ga nyata sekarang kita disini. Kita sama-sama telanjang. Dulu aku bayangin yang kayak gini. "

"Serius?" Mira berkata dengan lembut.

"Kamu tahu aku serius."

"Mungkin, tapi aku ga yakin."

Aku menghela nafas panjang, menggelengkan kepalaku untuk menjernihkan pikiran.

"Berguling, "kataku.

"Kau ga lanjutin ke bawah dulu, Yo?"

"Nanti. Punggung dulu. Yang bawah nanti terakhir, kalau boleh sekalian aku bantu cukur pagi ini, Mir?"

"Boleh aja," katanya, dan berguling tengkurap.

Aku pindah lagi ke bawah, mengamati telapak kakinya, pergelangan kaki, bagian belakang kakinya. Pantatnya luar biasa. Aku meletakkan telapak tanganku di pantatnya dan merasakannya, merasakan kepadatannya, menarik-nariknya sebentar untuk membuka celah dan memandangi lubang mungilnya yang berkerut, lalu naik ke pinggangnya, tulang punggungnya, punggungnya, bahunya. Aku melihat jari-jari dan lengannya, kehalusan dan kehangatan kulitnya. Saat aku sampai kelehernya aku membungkuk dan penisku menabrak pantatnya. Dia tertawa lembut dan berkata, "Hati-hati naruhnya."

Aku merasakan bagian belakang tengkoraknya, mengubur jari-jariku ke dalam rambutnya, menikmati rasa tulang-tulangnya di bawah tanganku dan rambutnya di kulitku.

Lalu aku kembali, mendorong kakinya dan dia bergerak membuka pahanya menunjukkan pantat dan vaginanya padaku.

Aku mengosokkan telapak tanganku ke punggungnya, ke pantatnya, jari-jariku menelusuri celah pantatnya dan menyentuh lubangnya yang berkerut. Mira melompat, seperti aku tadi.

Aku mendiamkan ujung jariku di sana, lalu perlahan, dengan lembut, aku mulai mengusapnya, merasakan kulit yang lebih kasar di sekitar lubangnya, lekukan ke dalam anusnya.

"Yohan," katanya lembut.

"Apa, Mir?"

"Kamu ngapain?"

"Ini?" Aku dengan ringan menyentuhnya lagi.

"Ya, itu."

"Kenapa memangnya?" Aku menggerakkan jari-jariku, menelusuri diantara pahanya, merasakan daerah tepat di belakang vaginanya.

"Ini mungkin favoritku sepanjang masa."

Aku ragu-ragu, memindahkan jariku kembali ke anusnya.

"Anusmu disentuh?"

Dia mengangguk. "Aneh ya?"

"Tergantung sejauh apa kamu suka disentuh. Dan siapa yang nyentuh. Kayaknya belum pernah ada cowok yang nyentuh anusmu ya?."

Dia menggeleng. “Apa aku cewek aneh?”

"Bukan cewek aneh, tapi cewek yang luar biasa cantik."

Dia tertawa. "Gombal."

"Tapi kadang aku penasaran gimana rasanya anal seks," kata Mira.

"Oh ya? Bukannya kamu ga suka penis."

"Ga," katanya. "Tapi tetap aja penasaran."

"Mungkin sakit banget," kataku.

"Ya. Mungkin. Kamu pernah, Yo?"

"Pernah apa?"

"Anal seks?"

"Ga pernah," kataku.

"Mau?" Mira bertanya.

“Mau."

Mira mengangguk ke bantal. "Mau ga kita bikin perjanjian?"

"Perjanjian?"

"Iya. Kalau aku pingin nyoba anal, aku bakal minta kamu yang ngelakuin. Setuju?"

Aku tertawa. "Kayaknya aku yang dapat untung dari perjanjian itu," kataku.

Mira menggeleng "Ga, jangan mikir gitu. Kadang aku berfantasi tentang anal seks. Pas pacarku masukin lidah atau jarinya kesana, aku berfantasi kalau yang masuk itu penis." Dia berguling miring dan menatapku, wajahnya memerah, entah karena tadi menempel di bantal atau yang lain ga bisa kutebak. "Salah ya?"

Aku meletakkan tanganku di punggungnya, membelai kulitnya.

"Ga salah, Mir. Cuma... Ada hal-hal tertentu yang kita lebih suka dibanding lainnya. Kamu pernah bilang, ga ada yang salah kalau kamu menikmatinya."

"Kalau aku minta kamu mau ngelakuin?" Kata Mira, masih menatapku.

"Anal?"

Dia mengangguk.

"Mau lah."

"Wah," kata Mira, dan berguling telentang. "Lebih baik kamu lanjutin dulu dan mencukurku, Yo, sebelum kita kebawa suasana."

Penisku berdenyut-denyut, sakit, meminta perhatian. Tapi aku meraih pisau cukur dan melanjutkan kegiatanku mencukur rambut kemaluan Mira. Aku menarik kulitnya kencang, dan mencukurnya bersih.

"Wow, bersih banget," katanya. "Lebih gampang dari cukur sendiri."

Aku tertawa, melemparkan pisau cukur itu ke meja sebelah. "Lain kali kalau butuh bantuan, kamu tinggal bilang, Mir."

"Oke," katanya, meletakkan tangannya ke atas kepalanya dan mengeliat. "Kamu mau periksa vaginaku sekarang, Yo?"

"Boleh?"

"Boleh aja."

"Sampai dalam?"

Dia mengangguk. "Sedalam yang kamu mau."

"Sampai kamu orgasme?" Aku bertanya.

"Ya, tolong," katanya. "Aku benar-benar butuh orgasme sekarang."

“Oh ya?"

Dia tertawa. "Kamu ga pikir cuma kamu yang terangsang karena ini kan?"

Dia berbaring dan jariku menyusuri selangkangannya yang kini bersih dari rambut, melayang tipis diatas kulitnya sampai aku menyentuh klitorisnya yang membesar. Sungguh luar biasa punya kesempatan untuk menjelajahi tubuhnya sesukaku. Klitorisnya besar dan membengkak, bertudung kecil di atas vaginanya, dan aku mendorongnya pelan dari sisi ke sisi, membungkuk dan memandangnya lebih dekat.

Aku bergerak ke bawah, menelusuri bibir luar vaginanya, membelahnya dan menemukan labia bagian dalamnya yang panas dan basah. Mira punya vagina yang montok yang membingkai celah ketat. Kalau ga dibuka, lipatan-lipatan kulit di dalamnya akan tetap tersembunyi. Aku mendorong dua jari di kiri dan kanan, membukanya, melihat lipatan dalam merah muda, jariku menyentuhnya di sana dan dia mendesis lembut.

"Ga suka ya?" Aku bertanya.

"Suka," katanya. "Suka banget."

"Kamu basah banget di sini, Mir," kataku.

Mira ga menjawab, hanya memandang sayu ujung jariku yang berkilat karena cairan vaginanya, mulutnya setengah terbuka.

Aku mendorong jariku lebih jdalam, merasakan kelembapannya yang berminyak.

"Terus, Yo," katanya.

Aku menyelidik terus, mengulurkan jari telunjukku jauh ke dalam dirinya, menemukan celah dan lekukan dan tempat-tempat yang ga pernah terbayangkan.

Mira terengah-engah sekarang dan aku menatap wajahnya, mata tertutup, mulut terbuka. Aku menyelipkan jari kedua ke dalam.

"Terusin, Yo," setengah mendesah. "Jangan berani-berani berhenti!"

Aku mendorong jari ketiga ke dalam, jauh ke dalam, dan mulai mengerakannya keluar masuk. Tanganku yang lain menekan klitorisnya dan dia mendengus.

Aku memperhatikan vaginanya, memperhatikan wajahnya, dan kemudian dia bergerak, berguling menyamping, lalu mengangkat kaki kanannya tinggi-tinggi.

"Sentuh pantatku, Yo, tolong."

Aku bergerak, menarik jari-jariku yang basah keluar dari vaginanya, lalu bergeser ke bawah mengangkat kaki kananya ke bahu kiriku lalu tangan kananku kembali ke vaginanya, menyelipkan tiga jari kedalam. Tangan kiriku bergerak ke pantatnya, meremas sebentar lalu menempelkan telunjukku ke bibir anusnya yang kembang kempis.

"Masukin," katanya diantara desahan.

Aku membasahi jariku dengan ludah lalu kembali ke bawah, menekan masuk. Aku melihat lubang pantatnya membuka, menjepit erat ujung jariku.

"Oughh," erangnya tertahan. "Mainin Yo."

Aku memperlambat gerakan jariku di vaginanya, sebaliknya mempercepat gerakan jariku di pantatnya, mendorongnya lebih jauh, mendorongnya dalam-dalam.

"Aughh," lenguhnya lemah.

Penisku panas seperti terbakar, aku harus ejakulasi segera untuk meredakan tekanan. Lalu aku berpindah ke belakangnya, bergeser sehingga kepala penisku menabrak pantatnya.

"Ya Tuhan," katanya. "Itu panas banget, Yo."

Aku dengan lembut menarik jariku dari pantatnya, maju lebih dekat dan menempatkan kepala penisku di lubang pantatnya.

"Oh wow," desahnya.

"Suka?"

"Banget! Setengah aku pingin kamu dorong, setengah lagi ga mau kamu dorong." Dia menggeleng dengan cepat. "Brengsek, aku hampir sampai, biarin aja disitu, Yo..."

"Di sini?" Kataku, sedikit mendorong. Anus Mira sangat ketat, penisku sangat tebal, ga akan gampang mendorong penisku masuk.

Tapi dia menggeliat ke arahku dan berkata, "Brengsek, aku pingin itu masuk, Yo. Tapi jangan."

Aku ga bergerak untuk mendorong. Sebaliknya, aku mengengam penisku dan mulai menggosok batangku sendiri. Aku mencondongkan tubuh, mencium Mira di sisi mulutnya dan bilang, "Aku ga akan niduri kamu, Mir, tapi aku mau keluarin spermaku di pantatmu.

"Iya, Yo, cepet lakuin. Keluarin di anusku!"

Aku mempercepat gerakanku, aku tahu aku ga akan tahan lebih lama lagi. Tangan kananku keluar masuk vaginanya lebih cepat, tangan kiriku mengengam penisku dan mengosoknya secepat aku bisa. Melihat dengan jelas lubang anusnya berkedut tiap kali kepala penisku menekan. Aku ingin mendorong, memasuki dirinya, tapi aku menahan diri.

"Aku sampai, Yo," Mira terkesiap. "Sekarang, Yo!"

Mira gemetar dan menyentak di bawahku, tanganku yang terbenam di vaginanya sekaligus menahan pinggulnya saat aku mengurut penisku, memburu pelepasanku sendiri. Mira terenggah-engah, tubuhnya meringkuk, tangannya menahan jari-jariku tetap didalam vaginanya, pantatnya ditekan kebelakang tidak mau lepas dari panasnya penisku.



Saat itu aku meledak, air mani menyembur keras dari penisku, terarah langsung ke anusnya, meluber ke samping, tetapi beberapa di antaranya tersedot masuk dan menjadi pelumas yang membuka pantat Mira sedikit, dan aku ga bisa menahan kepala kemaluanku membuka pantatnya dan menyelinap ke dalam, hanya satu atau dua centi, tapi air mani aku sekarang tersembur di dalam pantatnya. Tapi rasa bersalah menarikku mundur, dan aku mengosongkan sisa benihku di pantatnya.


Lututku lemah dan gemetar, dan aku duduk bersimpuh di tumitku. Mira masih menekan tanganku ke vaginanya, dan aku melihat air maniku meluncur keluar dari lubang yang sekarang tertutup dan menuruni pahanya.

"Brengsek, Yo," dia terkesiap.

"Hampir keterusan, Mir. Sorry."

"Aku ga protes kok"

"Mungkin kita harusnya berhenti main-main kayak gini , Mir. Sebelum kita kebablasan. "

Dia tertawa terbahak-bahak. "Ini belum kebablasan?"

Dia berguling ke belakang, menarik tanganku dari vaginanya dan mencium jari-jariku.

"Tapi itu seru banget, Yo."

Aku mengangguk. "Tapi bahaya."

"Mungkin." Dia tertawa. "Iih, Yo, spermamu masih netes dari pantatku." Lalu tertawa saat dia berguling dari tempat tidur dan berjalan ke kamar mandi.




Bersambung... Chapter.12
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd