Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT Sketsa

CHAPTER.16
SANG SEPUPU




"Kamu ga masalah kalau kami, emm, lihat kamu ngelakuin itu?"

"Ga masalah. Katanya, “Malah lebih bagus buat aku kalau kalian ngelihat. Kamu mau rekam sekalian? Pasti keren, kalau aku nonton film tentang aku yang sedang disetubuhi sambil masturbasi. Keren banget."

"Uh, ya, bisa, tapi-"

"Aku ga perlu dibayar atau apa pun," kata Cindy tiba-tiba, menyela Mira. "Lagian, aku yang akan dapat kesenangan lebih."

"Gimana dengan John?" Aku bertanya. "Apa yang dia pikirkan kalau tahu kamu ngelakuin itu di depan kami tanpa dia?"

Cindy tertawa. "John oke. Dia ga akan keberatan. Aku malah akan ceritain tentang semua ini pas aku sampai di rumah dan kami akan ML. Mungkin aku akan memompa penisnya sambil cerita."

Gadis ini luar biasa.

Kami minum anggur kami dalam diam, aku melirik Mira saat aku minum dan dia memandang balik lalu mengangkat alis.

Cindy berdiri dan meregangkan tubuh. "Bisa kamu ambilkan laptop buatku, Mir? Aku merasa sangat panas dan terangsang, aku akan meleleh kalau aku ga ngelakuin sesuatu," Dia mengulurkan tangannya ke bawah langsung diatas vaginanya dan menekan dengan jarinya. Lalu dia menatapku dan bilang, "Yohan - aku tahu aku bilang aku akan masturbasi sendiri, tapi apa kamu keberatan meniduriku?"

Aku merasakan mulutku ternganga, dan mendengar Mira tersedak saat sedang minum.

Cindy mengangkat bahunya dan tersenyum manis. "Tolong?"

"Tapi gimana dengan John? Aku ga mau..."

"John ga masalah dengan itu. Aku pernah bilang ke dia kalau aku mau bersetubuh sama kamu dan dia bilang oke. Kami berdua bebas seks dengan orang lain, tapi kami selalu saling cerita, kami selalu tanya dulu. John bisa lihat aku tertarik secara seks denganmu malam itu. Dan dia ga keberatan. "

"Eh, oke, ya, sepertinya gitu." Aku melirik Mira, yang sekarang sudah pulih, dan dia memandangi kami berdua dengan wajah memerah.

Cindy berjalan memutari meja dan memeluk bahuku. Aku meletakkan tanganku di pinggangnya, dia mendonggak dan mencium mulutku.

Saat ciuman kami terlepas, dia bilang, "Mm, enak. Aku selalu pingin ngelakuin itu begitu kita bertemu, bahkan ngelakuin lebih dari itu." Dia menekankan pinggulnya ke pinggulku, tersenyum. "Ya Tuhan, aku sangat terangsang. Apakah kamu keberatan kalau aku lakuin dengan cepat lalu kita lakuin lagi pelan-pelan?"

"Ga, terserah maumu, Cindy."

Dia menyeringai. "Oh, bagus. Karena aku mungkin mau banyak. Aku belum ngelakuin seks sejak Sabtu lalu disini. Dan sudah kutunggu-tunggu saat ini sama kamu."

Keterbukaannya luar biasa. Aku belum pernah mengalami hal seperti itu, dan bingung harus melakukan apa. Tapi Cindy meraih tanganku dan menarikku mengikutinya, menuju kamarku. Dia menoleh kebelakang menatap Mira dan bilang, "Kamu mau rekam ini, kan? Aku pasti mau nonton rekamannya juga."

Mira menaruh gelasnya di meja dan setengah berlari mengambil camcorder kecil, memeriksa baterai, mengganti kartu memori.

Cindy menuntunku ke kamarku dan menjatuhkan diri ke tempat tidur, masih berpakaian lengkap, dan menepuk kasur di sebelahnya.

"Ayo kita pura-pura remaja, Yo, bermesraan di ranjang terus kita terbawa suasana. Oke?"

"Kamu suka main peran?" Tanyaku, berbaring di sampingnya, tanganku di pinggangnya yang ramping.

"Aku suka seks," katanya, dan menarik kepalaku sampai mulut kami bertemu.

Meskipun dia sedang bergairah dan ingin menuntaskan dengan cepat, nyatanya dia sama sekali ga buru-buru. Kami berciuman cukup lama, menjelajahi mulut satu sama lain. Bibirnya terasa segar, lidahnya lincah di mulutku, membelit lidahku, menjilat semua tempat yang bisa dijangkaunya. Aku melepaskan ciuman dan berpindah ke wajahnya, telinga dan lehernya, menemukan titik-titik tertentu yang dia suka untuk dicium, berbeda dari wanita yang pernah kucium, keajaiban para wanita bahwa mereka semua unik, punya titik-titik sensitif masing-masing.

Kusentuh payudaranya dari luar baju dan bra-nya, membelainya, meletakkan tanganku yang lain di atas gundukan yang menonjol di bawah roknya dan menekankan jari-jariku disana, dia mengerang dan pinggulnya bergerak-gerak tak beraturan.

Cindy mengangkat kausku dan menyentuh perutku, tangannya yang lain menemukan gundukan di dalam celanaku dan mencengkeramnya, menelusuri dengan jari-jarinya dan dia tersenyum.

Dia menciumku lagi lalu menoleh melihat Mira, yang berjongkok dalam jarak beberapa meter dengan kamera di matanya. Dia bawa tripod dan SLR juga. Kami terus melihatnya saat dia memasang kamera video ke tripod dan mulai mengambil foto dengan kamera SLR.

Cindy menjilat leherku dan bilang, "Aku mau kamu bikin aku orgasme, Yohan. Kamu bisa kan ngelakuin itu buat aku, bebas dengan cara apapun kamu mau melakukannya."

"Hati-hati dengan apa yang kamu tawarkan," kataku, tersenyum.

Cindy menggelengkan kepalanya. "Ga. Apapun yang kamu mau."

"Aku akan menyetubuhimu dengan cara yang kamu setujui, Cindy," kataku. Pada saat yang sama aku sudah menarik kain halus roknya keatas sampai menunjukkan celana dalamnya. Bagian depannya terlihat noda basah yang besar. Aku membungkuk dan mencium kulitnya, mencium kulit halus tepat di pinggang celana dalamnya. Aku bisa mencium aroma seksnya, kuat dan jelas, dan aku mau mencicipinya tapi aku mau melakukan ini pelan-pelan.

Cindy berguling ke atasku. Aku menyelipkan tanganku ke pantatnya, di dalam celana dalamnya, merasakan kelembutan kulitnya, kekencangan bulatan pantatnya.

Cindy menjulurkan lidahnya di sela-sela bibirku dengan keras, berusaha mendorongnya sejauh mungkin ke mulutku dan aku mengangkat atasannya lalu mencengkeram payudaranya yang terperangkap dalam bra biru tua.

Dia mendorong tanganku menjauh, meluncur ke bawah dan mulai melepaskan sabukku, melepas kancing di perut dan perlahan-lahan menarik ritsletingku ke bawah. Celanaku longgar dan terbuka saat resletingku turun, memperlihatkan celana dalam katun. Penisku membentuk gundukan panjang, mengarah ke atas, dan Cindy mengelusnya, lalu menurunkan mulutnya dan menempatkan bibirnya di atasnya. Aku mengerang dan mendorong pinggulku ke arahnya, tapi dia mau aku sabar dan menarik kepalanya mundur sambil tersenyum.

Dia menoleh kearah Mira dan bilang, "Kamu sudah pernah lihat penis Yohan. Aku tahu kamu gay, tapi ini penis yang bagus, ya kan?"

"Lumayan," kata Mira.

"Kamu mau aku tunjukkin?" Cindy bertanya.

Mira mengangguk.

Cindy berbalik ke arahku, menarik celanaku ke bawah sampai berhenti di lututku. Lalu dia kembali keatas, jari-jarinya menelusuri pahaku, melayang di atas tonjolan bolaku, mengenggam batangku dan menggosokku dua kali. Celana dalamku di bagian kepala penisku punya noda basah yang besar karena cairan pelumasku dan Cindy membungkuk lalu menghisapnya, membuatnya noda basah semakin membesar.

Dia menyelipkan jari di karet pinggang dan perlahan-lahan menariknya. Ujung kemaluanku mulai terlihat, dan Cindy menoleh lagi ke Mira dan bilang, "Apa kamu merekam ini? Bisakah kamu lihat ujung penisnya?"

Mira mengangguk lagi dan Cindy terus menarik-narik, perlahan menunjukkan semakin banyak bagian batangku. Aku sudah lama tidak mencukur rambut kemaluanku, dan sekarang rambut keriting pendek mulai muncul dan terlihat.

Cindy membiarkan celana dalamku menyembunyikan pangkal penisku dan menyelipkan jari-jarinya di sekelilingnya. Dia menundukkan kepalanya dan kupikir dia akan mengoralku, tapi dia berhenti dan hanya menghirup dalam-dalam.

Dia menatapku. "Kamu berbau seks, Yohan."

"Masa?."

"Aku yakin aku juga."

"Aku ga akan tahu," kataku, dan dia menyeringai.

"Sebentar lagi kamu akan tahu, Yohan, janji." Lalu dia bilang, "Aku akan menghisap kemaluanmu sebentar."

Dia melirik Mira, memastikan dia memiliki sudut pandang yang bagus. Rambut pendek Cindy ga bisa menutupi apa yang dia lakukan dari kamera. Dia menurunkan mulutnya dan dengan sangat ringan meletakkan ujung penisku di antara bibirnya. Dia berhenti di sana, hanya lidahnya menjelajahi lubang kencing dan kepala penisku. Perlahan-lahan dia mendorong sedikit demi sedikit batangku untuk masuk ke dalam, merapatkan bibirnya erat-erat mengesek kulit penisku.

Tangan kanannya mencengkeram pangkal penisku, mulutnya perlahan-lahan turun untuk memasukkan lebih banyak dari penisku ke dalam. Dia sampai ke titik di mana dia ga bisa memasukkan lebih lagi, mendiamkan penisku di sana sesaat, lima belas centi penis di dalam mulutnya, lalu dia mulai perlahan-lahan menggerakkan kepalanya ke atas dan ke bawah, menggesekkan bibirnya ke penisku yang keluar masuk, sama seperti saat pertama masuk tadi. Aku memperhatikan penisku meluncur di antara bibirnya, berusaha keras untuk tidak cepat ejakulasi.

Dia melakukan itu selama lima menit, lalu mundur. Penisku berkilau dan licin dengan air liurnya. Dia menatapku dan bilang, "Aku mau kamu ejakulasi dimulutku, Yo. Apa aku melakukan sesaatu yang salah? Kenapa kamu belum keluar juga?"

"Ga ada yang salah," kataku. "Aku cuma belum akan keluar."

"Sial, ga mungkin kamu belum akan keluar," katanya.

Aku menarik celanaku lepas dari kakiku, dan lalu melepas kaosku.

Cindy mundur, memegang kemaluanku, licin karena air liurnya, dan memandang Mira. "Yohan punya penis yang indah. Gimana menurutmu, Mir?"

"Aku ga cocok jadi juri dan ngasih penilaian," kata Mira mendekat sambil membawa kamera, hanya beberapa puluh centi dari tempat Cindy membelai penisku yang basah dengan lembut.

"Oh, pasti bisa, kamu seorang seniman, kamu bisa melihat sesuatu yang indah terlepas dari itu bikin kamu terangsang atau ga. Lihat saja ini," katanya. Dia menjepit penisku dengan dua jari dan menunjukkannya ke Mira.

"Lihat," kata Cindy. "Panjangnya pas, diameter pas, dan bentuknya juga benar-benar lurus, lihat? Penis John agak bengkok. Walaupun penis John besar, panjang dan tebal tapi bentuknya kurang indah karena bengkok itu. Punya Yohan lurus, Lihat?"

Mira melihat penisku saat Cindy berbicara, mengangguk pelan.

"Dan lihat di sini," Cindy melanjutkan, menyentuh kepala penisku. "Lihat betapa sempurna bentuk kepalanya, sangat bagus, bikin aku ingin menjilatinya terus..."

Dia menundukkan kepalanya, menekan lidahnya ke bawah kepala penisku dan menjilatku dari ujung ke pangkal.

"Yohan belum akan ejakulasi sekarang. Aku ingin melihatnya ejakulasi. Apa semburannya jauh saat dia ejakulasi, Mira?"

Dia mengangguk. "Ya," bisiknya, lalu sadar apa yang dikatakannya saat Cindy menyeringai.

"Aku tahu kalian berdua pernah ML," katanya.

"Ga," kata Mira, menggelengkan kepalanya. "Tapi dia pernah masturbasi di depanku sekali."

Pembohong, pikirku. Cuma sekali?

"Serius?"

"Nanti aku tunjukin gambar-gambarnya," kata Mira. "Kamu mungkin sudah lihat beberapa gambar itu sebelumnya."

"Mungkin," kata Cindy. Dia menatapku. "Kenapa kamu ga mau ejakulasi buat aku, Yohan? Aku mau lihat kamu ejakulasi. Aku mau kamu keluarin di mulutku... bukan di dalam mulutku. Aku mau lihat semburannya sedekat mungkin. Apa kamu mau lakuin itu buat aku, Yohan? "

"Aku mau menyetubuhimu," kataku.

Cindy mencium kepala kemaluanku lagi. "Boleh saja. Tapi nanti ya, aku yakin bisa bikin burungmu bangun lagi setelah kamu keluar di mulutku nanti. Dan setelah itu aku mau kamu menyetubuhiku." Dia menyandarkan kepalanya di pinggangku, mulutnya nempel ke sisi kemaluanku saat dia bicara, bibirnya terasa bergetar di penisku.

"Kalau gitu, kamu boleh bikin aku ejakulasi," kataku. "Asal aku juga boleh lihat tubuhmu. Ini ga adil, aku sudah seperti ini tapi kamu masih berpakaian lengkap."

"Jadi itu syaratnya supaya kamu mau ijinin aku bikin kamu ejakulasi?"

Aku mengangguk. "Itu syaratnya."

"Aku malas buka baju," kata Cindy. "Tapi mungkin aku bisa beri apa yang kamu mau tanpa melepas seluruhnya." Cindy duduk dan menarik kausnya ke atas payudaranya. Bra-nya sudah tidak beraturan entah sejak kapan, satu payudara langsung kelihatan lalu dia menarik branya keatas sehingga yang satu juga bebas. Roknya tergulung ke atas pinggangnya, menunjukkan celana dalam biru kecil.

Dia menunduk lagi, menempelkan kepalanya kembali ke tempat semula di pinggangku. Aku lihat ke bawah padanya saat bibirnya menyentuh sisi penisku, bisa melihat disamping kirinya Mira sekarang berlutut di tempat tidur, kamera video merekam. Wajah Mira memerah, jelas terangsang. Cindy pun menyadari kehadiran Mira dan kulihat dia mengulurkan tangan kirinya ke lutut Mira dan bergerak naik sepanjang paha Mira. Mira tahu tapi tetap diam ga menghindar.

Tangan kanan Cindy mengenggam penisku dan mulai membelaiku lembut, bergerak dari ujung ke pangkal penis.

"Ga usah ditahan-tahan," bisiknya, dan aku berbaring, bersandar di bantal, menonton apa yang dilakukannya sambil bersantai.

Aku bisa merasakan tubuhku merespons, kemaluanku terasa lebih keras. Cindy membelaiku perlahan, membangun ketegangan secara bertahap. Sesekali dia mendaratkan ciuman dan hisapan kecil di sepanjang batang penisku. Dia meludah dan meratakannya sepanjang batang dengan lidah dan jarinya.

Aku bisa merasakan bolaku juga mendapat perhatian dari jemarinya, berkerut dan mengencang karena sentuhan, dan Cindy bergeser lebih dekat, bibirnya menutupi kepala penisku tapi ga membiarkanku masuk lebih dalam. Tanggannya terus menggosokku sampai kenikmatan itu datang, aku mendorong pinggulku kedepan dan mengerang.

"Ya, keluarin manimu untukku," gumam Cindy.

"Aku sampai.." aku mendengus, dan menyerah. Gelombang kenikmatan terlalu besar untuk kutahan dan meledak keluar.

Cindy merasakan aku berkedut, segera menutup bibirnya rapat-rapat saat aliran pertama ejakulasi keluar itu keluar di antara bibirnya, dan dia mendorongku sedikit dan semburan kedua keduaku menyiram mulutnya, ga sampai masuk tapi melapisi bibirnya, lalu wajahnya.

Cindy memperhatikan tiap semburan yang keluar dariku, membiarkannya jatuh di wajahnya yang cantik, sebagian terpercik sampai ke rambut keabu-abuannya.

"Brengsek," kata Mira, dan kulihat celana jinsnya sudah terbuka entah sejak kapan dan dia memasukkan tangannya ke dalam celana dalamnya.

Cindy memandangnya dan tersenyum. "Dia ejakulasi dengan indah, kan?"

Mira mengangguk. Sepertinya dia sendiri sudah merasakan nikmat, tapi sesaat kemudian dia menarik tangannya, menarik jarinya yang licin dengan cairannya sendiri, dan duduk tegak bertumpu pada tumitnya.

"Aku mau mencicipimu sekarang," kataku pada Cindy.

"Kamu mau?"

"Ya."

"Aku bikin kamu ejakulasi, memang seharusnya gitu." Dia menyeringai lalu berlari ke kamar mandi, membasuh wajahnya yang belepotan sperma, lalu berlari kembali dan melompat ke atas tempat tidur. "Baiklah kalau begitu." Katanya sambil berbaring pasrah, meletakkan tangannya di samping dan bilang, "Lakuin yang terparah, Yohan Wahyudi."

Celana dalamnya yang kecil tertarik ke atas di antara kedua kakinya, bagian depan basah kuyup, terjepit celah vaginanya. Aku bergeser kebawah sampai sejajar dengan kemaluannya, membenamkan wajahku kesana dan menghirup aroma seks yang khas. Aku menggigit kain celana dalam dengan gigiku dan menariknya, tapi ga berhasil, jadi aku menggesernya ke samping dengan jari-jariku. Dia berbaring dan membuka pahanya, memperlihatkan padaku vagina indah yang sekarang terbuka.

Aku mencium seberkas rambut kemaluan, menelusuri lekuk gemuk di mana tulang kemaluan dan gundukan vaginanya. Aku menyentuh klitorisnya, besar, membesar, terdorong keluar dari tudungnya dan aku bisa merasakan Cindy gemetar.

Aku menangkap gerakan dan melihat Mira menaruh kamera SLR dan sekarang memindahkan kamera video di samping tempat tidur, dekat dengan kami, masih menempel di atas tripod. Dia melihat melalui lensa kamera, berlutut, menyesuaikan sudut dan posisi kamera lalu duduk lagi. Dadanya memerah, pipinya memerah, dan dia menatap langsung ke mataku.

Aku menoleh dan menempatkan mulutku di atas klitoris Cindy, menghisapnya ke lidahku dan dia mendorong pinggulnya kearahku dan semakin gemetaran. Tanganku meraih ke atas dan menemukan payudaranya, putingnya keras dan panjang. Kedua tangan Cindy memegang belakang kepalaku dan mendorongku ke bawah.

"Jilat vaginaku," katanya.

Aku bergerak ke bawah, membuka celah yang basah memakai lidahku, mencicipi cairannya, mendorong bibirku rata pada bibir vaginanya dan menjangkau ke dalam dengan lidahku. Jari-jariku menggosok klitorisnya dan merasakannya mengelinjang.

Aku menarik tanganku dari payudaranya menuju ke karet celana dalamnya dan menarik ke bawah untuk melepasnya, tapi dia memegang tanganku dan menahan gerakanku.

"Jangan," dia megap-megap, "Aku lebih suka begini. Terasa lebih seksi. Setubuhi aku sekarang, Yohan."

Aku bergerak ke atas, mencium payudaranya, mencium mulutnya. Penisku sudah setengah mengeras lagi, terangsang oleh apa yang aku lakukan. Aku mengeser celana dalamnya lagi. Cindy membuka kakinya lebar-lebar saat aku memasukkan penisku ke vaginanya. Dia terasa panas dan basah kuyup, dan lebih sempit dari yang kuduga. Aku sudah lihat penis besar John memasukinya, dan menduga dia sudah jadi longgar dan terbiasa oleh raksasa seperti itu, tapi dia ga, dia tetap sempit dan menjepit kencang batangku. Aku bertumpu pada lenganku dan mendorong pinggulku kedepan dengan keras.

"Fuck," serunya, dan tubuhnya berkelojotan tak terkendali.

"Oh, yess!" dia berteriak, dan dia kejang di bawahku. Dia mendorong dadaku dan bergumam. "Mulut lagi, cepat."

Aku menarik penisku keluar darinya dan meluncur turun, langsung menuju vaginanya dengan lidahku, menarik celana dalamnya keras ke samping.

"Brengsekk!" dia berteriak, cairan bagai banjir keluar menyiram wajahku, punggungnya melengkung, menjambak rambutku dan mendorong wajahku lebih kencang ke vaginanya.

Dia menggigit bibirnya untuk meredam suara lalu kejang lagi dan teriak, lupa soal menahan suara.

Aku membiarkan wajahku tetap menempel pada vaginanya sampai dia diam, merasakan cairan manisnya, sampai akhirnya dia menjambak rambutku dan menarikku ke atas.

"Cukup. Brengsek, cukup ..." Dia menarikku sampai dia bisa menciumku.

"Pakaianmu terlalu banyak," kataku, menatap ke bawah ke arah kaos di lehernya, payudaranya terbuka, bra-nya tergulung dan tertarik ke samping, dan dia tertawa.

Dia berguling dan bilang, "Telanjangi aku, Yohan."

Dia berbaring tengkurap, pantatnya yang besar menonjol, dan aku membuka kait bra-nya, membantunya melepas baju, lalu saat dia berbalik aku menahan bahunya dan bilang, "Diam di sana sebentar."

Aku meluncur ke bawah dan mencium kedua bongkah pantatnya, melebarkannya dan membiarkan lidahku menjelajah di celahnya. Aku menemukan targetku, kuncup berkerut warna merah jambu yang rapat, lalu menjilatinya membuat dia menggigil.

"Ooh, itu terasa nikmat."

"Rasanya juga enak."

"Oh ya?"

"Begitulah," kataku. Aku melirik sekilas untuk memastikan Mira melihat ini, dan memang begitu, sekarang dia sudah melorotkan celana jinsnya lebih lagi dan tangannya sudah masuk kembali ke celana dalamnya.

Aku menjilat pantat Cindy sampai basah kuyup, lalu merayap naik ke sebelahnya dan berbisik di telinganya, "Rasanya Mira mau ikut gabung dengan kita."

Cindy menoleh sehingga dia bisa melihatku. "Oh ya? Itu akan liar."

"Ga masalah?"

"Pasti ga lah. Aku mau jilat vaginanya seperti yang kamu lakuin ke aku. Aku mau ngelakuin itu, Yohan."

"Oke."

Aku menoleh ke Mira dan menatapnya, mengulurkan tanganku.

Dia melihatnya, tangannya masih di dalam celana jinsnya, lalu dia mengangguk kecil dan berdiri. Dia datang dan berbaring di tempat tidur di sisi lain Cindy.

Cindy berguling ke samping menghadapnya, meletakkan lengannya di pinggang Mira. Wajah mereka menyatu dan mereka berciuman.

Aku berguling dari tempat tidur dan mengambil kamera, berlutut di samping mereka, penisku kaku, dan merekam saat mereka berciuman dan lalu, dengan sangat lembut, Cindy melepas pakaian Mira sampai mereka berdua telanjang bulat. Payudara mereka saling menghimpit saat mereka berpelukan, punya Mira lebih kecil tapi bentuknya sama-sama sempurna. Tangan mereka meluncur di punggung mereka. Mira mendorong jarinya ke telinga Cindy, lalu menciumnya. Cindy mendorong Mira berbaring telentang lalu mencium payudaranya, menggigit lembut putingnya.

Mira menarik Cindy hingga payudaranya berada di depan mulut Mira dan dia menghisapnya, meremas dengan keduai telapak tangannya.

Mira mengulurkan tangan kanan ke bawah dan mendorong dua jari ke dalam vagina Cindy dan mulai mengerakkannya dengan cepat. Cindy membiarkannya sebentar, lalu menarik tangan Mira ke mulut dan menghisap cairannya sendiri dari jari-jari Mira. Lalu dia mengangkat kedua tangan Mira keatas kepala dan menahan pergelangannya di atas bantal, sementara bibirnya bergerak menjangkau leher, dada dan payudara Mira sebisanya. Saat dia turun lebih jauh, dia tidak bisa menjangkau dan melepaskan tangan Mira.

Aku memasang kamera ke tripod lagi, meraih pergelangan tangan Mira dan mengambil alih, menahannya di atas kepala Mira sehingga dia ga berdaya, meskipun dia ga berusaha untuk membebaskan diri.

Aku berlutut di sampingnya, kemaluanku tegang, Mira menoleh dan melihatnya, mulutnya hanya beberapa centi jauhnya. Dia melirik mataku, menunduk lagi. Aku mencondongkan tubuh ke depan dan Mira membuka bibirnya. Kepala penisku menyapu bibirnya dan dia menekuk lehernya, mencoba untuk menempatkan penisku lebih dalam di mulutnya, tapi aku menarik diri, tiba-tiba merasa bersalah karena mau memasukkan penisku ke mulutnya. Mira meronta mencoba membebaskan tangannya tapi aku memegangnya erat-erat.

Aku melihat ke bawah. Cindy berbaring tengkurap di antara kaki Mira, mulutnya menempel ke vagina sepupuku, jari-jari dan lidahnya bekerja keras.

Aku membungkuk dan mencium perut Mira, lalu turun lagi dan mencium bahu Cindy.

Aku melepaskan tangan Mira dan bergerak ke bawah, mendorong dan menarik Cindy sampai kakinya terbuka lebar dan lidahku menjelajah lagi ke pantatnya.

Mira terkejang-kejang di bawah mulut Cindy, dan aku membasahi satu jari lalu menusukkannya ke dalam pantat Cindy, mendorongnya sampai terkubur hingga pangkal jari.

Sekarang giliran Mira untuk mengelinjang dan berteriak. Aku kembali duduk, ga mau melewatkan momen saat klimaks mengulung Mira seperti ombak, mengalir dari vaginanya ke seluruh tubuh hingga ke ujung jari-jarinya. Kepalanya melengkung ke belakang, matanya tertutup dan dia mengejang hebat, Cindy terus menghisap vaginanya sampai Mira kembali rileks dan diam lemas.

Cindy merangkak untuk berbaring di sebelah Mira dan mereka saling berpandangan, berciuman, ciuman panjang, saling menjelajahi mulut masing-masing.

Aku duduk bersimpuh di kaki tempat tidur, kaki mereka saling terkait didekatku saat aku menyaksikan mereka, terpesona. Aku meraih kamera lagi, memastikan aku menangkap setiap momen dengan baik. Tangan mereka saling membelai payudara. Jari-jari Mira jatuh ke vagina Cindy dan segera masuk saat Cindy mengangkat satu kaki, memberikan akses yang lebih baik.

Lalu Cindy mendorong Mira, duduk dan bilang, "Yohan belum dapat. Kau yang mau ngelakuinnya, atau aku?"

Mira memandangi Cindy dan tertawa pelan. "Sebaiknya kamu. Selain bukan tipeku, dia adalah sepupuku."

"Terus?"

"Itu akan menjadi incest," kata Mira.

"Persetan dengan itu, "jawab Cindy.

"Persetan bagimu, dia bukan sepupumu," kata Mira, tapi Cindy nyengir.

"Memang bukan. Tapi John itu sepupuku."

Mira menatapnya. "Dia apa?"

Cindy menggigit bibir bawahnya, "Tapi mungkin sebaiknya kalian jangan bilang ke siapa-siapa."

Mira mulai bangkit untuk duduk, tapi Cindy mendorongnya rebah lagi. "Ga. Kita ngobrol nanti, kalau kamu mau, tapi sekarang Yohan harus menyetubuhiku. Kamu yakin ga mau?"

"Dia punyamu," kata Mira. Dia mulai berguling turun dari tempat tidur tapi Cindy menahannya dan menariknya kembali.

Dia membungkuk dan mencium mulut Mira, bilang, "Aku mau kamu mengoralku lagi pada saat yang bersamaan."

Mira mengguncangnya. "Aku ga ngerti apa ..."

Cindy menatapku, lalu berbalik ke Mira. "Aku mau Yohan untuk menyetubuhi pantatku. Dan sementara dia ngelakuin itu, aku mau kamu menjilati vaginaku." Cindy menggigil, seolah bayangan itu terlalu luar biasa baginya.

"Anal seks?," kata Mira. Wajahnya memerah, bibirnya terbuka.

"Mm. Aku suka anal seks. Tapi kamu sudah lihat John, dia terlalu besar. Menurutku, penis Yohan terlihat pas." Cindy berbalik untuk menatapku. "Maaf, Yohan, mungkin kamu ga suka anal seks. Aku seharusnya tanya kamu dulu."

"Oke," kataku. "Aku akan coba."

Cindy menyeringai. "Bagus." Dia menatap Mira. "Kamu juga?"

Mira tampak terpaku karena gairah, tapi mengangguk.

Cindy bergeser dan duduk tegak, merangkul pundakku sambil menciumku, mulutnya terbuka lebar dan lidahnya menjelajah. Saat dia bergerak, Mira menyelinap di belakangnya, menempel di punggung Cindy, kakinya melingkari pinggul Cindy, tangannya terulur kedepan untuk menangkup payudaranya yang berat. Punggung tangan Mira terjepit menempel di dadaku saat aku menekan ke Cindy. Saat aku menciumnya, aku membuka mataku dan menyadari Mira sedang menatapku. Kami saling memandang, tak berkedip, saat aku mencium Cindy dalam-dalam, lalu Mira menghela nafas dan mencium leher Cindy tepat di bawah telinganya.

Cindy mengerang. "Ya Tuhan, aku menunggu-nunggu saat ini," katanya.

Aku menjilat ke telingga satunya sambil mendorongnya ke tempat tidur, Mira bergeser ke samping, menarik Cindy hingga dia berbaring miring menghadap Mira. Kedua gadis itu berciuman, ciuman yang panjang, dalam, lambat.

Aku merayap sepanjang tubuh Cindy, mencium rusuknya, mencium payudaranya, mencari putingnya, mendorong wajahku di antara tubuh mereka. Aku merasakan payudara Mira yang lebih kecil menempel di pipiku saat aku menghisap puting Cindy ke mulutku.

Mira mengulurkan tangan lalu mendorong dadaku mundur.

"Aku mau ngelakuin ini," katanya, mendorongku lagi sedikit lebih jauh.

Aku ga tahu apa maksudnya, tapi mundur dan memperhatikan saat dia mengatur Cindy, tiba-tiba Mira yang memegang komando. Dia membalik Cindy sehingga dia berbaring telungkup. Menarik kakinya sehingga pahanya terbuka.

Mira meraih dua bantal dan menganjalnya ke bawah perut Cindy, membuat pantatnya terangkat ke atas, memperlihatkan vagina dan pantatnya kearahku.

Mira menatapku. Wajahnya dipengaruhi oleh nafsu, bibirnya sedikit terbuka memperlihatkan giginya, rambutnya yang panjang menghujani bahunya, dan aku belum pernah melihatnya tampak lebih cantik.

Dia merayap di sepanjang tubuh Cindy, mencium tulang pinggulnya, lalu berguling dan mencium bulatan pantatnya.

Dia menjilat jari-jarinya dan memasukkan ujungnya ke dalam anus Cindy, meraba dan mendorong ke dalam.

Cindy mengangkat pinggulnya lebih tinggi.

Mira menundukkan kepalanya dan menjilat sepanjang belahan pantat Cindy, lidahnya bekerja di sekitar jarinya. Lalu dia menarik jarinya keluar dan menjilat langsung pada lubang anus Cindy.

Dia menoleh dan menatapku. "Terusin, Yo," katanya, suaranya serak karena gairah.

Aku ga butuh dorongan lagi dan mengarahkan lidahku mengikuti apa yang dilakukan Mira tadi, merasakan kulit Cindy licin dengan air liur Mira. Aku menjilat langsung ke anusnya, lalu diam sesaat sebelum menjelajah, mendorong ujung lidahku ke dalam.

Mira berlutut di sampingku, wajahnya berada di sebelah wajahku, napasnya terasa panas di pipiku, jari-jarinya menyentuh vagina Cindy di bawah bibirku yang sedang menjilat anusnya. Tubuh Mira menempel padaku, payudaranya menyodok rusukku. Kakinya sedikit terbuka, vaginanya tergesek di pinggangku. Aku terus menjelajah dengan lidahku, sedikit memutar badanku agak menyamping, memberikan ruang yang lebih besar untuk penisku yang terjepit dibawahku kesamping. Penisku melompat bebas dan menampar paha Mira.

Aku merasakan dia berhenti bergerak, lalu dia mulai mengesek pinggangku lagi dan tangannya meluncur turun di antara tubuh kami, menemukan penisku. Dia memegangnya, menariknya, dan aku ga yakin dia ingin menyelipkan penisku ke dia atau Cindy. Kepala penisku menyapu vagina Mira yang terasa panas dan licin. Sejenak Mira mendiamkannya disana, tepat di luar bibir vaginanya, tangannya mengenggam penisku erat-erat.

Tiba-tiba, dia melepaskanku, berguling dan duduk di pinggir tempat tidur.

Aku berhenti bergerak. Mira balas menatapku dan bilang, "Lanjutin, aku pergi sebentar."

Dia bangkit dan keluar dari kamar. Aku mencium punggung Cindy dan dia menggeliat di bawahku.

"Kapan kamu mau masukin, Yohan? Aku suka yang kamu lakuin, tapi pantatku perlu disetubuhi."

"Segera," kataku. "Saat Mira datang. "

"Asyik..."

Aku mendorong jariku ke pantat Cindy, rapat dan keset, dilumasi oleh air liurku, tapi masih begitu keset.

Mira datang membawa botol kecil dan berlutut di sebelah kami, membungkuk di atas Cindy.

"Aku sudah lama punya ini," katanya. "Rasanya sekarang waktu yang tepat untuk dipakai."

Dia membuka tutup plastik dan memiringkan botol, menuangkan sedikit cairan berminyak ke pantat Cindy yang masih tersumpal oleh jariku. Terasa dingin di jariku, yang lalu kutarik keluar, membiarkan minyak mengalir kedalam dan lalu menusukkan jariku lagi ke pantat Cindy, sekarang lancar dan licin.

"Kenapa lesbian punya pelumas anal?" Tanyaku.

Mira menatapku dan mengangkat bahu, ga memberi jawaban, dan aku penasaran sejak kapan dia punya botol kecil itu, dan kenapa dia punya itu.

Dia menuangkan lebih banyak minyak dan menambahkan jarinya bersama jariku, mendorong juga kedalam sehingga dua jari sekarang di dalam pantat Cindy. Aku merasakan jari Mira bergerak ke jariku, licin dan halus, punggung tangannya terasa hangat menempel di tanganku.

Mira mendekat ke wajah Cindy dan bilang, "Kamu siap?"

"Sudah siap dari sore, Mira. Hampir frustasi sekarang, sayang."

Mira menciumnya, kembali turun.

"Yohan, pindah ke sini," katanya, dan meraih penisku dan menarikku ke atas, mengatur posisiku sampai penisku menempel di dalam celah pantat Cindy.

Mira menuangkan pelumas ke telapak tangannya lalu membalurkannya di penisku, meratakannya dari pangkal sampai kepala, lalu menambahkan sedikit di bagian kepala penisku.

Dia memindah penisku, menempatkan kepala langsung ke anus Cindy, yang mengkilat karena pelumas.

Mira menunduk untuk melihat lebih dekat, napasnya yang panas berhembus di penisku.

Dia melirikku dengan cepat, matanya berbinar. "Setubuhi dia," bisiknya.

Mira mengenggam penisku, membantu mengarahkanku ke anus Cindy. "Lakuin, Yo, masukin ke pantatnya, setubuhi dia..."

Aku memberikan sedikit tekanan dan melihat anus Cindy terbuka, merasakannya terbelah karena ujung penisku.

Mira bernapas lebih cepat, hampir terengah-engah. Tangannya meraih pantatku dan mendorong.

Cindy membuka kakinya lebih lebar dan perlahan kepala penisku meluncur ke dalam, otot cincinnya menjepit penisku erat-erat.

"Ya," gerutu Mira. "Dorong, Yohan ... Sial, ini mengairahkan..."

Dia meneteskan lebih banyak pelumas ke batang penisku yang masih belum masuk dan aku mendorong terus dan meluncur lebih dalam.

"Ya Tuhan!" Teriak Cindy, dan aku berhenti, takut perbuatanku membuatnya kesakitan, tapi dia berteriak, "Ga, lebih dalam. Rasanya luar biasa. Ya Tuhan, aku suka banget!"

"Jangan berhenti," Mira mendengus dan aku mendesak, setengah penisku sekarang terkubur di dalam pantat Cindy.

"Semuanya," kata Cindy.

"Yes, masukin semua ke pantatnya," kata Mira.

Dan aku menekan dan meluncur ke dalam, terus menekan dan memperhatikan saat penisku menghilang dalam celah sempit Cindy, menekan keras, menghujamkan diriku di pantatnya, merasakan sesaknya penisku terjepit.

"Sekarang, setubuhi dia," Mira mendengus, terdengar bukan seperti dia. "Setubuhi pantatnya dengan keras."

Cindy mengangguk ke selimut dan mendorong pantatnya ke belakang.

Aku mulai bergerak keluar masuk, menarik beberapa centi, mendorong dalam lagi.

Mira bergeser, meraih wajah Cindy, menariknya menghadap wajahnya. "Apa itu seenak kelihatannya?" dia bertanya.

"Lebih enak," kata Cindy.

Mira menciumnya.

"Apa kamu mau coba?" Cindy bertanya.

"Apa?"

"Apa kamu mau merasakan penis Yohan di pantatmu?"

Mira menatapnya, menatap matanya lama sekali, lalu menggelengkan kepalanya. "Kami ga ngelakuin itu."

Cindy tertawa pelan, tawanya bercampur dengan sedikit terengah-engah dan erangan saat aku terus masuk ke pantatnya.

"Tapi kamu mau," kata Cindy. "Kalian berdua mau. Aku merasakan itu setiap kali. Aku melihatnya dalam cara kalian saling memandang, gimana kalian saat berada di dekat satu sama lain."

Mira menggelengkan kepalanya sekali lagi. "Kami ga ngelakuin itu," katanya lagi.

Cindy menggelengkan kepalanya sedikit. "Buat aku semua kalau gitu." lalu dia memalingkan wajahnya dari Mira dan bergerak di bawahku, berbalik. Aku mengikuti arah gerakannya, berguling sampai dia berbaring di atas tubuhku, kakinya terbuka di pangkuanku, tubuhnya berbaring di atas dadaku, penisku masih menancap di anusnya. Aku mengintip melewati bahunya dan melihat dia mendorong kepala Mira ke bawah.

Mira menuruti dengan sukarela, langsung ke vagina Cindy dan mulai menjulurkan lidahnya jauh di dalam.

Aku merasakan rambut Mira jatuh ke atas bolaku, menyapu ke paha bagian dalamku.

"Oh, sial," Cindy berseru, dan tiba-tiba bergetar saat klimaks melalui dirinya.

Aku ga berhenti. Mira ga berhenti. Dan dalam beberapa menit Cindy berteriak lagi. Punggungnya yang ramping menempel di dadaku, keringat menetes darinya dan menyatu di antara kami.

Penisku sakit, menuntut untuk pelepasan, hanya menunggu Mira menemukan kepuasan sebelum aku pasrah dan membiarkan diriku menyerah pada tekanan kenikmatan yang makin besar.

Mulut Mira bekerja keras di vagina Cindy, tangannya di antara pahanya sendiri, bergerak dalam kemarahan.

Dia bergeser, menelusuri sepanjang tubuh Cindy yang indah lalu memandang ke arahku. Dia menatapku mataku, aku melihat matanya melebar dan dia terus menatapku saat dia mencapai klimaks, ingin aku melihat wajahnya saat orgasme, dan itu terlalu berlebihan bagiku. Aku merasakan diriku mendidih dan lalu air maniku mengalir jauh di dalam pantat Cindy, bergelombang di dalam dirinya, mengalir ke dalam dirinya. Aku menatap Mira dan dia juga melihat mataku, dan itu terasa sangat intim, rasanya seolah-olah aku ejakulasi di dalamnya juga.

Kami diam, perlahan Cindy kembali rileks berbaring di dadaku saat penisku melunak dan dengan lembut keluar dari anusnya.

Mira setengah telungkup dengan kepala di atas perut Cindy, lalu saat penisku keluar dia meraih ke bawah dan memegang kemaluanku sebentar, membelai mani licin yang menyelimutinya.

Aku mengulurkan tanganku memeluk Cindy, membelai payudaranya dan dia menghela nafas dengan gembira.

Akhirnya dia berguling untuk berbaring di dadaku dan menciumku.

"Terima kasih, Yohan. Sungguh luar biasa."

"Sama-sama," kataku.

"Kamu mau lakuin lagi lain kali?"

Aku memandangnya. Mira mendekat untuk bergabung dengan kami, juga berbaring di dadaku, dua wanita telanjang cantik yang berbaring di atasku.

"Kalau kamu mau. Kalau John ga keberatan. John beneran sepupumu?"

"Ya," katanya. "John ga keberatan. Dia menyukaimu. Menyukai kalian berdua. Kita bisa berempat kalau kamu mau."

Mira tertawa. "Aku ga yakin mau menangani satu penis, apalagi dua."

"John dan Yohan bisa bermesraan," kata Cindy, "Sementara kamu dengan aku."

"Hei," kataku, mengangkat tangan. "Jangan ngawur."

"Kami sama-sama biseksual," kata Cindy. "Kami hanya menyambut getaran itu dari kalian berdua juga. Tapi kalau kamu ga suka, ya ga masalah."

"Itu salahku," kata Mira. "Aku selalu bilang ke semua orang tentang Yohan itu gay."

"Kalian berdua berhubungan seks, kan?"

Mira dan aku menggelengkan kepala.

Cindy mengerutkan kening. "Tapi kalian begitu ... sempurna untuk satu sama lain ... Dan lihat kalian sekarang. Mira telanjang, berbaring di atasmu yang telanjang di bawahnya ..." Dia melirik ke bawah. Pahanya menempel di penismu dan tangannya di atas perutmu. Kalian terlihat seperti pasangan yang sudah lama menikah, kecapaian setelah seks panas."

"Memang kita baru melakukan seks panas," kata Mira. "Tapi ga satu sama lain."

Dia berguling, mengurai rambutnya yang kusut, dan meraih untuk mematikan kamera.



Bersambung... Chapter.17
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd