Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT Sketsa

CHAPTER.12

PULANG KAMPUNG



Kehidupan baruku terasa jauh berbeda dari kehidupan di pinggiran kabupaten yang bernama Purworejo, tapi aku merasakan lapisan tipis kedewasaan mencair disana. Hubunganku dengan Mira, kehidupan kampus, kesibukan memperbanyak sketsa jadi rute sehari-hari yang harus kulalui untuk menembus batas itu.

Disaat yang sama, perusahaan kami, kalau boleh disebut perusahaan, membatasi jaringan pergaulanku. Tia, jadi satu-satunya hasil taklukanku di ibukota sejauh ini. Setelah pertemuan pertama, kami tidak pernah bertemu lagi. Sketsa dan jualan jadi fokus utamaku sekarang. Aku ga mau Ibu bekerja terlalu keras disana, disaat aku tidak bisa membantu di rumah. Uang yang kukirim secara rutin menjadi penebus rasa bersalahku karena tidak hadir untuknya, walaupun ga pernah terasa cukup.

Jadi disinilah aku, duduk di pesawat yang bersiap untuk mendarat di Jogja, tiga hari sebelum Natal. Aku sudah janji ke Ibu akan pulang saat libur Natal dan Tahun Baru. Aku belum pulang sejak awal perkuliahan. Ibu ga pernah minta aku pulang, karena dia mau aku ada di mana aku mau, mengejar mimpiku, jadi dewasa, tapi kerinduannya bisa didengar dari nada suaranya saat kami bicara di telpon.

Kali ini aku pulang naik pesawat untuk mempercepat perjalanan, Mira yang beli tiketnya, jadi aku hanya butuh waktu kurang dari sejam, dibanding 10 jam perjalanan naik bus.

Ibu menungguku di ruang kedatangan dan memelukku erat saat kami bertemu.

"Yohan, kamu kelihatan dewasa!" katanya.

Aku mengangkat bahu, "Ga juga, Bu." Walau aku tahu aku bukan lagi anak laki-laki yang pergi ke ibukota 4 bulan lalu. Bajuku lebih modis, biaya potong rambutku mungkin lebih mahal daripada uang belanja Ibu seminggu. Mungkin aku sudah dewasa, tapi selalu menyenangkan bisa pulang.

Kami berjalan ke tempat parkir. Aku melemparkan tasku ke bagasi sedan tua kami, meminta kunci dari Ibu dan bilang aku mau nyetir biar dia bisa duduk dan rileks.

Malamnya aku menemani Nadia sampai dia tidur. Sejak sampai di rumah, dia hampir selalu disisiku, pingin dengar cerita tentang Jakarta, tentang aku, tentang Mira, dan aku menceritakan semua yang bisa kuingat, ga semua sih, tapi cukup jadi hiburan baginya. Jam delapan malam matanya mulai berat, dibebani semua kegembiraan hari itu.

Ketika aku keluar dari kamar Nadia, Ibu sedang duduk di sofa ruang tengah. Dia sudah buka sebotol anggur dan menuangkan dua gelas. Ayah Mira, pamanku, jarang datang berkunjung, tapi tiap tahun dia selalu mengirimkan paket besar ke rumahku, diantara isinya beberapa botol anggur, arak Bali, brem, atau sekedar cemilan khas dari Bali. Karena itu kami punya banyak stok minuman seperti ini, selain memang kami ga terlalu sering meminumnya.

"Kita rayain kepulanganmu?" dia bertanya sambil tersenyum.

"Eh, ya, boleh."

Dia mengulurkan gelas, menepuk sofa disampingnya.

Aku duduk di ujung dan dia bergeser cepat, menepuk kakiku. Aku tahu apa maunya, lalu melebarkan kaki kiriku dan Ibu duduk diantara kakiku bersandar ke badanku, menarik lenganku memeluknya. Itu adalah caranya memelukku saat aku masih kecil, dan tahun-tahun belakangan posisi kami terbalik. Dengan hati-hati aku meletakkan lenganku di depan bahunya, yang lain di pinggangnya.

Setelah kami sampai di rumah tadi, Ibu sudah ganti baju, memakai daster baru yang belum pernah kulihat. Daster itu berpotongan ramping di pinggang memamerkan lekuk pinggangnya dan menonjolkan payudaranya yang besar. Kancing-kancing kecil berjajar dari atas ke bawah di bagian depan. Lehernya rendah menunjukkan belahan dadanya yang dalam. Panjang kainnya sampai ke lutut kalau Ibu berdiri. Sekarang, bersandar di depanku, Ibu mengangkat kakinya ke atas sofa dan menekuk lututnya, dasternya tersingkap sampai ke paha.

"Ceritain tentang Jakarta, Yo," katanya.

Kuceritakan hal-hal yang bisa kuceritakan, dan sensor untuk hal-hal yang ga bisa kuceritakan, kurang lebih sama seperti ceritaku untuk Nadia tadi.

"Kalau soal cewek?" Dia bertanya. "Kamu laki-laki yang ganteng, pasti ada cewek yang ngejar-ngejar kamu."

"Mungkin ada." Aku mengaku.

"Tapi kamu bisa jaga diri kan, Yo?"

Aku mengangguk, "Aku bisa jaga diri kok, Bu."

"Miranda apa kabar?" dia bertanya. "Enak ga apartemen barunya? Kerasan tinggal bareng?"

"Enak banget, Bu," kataku.

Dia memutar badannya sedikit agar bisa memelukku, "Bagus kalo gitu. Ibu kangen, Yo, tapi Ibu senang kamu kesana. Dan terima kasih sudah sempat pulang minggu ini."

Aku mencium bagian atas kepalanya, mencium bau sampo segar di rambutnya.

Ibu menuang lagi anggur ke gelasnya dan minum dengan cepat, lalu kembali menyandarkan punggungnya padaku. Sepertinya dia mulai sedikit mabuk, tapi gapapa aku ingin dia bersenang-senang sesekali. Aku melingkarkan lenganku lagi padanya, satu diatas, satu dibawah. Ibu menarik tangganku yang di sekitar bahunya ke bawah. Aku bisa merasakan pergelangan tanganku menekan payudaranya dan dia menghela nafas dan berhenti menarik. Awalnya ga ada masalah, tapi seiring waktu aku bisa merasakan payudaranya naik turun saat dia bernafas, dan juga sadar penisku mulai keras, khawatir Ibu merasakannya juga karena dia bersandar ke bagian depan tubuhku.

Dia benar-benar ga sadar, atau pura-pura ga sadar, tapi dia mendorong pantatnya sedikit ke belakang.

"Ini nyaman, Yo. Cium Ibu."

Dia memiringkan wajahnya ke atas dan ke arahku dan aku menunduk mencium bibirnya. Tangannya menarik leherku dan dia memelukku lebih lama dari biasanya.

Setelah ciuman kami lepas, dia tersenyum dan menyandarkan kepalanya di dadaku, "Makasih. Itu yang Ibu butuh."

Aku duduk di sana dengan perasaan aneh. Apa ibu barusan ngasih kode?

Kalau bukan Ibu kandungku aku ga akan pikir panjang, karena walaupun sudah berumur 37 tahun dan melahirkan dua kali, bentuk tubuhnya masih tetap terjaga. Kulitnya yang halus dan mulus membuatnya tampak seperti orang yang sepuluh tahun lebih muda. Tingginya sekitar 155 cm tanpa sepatu, rambut nya agak bergelombang seperti aku dan dipotong sebahu. Wajahnya cantik, dan tubuhnya bikin pria akan susah berpaling. Dia wanita istimewa.

"Gimana dengan, Ibu? Ga ada laki-laki gagah yang kelihatan?"

Dia tertawa lalu duduk tegak dan menuang anggur lagi ke gelasnya, tapi yang tersisa tidak sampai seperempat gelasnya. "Brengsek," gumamnya, lalu menutupi mulutnya dengan tangan, "Maaf, Yohan."

Aku tertawa. "Aku juga pernah ngomong kotor, Bu."

Dia bangkit dan tersenyum, "Ya, kamu sudah dewasa sekarang, kan?" Dia pergi ke dapur dan balik membawa botol lain, memberikannya padaku beserta pembuka botol. Aku membuka tutup anggur dan mengisi gelasnya, menuang lebih sedikit ke gelasku.

Ibu meminum setengah gelas lalu mengulurkan gelasnya untuk diisi lagi.

"Yakin, Bu?" Aku bilang.

"Aku pingin mabuk, Yo. Senang banget kamu bisa pulang, Ibu cuma mau sedikit mabuk dan pingin dipeluk."

"Jangan nyalahin aku kalau besok pagi kepala Ibu pusing.” Kataku sambil mengisi gelasnya.

Ibu minum lagi lalu menggeser kakiku lebih rapat dan duduk di pangkuanku. Penisku tepat berada di antara celah pantatnya. Dasternya tersingkap membuat kulit kakinya menempel ke kakiku tanpa penghalang.

Ibu menarik lenganku untuk memeluknya dan lagi-lagi aku bisa merasakan gundukan payudaranya saat lengan kananku melingkari dadanya. Seharusnya aku mencari alasan dan pindah, tapi aku yang juga terpengaruh anggur ga bisa berpikir jernih. Malah aku menggeser lengan kiriku yang memeluk perutnya naik sampai menyentuh bagian bawah payudara kirinya. Aku diam ga berani bergerak lagi takut kalau Ibu mengira tanganku sengaja menyentuh payudaranya. Tapi dia tampak santai dan nyaman dalam posisi ini beberapa saat.

Perlahan aku mengeser tangan kananku ke bahunya dan jari-jariku mulai membelai kulitnya. Jari-jariku meluncur lembut di leher terbuka dasternya, hangat dan halus. Ibu tetap diam ga bilang apa-apa, atau bergerak.

Penisku sekarang sangat keras dan terjepit di dalam celanaku. Aku ingin bergerak untuk mengurangi rasa sakitnya tapi ga berani merusak apa yang terjadi.

Jadi kubiarkan jari-jariku melanjutkan pijatan lembut di pundaknya dan meluncur ke bawah tali bra-nya. Perlahan, sangat lambat mereka melayang turun. Aku merasakan lekuk atas payudaranya dan melanjutkan. Jari-jariku mencapai bagian atas bra-nya dan aku berhenti, jantungku berdebar-debar di dalam dadaku, pikiranku berputar maju mundur tentang apa yang harus dilakukan. Apa aku benar-benar mau memegang payudara ibuku? Apa aku mau biarkan ini berlanjut?

"Enak, Yo," gumam Ibu. "Jarimu lembut."

Dia pasti tahu apa yang sedang kulakukan, tapi dia ga protes atau melawan.

Aku terus menggerakkan ujung jariku di sepanjang tepi atas bra-nya, ga berani menggesernya lebih jauh. Aku harus buat keputusan, sekarang, kemana ini berjalan. Aku sadar kalau aku lanjutkan, aku mungkin akan bikin Ibu marah. Di sisi lain aku bisa membayangkan kenikmatan yang mungkin kami alami. Ibuku wanita yang sangat menarik, dan aku pasti pernah berfantasi tentang Ibuku saat aku puber. Tapi sekarang, ketika fantasiku hampir jadi nyata, aku ga sanggup menerimanya.

Aku menghela nafas dan menarik tanganku dari lekuk dadanya yang hangat. Sejenak tangannya mencoba menahan tanganku di dadanya, tapi ketika aku tetap mengangkat tanganku, dia melepas cengkramannya dan membiarkan tanganku pergi. Dia menoleh menatapku dan aku menciumnya sekali, sebentar, dan bilang, "Bu, kayaknya Ibu sudah minum terlalu banyak, sekarang tidur ya."

Kurasakan dia menggeliat mendorong pantatnya ke selangkanganku, dan aku mendorongnya dengan lembut lagi.

"Sudah malam, Bu." kataku. "Ibu perlu tidur."

"Kamu bisa ikut aku kalau kamu mau, Yo," katanya lembut.

"Aku tahu aku bisa, Bu. Dan aku mau. Tapi aku ga yakin itu bagus."

Dia menatapku dan kemudian perlahan mengangguk. "Aku ngerti, Yo. Selamat malam." Dia bangkit dariku dan berjalan sempoyongan ke kamar. Setengah jalan dia berhenti dan berbalik. "Kamu yakin?"

"Ga, Bu, aku ga yakin. Selamat tidur."

Dia tersenyum dan menghilang ke lorong.

Aku duduk selama lima menit, bernapas dalam-dalam, menatap tonjolan di celanaku. Ada noda lembab besar ditengah panjang batang penisku, tempat dimana ibuku duduk tadi.

Brengsek, pikirku, lalu bangkit memeriksa kunci pintu dan jendela, mematikan lampu. Aku berjalan ke kamarku, melihat pintu kamar Ibu yang terbuka, tapi tidak berhenti dan terus berjalan ke ujung lorong.

"Selamat malam, Yohan," aku mendengar panggilannya dengan lembut.

"Selamat malam Bu," jawabku.

Keesokan paginya aku bangun sebelum Ibu. Nadia juga sudah bangun seperti biasanya. Kusiapkan sarapan lalu makan dengannya sebelum akhirnya dia keluar main rumah tetangga.

Jam sembilan akhirnya ibu muncul di dapur, dia kelihatan pucat dan masih sempoyongan.

"Ibu gapapa?"

Dia duduk di kursi meja makan dan menutupi wajahnya dengan telapak tangan. "Aku merasa kayak sampah, Yo," katanya. "Berapa banyak yang kuminum tadi malam?"

"Lumayan."

"Kebanyakan," katanya. Dia memandangku dan tersenyum, tampak sangat cantik. "Terima kasih sudah jadi gentleman tadi malam."

Jadi dia ingat. "Itu ga gampang, Bu."

Dia terus menatapku dan akhirnya aku membuang muka pura-pura sibuk dengan piringku.

"Gapapa, Bu, sungguh," kataku, bangkit dan membawa peringku ke wastafel. "Kita berdua sedikit bergairah dan mabuk."

"Tapi Yohan," bisiknya, "Rasanya aku memang biarin kamu nyentuh Ibu. Bukan – Ibu pingin disentuh. Ibu bahkan mau kamu lebih dari sekedar nyentuh. Aku janda bajingan yang kegatelan."

Aku kaget mendengar kata-kata kasar dari Ibu.

"Kau bukan ibu yang seperti itu," kataku. "Dan disini aku yang harus minta maaf. Aku lemah. Kamu sangat cantik, Bu, dan siapa pun pasti menginginkanmu."

"Tapi aku ibumu," balasnya berbisik. "Aku seharusnya ga ingin berhubungan seks dengan anakku!"

Dia keluar dan mengatakannya, kenyataan yang ga ingin kukatakan. "Itu sudah terjadi," kataku. "Mungkin akan terjadi lagi kita ga tahu. Kita harus hati-hati."

"Hati-hati?" dia bilang.

"Bu, Ibu wanita yang sangat-sangat menarik, ibu ga jauh lebih tua dariku. Dan aku seorang pria muda yang penisnya punya pikiran sendiri, jujur aku bilang penisku menginginkanmu tadi malam!" Kalau Ibu bisa memakai kata-kata kasar di depanku, maka aku juga bisa.

Dia mengangguk. "Ya, kita harus berhati-hati," katanya, ga terlalu yakin, tapi saat itu Nadia sudah pulang dan melompat ke arahku dan aku harus menangkapnya.

"Mas, jalan-jalan yuk. Aku mau tunjukkin tempat mainku."

Aku tertawa. “Yuk. Tapi ganti baju dulu ya. Pergi dulu, Bu, atau Ibu mau ikut juga?"

Dia menggeleng, "Aku mau nyuci dan bersih-bersih rumah. Selamat senang-senang. Hati-hati di jalan."

Nadia mengajakku keliling ke semua tempat favoritnya, tempat dia main dan juga rumah temannya. Kami berjalan ke tengah kota dan aku mengajaknya makan mekdi, lalu nonton bioskop film kartun yang aku belum pernah dengar judulnya.

Hari mulai gelap saat kami sampai di rumah, Ibu ada di dapur menyiapkan makanan. "Spaghetti," katanya.

Nadia melompat-lompat. "Aku suka spaghetti!"

Ibu tersenyum dari bahunya pada kami. Hari ini dia sudah ganti pakai daster baru yang aku juga belum pernah lihat sebelumnya. Warnanya biru tua polos dengan bahan halus yang menunjukkan lekuk tubuhnya dengan sempurna. Aku mengamatinya dari belakang, bahunya yang sedikit terbuka, turun ke pinggangnya yang kecil lalu melebar kepinggulnya. Panjang dasternya sampai tepat di atas lutut dan dibawahnya betisnya telanjang dan mulus.

Aku mendekat dan memeluk pinggangnya, mencium lehernya. "Aku sayang Ibu. "

"Aku tahu, Yo." Aku merasakan dia menekan tubuhnya ke arahku, lalu dia bilang, "Ada bir di kulkas kalau mau."

Aku tertawa dan melepas pelukanku, "Mungkin alkohol bukan ide bagus, Bu."

Dia menoleh dan menatapku. "Kita sudah janji akan hati-hati kan, Yo. Gapapa minum bir, asal kita hati-hati."

"Oke."

Aku mengambil sekaleng bir dari kulkas lalu duduk di sofa sambil nonton TV menunggu makan malam.

Setelah makan malam, kami duduk depan TV bermain kartu sampai malam. Setelah itu seperti kemarin aku menemani Nadia di kamarnya sampai dia tidur, lalu aku mematikan lampu, menutup pintu dan kembali ke depan.

Ibu duduk di sudut sofa, kakinya terselip di bawahnya, lututnya mengintip keluar dari dasternya. Sebotol anggur dan dua gelas ada di atas meja kopi tapi belum terisi. Ibu hanya diam memandang tangan di pangkuannya. Saat aku masuk, dia menoleh sebentar membuatku sadar kalau matanya merah, ibu menangis.

Aku mendekat dan berlutut di depannya, tanganku menyentuh lututnya.

"Bu, ada apa?"

Dia menarik nafas dan menyeka air matanya. "Maaf, Yohan. Ibu tadi duduk disini terus kepikir, kamu menemani Nadia, bacain cerita buat dia sampai dia tidur. Kamu sudah dewasa dan Ibu sebentar lagi akan kehilangan kamu. Tapi Ibu ga sedih kok, ga tau kenapa Ibu nangis tadi, Ibu justru merasa senang malam ini kita jadi satu keluarga lagi seperti dulu."

"Ibu ga akan kehilangan aku, Bu. Ga akan pernah kehilangan aku."

Dia tersenyum. "Tapi kamu sudah dewasa, Yohan. Ibu lihat sejak kemarin kamu datang di airport. Kamu lebih percaya diri, lebih dewasa dari saat kamu pergi."

Aku tersenyum dan memegang tangannya. "Tapi aku akan selalu di sini buatmu, Bu, Ibu tahu itu, kan?"

Dia menggeleng, tersenyum, "Aku ga tahu, Yohan, sekarang kamu bilang gitu, tapi suatu hari kamu akan nikah, punya anak sendiri dan-"

"Dan Ibu akan ketemu seseorang juga, Bu. Ibu wanita yang cantik, dan masih muda. Ibu akan ketemu seseorang yang bisa bikin Ibu bahagia."

"Kamu bikin aku bahagia, Yohan," katanya. "Dan semua pria yang Ibu kenal antara sudah menikah, atau lajang tapi ga jelas. Pria seumurku lajang karena ada alasannya, Yo."

"Kalau gitu, cari brondong, Bu," aku nyengir.

"Mereka cuma mau main-main, demi kesenangan sendiri. Aku ga akan tahan. Tapi kamu ga kayak gitu, Yo. Kamu sempurna."

"Makasih, Bu."

Dia duduk dan menurunkan kakinya kelantai, mengusap matanya, menegakkan badan dan bilang, "Buka anggur, Yo, lalu peluk Ibu seperti semalam. Kita nikmati minggu ini selagi kamu disini. "

Aku tersenyum dan menuang anggur untuk kami, lalu duduk di sudut sofa dan membuka kakiku. Ibu duduk di antaranya dan bersandar padaku. Aku mendentingkan gelasku ke gelasnya. "Kita bersulang untuk apa?" Aku bilang.

"Buat kita," kata Ibu.

"Buat kita," kataku dan mendentingkan gelasnya lagi. Ibu meneguk sedikit dan meletakkan gelasnya kembali di atas meja.

"Aku ga mau mabuk malam ini, Yo. Aku ga mau berbuat bodoh lagi."

Aku membuka tanganku dan dia kembali ke pelukanku.

"Ibu tidak berbuat bodoh, Bu, ga mungkin. Aku justru tersanjung."

Dia mendengus, "Ya, emak-emak setengah baya godain anaknya. Bikin sangat tersanjung."

Aku mencium rambutnya. "Serius, Bu. Dan siapa bilang Ibu setengah baya. Kalau kita jalan, pasti kita dikira pasangan."

Dia memeluk tanganku erat-erat di pinggangku, "Terima kasih, Yohan. Tapi kamu butuh gadis seumurmu. Seorang kayak Miranda – aku tahu dia sepupumu, tapi seorang seperti dia."

Aku tertawa. "Kurasa aku bukan tipe Mira, Bu."

"Oh, kamu tipe semua cewek, Yohan."

"Kecuali mereka suka sama cewek," kataku, dan sadar aku sudah buka rahasia Mira.

Ibu duduk tegak, berputar dan menatapku. "Maksudmu...?"

Aku mengangguk.

"Yah," katanya, lalu tertawa terbahak-bahak. "Oke, gapapa. Paling ga satu kekhawatiranku berkurang."

"Khawatir soal apa?"

"Kamu dan Miranda," katanya, dan menampar lenganku. "Ibu berpikir, kamu tahu kan, dia cantik, dan kamu tampan, aku tahu kalian sepupu, tapi kadang-kadang hal-hal terjadi gitu aja..." Suaranya menghilang, sepertinya dia ingat tadi malam. "Terkadang hal-hal seperti itu terjadi begitu saja, dan aku ga lihat apa yang salah saat itu terjadi," dia selesai.

Kami diam selama satu menit, tenggelam dalam pikiran kami sendiri, lalu Ibu menghela napas dan bilang, "Tapi kamu suka cewek, kan?"

Aku tertawa lagi. "Iya lah, Bu, aku normal kalau itu yang Ibu tanyain."

Dia mengangguk. "Jadi, berapa banyak pacar yang kamu punya sejak kamu ke Jakarta? Apa mereka seksi?"

"Apa ini pembicaraan yang pantas antara ibu dan anaknya?" Aku bercanda.

"Persetan pantas," kata Ibu, mengejutkanku lagi. "Ibu mau tahu. Kamu sudah dewasa sekarang, Yo, dan kita bisa ngobrol soal apapun, kan?"

"Tapi soal itu?"

Ibu mendekat dan menempelkan kepalanya ke dadaku. "Ibu penasaran, Yohan. Aku ga punya banyak kegembiraan dalam hidup belakangan ini. Ga ada malah. Jadi Ibu pikir... yah, kalau kamu mau cerita soal hal-hal yang Ibu mau dengar. "

Aku bersandar di kursi dan mengusap bahunya.

"Apa Ibu yakin mau dengar ceritaku tentang petualanganku, Bu?"

"Petualangan?" dia bilang. "Jadi kamu sudah sejauh apa."

"Bu!"

"Cerita, Yohan," katanya sambil terkikik. "Jangan ada detail yang kelewat."

"Aku ga yakin semua detailnya," kataku.

"Sebagian aja. Ada yang sudah lama Ibu mau tanyakan, apa yang sudah kamu lakukan sama Bu Silviana? Ibu yakin kamu ga cuma bikin taman dan melukis dia telanjang kan selama disana."

Aku melepas pelukanku dan meraih gelas anggur. Ibu mungkin ga mau mabuk malam ini, tapi kalau aku harus cerita, aku yang butuh alkohol. Aku menghabiskan isi gelasku dan mengisinya lagi. Ibu juga minum dari gelasnya, menyisakan setengah isinya lalu aku mengisinya lagi sampai penuh dan dia tersenyum padaku, mengangkat alisnya ga sabar.

Aku duduk bersandar pada bantal dan menyadari ada tonjolan yang terbentuk di celanaku lalu mencoba bergeser untuk menyamarkannya.

"Oke Bu, apa yang mau Ibu tahu?"

Dia mempertimbangkan, lalu bilang, "Kamu sudah ga perjaka, kan?"

"Ga, Bu."

"Jadi, kamu dan Bu Silvi?"

Aku mengangguk.

"Ibu dari dulu sudah yakin." Dia tampak termenung, tetapi ga kaget. "Ada berapa banyak lagi?"

"Ada berapa gadis?"

Dia mengangguk.

"Sekitar tiga," kataku.

"Sekitar?" dia tersenyum.

"Oke, tiga." Aku memutuskan blowjob Febi ga masuk hitungan, tapi kupikir semua yang kulakukan dengan Mira terlalu banyak untuk ga dihitung.

"Ga terlalu banyak," kata Ibu. "Tapi kamu hati-hati kan?"

"Kalau maksudnya aku pakai pengaman, ya Bu, aku hati-hati."

Dia mengangguk lagi. "Bagus. Kayak apa mereka? Apa mereka cantik? Ibu tahu Bu Silvi cantik. Gimana yang lainnya?"

"Mereka baik," kataku. "Salah satunya malah cantik banget."

"Ga ada komitmen jangka panjang?"

"Aku belum mikirin itu."

"One night stand."

"Ya, semacam itu."

"Bu Silvi? Selingkuh, atau lebih ke...?"

"Selingan," kataku.

"Ga ada perasaan khusus?"

"Ga dari aku. Aku yakin dia juga ga."

Dia menimpa tubuhku dan memelukku erat-erat, dan kakinya diangkat diatas kakiku yang selonjor diatas sofa. Aku bisa merasakan penisku tertindih pahanya. Dia menarik-narik kain dasternya yang terjepit diantara kami, dan aku merasakan pahanya yang telanjang menempel di celanaku.

"Yohan," bisiknya, "Ibu minta maaf kalau semalam bikin kamu shock."

"Gapapa, Bu..."

"Ibu sayang banget sama kamu, Yohan."

"Aku juga sayang Ibu." Aku mencium bagian atas kepalanya dan kemudian mendorongnya duduk. "Aku mau mandi dulu, aku bau," kataku.

"Kalau sudah selesai bilang ya," kata Ibu, "Kayaknya Ibu juga pingin mandi. Pingin berendam di bathtub"

“Oke.”

Setelah mandi aku baru sadar belum ambil baju bersih, tapi di gantungan dekat kamar mandi aku menemukan jubah tua milik ayahku, sepertinya baru dicuci dan belum disimpan Ibu. Bahannya lembut dan hangat tapi terlalu besar untukku. Ayahku seorang pria tinggi besar, dan jubah abu-abu gelap ini hampir sampai ke mata kakiku.

Aku ke depan memakai jubah itu dan bilang ke Ibu kamar mandinya bisa dipakai. Saat berpapasan, dia berbalik dan bilang, "Beri Ibu lima menit, terus bawain segelas anggur, Yo? Aku pingin nyantai malam ini."

"Eh, oke," kataku.

Aku mengisi gelas setengah penuh dan setelah lima menit aku membawanya ke dalam. Kuketuk pintu kamar mandi dengan pelan dan kudengar Ibu memanggil, "Masuk, Yo."

Dia berbaring di bathtub, gelembung busa menutupi tubuhnya dari pandangan. Dia mengikat rambutnya di atas kepalanya. Kuturunkan dudukan toilet dan duduk di sana lalu mengulurkan gelasnya.

Dia berbalik mengulurkan tangan untuk mengambil gelas, payudaranya terangkat keluar dari air dan menampakkan diri, titik-titik busa masih menempel di beberapa tempat, di sekitar putingnya, kulitnya basah dan licin. Aku ga bisa menahan diri melirik ke bawah dan Ibu menyadari pandanganku lalu tertawa.

"Gapapa. Lihat aja kalau kamu mau Yo, aku ga keberatan."

Aku berbalik, malu.

"Gapapa, Yo." Dia menepuk-nepuk kakiku. "Setelah apa yang aku lakukan tadi malam, rasanya cuma lihat payudara ibumu ga terlalu memalukan, kan?"

Aku tertawa. "Mungkin ga, tapi lebih baik aku balik keluar." Tapi aku ga bergerak dari tempat dudukku.

Ibu menghela nafas dan morosot kembali ke air, meletakkan gelasnya di sisi bathtub, lalu menengelamkan dirinya sampai sebatas dagu.

"Yohan?" Dia bilang dengan suara lembut.

Aku tersenyum.

"Bisa bantu Ibu?"

"Apa itu, Bu?"

"Mau ga bantu gosok punggung Ibu? Sudah lama ga ada yang ngelakuin itu buat Ibu." dia tersenyum lagi, senyum yang jauh lebih muda daripada usianya.

Aku menghela nafas dan menunjukkan keengganan. "Mungkin, kalau Ibu mau."

Dia duduk, payudaranya muncul lagi, lalu dia bergeser ke depan sehingga lututnya tertekuk keatas dan payudaranya menempel ke pahanya.

Aku mengambil spons besar dan mulai menggosok punggungnya.

"Lebih keras, Yo," katanya.

Aku menambah tenaga untuk menggosok punggungnya dan dia menghela nafas. "Nyaman banget..."

Kubasuh punggungnya selama lima menit, menggosok spons turun ke lekuk atas pantatnya di dalam air, lalu kembali keatas, ke atas bahunya dan bagian atas lengannya. Akhirnya, aku meremas spons sampai kering dan duduk lagi.

"Terima kasih, Yohan," kata Ibu, merosot ke bawah, mengangkat lengan di atas kepalanya untuk sandaran sehingga payudaranya ikut terangkat naik dan ujung putingnya mengintip di atas permukaan air, lebih panjang dari sebelumnya.

Aku bangkit dan menuju pintu keluar.

"Oh Yohan, ada pisau cukur baru di lemari, bisa tolong ambilin?"

Aku buka pintu cermin dan menemukan pisau cukur baru, membuka bungkusnya dan menyerahkannya kepada Ibu, melirik ke bawah lagi.

"Penampilan ketiak Ibu sudah lumayan bersih," kataku.

Dia tersenyum lalu mengedipkan mata. "Siapa bilang buat ketiak?"

"Eh, oke... aku cuma mikir..."

Dia tersenyum lagi dan bilang, "Sampai nanti. Aku akan keluar sebentar lagi..."

Aku menutup pintu di belakangku dan berjalan ke ruang tengah, senang jubah tua Ayah cukup besar untuk menutupi penisku yang terangsang dibaliknya.

Aku menuang segelas anggur dan langsung menghabiskannya. Aku duduk bersila di ujung sofa dan memebtulkan lipatan jubah menutupi ereksiku dan mencoba membuat penisku rileks. Aku menyandarkan kepalaku di bantal dan memejamkan mata, berusaha mengatasi perasaanku.

Sekarang sudah cukup jelas kalau Ibu sedang menggodaku. Juga cukup jelas kalau diterusin aku bisa lepas kendali, dan Ibu akan membiarkanku. Tapi apa dia benar-benar menginginkan itu, benar-benar ingin bersetubuh dengan anaknya sendiri, melakukan hal yang tabu itu? Dan lebih tepatnya, apakah aku juga mau melakukan itu?

Kenapa sekarang? Apa yang sudah berubah di antara kami yang membuat Ibu menginginkan aku lebih dari aku sebelumnya?

Aku melemparkan pikiran di kepalaku, mencampurkannya dengan gambar-gambar yang masih kuingat dari kamar mandi, dan ketika semuanya bercampur aku sadar kemaluanku, bukannya jadi lembek, malah makin keras.

Ya, aku memang menginginkannya. Aku memang menginginkan ibuku. Dan hal yang tabu ga berpengaruh - kenyataannya, hal yang tabu bikin lebih menarik. Mungkin itu juga karena fantasiku tentang Mira. Ga ada bedanya antara ingin bersetubuh dengan sepupu dan ingin bersetubuh dengan ibumu.

Aku tertawa sendiri. Ya jelas beda. Apa yang kupikirkan?

"Kenapa kamu ketawa sendiri, Yo?"

Ibu berjalan mendekat tanpa suara dengan kaki telanjang dan aku mulai membuka mataku. Dia juga cuma memakai jubahnya yang lama, yang diambil bertahun-tahun yang lalu dari sebuah hotel saat Ayah dan Ibu bulan mau.

Dia mengangkat gelasnya yang kosong dan mengambil botol yang juga kosong. "Mau lagi?" dia bertanya.

"Ga usah, terima kasih."

Dia ke dapur dan mengisi gelasnya sendiri, kembali ke sofa dan bilang, "Geser, Yo."

Aku pindah tapi dia tetap berdiri di tempatnya, satu alisnya terangkat. Aku menghela nafas dan merentangkan kakiku, memastikan jubahku menutupi sebanyak mungkin kakiku. Ibu tersenyum dan duduk di antara kakiku, ke posisi favoritnya.

"Gitu dong," katanya. Dia menyesap anggurnya, malam ini lebih lambat.

Aku memeluknya lagi, tangan kiri di pinggangnya, tangan kanan di depan pundaknya dan dia menghela nafas dan menggumamkan sesuatu yang ga bisa kudengar. Dia menggeliat lagi, meletakkan tangan di bewah lengan kiriku dan mengangkatnya. Aku berpikir untuk menahan, tapi lalu memutuskan untuk mengikuti. Ini mulai terasa menyenangkan.

Tanganku bergerak naik dan seperti kemarin, berhenti di bawah payudara kanannya, telapak tanganku menahan berat payudaranya. Malam ini payudaranya tidak terkurung, aku merasakan gerakannya saat aku menyentuhnya.

Tangan kananku meluncur ke dalam leher jubahnya dan bergerak turun, merasakan lekukan dadanya yang kencang dan dia menghela nafas dan kurasakan dia rileks di pelukanku.

"Enak, Yo," katanya. Dia berguling ke samping dan meletakkan gelasnya di atas meja kopi. Saat dia bergerak payudaranya bergeser di bawah tanganku, menggoda untuk dijamah lebih jauh. Kurasakan putingnya bergulir lembut di jariku, lalu saat dia kembali bersandar, tanganku tetap di tempatnya, menangkup payudara kanannya di telapak tanganku, putingnya menekan keras.

"Dan ini lebih enak," gumamnya.

Aku menunggu, nafasku memburu, lalu akhirnya mulai membelai payudaranya dengan lembut. Aku menjelajahi lekuk bawah yang berat, kagum pada betapa lembut dan halus kulitnya. Aku kembali ke putingnya dan memilinnya diantara ibu jari dan telunjukku.

"Terus, Yo. Sudah lama sejak seorang pria menyentuhku seperti itu. "

Ibu melonggarkan ikatan jubah di pinggangnya, lalu kusibakan jubahnya terbuka. Tanganku melanjutkan gerakan menangkup kedua payudaranya, meremas lembut.

Apa yang sedang kulakukan pikirku, tapi aku ga bisa berhenti.

Ibu menyandarkan kepalanya ke bahuku dan merosot di antara kedua kakiku. Jubahnya tertarik, memperlihatkan pahanya, vaginanya hampir terbuka. Aku menyaksikan, terpesona, saat tangannya menyelinap ke bawah, mencari diantara pahanya.

Penisku sakit dan aku membelai kedua putingnya, menarik lembut mereka sampai mereka panjang dan keras.

Kutundukkan kepalaku dan kucium lehernya yang terbuka, menikmati pemandangan payudaranya dan perutnya yang telanjang. Saat aku berpikir untuk menarik lepas ikatan di pinggangnya, suara Nadia terdengar dari dalam.

"Bu! Aku mimpi buruk Bu!"

Ibu tersentak tegak, menarik jubahnya menutupi dirinya dan berdiri. Dia menatapku, tersipu, melirik tonjolan di bawah jubahku, dan tersenyum kecut.

"Hampir tertangkap basah," katanya. "Ibu lihat Nadia dulu."

"Ibu mau aku yang kesana?"

Dia menggelengkan kepalanya. "Ga. Ibu aja." Dia menatapku, sepertinya akan mengatakan sesuatu yang lain, tapi kemudian Nadia memanggil lagi dan dia berbalik menghilang di lorong.

Aku berbaring sebentar, mencoba mengabaikan kemaluanku yang sakit, lalu bangkit, mematikan lampu, mengunci pintu dan masuk ke kamarku. Aku berbaring telanjang di atas selimut mengenggam penisku yang kaku dan perlahan-lahan mengerakkannya naik turun, terpejam sambil membayangkan Ibuku sendiri.

Aku ga tahu apa yang lalu membuatku membuka mata, mungkin suara, mungkin cahaya. Aku yakin tadi sudah menutup pintu, tapi saat aku membuka mata, Ibu berdiri di sana. Lampu lorong mati, menyisakan cahaya samar dari lampu di dapur.

Jubahnya sudah tersingkap dan telanjang di baliknya. Satu tangan menangkup payudara, yang lain bergerak di antara kakinya dan dia menatapku, pada penisku di tanganku, dan tidak bilang apa-apa. Ekspresi wajahnya memancarkan nafsu yang ga terkendali, nafasnya pendek dan cepat. Aku ga tahu apa dia melihat aku membuka mata, melihatku memandangnya, saat aku terus menggosok, pinggulku terangkat.

Mulut Ibu ternganga sekarang, gerakannya makin cepat, seperti panik.

Aku membelai penisku memandanginya, melihat wajahnya berubah, melihat tubuhnya yang bergetar.

Kubiarkan kenikmatan mencapai puncak, dan langsung menyemburkan maniku tinggi ke udara yang mendarat di dadaku.

Ibu tersentak, satu kali, jarinnya menusuk dalam-dalam dan tubuhnya terkejang-kejang, tapi dia terus menatap penisku saat aku ejakulasi. Lututnya tampak seperti ga kuat menopang tubuhnya, dan dia melepaskan payudaranya dan mencengkeram kusen pintu.

Kulepaskan genggaman di penisku, berbaring di sana dengan penis yang mulai lembek, sperma mengalir di perut dan dadaku.

Ibu menggigil, memulihkan diri, perlahan menarik jarinya dari vaginanya.

Dia mendongak ke wajahku tanpa ekspresi, tanpa senyum atau apapun. Lalu dia, membetulkan jubahnya dan pergi. Dengan lembut, dia menutup pintu kamarku.

Paginya aku bangun kesiangan, Nadia mewarnai buku dan Ibu di dapur seperti biasa, masih memakai jubahnya. Aku heran, kenapa wanita di keluarga kami begitu suka dengan jubah, Miranda dan Ibuku. Dia bilang, "Selamat Pagi," dan menumpuk sarapan di atas piring. Satu-satunya perbedaan kecil adalah saat Ibu menelusuri rambut dan leherku saat dia lewat.

Lalu saat hari menjelang siang, Ibu memanggilku ke gudang dibelakang rumah. Dia berdiri di samping pintu, menunjuk ke atas.

"Yo, bisa bantu ambilin kardus-kardus yang besar yang diatas itu?"

"Bisa. Lagi nyari apa?"

"Seingat Ibu dulu nyimpen video-video mu yang lama disitu. Mungkin ada beberapa yang masih bisa dipakai buat Nadia. Kalau ga ada, lebih baik dibuang."

"Oke." Aku mengambil kursi di dapur, naik ke atasnya dan menurunkan beberapa kardus, menyeretnya keluar ke halaman belakang.

"Seingatku, dulu Ibu tulis diatas kardus apa isinya. Cari yang tulisannya video atau kaset."

Aku tertarik pada sebuah kotak berdebu dan membukanya, menemukan album foto, buku-buku lama Ayah, lalu tertawa saat aku mengeluarkan sebuah kotak persegi yang lebar dan membacanya.

"Gaun pengantinmu, Bu?"

"Aku lupa itu ada di sini," katanya.

"Masih cukup ga?"

Dia menampar pantatku. "Pasti cukup lah.. kayaknya." Ibu balas tertawa. "Sudah delapan belas tahun. Apa udah dimakan rayap?"

"Kalau mau dilihat mendingan di dalam kamar sekalian dicoba."

"Aku ga tahu kenapa aku simpan. Ga akan dipakai lagi."

"Kita ga pernah tahu," kataku, duduk bersimpuh. Wajah Ibu termenung lalu bilang. "Simpan aja kalau masih bagus. Siapa tahu Nadia mau pakai nanti kalau nikah."

Dia meletakkan kotak berisi gaun pengantinnya dan membuka kardus yang lain. Setelah sepuluh menit yang berdebu, dia bilang, "Ketemu!"

Dia mendorong kotak itu ke arahku dan aku membantunya mengembalikan yang lain ke dalam, lalu membersihan debu dan sarang laba-laba yang menempel di lengan dan bajuku.

Ibu menyapu debu dan jaring laba-laba dari blusnya. "Ibu harus mandi lagi jadinya."

"Mau sekarang? Aku bisa bantu milihin videonya."

"Ga. Aku mau lihat dulu yang kita temuin. Ayo bawa masuk dulu."

Aku membawa kardus itu, lumayan berat, ke depan sofa, duduk dan membuka selotip di bagian atas. Ibu duduk dengan tumit di sisi lain. Dia mengeluarkan beberapa keping CD, meniup debu dan membacanya.

"Wow - Lion King dan Little Mermaid. Nadia pasti suka ini."

Kami mengambilnya secara bergantian memilah-milah isinya. Ada Jungle Book, kartun lama dan beberapa seri drama Taiwan yang pernah dibeli Ibu.

Lalu aku mengambil sebuah CD dan sedikit kaget. Kucoba menyembunyikan CD itu dengan kakiku, tapi Ibu terlanjur melihat dan mengambilnya.

Dia membaca judulnya dan tertawa. "Mau nyembunyiin ini, Yo?"

Aku mengangkat bahu. Itu adalah VCD porno lama yang sepertinya milik ayahku.

"Aku pernah nonton yang ini," katanya, mengagetkanku, "Ayahmu dulu kadang nonton VCD porno. Aku pernah nemu sekali, dan bilang kalau aku ingin ikut nonton..." Dia menggelengkan kepalanya dan tertawa. "Masa muda yang menyenangkan, Yo..."

Aku meraih untuk mengambil VCD itu tapi dia menariknya.

"Sebaiknya kita buang itu, atau sembunyikan dengan hati-hati," kataku.

"Akan Ibu sembunyikan," katanya. "Kalau ga salah masih ada beberapa lagi di sana."

"Untung kita ga ajak Nadia," kataku.

Ibu mulai mencari di sisa tumpukan, memisahkan VCD yang sepertinya masih bagus ke satu sisi, yang sudah rusak ke sisi lain untuk dibuang nanti. Dia menemukan VCD kedua, lalu VCD ketiga, memandangi covernya, melihat gambar adegan dibelakang.

"Kayaknya Ibu belum pernah lihat yang ini," katanya, dan nyengir. "Ayahmu pasti punya koleksi rahasia. Jadi penasaran kenapa yang ini ga pernah ditunjukin ke Ibu."

Dia membaca bagian belakang, mengangguk, lalu memisahkannya dari yang lain.

"Kita bisa nonton yang ini nanti, kalau kamu mau," katanya.

"Nonton?" Aku bilang. "Bareng?"

Dia menatapku dan tersenyum. "Iya bareng. Lebih seru kan, Yo."

"Mungkin," kataku. Membayangkan nonton film porno dengan ibuku bikin kepalaku penuh dengan segala macam tabu dan norma yang bisa kuingat, bercampur dengan segala macam imajinasi erotis yang bisa kubayangkan.

“Oh ya, Bu, apa sebaiknya besok kita bersih-bersih gudang tadi, mungkin ada banyak lagi koleksi rahasia disana yang kita ga tahu. Jangan sampai Nadia nemu sesuatu yang salah.” Usulku.

“Boleh juga, mumpung kamu masih disini.

“Oke, kalau gitu sebaiknya kita istirahat.”

Ibu mendekat, memelukku lalu berjinjit dan mencium bibirku. “Malam, Yo.”




Bersambung... Chapter.13
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd