Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT Sketsa

Baca cerita ini berasa baca cerpen di koran hari minggu. Bahasanya tidak terlalu berat, juga ringan namun bukan amatiran.

Alur sejauh ini rapih(masih belum kelar maraton sih), dan semoga sampai tamat tidak diberi ilustrasi, biarkan imajinasi para pembaca dimainkan disini. Yah... semoga saja tamat :malu:. Amin.
 
CHAPTER.14
PASANGAN UNIK



Hari Selasa terakhir bulan Januari, aku sedang jalan ke kelas setelah makan di kantin saat seorang cowok tinggi memakai jas dan dalaman kaus tiba-tiba berjalan disampingku. Sepintas kulihat dia melirik ke arahku, tapi kubiarkan saja asal ga menganggu.

Yang sekarang terjadi adalah sepertinya ada orang-orang yang tahu apa yang aku dan Mira kerjakan, entah bagaimana awalnya, tapi seringkali kusadari pandangan diam-diam, kadang juga berbisik-bisik dari orang lain saat aku berjalan atau kuliah, yang nekat akan bertanya langsung, sekedar ingin tahu, atau kadang lebih dari itu. Kadang ga masalah, tapi kadang juga bikin jengkel.

Untuk orang disampingku ini, aku belum bisa menilai - dia ga kelihatan berbahaya, dia lebih tinggi dari aku, badan tegap, rambut hitam dipotong pendek, tapi selain itu dia ga kelihatan terlalu aneh.

Setelah lima puluh meter dia masih diam saja, aku memutuskan untuk berhenti.

"Kamu butuh sesuatu?" Aku bertanya.

"Kamu Yohan Wahyudi, kan?"

Aku mengangguk.

Dia ragu-ragu.

"Ada yang bisa aku bantu?"

"Ini.. yah, gimana ya ngomongnya. Pacarku bilang aku harus nyari kamu, tapi sekarang sudah ketemu di sini malah bingung, bro."

"Apa ini soal yang aku kerjakan?" Aku bilang. "Website?"

"Kurang lebih," katanya. Dia menoleh ke arah lain, kelihatan sangat gugup. Aku ga punya waktu untuk ini, aku harus masuk kelas lima menit lagi.

"Kami belum butuh pelukis untuk saat ini," kataku. "Tapi kalau mau tinggalin aja kontakmu, nanti kalau butuh aku hubungi."

"Bukan itu," katanya, dan menarik napas dalam-dalam agar lebih tenang.

"Cindy - dia pacarku – dia yang ngasih tahu tentang apa yang kalian kerjakan. Dia kenal Mira beberapa tahun yang lalu. Dia pikir ..." Dia menarik napas dalam lagi. "Dia pingin tahu apa kalian butuh model."

"Model?" Aku bilang, kaget. "Model apa?" Aku memandangnya sekilas dari atas ke bawah. Badannya kekar, bahunya lebar dan ramping. Tapi aku belum yakin apa kami perlu model untuk lukisan kami.

"Cindy dan aku, kami sedang nabung untuk biaya nikah, tapi belum cukup, dan dia pikir siapa tahu kalau kalian butuh model untuk digambar, difoto, film, atau yang lain. Dia bilang dia mau ngelakuin apa aja yang dibutuhin, dan rasanya aku juga mau, jadi... " Dia terus bicara tanpa jeda, wajahnya sedikit merah saat bicara.

"Wow, hei, hei, tunggu dulu," kataku, lalu, "Aku ga tahu, bung." Aku mengangkat tanganku saat wajahnya terlihat kecewa. "Bukan, maksudku bukan ga mau, tapi aku harus diskusi dulu soal ini sama Mira, tahu kan maksudku? Dan mungkin kami harus ketemu dengan kalian berdua dulu, baru kita lihat nantinya gimana. Yang kami lakukan bukan sesuatu yang bisa dipahami semua orang, ngerti kan? "

Dia mengangguk. "Kami sudah lihat website kalian. Kami berdua sudah punya gambaran soal apa yang kalian lakukan, tapi kami ga keberatan soal itu. Kalian hebat," tambahnya.

"Gini aja deh, nanti malam aku ngobrol dl sama Mira terus lihat dia bilang apa. Kalian ada nomor yang bisa dihubungi?"

"Ada satu nomor buat kami berdua. Kami tinggal bareng di kost kecil, tapi sewanya murah dan kami berusaha hemat yang bisa dihemat."

Dia menyebutkan nomornya dan kutulis di lenganku.

"Nanti aku hubungi," kataku sambil mengulurkan tanganku. Dia menyambutnya dengan bersemangat, setengah meremas, lalu kelihatan malu lagi dan berbalik lalu menjauh. Aku mengamatinya lagi saat dia pergi, lalu sadar dia belum menyebutkan namanya, jadi aku memanggil, "Hei, bro, namamu siapa?"

Dia berhenti dan berbalik. "John," katanya, dan berjalan. Aku menulis nama di bawah nomornya dan berlari menuju ke kelas.

Aku sampai di apartment, sekitar jam tujuh lewat dan aku sudah lupa soal pertemuan dengan John tadi siang. Mira bikin salad, dan selesai tepat saat aku datang. Aku langsung duduk di meja dapur besar, dia duduk di seberangku, kami ngobrol sambil makan.

Setelah itu kami membersihkan meja dan karena Mira yang masak, aku yang mencuci piring. Aku menggulung lengan bajuku untuk mencuci piring, dan saat Mira datang membawa piring kotor dia bilang, "Ada yang mau kencan nih?"

"Kencan?"

"Nomornya, di lenganmu," dia menunjuk.

Aku melihat ke bawah dan ingat. "Oh ya, itu. Bukan, bukan kencan. Ketemu orang pas dari kantin tadi siang."

Aku menceritakan pada Mira tentang John dan Cindy. Setelah selesai cerita, aku menutup dengan bilang. "Aku benar-benar lupa soal dia, tapi menurutku mungkin itu bukan ide yang jelek. Kita ga bisa terus-terusan pakai cara lama, model baru mungkin bisa bikin penyegaran."

Mira sepertinya memikirkannya.

"Meraka kayak apa?"

"Dia sepertinya oke. Rasanya akan bagus kalau digambar, tapi aku belum ketemu pacarnya."

"Gimana kalau dia ga bagus?"

Aku mengangkat bahu. "Aku ga janji apa-apa ke dia, Mir. Kita masih bisa tolak kalau mereka ga cocok."

Dia menghela nafas. "Ya Tuhan, aku ga bisa untuk bikin keputusan semacam ini. Selama ini lebih kayak hal pribadi, paham kan? Aku cuma mau bikin gambar foto-foto erotis terus dijual."

Dia kelihatan sedih hingga aku lalu memeluknya.

"Gini aja," kataku. "Besok malam kita suruh mereka berdua kesini. Kita ajak mereka makan malam terus kita lihat mereka seperti apa. Kalau kita ga suka mereka, ga cocok, aneh, atau terlalu jelek kita ga usah lanjutin. Itu aja, Mir. "

Aku merasa dia mengangguk.

"Jadi, boleh aku telepon dia?” Dia mengangguk dan menjauh dariku. "Oke. Mungkin aku yang terlalu sensitif, Yo. Ini semua ideku dari awal. Ga ada gunanya ngeluh karena itu sekarang."

"Dan uangnya datang," kataku.

"Oh ya, ngomong-ngomong soal itu, aku sudah pikirin sesuatu" jawab Mira. "Kita sudah menghasilkan lebih dari 300 juta sejak kita mulai. Rasanya bisnis berubah jadi makin serius. Menurutku kita juga perlu bantuan ngelola ini."

Aku mengangguk. "Betul juga sih. Aku ga suka ngurusin uang, kamu tahu itu."

"Aku akan coba tanya-tanya," katanya. "Pasti ada orang di Business School yang mau sedikit uang tambahan."

"Aku sudah mikirin sisi IT juga, Mir," kataku. "Ilmuku sudah ga cukup lagi sekarang, aku juga udah malas googling lagi, ga terlalu berminat ke situ soalnya. Gimana kalau kita juga tanya-tanya dan cari apa ada yang mau bantu soal itu juga ? "

Dia mengangguk dan berbalik. "Aku mau bikin sketsa."

Aku melihatnya berjalan melintasi ruangan dan turun ke area kerja, mengagumi cara pantatnya bergerak di dalam celana jinsnya, lalu kugelengkan kepala menghilangkan pikiran-pikiran buruk di kepalaku dan menelepon John.

Malam berikutnya hujan, tapi mereka datang lebih awal dari seharusnya, bersemangat tapi malu-malu, aku menjabat tangan mereka. Mira masih di dapur dan dia setengah berbalik dan menyapa "Hai," lalu kembali ke masakannya.

"Minum?" Tanyaku, mengantarkan mereka ke meja dapur besar. "Teh, kopi, bir, anggur, supaya lebih hangat."

"Bir boleh," kata John.

Aku memandangi Cindy menunggu jawabannya.

"Anggur?" Sepertinya dia ga yakin, tapi terlalu penasaran untuk melewatkan tawaran.

"Merah atau Putih?"

"Putih?"

Aku mengambilkan minuman mereka, menuang segelas anggur putih untukku sendiri, segelas lagi lalu meletakkannya di samping Mira, memastikan dia melihatnya agar ga tersenggol saat dia memasak, lalu duduk di meja.

John menerima botol bir dan duduk di kursinya, tampak santai. Cindy memegang gelasnya dengan kedua tangan, duduk condong ke depan dan tampak gugup. Aku mencoba memulai obrolan ringan, tapi aku ga terlalu sukses soal itu, dan setelah beberapa menit aku bangkit dan menyalakan musik.

Ketika aku kembali di meja, Cindy minum seteguk minumannya dan bahunya sepertinya sedikit rileks.

Aku menatap matanya, menunggu sampai dia menatap balik mataku, dan bilang, "Apa kamu ga masalah soal ini, Cindy? John bilang kamu ga masalah, tapi kami mau tahu dari kamu sendiri."

Dia tersenyum setengah. "Aku ga masalah," katanya, "Aku cuma gugup, mungkin."

"Asal tahu aja, ga ada tekanan di sini."

Dia mengangguk dan minum lagi. Aku memperhatikannya sejenak, kagum pada penampilannya. Dia adalah salah satu makhluk paling seksi yang pernah kulihat. Sangat jarang menemukan seseorang seperti Cindy - mereka sama sekali ga sadar getaran yang mereka buat, tapi dia memancarkan sex appeal ke sekitarnya. Tingginya mungkin beberapa centi lebih pendek dari Mira. Rambutnya hitam agak pucat secara alami dan dipotong pendek menunjukkan telinganya, lebih panjang di bagian atas tapi dipotong rapi seleher.

Matanya besar, dengan bulu mata pucat panjang. Alisnya tipis dan melengkung. Hidung mungil yang mancung berada di atas mulut lebar dan bibir penuh, dan dagunya membingkai semuanya dengan indah. Dia memiliki leher panjang anggun yang seperti tenggelam di dalam sweaternya.

Sulit untuk bilang seperti apa tubuhnya karena sweaternya kebesaran dan longgar. Ada beberapa lekukan yang tampak, tapi ga mungkin untuk mengambarkan bentuk sebenarnya. Dia memakai jeans biru pudar yang menempel erat di pinggul dan kakinya.

Secara keseluruhan dia memancarkan sensualitas, tapi aku yakin dia ga sadar itu, dan ketidaktahuannya itu yang membuatnya makin seksi. Menurutku, John, adalah pria yang sangat beruntung.

"Ini sebenarnya ide Cindy," kata John, aku kaget dan sadar aku sudah menatap Cindy terlalu lama.

"Kami sudah kenal beberapa lama. Enam tahun, mungkin, ya?" Dia memandang Cindy untuk konfirmasi dan dia mengangguk. "Dan aku bilang ke Cindy kalau dia terlalu cantik untuk disimpan buat aku sendiri dan kita harus melakukan sesuatu agar semua orang bisa lihat. Awalnya kupikir dia akan marah, tapi dia bilang sesuatu yang sangat.. liar. Bilang ke Yohan apa yang kau bilang ke aku, Cin. "

Cindy menunduk melihat ke gelasnya dan kupikir dia ga akan ngomong, lalu dia bilang, dengan sangat pelan. "Aku bilang aku akan merasa terangsang kalau seseorang memandanginya."

John tertawa dan menghabiskan birnya. Aku bangkit dan membuka botol lain untuknya.

"Kupikir dia becanda," lanjutnya, "Tapi dia bilang ga, dia benar-benar terangsang oleh pikiran seseorang sedang memandanginya. Jadi kita sedikit ngobrol, memperjelas apa yang dia maksud, tapi kami belum melakukan apa-apa soal itu sebelumnya. Lalu saat aku dengar soal kalian, yah ... "dia mengangkat bahu.

Mira sudah selesai memasak dan mulai menumpuk makanan di atas meja dalam mangkuk putih besar. Sayur, ayam, mie, aneka saus. Dia menaruh botol anggur yang setengah kosong di atas meja dengan botol yang belum dibuka.

"Silahkan," katanya. Mereka menurut dan mulai makan.

Setelah kami mengisi piring, Mira bilang, "Jadi kamu benar-benar ga keberatan kami foto?"

Cindy menggelengkan kepalanya. "Seperti kata John - aku pikir aku ga keberatan ngelakuin apa aja."

Mira mengangguk dan menatapku. Aku mengangguk sedikit, tapi kami belum sampai di sana.

Percakapan pindah ke topik yang lebih santai dan kami tahu bahwa mereka berdua berasal dari Sulawesi, mereka pacaran sejak SMA dan ga mau pisah sehingga kuliah di kampus yang sama. Mereka ingin menikah, tetapi uang sangat terbatas. Tampaknya kedua orang tua mereka sudah meninggal, atau bukan keluarga mampu, mereka ga cerita jelas soal itu, tapi apa pun yang sebenarnya ga ada yang bisa membantu mereka soal keuangan.

John kuliah Jurnalisme dan Cindy Akuntansi. Kami makan, sambil saling mengenal satu sama lain. Aku membuka botol anggur kedua, lalu yang lain saat John mulai meminumnya juga.

Kami meninggalkan piring di atas meja dan aku mengarahkan mereka ke sofa, menarik kursi dan duduk di samping.

Mira datang dengan kameranya dan bilang, "Apa kalian keberatan kalau aku mengambil beberapa foto? Hanya untuk lihat seperti apa kamu dikamera?"

Mereka berdua cukup santai sekarang dan tertawa. "Apa kamu mau kami telanjang juga?"

"Kalau kamu mau," kata Mira.

Mereka terus tersenyum, ga terpengaruh.

"Kami perlu tahu kalau kalian ga punya tato atau tindikan yang aneh atau apa pun. Atau bekas luka di suatu tempat," kata Mira.

"Ga ada yang seperti itu," kata John, tertawa lagi, dan berdiri. Tanpa ragu dia menarik kausnya ke atas kepalanya. Aku mendengar Mira memotret saat tubuhnya terlihat. Layak untuk mengambil beberapa foto sejak awal dia menanggalkan pakaiannya sehingga kami bisa mempelajarinya di semua tahap nanti.

Cindy menirunya dan mengulangi gerakan pacarnya, menarik sweaternya yang kebesaran ke atas kepalanya. Payudaranya besar dan bulat, mengisi bra putih ketat yang sepertinya didesain lebih untuk menahan berat daripada untuk memperindah penampilan.

John melepas sabuknya dan menarik ritsleting celana jinsnya. Cindy mengikutinya.

John hanya memakai celana dalam abu-abu, Cindy bra dan celana dalam putih yang senada. Mereka berdua tampak benar-benar ga canggung membuka pakaian di depan kami, atau saat Mira merekam setiap apa yang mereka lakukan dengan kameranya.

John menyelipkan jempolnya ke pinggang celana dalamnya dan Mira bilang, "Ga perlu diterusin kalau kamu ga mau. Rasanya kita semua sudah tahu kalau kalian bersedia ngelakuin semua."

John tertawa dan menurunkan celana dalamnya. "Tenang aja. Lagipula, siapa tahu aku mungkin punya cincin di penisku."

Dia berdiri tegak dan aku mendengar Mira terkesiap dan berbisik, "Fuck!"

Dia punya penis terbesar yang pernah kulihat. Itu belum ereksi penuh, tapi panjangnya sekitar limabelas centi dan tergantung di antara kedua kakinya, berayun sedikit saat dia berdiri tegak. Dia menatap dirinya sendiri dan menyeringai, "Oh, ya, mungkin aku seharusnya bilang dulu soal itu sebelumnya."

Aku menatap, lalu memaksakan diri untuk berpaling agar ga terjadi salah paham. Mira selalu bilang ke semua orang bahwa aku gay, dan aku ga mau ada yang merasa ga nyaman.

Cindy meraih ke belakang dan membuka kait bra-nya, lalu menarik branya lepas dari payudaranya. Mereka berayun bebas dan bergoyang, besar dan padat, melengkung tajam ke atas perutnya, meruncing ke putingnya. Dia punya aureola yang sangat besar, tapi berwarna pucat dan hampir ga bisa dibedakan dari kulit payudaranya. Putingnya besar, merah muda dan mengerut. Pembuluh darah biru pucat terlihat melalui kulit halus di sepanjang sisi melengkung yang penuh.

Dia mencondongkan tubuh ke depan dan payudaranya bergoyang saat dia melepas celana dalamnya. Dia menegakkan tubuh, menunjukkan pada kami vaginanya yang sempurna, kaki sedikit terbuka seolah-olah agar kami bisa melihat lebih jelas. Rambut kemaluannya dipotong rapi tapi ga dicukur bersih. Bibir luar vaginanya sangat penuh sehingga celah di antaranya terlihat kencang. Dia berbalik untuk memperlihatkan pantatnya, lalu berbalik. Dia adalah paket yang sulit dipercaya.

"Jadi, itu bisa sampai seberapa besar?" Kataku.

John melihat ke bawah, mengayunkan pinggulnya sehingga kemaluannya bergerak. "Sekitar dua puluh centi."

"Dua pulih tiga," kata Cindy. "Aku mengukurnya minggu lalu."

"Ya, benar," John tertawa. Cindy tersenyum malu-malu. "Saat ereksi, diameternya juga tebal. Terlalu tebal buat beberapa hal yang ingin kami lakukan."

"Jadi," kata John. "Apa kami lulus audisi? Atau kami perlu bersetubuh didepan kalian? Cindy akan suka." Dia meliriknya dan Cindy melihat ke bawah, tersipu tetapi ga bilang apa-apa.

"Ga perlu," kataku. "Kita simpan itu buat nanti kalau kalian datang lagi."

John mengangkat bahu. "Oke. Tapi kami akan lakuin kalau kamu mau."

"Kalian bisa berpakaian sekarang," kata Mira.

Wajah John tampak kecewa saat mendengar Mira, dan Mira sadar dia terdengar kejam dan melanjutkan, "Maaf John, Cindy, itu salah. Aku cuma pikir kalian akan lebih nyaman kalau berpakaian. Kami pasti mau pakai kalian, kalau kalian masih mau."

John menyeringai dan Cindy tersenyum. "Bagus," katanya. Cindy mengangguk.

Mereka mulai memakai baju mereka lagi dengan cepat. Cindy tidak memakai bra-nya dan memasukkannya ke tas bahu.

"Kapan kalian mau kami mulai?" Tanya John.

"Weekend ini?" Aku bilang. "Sabtu atau Minggu, yang kalian bisa."

"Sabtu," kata Cindy. "Sabtu lebih bagus."

Aku mengangguk. "Oke."

"Kita belum bicara soal uang," kata Mira. "Apa kalian ga ingin tahu kami akan bayar kalian berapa?"

"Tentu," kata John. Dia berusaha terlihat tenang soal itu, tetapi uang jelas tujuan mereka kesini.

"Gimana kalau lima juta?" Kata Mira.

"Lima juta? Pasti oke lah!" Kata John, dan Cindy menyeringai dan mengangguk. "Kami akan lakuin apa aja dengan harga lima juta."

"Kita juga harus bicarain soal itu," kata Mira. "Kami cuma mau kalian lakukan apa pun yang kalian nyaman."

Mereka berdua mengangguk.

"Jadi, kalau ada sesuatu yang kamu ingin lakukan, atau ga ingin lakukan, bilang saja."

"Hei, kami ga masalah dengan apapun," kata John.

"Oral?" Mira bertanya.

Kali ini Cindy yang mengangguk dan menjawab, "Bisa." Dia tampaknya lebih percaya diri sekarang dan melanjutkan, "Aku ga masalah soal oral dengan John. Dan seks, pasti kalian akan minta kami untuk berhubungan badan kan. Kami berdua juga mau anal kalau kalian butuh, meskipun jujur itu sulit karena John agak kebesaran."

Mira hanya mengangguk dan aku berdehem lalu bilang, "Kita akan lihat seperti apa hari Sabtu, oke?"

"Oke," kata Cindy, dan dia menoleh ke John dan bilang, "Dan kami ga akan berhubungan badan sampai saat itu, jadi kamu punya kesempatan menyimpan sperma untuk pertunjukan nanti, deal? "

John mengangkat bahu, "Sepertinya harus gitu."

Sabtu masih dua hari lagi, dan aku jadi mengira-ngira seberapa sering mereka melakukan seks. Tapi kalau Cindy pacarku, aku mungkin akan menyetubuhinya empat kali sehari.

Kami sepakat mereka akan datang lagi hari Sabtu jam 2 siang, tapi seperti yang lalu mereka datang lebih awal. Mira dan aku sudah menyusun beberapa alur cerita karena kami mau urutannya adegannya seolah-olah menceritakan sesuatu. Mira juga belanja dan beli baju baru untuk mereka masing-masing.

Setelah berkonsultasi dengan Mira, kami membeli sebuah camcorder digital baru untuk ini. Kamera foto kami tidak bermasalah, tapi kami berdua sadar bahwa kami sering kehilangan gambar potensial karena kami mengandalkan penilaian kami sendiri saat menekan tombol foto. Camcorder akan merekam semuanya, ga perlu yang beresolusi tinggi, tapi untuk keperluan kami asal bisa merekam semua momen sudah cukup.

Kami berempat duduk di meja dapur dan kami menceritakan beberapa ide cerita yang kami punya pada mereka dan menjelaskan apa yang kami mau.

"Kita akan buat seolah-olah kalian baru pulang. Pura-puranya kalian tinggal di sini," kataku.

Cindy memandang berkeliling dengan pandangan berharap dan John bilang, "Keren."

"Mira punya beberapa pakaian yang kami ingin kalian pakai. Memang cukup mewah, tapi pakaian ini akan membantu menonjolkan sosokmu agar sesuai plot cerita."

Mereka berdua mengangguk.

"Nanti kalian pulang dan mulai berciuman, bermesraan," kataku. "Kalian jalan ke arah ke sofa dan John mulai membuka pakaian Cindy, tapi jangan semua, sisakan pakaian dalam biar kontrasnya lebih seksi antara apa yang kelihatan dan yang tertutup pakaian."

"Dan setelah itu pindah ke kamar Yohan," kata Mira. "Mira bisa berlutut dan mulai membuka celana John lalu melakukan oral. Tapi kamu jangan sampai ejakulasi, John."

"Sial," katanya, dan nyengir.

"Kalau kamu sudah hampir ejakulasi, beri tahu kami," kataku. "Semburan ejakulasi harus direkam dan difoto dengan baik. Aku tahu itu ga terlalu romantis, tapi untuk keperluan dokumentasi kita itu harus dilakukan dengan benar. Jadi kalau kamu sudah merasakan bilang aja, nanti akan kita beritahu apa yang harus dilakukan."

"Dan kamu ga boleh ejakulasi di dalam Cindy, kita ga bisa merekamnya di film," kata Mira.

"Kamu bisa cum di wajahku," kata Cindy. "Kamu tahu aku suka itu kan."

John mengangguk.

Aku menelan ludah. Ngomong soal ini saja membuat penisku mengeras.

"Akan lebih baik kalau Cindy yang bikin kamu ejakulasi," kataku. "Itu akan terlihat lebih baik daripada kalau kamu sendiri yang masturbasi di depan Cindy."

John menyeringai dan mengangguk, "Aku setuju aja."

Mira menyerahkan pada mereka kantong kertas berisi pakaian mereka. "Kamu bisa ganti pakaian di kamarku kalau kamu mau. Tapi jangan mulai apa pun tanpa kita."

Mereka menyeringai dan membawa tas-tas itu ke kamar Mira, tanpa repot-repot menutup pintu. Mungkin karena kami sudah pernah lihat mereka berdua telanjang, jadi mereka tampaknya sama sekali ga keberatan kami tahu apa yang mereka lakukan. Aku bisa dengar mereka ngobrol pelan saat Cindy sepertinya sedang mengarahkan John tentang gimana adegan nanti akan dilakukan.

Aku menatap Mira dan dia tersenyum padaku. "Ini sesuatu yang baru, ya?" dia bilang. "Kamu setuju dengan ini?"

Aku mengangguk.

"Kamu yang pegang kamera ya. Kamu lebih jago dari aku. Aku akan duduk di kursi belakang, awasi jangan sampai mereka terbawa suasana atau keluar dari skenario."

Aku mengangguk lagi dan pergi untuk menyiapkan peralatan. Aku mengeluarkan memori card lama dari kamera dan memasukkan memori card 16 gb baru, cukup besar untuk menyimpan rekaman film lebih dari satu jam.

John dan Cindy sudah selesai ganti pakaian. Mira sudah menunjukkan pakaian baru itu semalam. Dia beli celana pendek ketat untuk John yang akan menggantikan fungsi celana dalamnya, celana katun longgar, sepatu, kemeja biru dan jaket linen longgar. Untuk Cindy, ada bra dan celana dalam yang berwarna biru muda, terbuat dari nilon tipis yang akan tampak semi-transparan. Gaun pendek yang berkancing di bagian depan sebagai pakaian luarnya, tapi Mira juga beli stocking dan garter belt, juga sepatu dengan hak runcing setinggi lima centi. Seluruh perlengkapan itu sendiri menghabiskan biaya tiga juta, tapi semua itu akan sesuai dengan tema yang kami siapkan.

"Kalian berdua kelihatan cocok," kata Mira.

John menyeringai. "Aku ga pernah merasa begitu keren," katanya.

"Dan aku merasa kayak pegawai kantoran... kayak seorang Akuntan," kata Cindy. "Dan benar-benar seksi. Aku suka stocking ini, Mira. Aku suka banget."

John mengangguk. "Aku juga suka lihat dia pakai baju itu."

"Bagus. Kalian tahu kan setelah selesai nanti kalian bisa simpan bajunya?"

Mata Cindy melebar. "Apa?"

"Yah, semua itu ga akan cukup untuk aku atau Yohan, jadi barang-barang itu buat kalian."

Cindy tampak terharu dan matanya agak berkaca-kaca. Dia mendatangi kami, sedikit sempoyongan karena ga biasa pakai highheels, lalu memeluk Mira dan aku.

"Oke, kita mulai sekarang" kataku. "Kami akan mencoba dan menghindar sejauh yang kami bisa. Mira akan duduk di pojok sana, aku akan mengambil gambar dari dekat, tapi kucoba untuk ga ganggu sebisaku. Kalian mulai dari luar lalu masuk. Sudah tahu apa yang kami mau?"

Mereka berdua mengangguk.

"Ayo kita mulai," kataku.

Mira duduk di salah satu sofa baru kami. Aku memeriksa ulang baterainya terisi dan semuanya sudah siap, merekam Mira selama lima detik dan memeriksa rekamannya lalu mengangguk. Aku berdiri di samping pintu dan saat mereka masuk, bergandengan tangan, mulai merekam mereka. Ini adalah pertama kalinya aku mencoba jadi kameraman seperti ini, dan aku yakin pasti hasilnya ga bagus, tapi untuk kebutuhan kami, seharusnya sudah cukup.

Ketika mereka melewati pintu, John mendorong pintunya sampai tertutup dengan pinggulnya lalu menyelipkan lengannya di pinggang Cindy dari belakang lalu menariknya kearahnya.

"Malam ini luar biasa," katanya.

Cindy mengangguk dan memutar badannya untuk mencium bibir John, melingkarkan tangannya di leher John. "Dan malam ini belum berakhir," katanya saat mereka berpisah.

Sepertinya mereka sudah melakukan sedikit improvisasi dan melatih percakapan itu diantara mereka sendiri, karena kami sebenarnya ga menyiapkan teks percakapan karena toh ga akan terekam untuk keperluan gambar kami. Tapi sekarang mereka memakai percakapan itu untuk masuk ke suasana yang kami inginkan.

John membelai punggung Cindy dan berhenti di lekuk pantatnya. Mereka berciuman lagi dan aku bergerak saat tangan Cindy menuruni perut John menuju tonjolan di celananya.

Saat mereka berpisah, Cindy meraih tangan John dan menariknya ke arah sofa, tapi mereka ga duduk. Mereka berpelukan dan berciuman lagi, dan sekarang John mulai membuka kancing atas gaun Cindy. Cindy mendongakkan kepalanya ke belakang, memamerkan lehernya yang panjang dan memungkinkan aku untuk mendapatkan sudut yang lebih jelas kearah tangan John yang membuka kancing-kancing pakaian Cindy, melihat bra-nya muncul dan bulatan penuh payudaranya tertangkup di dalam bra yang agak terlalu kecil.

Ketika lima kancing terbuka, John menyelipkan tangannya ke dalam gaun dan mulai membelai payudaranya dari luar kain tipis branya, sambil berciuman. Lalu dia mengeluarkan satu payudara membuatnya bebas dan terlihat jelas, John berlanjut menarik-narik putingnya, membuatnya mengeras dan menonjol. Cindy menggeram dalam-dalam di tenggorokannya dan tangannya turun ke resliting celana John dan mulai membukanya.

Aku terus merekam saat John membelai dada Cindy lalu fokus turun ke selangkangannya saat Cindy mulai melepaskan ikat pinggangnya.

Mira berjalan mendekat dan bilang, sepelan mungkin, "Bergerak ke kamar tidur dulu."

Mereka berhenti dan memandangnya lalu mengangguk, tersenyum, ga secara langsung mengikuti instruksi.

Cindy memandangi mata John dan meraih tangannya, menariknya ke kamar Mira yang sudah kami siapkan sebelumnya. Aku merekam mereka bergerak, mengikuti mereka dan melanjutkan rekaman saat Cindy berbaring di tempat tidur, gaunnya tertarik ke pahanya, memperlihatkan bagian atas stokingnya dan garis-garis biru tipis dari garter belt yang terkait dengan stocking.

John berdiri di samping tempat tidur dan Cindy berbalik lalu mulai membuka ikat pinggangnya lagi, dan berlanjut dalam usaha membuka celananya.

Aku pindah ke sisi lain, lalu berlutut di tempat tidur untuk mendapatkan sudut yang lebih baik dan bilang, "Gapapa kan kalau aku di sini?" Aku ga mau mengalihkan perhatian mereka atau menganggu aksi mereka.

Cindy menoleh dari balik bahunya padaku, tersenyum. "Kami ga masalah," katanya, dan memperhatikan lagi pacarnya. Dia mulai menurunkan celana John, gundukan besar di celana pendeknya perlahan tampak. Tarikan terakhir membuat celananya jatuh ke pergelangan kakinya dan lalu Cindy mencondongkan tubuh kedepan dan mulai mencium batang kemaluan John dari luar celana pendeknya. John mengerang dan mendorong pinggulnya kedepan untuk menyambut. Cindy melanjutkan usahanaya dan tidak butuh waktu lama kepala kemaluannya keluar dari kaki celana pendeknya dan segera dibungkus oleh jari-jari Cindy.

Aku memfilmkan setiap tahap, berlutut sejajar dengan Cindy, dekat tapi hati-hati agar ga menyentuh atau mengalihkan perhatiannya.

Mira sudah masuk ke kamar dan sedang duduk di kursi lipat bersandaran lurus di satu dinding, tangan di atas lutut, mengawasi.

Aku mencoba jadi profesional tentang apa yang terjadi saat ini, tapi aku belum terbiasa dengan hal ini, dan kurasakan penisku sendiri mengeliat di dalam celanaku.

"Buka," kataku pada Cindy, "Turunkan celananya dan biarkan kemaluannya keluar."

Dia tersenyum dan menarik-narik pinggang celana pendek John. Ketika celananya mencapai pahanya, penisnya muncul dan aku sadar dia sudah cukur rambut kemaluannya, dan aku jadi membayangkan apa Cindy juga ngelakuin hal yang sama.

Saat celana pendek John ditarik ke bawah, kemaluannya tersentak bebas. Luar biasa besar, dan aku bisa percaya dengan mudah saat Cindy bilang panjangnya 23 centi.

Cindy mengarahkan tangannya ke batang kemaluan John dan mulai mengurutnya lembut, lalu membungkuk dan memberikan ciuman di sepanjang batang pacarnya.

Aku turun dari tempat tidur dan bergeser untuk mengambil gambar dari samping, berlutut di dekat mereka, mencium aroma seks diantara mereka.

Cindy mengangkat penis John dan menyelipkan bagian kepala ke dalam mulutnya. Bibirnya yang penuh menutup di sekitar kepala jamur yang membengkak dan dengan lembut mulai membuatnya keluar masuk di antara bibirnya.

"Jangan bikin dia ejakulasi dulu," kataku.

Cindy tersenyum saat penis memenuhi bibirnya lalu mengeluarkannya dari mulut dan bilang, "Dia belum akan ejakulasi." Lalu dia memasukkannya lagi ke dalam, lebih dalam dari sebelumnya, hingga mulutnya tak mampu lagi menelan lebih banyak tapi hampir setengah kemaluan John tetap terlihat.

Aku baru mau bilang agar mereka pindah saat Cindy menarik kepalanya kebelakang untuk mengeluarkan penis yang berkilauan karena air liurnya, membuatku harus mengabadikan momen itu dan menekan zoom saat jejak air liur tergantung di antara kepala penis dan bibir bawahnya sebelum hilang. Dia berguling kebelakang dan John naik ke tempat tidur, mulai mencium bagian dalam paha Cindy, mendorong gaunnya ke atas untuk memperlihatkan celana dalam dan garter belt. Cindy memakai celana dalam di atas garter sehingga dia bisa melepasnya tanpa harus membuka semuanya.

John membuka kancing bagian bawah gaun Cindy dan menyingkapnya ke samping, mencium dan menjilat bagian dalam pahanya dan Cindy berbaring pasrah membiarkannya, mengangkat lututnya dan melebarkan kakinya. Dia mengangkat kaki kirinya, yang jauh dariku, dan meletakkannya di atas bahu John tepat saat dia mengeser celana dalam Cindy ke satu sisi menunjukkan bibir vaginanya yang montok dan berkilau. Tidak seperti bayanganku, Cindy masih punya seberkas rambut kemaluan di sekitar kemaluannya.

John menjilat di sepanjang lembah tengah vaginanya, lalu mendorong satu jari masuk ke dalam, menggerakannya keluar-masuk, membasahi tangannya dengan cairan vagina Cindy dan mengoleskannya di klitorisnya.

Cindy mengangkat pinggulnya dan menarik celana dalamnya ke bawah. John membantu dan menariknya sampai mengantung di pergelangan kaki kanannya. Payudara besar Cindy terkurung erat di dalam bra, dan aku tahu Mira sengaja membelinya dengan ukuran cup yang kekecilan. Bulatan payudaranya seperti hampir melompat keluar, dan bagian atas areolanya yang pucat terlihat, satu puting bahkan terbebas dan berdiri dengan keras dan tegak tepat di atas kain biru muda.

Mereka setengah telanjang sekarang dan aku bergerak ke sana kemari, memfilmkan mereka dari sudut yang berbeda saat Cindy berbaring telentang dan membuka kancing baju John lalu melepaskan dari bahunya. John berjongkok di atas Cindy, kemaluannya yang besar bergoyang saat dia mencium payudara kekasihnya dan membelai mereka. Lalu dia meraih ke punggung dan membuka kancing bra, membiarkan payudaranya bebas. Cindy berbaring, hanya memakai garter belt dan stocking dan John menurunkan tubuhnya, menciumi lalu membenamkan wajahnya di vaginanya.

Aku bergerak mendekat, mencoba merekam aksi mereka dan mereka setengah menyamping ke arahku untuk membuatnya lebih jelas. Aku jadi sadar adanya aroma yang kuat dari vagina Cindy dan payudaranya berada dekat dengan lenganku, wajahnya di dekat wajahku, begitu dekat hingga aku bisa merasakan napasnya meniup rambutku saat dia terengah-engah.

Kucoba konsentrasi ke layar kamera, tapi ini bukan lagi seperti bikin film, ini mulai mempengaruhiku terlalu jauh. Aku melirik Mira sekilas, melihat dia duduk condong ke depan, wajahnya memerah, kulit dada yang tampak dari leher kausnya juga berwarna merah muda. Putingnya membentuk tonjolan di kaus putih tipis yang dipakainya.

"Yo," Cindy memanggil setengah mendesah, mengembalikan fokusku ke aksi mereka.

"Ya, kamu gapapa?"

"Oh, gapapa kok," jawabnya, dan tertawa pelan. "Cuma, apa sekarang aku sudah boleh orgasme?"

Dia menatapku, wajahnya dipenuhi keringat, pupil matanya besar, dan aku mengangguk.

"Boleh."

Dia tersenyum dan kepalanya terdongak ke belakang, mulutnya terbuka saat John terus bekerja di vaginanya dengan lidah dan jarinya.

Cindy meremas payudaranya, menarik putingnya, dan mengangkat pinggulnya ke atas, menempelkan kemaluannya ke bibir John.

Aku bergerak mundur sedikit, merekam semua yang terjadi saat gerakan Cindy makin tidak beraturan, kakinya terangkat dan melilit bahu John saat dia bergetar dengan liar. Dia mendengus, mendorong ke mulut John, berteriak sekali lalu seluruh tubuhnya mengelinjang, payudaranya bergetar, mengejang. Lalu dia menghela nafas dalam-dalam dan ambruk lagi ke tempat tidur.

"Tunggu sebentar, istirahat dulu.." kata Cindy, masih terengah-engah.



Bersambung... Chapter.15
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd