Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT Sketsa

CHAPTER.18
KABAR BAIK


Hari ini Sabtu terakhir di Bulan April, empat bulan sejak terakhir aku pulang ke Purworejo, hampir tiga bulan sejak kami ketemu John dan Cindy. Mira masuk ke kamarku bawa dua cangkir kopi dan menjatuhkan diri ke tempat tidurku. Sudah jadi kebiasaan, tiap pagi terutama weekend, kalau dia sendirian dan merasa bosan, dia akan datang pagi-pagi dan menggodaku.

Dia tahu persis gimana cara bikin darahku bergolak, dengan lirikan mata, komentar mesum, atau tatapan menggoda. Awalnya aku selalu jengkel, tapi akhirnya aku sadar kalau baginya itu cuma main-main. Dia ga suka cowok, tapi saat berhasil mengusik gairahku sepertinya bikin dia puas.

Cuaca pagi ini terasa dingin karena semalam hujan, tapi kamarku terasa nyaman karena hangatnya sinar matahari dari jendela, dan aku tidur cuma pakai celana kolor. Mira, seperti biasa pakai jubah tidur nya yang panjangnya cuma sampai setengah pahanya dan secara misterius sering tersingkap menunjukkan bagian atas payudara bahkan putingnya.

"Gimana kehidupan seksmu, Yo?" Kata Mira. "Setahuku kamu sudah ga pernah ajak cewek datang kesini. Kecuali Tu, kan? Apa dia ketagihan penismu? Ga nyangka dia bisa muat di Tu yang mungil gitu. " Dia meraih selimut dan mengangkatnya, mengintip ke dalamnya. Dia menggelengkan kepalanya, "Tapi memang ga terlalu besar sih."

"Aku baik-baik saja, ga ada masalah" kataku, bangkit dan menyesap kopiku. Sial, masih panas dan mulutku serasa terbakar. "Tapi sekarang aku coba ga terganggu lagi sama sepupu yang setengah telanjang."

"Maksudmu aku bisa bikin kamu terganggu?" kata Mira sambil berpose, mendorong payudaranya kedepan.

Secara refleks, aku menatap payudaranya, lalu menggelengkan kepalaku. "Ga. Sudah ga ngefek lagi buatku. Sorry."

Mira membaringkan kepalanya ke bantal dibelakangnya berbaring telentang. "Bagus. Kalau gitu malah lebih gampang, ya kan?" Dia mengangkat lututnya dan ujung jubahnya meluncur di sepanjang pahanya dan berkumpul di pinggulnya. Dia melihat kakinya dan satu tanggannya membelai sepanjang pahanya lalu mengangguk seolah senang dengan apa yang dia rasa.

"Kok bisa?" Aku menyeruput kopi lagi.

"Yah, berarti sekarang aku bisa berkeliaran telanjang bulat di rumah kalau aku mau, kapan saja aku mau, dan aku ga perlu khawatir bikin kamu terangsang seperti dulu."

"Jadi menurutmu kamu bisa bikin aku terangsang?"

"Halah. Ga usah bohong, Yo. Aku sudah sering lihat tonjolan di celanamu."

"Itu kan secara otomatis saja. Bukan berarti aku terangsang."

"Oh, iya juga sih ya.. ga mikir sampai kesitu." Katanya tersenyum usil

"Kehidupan seksmu sendiri kayaknya masih lancar," kataku.

Dia terkikik. "Yah, cewek-cewek datang menyerahkan diri di kakiku, aku bisa apa lagi?"

"Di kakimu?" Aku bilang. "Menurutku ke suatu tempat yang lebih tinggi sedikit dari itu."

"Babi mesum," katanya dan meninju lenganku.

"Kok mesum? Kan kamu yang vaginanya dijilati cewek hampir tiap malam. Aku cuma mengamati dunia di sekitarku."

Mira berguling sekarang tengkurap, menopang dagu di tangannya dan menatapku. Jubahnya sudah pasti terbuka membuatku bisa melihat jelas ke belahan dadanya, payudaranya bergoyang saat dia bernapas.

"Dan aku berani taruhan, kamu suka mengamati itu."

"Pasti. Aku babi mesum, ingat. Hal seperti itu yang selalu kami pikirkan." Aku memejamkan mata dan mengumam. "Dua orang gadis bercinta.. mmm!"

Mira menamparku lagi, lebih keras.

"Jadi, ceritain, Yo," katanya, "Kalau belakangan ini kamu cuma ML sama Tu, dan aku tahu itu pun jarang, sisanya gimana - masturbasi?"

"Anak cowok juga punya rahasia, Mir," kataku.

"Aku yakin pasti itu," katanya. "Kamu di sini masturbasi tiap malam, bayangin cewek-cewek yang aku ajak nginap. Apa perlu aku ceritain kami ngapain saja?" dia menambahkan dengan sok manis.

"Kayaknya aku ga akan tertarik," aku berbohong. Seperti biasa saat Mira sedekat ini dan ngelakuin hobinya seperti ini, penisku sudah berdiri tegak dan mendorong celana pendekku menuntut untuk dibebaskan. Mira melirik gundukan di balik selimut dan tersenyum puas.

"Iya sih, kamu ga tertarik. Kalau gitu aku ga perlu ceritain gimana Martha - kamu ingat dia kan, Rabu malam? - gimana Martha yang punya payudara gede banget," dan Mira memutar matanya keatas seolah mengingat-ingat, "Gimana dia suka gosokin payudaranya di wajahku, dan gimana dia suka gosokin putingnya di vaginaku. Dia bikin aku orgasme cuma karena itu."

"Apa rasanya nikmat banget?"?" Tanyaku, mencoba pura-pura peduli, bertanya dengan nada sebiasa mungkin.

Mira mengangguk. "Ya, Yo. Itu karena itu gede banget, payudaranya, dan dia dorong ke vaginaku, terus dia dorong putingnya ke dalam vaginaku dan jarinya di atas anusku." Dia tersenyum manis saat bercerita.

"Kamu suka banget pantatmu disentuh, ya Mir?"

Dia menyeringai. "Ga masalah kan kalau emang suka," katanya.

"Aku juga ga bilang salah."

"Kamu sendiri, Yo? Aku yakin kamu pasti suka masukin penismu itu di pantat cewek. Benar atau ga?"

Aku mengangkat bahu.

Mira tertawa lagi. "Kamu suka pantatnya Cindy, kan?" dia bersiul, memberikanku senyum jahat.

"Kamu tahu aku memang suka," kataku.

"Ha!" Mira meledak. Dia meninjuku lagi dan lalu mengarahkan pukulan kedua ke perutku. Aku menangkap pergelangan tangannya sebelum tinjunya mengenaiku dan memelintir lengannya ke belakang, wajahnya kudorong ke bawah menempel ke tempat tidur. Dia menjerit dan meronta dan aku duduk di kakinya untuk menahannya.

"Coba kita lihat," kataku, mencengkeram lengannya dengan satu tangan dan tanganku yang lain terulur ke kakinya. "Apa pantat yang ini layak untuk dicoba?" Aku menarik ujung jubahnya keatas, terus menarik-nariknya sampai pantatnya yang mulus terlihat, lalu meneruskannya sampai jubahnya terentang di atas punggungnya yang berotot.

"Hmm," kataku, duduk berlutut. "Kayaknya sih ga jelek. Agak kecil. Sepertinya bakal seret. Aku sih ga bakal mau anal sama yang ini, bahkan kalau kamu sampai memohon-mohon."

"Ngimpi, babi mesum!" dia mendengus, masih berusaha meronta melepaskan diri. Dia mengangkat kaki kanannya dan menendangku keras dengan tumitnya.

"Hei," kataku, sambil bergeser duduk lebih mundur. Kuperhatikan kepala penisku nongol keluar dari karet celana kolorku. Ah, kepalang tanggung.

Aku menampar keras pantat Mira dan dia menjerit lagi, menggeliat lagi. Tanganku meninggalkan bekas merah samar di pantatnya dan untuk sesaat aku merasa bersalah.

"Ups Mir, ga maksud sekeras itu."

"Masa? Ngomong-ngomong, itu ga keras. Hampir ga kerasa. Ayo, coba pukul lagi, dasar lemah."

Aku memukulnya lagi, lalu sekali lagi, masing-masing sedikit lebih keras dari sebelumnya.

"Gnn," gerutu Mira. "Cemen."

Aku menamparnya lagi, keras, dan dia tersentak dan menggigil.

"Sudah cukup?"

"Huh," katanya, tapi dia juga terengah-engah saat mengatakannya, "Bilang saja kapan kamu mau mulai pukul."

Aku melepaskan lengannya, berlutut dan mengayunkan tanganku sekuat tenaga. Suara pukulan itu bergema di dinding membuat Mira menjerit dan menggeliat. Aku memukulnya lagi, lalu sekali lagi dan dia menggeliat lalu berbalik telentang.

Dia berbaring di bawahku, jubahnya tertarik ke atas pinggang, vaginanya terbuka, payudara kanannya keluar dari jubahnya, putingnya keras.

"Payudara yang indah," kataku.

"Terima kasih, Tuan." Dia melirik penisku, kaku dan terbujur di dalam celana kolorku. "Kenapa itu?"

"Ga ada," kataku.

"Katanya kamu ga tertarik sama sepupu setengah telanjang."

"Memang ga. Aku akan coba jelasin ke penisku sambil mandi." Kataku sambil membuka celanaku dan melemparnya kelantai, “Atau kamu mau bantu jelasin ke penisku?”

"Mimpi." Dia bangkit, mendorongku sampai jatuh terduduk di ranjang lalu berlari ke kamar mandi, “Aku mandi duluan,” dengan sengaja mengoyangkan pantatnya saat dia pergi mendahuluiku ke kamar mandi, dan lalu ga berapa lama kudengar suara shower menyala.

Aku berguling telentang dan meletakkan tanganku sebagai bantal, menatap langit-langit.

Kudengar telepon mulai berdering di ruang tamu, tapi terlalu malas untuk bergerak. Aku menunggu, menghitung suara dering, sampai 10 kali sebelum berhenti.

Kukira siapapun yang menelepon sudah menutup teleponnya, tapi lalu aku dengar suara Mira, lembut, lalu tertawa, dia ngobrol selama beberapa menit. Lalu dia berteriak, "Yo, ini ibumu!"

Aku berguling dari tempat tidur, mencari celanaku yang tadi kulempar, lalu berpikir ga perlu pakai celana lah, lalu berjalan telanjang keluar.

Mira dalam kondisi yang sama, telanjang, mengulurkan telepon padaku.

"Kirain kamu lagi mandi," kataku.

"Hampir. Kamu jelas ga akan angkat telepon."

"Terima kasih," Aku mengambil telepon, "Hai Bu, apa kabar?"

"Baik, Yo, terima kasih. Kamu dan Mira baik-baik saja?"

Aku memandangi sepupuku yang cantik, bersandar telanjang di dinding. "Kami sehat, Bu" kataku.

"Bagus deh. Aku punya berita."

"Oh ya? Berita apa?"

Ibu terdiam beberapa saat, aku menebak-nebak apa yang akan dikatakannya, pekerjaan baru, mobil baru, Nadia dapat penghargaan di sekolah, atau...

"Aku mau menikah, Yo," katanya.

Giliranku berdiri diam selama beberapa detik dengan mulut terbuka. Mira memiringkan kepalanya memandangku yang terdiam, lalu mencolek tulang rusukku.

"Oh ... eh, bagus, Bu. Aku kenal orangnya?"

"Apa kamu keberatan dengan ini, Yo?" Kata Ibu. "Aku tahu ini mendadak, dan kita, uh, cukup dekat selama liburan kemarin. Ibu ga yakin apa yang kamu rasakan."

Aku memandangi Mira, sadar dia sekarang berdiri begitu dekat, ga tahu seberapa banyak pembicaraanku dengan Ibu yang bisa dia dengar.

"Bagus, Bu. Aku ikut senang."

"Kamu ga cuma mau bilang itu, kan, Yo? Karena Ibu pikir ini akan-"

"Bu, menurutku itu berita bagus." Dan tiba-tiba kurasakan gelombang rasa bersalah - bukan karena apa yang kami lakukan saat liburan, tapi karena perasaanku sekarang. Aku senang dia akan nikah, tapi disisi lain ada perasaan yang baru kusadari saat Ibu memberi kabar ini.

Aku sadar kalau aku sudah bebas lagi. Setelah bersetubuh dengan ibuku, ada ikatan yang lebih dekat antara kami: aku merasa lebih bertanggung jawab atasnya, kebahagiaannya, kepuasannya, masa depannya. Tapi kalau dia ketemu orang lain maka aku sudah bebas dari tanggung jawab apa pun yang mungkin aku rasakan, dan sekarang aku merasa bersalah karena senang bebas dari tanggung jawab itu..

"Kamu yakin? Setelah apa yang terjadi?"

Ada yang aneh dalam suaranya, dan aku berpikir apa dia berharap aku marah. Berharap aku untuk bilang dia ga boleh menikah.

"Yakin, Bu. Jadi, apa aku kenal pria yang beruntung ini?"

"Jerry Wijaya. Kayaknya kamu kenal dia. Dia juga guru."

"Aku ingat dia. Dia beberapa tahun lalu pernah ke rumah kan?"

"Ya, itu dia. Dia cerai sekitar empat tahun lalu. Ibu kenal sejak aku kerja di sekolah. Kami sudah sering jalan bareng beberapa tahun ini tapi cuma sebatas itu, tapi.. Ibu ga tahu... kurasa Ibu harus bilang terima kasih ke kamu, Yo." Dia tertawa seperti gadis remaja.

"Aku? Kok bisa?"

"Sejak ayahmu meninggal, Ibu sudah menutup hati untuk pria. Tapi setelah apa yang terjadi saat liburan, kurasa... Semuanya sudah berubah dengan cepat, Yo. Sangat cepat."

"Itu bagus," kataku.

"Rasanya begitu," kata Ibu.

"Apa Nadia suka padanya?" Aku bertanya.

Mira telah pergi dan bikin kopi lagi, masih berkeliaran telanjang bulat, aku menjepit gagang telepon di bahuku, menyilangkan tanganku dan mengawasinya berkeliaran, merasakan penisku merespons pada apa yang kulihat.

"Dia suka padanya," kata Ibu. "Dia benar-benar baik ke Nadia. Dia akan jadi ayah yang hebat."

"Apa dia juga punya anak?"

"Dua. Laki-laki dan perempuan, sudah nikah semua."

"Dan apa ini yang benar-benar Ibu mau, Bu?" Aku bertanya, lalu dengan cepat melanjutkan. "Aku ikut senang untukmu, Bu, dan jangan berpikir Ibu berhutang apa-apa padaku karena liburan kemarin," aku memelankan suaraku, ga mau Mira dengar bagian ini. "Tapi apa ini yang benar-benar Ibu mau?"

Kudengar Ibu menghela nafas, tapi aku tahu itu bukan karena sedih. "Ibu rasa begitu, Yo. Ibu suka liburan istimewa kita, tapi aku tahu itu ga nyata."

"Terasa nyata buatku," kataku.

Dia tertawa. "Kamu tahu maksudku. Bukan hubungan untuk kita bisa menikah, kan? Tapi ini ... ini terasa benar, Yo. Apa kamu beneran senang dengan berita ini?"

"Beneran, Bu," kataku dengan serius, berharap Ibu bisa merasakan ketulusan dalam suaraku.

"Aku rindu kamu, Yo. Aku rindu tubuhmu. Aku rindu ciumanmu." Dia menurunkan suaranya. "Dan aku rindu penismu."

Aku dapat merasakan penisku bergerak makin semangat, jadi aku mencoba mengubah topik pembicaraan.

"Aku juga rindu Ibu," kataku. "Jadi, kapan tanggalnya?"

Mira membawa cangkir kopi ke arahku dan aku menerimanya. Dia melirik ke bawah, melihat penisku yang sekarang setengah tegak, dan mengangkat alis. Aku menjaga wajahku tetap netral, pura-pura ga memperhatikannya. Aku berharap dia akan mandi, air masih mengalir di kamar mandi, tapi dia tetap berkeliaran sambil meminum kopinya, telanjang seperti aku.

"Juni," kata Ibu. "Saat liburan sekolah. Nadia akan ikut camping tahun ini, jadi kami samakan waktunya pas seminggu dia pergi. Kamu bisa datang, kan? Mira juga? Kalian harus datang ke pesta pernikahan."

"Pasti aku datang. Dan Mira juga. Aku akan paksa dia."

Mira mengangkat alis bingung.

"Bagus. Aku lega sekarang, Yo. Entah gimana rasanya ga nyata, Yo, sampai aku memberitahumu. Sekarang sudah terasa nyata. Ya Tuhan, Yo, aku akan menikah!"

"Selamat," kataku.

Aku mendengar suara Nadia samar-samar, lalu Ibu bilang. "Yo, kami harus pergi. Kami sudah terlambat untuk latihan hoki, lalu, ya.. ada banyak yang harus dikerjakan. Ibu akan segera kabari tentang pengaturannya."

"Oke," kataku.

Aku meletakkan telepon, menyeruput kopiku.

Mira bilang, "Kamu selalu ereksi kalau lagi ngobrol sama ibumu?"

Aku melihat ke bawah.

"Aku bayangin kamu."

Dia tertawa. "Kalau iya juga gapapa kok. Aku sendiri pernah membayangkan ibumu. Kamu tahu aku basah saat aku membayangkannya. Lagian, siapa bilang kamu boleh bayangin aku."

Aku tertawa dan menampar pantatnya dengan keras. "Cepat mandi, Nak. Lalu aku punya kabar buatmu."



----------0---------


(POV MIRA)

Aku dan Yohan terbang ke Jogja dan menyewa mobil selama seminggu. Saat itu hari Jumat, 16 Juni, sehari sebelum Tante Vina, ibunya Yohan menikah. Aku sebenarnya khawatir tentang gimana perasaan Yohan. Hubungannya dengan ibunya tampak rumit, tapi sejauh yang kutahu, dia benar-benar bahagia untuk Ibunya.

Tante Vina dan Nadia ada di rumah saat kami sampai, dan setelah mencium ibunya, Yohan mengangkat Nadia dan mengayunkannya berputar-putar saat dia tertawa dan kakinya menendang-nendang. Tante Vina menatapku dengan senyum lebar, dan aku merasa bahuku rileks. Sudah lama sejak aku melihatnya, hanya carita Yohan yang membuatku tetap menjaga hubungan dengan bibi favoritku. Dia tampak luar biasa, tubuhnya kencang dan ramping, tampak sepuluh tahun lebih muda dari 38 tahun.

"Tante Vina kayaknya memang masih cocok untuk jadi pengantin," kataku, saat dia memelukku dan mencium pipiku. Dia memelukku erat-erat dengan tangannya dan aku bisa merasakan payudaranya, lebih besar dari punyaku, menekan dadaku.

"Miranda, Tante senang kamu datang."

Aku memeluknya lagi. Dia beberapa centi lebih pendek dariku dan bagian atas kepalanya terselip nyaman di leherku. Aku bertanya-tanya apa Yohan sudah menceritakan padanya tentang pilihan gaya hidupku, bertanya-tanya apa dia tahu apa yang terjadi padaku saat seorang wanita lebih tua yang cantik memelukku. Terutama saat wanita tua yang cantik itu adalah wanita yang aku suka sejak masa remaja.

Akhirnya dia mencium pipiku lagi, lalu melangkah mundur, tangannya memegang lenganku, dan dia menatapku dari atas ke bawah.

"Aku sering tanya ke Yohan seperti apa tampangmu sekarang, dan dia cuma bilang, Oh, oke, lumayan kayaknya. Tapi ternyata kamu kelihatan sangat memukau, Mira. Luar biasa menawan."

Aku merasakan bibirku tersenyum. "Tante sendiri kelihatan cantik, Tante Vina."

"Hei, mendingan buruan kalian cari kamar deh," kata Yohan melihat kemesraan kami.

"Mereka ga perlu cari kamar, Mas," kata Nadia. "Kalian nginep disini, kan?"

Kami tertawa karena kepolosan Nadia .

"Pasti mereka nginep disini," kata Tante Vina.

"Kamu bisa pakai kamarku, Mir," kata Yohan, "Aku bisa tidur di sofa malam ini."

"Mungkin Miranda bisa tidur bareng di kamarku," kata Tante Vina. "Malam ini aku akan butuh teman wanita untuk persiapan besok. Kamu ga lupa bawa jas, kan, Yohan?" Dia bertanya ke putranya, yang menjawab dengan anggukan.

Aku mengajaknya belanja awal minggu ini, ga terlalu yakin dia bisa milih sendiri setelan yang sesuai, jadi aku bantu dia memilih jas. Uang bukan lagi jadi masalah. John sudah melakukan pekerjaan yang hebat untuk membuat website kami lebih dikenal, dan sekarang sudah membuahkan hasil, bulan lalu website kami sudah menghasilkan pendapatan sampai milyaran. Cindy dan anggota tim lainnya yang menjalankannya sekarang, Yohan dan aku fokus ke bagian yang paling kami suka, menggambar.

Jas Yohan berharga sembilan juta, yang dijahit khusus dengan model terbaru dari Italia, berbahan satin, dan menempel dengan sempurna untuknya. Hanya melihatnya berjalan mondar-mandir di dalam toko saat mencobanya sudah membuat selangkanganku basah. Aku rasa dia ga tahu apa efeknya padaku saat itu. Semoga dia ga tahu.

Aku ga mau hubungan kami sekarang rusak karena aku mulai naksir Yohan. Entah ada apa dengan keluarga ini? Tante Vina dan sekarang Yohan, kenapa mereka bisa bikin aku menginginkan mereka. Aku lega setelah Sabtu nanti hanya tersisa aku dan Yohan. Aku sudah tahu cara menghadapinya, menjaga jarak yang aman. Aku sudah cukup sering latihan sejak dia pindah ke Jakarta, aku jadi ahli dalam hal menggodanya, cukup untuk memuaskan keusilanku tanpa membuat hal-hal berjalan kelewat batas.

"Dan kamu sudah tahu besok harus apa?" Tante Vina bertanya pada Yohan, membuatku sadar dari lamunan dan fantasi kecilku sendiri.

"Ya, Bu. Aku sudah tahu apa yang harus kulakukan. Jangan khawatir."

Dia berjalan mendekat ke putranya dan menariknya erat-erat ke pelukannya, tangannya melingkar di pinggang Yohan, kepalanya bersandar di bahunya yang lebar. Dia berjinjit dan mencium pipinya, lalu memalingkan wajah anaknya dan mencium bibirnya.

Wow, pikirku. Yohan pernah cerita dia dekat dengan ibunya, tapi momen singkat ini kelihatan jauh lebih intim dari itu. Atau mungkin ini hanya emosi menjelang pernikahan besok, karena adanya perubahan bentuk keluarga nantinya.

Nadia bergerak mondar-mandir, pergi ke dapur, kembali, berlari ke kamarnya, balik lagi keluar, lalu mendekat ke Yohan dan memeluk kakinya, datang mendekat padaku dan memelukku meskipun dia hampir ga kenal aku.

Yohan akhirnya melepaskan pelukan Tante Vina, dan berkata, "Aku akan mengajak Nadia jalan-jalan keluar sementara kalian mempersiapkan hal-hal misterius apapun yang perlu Ibu lakukan buat besok."

"Boleh, Yohan. Tapi kamu ga capek?"

"Ga akan terasa capek ngabisin waktu sama adik perempuan favoritku."

"Aku satu-satunya adik perempuanmu, mas," kata Nadia sambil memukul kaki Yohan.

"Tapi kamu tetap masih jadi favoritku," kata Yohan.

"Terserah deh kalau gitu.”

"Ayo kita ngopi dulu," kata Tante Vina. "Kalian pasti masih capek setelah perjalanan dari Jakarta. "

Yohan tertawa. "Satu jam di pesawat, satu setengah jam di mobil. Sekarang Jakarta sudah ga sejauh itu, Bu."

"Kurasa buat Ibu masih jauh," katanya. "Terasa jauh saat kamu disana."

Yohan memandangnya dan tersenyum. "Aku selalu ada disini, Bu, Ibu tahu itu." Dia menyentuh pipinya, mencium bagian atas kepalanya lalu kami semua pergi ke dapur. Kami duduk mengelilingi meja dan menceritakan semua hal yang bisa kami ceritakan saat Tante Vina membuatkan kopi untuk kami dan susu untuk Nadia.

Aku kaget saat merasakan betapa nyamannya aku duduk di dapur ini yang telah kubagi bersama mereka sampai aku berumur dua belas tahun. Semuanya terasa persis seperti dulu, ga ada yang berubah. Tempat ini terasa lebih seperti rumah buatku dibanding di mana pun aku pernah tinggal, sampai Yohan dan aku pindah ke apartemen baru. Dan itu mungkin lebih ada hubungannya dengan Yohan yang ada di sana dibandingkan karena lokasi. Aku merasa seperti berada di sini, di rumah ini, bersama keluarga ini. Aku harus menarik nafas dan menghembuskannya perlahan untuk menahan air mataku agar ga keluar karena perasaan nostalgia yang tiba-tiba datang.

Untungnya Yohan dan ibunya terlalu asyik dalam obrolan mereka dan ga memperhatikan aku, Nadia pun sedang sibuk bermain sendiri.

Sudah hampir jam empat saat kami bangkit dari meja. Yohan menanyai Nadia dan menemukan ada film bioskop baru yang baru diputar dan Nadia ingin nonton.

"Gimana kalau kita ajak beberapa temanmu, siapa tahu ada yang mau ikut juga?" Kata Yohan.

Nadia bertepuk tangan, lalu memandangi ibunya. "Boleh ga, Bu?"

"Ibu ga yakin Mas Yohan mau nonton dengan beberapa gadis kecil yang berisik," kata Tante Vina.

"Gapapa, Bu," kata Yohan. "Biar Ibu dan Mira punya banyak waktu untuk ngobrol dan ngelakuin hal-hal khusus wanita. Aku akan ajak mereka makan pizza setelah nonton, jadi Ibu ga perlu masak. Selain itu besok Nadia akan pergi camping, ini akan jadi satu-satunya kesempatan kami jalan-jalan."

Aku mengerutkan kening. "Kamu besok mau camping?" Aku bertanya pada Nadia.

"Ya," katanya. "Aku, Angel, Susi, dan Shella. Semua sahabatku. Kami akan tidur di bawah pohon, belajar kano di danau, belajar nyalain api dan masak dan... oh... masih banyak yang lainnya."

"Tapi besok ibumu nikah," kataku.

"Aku sudah tahu kok," kata Nadia. Yohan dan Tante Vina mengawasi kami, tersenyum geli, dan aku yakin ga ada satupun yang berniat bantu aku berdebat.

"Ibu akan nikah jam sepuluh," kata Nadia, dengan nada seolah menjelaskan ke orang yang ga ngerti apa-apa. "Kita semua akan makan-makan di hotel, orang-orang juga akan datang dan ikut makan. Ayahmu, ibu tirimu, teman-teman Ibu, teman-teman Mas Yohan juga, kira-kira sepuluh orang, kayaknya sih. Terus kita akan berangkat ke perkemahan jam enam sore. Ibu bilang dia mau pergi bulan madu, jadi Mas Yohan akan nganterin aku ke sekolah untuk kumpl sebelum berangkat. " Itu adalah penjelasan yang panjang, dan sebagian besar sesuai dengan yang sebenarnya, tapi yang menarik perhatianku adalah saat Nadia menyebut ayahku dan ibu tiriku.

Aku melirik Tante Vina. "Ayah juga datang?"

Dia mengangguk, wajahnya seakan mengerti yang kurasakan.

"Aku tahu kamu ga akur dengan ayahmu, Mira, tapi aku ga mungkin ga mengundang saudara laki-lakiku satu-satunya. Dan jangan kuatir kamu dan Yohan sudah kupesankan hotel yang berbeda dengan Ayahmu besok malam. Ini juga sebagai ucapan terima kasih karena kamu sudah mau datang dan membantu."

"Lho, aku kira kami akan nginap di rumah, Bu," kata Yohan.

"Iya tapi mulai hari Minggu. Tapi khusus besok Ibu ingin traktir kalian, buat semalam saja. Ini hotel bintang 4, yang paling mewah di sini. Aku rencananya mau kasih kejutan buat kalian, tapi kayaknya Ibu ga bakat nyimpan rahasia."

Aku melihat mereka saling menatap beberapa saat, tapi ga tahu arti tatapan mereka.

Yohan bertepuk tangan sekali, membuyarkan momen itu. "Oke. Nadia, siapin sepatumu, telpon temanmu tanyain apa mereka mau ikut nonton film ini. Jangan lupa ijin ke orang tuanya juga, bilang kita mau makan pizza juga, jadi kita paling cepet pulang jam 8 malam. Bu, ajak Mira ke kamar dan lakuin yang harus dilakuin. Sampai ketemu lagi nanti. " Dia mencium Ibunya, lalu menciumku juga, lalu mengajak Nadia pergi ke depan.

Tante Vina melirik ke arahku, lalu nyengir. "Dia anak yang baik," kata Tante Vina.

"Sekarang dia sudah jadi pria dewasa, bukan anak-anak lagi," kataku, dan dia mengangguk.

"Aku tahu. Pria dewasa yang baik..." Dia menghela nafas dalam-dalam, menenangkan diri. "Ayo, bawa tasmu kedalam. Aku mau tunjukin gaun yang akan kupakai besok, dan aku butuh bantuan untuk berkemas dan dibawa saat bulan madu. Lalu terakhir aku butuh saran darimu tentang make up dan perawatan khusus wanita."

"Dari aku?" kataku "Pasti ada orang lain yang lebih mampu kasih masukan soal itu"

Tante Vina menatapku. "Aku ga bisa nemu orang yang lebih cantik darimu, Mira. Kamu pasti bisa kasih beberapa nasehat."

Aku merasa wajahku memerah karena pujiannya, lalu bangkit dan mengumpulkan cangkir kopi kami dan menumpuknya di wastafel.

Di kamar, aku meletakkan koper di bagian bawah tempat tidur.

"Kamu gapapa kan tidur disini sama Tante?"

"Gapapa kok, Tan." Aku berusaha terdengar biasa saja, tapi sebenarnya aku sudah basah saat membayangkan aku akan tidur seranjang dengan tanteku yang seksi ini.

"Bagus deh kalau gitu. Bukan apa-apa sih, cuma kasian kalau Yohan harus tidur di sofa. Dan jujur, aku akan butuh teman malam ini. Aku gugup banget. "

"Kenapa gitu, Tan? Ini yang Tante mau, kan?"

"Iyalah. Tapi untuk wanita seumurku ini sesuatu yang luar biasa, Mira."

"Jerry - itu namanya, kan?"

Tante Vina mengangguk.

"Apa dia laki-laki yang baik?"

"Dia pria yang sangat baik. Tapi aku sudah begitu lama dan terbiasa sendiri, dan sekarang semuanya akan beda."

"Apa nanti kalian akan tinggal di sini?" Aku bertanya. Aku duduk di tepi tempat tidurnya dan dia duduk di sisi satunya.

Dia menggelengkan kepalanya. "Rumah ini akan dijual mulai minggu depan. Mungkin malah iklan sudah dipasang sekarang. Itulah salah satu alasan kenapa aku ingin Yohan tinggal disini sampai kami balik dari bulan madu. Apa kamu mau tinggal di sini seminggu? Apa kalian bisa kerasan?"

"Kami sudah biasa tinggal berdua," kataku, lalu aku sadar dan merinding karena arti kata-kataku sendiri.

"Oke kalau memang gitu," kata Tante Vina. "Sekarang, aku akan tunjukin gaunku. Aku pikir kalau pakai warna putih kurang pas, tapi untungnya aku punya gaun krem yang bagus. Dan aku mau minta pendapatmu, Mira."

"Apa pun yang bisa aku bantu.”

Tante Vina tersenyum. "Apa menurutmu pakai stocking dan garter belt akan kelihatan terlalu... binal?"

Aku tertawa. "Binal? Lagi pula, siapa yang akan tahu, selain Om Jerry? Walaupun aku ga tahu banyak tentang cowok, tapi aku tahu mereka suka lihat wanita cantik pakai garterbelt dan stocking."

Tante Vina terkikik. "Aku pikir juga gitu, tapi aku ga yakin." Dia berguling di atas tempat tidur dan duduk di sampingku, menarikku ke arahnya dan memelukku. "Aku senang kamu ada di sini, Mira."

"Aku juga," kataku.

"Oke. Jadi ga masalah dandan sedikit binal untuk suami sendiri. Nanti Aku akan coba dandan dulu sebentar terus nanti kamu kasih pendapat."

"Boleh," kataku.

"Sekarang, bantu aku milih apa saja yang harus dibawa saat bulan madu."

Kami butuh satu jam untuk memilih pakaian bulan madu Tante Vina dan mengemasnya dalam koper. Saat memilih tadi dia cerita bahwa lemarinya berisi banyak barang bagus yang sudah dia beli dan kumpulkan selama beberapa bulan terakhir: underwear sutra, blus tipis, dan beberapa set lingerie baru. Aku tahu Yohan sudah mengirim uang ke rekening ibunya, dan sepertinya dia sudah memakai banyak uang supaya kelihatan lebih menarik didepan calon suaminya.

"Berikutnya Aku mau nunjukin baju yang akan kupakai di nikahan besok. Oke?"

"Boleh," kataku, duduk lagi di tempat tidurnya, kakiku selonjor di atas selimut.

Tante Vina membuka lemari pakaian besar dan mengeluarkan gaun yang masih dibungkus plastik. Membuka beberapa laci dan memilih pakaian dalam, lalu perhiasan dari sebuah kotak di meja samping tempat tidur. Dia meletakkan semuanya di atas tempat tidur lalu mulai membuka kancing blusnya. Aku menyaksikan tanpa berkedip. Dia tampak benar-benar ga terganggu membuka baju di depanku, dia melepas blusnya sambil ngobrol lalu membuka roknya dan meletakkannya di bagian lain tempat tidur.

Sosoknya hanya memakai bra dan celana dalam kecil luar biasa, bahkan akan terlihat luar biasa bagi gadis yang berusia setengah dari umur Tante Vina, perut rata, kaki ramping dan kencang. Payudaranya paling ga satu cup lebih besar dariku. Dia meraih ke belakang dan melepas pengaitnya, menariknya kedepan dan aku melihat bola-bola berat itu sedikit melorot, tapi masih terlihat padat, lekukan bagian bawah membulat penuh dan nyaris ga menyentuh perutnya. Mereka bergoyang saat dia membungkuk dan mengambil bra krem yang akan dia pakai besok. Dia memakainya perlahan dan aku hampir yakin dia sedang menggodaku, tapi ga mungkin dia tahu gimana perasaanku padanya.

"Bisa bantu aku, Mira?" dia bertanya, memunggungiku.

"Bentar," kataku, lalu berdehem saat suaraku terdengar serak.

Aku turun dari tempat tidur menghampirinya dan menarik tali bra kebelakang lalu mengaitkan kancingnya di punggungnya.

“Apa Tante sering olahraga, Tante Vina? Badan Tante kelihatan masih bagus banget."

"Aku?" dia tertawa. "Akhir-akhir ini aku memang ikut senam dan yoga, dan agak sedikit memilih-milih makananku." Dia menjawab. "Aku senang kalau hasilnya kelihatan."

"Kelihatan kok," kataku.

Tante Vina menarik-narik tali bra barunya, mengatur posisi payudaranya di dalam, menyelipkan tangannya ke dalam dan membuatnya lebih nyaman.

"Pas?" dia bertanya dan membalikkan badan menghadapku.

Aku memandangi payudaranya, karena sudah jelas itu yang dia butuh pendapat soal itu.

"Sejujurnya, Tante Vina?"

Dia tampak khawatir, dan menjawab. "Ya, Tolong bilang sejujurnya."

"Menakjubkan," kataku.

"Sungguh?"

"Sungguh," kataku. Dan itu jujur. Bra itu berpotongan rendah di bagian depan, hanya menutupi putingnya. Cup-nya mendorong payudaranya ke atas dan ketengah, membentuk belahan dada yang dalam. Bahannya berenda dan tipis dan menunjukkan lingkaran hitam di sekitar putingnya dengan jelas, yang membentuk tonjolan-tonjolan kecil di bahan sutra.

"Menurutku juga bagus, tapi aku senang bukan cuma aku yang merasa begitu."

Dia membungkuk dan melepas celana dalam lamanya, berbalik dan mengambil celana dalam yang baru, memakainya dan menunjukkannya sambil berputar.

"Itu luar biasa juga," kataku, memperhatikan gimana celana dalamnya menempel erat padanya, sepintas menjiplak bentuk vaginanya, rambut kemaluannya terbayang dibaliknya. Celana dalamnya begitu ramping dan kecil sehingga aku bisa melihat ujung-ujung rambut kemaluannya yang keluar dari samping atau dari bagian atas yang berpotongan rendah. Efeknya sangat seksi dan sedikit nakal pada saat yang sama, tapi aku ga mau bilang apa-apa.

Tante Vina membuka stoking tipis dan memakainya, lalu memakai garter belt, membetulkan posisinya, dan mengaitkan ke stokingnya.

Dia berpose di depanku, berbalik lalu membungkuk dan aku tertawa sambil bertepuk tangan.

"Rasanya ga penting kemana kalaian bulan madu, Tante Vina," kataku. "Kamu ga akan keluar dari kamar."

Pipinya memerah dan dia tersenyum. "Memang itu tujuannya, kan? Bahkan untuk wanita setua ini?"

"Tante ga tua. Tante masih muda, Tante Vina. Aku akan senang kalau bisa kelihatan setengahnya dari Tante pas aku umur 38."

Dia menatapku. "Pasti bisa, Mira. Kamu sangat cantik."

"Ah," aku mengangkat bahu karena pujian itu.

Tante Vina mengeluarkan gaunnya dari bungkus plastik dan memakainya, berbalik dan memintaku menutup ritsletingnya. Lalu dia merentangkan tangannya dan bilang, "Apa sudah cukup bagus?"

Aku mengangguk. "Lebih dari cukup. Tante luar biasa cantik."

Dia tersenyum. "Terima kasih." Lalu dia menghela nafas dan berkata, "Bantu bukain semua lagi, Mira, lebih baik aku lepas semua sebelum kusut. Tapi semua memang bikin aku merasa seksi."

Aku membuka ritsleting gaunnya, mengagumi kulit punggung dan bahunya yang halus.

"Aku akan mandi, Mira, lalu aku butuh bantuan lagi kalau kamu ga keberatan."

"Tentu ga keberatan."

Dia membuka stokingnya, garter belt dan pakaian dalamnya lalu melipatnya dengan hati-hati satu persatu sampai dia berdiri telanjang di kamar, masih benar-benar ga terganggu dengan kehadiranku. Aku tahu aku sendiri ga terlalu bermasalah dengan ketelanjangan, tapi saat itu dilakukan oleh wanita yang pernah mengisi khayalanku saat remaja, levelnya sangat berbeda.

"Bisakah kamu tolong ambilin anggur di kulkas?" dia bertanya saat dia berjalan keluar ke kamar mandi dan mulai membuka keran bathtub.

Aku mengambil dua gelas di dapur dan mengisinya dengan anggur dingin lalu membawa gelas-gelas itu ke kamar mandi. Tante Vina berbaring bersandar di bathtub, tangannya mengaduk-aduk air dengan lembut. Payudaranya menjulang tinggi dan putingnya menonjol ke atas permukaan air. Aku menaruh gelas di bagian samping bathtub, dan tanpa berpikir membungkuk lalu mencium pipinya.

Dia tersenyum padaku dan bilang, "Terima kasih. Itu manis sekali."

Aku bisa merasakan diriku gemetar saat sadar apa yang barusan kulakukan, dan berharap Tante Vina ga menyadari. Aku menurunkan dudukan toilet dan duduk di seberangnya dan kami ngobrol saat dia membasuh tubuhnya. Dia mengisi bathtub dengna air panas beberapa kali, lalu setelah setengah jam dia bangkit dan keluar. Dia membungkus dirinya dengan handuk biru besar dan pergi ke kotak obat.

"Apa kamu bisa bantu aku dengan ini, Mira?" Dia berbalik dengan banyak plester hair removal wax di tangannya.

"Aku perlu membersihkan kaki dan ketiakku... dan mungkin di tempat lain juga. Aku sudah bertahun-tahun ga pernah pakai barang ini. Aku coba sendiri kemarin dan ga bisa melepasnya dengan benar. Rasanya sakit banget!" Dan dia tertawa.

Aku ikut tertawa. "Boleh. Tapi aku ga jamin bisa ngelakuin lebih lembut."

Kami balik ke kamar tidur dan Tante Vina duduk di tempat tidur, kakinya terulur kedepan dan dia menarik handuknya untuk menyingkap paha dan betisnya.

Aku menarik bagian belakang plester dan menempelkannya ke sekitar tulang keringnya, merapikannya agar menempel rapi, lalu tanpa berhenti menariknya tiba-tiba.

Tante Vina mendesis pelan, tapi hasilnya telah membuat kulitnya yang tadi ditempeli plester jadi bersih dan mulus.

"Sakit?" Tanyaku saat aku memasang plester lain lagi.

"Ya, sedikit. Tapi ga sesakit kalau ngelakuin sendiri," katanya.

Aku menarik lepas plester lagi, mencabut beberapa helai bulu kaki. Tante Vina mendesis dengan cara yang sama, dan terus melakukan itu saat aku mengerjakan kaki kanannya dulu lalu kaki kirinya.

Saat aku selesai aku meraba kakinya dengan telapak tanganku dan mengangguk puas.

"Halus seperti pantat bayi," kataku. "Apa Tante punya lotion kulit atau yang lain?"

"Coba di kamar mandi," dia menjawab.

Aku keluar dan menemukan sebotol besar baby oil. Aku ga yakin cocok, tapi setahuku ini bisa dipakai kalau kulit jadi iritasi karena cukuran, jadi aku bawa balik ke kamar, menuangkan cairan bening ke tanganku dan meratakannya di kakinya. Tante Vina menghela napas dan tersenyum, lalu mengeliat sedikit dan mengangkat lengannya ke atas kepala sehingga membuat lilitan handuk di tubuhnya terlepas dan melorot. Dia dengan cepat menurunkan tangannya dan memasangnya lagi.

"Enak banget kalau habis ngulet," katanya.

"Memang."

Dia bergerak lagi, mengangkat lengannya lagi. "Kamu bisa bantu di bagian sini juga, Mira?"

"Bisa. Di mana saja yang Tante mau, Tante Vina."

Dia mengangkat alis, dan lagi-lagi aku kaget saat sadar kata-kataku terlalu ambigu. Tapi aku bergerak cepat menempelkan plester di ketiaknya, menekan-nekan agar menempel rata, lalu menariknya dengan cepat dan kuat.

"Aduh," Tante Vina tersentak.

"Ups."

Dia menatap ketiaknya yang halus. "Harus dilakuin. Lanjutin."

Aku selesai Di satu sisi, pindah ke yang satunya, lalu mengoleskan minyak ke kulit halus. Setelah selesai, tanpa sadar aku membungkuk dan mencium ketiaknya sekali.

Tante Vina menoleh dan menatapku, wajah kami dekat.

Aku tersenyum gugup. "Aku ga tahu apa yang merasukiku."

"Itu manis sekali," katanya, lalu, "Sekarang, Mira, aku butuh pendapatmu lagi."

Aku duduk lagi, senang saat canggung sudah lewat dengan cepat. "Tentang apa?."

"Boleh aku tanya, apa yang kamu lakuin dibagian sana?" dia mengangguk ke arah handuk yang menutupi selangkangannya.

Aku memandangnya. Aku bisa pura-pura ga tahu apa maksudnya, tapi akan kelihatan bodoh.

"Aku selalu mencukur rambut vaginaku," kataku.

"Oh ya? Semuanya?"

Aku mengangguk.

"Aku kepikiran sesuatu...," katanya. "Apa menurutmu Jerry akan suka kalau aku..?"

"Apa dia laki-laki? Apa dia hidup? Pastilah dia akan suka."

"Aku ga yakin seberapa banyak. Sebagian, semua atau gimana? Gimana menurutmu?"

Aku mengangkat bahu. "Kalau aku, Tante, Aku habisin sampai bersih sekalian."

"Kayak apa bentuknya?" Dia bertanya.

Sekali lagi, sistem bawah sadarku mengambil alih gerakanku. Aku berdiri, membuka ritsleting celana jinsku dan menariknya ke bawah, berikut celana dalamku dan sekarang keduanya sudah berada di pergelangan kakiku.

"Coba lihat saja," kataku, melebarkan kakiku sedikit.

Tante Vina melihat, mencondongkan tubuh ke depan untuk mengamatiku. Dia butuh waktu lama, lalu menatap mataku.

"Kamu punya vagina yang sangat indah, Mira. Sangat cantik."

"Terima kasih."

"Rasanya aku juga mau punyaku dibikin gitu. Apa kamu ngerasa aneh bantu aku ngelakuin itu?"

Aku melihat kembali ke matanya. "Ya, mungkin, sedikit. Tante lebih seperti Ibu buatku dibanding siapapun yang pernah ada. Tapi kalau Tante mau, ya gapapa aku bantuin."

"Aku mau," katanya, dan menarik handuk itu sehingga terlepas dan dia menjatuhkannya ke samping tempat tidur lalu berbaring telentang telanjang bulat. Dia menekuk lututnya dan membuka kakinya. "Lakuin," katanya.

Aku tertawa. "Kayaknya harus digunting dulu, kalau ga bakal sakit banget."

"Kamar mandi," katanya.

Aku memakai celana dalamku tapi membiarkan celana jinsku di lantai kamar, keluar dan mengambil gunting.

"Yakin mau dihabisin semuanya, Tante Vina?"

Dia mengangguk, kepalanya bersandar di bantal. "Semua," katanya.

Aku memakai gunting untuk memotong rambut kemaluannya. Dia berbaring tidak bergerak saat aku bekerja, tanpa suara. Setelah beberapa menit yang hening, sebagian besar sudah kupotong pendek dan saatnya beranjak ke tahap selanjutnya.

Aku membuka plester sambil meliriknya dan dia mengangguk. Aku menempatkannya di antara kakinya, mulai dari bagian paling sensitif dari labia-nya, menekannya sampai rata tanpa bisa menghindari sentuhan dengan jari-jariku. Lalu kutarik tiba-tiba dan dia melompat kaget dan mendesis keras.

"Lanjutin," katanya. "Bahkan kalau aku teriak, tetap lanjutin."

Aku menerapkan plester ke sisi lain, mengulangi gerakan tadi. Lalu aku bergerak ke atas, membersihkan bagian bawah perutnya, lalu dengan lembut membersihkan di sekitar klitorisnya, menghilangkan setiap sisa rambut yang masih menempel, lalu akhirnya aku mundur dan duduk lagi.

"Selesai," kataku.

Tante Vina menggigit bibir bawahnya, matanya yang terpejam membuka perlahan lalu dia menghela nafas.

"Sakit?" Aku bertanya.

"Lebih sakit dari kaki," katanya. Dia duduk dan melihat ke bawah, matanya melebar. "Wow, kelihatan... aneh. Ya Tuhan, semoga Jerry suka."

"Kenapa harus ga suka?"

"Lotion," kata Tante Vina, kembali berbaring.

Aku ragu-ragu, lalu mengambil botol dan menuangkan ke tanganku, mengulurkan tangan ke bawah dan mengoleskan minyak ke kulitnya. Aku mengoles di atas vaginanya, lalu sepanjang pahanya, akhirnya menambahkan lebih banyak dan memberi baby oil ke labia-nya. Tante Vina memejamkan matanya lagi dan tersenyum.

"Rasanya enak," gumamnya.

Aku melanjutkan, sadar bahwa aku sudah mengoleskan baby oil secara merata ke semua bagian yang perlu, tapi tetap melanjutkan. Akhirnya aku menarik tanganku dan duduk di tumitku, sadar aku cuma pakai kaos dan celana dalam, dan bahwa Tante Vina berbaring telanjang bulat di depanku, vaginanya berkilau dengan minyak yang baru saja kuusapkan, atau mungkin berkilau karena cairan lain juga.

Dia menatapku, tersenyum, dan menggeliat seperti kucing, mengarahkan jari-jari kakinya kebawah dan tangannya keatas.

"Ya Tuhan, itu ... aku ga tahu ... sangat memanjakan. Terima kasih, Mira, aku sangat menikmatinya."

"Sama-sama, Tante, aku juga senang membantumu."

Dia menatap langsung ke mataku, lalu dia bilang, "Yohan bilang kamu...secara seksual tertarik pada wanita. Kurasa aku sudah sedikit menggodamu, ya kan?"

"Gapapa, Tante Vina," kataku, dan menambahkan, "Aku menikmatinya." Tapi aku turun dari ranjang, mengambil celana jinsku dan memakainya lagi.

Aku merasakan Tante Vina bergerak di belakangku, lalu lengannya memeluk pinggangku dan payudaranya yang telanjang menempel di punggungku. Mulutnya dekat dengan telingaku, dia berbisik, "Aku janji ga akan menggodamu lagi, Mira. Itu ga adil."

Aku setengah berbalik. "Ini benar-benar gapapa," kataku, "Sebenarnya, ini lumayan menyenangkan buatku. Dan hanya karena aku lesbian, bukan berarti aku ingin bercinta dengan setiap wanita telanjang seksi yang aku olesi baby oil."

Tante Vina tertawa. Dia bergeser melewatiku dan pergi ke lemari bajunya dan aku menyaksikan pantatnya bergoyang saat dia berjalan. Dia membungkuk dan mengeluarkan pakaian dalam yang bersih, kaus oblong besar dan celana training dan memakainya.

"Lebih baik kita makan dulu, dan ga di kamar pas Yohan balik." Ekspresi matanya aneh, dan aku merasa ada sesuatu yang tidak dia sampaikan dengan jelas.



Bersambung... Chapter.19
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd