Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT Sketsa

CHAPTER.17
BUSINESS PARTNER



Seminggu setelahnya kami baru berkumpul lagi. Cindy menelepon mau datang ke tempat kami di hari Senin, tapi cuma sebentar dan kali ini ga ada yang sampai melepas pakaian. Dia duduk di meja dapur sambil menjelaskan kalau dia sudah berhasil mengumpulkan orang-orang yang akan membantu kami, dan berencana akan mengadakan rapat di hari Minggu.

Mira bilang dia akan memasak, siapkan minuman dan kami bisa bikin jadi pesta kecil.

Cindy menatapnya, seperti yang pernah dilakukan sebelumnya, dan tahu dia pikir kami ga menganggapnya serius, tapi dia cuma mengangkat bahu dan bilang, "Baiklah. Terserah kamu aja, Mira."

Cindy menghabiskan minumannya, pamit dengan cipika-cipiki dan pergi. Aku pergi ke area studio dan mulai bikin sketsa baru.

Sabtu sore, Mira menghabiskan empat jam menyiapkan snack, memanggil aku untuk bantu dan aku memilih melumuri potongan ayam ke dalam remah roti, membuat sambal dari resep Miral, memotong buah atau sayur dan pada akhirnya aku lebih banyak menghalangi gerakannya di dapur.

Dia menabrakku dengan pinggulnya saat dia lewat, menepuk pundakku, mendekat dan berdiri bersandar padaku, payudaranya yang indah menekan ke sampingku saat dia melihat apa yang sedang kulakukan. Sepertinya dia sedang dalam mood untuk menggodaku lagi, dan semakin lama aku semakin terbiasa bahkan suka saat dia seperti itu.

Hari Minggu aku sudah bangun saat Mira masuk kamarku dengan memakai jubahnya dan duduk bersila di kaki tempat tidurku. Jubahnya terbuka membuat aku bisa memandang ke payudaranya yang bebas, dia tahu apa yang sedang kulakukan tapi ga peduli. Aku berusaha cuek ga melakukan apapun dan akhirnya dia menghela nafas seolah-olah kecewa lalu pergi mandi.

Aku menunggu sampai kudengar air berhenti dan pintu ke kamarnya terbuka lalu tertutup, lalu gantian masuk ke kamar mandi dan mandi.

Aku masih mandi saat Mira balik ke kamar mandi. Dia beberapa kali ngelakuin itu, makin lama makin sering.

"Lupa gosok gigi," katanya, menjelaskan. "Kamu ga keberatan, kan, Yo?"

"Silakan," kataku.

Aku berbalik menghadapnya. Mira membungkuk di atas wastafel, memakai sikat gigi elektriknya, pantatnya bergoyang-goyang dengan indah saat dia menggosok gigi, jubah pendeknya tertarik keatas memperlihatkan paha dan lekuk pantarnya.

Penisku ereksi penuh dan aku ga berusaha menyembunyikannya. Aku melihat Mira melihat lewat cermin dan bergeser untuk melihat lebih jelas, tapi dia terus membersihkan giginya.

Dengungan sikat giginya berhenti dan aku berbalik ke samping, menyabuni penis dan bola testisku, sengaja memancingnya.

Mira berbalik dan menyilangkan lengannya, mengawasiku sejenak dan bilang, "Kamu lagi masturbasi atau memang bagian itu kotor banget?"

"Cuma mastiin biar bersih saja, Mir."

"Bisa sendiri, atau kamu butuh bantuan?"

"Sudah teratasi."

Dia melirik ke bawah dan tersenyum.

Aku meraih shower dan membilas diri, memainkan air di sekitar penisku, membilas sabun. Mira memperhatikan, ga peduli dan ga merasa malu.

"Aku akan masuk dan nonton kamu mandi besok," kataku.

"Hore," katanya.

Aku tertawa dan mematikan air, melangkah keluar dan mengeringkan diri dengan handuk.

"Aku kepikiran, Yo, aku harus pakai apa siang ini?"

Aku memandangnya, bingung dengan perubahan arah pembicaraan yang tiba-tiba. "Buat meeting?"

"Ya. Celana jeans, atau yang lebih formal?"

"Rasanya itu bukan pertemuan resmi atau apa. Pakai yang biasa kamu pakai aja."

Aku selesai mengeringkan diri dan pergi ke kamarku untuk mencari pakaian. Mira mengikuti dan duduk di tepi tempat tidur, memperhatikan aku membuka laci mengeluarkan celana dalam dan memakainnya. Aku mendengar dia mendesah kecewa saat aku menutupi kemaluanku, tapi dia tersenyum.

"Menurutku mungkin kita pakai apa saja yang kita mau."

"Mungkin," katanya.

"Apa kamu khawatir?" Aku bertanya. Aku berbalik dan berjalan kearahnya, mengambil baju bersih di atas tempat tidur di sebelah tempat dia duduk lalu memakainya. Saat aku mendekat dia menyentuh pinggangku dengan jarinya, juga pantatku dan pahaku sebelum aku kembali menjauh.

"Bukan khawatir ... cuma ga yakin. Rasanya semua bergerak terlalu cepat buatku. Kita seperti kehilangan kendali."

"Sebenarnya ini hal yang baik," kataku. "Aku ga berpikir kita tahu apa yang harus kita lakukan dari sisi bisnis. Kita seniman, Mir. Cindy sudah bikin perbedaan dalam seminggu. Aku merasa lebih nyaman karena tahu dia ngerti harus apa. "

"Ya aku kira..."

Aku duduk di sampingnya di tempat tidur dan melingkarkan lenganku di bahunya, menariknya ke arahku.

"Ada apa, Mir?"

Dia menggelengkan kepalanya. "Ga ada. Ga ada apa-apa. Cuma aku yang parno, itu saja."

"Kalau kamu ga mau ini dilanjutin, bilang saja. Kita bisa lakukan seperti sebelumnya. Kita akan atur sendiri, kalau harus."

Dia menggelengkan kepalanya lagi. "Ga, bukan gitu. Aku ga mau harus mengelola bisnis. Aku mau ada orang lain yang ngambil beban itu dariku. Tapi rasanya seakan kita kehilangan kendali."

"Aku percaya Cindy," kataku. "Aku baru seminggu kenal dia, tapi aku percaya sama dia."

"Itu karena kamu sudah menjilati anusnya, Yohan. "

Aku tertawa. "Bukan cuma itu. Dia tahu apa yang dia lakuin, dan rasanya dia ga akan merampok kita."

"Aku tahu."

Mira bangkit dan pergi lewat pintu kamar mandi.

"Lupain yang aku bilang tadi, Yo. Aku siap untuk itu."

"Oke.”

Sebelum jam dua Cindy dan John datang paling awal. Mira sudah ganti baju tiga kali, dan akhirnya memilih pakai kemeja dan celana jins, rambutnya dikuncir kuda, menunjukkan lehernya yang panjang. Cindy memakai blouse dan rok jins, John juga memakai jins, seperti aku juga. John membantuku memindahkan dua sofa baru kami kedepan sofa besar sehingga mereka membentuk segitiga yang ujungnya terbuka dan para gadis meletakkan piring makanan, saus, gelas, anggur dan bir di atas meja kopi besar ditengah.

Kami baru saja selesai saat bel pintu berbunyi dan Cindy mempersilahkan dua orang untuk masuk.

"Yohan, Mira, ini Tu Lai dan Martin."

Kami semua berjabat tangan atau cipika-cipiki lalu duduk di sofa. Aku, Mira dan Cindy di sofa besar, John sendiri di sofa lain, Tu Lai dan Martin di sofa terakhir.

Martin adalah laki-laki kurus, beberapa centi lebih pendek dariku, dengan kacamata berbingkai hitam. Dia memakai celana jins robek dan kaos bola.

Tu Lai cewek yang cukup pendek, mungkin ga sampai 150 cm. Dari namanya sepertinya dia dari Thailand atau Vietnam, atau mungkin Kamboja tapi namanya cukup unik. Dia langsing dan mungil, dan satu-satunya yang berpakaian lebih resmi, memakai rok biru tua dan blus putih berkancing hampir ke leher semacam baju kantoran. Kulitnya berwarna sawo matang dan rambutnya hitam pekat, berkilau tertimpa cahaya dari jendela, panjang sampai ke pinggangnya. Dia punya mulut kecil dengan bibir penuh, dan hidung mungil. Dia tersenyum sopan saat kita semua diperkenalkan, tapi saat sekarang duduk, wajahnya tenang seperti topeng tanpa emosi.

Tanpa alasan khusus, tapi aku merasa dia sangat seksi. Mungkin warna kulitnya yang eksotis, mungkin tubuhnya yang mungil, apa pun itu aku sering melirik ke arahnya.

Cindy memandang Mira dan aku dan bilang, "Bisa aku mulai?"

Kami berdua mengangguk.

"Oke." Cindy terdengar percaya diri dan yakin. "Kurasa kalian semua sudah tahu kenapa kalian ada di sini. Dan kurasa kalian semua tahu website apa yang dijalankan oleh Yohan dan Mira?"

Dia melirik kedua pendatang baru. Tu dan Martin mengangguk, wajah Tu masih tanpa ekspresi. Martin berusaha menahan senyum.

"Dan kita semua ga masalah dengan isi websitenya?"

Lagi-lagi dia melihat pasangan baru itu, yang mengangguk sekali lagi.

"Baik. Mira dan Yohan sejauh ini sudah ngelakuin semua dengan cukup baik, tapi mereka sekarang butuh bantuan. Aku mau mengajukan proposal yang adil untuk semua orang, dan gambaran tujuan kita ke depan."

Cindy menatapku, menoleh ke Mira.

"Aku belum pernah bilang apa-apa tentang hal ini pada kalian berdua. Apa kamu mau aku lanjutkan?"

"Tentu," kataku, dan Mira menganggukkan kepalanya.

"Apa yang akan aku sampaikan mungkin seolah-olah kami kelihatan mencoba ngambil sesuatu dari kalian, tapi bukan itu masalahnya. Pahami sampai disitu dulu."

"Kami percaya kamu, Cindy," kata Mira.

"Aku sudah lihat catatan pembukuanmu cukup hati-hati, dan hal pertama yang perlu aku sampaikan adalah bahwa bisnis yang kalian punya ini luar biasa. Sedikit berantakan, dan kalian berdua tahu itu, tapi itu menghasilkan banyak uang. Sekitar dua ratus juta sebulan."

Aku sedikit terkejut. Mira tersenyum lihat reaksiku. John tetap bersandar, minum sebotol bir, dan mungkin dia sudah dengar semua ini dari Cindy sebelumnya. Tu mencondongkan tubuh ke depan, mendengarkan, memperhatikan reaksi kami. Martin tampak sesantai John.

"Namun," Cindy melanjutkan, "Aku anggap dua ratus juta sebagai recehan. Potensinya luar biasa. Tapi lebih dari itu, aku pikir kalian perlu secara serius mempertimbangkan posisi kalian dalam bisnis ini."

Dia menatap kami lagi, dan kami menunggu.

"Kalau seseorang datang, katakanlah, beberapa tahun lagi, dan menawarkan untuk beli website dari kalian, apa yang akan kalian lakukan?"

Aku memandang Mira, menunggu reaksinya. Semua ini bermula dari idenya, aku cuma numpang dalam perjalanan ini.

Mira tampaknya berpikir, lalu mengangguk pelan. "Rasanya, aku akan pertimbangkan. Yang aku sukai adalah bagian melukisnya, aku ingin terus ngelakuin itu. Website itu cuma sebuah cara untuk memasarkannya. Kami bisa terus menggambar, ga ada yang bisa ngelarang kami ngelakuin itu."

"Gimana kalau siapa pun yang mau beli bisnis memberi syarat bahwa kalian ga boleh gambar untuk pihak lain, ga boleh jual karya kalian secara mandiri?"

"Persetan, kalau gitu," kata Mira.

Cindy menyeringai sedikit. "Mungkin itu yang kamu bilang, tapi bisa saja itu terjadi." Dia melirikku.

"Aku ikut Mira," kataku. "Persetan dengan mereka."

"Oke. Mungkin kita khawatirkan soal itu kalau itu sudah terjadi," kata Cindy. "Untuk saat ini selain itu, apakah ada kemungkinan kamu mau menjualnya?"

"Mungkin," kataku.

"Kamu harus yakin. Aku ga mau kita semua bahas ini terus di tengah jalan kamu berubah pikiran."

"Cindy, kasih tahu kami apa usulanmu," kata Mira, "Kami akan dengarkan lalu ambil keputusan."

Cindy memandang Mira, wajahnya serius, lalu mengangguk. "Baik. Aku sudah membahas dengan semua orang disini, dan kami semua bersedia bekerja sama denganmu, tapi dengan gaji. Di awal kami akan ambil persentase dari keuntungan, sampai kami bisa mengembangkan semuanya. Aku mengusulkan potongan yang cukup kecil, masing-masing 5%, dengan batas dua ratus lima puluh juta, itu kalau penjualan benar-benar luar menghasilkan luar biasa banyak. Dan itu 5% dari laba bersih, jadi pengeluaran dan biaya-biaya dikurangkan lebih dulu."

Dia melihat sekeliling ruangan. Kami semua duduk tegak sekarang.

"Dan kamu harus mendirikan Perseroan Terbatas, terdaftar di sini di Jakarta. Aku sudah siapkan surat-suratnya. Kamu dan Mira perlu tanda tangan selanjutnya aku bisa beresin. Dengan begini aku akan susun semacam saham yang memberi kita masing-masing bagian dalam perusahaan. Mereka akan dibagi untuk semua orang yang terlibat. Kalian berdua masing-masing punya 40%, yang lain 5%. Aku pikir itu adil, dan pada akhirnya kita semua dapat bagian, tapi kalian berdua pemegang mayoritas.

"Dengan begitu," Cindy melanjutkan, "Kalau dan saat kita jual websitenya, ga ada orang yang akan keluar dari sini dengan tangan kosong, selain gaji yang sudah kita terima. Apa sampai disini kalian berdua setuju?" Dia menatap kami.

"Aku ikut Mira," kataku. "Sejujurnya, aku ga terlalu paham apa yang kamu bilang, tapi aku percaya kamu." Aku menatap matanya saat aku berbicara, mencari tanda-tanda penipuan atau rasa bersalah tapi cuma melihat matanya yang indah dan jernih.

"Kalian berdua lanjutkan apa yang sudah kamu lakukan, karena kalian adalah jantung sebenarnya dari bisnis ini. Aku akan pegang akuntansi. John akan pegang marketing. Ada banyak yang bisa dia lakukan untuk membuat website kita dikenal orang, dan yang ga butuh biaya apa pun selain waktunya, dan mungkin beberapa langganan ke beberapa website. Martin akan mendesain ulang website kalian dan mengatur hosting khusus. Itu akan dikenakan biaya beberapa juta setahun, tapi akan beri kalian lebih banyak kontrol dan situs yang jauh lebih cepat. Tu akan mengelola bisnis sampai sisi korporasi dan legal. "

Cindy berhenti dan duduk kembali, menyilangkan kakinya. Dia menatap Mira, menatapku, menunggu jawaban.

Mira menatapku, aku memandangnya, dan kami mengangguk.

"Setuju," kata Mira.

Dan hanya itu. Kami serahkan semuanya pada mereka. Cindy dan Tu mendaftarkan perusahaan dan kami semua menandatangani banyak kertas tanpa membacanya.

Selama bulan-bulan berikutnya salah satu dari mereka sering berada di apartemen, kadang-kadang kami semua berkumpul. Tu mampir dan melihat apa yang sedang kami kerjakan, melihat tumpukan sketsa yang ditumpuk dengan hati-hati untuk dirilis. Dia datang lagi beberapa kali setelah itu. Dia selalu berpakaian konservatif yang resmi, mungkin karena kerjaan yang dia lakukan.

Namun, entah bagaimana, ada sesuatu yang membuat aku terus menganggapnya seksi. Dia menarik, leluhur Vietnam-nya – yang akhirnya kami tahu dari Cindy - terlihat pada warna kulitnya yang halus dan warna serta bentuk matanya.

Dia memakai gelang emas tipis di tangan kirinya, dan selama berbulan-bulan saat kami ngobrol aku menemukan beberapa asal-usulnya. Ia dilahirkan di Indonesia. Orangtua datang setelah perang di Vietnam dan mendapatkan kewarganegaraan disini. Tu sendiri sudah menikah tiga tahun. Dia pernah belajar Bisnis di Singapore dan sekarang bekerja di perusahaan Akuntansi besar.

Martin sering menelepon. Dia mengerjakan website di tempatnya sendiri, tapi ingin menunjukkan padaku update yang dia buat. Kami sudah tanda tangan kontrak untuk server khusus, dia memang sangat membantu dalam hal IT, situs baru yang dia kembangkan lebih cepat, lebih bersih, dan lebih user friendly.

Pada hari Minggu kami matikan situs lama dan pindah ke yang baru, kami merayakan dengan pesta kecil di tempat kami.

Sekarang kami punya kontrol yang lebih baik dari proses penjualan. Kami juga dapat memonitor penjualan secara real time, dan kami menampilkan statistik di layar sehingga kami bisa menonton saat uang masuk. Kami bersorak setiap angka-angka berbunyi, tapi saat sore berganti malam kami sudah bosan memperhatikannya.

Sekitar jam sepuluh malam itu kami semua sudah minum terlalu banyak dan mabuk. Mira duduk bersandar di lengan sofa dengan kedua kaki selonjor di pangkuan John dan Cindy, yang duduk berhimpit di ujung lain. Martin duduk di lantai bersandar di kaki Cindy, tangannya dengan lembut membelai kaki telanjangnya. Rok Cindy sudah naik dan bergulung di pahanya, dan dia bersandar ke John, satu tangan meraba tonjolan panjang di celana John dengan ringan, dan yang lain membelai rambut Martin.

Aku sedang bersandar di jalan masuk studio sambil membawa segelas minuman saat Tu datang dan melewati aku menuruni tangga ke area studio. Aku menoleh untuk mengawasinya, menikmati bagaimana rambut hitam lurusnya berayun di bahunya, mengamati piggulnya yang ramping bergoyang saat dia menuruni tiga undakan lebar.

Aku berbalik dan mengikutinya.

"Suka gambar kami?" Aku bilang.

Dia melirikku. "Ya."

"Karena mereka erotis?"

Dia tersenyum, menggelengkan kepalanya dan mengangguk pada saat bersamaan. "Agak. Tapi ga juga. Aku juga suka kualitas mereka. Aku bisa bedakan mana gambarmu dan gambar Mira juga. Dan kamu juga terima gambar dari orang lain juga sekarang. Tapi punya kalian berdua masih yang terbaik."

"Wah, terima kasih, Bu."

Tu menyeringai. "Kamu tahu, kamu berbakat, Yo."

"Semoga begitu."

Kami berdiri berdekatan, hampir bersentuhan. Tu sangat pendek sehingga bagian atas kepalanya ga sampai sebahuku. Malam ini dia ga pakai pakaian kerjanya, tapi pakai atasan sutra abu-abu gelap yang menempel di payudaranya yang kecil, dan rok biru pendek, jauh lebih santai daripada pakaian normalnya. Lengan dan kakinya terbuka, kulitnya berwarna hampir seperti madu.

Dia menyelipkan roknya ke paha dan melipat kakinya saat dia duduk dan mulai membolak-balik tumpukan gambar.

"Apa ada kalian di antara gambar ini?"

"Beberapa," kataku, berjongkok di sampingnya. Kakiku bersandar ringan di pahanya, dan dia ga menghindar. Aku mabuk, dan sebagian kecil dariku berpikir apa yang sedang kulakukan. Tu memang menarik, salah satu tipe wanita yang ga merasa kalau dia cantik, tapi sekarang, dia juga seorang rekan bisnis - seorang rekan bisnis yang sudah bersuami. Tubuhku mendambakannya, alkhohol berenang di dalam darahku, mengumpulkan semua akal ke kepala penisku dan saat aku berpikir memakai selangkangan, aku ingin menidurinya. Aku tahu Tu juga sedang mabuk. Matanya ga terlalu fokus. Kurasakan kakinya menekan balik kakiku.

"Yang mana?" dia bertanya, masih mencari

Aku meraih melewatinya ke tumpukan lain, mengeluarkan lima lembar.

"Ini aku," kataku.

Dua dari mereka adalah sketsa awal Mira, menunjukkan aku telanjang, penisku ereksi. Satu saat aku ejakulasi. Tiga lainnya adalah sketsa-sketsa baru yang digambar Mira saat aku meniduri Cindy.

Tu mengambilnya dari tanganku dan memandang mereka satu demi satu, menghabiskan waktu yang lebih lama pada gambar kedua, pindah, menghabiskan waktu lama pada yang terakhir yang menunjukkanku dengan penis di dalam pantat Cindy.

"Ini bikin aku terangsang," katanya lembut.

"Kok bisa?"

Dia menatapku. "Kau tahu alasannya, Yohan. Karena mereka erotis. Mereka seakan melompat dari kertas ke arahku, mereka begitu hidup." Nada suaranya 100% orang Indonesia tanpa aksen Vietnam.

Dia mengambil salah satu sketsa dan memegangnya di depannya, mengamatinya dengan serius.

"Apa kamu benar-benar cukur rambut kemaluanmu?" dia bertanya. "Atau ini cuma untuk keperluan artistik?"

"Menurutmu?" Aku bertanya. Aku bisa merasakan penisku mengeras di dalam celanaku. Aku selalu berpikir Tu itu seksi, tapi tahu dia sudah nikah, tahu juga kalau kami ingin bekerja sama, lebih aman untuk menghindari hal-hal semacam ini. Entah bagaimana, Cindy berbeda, mungkin karena dia dan John begitu santai tentang seks, begitu terbuka. Tu tampak lebih konservatif dan tertutup.

Sekarang dia melirikku. "Kurasa kamu memang mencukurnya," katanya. Matanya berbinar, bibirnya yang penuh lembab di mana lidahnya keluar dan menjilatnya.

"Kita jarang ngobrol banyak kan, aku dan kamu?" Aku bilang.

Dia menggelengkan kepalanya. Rambutnya hitam legam, dipotong sangat panjang sehingga menjalar di punggung dan di atas bahunya, beberapa helai jatuh di sekitar wajahnya.

Lututku sakit, jadi aku berbalik dan duduk bersandar di dinding, kakiku selonjor di depanku. "Kurang nyaman disini. Balik ke depan yuk?"

Dia melirik dari bahunya. "Aku sebenarnya agak berusaha sembunyi, Yohan. Karena... apa yang mereka lakukan di sana... bikin aku malu."

"Seks bikin kamu malu?"

Kulit pipinya yang manis merona merah. "Bukan itu. Aku hanya ga terbiasa terbuka soal itu."

Aku melirik cincin kawin tipis di jari tangan kirinya.

"Apa kamu ... dan suamimu menikmati kehidupan seks yang baik?"

Rona wajahnya makin merah dan menyebar, dan dia menggeleng.

"Aku ingin ngobrol sama kamu, Tu, mengenal lebih banyak tentangmu," kataku, "Tapi aku ga nyaman kalau duduk di lantai ini. Mau ga kalau kita pindah ke kamarku? Lebih pribadi di sana."

"Kamar tidurmu?"

Aku mengangguk.

"Oke," bisiknya.

Aku berdiri dan mengulurkan tangan, membantunya berdiri dan berjalan bersamanya melewati ruang tamu. Dia mengambil rute di belakang sofa besar dan memalingkan pandangannya dari apa yang terjadi. Aku lebih dekat dan melirik.

John sekarang telanjang dari pinggang ke bawah dan Cindy membelai kemaluannya yang panjang. Atasan dan rok Cindy berkumpul di pinggangnya, dan Mira menciumi payudara Cindy.

Mulut Martin berada di vagina Cindy, dan saat aku melihat dia bangkit, melirik penis John lalu meletakkan tangannya di atas tangan Cindy yang sedang membelai penis John. Cindy meliriknya, matanya penuh nafsu dan tersenyum.

Tu sudah sampai ke kamarku dan masuk. Aku berdiri di pintu sejenak, memperhatikan. Aku ingat bahwa John pernah bilang kalau dia dan Cindy adalah biseksual. Tapi aku belum pernah dengar itu dari Martin. Tampaknya aku ga perlu bertanya, karena aku melihat dia mencondongkan tubuh ke depan dan mencium bola testis John, lalu bangkit dan memasukkan ujung penis John ke dalam mulutnya.

Aku begidik risih dan mengalihkan pandangan ke para gadis.

Cindy berbalik dan mencium mulut Mira, tangannya merayap naik sepanjang kaki Mira, mendorongnya berbaring di sofa. Aku menyaksikan terus saat mereka berciuman dan penisku terasa sakit.

"Yohan ..."

Suara Tu memanggil dari kamarku dan aku berbalik dan masuk, menutup pintu di belakangku.

Dia duduk bersila di tempat tidur dan aku pergi mendekat dan berbaring di samping kanannya.

Kami terdiam beberapa saat, Tu menatap tangannya yang terlipat di pangkuannya. Lalu dia bilang, "Kamu sudah tahu cerita tentang orang tuaku datang ke sini dari Vietnam setelah perang. Buka restoran Vietnam. Seperti biasa mereka mau aku meneruskan bisnis mereka."

"Kamu ga mau itu?"

"Aku mau lebih. Aku ga merasa Vietnam, ga seperti mereka. Aku ga malu dengan leluhurku, tapi aku merasa aku orang Indonesia. Aku berbahasa Indonesia. Aku doyan makanan Indonesia. Aku berpakaian Indonesia."

"Dan suamimu. Kalian kenal di Indonesia juga?"

Dia menggelengkan kepalanya. "Aku dijodohkan dengan putra teman ayahku, keluarga Vietnam juga."

"Kamu ga bisa nolak?"

"Aku bisa nyoba. Tapi ga semudah itu. Dan selain itu ... dia laki-laki yang baik. Terlepas dari ..." Dia berhenti bicara, melamun.

"Terlepas dari apa?"

Dia melirik ke arahku lagi sekilas, lalu menatap tangannya lagi, mengangkat bahu.

"Seks?" Aku bertanya.

Dia mengerakkan bahunya lagi.

"Suamimu kerja dimana?"

"Perbankan," katanya. "Tekanan tinggi, sering lembur, tapi gaji besar."

"Tapi ga banyak seks," kataku.

"Ga banyak seks," katanya.

"Kamu masalah dengan itu?"

"Kadang-kadang. Ga sering, tapi kadang-kadang. Dan karena sekarang aku kerja dengan kalian, aku jadi sering mikirin itu."

"Pengaruh lingkungan mungkin," kataku.

"Mungkin."

"Suamimu ga pingin punya anak?”

"Mungkin dia mau, tapi untuk saat ini belum."

"Apa kamu cinta sama dia?"

"Aku suka dia. Dia lembut, dia baik, dan dia perhatian. Tapi cinta ga pernah ada sejak awal."

"Terus apa yang kamu lakuin kalau gitu? Cuekin saja?"

Dia memerah sekali lagi, tapi ga menjawab.

"Bilang apa yang ingin kamu lakuin, Tu."

"Aku ga bisa," bisiknya.

"Jelaskan gambarannya," kataku. "Jelaskan seperti apa sketsa itu kalau kamu ngelakuin apa yang kamu inginkan."

"Aku ... ga nyaman dengan ini, Yohan."

"Oh, Oke.. Maaf, kalau aku kelewatan." Aku berguling menghadapnya dan menyentuh kakinya yang terlipat di tempat tidur, merasakan telapak kakinya yang hangat. "Boleh aku peluk kamu, Tu?"

Dia menatapku dan menggigit bibir bawahnya, lalu mengangguk, dan meluruskan kakinya lalu berbaring miring. Aku meletakkan lengan kananku di pinggangnya dan dia bergeser lebih dekat. Lengan kirinya terulur di pundakku dan aku juga bergeser mendekat ke arahnya. Dia mengangkat tubuhnya sedikit agar lengan kiriku bisa masuk kebawah tubuhnya, lalu kepalanya bersandar di bahuku. Aku merasakan rambutnya yang halus menggelitik leher dan daguku. Merasakan napasnya yang hangat membelai tenggorokanku.

"Aku ga anggap itu penting, Yo," katanya. Awalnya aku ga tahu apa yang dia maksud, lalu dia melanjutkan, "Aku percaya sejauh ini hidupku baik-baik saja, percaya bahwa kurangnya emosi adalah karena sifat kami sendiri yang cenderung tertutup... tapi lalu Cindy mengajak aku untuk bekerja dengan kalian... dan aku sadar bahwa untuk orang lain itu berbeda."

Dia berhenti sejenak, memeluk bahuku, bernafas lambat. Aku ga bisa lihat wajahnya untuk menilai emosinya. Aku menyadari pinggangnya yang langsing di antara lenganku, betapa mungil keseluruhan tubuhnya. Aroma tubuhnya, aroma seperti mint yang bersih, tercium di hidungku. Setiap kali dia menarik napas, aku merasakan tubuhnya bergerak di pelukanku.

"Kalian semua begitu ... santai soal seks," katanya.

Aku tertawa. "Ga semua kok."

"Yang pasti kamu juga," desaknya. "John dan Cindy. Aku sudah kenal Cindy beberapa tahun, dan dia luar biasa, tapi aku ga seperti dia. Lalu kamu dan Mira. Ya Tuhan, kalian berdua sangat menarik. Kalian pasti bersetubuh setiap saat."

Suaranya lembut, dan aku merasakan getaran ketegangan di tubuhnya saat dia bicara, mengucapkan kata-kata yang mungkin terasa asing baginya.

"Mira dan aku ..." Aku menghela nafas, mencoba memikirkan bagaimana mengatakannya, "Kami seperti sahabat, itu saja. Kami sepupu dan sahabat."

"Tapi kalian ... Aku cuma pikir... lihat kalian bersama, gimana sikap kalian saat berdekatan, cara kalian saling memandang..."

"Saling memandang?"

"Maaf. Aku ga maksud apa-apa ... tapi kamu, Yo. Kalian terlihat saling melengkapi, cocok satu sama lain. "

Aku ga yakin kenapa tiba-tiba kami jadi membicarakan aku dan Mira.

Aku mengangkat tanganku dan menyentuh pipi Tu, mengangkat wajahnya sehingga kami saling menatap satu sama lain.

"Apa boleh aku menciummu?" Aku bertanya.

"Apa kamu mau?"

"Sangat mau," kataku.

"Aku juga mau. Tapi Yohan..." Sekarang tangan Tu naik ke wajahku, menyentuh pipiku, bibirku, menelusuri mereka. "Ini ga berarti apa-apa ... ga harus berarti apa-apa ..."

"Lalu kenapa aku ingin menciummu kalau itu ga ada artinya, Tu?"

Wajah kami lebih dekat. Aku bisa merasakan lengan Tu bergerak di bahuku saat jemarinya terus menjelajahi wajahku. Lalu kami terlalu dekat, ga ada cukup ruang di antara kami dan dia menarik tangannya, membuat bibir kami bersentuhan. Belum ciuman, cuma sentuhan, dan aku bisa merasakannya bergetar, merasakan napas hangatnya melayang di antara bibirnya dan masuk ke mulutku.

Aku menciumnya.

Mulutnya manis, bibirnya lembut, dan setelah beberapa saat dia membuka bibirnya dan aku menjelajahinya dengan lidahku, menemukan lidahnya yang awalnya pasif lalu ikut bergerak saling membelit dan menjelajah.

Ketika bibir kami berpisah, kulitnya yang sewarna madu tampak gelap karena gairah. Dia menciumku dengan ringan lagi, menggenggam wajahku di tangannya dan menciumku lebih bergairah.

Dia bertubuh kecil, tingginya tidak sampai 150cm, dan saat berbaring seperti ini payudaranya yang kecil hampir ga terlihat olehku, pinggulnya yang ramping menekan perutku, kakinya yang halus membelai pahaku.

Aku menciumnya lagi dan berguling telentang, menariknya ke atas tubuhku dan dia menurut lalu meletakkan kedua kakinya di samping pinggangku saat dia menciumku lagi.

Aku menarik blus sutra kremnya lepas dari roknya dan memasukkan tanganku ke dalam. Kulitnya begitu halus, hal terlembut yang pernah kurasakan.

"Jangan terlalu lembut, Yohan," Tu megap-megap, duduk dan mulai membuka kancing blusnya.

Aku berbaring telentang dan memerhatikan saat dia membukanya dan menjatuhkannya ke samping. Tubuhnya kecil dan ramping, payudaranya kecil, diberi bentuk oleh bra yang berbantalan, tapi itu segera terlepas mengikuti blusnya. Aku bangkit duduk dan mencium putingnya. Warnanya gelap, hampir hitam, dan mengeras karena sentuhan lidahku.

Tu melempar kepalanya kebelakang, rambut lurus panjangnya jatuh ke pinggangnya saat dia memberiku akses lebih ke tubuhnya.

Aku menenggok kesampinganya dan menemukan simpul di roknya yang modelnya seperti lilitan. Kubuka ikatannya dan kubuka lilitan lembut dari tubuh bagian bawahnya. Tu bangkit dan berputar untuk memudahkan melepas roknya. Sekarang dia cuma pakai celana dalam merah kecil. Jariku kuselipkan ke karet celana dalam di pinggangnya sambil menatap matanya. Dia balas menatapku, keraguan apa pun yang ada disana sekarang sudah berganti jadi nafsu.

"Kamu bisa lakuin sesuatu buat aku ga, Yo?" dia bertanya

"Apapun yang kamu mau," kataku. "Apa saja."

"Aku... pernah ngerasain orgasme, tapi ga pernah orgasme karena orang lain. ."

"Ga pernah?"

Dia menggelengkan kepalanya.

"Cuma itu?" Aku bilang.

"Jadi kamu mau bisa bikin aku orgasme, Yo? Tolong?"

Aku tersenyum dan mencium payudaranya lagi, mengangkatnya dan mencium perutnya.

"Aku akan coba," kataku.

Tanganku membungkus pinggang mungilnya sepenuhnya dan aku terus menahannya, perlahan-lahan menariknya ke atas, tubuhnya terasa ringan sekali. Aku mencium pusarnya. Pindah ke bawah dan mencium perutnya yang rata.

Aku mencapai celana dalamnya dan menariknya dengan gigiku, menggosokkan mulutku ke gundukan vaginanya, mencium aroma tubuhnya, mencicipinya di lidahku.

"Oh Yohan, apa kamu akan lakuin itu? Ga ada yang pernah lakuin itu ke aku."

Aku mengangkatnya lebih tinggi, mengangkatnya dan memposisikannya sehingga lututnya mengangkangi leherku. Tanganku yang sekarang bebas menarik celana dalamnya sampai ke paha, ga bisa melepasnya karena dia sedang berlutut, tapi itu cukup untuk apa yang akan kulakukan.

Aku menjulurkan lidahku menyentuh vaginanya. Rambut kemaluannya ga rapi tapi jarang, tipis dan halus.

Aku mencari dengan lidahku dan menemukan klitorisnya, Tu menggigil geli.

Aku menyelidik lebih jauh dan menguak celah ketat vaginanya. Dia mencoba melebarkan kakinya tapi celana dalamnya menahannya. Dia terengah-engah dan meremas celana dalamnya, menariknya, lalu aku dengar robekan lalu sisa kain di kakinya menggantung, tercabik membuat dia bisa melebarkan kakinya dan menekan mulutku dengan vaginanya.

Dia mencengkeram kayu sandaran tempat tidur saat aku meremas pantat bulat kecilnya di tanganku dan mendorongnya ke mulutku. Lidahku memeriksa, menjelajah, mencicipi rasa lipatan dalam vaginanya yang licin.

Dia basah dan sempit, mengerakkan pinggulnya mengesek mulutku, dituntun oleh hasratnya dan aku memakai teknik jilatan yang kupunya untuk mengantarnya ke puncak. Aku berniat untuk melakukannya sepelan mungkin, tapi hasratnya terlalu besar dan saat dia merasa aku memperlambat tempo, dia menggesekkan dan mendorong lebih kencang padaku. Aku tahu dia ga bisa menunggu lebih lama.

Dia terengah-engah, giginya bergemeretak, matanya tertutup dan aku terus membelai pantat, punggung dan kakinya yang bisa kujangkau sambil menjentikkan lidahku di dalam vagina yang sempit dan dia berteriak, sekali, lembut, tangannya menutupi mulutnya untuk menahan suara saat gemetarannya bertambah dan dia tiba-tiba kejang diatas wajahku.

Dia membuat suara merintih kecil, menahannya sepelan mungkin saat dia berdenyut, tubuhnya menegang dan menyentak.

Perlahan dia diam, masih duduk mengangkang di atasku. Lalu dia mundur, bergeser turun di sepanjang tubuhku yang masih berpakaian, menarik celana dalamnya yang rusak dan membuangnya. Dia menciumku.

"Kamu terasa seperti aku," katanya.

"Rasamu enak." Aku bilang.

Dia meletakkan tangannya di perutku.

"Bisa kita lepas bajumu sekarang?" dia bertanya.

"Kalau kamu mau."

Dia menggeliat turun dan membuka kancing celanaku, menariknya ke bawah paha aku, menyentuh tonjolan keras di celana dalamku.

"Kamu jauh lebih besar dari Kim," katanya.

"Kim suamimu?"

Dia mengangguk dan menarik celana dalamku. Penisku terbebas lalu melompat menampar perutku.

"Jauh lebih besar," katanya. "Dan kamu beneran cukur di sini."

Tangannya terulur menggenggam penisku, jari-jarinya nyaris ga bisa melingkari penisku, bukan karena ukuran penisku, tapi karena dia sangat kecil.

Rambutnya yang hitam panjang menyisir bolaku dan dia melemparkannya lagi ke bahunya. Punggungnya melengkung, pantat kecilnya terangkat ke udara saat dia menempelkan mulutnya ke penisku dan mencium bagian bawahnya.

Dia menatapku, mungkin menunggu reaksiku, tapi aku terpesona melihat mulut kecilnya seakan mematuk penisku. Ciumannya bergerak ke kepala penisku, perlahan, sambil menggosokku, lalu mencium ujungnya. Masih menatapku, dia membuka bibirnya dan memasukkan tiga centi kedalam mulutnya. Namun itu sudah membuatnya kesulitan, dia menekan lebih keras, memaksaku masuk lebih dalam. Aku menebak, bahkan yakin, dia belum pernah melakukan ini sebelumnya, tapi pemandangan disaat penisku membuat mulutnya harus melebar sedemikian sangat erotis, dan aku harus menahan diriku agar tidak ejakulasi di mulutnya. Aku yakin dia ga pernah membayangkan mulutnya akan dipenuhi air mani, setidaknya belum.

Dia melepaskan penisku dari mulutnya, kepala penisku berkilau dengan air liurnya. Sekarang dia berguling ke arahku, menggosok tubuhnya ke penisku, menggosoknya ke payudara kecilnya, menggosoknya ke perutnya, membelai di antara kakinya, duduk di atasnya dan membuat penisku berada di sepanjang celah pantatnya, lalu dia berbalik menghadap kakiku, kepalanya turun ke sebelah penisku lagi dan aku menusukkan dua jari di dalam vaginanya yang tersaji di depan mataku, membuatnya tersentak.

"Sekarang giliranmu, Yohan," katanya.

"Ga ada giliran, Tu."

"Aku ingin kamu juga menikmati, Yohan," katanya.

"Aku bisa menikmatinya," kataku.

"Aku ingin melihatmu ejakulasi."

"Itu juga aku bisa," kataku.

Dia menggosokku lebih keras, mematuk bola aku dengan mulutnya yang cantik, mematuk penisku, membiarkan penisku berada di antara bibirnya sementara tangannya menggosok penisku dengan cepat tapi saat aku menekan untuk masuk ke mulutnya, dia mundur.

Dia menatapku sambil terus menggosok keras dan bilang, "Belum pernah ada seorang pria pun yang ejakulasi di mulutku, Yohan."

"Kamu ga perlu melakukan itu sekarang, Tu."

Dia menatapku sebentar, menatap mataku, lalu mengangguk. "Terima kasih."

"Tapi aku akan sampai," kataku.

Matanya melebar dan dia bergerak turun sehingga wajahnya berada di sebelah penisku.

"Sekarang?"

Aku mengangguk.

"Mmm."

"Sekarang," kataku, dan mendorong pinggulku saat perasaan memuncak dan aku tahu aku ga bisa menahan lagi.

Tu menggosok aku dengan keras dan penisku memuntahkan cairan yang terlempar sampai ke bahuku.

"Ya Tuhan," dia megap-megap, tapi dia terus menggosok, menyaksikan saat semburan berikutnya menyusul, enam kali, masing-masing makin lemah.

Tu melambat, sekarang membelaiku, menyentuh cairan mani dan meratakannya di perut dan dadaku. Aku meraih pinggangnya dan menarik vaginanya ke mulutku lagi dan dia tersentak.

Dia berbalik, meluncur ke bawah, tubuh kami dilumuri oleh cairan dan keringat.

"Kamu masih keras, Yo," katanya.

Aku mengangguk.

"Aku ingin kamu meniduriku," katanya.

Aku mengangguk lagi dan dia mengangkangiku dan menuntun penisku ke pintu masuknya.

Dia menatap mataku saat penisku menekan di antara bibir vaginanya. Dia menekan ke bawah, terbelah perlahan karena penisku.

"Ya Tuhan, Yohan," katanya.

"Berhenti kalau sakit."

Dia menggelengkan kepalanya. "Rasanya enak banget... Aku ga pernah tahu rasanya seperti ini."

Dia mendengus dan memaksakan vaginanya menelan penisku lebih dalam. Aku belum pernah merasakan sesuatu yang sesempit vaginanya, bahkan pantat Cindy, tapi Tu basah kuyup menambah pelumasan dan perlahan, sedikit demi sedikit, dia memaksaku lebih dalam sampai kemaluanku terkubur.

Dia membungkuk sejenak untuk menciumku, lalu duduk lagi dan mulai bergerak, bergoyang diatasku, mengangkat, lalu mendorong lagi jauh ke dalam.

Aku berbaring di bawahnya, menyaksikan dia menikmati gairahnya. Tetap begitu selama lima menit, rona merah menyebar dari tengah dadanya, menggelapkan warna madu kulitnya. Matanya menjadi sayu dan mulutnya terbuka.

Payudaranya yang kecil bergoyang, dia mengangkat tangannya dan meremasnya, menarik putingnya yang gelap.

Gerakannya jadi lebih cepat, dan dia mulai tersentak.

"Puasin aku, Yohan, "dia terkesiap." Puasin aku. "

Tapi sebenarnya Tu sendiri yang melakukan semua usaha, vaginanya berdenyut, tubuhnya bergoyang dan dia menggigil, megap-megap saat orgasmenya datang.

Dia belajar dengan cepat bagaimana memperpanjang orgasme, tapi akhirnya dia lemas jatuh ke dadaku, bibirnya menyentuh leherku. Menjadi penonton untuk gairahnya sudah membuatku sangat bernafsu dan aku harus menyelesaikannya.

Aku meraih pinggangnya dan mengangkatnya, penisku masih tertanam, dan aku duduk di tepi tempat tidur, kakiku menyentuh lantai. Tu melingkarkan kakinya di pinggangku dan nyengir.

"Kamu akan menyetubuhiku lagi, Yohan?" Dia bilang, tersenyum manis.

"Pasti," kataku.

"Fuck me, Yohan. Fuck me. Setubuhi aku sekeras yang kamu bisa."

Aku berdiri, masih memegangnya, dan dia tersentak.

"Betul, Yohan, ya, seperti ini."

Aku berdiri di lantai kayu di samping tempat tidur dan mendorong penisku masuk, dengan mudah mengendalikan tubuhnya yang ringan.

Dia merangkulku, kakinya menyilang di belakang, mulutnya mencium leher dan bibirku.

"Fuck me," bisiknya di telingaku, berulang-ulang.

Keringatnya bercampur dengan milikku, membuat tubuh kami licin dan aku memompa kencang, mendengus pada setiap dorongan dan dia menggigit telingaku lalu leherku.

"Lebih kencang ... setubuhi aku lebih kencang ... lebih keras ..."

Aku mengeram dan meledak, menyembur jauh di dalam vaginanya yang luar biasa sempit, mengisinya sampai aku merasakan air maniku mengalir di sekitar penisku dan menetes ke kakiku.

Aku berputar dan melepasnya dariku, menurunkannya ke tempat tidur. Dia berguling cepat dan bangkit, meraih penisku dan menghisapnya ke dalam mulutnya, membersihkan sisa sperma yang masih menempel.

Dia berguling lagi, berbaring telentang di tempat tidur, seringai dan sedikit air mani di mulutnya.

"Aku suka rasa spermamu, Yohan," katanya. "Kalau kita lakuin ini lagi, aku mau kamu keluar di mulutku."

"Aku suka itu."

"Apa kita akan lakuin ini lagi, Yohan?"

"Sepertinya, ya kan?"

Wajahnya berubah serius. "Oh ya. Tapi jangan khawatir. Aku cuma mau seks. Ga ada yang lain. Gimanapun, aku wanita yang sudah menikah," dan lalu dia tersenyum.

"Kamu nginap?" Aku bertanya.

"Ga bisa. Aku ditunggu dirumah."

"Sebaiknya kamu mandi dulu," kataku.

Dia melihat ke bawah pada tubuhnya yang berkeringat dan mengangguk.

Aku menyeringai padanya, "Semoga dia ga sadar kamu pulang tanpa celana dalammu."



Bersambung... Chapter.18
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd