Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT Sketsa

CHAPTER.19
MALAIKAT PENOLONG



(POV Mira)

Yohan datang tepat setelah jam delapan, Nadia yang sudah lelah bersandar di gendongan kakaknya. Tante Vina mengajak putrinya ke dalam untuk mandi, dan aku ditemani Yohan duduk di sofa masing-masing dengan segelas anggur sambil mendengarkan musik. Tante Vina cuma punya sedikit koleksi CD musik tapi semuanya bagus dan Yohan menyuruhku memilih. Aku membaca satu-persatu artis yang tertulis di cover CD : Counting Crows, Train, Bruce Springsteen, dan beberapa yang lain tapi kebanyakan album lama. Aku memilih Time out of Mind dan duduk lagi di sebelah Yohan saat irama lambat dari lagu pembuka dimulai.

Aku menyenggol Yohan dengan sikuku dan bersandar padanya.

"Apa?" dia bilang.

"Aku mau dipeluk," jawabku.

Dia tertawa lembut dan mengangkat lengannya dan aku bergerak di bawah lengannya, melipat kakiku ke atas sofa dan dia memegang bahuku lalu menarikku kearahnya untuk mencium bagian atas kepalaku.

"Apa Nadia suka filmnya?" Aku bertanya.

"Ya, dia menikmati acara hari ini," katanya. "Gadis-gadis itu akan sangat merepotkan gurunya di perkemahan. Aku senang kita ga harus jaga mereka selama disini. Gimana kalian sendiri?"

Aku tersenyum, meskipun dia ga bisa lihat, dan bilang, "Kami menikmatinya. Kamu tahu gimana perasaanku tentang ibumu."

"Dia juga mencintaimu, kamu tahu itu. Dia mencintaimu seperti kamu adalah anaknya sendiri."

"Aku tahu," kataku, merasakan sedikit gelombang kesedihan mengalir melaluiku, bertanya-tanya dari mana datangnya. "Gimana perasaanmu tentang besok, Yohan? Tentang pernikahannya?"

"Oke, kayaknya," katanya, tapi ada sedikit keraguan dalam suaranya. Seseorang yang ga mengenalnya sebaik aku ga akan menyadari, tapi aku kenal Yohan sekarang, kenal luar dalam.

"Tapi?" Aku memeriksa.

"Ga, ga ada tapi. Aku benar-benar senang untuknya. Om Jerry sepertinya pria yang baik. Dan akan sangat bagus buat Nadia kalau ada sosok ayah di rumah lagi."

"Tapi itu perubahan besar," kataku. "Rumah ini akan dijual juga."

Yohan tertawa. "Kamu tahu hal yang aneh, Mir? Kurasa dibanding semua hal lain, yang lebih bikin aku jengkel adalah menjual rumah ini. Semua kenanganku ada di sini. Aku dan kamu, tumbuh, Ayah dan Ibu, semuanya. Rasanya berat harus melepas itu."

"Ini cuma tempat, Yohan," kataku. "Kenangan itu masih ada di sana."

"Aku tahu. Cuma, pas aku masuk kesini, semua kenangan datang membanjir. Aku ga yakin gimana perasaanku soal kehilangan tempat ini."

"Gimana dengan tempat kita, Yohan?" Aku bertanya dengan lembut.

Dia memelukku erat lagi, dan aku merasakan bibirnya mencium rambutku sekali lagi. "Aku suka tempat kita. Dan aku suka tinggal bersamamu, Mir. Rasanya... nyaman. Apa kamu juga merasa nyaman?"

Aku mengangguk padanya. "Aku merasa itu hal yang paling benar yang pernah kulakukan di dunia," kataku lembut.

"Bagus." Dia menghela nafas berat. "Mungkin aku cuma bayi besar yang cengeng, tapi aku gapapa. Dan setidaknya minggu ini aku bisa menikmati nostalgia. Aku punya minggu ini untuk bermain rumah-rumahan denganmu, Mir."

Aku tertawa. "Kita sudah main itu tiap hari, Yohan."

"Aku tahu. Tapi rasanya beda kalau di sini. Membawa semua memoriku kembali, Mir, untukku dan untukmu, bertahun-tahun yang lalu, tumbuh bersama. Masa-masa indah, Mir. Masa-masa indah."

Aku melingkarkan lenganku di pinggangnya dan memeluknya. "Ya, Yohan. Saat-saat yang terbaik."

Kami masih di sana setengah jam kemudian saat Tante Vina datang. Dia menuangkan anggur untuk dirinya sendiri dan duduk di seberang kami.

"Hai anak-anak," katanya, mengangkat gelasnya. "Senang melihat kalian berdua berpelukan seperti itu."

Yohan tertawa pelan. "Apa Ibu ingat gimana aku dan Mira biasa melakukan ini pas nonton TV?"

"Aku ingat dengan baik," kata Tante Vina.

Yohan melepaskan diri dan mengganti CD, memasang Drops of Jupiter, musik yang lebih kasar.

"Gedein dikit, Yohan," kata Tante Vina. "Nadia benar-benar capek. Ga ada yang akan bikin dia bangun malam ini."

Yohan menaikkan volume, dan Tante Vina bangkit dan mulai menari mengikuti irama musik. Dia meraih tangan Yohan dan menghentikannya sebelum duduk, mengajaknya bergerak dengannya. Tante Vina bergerak dengan luwes, dan aku kaget lihat Yohan juga sama luwesnya. Dia ga pernah nunjukin, tapi dia bergoyang dan bergerak sesuai irama musik saat ibunya melepas ikatan rambutnya dan bergerak lebih bersemangat.

"Ayo, Mira, kamu juga," kata Tante Vina.

"Aku ga bisa joget," kataku.

"Ga usah dipikirin," kata Tante Vina. "Ayo, ga ada alasan." Dia meraihku, memegang pergelangan tanganku dan menarikku, aku ga punya pilihan selain bangkit. Awalnya aku kaku, tapi Tante Vina memegang tanganku sambil bergoyang dan mencoba nunjukin padaku gimana cara bergerak sampai aku lebih luwes. Aku mengisi gelas anggurku dan meminumnya dengan cepat, membiarkan alkohol menghilangkan semua keraguan yang menghambatku dan secara bertahap mulai menikmati suasana.

Kami bertiga menari, bergerak di sekitar satu sama lain, mendengarkan satu album lalu Tante Vina mengganti CD dan memasang Lynyrd Skynyrd dan mulai bergoyang lagi. Saat solo di Free bird mengema di ruang tamu, kami bertiga berdiri berdampingan memainkan gitar khayalan masing-masing sambil menggelengkan kepala.

Pada saat musik selesai, kami semua berkeringat, dan Tante Vina menyeringai dan mematikan CD player kecilnya.

"Itu seru. Rasanya ini bisa dianggap bridal showerku. Kalian berdua baik banget. Aku mencintai kalian lebih dari yang bisa kukatakan."

Dia mendekat ke Yohan dan berjinjit lalu mencium bibirnya. Itu adalah ciuman yang panjang, lebih lama dari ciuman normal untuk seorang ibu dan anak versiku, tapi malam ini hal itu sepertinya terjadi dengan cara yang paling alami di dunia. Lalu dia berbalik dan mendatangiku, ga perlu berjinjit karena bibirnya langsung bertemu dengan bibirku.

"Kita harus bangun pagi-pagi besok," katanya saat dia menarik diri.

"Jam berapa kita harus berangkat dari sini?" Yohan bertanya.

"Aku mau pergi jam delapan. Kita bisa ganti baju di hotel, tapi aku butuh beberapa jam sebelum acara dimulai."

"Oke. Aku akan pasang alarm," kata Yohan.

"Nanti aku bangunin," kata Tante Vina sambil tertawa.

Dia mencium Yohan lagi saat dia berjalan melewatinya. Setelah dia pergi kami merapikan ruang tamu, mencuci dan mengeringkan gelas kami dan bersiap untuk istirahat.

Aku memakai kamar mandi lebih dulu, sikat gigi dan cuci muka. Aku selalu tidur telanjang, dan ga berpikir untuk bawa baju tidur, jadi aku keluar hanya dengan bra dan celana dalam, masuk kamar lalu berdiri di samping tempat tidur, bingung.

"Tante Vina tidur sebelah mana?" Aku bertanya, dan dia tertawa.

"Yang kanan," katanya.

"Aku sebelah sini, kalau gitu," kataku, dan menyelinap ke bawah selimut.

Tante Vina pergi ke kamar mandi, pintu dibiarkan terbuka, lalu saat dia balik ke kamar dia telanjang bulat dan langsung menyelinap ke bawah selimut.

Dia berguling menyamping menghadapku. "Selamat malam, Mira."

"Night Tante Vina," kataku.

Dia bergeser mendekat, menciumku, di mulut lagi, lebih lama dari sebelumnya, lalu dia berguling menjauh, menghela nafas dalam-dalam dan mematikan lampu.

Aku berbaring telentang, menatap langit-langit yang disinari cahaya dari lampu jalan yang menembus dedaunan pohon di halaman depan.

Beberapa menit berlalu. Aku mendengar Tante Vina berguling dan menghela napas lagi. Beberapa menit lalu dia berguling lagi, sekali lagi menghela nafas panjang, dan dia bilang, "Kamu masih bangun, Mira?"

Aku mengangguk dalam gelap, lalu bilang, "Ya."

"Kayaknya aku ga akan tidur malam ini," katanya.

"Kenapa gitu ga tidur?" Aku bilang, kudengar dia tertawa dan kurasakan tangannya memukul bahuku pelan.

Kami terdiam beberapa saat, lalu dia bilang, "Gimana kabarmu dan Yohan di Jakarta, Mira?"

"Bagus," kataku. "Kami seperti sahabat. Sahabat terbaik."

"Kadang-kadang," katanya lembut, "Aku suka menganggap kalian berdua adalah anak-anakku. Saat kamu pergi, hatiku terasa hancur."

"Aku ga tahu soal itu," kataku.

Tante Vina menarik napas dalam-dalam. "Pasti, aku ga berpikir akan kasih tahu kamu sebelumnya. Tapi sekarang aku beritahu itu serasa seperti ada orang yang sudah merebut putriku sendiri dariku."

"Ya ampun, Tante," kataku, dan merasakan emosi tersangkut di tenggorokanku. Aku berguling dan mengulurkan tanganku, dia juga berguling dan melakukan hal yang sama, lalu kami saling berpelukan erat sambil berbaring miring. Aku bisa merasakannya tubuhnya bergetar, mendengar isak tangis samar saat dia berjuang untuk mengontrol tangisnya. Aku juga bisa merasakan payudaranya menekan dadaku yang masih terbungkus bra.

"Aku juga merasa seperti kehilangan ibuku," kataku padanya, membelai rambutnya. "Aku hampir ga kenal Ayahku. Dia selalu sibuk kerja. Aku sangat membencinya karena dia sudah mengambilku darimu."

"Itukah sebabnya kamu masih membencinya?" Kata Tante Vina.

Aku mengangguk. "Aku ga pernah memaafkannya. Sepertinya dia ga peduli padaku, dan disaat yang sama, dia memisahkanku dari orang-orang yang menyayangiku."

Tante Vina sepertinya sudah bisa mengontrol emosinya dan berhenti menangis. "Mira, mau ga kamu nurut sama Tante? Besok, cobalah berbaikan sama ayahmu. Aku tahu dia sayang kamu walaupun dia ga pintar menunjukkannya."

Aku tertawa singkat, menghina.

"Ga - dia benar-benar sayang kamu. Aku tahu dia seperti itu. Tapi dia laki-laki, caranya menunjukkan rasa sayang adalah menghasilkan banyak uang sehingga dia bisa membelikan barang-barang untukmu, membiayai semua kebutuhanmu. Itu ciri khas seorang pria secara emosional. Kalau kamu bisa menerima dan mengerti itu, mereka akan mudah dihadapi."

"Yohan ga seperti itu," kataku.

Aku merasa Tante Vina diam di pelukanku. "Ga," katanya. "Yohan ga seperti itu."

Kami berbaring nyaman di lengan masing-masing untuk sementara waktu, lalu Tante Vina bilang. "Aku masih belum bisa tidur."

"Berguling," kataku, "Telungkup. Aku pijitin Tante, biar merasa lebih rileks."

Tante Vina ga protes, melepas pelukan tanganku dan berbaring telungkup. Aku duduk dan melemparkan selimut ke belakang, lalu merangkak dan menyalakan lampu kecil di samping tempat tidur lalu berlutut di sampingnya memandang punggung, pantat dan kakinya yang seksi. Lalu aku bergeser mendekat keatas dan menempatkan kedua tanganku di masing-masing pundaknya dan mulai memijat dengan jariku, merasakan otot-ototnya yang tegang.

"Mm, enak sekali, Mira," gumamnya.

"Memang seharusnya gitu," kataku.

"Aku sudah merasa lebih rileks seketika," katanya.

Aku memijat bahunya, lalu bergerak ke bawah di sepanjang tulang punggungnya. Ada lekuk lembah yang menghiasi punggungnya, melengkung naik di pinggangnya, lalu disambung oleh celah pantatnya. Dia sangat seksi, dan aku merasakan celah diantara kakiku mulai basah. Aku berusaha keras untuk membuang pikiran aneh seperti itu.

Tante Vina menggeliat sedikit saat aku sampai di pinggangnya dan terus bergerak naik ke atas.

"Terusin. Rasanya enak banget," katanya.

Aku mengubah arah, kembali ke pantatnya dan memijat bulatan pantatnya yang penuh. Lalu turun ke pahanya, bagian belakang lututnya, betis dan kakinya. Setelah itu aku mulai bergerak kembali keatas dan saat tanganku bergerak di sekitar lututnya, dia bergerak sedikit, membuka kakinya. Aku bisa melihat celah vaginanya dengan jelas, celah pantatnya yang terbuka menampakkan lubang merah muda yang berkerut menggemaskan.

Tanganku memijat di sepanjang pahanya bagian dalam, terus bergerak naik, terpesona oleh apa yang kulihat, memikirkan apa yang akan kulakukan saat aku sampai di bagian pangkal pahanya.

Tapi saat aku masih ragu, Tante Vina sepertinya tahu apa yang kupikirkan dan membantuku membuat keputusan. Tangannya terulur kebelakang, menemukan kakiku dan aku merasakan telapaknya meluncur lembut di sepanjang pahaku, lalu menyentuh ringan di antara kakiku.

Dia mengangkat kepalanya dan berbalik sedikit. "Kenapa kamu masih pakai pakaian dalam, Mira?" Dia bertanya.

Aku mengangkat bahu. "Aku cuma pikir ..."

"Lepaskan semua, sayang."

Aku membuka bra-ku dan melemparkannya ke samping, menarik celana dalamku turun dan melepas dengan cepat. Tanganku kembali ke paha Tante Vina, bergerak ke atas. Tangannya kembali ke kakiku, menyelip diantara pahaku dan ujung jarinya menyisir vaginaku, berhenti sebentar ragu-ragu lalu menyentuh vaginaku lagi. Aku merasakan jari-jarinya menjelajah di sepanjang celah kemaluanku, bergerak bolak-balik di sana.

Tanganku bergerak keatas sampai ke vaginanya, lalu dia mengangkat pinggulnya sedikit untuk memberikan akses yang lebih baik padaku.

Jari-jarinya menyentuhku lagi, sedikit menyelidik masuk.

Tante Vina menoleh menatapku dalam cahaya lembut. "Apa ini gapapa, Mira?"

Aku balas menatapnya dan mengangguk. "Kalau ini yang Tante mau," kataku.

"Itu yang aku mau. Tapi ..."

"Apa?"

"Aku belum pernah dengan.. wanita lain.. kamu akan membantuku, kan?"

Aku tersenyum. "Tentu saja aku mau. Tapi kenapa tiba-tiba sekarang?"

"Karena kamu. Aku memperhatikan kamu tumbuh dari gadis imut menjadi wanita cantik. Karena kepalaku agak kacau karena gugup dan alkohol dan aku ingin tahu gimana rasanya bercinta denganmu. Apa itu berarti aku jahat?"

"Kuharap gitu, karena aku ga keberatan" kataku, jari-jariku menyentuh tubuhnya tanpa malu.

"Maukah kamu menciumku?" katanya, dan aku membungkuk menyentuh mulutnya dengan bibirku, dia membuka bibirnya dan aku mendorong lidahku melewati bibirnya dan menemukan lidahnya.

Aku mendengarnya terkikik dan menarik mundur wajahnya.

"Kenapa? Berubah pikiran?" Tiba-tiba aku merasa bersalah.

"Ga," dia menggelengkan kepalanya. "Hanya saja aku belum pernah melakukan ini sebelumnya... siapa yang harus melakukan apa ke siapa? Aku geli karena ga tahu harus gimana. Apa kamu biasanya jadi pihak dominan atau ga, Mira?"

Aku tahu jawabannya. "Aku bisa kalau perlu," kataku. "Tapi biasanya aku jadi pihak yang pasif dan menuruti pasanganku. Apa yang Tante mau malam ini?"

"Aku ga tahu. Yang jelas aku mau bercinta denganmu. Itu kalau aku ga terlalu tua dan menjijikkan bagimu."

"Ya Tuhan, ga mungkin!" Aku bilang, dan menciumnya lagi, lebih bernafsu, mendorong sehingga dia berbaring telentang. Aku mengangkanginya, vaginaku yang basah kuyup menekan ke perutnya. Lalu aku bergerak turun dan menarik putingnya ke mulutku, menghisapnya, aku tahu persis seberapa keras aku harus menghisap dan dia bereaksi dengan melengkungkan punggungnya, mendesis sambil memejamkan mata.

Aku meluncur turun, mencium perutnya, mencapai pusarnya dan menjilatnya, lalu terus turun sampai aku menemukan targetku. Aku menyelipkan tanganku di bawah pantatnya dan mengangkatnya, menempelkan vaginanya ke mulutku dan mendorong lidahku langsung ke dalam.

"Oh wow," erangnya.

Aku mengangkat kepalaku sedikit. "Suka?"

"Banget."

Aku mencium klitorisnya. "Ada yang pernah ngelakuin itu sebelumnya?"

"Ada tapi bukan seorang wanita pastinya," dan dia tertawa.

Aku mengembalikan mulutku mengecap manisnya vaginanya, mendorong lidahku sejauh mungkin ke dalam dan bengerak dengan kecepatan stabil. Setelah beberapa saat dia bisa mencocokkan ritme dan mulai mendorong dan menarik seiring gerakanku. Aku menusukkan satu jari, lalu dua jari ke dalamnya, memeriksa bagian dalam, klitorisnya kuhisap ke dalam mulut aku, menggigitnya pelan dengan gigiku.

Tante Vina ibarat menunggangi mulutku sambil berbaring, hampir seperti ga sadar akan perbuatannya, jelas dia butuh kepuasan, jadi aku memakai semua cara yang aku tahu untuk memberi apa yang dicarinya. Dia mengerang, tersentak, dan mulai gemetar saat aku terus membenamkan wajahku diantara pahanya. Aku merasakan semburan singkat di mulutku saat dia sampai, lebih banyak rasa manis menjalar di lidahku saat dia mengelinjang dan menghela nafas di bawahku. Jari dan lidahku terus bekerja saat klimaks membasuhnya. Aku menjaga agar mulutku tetap menempel di vaginanya saat dia mulai tenang, lalu setelah dia diam aku meluncur ke atas mencium perutnya, payudaranya, mulutnya.

Dia melingkarkan tangannya memelukku dan membalas ciumanku.

"Sudah baikan?" Aku bilang.

"Ya Tuhan, jauh lebih baik ..."

Aku tersenyum dan meringkuk di sisinya, dengan ringan jari-jariku melayang menyusuri perutnya, sampai ke payudaranya.

Setelah beberapa saat dia berbalik menyamping. "Aku mau ngelakuin itu padamu juga, Mira. Boleh?"

"Hmm," kataku, mengigit telunjukku, pura-pura sedang berpikir, dan dia menampar pinggangku.

Dia berguling dan bangkit, melangkah ke pintu dan memutar kunci. Dia berbalik menatapku dan tersenyum. "Buat jaga-jaga kalau Yohan ternyata masih belum bisa tidur," katanya. Lalu dia mendekat ke lemari baju, membukanya dan meraih tinggi ke rak paling atas. Aku melihat tangannya meraba-raba, lalu menemukan apa yang dia cari dan saat dia berbalik dia membawa dildo dengan ujung ganda di tangannya. Dia memegang salah satu ujung dan mengoyangkannya saat berjalan kembali ke tempat tidur.

"Tante bilang belum pernah ngelakuin ini sama wanita lain sebelumnya," kataku.

"Memang belum."

"Jadi, kenapa Tante punya dildo ujungnya dua?"

Dia melihat dildo itu dan tertawa. Dildo itu bentuknya sangat mirip dengan penis asli dan juga berwarna seperti kulit, panjangnya sekitar dua puluh lima centi.

"Yah – awalnya aku punya dildo biasa. Setelah aku kehilangan suami, aku butuh sesuatu. Tapi sepertinya tiap dipakai agak susah dipegang, jadi aku beli ini sebagai gantinya. Lihat?"

Dia berbaring telentang dan membuka pahanya, memasukkan salah satu ujung dildo ke dalam vaginanya dan mendorong. Tangannya mengenggam ujung yang lain dan dia mengerakkannya keluar masuk. Lalu dia menariknya keluar dan mengelap ujung yang tadi dimasukkannya ke kain seprai.

"Bantu aku pegang. Atau apa kamu mau coba?"

"Tante Vina ..." aku memulai. "Aku belum pernah pakai itu sebelumnya."

"Kamu belum pernah?"

Aku menggelengkan kepala. "Ya itu salah satu hal tentang lesbian. Aku suka perempuan. Aku suka vagina, payudara, anus perempuan dan kaki dan mulut. Tapi perempuan ga punya yang seperti itu. "

Dia menatapku, wajahnya sedih, dan aku berguling mendekat lalu menciumnya.

"Gapapa, Tante Vina ..."

"Aku ga berpikir sampai kesana."

"Ga - ini gapapa kok."

Aku berguling, berbaring telentang, menariknya ke arahku.

"Bercintalah denganku, Tante," kataku.

Dia menatapku, keraguannya perlahan memudar.

"Aku mau ngelakuin seperti kamu tadi, Mira. Apa boleh?"

Aku menyeringai. "Itu lebih dari boleh. Bagi kami lesbian, itu dianggap perbuatan yang wajib dilakukan, dalam hal seks."

Dia tersenyum lagi, menundukkan kepalanya, dan menciumku. Aku membuka mulutku dan membiarkan lidahnya menyerbu kedalam mulutku. Mulut kami bekerja bersama, bertukar air liur di antara mulut kami. Aku mengangkat tangan dan menangkup payudaranya yang berat. Aku bisa menampung satu payudara dengan kedua tangan, kagum pada kekencangan dan ukurannya. Payudaranya terlepas dari tanganku saat dia bergerak ke bawah, mencium payudaraku di perjalanan kesana. Aku melengkungkan punggungku untuk mengangkat payudaraku ke mulutnya, mengerang saat dia menggigit putingku dengan ringan dan membelai perutku dengan tangannya.

Jari-jarinya meluncur ke bawah dan menemukan vaginaku, menyelidik dan meluncur ke dalam.

"Kamu basah banget," katanya pelan.

"Basah kuyup," gerutuku.

"Bilang kalau caraku ngelakuinnya salah," katanya.

"Apa pernah ada yang ngelakuin itu ke Tante selain aku?" Aku bertanya.

"Ada."

"Lakuin saja kayak yang mereka lakuin," kataku.

"Sial. Apa kamu yakin soal itu? Kebanyakan dari mereka ga terlalu nikmat."

Aku tertawa.

"Kalau gitu lakuin apapun yang ingin Tante ingin orang lain lakuin buat Tante," kataku.

Dia menyeringai dengan cabul. "Oh, kalau gitu," dan meluncur kebawah sampai dia berbaring di antara kedua kakiku. Aku mengangkat satu dan meletakkannya di bahunya. Aku bisa merasakan napasnya terasa panas meniup vaginaku, jarinya masih menyelidik ke dalamku. Lalu lidahnya mulai menyentuhku. Bibirnya menciumku seolah-olah vaginaku adalah mulutku, dan lidahnya menyelidik ke dalam sampai aku terdorong ke belakang. Dia mendorong lebih keras dengan lidahnya, menjulurkannya jauh ke dalam.

Setelah beberapa saat dia mengendur, mencium klitorisku dengan ringan, dan bilang, "Gimana yang kulakukan?"

"Tante yakin belum pernah ngelakuin ini sebelumnya?"

Dia menyeringai. "Pernah bayangin soal itu."

"Oh ya?"

Dia mengangguk. "Ya. Dan rasanya lebih enak dari yang kubayangkan."

Aku melihat sekitar, menemukan dildo dan mengambilnya.

"Berbalik," kataku. "Taruh lutut Tante di kanan kiri kepalaku."

Tante Vina menatapku sebentar lalu mengikuti instruksiku. Dia melihatku untuk arahan selanjutnya dan aku memikirkannya.

Aku meraih kakinya dan menariknya. "Sekarang membungkuklah. Tante bisa menjangkau vaginaku dengan posisi ini, dan aku bisa pakai ini buatmu."

Dia mengangkangiku, vaginanya tepat di dekat daguku, pantatnya terbuka tepat di atasku. Aku merasakan kepalanya menunduk lebih rendah dan mulutnya bersentuhan dengan vaginaku lagi dan lidahnya menyerbu kemaluanku. Aku tahu aku ga akan bertahan lama sebelum orgasmeku tiba, jadi aku mengambil dildo dan memasukkannya ke dalam vaginanya. Dia melebarkan kakinya dan aku mendorong lebih dalam, melihat penis tiruan itu meluncur masuk, dan aku harus mengakui itu terlihat begitu seksi saat vaginanya terisi penuh seperti itu.

Memegang ujung yang lain, aku mulai mengerakkannya keluar masuk. Tante Vina membantu usahaku dengan mengayunkan pinggulnya.

Mulutnya bekerja keras di vaginaku, dan dia sekarang menyelipkan tiga jari kedalam, mendorong dan menusuk dengan cepat. Rambutnya menempel di pahaku dan menggelitik kulitku saat dia menggerakkan wajahnya di selangkanganku.

Pantatnya yang terbuka ada di atasku, menggodaku, dan aku mengangkat kepala dan bahuku, menjulurkan lidahku untuk meraih keatas, menyentuh tepian lubang anusnya yang berkerut-kerut dengan ringan. Aku menjentikkan lidahku sekali dan menunggu, menunggu reaksinya, tapi dia tidak bereaksi dan terus melakukan pekerjaannya dibawah sana, jadi aku menjulurkan lidahku sekali lagi, kali ini membiarkan lidahku diam menempel langsung di atas lubang anusnya.

Aku mendengar dia mendengus, ga yakin apa itu berarti baik atau buruk, tapi aku tetap di tempatku, mendorong dengan lidahku dan merasakan lubang anusnya yang ketat mulai terbuka.

Tante Vina mengangkat wajahnya dari vaginaku dan bilang, "Ya Tuhan, apa kamu yakin mau ngelakuin itu?"

Aku mengangguk, wajahku menempel di bongkahan pantatnya.

"Bilang kalau mau aku berhenti."

"Jangan. Rasanya enak banget."

Aku mengencangkan lidahku dan mendorong, dia bereaksi dengan menjatuhkan lidahnya ke vaginaku dan melakukan hal yang sama.

Aku masih ingat untuk terus memakai dildo menekan jauh ke dalam vaginanya, lidahku bergerak terus di pantatnya dan setelah beberapa saat menambahkan jari, mengorek dan dan mendorong sampai jariku terkubur dalam. Dia mendorong kebelakang ke arahku seakan dia meminta lebih.

Aku sudah lepas kendali sekarang, bergerak cepat, memakai dildo, jari dan lidahku di pantatnya, menabrakkan pinggulku sendiri ke mulutnya dan merasakan kenikmatan mulai terbangun.

Tante Vina menyelipkan tangannya ke bawah pantatku, meremas lembut, meraba-raba, menemukan lubang pantatku dan mendorong jarinya masuk ke sana. Aku melebarkan kakiku menyambut jarinya, dan dia mendorong lagi lebih dalam, menjangkau titik yang belum pernah tersentuh sebelumnya. Klimaksku terbangun dan meledak, aku mendorong kemaluanku ke wajahnya. Gelombang kenikmatan berdenyut melaluiku, menyebar dari titik di dalam vaginaku dan bergerak keluar, titik kedua di pantat aku di mana jari Tante Vina menjelajah, berpacu keluar dari dalam, menerjang sampai ke ujung jari tangan dan kakiku , denyut demi denyut. Aku bergetar dan tersentak di bawahnya dan dia tahu apa yang harus dilakukan untuk memperpanjang klimaksku sampai aku lemas dan kehabisan nafas.

Lalu dia berguling dari atasku, dildo masih menancap di dalam vaginanya, dia berputar dan mendekat ke wajahku lalu menciumku, mulutnya manis karena rasa vaginaku.

"Brengsek," kataku, dan dia menciumku lagi. "Apa Tante juga sudah dapat?"

Dia mengangguk. "Dua kali."

"Masa, kok aku ga sadar."

"Ya ga tahu kenapa bisa gitu," katanya, meringkuk di sampingku, meletakkan kepalanya di dadaku dan mendengarkan detak jantungku. Jari-jarinya membelai payudaraku, perutku, pahaku.

Setelah beberapa saat, aku bilang, "Boleh aku tanya sesuatu?"

"Tentu, sayang."

"Sesuatu yang sangat pribadi?"

Dia mengangkat kepalanya dan menatapku. "Setelah yang kita lakuin? Sudah pasti boleh."

"Apa Tante pernah ngelakuin anal seks?"

Dia menatapku sejenak, lalu tertawa terbahak-bahak. "Bukan itu pertanyaan yang kukira."

"Oh." Meskipun aku ga tahu pertanyaan apa yang dia kira akan kutanyakan.

Perlahan dia berhenti tertawa, dan dia bilang, "Ya, pernah."

"Anal seks?"

Dia mengangguk.

"Dan apa Tante, suka?"

Dia mengangguk lagi. "Ya."

"Banget?"

Dia mengangkat bahu. "Kadang-kadang. Ga selalu. Aku belum ngelakuin itu terlalu banyak. Setidaknya ga sebanyak yang aku mau. Tapi ayahnya Yohan dulu menyetubuhiku di pantatku kalau aku minta padanya. "

"Apa dia suka ngelakuinnya?"

"Aku dapat kesan dia ngelakuin itu semata karena aku minta dia ngelakuin itu, bukan karena dia yang pingin ngelakuin, tapi dia biasa ejakulasi di dalam pantatku, jadi setidaknya dia pasti menikmati juga."

"Hm," kataku.

Tante Vina terus menatapku. "Kenapa tiba-tiba tanya tentang anal seks, Mira? Kalau lesbian ga suka penis, mereka pasti ga suka dengan anal seks juga?"

Aku memalingkan muka, lalu menatapnya lagi. Aku sudah sejauh ini, aku ga bisa, ga mau, berhenti sekarang.

"Cuma.. aku tahu aku lesbian, dan aku suka cewek, tapi aku suka pantatku dimainin. Dan aku selalu punya fantasi soal anal seks." Aku mengangkat bahu. "Hei, aneh ya, atau apa?"

Tante Vina menciumku dengan lembut. "Kita ga bisa mengontrol fantasi kita. Kamu pernah berniat untuk nyoba?"

"Oh ya, aku punya banyak teman yang mungkin bisa bantu."

"Kamu punya Yohan," katanya.

"Yohan? Putramu? Sepupuku?"

"Iya Yohan yang itu. Aku cuma merasa kamu dan dia pasti pernah bermesraan, bahkan lebih."

"Walaupun dia sepupuku dan aku lesbi."

Tante Vina mengangkat bahu. Dia terus membelai perutku, menggerakkan tangannya ke atas untuk menjelajahi payudaraku, menarik putingku dengan pelan.

"Jadi kamu ga pernah ML sama Yohan?" dia bilang.

"Tante kedengarannya kecewa."

"Dia tampan, kan? Aku tahu aku ibunya, dan pendapatku mungkin bias, tapi dia termasuk tampan, kan?"

Aku mengangguk. "Oh ya. Dia sangat tampan. Dan Tante tahu apa yang menarik? Dia sejujurnya ga merasa tampan."

Tante Vina tertawa pelan. "Dia dulu agak kurus. Tapi akhir-akhir ini dia lebih berotot. Mungkin itu sebabnya. Jadi menurutmu dia, ya.. lumayan kan ya?"

Andai saja dia tahu, pikirku, bayangan yang bergulir di kepalaku tentang Yohan. Aku belum pernah memandang pria secara khusus sebelumnya, tidak pernah secara seksual, tapi Yohan ga sama seperti pria lain. Benar, dia tampan tapi ga sadar itu, dia seksi tapi ga sadar itu, tapi lebih dari itu, ada sesuatu di jiwaku yang terhubung dengannya secara mendalam. Aku ga pernah menginginkan seorang pria, sekalipun... tapi sekarang aku menginginkan Yohan.

Saat kami melanjutkan pembicaraan aneh ini tentang apa aku sedang meniduri anak laki-lakinya, sepupuku, Jari-jari Tante Vina sudah mulai melayang di atas vaginaku.

"Ya, dia boleh juga," kataku. "Setidaknya dia diatas rata-rata untuk seorang laki-laki. Apa menurutmu kami ngelakuin itu?"

Dia mengangkat bahu. "Menurutku begitu."

"Dan Tante ga keberatan? Terlepas dari kenyataan kami adalah sepupu? Terlepas dari kenyataan aku menganggapnya lebih sebagai adik daripada sepupu?"

Tante Vina tertawa pelan lagi. "Dan aku bibimu, dan barusan tadi lidahmu ada di pantatku."

Aku balas tertawa. "Touche."

Dia tertawa, "Bukan, sayang. Touch lebih tepat saat ini. Aku ingin menyentuhmu di tempat-tempat yang seharusnya ga boleh aku sentuh. Apa kamu beneran serius soal pantatmu?"

Aku mengangguk. "Apa terlalu aneh, kalau aku mau itu?"

Tante Vina menggelengkan kepalanya. "Sudah kubilang. Aku sudah pernah ngelakuin anal, dan aku menikmatinya. Aku ingin ngelakuin anal lebih sering, kalau ada kesempatan."

"Mungkin Om Jerry akan memenuhi permintaanmu," kataku.

Tante Vina tertawa. "Ga, bukan Jerry, rasanya dia ga akan suka. Tapi lupain soal laki-laki. Berguling sedikit, kita lihat apa yang bisa kulakukan untukmu."

Aku menatapnya lama, lalu berguling, masih berbaring miring, lalu mengangkat kaki kiriku, membuka kemaluanku untuknya.

Aku bisa merasakannya bergerak, lalu sesuatu yang dingin menetes ke lubang pantatku. Aku menunduk untuk melihat dan melihat dia sudah mengambil baby oil yang tadi ditinggal di meja samping tempat tidur dan meneteskannya langsung ke pantatku. Dia menuang sebagian di telapak tangannya dan mengolekannya ke salah satu ujung dildo. Lalu dia mengarahkan dildo dan menempelkannya dengan lembut di sepanjang celah pantatku.

"Gimana perasaanmu soal itu, seandainya Yohan dan aku beneran berhubungan badan?" Aku bertanya.

Dia mengangkat bahu membuat payudaranya berguncang dan berayun. "Bagiku sih ga masalah. Sekarang gimana perasaanmu tentang aku yang mencoba untuk memasukkan dildo ini ke pantatmu?"

Aku memandangnya, dan merasakan perutku mual karena tahu aku memang sangat menginginkannya, dan sekarang akan terkabul. Jadi, aku mengangguk.

"Bilang padaku kalau terlalu dalam atau sakit dan aku akan berhenti."

Aku mengangguk lagi.

Dia memakai tangannya yang lain untuk meratakan baby oil yang licin padaku, menempelkan ujung jari telunjuknya di atas lubang anusku dan mendorong. Bergeser masuk dengan mudah dan dia mendorong seluruh panjang telunjuknya kedalam, menarik, mendorong lagi, kali ini menambahkan jari tengah. Sekarang terasa lebih seret, tapi dia menambahkan lebih banyak minyak di jari dan anusku dan terus menusuk keluar masuk. Akhirnya, dia menarik jari-jarinya keluar dan mengantikannya dengan kepala dildo yang telah dilumuri minyak. Aku mengangkat pinggulku sedikit, membuka akses lebih lebar padanya, dan dia mendorong dengan lembut. Aku merasakan dildo itu melebarkan lubang anusku yang ketat, merasakan dinding anusku memberi perlawanan dan menyebabkan sedikit rasa sakit saat proses itu.

Tante Vina menekan dengan perlahan, dengan sangat lembut, membuatku terbiasa dengan beberapa centi pertama panjang dildo. Dia meneteskan sedikit lagi baby oil untuk memastikan, lalu mendorong lagi dengan sangat perlahan 15 centi dildo itu berada di dalam. Aku mendengus dan Tante Vina menenggok sedikit khawatir, "Oke?"

Aku mengangguk. "Luar biasa."

"Terasa enak, ya?"

"Aku merasa semua penuh. Sedikit perih tapi juga nikmat."

Dia mencium bahuku. Aku setengah berbaring miring sekarang, tubuh bagian atasku bangkit untuk melihat apa yang terjadi di bawah sana, kakiku terbelah, dan kalau aku menenggok kebawah dari belakang bahuku, aku bisa lihat ujung dildo yang mencuat dari pantatku, bergoyang saat aku bergerak. Itu memang terasa luar biasa. Fantasiku menjadi nyata. Dildo membuka jalan belakangku, aku merasakan beratnya di dalam pantatku, merasa diriku meregang dan meremas pada saat yang sama. Itu lebih dari yang kubayangkan, dan aku merasa diriku gemetar, hampir sampai di puncak kenikmatan.

Tante Vina mencium punggungku dan bilang, "Aku akan mulai menyetubuhi pantatmu sekarang."

Aku cuma mengangguk lagi, mencoba menonton saat dia menempatkan kakinya di depan dan belakang tubuhku yang berbaring miring, lalu dia bergeser mendekat dan mengarahkan ujung dildo yang satunya ke dalam vaginanya. Penis buatan itu meluncur dengan lancar disana dan seketika tenggelam ke dalamnya, dan disaat bersamaan menekan mengisi pantatku saat tulang kemaluannya menekan bongkah pantatku. Rasanya aneh, jelas bukan sesuatu yang pernah kualami, dan bukan apa yang kubayangkan, tapi sangat merangsang, sangat seksi.

Tubuh Tante Vina mulai bergetar mengejang perlahan dalam setiap gerakan mendorong dildo ke pantatku, keluar saat dia bergerak mundur.

"Ya Tuhan," katanya, "ini terasa sangat kotor... dan sangat nikmat..."

"Setubuhi pantatku," kataku, menggelengkan kepalaku, hilang karena sensasi dildo yang mengisi pantatku. Aku bisa merasakan orgasme lain mulai terbentuk dan sadar aku sebentar lagi akan sampai.

"Ohh..," desahnya sambil mempercepat gerakan. Aku menyaksikan payudaranya yang besar berguncang dan berbenturan satu sama lain, menyaksikan kepalanya mendongak kebelakang, menyaksikan pinggulnya memompa ke arahku dan orgasmeku meningkat dan memuncak. Aku menggigit bantal dan merasakan diriku menyemprotkan cairan squiert ke selimut di depanku, tapi Tante Vina belum selesai dan terus memompa, mencari kenikmatannya sendiri, dan sebelum tubuhku ambruk ke ranjang, klimaks lain mulai datang dan dalam satu menit aku mengejang dan gemetar lagi. Kali ini dia juga mendapat orgasmenya dalam waktu bersamaan denganku, menyentak, menabrakkan dirinya keras kepada dildo, mendorongnya ke aku dan dirinya sendiri saat dia sampai.

Dia ambruk ke tempat tidur, seperti tidak bertulang, tapi dia meraih dan mencium kakiku. Kami tetap terhubung oleh dildo yang masih menancap diantara kami.

Perlahan, setelah beberapa menit, dia menarik diri, dan lalu dengan lembut melepas dildo dari pantatku, melemparkannya ke samping setelah memeriksa apa itu bersih.

Dia menggulingkanku dan berbaring menghadapku, payudara kami bersentuhan. Dia menciumku dan bilang, "Jadi, gimana rasanya, suka atau ga?"

"Nikmat." Aku bilang.

"Sesuai yang kamu bayangkan?"

"Lebih baik," kataku.

Dia menyeringai. "Aku senang aku bukan satu-satunya wanita yang suka anal di keluarga ini." Dia melihat melewati bahuku. “Sekarang sudah jam 1 pagi, dan aku akan nikah sembilan jam lagi." Dia terkikik.

"Apa sekarang Tante sudah bisa tidur?" Aku bertanya.

Dia mengangguk. "Oh, rasanya bisa."

Kami berciuman lagi, ciuman panjang yang dalam, dan segera setelah aku berguling kegelapan merenggutku.

Di pagi hari aku terbangun oleh suara Tante Vina yang sudah selesai mandi. Aku berbaring santai, menikmati ketenangan di tubuhku, merasa sedikit rasa sakit di pantatku, tapi menikmatinya juga.

Tante Vina mengeringkan rambutnya dengan handuk, masih telanjang, dan bilang, "Kamar mandi kosong kalau kamu mau mandi. Aku mau bangunin Yohan dulu."

Aku bangun dari tempat tidur. "Seperti itu?"

Dia menatap dirinya sendiri yang telanjang dan tersenyum. "Rasanya kalau begini bakal bikin dia bangun, kan?"

"Oh ya, hampir pasti."

Jam delapan lewat sepuluh Yohan mengantarkan kami memakai mobil sewaan menuju hotel. Jam setengah sembilan kami berhenti di hotel tempat acara pernikahan itu dilakukan, lalu keluar sambil membawa jas dan gaun kami yang masih terbungkus ke lobby.

Ada dua kamar yang disiapkan untuk kami ganti dan pakai sebelum acara, dan nanti beberapa tamu juga akan menginap disini sesudah acara.

Saat kami berjalan masuk, Tante Vina menyentuh lenganku dan menahanku saat Yohan dan Nadia berjalan didepan.

"Mira. Bisa minta tolong jaga Nadia sebentar? Aku mau bicara sama Yohan sebelum mulai. Kamu bisa bantu kan?"

"Ya bisalah, Tan," kataku. Aku membayangkan hari ini akan sulit dalam beberapa hal, tapi Tante Vina begitu santai, semuanya terasa sangat normal dan biasa pagi ini.

"Kamu memang malaikat penolong," katanya, menoleh ke sekeliling dengan cepat, menyadari kami sendirian dan mencium mulutku dalam-dalam sebelum berlari mengejar anak-anaknya.



Bersambung... Chapter.20
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd