Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT Sketsa

CHAPTER.22
TITIK BALIK


Saat ini Senin sore, kami berada di sebuah Cafe yang terletak di ujung jalan kecil yang membentang dari utara-selatan mengarah ke alun-alun kota. Waktu menunjukkan pukul 17.30, meja dan kursi diluar cafe masih disinari matahari senja yang hampir tenggelam. Cafe ini masih sepi, mungkin terlalu awal untuk arus makan malam yang akan tiba mulai jam enam. Kami meminta pada pelayan dan diberi tempat pada salah satu meja yang lebih besar di bagian depan cafe.

Hari ini kami masih belum sempat berbelanja untuk memasak sendiri di rumah, dan Mira memintaku untuk mengajaknya makan di salah satu cafe yang cukup bagus disini. Kami berjalan kaki di sore yang hangat ke tengah kota menuju cafe ini yang menyajikan makanan Italia seperti yang Mira minta.

Setelah malam minggu berbahaya dimana kami hampir ML di hotel ditepi pantai, kami memutuskan menambah satu hari menginap untuk berjalan-jalan dan menikmati suasana tenang disini, tanpa mengulang kejadian malam sebelumnya. Senin siang aku mengemudi mobil sewaan kami dalam diam dan dalam suasana ga nyaman. Aku bertekad untuk menghabiskan seminggu kedepan mencoba menganggap Mira sebagai kakak perempuan seperti seharusnya, dan berhenti memikirkannya secara seksual.

Masalahnya adalah, setiap kali aku melirik padanya yang berbaring di kursi penumpang di sampingku sambil menumpangkan kaki di dashboard depan, roknya tertarik ke pahanya dan menampilkan kakinya yang panjang dan mulus, dan aku secara otomatis teringat pada pengalaman terakhir kami di honeymoon suite dan betapa dekatnya kami berdua.

Minuman pesanan kami sudah diantar ke meja kami dan kami sedang duduk ngobrol tentang pernikahan Ibu saat sebuah panggilan memotong pembicaraan kami.

"Yohan? Yohan Wahyudi? Kamu Yohan kan?"

Aku menoleh. Ada beberapa meja lain yang sudah ditempati, tapi sepertinya ga ada yang melihat ke arah kami. Lalu aku memperhatikan pelayan, nampan di tangan, nyengir padaku.

"Karin?"

"Yohan," katanya, senyumnya semakin lebar. "Bukannya kamu sudah pindah?"

"Iya, balik minggu ini," kataku.

Karin bergerak ke arah meja kami. "Aku dengar ibumu mau nikah. Itu minggu ini ya?"

"Sabtu kemarin," kataku.

"Oalah. Gimana acaranya?"

Aku tersenyum. "Ya, itu menyenangkan." Aku memandang Miranda dan melihat dia berusaha tidak menunjukkan ekspresi apapun.

"Ini cuma... wow... ga nyangka ketemu di sini. Kamu kelihatan beda, Yohan, banyak berubah, tapi beda yang positif."

"Kamu juga, Karin." Dan aku sungguh-sungguh saat mengatakan itu. Karin adalah teman SMU-ku, sosok gadis yang membuat semua gadis lain ingin menjadi seperti dia, dan tentu yang diincar oleh semua cowok di sekolah, tapi dia sepertinya cuma mau jalan dengan cowok-cowok yang populer, terutama yang jago olahraga sampai mewakili sekolah, yang tentu saja membuatku tidak ada dalam daftar itu. Sekarang dia hampir ga berubah. Dia masih punya sosok cantik yang menawan, kaki panjang dan ramping, rambut pendek bergelombang yang diwarna pirang, dan payudara yang luar biasa.

Pelayan cafe ini tidak berseragam, cuma berpakaian konservatif, bebas dan sopan, tapi semua staf memakai celemek kecil yang diikatkan di pinggang mereka. Tali itu menampilkan pinggang Karin yang kecil, lalu melebar di pinggulnya.

Karin memakai kemeja hitam yang menempel erat di badannya, rok krem pendek sepanjang pahanya.

Dia berdiri diam sebentar, menunggu sesuatu, lalu aku sadar dan bilang, "Ini Miranda, sepupuku. Kami kuliah bareng di kampus yang sama di Jakarta."

"Hai," kata Karin, dan mengulurkan tangan rampingnya untuk menjabat tangan Mira.

"Hei, tunggu sebentar," Karin berkata, "Aku akan tukar dengan temanku, jadi aku yang akan ngelayani meja kalian, kita bisa ngobrol sebentar tiap kali aku ngantar pesanan kalian, Ok?"

"Tentu," kataku.

Karin menyeringai, berbalik dan melangkah masuk kembali.

Mira menatapku dan mengangkat alis. Aku menatap balik dengan ekspresi datar.

"Mantan pacar?" Mira bertanya.

"Ngawur," kataku. "Yang seperti dia itu jauh dari jangkauanku."

Mira mencondongkan tubuh, meletakkan sikunya di atas meja, mendorong alat makannya ke samping. Senyum jahat yang sudah kukenal dengan baik itu menghiasi bibirnya. "Jadi, kasih tahu aku, Yohan, siapa itu Karin? Apa kalian punya cerita istimewa di sekolah?"

"Kami?" Aku tertawa. "Ga mungkin. Meskipun aku akan mengambilnya andai aku punya kesempatan."

"Aku cuma merasa, dari cara dia memandangmu pasti ada sesuatu di masa lalu. Kamu lihat kan gimana cara dia melihatmu tadi?"

"Agak," kataku, malu sendiri karena berpikir Karin bertingkah seolah-olah dia benar-benar tertarik, dan masih berusaha untuk mencernanya. Di jaman SMA, dia bahkan ga akan pernah menegurku.

“Serius," kata Mira. "Dia kelihatan seperti naksir kamu, Yohan."

"Dia salah satu yang paling hot di sekolah, Mir," kataku. "Aku cuma anak pendiam yang tertarik pada seni lukis, sama sekali ga mungkin masuk dalam tipenya. Jujur, aku malah kaget dia bahkan ingat aku."

"Menurutku dia malah ingat banget sama kamu. Mungkin kamu bikin kesan lebih dari yang kamu tahu."

"Ya," aku mengejek. "Dan mungkin kamu akan berubah, ketemu pria baik dan berubah jadi ibu rumah tangga yang sempurna."

"Hei, ga adil. Kita ga lagi bahas tentang aku. Ini tentang kamu dan Karin."

Aku tertawa terbahak-bahak. "Mir, ga ada aku dan Karin, ga pernah ada. Dia cuma bersikap baik kepada kita. Berharap mendapat tips besar."

"Ya, besar, kan?"

"Apa?" Aku mengerutkan kening.

"Payudaranya, mereka besar."

"Tutup mulut iblismu," aku tertawa. "Selain itu, mungkin dia lebih tipemu."

"Menurutmu gitu?" Mira merenung. "Memang aku ga akan keberatan. Dia, seperti yang kamu bilang, hot hot hot!"

"Yang ga bisa kutebak adalah," kataku, "Kenapa dia bekerja di cafe ini. Ayahnya punya beberapa restoran sendiri, jauh lebih mewah dan besar dari cafe ini."

"Ini cafe bagus," kata Mir, melihat sekeliling.

"Ya. Aku juga suka suasana di tempat ini. Tapi aku bicara tentang restoran dengan harga makanan ratusan ribu per piring, Mir. Aku ga tahu ngapain dia di sini."

"Coba kamu tanya dia langsung."

"Tanya gitu saja?"

"Yohan, salah satu pengalaman terbaik yang kupunya adalah, kalau kamu punya pertanyaan, langsung tanyain, kalau kamu ga mau tanya, lupain saja. Jangan dipikirin berlebihan."

Karin kembali membawa menu dan menyerahkannya pada kami. Jariku menyentuh jarinya saat aku menerima buku menu. Mungkin aku sengaja.

Dia bertahan sebentar. "Jadi, gimana kuliahmu, Yo? Seni, bukan?"

"Ya, seni rupa," kataku, meskipun aku ga ingat pernah cerita itu padanya. "So far kuliah menyenangkan. Kalau kamu, Karin? Kamu keluar kota juga, atau masih di sini?"

"Masih di Purworejo," katanya, suaranya santai. "Aku tahu aku ga terlalu cerdas, Yohan, tapi aku paham bisnis dengan cukup baik. Aku kuliah di Jogja paruh waktu tiap weekend, katering dan studi bisnis, dan setelah lulus aku akan kerja ditempat Ayahku."

"Hebat. Jadi, kenapa kamu kerja disini?"

Dia tertawa. "Ayah ga akan biarin aku kerja untuknya sampai aku melewati semua. Dia bilang aku harus mulai dari bawah seperti dia dulu. Dan dia ga akan ngijinin aku kerja di salah satu restonya, sebelum aku belajar di tempat lain. Dia bilang lebih baik orang lain yang rugi kalau aku bikin kesalahan pas masih belajar, bukan dia."

"Dan kamu ga masalah dengan itu?"

Dia mengangkat bahu. "Tentu. Menurutku itu masuk akal. Dan selain itu, ini lumayan menyenangkan." Dia menatapku, ingin bilang sesuatu yang lain, lalu melirik Mira dan membatalkannya.

"Kamu pacaran dengan ... siapa namanya ... Mike?" Aku bertanya. "Kalian pasangan populer di sekolah, seingatku."

"Mike, betul. Kami sudah putus. Dia pindah. Dapat beasiswa olahraga di Surabaya."

"Sayang sekali," kataku.

"Oh, ga, gapapa. Setidaknya dia bikin aku sadar bahwa atlet ga selalu bisa diandalkan. "Dia melirik Mira lagi, dan aku ga bisa menebak apa yang ingin dia sampaikan. Apa dia memikirkan hubunganku dan Mira? Aku melihat melewatinya ke pintu cafe.

"Sepertinya bosmu penasaran kenapa kami lama belum pesan juga," bisikku.

Karin melihat kebelakang, bibirnya cemberut. Dia punya bibir yang indah, lebar, penuh, tanpa lipstik tapi masih tampak mengkilap. "Sebaiknya aku bergerak," katanya. "Aku akan kembali sebentar lagi dan mencatat pesananmu."

Kami berdua mengawasinya, menatap lama. Dia sangat menyenangkan untuk dilihat. Aku bisa menebak apa yang Mira pikirkan saat menatap kakinya yang panjang, pantatnya yang bergoyang di dalam rok pendeknya. Dan menurutku Mira juga tahu apa yang kupikirkan saat menatap Karin.

Dia mencondongkan tubuh ke arahku dan berbisik, "Menurutmu dia suka threesome, Yo?" lalu tertawa.

"Jaga kelakuanmu," kataku.

"Kalau gitu mau buat kamu sendiri?"

"Ga. Ambil saja kalau kamu mau," kataku.

"Jangan pikir aku ga akan ambil," Mira tersenyum. "Apa menurutmu dia biseks? Pernah dengar gosip di sekolah?"

"Setahuku ga ada. Gini saja, Mir, saat dia datang untuk mencatat pesanan kita, kenapa kamu ga tanya langsung? Kamu bilang tadi kalau kamu punya pertanyaan, langsung tanyain, kalau kamu ga mau tanya, lupain saja."

Seringai Mira melebar. "Mungkin," katanya, lalu kembali membaca menunya.

Dia bersandar di kursinya, menyilangkan kaki, rambut tergerai di pungungnya, kulitnya yang kecokelatan terang di cahaya malam. Bagiku sulit untuk membandingkan mana yang lebih menarik antara dia atau Karin. Yang jelas, pikirku, tertawa dalam hati, ga ada gunanya membandingkan mereka.

Karin datang lagi. Mira sudah memilih untuk pesan pasta seafood. Aku pesan pasta gnocci dan tagliatelli. Aku juga pesan minuman tambahan lalu duduk dan mendengarkan dengung percakapan dari meja lainnya. Rasanya nyaman, di udara malam yang hangat, duduk di seberang sepupuku yang cantik.

Pada saat Karin membawa makanan kami, cahaya matahari sudah hilang dan digantikan sinar lampu dari kanopi di atas kami, cahayanya menarik serangga yang terbang dan berputar di sekitar lampu. Restoran itu sudah penuh sekarang, dan meskipun dia coba berada di sekitar kami untuk ngobrol, Karin terlalu sibuk melayani pelanggan yang lain.

Aku makan sambil ngobrol dengan Mira dan sesekali melirik saat Karin melayani meja-meja lain. Dia datang lagi untuk mengambil piring kami, menawarkan menu dessert yang manis dan kami menolak, tapi kami pesan kopi dan meminta bill tagihan, memandang ke jalan, mobil-mobil melaju perlahan, orang-orang berjalan di trotoar.

Saat Karin membawakan kopi kami, jari-jarinya menyentuh jariku lagi. Dia sedikit mengigit bibir bawahnya dan mengangkat bahu meminta maaf sebelum dia meletakkan tagihan di atas meja dan berbalik ke meja lain.

Setelah dia pergi, aku mengambil tagihan dan membaca angka seratus dua puluh enam ribu di total tagihan lalu menaruhnya lagi di meja.

Mira meliriknya sekilas dan bilang, "Kau mau kasih yang besar, Yo?"

Aku membelalakkan mataku ke arahnya.

"Tips," katanya. "Menurutmu dia pantas dapat tips besar? Dia sudah jadi pelayan yang sangat cekatan. Terutama jemarinya."

"Mungkin," kataku.

"Jangan pelit soal ini," Mira tersenyum.

Kopinya enak, beraroma kuat dan sangat panas dan kami menyeruputnya perlahan.

Saat Karin datang aku meletakkan dua lembar uang seratus ribu di nampan tagihan. “Aku ambil kembaliannya dulu.”

"Simpan kembaliannya," kataku.

"Hei, kamu yakin? Itu terlalu banyak untuk tips, Yohan."

Aku melihat Mira berusaha menahan tawa. Dia menyeruput kopinya untuk menyembunyikan mulutnya.

"Gapapa," kataku. "Sebagai ungkapan senang bisa ketemu kamu lagi, Karin."

"Aku juga, Yohan, sungguh. Dan ini," dia memberiku secarik kertas. "Kalau kamu ada waktu kabari ya, kita bisa ngobrol-ngobrol. Telepon aku, ya? Sebelum kamu kembali ke Jakarta?"

"Ya, boleh." Aku melirik kertas itu, melihat nomor ponsel. "Pasti."

Dia menyeringai. Ujung lidah merah muda muncul dari antara deretan giginya yang putih. "Jangan lupa lho, Oke?" Dia meletakkan tangannya di bahuku, mendiamkannya di sana beberapa saat.

Lalu dia melirik Mira, menatap matanya dan bilang. "Senang bertemu denganmu juga, Miranda."

Kami berjalan pulang melalui jalanan yang gelap gulita.

Di dalam rumah aku berkeliling memeriksa jendela dan pintu. Mira membuka sebotol anggur baru dan mengisi gelas untuk kami berdua.

Aku menjatuhkan diri ke sofa dan menyesap anggurku yang dingin.

"Hari yang menyenangkan," kataku. "Sejauh ini menyenangkan main rumah-rumahan denganmu."

"Aku juga," kata Mira, dan memutar duduknya menyamping di sofa menghadapku lalu meletakkan kakinya di atas kakiku. Rok pendeknya terangkat, kaki telanjangnya menempel di celana jeansku. Aku meletakkan tanganku tepat di atas lututnya dan mendiamkannya di sana.

"Jadi, kamu akan menelepon Karin?" dia bertanya.

"Cemburu?" Aku menggoda.

"Aku? Ngimpi. Kamu bukan tipeku, ingat."

"Tapi Karin tipemu kan."

"Dia seksi, kan?"

Aku tersenyum. "Siapa tahu dia memang biseks."

"Oo, kalau dia mau threesome. Itu pasti akan sangat menyenangkan." Kata Mira

Aku ga bermaksud seperti itu, tapi begitu Mira menyebutkan ide itu, bayangan dua orang wanita cantik bermesraan muncul di kepalaku.

"Bisa jadi," aku setuju. "Tapi sebenarnya dia cuma ngasih nomor hpnya, Mir. Dia cuma mau update kabar saja. Ngobrol."

"Jadi, kamu akan meneleponnya?" Katanya mengulang

"Mungkin," kataku.

"Telepon dia," kata Mira. "Ajak dia kesini. Telepon dia malam ini, tanya apa dia bisa datang besok. Mumpung cuma ada kita berdua yang sudah sama-sama dewasa."

"Kamu benar-benar tertarik padanya?" Aku bertanya.

"Jelas," kata Mira. "Aku belum pernah ketemu cewek se-hot itu dalam waktu yang sangat lama. Mungkin belum pernah."

Kami diam sejenak, kakinya masih diatas pahaku, menonton TV sampai Mira berkata, "Jadi, kamu akan meneleponnya?"

"Karin?"

"Siapa lagi, bego," katanya.

"Iya."

"Buruan kalau gitu."

"Aku ga akan nelepon dia didekatmu," kataku. Aku mendorong kakinya dari pahaku lalu bangkit dan memberinya ciuman selamat malam.

Aku ke kamar mandi menyikat gigi dan mencuci muka. Mira melewati aku saat aku keluar, mencium pipiku lagi lalu masuk ke kamar Ibu dan menutup pintunya.

Aku melepas pakaianku dan naik ke tempat tidur. Aku menyimpan nomor telepon Karin di teleponku, ragu-ragu selama beberapa menit, lalu akhirnya menekan tanda panggil.

Aku melihat jam di samping tempat tidur, 22.45. Teleponnya berdering beberapa kali, aku hampir menutup telepon saat dia menjawab.

"Hai Karin, apa aku mengganggu?"

Aku mendengarnya tertawa, ringan, "Yohan, ya? Ga kok, sama sekali ga. Aku baru siap-siap mau tidur."

"Aku juga," kataku.

"Apa kamu sudah di tempat tidur?" dia bertanya.

"Ya. Sudah mendekam dibawah selimut."

"Tunggu sebentar, aku juga akan ngelakuin yang sama. Aku cuma harus lepas baju dulu. Tunggu sebentar."

"Tentu."

Aku mendengar telepon diletakkan pada sesuatu yang keras, lalu mendengarkan suara Karin membuka ritsleting, gemerisik pakaian, suara langkah lembut saat dia bergerak di sekitar ruangan, beberapa suara benturan lembut. Lalu dia menjauh dari telepon. Kudengar suara samar, lalu suara-suara yang awalnya kencang lalu dengan cepat dikecilkan. Apa dia menyalakan TV?

"Masih disitu," kata Karin, membuatku sedikit kaget.

"Sudah pakai piyamamu?" Aku bertanya.

Dia tertawa, hampir terkikik. "Pakai baju tidurku yang biasa," katanya.

"Yang mana?" Aku ga percaya aku menggoda dia seperti ini, melalui telepon.

"Tebak," katanya malu-malu. Sudah jelas dia mengikuti permainanku.

Aku membayangkannya di kamarnya, walaupun aku ga bisa membayangkan bentuk kamarnya. Karin tinggi dan ramping dengan payudara besar dan perut rata. Aku membayangkan rambut kemaluannya, diwarna seperti rambutnya, atau dicukur seperti Mira? Penisku mulai mengeras.

"Aku mau naik ke tempat tidur, Yohan, tunggu sebentar," ada gemerisik seprai dan suara tubuhnya mendarat di atas kasur. "Oke, sudah."

"Kamu lagi nonton TV, Karin?" Aku bertanya. Aku masih bisa mendengar suara dengan sangat samar di latar belakang.

"Ya. Ini bikin gampang tidur."

Aku tertawa. "Oh, by the way, aku senang bisa ketemu kamu malam ini, dan apa besok kamu mau datang kerumahku? Kita bisa santai, ngobrol banyak."

"Bisa, tapi agak malam, aku besok shift pagi selesai jam 3 sore. Sekitar jam 7 aku sampai ke rumahmu" katanya. "Sepupumu ga keberatan?"

"Mira? Ga, dia pasti senang kamu datang."

Kami mengobrol selama beberapa menit lagi, lalu aku mengucapkan selamat malam dan mematikan lampu.

Saat sarapan yang kesiangan, Mira dan aku memutuskan hari itu begitu sempurna sehingga kami ga ingin menghabiskannya di dalam rumah.

"Kita bisa sepedaan," kataku.

"Kamu bisa. Aku ga punya sepeda," kata Mira.

"Kamu bisa pakai punya Ibu."

Kami pergi bersepeda melewati jalan-jalan sepi di sekitar kota, sedikit memutar dan melewati rumah Mba Silvi. Tapi rumah itu kelihatan tertutup dan ingat mungkin dia sedang kerja.

Kami mampir di alun-alun dan mencari makan siang, lalu keliling lagi dan pulang sore hari. Mira masuk untuk mandi singkat dan aku membersihkan dan merapikan sepeda.

Mira menyibukkan diri di dapur menyiapkan snack saat aku mandi. Lalu setelah mandi seperti biasa aku menuangkan anggur di dua gelas kecil dan memberikan satu pada Mira.

Dia tersenyum dan memberiku ciuman singkat. "Rasanya aku gugup," katanya, tertawa.

Dia memakai dress yang berkancing dibagian depan, berpotongan rendah menunjukkan belahan dadanya yang indah. Panjangnya mencapai setengah pahanya, berbahan lembut dan ringan. Dia berputar dan gaunnya terangkat, menunjukkan celana dalam sutra putih padaku.

Karin datang lima belas menit sebelum jam tujuh malam dan aku masih bercukur di kamar mandi. Mira berteriak memberitahuku dari depan rumah, dan saat aku keluar, memakai baju dan celana bersih, mereka berdua duduk bersama di sofa, ngobrol. Aku terpesona pada mereka berdua, terlebih pada penampilan Karin.

Dia memakai atasan tanktop mini, dan dari cara payudaranya bergerak bebas sepertinya dia ga pakai bra. Di bawah dia memakai celana pendek super ketat abu-abu, memamerkan kakinya yang panjang, ramping, dan terpahat sempurna, menangkup gundukan menonjol di selangkangannya. Dia sepertinya datang bawa mobil sendiri, menjelaskan sedikit pilihan busananya yang berani.

Aku berdehem lembut dan keluar ke ruang tamu.

Mira menuangkan anggur untuk mereka sendiri, menunjuk ke dapur dan berkata, "Ambil sendirii."

Aku mendengarkan obrolan mereka saat aku membawa botol anggur baru dan menuangkan ke gelas. Mira menceritakan pada Karin tentang Jakarta, tentang gimana ia lulus dan sedang mengambil kuliah S2.

"Apa kamu menyesal tetap tinggal di sini?" Tanyaku saat aku duduk di seberang mereka. Aku bisa bergabung dengan mereka di sofa, masih cukup, tapi aku ingin bisa melihat mereka berdua dari seberang.

"Kadang," jawab Karin. "Tapi ga terlalu. Beberapa tahun lagi, Ayah akan lebih melunak. Sepuluh tahun dari sekarang dia akan pensiun dan aku yang akan meneruskan bisnis restorannya."

"Kamu punya ambisi pribadi?" Aku bertanya.

"Tentu," dia mengangguk, lalu menyesap anggurnya sedikit. Mira hampir menghabiskan gelasnya. Milik setengah kosong. Karin tampaknya hampir ga menyentuh isi gelasnya.

"Seperti?" Aku mendorong.

"Yah ... Ayahku hebat, dia membangun bisnis yang bagus dari nol. Tapi zaman berubah. Orang-orang mau makanan yang lebih bervariasi sekarang. Lihat saja di sini, kita punya makanan Thailand, India, Amerika, Prancis, Italia. Makanan sudah jadi barang internasional sekarang. Kita sudah jauh ketinggalan."

"Oh ya?"

"Pasti. Tahun lalu kami pergi ke Inggris. Pas jalan-jalan di London, kamu bisa dapat makanan dari mana saja di dunia. Afrika, Jamaika, makanan India di setiap jalan, dan Cina, Thailand, Vietnam ... apa pun yang kamu mau. Dan mereka semua laris, di sini kamu bisa dapat variasi itu di kota-kota besar, aku yakin kamu nemu di Jakarta, tapi di suatu tempat seperti Purworejo, kami lebih tertinggal. Aku ingin mengisi ketertinggalan itu."

"Apa kamu sudah bicara soal ini dengan ayahmu?"

Dia mengangkat bahu, dan payudaranya bergerak. Payudara besar, bebas di dalam atasannya, menggoda. "Sudah coba," katanya. "Dan kupikir dia coba dengar ideku. Tapi itu sulit buatnya. Dia sudah berhasil, ga ingin keluar dari zona nyaman yang sudah dibangunnya. "

Aku tersenyum. Dia gadis yang sangat bersemangat. Ini hal yang dia suka.

"Gimana denganmu, Yohan?" dia bertanya,

"Aku? Aku melukis dan menggambar. Itu yang aku lakukan."

"Apa dia jago?" Karin memandang Mira.

"Jago," kata Mira. "Gambarnya bagus banget."

"Aku ga terlalu tertarik ," kata Karin. "Film, ya, foto-foto, ya, tapi lukisan, aku ga pernah bisa memahaminya."

"Boleh aku menggambarmu?" Aku bertanya. "Biarin aku nyoba mengubah pendapatmu."

"Boleh kalau kamu mau."

"Sekarang bisa?"

Dia mengerutkan kening. "Disini?"

“Iya. Tunggu sebentar." Aku bangkit dan berlari ke kamar, mengambil sketch pad dan membawanya keluar beserta beberapa pensil dan segenggam arang.

"Apa aku harus pose atau gimana?" Karin bertanya, tanpa sadar mendorong dadanya kedepan.

"Santai saja, sambil ngobrol. Aku akan duduk di sini dan mengambar, nanti lihat gimana hasilnya."

"Yah ..." dia berusaha untuk santai lagi di sofa, tapi bahunya masih tegang. Rambutnya terurai. Gaya rambutnya sudah beda dibanding jaman sekolah, sekarang dipotong pendek, dicat pirang terang.

"Jadi, gimana denganmu, Karin?" Aku bertanya. "Katamu sudah ga sama Mike lagi. Pasti sudah ada yang baru dong."

Dia mengangkat bahu. "Ga ada yang spesial. Sejujurnya aku lagi menghindari komitmen semacam itu. Aku bosan dengan hal yang sama, ngerti maksudku?"

"Sama gimana?"

"Ya gitulah, tetap bertahan di Purworejo, berarti kenalan jadi terbatas. Ini bukan kota besar, kan, dan sebagian besar orang cenderung bertahan. Tapi semua yang cerdas dan ingin maju pergi menjauh, seperti kamu. Dan orang-orang pintar yang masih tersisa, ya ... kamu ingat Doni Hutomo? Dia lebih tertarik sama komputer dibanding manusia."

Aku tertawa, mengangguk. "Apa dia masih gemuk?"

"Makin gemuk," katanya, membalas tawaku.

"Kenapa ga coba cari cewek." kataku, "Mira juga gitu."

Karin menatapku, mulutnya terbuka ... karena ... kaget? Heran? Atau yang lain

"Itu alternatif," kataku. "Dan dari cerita Mira, itu juga menyenangkan."

Karin melirik Mira. Aku mengawasinya, menunggu untuk melihat apakah dia akan menjauh, tapi dia tetap di tempatnya.

"Kamu pasti pernah bayangin itu," kataku.

"Kamu pernah?"

"Bayangin cewek? Setiap saat."

"Cowok," katanya. "Kamu pernah bayangin cowok lain seperti itu?"

Aku menggelengkan kepala. "Ga juga."

"Ga pernah?"

"Seingatku ga pernah."

"Kenapa ga?"

"Aku suka perempuan," kataku. "Sesederhana itu. Kalau kamu?"

"Bayangin cowok?"

"Cewek," kataku.

"Itu rahasia pribadi," kata Karin. Dia mencondongkan tubuh ke depan dan mengambil gelas anggurnya, tapi cuma meminum sedikit sebelum meletakkannya lagi di meja.

"Aku cuma penasaran. Dan kupikir... ga tahu, mungkin kita bisa ngobrol hal seperti ini sekarang?"

"Kenapa sekarang?" Kata Karin. Suaranya tenang, dan aku ga tahu apa aku bertanya terlalu jauh.

"Yah ... kita sudah bukan anak SMU lagi sekarang, kan. Kita dewasa muda. Kita mungkin lebih sering mikir tentang hal seperti ini. Dulu itu semua karena hormon masa puber. Tapi sekarang kita perlu cari tahu apa yang kita mau dari hidup kita. Cari tahu dan kejar sampai dapat."

"Sepertinya," kata Karin.

Sketsanya sudah mulai terbentuk dengan baik. Aku membentuk kepalanya, bahu, tubuhnya sampai pinggang. Wajahnya setengah jadi, tubuhnya cuma sekilas. Aku terus menggambar dan Karin menoleh ke Mira.

"Kapan kamu tahu kamu... lesbian?"

"Dari sekitar umur dua belas. Tapi aku ga ngelakuin apa-apa sampai aku umur sembilan belas tahun."

"Apa kamu ..." Karin memulai, lalu menggelengkan kepalanya.

"Ga apa-apa. Tanya saja," kata Mira, dan meletakkan tangannya sebentar di kaki Karin lalu menariknya. "Kamu bisa tanya apa saja." Dia tertawa. "Yohan juga sering nanya."

"Oh ya? Dan kamu jawab?"

"Iya."

Karin menatapku. "Gimana menurutmu tentang Miranda, Yo?"

"Aku menyayanginya," kataku, dan melihat Miranda tersenyum. "Dia sepupuku. Kami benar-benar dekat."

"Tapi ... bukannya itu bikin cowok... mendengar cerita tentang dua cewek...?"

"Pasti," kataku, menegaskan bentuk leher dan belahan dadanya. Tank top kecil itu memperlihatkan sebagian besar payudaranya. Aku bisa melihat putingnya mendorong kainnya.

"Dan kamu ga keberatan dengan itu?" Karin bertanya, kembali ke Mira.

"Sebenarnya, cerita ke Yohan bikin aku terangsang juga. Aku mungkin ga suka cowok, tapi Yohan seperti saudara buatku."

"Aku punya kakak laki-laki," kata Karin, "Tapi aku pasti ga akan ceritain padanya soal ini."

"Bukan saudara kalau gitu," kata Mira. "Mungkin lebih dekat dari itu. Kita sahabat, ya?" Mira menatapku dan aku mengangguk.

"Sahabat terbaik di dunia."

"Wow ...," kata Karin. "Mungkin itu agak berlebihan."

Mira tertawa dan menyentuh lagi kaki Karin dengan tangannya. "Jangan kuatir," katanya. "Aku baru kenal kamu sehari, tapi aku sudah menyukaimu. Kamu bukan tipe gadis kaya yang manja, kan. Aku sangat menyukaimu." Mira membungkuk dan mencium pipi Karin. Pipi Karin memerah dan dia menunduk ke bawah. Aku merasa aku melihat putingnya semakin menegang, menekan atasan katunnya yang ketat.

Karin mengambil anggurnya dan menyesapnya lebih lama. Dia sudah meminum mungkin seperempat gelas, ga lebih.

"Di sini panas, atau cuma aku?" dia bertanya.

"Memang agak panas," kataku. "Maaf kami ga punya AC."

"Gapapa," katanya, dan tampak sedikit rileks, bersandar ke bantal di belakangnya.

Aku memakai arang untuk menambahkan arsiran bayangan, mengolesinya dengan jariku.

"Selesai," kataku. "Apa kamu mau lihat?"

"Boleh." Karin duduk, berdiri dan berjalan empat langkah ke kursiku. Dia duduk di lengan kursi dan membungkuk, melihat gambar itu. Paha telanjangnya menempel di lenganku, dadanya yang padat menempel di bahuku. Aku bisa mencium bau sabun dan secara samar aroma yang lain, aroma kewanitaan Karin. Dengan sangat ringan, aku menyentuh paha luarnya yang menempel di lenganku dengan ujung jariku.

"Cuma sketsa cepat," kataku.

"Ini ... apa aku memang terlihat seperti ini, Yohan?" Dia mencondongkan tubuh lebih dekat, dan aku merasakan ujung putingnya yang keras menekan lengan atasku. Aku terus membelai kakinya, menjangkau lebih jauh dengan jariku.

Mira berdiri dan datang ke sisiku yang lain.

"Dia menangkapmu dengan sempurna," katanya.

"Tapi aku terlihat ... aku terlihat cantik."

"Kamu memang cantik, Karin. Kamu tahu itu."

"Oh ya, aku tahu aku cantik. Aku bisa tahu dari reaksi orang lain saat melihatku. Tapi ini bikin aku terlihat lebih dari sekedar cantik."

"Kamu memang lebih dari sekedar cantik," kataku.

"Gombal," kata Karin. Lalu, "Boleh kusimpan?"

"Itu punyamu," kataku, dan merobek kertas dari sketch pad. "Kalau kamu mau, aku bisa pasangin."

"Pasangin?" Karin terdengar bingung.

"Ya. Pasang itu dalam bingkai. Kamu bisa gantung di kamarmu."

"Jangan repot-repot deh."

“Ga kok."

"Oke, terserah kamu kalau gitu," dia mengangguk, lalu membungkuk dan mencium pipiku. Aku bereaksi dengan sedikit menoleh kearahnya, dia ga menarik diri, wajahnya masih sangat dekat dengan kepalaku, dan aku menunggu, lalu dia bergerak mendekat dan aku mencium bibirnya. Rasanya seperti yang kubayangkan. Kami berciuman beberapa saat sebelum dia menarik diri.

"Woah," katanya, duduk, wajahnya memerah, dan dia memandang melewatiku ke arah Mira yang duduk di lengan kursiku yang lain dan ada sesuatu di matanya yang ga bisa kutafsirkan.

"Terlalu cepat?" Aku bertanya. "Aku ingin ngelakuin itu sejak lama."

"Ga, gapapa Yohan. Aku juga. Denganmu," tapi dia juga melirik Mira dan aku bertanya-tanya apa yang ada di benaknya.

Aku memandangnya, terpana pada betapa cantiknya dia, terpana memandang salah satu gadis yang menjadi imajinasiku saat SMU, lalu berkata, "Aku ingin menciummu lagi. Apa boleh?"

Dia menggigit bibir bawahnya dan membuat anggukan yang hampir tak terlihat. "Aku juga ingin itu."

"Kamu mau...jadi sedikit lebih nyaman? Mir, boleh kami pakai sofanya?"

Mira bangkit dan memberi isyarat. "Silahkan. Aku akan nyamar jadi obat nyamuk."

Karin tertawa pelan. "Kamu ga pantas jadi obat nyamuk, Miranda."

Mira balas tertawa. "Baiklah kalau gitu. Aku mau ambil kamera video Yohan dan merekam kalian berdua bermesraan." Dia mengatakannya dengan santai, tapi aku merasakan sedikit ketegangan dalam suaranya.

"Oke," kata Karin, tiba-tiba rasa malunya menguap. "Ga masalah untukku."

"Oh ya?" Aku bilang.

Karin pindah ke sofa dan aku duduk di sebelahnya. Aku sedikit bingung bagaimana memulainya, tapi dia bergeser mendekatiku dan meletakkan tangannya di belakang leherku dan menarikku ke mulutnya.

Kami berciuman cukup lama, saling mengeksplorasi, lalu secara bertahap Karin mulai bersandar kebelakang membuatku harus membungkuk dan segera dia sudah berbaring di sofa dan aku setengah menindihnya.

Kami berhenti berciuman sebentar dan menyesuaikan posisi agar lebih nyaman. Karin mengangkat satu kaki dan meletakkannya di sandaran sofa. Aku berbaring di antara kedua kakinya, menopang berat badanku dengan satu lengan, lalu menyentuh pahanya dengan tangan yang lain.

"Mmm," kata Karin.

Aku sadar Mira sudah mengambil kameraku dan sedang merekam kami.

"Bilang saja kalau kamu mau obat nyamuk itu berhenti merekam," kataku.

Karin memandang Mira. "No problem," katanya.

Aku tertawa. "Ini bikin kamu terangsang, kan." kataku.

Dia menggigit bibirnya lagi dengan caranya yang seksi. "Apa yang bikin kamu berpikir gitu?"

Aku mengangkat tangan, menyentuh perutnya, lalu menyentuh payudaranya.

"Putingmu makin keras," kataku.

"Mm-hm," kata Karin. "Rasanya enak, saat kamu menyentuh mereka seperti itu."

"Boleh aku lepas?"

Dia mengangguk dan mengangkat lengannya. Aku menggeser tanktop kecil itu ke atas melewati kepalanya. Karin berbaring, payudaranya yang besar sekarang terbuka. Bahkan dengan berbaring mereka tetap padat, hampir ga kendur sama sekali. Putingnya panjang, merah muda gelap, areolanya cokelat jauh lebih gelap.

Aku menyentuhnya lagi dan dia melengkungkan punggungnya, menghela nafas. "Rasanya menyenangkan saat kamu melakukan itu," katanya.

Aku menundukkan kepalaku dan menghisap puting susu ke mulutku, menghisapnya keluar-masuk, memilinnya dengan bibirku, menyentilnya dengan lidahku dan lalu menggigitnya lembut dengan gigiku.

"Ooh, kamu pernah ngelakuin ini sebelumnya, Yohan."

"Beberapa kali," aku mengaku.

Mira masih di kursi, dengan kamera menutupi matanya, dan aku melihatnya mengatur zoom. Aku kembali fokus ke payudara Karin.

Tangannya menyelinap di bawah kausku, membelai punggungku, mencari-cari di perutku, bergerak ke atas dan menemukan putingku. Lalu dia menarik bajuku ingin aku melepasnya. Aku duduk dan melepas kausku lalu melemparkannya ke samping. Karin meletakkan tangannya di perutku dan menatapku.

"Apa kamu akan meniduriku, Yohan?"

Aku mengangguk. "Aku berencana begitu."

"Aku juga," katanya.

Aku melirik Mira, dan dia tahu apa yang kumaksud.

"I’m good," kata Mira.

"Beneran?"

Dia mengangguk.

Aku kembali mencium bibir Karin.

"Aku mau menjilat vaginamu dan membuatmu orgasme, Karin," kataku.

"Rencana yang bagus," katanya.

Aku menyelipkan jariku ke pinggang celana pendek mungilnya dan menariknya turun. Saat mereka meluncur turun vaginanya mulai terlihat dan aku menyadari dia ga pakai celana dalam. Aku memandangnya sambil mengangkat alisku dengan ekspresi bertanya.

"Kupikir aku ga butuh itu, Yohan," katanya.

Aku menyeringai. "Setelah itu, setelah aku menjilat vaginamu, aku akan menyetubuhimu dan bikin kamu orgasme lagi."

"Rencanamu jadi makin bagus," katanya.

"Dan lalu," kataku, menarik daun telinganya dengan bibirku, berbisik padanya, "Mungkin kita lihat apa Mira juga ingin membuatmu orgasme juga."

Aku merasa Karin menggigil dibawahku. "Apa yang membuatmu mengira aku akan biarin dia ngelakuin itu?"

Aku mencium lehernya. "Kalau kamu ga ingin Mira ngelakuin itu, kamu harus bilang dari sekarang, Karin."

"Sekarang?"

"Sekarang," kataku. "Kalau kamu ga bilang ga, aku akan biarin Mira ngelakuin itu."

Aku mendorong jariku kedalam vaginanya. Dia sudah basah kuyup dan terasa panas. Kepalanya menoleh ke arah Mira, nafasnya terengah-engah saat jariku keluar masuk di vaginanya.

"Berapa lama aku punya kesempatan, untuk bilang ga?" dia bertanya, terbata-bata di antara nafasnya.

"Sampai aku mengganti jariku dengan lidah," kataku.

"Ooh..."

Aku mencium telinganya, menghadapkan wajahnya padaku dan mencium mulutnya, lalu bergerak turun ke payudaranya, terus menuruni perutnya. Aku sampai di pusarnya dan berhenti.

"Masih mempertimbangkan?" Aku bertanya.

"Tentang apa?" dia berkata. Tangannya mendorong pundakku.

Aku tersenyum. "Mira akan dengan senang hati membuatmu orgasme. Apa kamu ngelakuin hal yang sama ke Mira?"

"Aku belum pernah ngelakuin hal seperti itu," kata Karin.

"Jangan khawatir. Ini gampang," kataku, dan melanjutkan kebawah, mempraktekkan caranya.

Karin mengerang dalam-dalam dan mengangkat kakinya yang panjang ke atas pundakku. Jari-jarinya meremas rambutku, mendorong wajahku ke vaginanya, aku bisa merasakan dia hampir orgasme.

Aku menangkap gerakan kecil dan melihat Mira mendekat. Dia berlutut di sebelah sofa dan tangannya meraih payudara Karin lalu membelainya. Karena Karin ga keberatan, dia mencondongkan tubuh ke depan dan mulai memakai mulutnya juga.

Karin mengerang. Pinggulnya mendorong ke mulutku. Lidahku dilicinkan karena cairan vaginanya, dan jariku mengelitik klitoris kecilnya yang menonjol.

Karin melawan dan menjerit, aku merasakan perutnya bergetar di lenganku, merasakan tubuhnya menyentak ke atas dan dia menjerit lagi saat orgasmenya datang, pahanya menjepit kepalaku dengan erat.

Saat dia mulai rileks, aku duduk dan menonton saat Mira menciumnya. Mira memegang kedua sisi wajah Karin dan menempelkan bibirnya ke bibir gadis yang lebih muda. Meskipun Karin menutup matanya, dia tahu siapa yang menciumnya. Dia tampak ragu-ragu, tapi cuma sesaat, seolah ingin memastikan bahwa itu menyenangkan, dan lalu aku melihatnya merespons, membalas ciuman Mira.

Aku berdiri dan melepas celana dan celana dalamku lalu berbaring miring di samping Karin. Aku mengarahkan penisku ke vaginanya, menarik kaki kanannya terbuka dan mendorong penisku masuk.

"Mmph," Karin melenguh, tertahan bibir Mira yang masih menempel di bibirnya, saat penisku memasukinya.

Aku mulai bergerak perlahan, di saat yang sama tanpa sadar aku meraih paha Mira, menyingkap dressnya dan menemukan celana dalamnya.

Jari-jariku meraba pinggiran celana dalamnya, bergerak ketengah, menemukan bagian yang terasa lembab, dan aku menekannya, merasakan responsnya, pinggulnya bergerak sehingga vaginanya yang terbungkus sutra menggesek jemariku.

Tanganku berpindah ke pinggang Karin dan menariknya, mendorong penisku lebih dalam. Mira melepas ciumannya lalu duduk dan berbalik untuk melihat penisku terbenam dalam vagina Karin yang sempit.

Lalu dia menatapku.

"Kamu akan tetap berpakaian lengkap, atau telanjang seperti kami?" Tanyaku padanya

"Rasanya aku akan ikut kalian," katanya.

"Aku ingin menjilat vaginamu, Mira." Kata Karin, sepertinya dia orang yang cepat belajar.

Mira berdiri dan melepas dressnya, lalu melemparkannya ke kursi. Dia membuka bra-nya dan melemparkannya juga, melepas celana dalamnya lalu berdiri, telanjang bulat.

Karin mengulurkan tangannya ke Mira, tapi ga sampai.

Miranda mendekat hingga lututnya menempel di sofa, dan Karin menyelipkan tangan ke antara kaki Mira dan menyelipkan jarinya ke dalam vagina Mira.

Aku mendengar Mira mendesah, dan melihat kepalanya tersentak ke belakang.

Karin menggerakkan jarinya dengan cepat di dalam tubuh Mira, lalu menariknya keluar dan menjilati cairan yang menempel dijarinya.

"Kamu beneran belum pernah ngelakuin ini sebelumnya?" Kata Mira, dan Karin terkikik.

"Aku ingin menjilat vaginamu," kata Karin.

Mira menyeringai lalu naik ke sofa, berlutut di atas payudara Karin, lalu bergerak ke atas sampai vaginanya tepat diatas leher Karin.

Aku ingin menonton apa yang terjadi, tapi terhalang tubuh Mira. Jadi kutarik kemaluanku keluar dan bergeser ke samping sehingga aku bisa menonton saat Karin mengangkat kepalanya dan mendorong lidahnya ke vagina Mira.

Kemudian Karin menoleh dan bilang, "Jangan berhenti, Yohan."

"Aku mau lihat," kataku.

Mira mengangkat dirinya dan berbalik, sehingga dia menghadap ke arahku lalu dia merendahkan vaginanya ke mulut Karin.

Mira menatap mataku. "Sekarang kamu bisa nonton sambil menyetubuhinya," katanya.

Aku ga bisa menahan diri. Aku mencium Mira, dia membalas, tanganku bergerak ke payudaranya dan menangkupnya. Dia membiarkanku menciumnya sebentar sebelum mendorongku menjauh.

"Cukup, Yohan. Kita ga ngelakuin itu. Setubuhi dia. Aku juga mau nonton."

Aku bergeser lagi ke antara kaki Karin, memandang Mira dan melihat dia menonton saat penisku menghilang perlahan di antara bibir vagina Karin.

Aku berpegangan pada payudara Karin, memompa kemaluanku padanya, menyaksikan saat lidah Karin bergerak liar di vagina Mira.

Mira terengah-engah, satu tangannya mencengkeram sandaran sofa, yang satunya bergantung canggung di samping.

Aku meraih tangannya dan meletakkannya di bahuku. Dia menatapku, lalu memindahkan tangan satunya ke pundakku juga. Aku melakukan hal yang sama, jadi kami berpegangan satu sama lain, saling menopang. Aku melihat ke bawah dan Karin hampir terkubur diantara kaki Mira, semoga dia bisa bernafas.

"Yohan," Mira mendesah, kepalanya mengeleng.

Aku memandangnya, menunggu.

"Oh, sial, Yohan, tolong cium aku lagi."

Aku mencondongkan tubuh ke depan dan dia memiringkan kepalanya, dan kurasa untuk pertama kalinya kami sungguh-sungguh berciuman, sepenuh hati. Mulut Mira terbuka, lidahku menjelajah kedalam.

Karin hilang kendali, mulai mendengus dan bergetar lagi. Aku bisa merasakan tubuh Mira juga gemetar, tahu dia juga sudah dekat.

Mira menciumku lagi dan dia mulai menggigil. Dia menggigit bibirku, sakit, tapi aku membiarkannya.

Aku mencengkeram payudaranya yang berayun indah, menarik-narik putingnya, lalu dia melepas ciumannya untuk menatap mataku, menatap jauh ke dalam saat klimaks menguasai sekujur tubuhnya.

Teriakan tertahan Karin yang memaksaku untuk mengalihkan pandangan dari sepupuku. Dia mengelinjang di bawahku, mengerakkan pinggulnya lebih cepat menggesek penisku saat dia mencapai puncak disaat yang hampir sama.

Dia masih gemetar saat dia mengangkat pinggul Mira dari mulutnya, mendorong perutku dan penisku menyelinap keluar darinya.

"Mira, bantu aku bikin dia orgasme," Katanya terengah-engah.

Karin bergerak di bawahku, berguling ke lantai dan menarikku sehingga aku duduk di sofa. Dia mengenggam penisku dan menggosoknya cepat, menunduk dan membungkus penisku dengan mulutnya, menggosok dan menghisapku di saat yang sama.

Dia tegak lagi, menatap Mira, tangannya memeluk pinggang Mira dan menariknya turun ke lantai. "Kamu juga mau penis Yohan, Mir?"

Mira menggelengkan kepalanya, tapi matanya menatapku, menunggu ajakanku, tapi aku hanya menatapnya balik.

Karin mengangguk, mengembalikan penisku ke mulutnya.

Mira bersandar padanya, mencium bahu dan lehernya, lalu tangannya terulur dan aku merasakannya membungkus pangkal penisku lalu menggosokku. Dia memiringkan kepalanya agar bisa menonton, bisa melihat saat tangganya menggosok, melihat saat penisku tersedot di antara bibir Karin.

Aku mendorong pinggulku ke atas, menuntut pelepasan.

Karin merasakan itu dan mengangkat kepalanya. Dia bergeser ke satu sisi, memberi ruang untuk Mira bisa mendekat. Mereka duduk berhimpitan, tangan mereka di penisku, keduanya menggosokku keras.

Karin menjilatku, lalu duduk lagi. Wajahnya berkerut menatap penisku, mengawasiku saat aku mengangkat pinggulku lagi dan mendengus, "Oh, sial!" saat aku menembak, satu semburan dari orgasme terbaik yang pernah kurasakan dan spermaku memercik ke payudara Karin lalu Karin mengarahkan semburan kedua ke Mira, mendarat di mulutnya, lalu Karin menurunkan mulutnya dan menampung sisanya di dalam dan menelannya semuanya.

Aku masih gemetaran karena nafsu saat Karin mengeluarkan penisku dari mulutnya dan menoleh lalu mencium Mira. Aku melihat sisa spermaku mengantung dari bibir Karin, melihatnya ditransfer ke Mira, dan kemaluanku terasa sakit, menuntut orgasme lagi, masih keras.

Karin menggigit bibir bawah Mira dan menoleh padaku. "Kamu mau menyetubuhi Mira sekarang, Yo?"

Aku menggeleng, melirik Mira. "Kami ga ngelakuin itu," kataku.

"Bahkan sekarang?" Kata Karin.

Aku menggeleng lagi, menunggu dukungan Mira, untuk membuatnya lebih mudah.

"Kenapa ga?"

"Ya memang ga," kataku.

"Sial," kata Karin. Lalu, "Ya sudah seolah-olah saja."

"Maksudmu?"

Karin berbaring telentang di karpet, kakinya terbuka. Dia meraih Mira dan menariknya ke atas tubuhnya. Karin tahu persis apa yang diinginkannya, membimbing Mira sehingga dia mengangkang pinggulnya, payudara mereka saling menempel.

"Gini saja, Yo. Kamu masukin ke vaginaku, tapi seolah-olah kamu masukin ke Mira dari belakang."

Aku memandang Mira, yang melihat ke belakang ke arahku, berharap sesuatu, tapi tetap membisu.

Aku mengangguk, berbaring di antara kaki mereka yang terjalin, dan mendorong penisku yang masih keras langsung ke vagina Karin. Perutku menempel ke pantat Mira.

"Ya, Yohan, seperti itu," kata Karin.

Aku mencondongkan tubuh ke depan di bahu Mira dan mencium Karin, mundur sedikit, mencium punggung dan leher Mira.

Aku mulai bergoyang, dan setiap kali aku mendorong perutku membentur pantat Mira. Mira mengangkat pinggulnya lebih tinggi, seolah-olah mengundangku dan godaan itu begitu besar untuk menarik keluar dari Karin dan memasukkannya ke vagina sepupuku.

Karin mengulurkan tangan dan jari-jarinya mulai bekerja di vagina Mira, menggosok klitorisnya, dan sekarang saat perutku bergerak kedepan, kadang membentur vagina Mira dan kadang di tangan Karin.

"Fuck," Karin mendengus, dan aku memandangnya, tapi teralihkan oleh Mira. Pinggulku terus terayun di vagina Karin, tapi aku memandangi Mira, dan rasanya, hampir, seperti aku menyetubuhinya, dan aku merasa bersalah, seperti aku sudah mengkhianatinya, tapi disaat yang sama rasanya luar biasa dan aku ga bisa berhenti, ga mau berhenti, ga ingin menahan diri, dan aku bisa melihat mereka lepas kendali juga. Aku memegang pinggang Mira, mendorong keras ke Karin, menarik Mira kebelakang dan itu terjadi begitu cepat sehingga aku ga siap. Aku mengerang, ejakulasi lagi, di dalam Karin, di dalam Mira, aku ga tahu siapa, ga peduli, lepas kendali.



----------0----------​



Karin menginap, kami bertiga tidur di kamar Ibu, dan di pagi hari aku terbangun, hanya berdua dengan Karin. Lalu aku keluar, dan menemukan Mira duduk di meja dapur menangis.

Aku menarik kursi dan duduk di sampingnya, meletakkan tanganku di bahunya dan dia menepisnya.

"Mir," kataku. "Ada apa?"

Dia menatapku. "Kau tahu ada apa, Yohan. Aku sangat ingin kamu menyetubuhiku semalam. Kau seharusnya ngelakuin itu."

Aku menatapnya. "Tapi aku ga ngelakuin itu," kataku.

"Kenapa ga?"

"Kamu tahu alasannya."

Dia menggelengkan kepalanya dengan liar, rambutnya yang panjang terurai. "Ga. Aku ga tahu. Dulu aku tahu kenapa, tapi ga lagi. Aku mau balik ke Jakarta, Yo. Aku ga bisa tinggal di sini."

"Ga," kataku. "Kamu ga bisa pergi."

"Aku ga bisa tinggal di sini," katanya. "Kalau aku di sini, kita berdua tahu apa yang akan terjadi, aku terlalu mencintaimu dan kalau aku di sini kita akan merusak idealisme, kita akan merusak semuanya."

Aku merangkulnya, menarik kepalanya ke bahuku, dia menolak tapi aku tetap menahannya dibahuku dan akhirnya dia menurut tapi mulai menangis lebih keras.

"Aku sangat mencintaimu, Yohan," katanya, memeluk bahuku.

"Aku mencintaimu juga, Mira. Lebih dari yang bisa kukatakan."

"Ini kacau," katanya. "Aku seharusnya ga boleh menginginkanmu. Aku butuh waktu. Perlu waktu untuk berpikir."

"Aku ga bisa ..." Aku sadar aku mulai menangis juga. "Aku ga bisa kehilanganmu, Mir," kataku.

"Aku juga ga ingin kehilanganmu," dia terkesiap. Dia mengangkat kepalanya dan menciumku, bibir kami basah oleh air mata kami.

"Ga," kataku. "Aku serius. Aku ga bisa kehilanganmu, Mir. Aku ga bisa bayangin tanpa kamu. Bahkan kalau itu berarti frustrasi seumur hidup. Bahkan kalau itu berarti ga pernah menyentuhmu lagi, ga pernah melihat tubuh telanjangmu yang indah, aku rela. Tapi aku ga bisa kehilanganmu, Mir, aku ga bisa."

Dia menciumku lagi, wajahnya sedih. "Kamu ga akan kehilangan aku, Yohan."

Dia duduk lagi, mendorongku menjauh dan menyeka wajahnya dengan lengan jubahnya.

"Aku mau pesan tiket. Kamu tinggal di sini, tinggal sama Karin. Dia gadis liar, kan?"

Aku mencoba tersenyum. "Dalam beberapa hal," aku setuju.

Mira mengangguk. "Tetap di sini, tunggu ibumu dan Sarah datang, pulanglah minggu depan dan kita akan mulai lagi dari awal. Kita buat aturan baru."

Aku mengangguk. "Apa pun yang kamu mau, Mir. Apapun."

Mira menggelengkan kepalanya. "Bukan apapun yang aku mau. Karena, sekarang, aku mau kamu. Tapi aku akan buat aturan baru, dan minggu depan kita mulai lagi dari awal, laki-laki dan perempuan yang baik, ga ada lagi saling goda, ga ada lagi main-main, ini akan jadi titik balik dari semuanya."

"Wow," kataku. "Seserius itu."

"Memang," katanya.


Bersambung... Chapter.23
 
Terakhir diubah:
Sangar banget yohan dan mira, mereka bisa memanipulasi otak orang jadi nurut ke mereka. Karin yang normal bisa diajak yohan dan mira tandem main main bareng..
Kadang heran ama yohan, mira pengen banget yohan nidurin dia, tapi yohan ndak mau.
Sapa tau dengan nidurin, si mira bisa normal dari lesbinya..apa yohan ndak mau mira normal..

Makasih updatenya master..ceritamu memang jozz, berkelas habis..
:ampun: :ampun::ampun:
 
A
CHAPTER.22
TITIK BALIK


Saat ini Senin sore, kami berada di sebuah Cafe yang terletak di ujung jalan kecil yang membentang dari utara-selatan mengarah ke alun-alun kota. Waktu menunjukkan pukul 17.30, meja dan kursi diluar cafe masih disinari matahari senja yang hampir tenggelam. Cafe ini masih sepi, mungkin terlalu awal untuk arus makan malam yang akan tiba mulai jam enam. Kami meminta pada pelayan dan diberi tempat pada salah satu meja yang lebih besar di bagian depan cafe.

Hari ini kami masih belum sempat berbelanja untuk memasak sendiri di rumah, dan Mira memintaku untuk mengajaknya makan di salah satu cafe yang cukup bagus disini. Kami berjalan kaki di sore yang hangat ke tengah kota menuju cafe ini yang menyajikan makanan Italia seperti yang Mira minta.

Setelah malam minggu berbahaya dimana kami hampir ML di hotel ditepi pantai, kami memutuskan menambah satu hari menginap untuk berjalan-jalan dan menikmati suasana tenang disini, tanpa mengulang kejadian malam sebelumnya. Senin siang aku mengemudi mobil sewaan kami dalam diam dan dalam suasana ga nyaman. Aku bertekad untuk menghabiskan seminggu kedepan mencoba menganggap Mira sebagai kakak perempuan seperti seharusnya, dan berhenti memikirkannya secara seksual.

Masalahnya adalah, setiap kali aku melirik padanya yang berbaring di kursi penumpang di sampingku sambil menumpangkan kaki di dashboard depan, roknya tertarik ke pahanya dan menampilkan kakinya yang panjang dan mulus, dan aku secara otomatis teringat pada pengalaman terakhir kami di honeymoon suite dan betapa dekatnya kami berdua.

Minuman pesanan kami sudah diantar ke meja kami dan kami sedang duduk ngobrol tentang pernikahan Ibu saat sebuah panggilan memotong pembicaraan kami.

"Yohan? Yohan Wahyudi? Kamu Yohan kan?"

Aku menoleh. Ada beberapa meja lain yang sudah ditempati, tapi sepertinya ga ada yang melihat ke arah kami. Lalu aku memperhatikan pelayan, nampan di tangan, nyengir padaku.

"Karin?"

"Yohan," katanya, senyumnya semakin lebar. "Bukannya kamu sudah pindah?"

"Iya, balik minggu ini," kataku.

Karin bergerak ke arah meja kami. "Aku dengar ibumu mau nikah. Itu minggu ini ya?"

"Sabtu kemarin," kataku.

"Oalah. Gimana acaranya?"

Aku tersenyum. "Ya, itu menyenangkan." Aku memandang Miranda dan melihat dia berusaha tidak menunjukkan ekspresi apapun.

"Ini cuma... wow... ga nyangka ketemu di sini. Kamu kelihatan beda, Yohan, banyak berubah, tapi beda yang positif."

"Kamu juga, Karin." Dan aku sungguh-sungguh saat mengatakan itu. Karin adalah teman SMU-ku, sosok gadis yang membuat semua gadis lain ingin menjadi seperti dia, dan tentu yang diincar oleh semua cowok di sekolah, tapi dia sepertinya cuma mau jalan dengan cowok-cowok yang populer, terutama yang jago olahraga sampai mewakili sekolah, yang tentu saja membuatku tidak ada dalam daftar itu. Sekarang dia hampir ga berubah. Dia masih punya sosok cantik yang menawan, kaki panjang dan ramping, rambut pendek bergelombang yang diwarna pirang, dan payudara yang luar biasa.

Pelayan cafe ini tidak berseragam, cuma berpakaian konservatif, bebas dan sopan, tapi semua staf memakai celemek kecil yang diikatkan di pinggang mereka. Tali itu menampilkan pinggang Karin yang kecil, lalu melebar di pinggulnya.

Karin memakai kemeja hitam yang menempel erat di badannya, rok krem pendek sepanjang pahanya.

Dia berdiri diam sebentar, menunggu sesuatu, lalu aku sadar dan bilang, "Ini Miranda, sepupuku. Kami kuliah bareng di kampus yang sama di Jakarta."

"Hai," kata Karin, dan mengulurkan tangan rampingnya untuk menjabat tangan Mira.

"Hei, tunggu sebentar," Karin berkata, "Aku akan tukar dengan temanku, jadi aku yang akan ngelayani meja kalian, kita bisa ngobrol sebentar tiap kali aku ngantar pesanan kalian, Ok?"

"Tentu," kataku.

Karin menyeringai, berbalik dan melangkah masuk kembali.

Mira menatapku dan mengangkat alis. Aku menatap balik dengan ekspresi datar.

"Mantan pacar?" Mira bertanya.

"Ngawur," kataku. "Yang seperti dia itu jauh dari jangkauanku."

Mira mencondongkan tubuh, meletakkan sikunya di atas meja, mendorong alat makannya ke samping. Senyum jahat yang sudah kukenal dengan baik itu menghiasi bibirnya. "Jadi, kasih tahu aku, Yohan, siapa itu Karin? Apa kalian punya cerita istimewa di sekolah?"

"Kami?" Aku tertawa. "Ga mungkin. Meskipun aku akan mengambilnya andai aku punya kesempatan."

"Aku cuma merasa, dari cara dia memandangmu pasti ada sesuatu di masa lalu. Kamu lihat kan gimana cara dia melihatmu tadi?"

"Agak," kataku, malu sendiri karena berpikir Karin bertingkah seolah-olah dia benar-benar tertarik, dan masih berusaha untuk mencernanya. Di jaman SMA, dia bahkan ga akan pernah menegurku.

“Serius," kata Mira. "Dia kelihatan seperti naksir kamu, Yohan."

"Dia salah satu yang paling hot di sekolah, Mir," kataku. "Aku cuma anak pendiam yang tertarik pada seni lukis, sama sekali ga mungkin masuk dalam tipenya. Jujur, aku malah kaget dia bahkan ingat aku."

"Menurutku dia malah ingat banget sama kamu. Mungkin kamu bikin kesan lebih dari yang kamu tahu."

"Ya," aku mengejek. "Dan mungkin kamu akan berubah, ketemu pria baik dan berubah jadi ibu rumah tangga yang sempurna."

"Hei, ga adil. Kita ga lagi bahas tentang aku. Ini tentang kamu dan Karin."

Aku tertawa terbahak-bahak. "Mir, ga ada aku dan Karin, ga pernah ada. Dia cuma bersikap baik kepada kita. Berharap mendapat tips besar."

"Ya, besar, kan?"

"Apa?" Aku mengerutkan kening.

"Payudaranya, mereka besar."

"Tutup mulut iblismu," aku tertawa. "Selain itu, mungkin dia lebih tipemu."

"Menurutmu gitu?" Mira merenung. "Memang aku ga akan keberatan. Dia, seperti yang kamu bilang, hot hot hot!"

"Yang ga bisa kutebak adalah," kataku, "Kenapa dia bekerja di cafe ini. Ayahnya punya beberapa restoran sendiri, jauh lebih mewah dan besar dari cafe ini."

"Ini cafe bagus," kata Mir, melihat sekeliling.

"Ya. Aku juga suka suasana di tempat ini. Tapi aku bicara tentang restoran dengan harga makanan ratusan ribu per piring, Mir. Aku ga tahu ngapain dia di sini."

"Coba kamu tanya dia langsung."

"Tanya gitu saja?"

"Yohan, salah satu pengalaman terbaik yang kupunya adalah, kalau kamu punya pertanyaan, langsung tanyain, kalau kamu ga mau tanya, lupain saja. Jangan dipikirin berlebihan."

Karin kembali membawa menu dan menyerahkannya pada kami. Jariku menyentuh jarinya saat aku menerima buku menu. Mungkin aku sengaja.

Dia bertahan sebentar. "Jadi, gimana kuliahmu, Yo? Seni, bukan?"

"Ya, seni rupa," kataku, meskipun aku ga ingat pernah cerita itu padanya. "So far kuliah menyenangkan. Kalau kamu, Karin? Kamu keluar kota juga, atau masih di sini?"

"Masih di Purworejo," katanya, suaranya santai. "Aku tahu aku ga terlalu cerdas, Yohan, tapi aku paham bisnis dengan cukup baik. Aku kuliah di Jogja paruh waktu tiap weekend, katering dan studi bisnis, dan setelah lulus aku akan kerja ditempat Ayahku."

"Hebat. Jadi, kenapa kamu kerja disini?"

Dia tertawa. "Ayah ga akan biarin aku kerja untuknya sampai aku melewati semua. Dia bilang aku harus mulai dari bawah seperti dia dulu. Dan dia ga akan ngijinin aku kerja di salah satu restonya, sebelum aku belajar di tempat lain. Dia bilang lebih baik orang lain yang rugi kalau aku bikin kesalahan pas masih belajar, bukan dia."

"Dan kamu ga masalah dengan itu?"

Dia mengangkat bahu. "Tentu. Menurutku itu masuk akal. Dan selain itu, ini lumayan menyenangkan." Dia menatapku, ingin bilang sesuatu yang lain, lalu melirik Mira dan membatalkannya.

"Kamu pacaran dengan ... siapa namanya ... Mike?" Aku bertanya. "Kalian pasangan populer di sekolah, seingatku."

"Mike, betul. Kami sudah putus. Dia pindah. Dapat beasiswa olahraga di Surabaya."

"Sayang sekali," kataku.

"Oh, ga, gapapa. Setidaknya dia bikin aku sadar bahwa atlet ga selalu bisa diandalkan. "Dia melirik Mira lagi, dan aku ga bisa menebak apa yang ingin dia sampaikan. Apa dia memikirkan hubunganku dan Mira? Aku melihat melewatinya ke pintu cafe.

"Sepertinya bosmu penasaran kenapa kami lama belum pesan juga," bisikku.

Karin melihat kebelakang, bibirnya cemberut. Dia punya bibir yang indah, lebar, penuh, tanpa lipstik tapi masih tampak mengkilap. "Sebaiknya aku bergerak," katanya. "Aku akan kembali sebentar lagi dan mencatat pesananmu."

Kami berdua mengawasinya, menatap lama. Dia sangat menyenangkan untuk dilihat. Aku bisa menebak apa yang Mira pikirkan saat menatap kakinya yang panjang, pantatnya yang bergoyang di dalam rok pendeknya. Dan menurutku Mira juga tahu apa yang kupikirkan saat menatap Karin.

Dia mencondongkan tubuh ke arahku dan berbisik, "Menurutmu dia suka threesome, Yo?" lalu tertawa.

"Jaga kelakuanmu," kataku.

"Kalau gitu mau buat kamu sendiri?"

"Ga. Ambil saja kalau kamu mau," kataku.

"Jangan pikir aku ga akan ambil," Mira tersenyum. "Apa menurutmu dia biseks? Pernah dengar gosip di sekolah?"

"Setahuku ga ada. Gini saja, Mir, saat dia datang untuk mencatat pesanan kita, kenapa kamu ga tanya langsung? Kamu bilang tadi kalau kamu punya pertanyaan, langsung tanyain, kalau kamu ga mau tanya, lupain saja."

Seringai Mira melebar. "Mungkin," katanya, lalu kembali membaca menunya.

Dia bersandar di kursinya, menyilangkan kaki, rambut tergerai di pungungnya, kulitnya yang kecokelatan terang di cahaya malam. Bagiku sulit untuk membandingkan mana yang lebih menarik antara dia atau Karin. Yang jelas, pikirku, tertawa dalam hati, ga ada gunanya membandingkan mereka.

Karin datang lagi. Mira sudah memilih untuk pesan pasta seafood. Aku pesan pasta gnocci dan tagliatelli. Aku juga pesan minuman tambahan lalu duduk dan mendengarkan dengung percakapan dari meja lainnya. Rasanya nyaman, di udara malam yang hangat, duduk di seberang sepupuku yang cantik.

Pada saat Karin membawa makanan kami, cahaya matahari sudah hilang dan digantikan sinar lampu dari kanopi di atas kami, cahayanya menarik serangga yang terbang dan berputar di sekitar lampu. Restoran itu sudah penuh sekarang, dan meskipun dia coba berada di sekitar kami untuk ngobrol, Karin terlalu sibuk melayani pelanggan yang lain.

Aku makan sambil ngobrol dengan Mira dan sesekali melirik saat Karin melayani meja-meja lain. Dia datang lagi untuk mengambil piring kami, menawarkan menu dessert yang manis dan kami menolak, tapi kami pesan kopi dan meminta bill tagihan, memandang ke jalan, mobil-mobil melaju perlahan, orang-orang berjalan di trotoar.

Saat Karin membawakan kopi kami, jari-jarinya menyentuh jariku lagi. Dia sedikit mengigit bibir bawahnya dan mengangkat bahu meminta maaf sebelum dia meletakkan tagihan di atas meja dan berbalik ke meja lain.

Setelah dia pergi, aku mengambil tagihan dan membaca angka seratus dua puluh enam ribu di total tagihan lalu menaruhnya lagi di meja.

Mira meliriknya sekilas dan bilang, "Kau mau kasih yang besar, Yo?"

Aku membelalakkan mataku ke arahnya.

"Tips," katanya. "Menurutmu dia pantas dapat tips besar? Dia sudah jadi pelayan yang sangat cekatan. Terutama jemarinya."

"Mungkin," kataku.

"Jangan pelit soal ini," Mira tersenyum.

Kopinya enak, beraroma kuat dan sangat panas dan kami menyeruputnya perlahan.

Saat Karin datang aku meletakkan dua lembar uang seratus ribu di nampan tagihan. “Aku ambil kembaliannya dulu.”

"Simpan kembaliannya," kataku.

"Hei, kamu yakin? Itu terlalu banyak untuk tips, Yohan."

Aku melihat Mira berusaha menahan tawa. Dia menyeruput kopinya untuk menyembunyikan mulutnya.

"Gapapa," kataku. "Sebagai ungkapan senang bisa ketemu kamu lagi, Karin."

"Aku juga, Yohan, sungguh. Dan ini," dia memberiku secarik kertas. "Kalau kamu ada waktu kabari ya, kita bisa ngobrol-ngobrol. Telepon aku, ya? Sebelum kamu kembali ke Jakarta?"

"Ya, boleh." Aku melirik kertas itu, melihat nomor ponsel. "Pasti."

Dia menyeringai. Ujung lidah merah muda muncul dari antara deretan giginya yang putih. "Jangan lupa lho, Oke?" Dia meletakkan tangannya di bahuku, mendiamkannya di sana beberapa saat.

Lalu dia melirik Mira, menatap matanya dan bilang. "Senang bertemu denganmu juga, Miranda."

Kami berjalan pulang melalui jalanan yang gelap gulita.

Di dalam rumah aku berkeliling memeriksa jendela dan pintu. Mira membuka sebotol anggur baru dan mengisi gelas untuk kami berdua.

Aku menjatuhkan diri ke sofa dan menyesap anggurku yang dingin.

"Hari yang menyenangkan," kataku. "Sejauh ini menyenangkan main rumah-rumahan denganmu."

"Aku juga," kata Mira, dan memutar duduknya menyamping di sofa menghadapku lalu meletakkan kakinya di atas kakiku. Rok pendeknya terangkat, kaki telanjangnya menempel di celana jeansku. Aku meletakkan tanganku tepat di atas lututnya dan mendiamkannya di sana.

"Jadi, kamu akan menelepon Karin?" dia bertanya.

"Cemburu?" Aku menggoda.

"Aku? Ngimpi. Kamu bukan tipeku, ingat."

"Tapi Karin tipemu kan."

"Dia seksi, kan?"

Aku tersenyum. "Siapa tahu dia memang biseks."

"Oo, kalau dia mau threesome. Itu pasti akan sangat menyenangkan." Kata Mira

Aku ga bermaksud seperti itu, tapi begitu Mira menyebutkan ide itu, bayangan dua orang wanita cantik bermesraan muncul di kepalaku.

"Bisa jadi," aku setuju. "Tapi sebenarnya dia cuma ngasih nomor hpnya, Mir. Dia cuma mau update kabar saja. Ngobrol."

"Jadi, kamu akan meneleponnya?" Katanya mengulang

"Mungkin," kataku.

"Telepon dia," kata Mira. "Ajak dia kesini. Telepon dia malam ini, tanya apa dia bisa datang besok. Mumpung cuma ada kita berdua yang sudah sama-sama dewasa."

"Kamu benar-benar tertarik padanya?" Aku bertanya.

"Jelas," kata Mira. "Aku belum pernah ketemu cewek se-hot itu dalam waktu yang sangat lama. Mungkin belum pernah."

Kami diam sejenak, kakinya masih diatas pahaku, menonton TV sampai Mira berkata, "Jadi, kamu akan meneleponnya?"

"Karin?"

"Siapa lagi, bego," katanya.

"Iya."

"Buruan kalau gitu."

"Aku ga akan nelepon dia didekatmu," kataku. Aku mendorong kakinya dari pahaku lalu bangkit dan memberinya ciuman selamat malam.

Aku ke kamar mandi menyikat gigi dan mencuci muka. Mira melewati aku saat aku keluar, mencium pipiku lagi lalu masuk ke kamar Ibu dan menutup pintunya.

Aku melepas pakaianku dan naik ke tempat tidur. Aku menyimpan nomor telepon Karin di teleponku, ragu-ragu selama beberapa menit, lalu akhirnya menekan tanda panggil.

Aku melihat jam di samping tempat tidur, 22.45. Teleponnya berdering beberapa kali, aku hampir menutup telepon saat dia menjawab.

"Hai Karin, apa aku mengganggu?"

Aku mendengarnya tertawa, ringan, "Yohan, ya? Ga kok, sama sekali ga. Aku baru siap-siap mau tidur."

"Aku juga," kataku.

"Apa kamu sudah di tempat tidur?" dia bertanya.

"Ya. Sudah mendekam dibawah selimut."

"Tunggu sebentar, aku juga akan ngelakuin yang sama. Aku cuma harus lepas baju dulu. Tunggu sebentar."

"Tentu."

Aku mendengar telepon diletakkan pada sesuatu yang keras, lalu mendengarkan suara Karin membuka ritsleting, gemerisik pakaian, suara langkah lembut saat dia bergerak di sekitar ruangan, beberapa suara benturan lembut. Lalu dia menjauh dari telepon. Kudengar suara samar, lalu suara-suara yang awalnya kencang lalu dengan cepat dikecilkan. Apa dia menyalakan TV?

"Masih disitu," kata Karin, membuatku sedikit kaget.

"Sudah pakai piyamamu?" Aku bertanya.

Dia tertawa, hampir terkikik. "Pakai baju tidurku yang biasa," katanya.

"Yang mana?" Aku ga percaya aku menggoda dia seperti ini, melalui telepon.

"Tebak," katanya malu-malu. Sudah jelas dia mengikuti permainanku.

Aku membayangkannya di kamarnya, walaupun aku ga bisa membayangkan bentuk kamarnya. Karin tinggi dan ramping dengan payudara besar dan perut rata. Aku membayangkan rambut kemaluannya, diwarna seperti rambutnya, atau dicukur seperti Mira? Penisku mulai mengeras.

"Aku mau naik ke tempat tidur, Yohan, tunggu sebentar," ada gemerisik seprai dan suara tubuhnya mendarat di atas kasur. "Oke, sudah."

"Kamu lagi nonton TV, Karin?" Aku bertanya. Aku masih bisa mendengar suara dengan sangat samar di latar belakang.

"Ya. Ini bikin gampang tidur."

Aku tertawa. "Oh, by the way, aku senang bisa ketemu kamu malam ini, dan apa besok kamu mau datang kerumahku? Kita bisa santai, ngobrol banyak."

"Bisa, tapi agak malam, aku besok shift pagi selesai jam 3 sore. Sekitar jam 7 aku sampai ke rumahmu" katanya. "Sepupumu ga keberatan?"

"Mira? Ga, dia pasti senang kamu datang."

Kami mengobrol selama beberapa menit lagi, lalu aku mengucapkan selamat malam dan mematikan lampu.

Saat sarapan yang kesiangan, Mira dan aku memutuskan hari itu begitu sempurna sehingga kami ga ingin menghabiskannya di dalam rumah.

"Kita bisa sepedaan," kataku.

"Kamu bisa. Aku ga punya sepeda," kata Mira.

"Kamu bisa pakai punya Ibu."

Kami pergi bersepeda melewati jalan-jalan sepi di sekitar kota, sedikit memutar dan melewati rumah Mba Silvi. Tapi rumah itu kelihatan tertutup dan ingat mungkin dia sedang kerja.

Kami mampir di alun-alun dan mencari makan siang, lalu keliling lagi dan pulang sore hari. Mira masuk untuk mandi singkat dan aku membersihkan dan merapikan sepeda.

Mira menyibukkan diri di dapur menyiapkan snack saat aku mandi. Lalu setelah mandi seperti biasa aku menuangkan anggur di dua gelas kecil dan memberikan satu pada Mira.

Dia tersenyum dan memberiku ciuman singkat. "Rasanya aku gugup," katanya, tertawa.

Dia memakai dress yang berkancing dibagian depan, berpotongan rendah menunjukkan belahan dadanya yang indah. Panjangnya mencapai setengah pahanya, berbahan lembut dan ringan. Dia berputar dan gaunnya terangkat, menunjukkan celana dalam sutra putih padaku.

Karin datang lima belas menit sebelum jam tujuh malam dan aku masih bercukur di kamar mandi. Mira berteriak memberitahuku dari depan rumah, dan saat aku keluar, memakai baju dan celana bersih, mereka berdua duduk bersama di sofa, ngobrol. Aku terpesona pada mereka berdua, terlebih pada penampilan Karin.

Dia memakai atasan tanktop mini, dan dari cara payudaranya bergerak bebas sepertinya dia ga pakai bra. Di bawah dia memakai celana pendek super ketat abu-abu, memamerkan kakinya yang panjang, ramping, dan terpahat sempurna, menangkup gundukan menonjol di selangkangannya. Dia sepertinya datang bawa mobil sendiri, menjelaskan sedikit pilihan busananya yang berani.

Aku berdehem lembut dan keluar ke ruang tamu.

Mira menuangkan anggur untuk mereka sendiri, menunjuk ke dapur dan berkata, "Ambil sendirii."

Aku mendengarkan obrolan mereka saat aku membawa botol anggur baru dan menuangkan ke gelas. Mira menceritakan pada Karin tentang Jakarta, tentang gimana ia lulus dan sedang mengambil kuliah S2.

"Apa kamu menyesal tetap tinggal di sini?" Tanyaku saat aku duduk di seberang mereka. Aku bisa bergabung dengan mereka di sofa, masih cukup, tapi aku ingin bisa melihat mereka berdua dari seberang.

"Kadang," jawab Karin. "Tapi ga terlalu. Beberapa tahun lagi, Ayah akan lebih melunak. Sepuluh tahun dari sekarang dia akan pensiun dan aku yang akan meneruskan bisnis restorannya."

"Kamu punya ambisi pribadi?" Aku bertanya.

"Tentu," dia mengangguk, lalu menyesap anggurnya sedikit. Mira hampir menghabiskan gelasnya. Milik setengah kosong. Karin tampaknya hampir ga menyentuh isi gelasnya.

"Seperti?" Aku mendorong.

"Yah ... Ayahku hebat, dia membangun bisnis yang bagus dari nol. Tapi zaman berubah. Orang-orang mau makanan yang lebih bervariasi sekarang. Lihat saja di sini, kita punya makanan Thailand, India, Amerika, Prancis, Italia. Makanan sudah jadi barang internasional sekarang. Kita sudah jauh ketinggalan."

"Oh ya?"

"Pasti. Tahun lalu kami pergi ke Inggris. Pas jalan-jalan di London, kamu bisa dapat makanan dari mana saja di dunia. Afrika, Jamaika, makanan India di setiap jalan, dan Cina, Thailand, Vietnam ... apa pun yang kamu mau. Dan mereka semua laris, di sini kamu bisa dapat variasi itu di kota-kota besar, aku yakin kamu nemu di Jakarta, tapi di suatu tempat seperti Purworejo, kami lebih tertinggal. Aku ingin mengisi ketertinggalan itu."

"Apa kamu sudah bicara soal ini dengan ayahmu?"

Dia mengangkat bahu, dan payudaranya bergerak. Payudara besar, bebas di dalam atasannya, menggoda. "Sudah coba," katanya. "Dan kupikir dia coba dengar ideku. Tapi itu sulit buatnya. Dia sudah berhasil, ga ingin keluar dari zona nyaman yang sudah dibangunnya. "

Aku tersenyum. Dia gadis yang sangat bersemangat. Ini hal yang dia suka.

"Gimana denganmu, Yohan?" dia bertanya,

"Aku? Aku melukis dan menggambar. Itu yang aku lakukan."

"Apa dia jago?" Karin memandang Mira.

"Jago," kata Mira. "Gambarnya bagus banget."

"Aku ga terlalu tertarik ," kata Karin. "Film, ya, foto-foto, ya, tapi lukisan, aku ga pernah bisa memahaminya."

"Boleh aku menggambarmu?" Aku bertanya. "Biarin aku nyoba mengubah pendapatmu."

"Boleh kalau kamu mau."

"Sekarang bisa?"

Dia mengerutkan kening. "Disini?"

“Iya. Tunggu sebentar." Aku bangkit dan berlari ke kamar, mengambil sketch pad dan membawanya keluar beserta beberapa pensil dan segenggam arang.

"Apa aku harus pose atau gimana?" Karin bertanya, tanpa sadar mendorong dadanya kedepan.

"Santai saja, sambil ngobrol. Aku akan duduk di sini dan mengambar, nanti lihat gimana hasilnya."

"Yah ..." dia berusaha untuk santai lagi di sofa, tapi bahunya masih tegang. Rambutnya terurai. Gaya rambutnya sudah beda dibanding jaman sekolah, sekarang dipotong pendek, dicat pirang terang.

"Jadi, gimana denganmu, Karin?" Aku bertanya. "Katamu sudah ga sama Mike lagi. Pasti sudah ada yang baru dong."

Dia mengangkat bahu. "Ga ada yang spesial. Sejujurnya aku lagi menghindari komitmen semacam itu. Aku bosan dengan hal yang sama, ngerti maksudku?"

"Sama gimana?"

"Ya gitulah, tetap bertahan di Purworejo, berarti kenalan jadi terbatas. Ini bukan kota besar, kan, dan sebagian besar orang cenderung bertahan. Tapi semua yang cerdas dan ingin maju pergi menjauh, seperti kamu. Dan orang-orang pintar yang masih tersisa, ya ... kamu ingat Doni Hutomo? Dia lebih tertarik sama komputer dibanding manusia."

Aku tertawa, mengangguk. "Apa dia masih gemuk?"

"Makin gemuk," katanya, membalas tawaku.

"Kenapa ga coba cari cewek." kataku, "Mira juga gitu."

Karin menatapku, mulutnya terbuka ... karena ... kaget? Heran? Atau yang lain

"Itu alternatif," kataku. "Dan dari cerita Mira, itu juga menyenangkan."

Karin melirik Mira. Aku mengawasinya, menunggu untuk melihat apakah dia akan menjauh, tapi dia tetap di tempatnya.

"Kamu pasti pernah bayangin itu," kataku.

"Kamu pernah?"

"Bayangin cewek? Setiap saat."

"Cowok," katanya. "Kamu pernah bayangin cowok lain seperti itu?"

Aku menggelengkan kepala. "Ga juga."

"Ga pernah?"

"Seingatku ga pernah."

"Kenapa ga?"

"Aku suka perempuan," kataku. "Sesederhana itu. Kalau kamu?"

"Bayangin cowok?"

"Cewek," kataku.

"Itu rahasia pribadi," kata Karin. Dia mencondongkan tubuh ke depan dan mengambil gelas anggurnya, tapi cuma meminum sedikit sebelum meletakkannya lagi di meja.

"Aku cuma penasaran. Dan kupikir... ga tahu, mungkin kita bisa ngobrol hal seperti ini sekarang?"

"Kenapa sekarang?" Kata Karin. Suaranya tenang, dan aku ga tahu apa aku bertanya terlalu jauh.

"Yah ... kita sudah bukan anak SMU lagi sekarang, kan. Kita dewasa muda. Kita mungkin lebih sering mikir tentang hal seperti ini. Dulu itu semua karena hormon masa puber. Tapi sekarang kita perlu cari tahu apa yang kita mau dari hidup kita. Cari tahu dan kejar sampai dapat."

"Sepertinya," kata Karin.

Sketsanya sudah mulai terbentuk dengan baik. Aku membentuk kepalanya, bahu, tubuhnya sampai pinggang. Wajahnya setengah jadi, tubuhnya cuma sekilas. Aku terus menggambar dan Karin menoleh ke Mira.

"Kapan kamu tahu kamu... lesbian?"

"Dari sekitar umur dua belas. Tapi aku ga ngelakuin apa-apa sampai aku umur sembilan belas tahun."

"Apa kamu ..." Karin memulai, lalu menggelengkan kepalanya.

"Ga apa-apa. Tanya saja," kata Mira, dan meletakkan tangannya sebentar di kaki Karin lalu menariknya. "Kamu bisa tanya apa saja." Dia tertawa. "Yohan juga sering nanya."

"Oh ya? Dan kamu jawab?"

"Iya."

Karin menatapku. "Gimana menurutmu tentang Miranda, Yo?"

"Aku menyayanginya," kataku, dan melihat Miranda tersenyum. "Dia sepupuku. Kami benar-benar dekat."

"Tapi ... bukannya itu bikin cowok... mendengar cerita tentang dua cewek...?"

"Pasti," kataku, menegaskan bentuk leher dan belahan dadanya. Tank top kecil itu memperlihatkan sebagian besar payudaranya. Aku bisa melihat putingnya mendorong kainnya.

"Dan kamu ga keberatan dengan itu?" Karin bertanya, kembali ke Mira.

"Sebenarnya, cerita ke Yohan bikin aku terangsang juga. Aku mungkin ga suka cowok, tapi Yohan seperti saudara buatku."

"Aku punya kakak laki-laki," kata Karin, "Tapi aku pasti ga akan ceritain padanya soal ini."

"Bukan saudara kalau gitu," kata Mira. "Mungkin lebih dekat dari itu. Kita sahabat, ya?" Mira menatapku dan aku mengangguk.

"Sahabat terbaik di dunia."

"Wow ...," kata Karin. "Mungkin itu agak berlebihan."

Mira tertawa dan menyentuh lagi kaki Karin dengan tangannya. "Jangan kuatir," katanya. "Aku baru kenal kamu sehari, tapi aku sudah menyukaimu. Kamu bukan tipe gadis kaya yang manja, kan. Aku sangat menyukaimu." Mira membungkuk dan mencium pipi Karin. Pipi Karin memerah dan dia menunduk ke bawah. Aku merasa aku melihat putingnya semakin menegang, menekan atasan katunnya yang ketat.

Karin mengambil anggurnya dan menyesapnya lebih lama. Dia sudah meminum mungkin seperempat gelas, ga lebih.

"Di sini panas, atau cuma aku?" dia bertanya.

"Memang agak panas," kataku. "Maaf kami ga punya AC."

"Gapapa," katanya, dan tampak sedikit rileks, bersandar ke bantal di belakangnya.

Aku memakai arang untuk menambahkan arsiran bayangan, mengolesinya dengan jariku.

"Selesai," kataku. "Apa kamu mau lihat?"

"Boleh." Karin duduk, berdiri dan berjalan empat langkah ke kursiku. Dia duduk di lengan kursi dan membungkuk, melihat gambar itu. Paha telanjangnya menempel di lenganku, dadanya yang padat menempel di bahuku. Aku bisa mencium bau sabun dan secara samar aroma yang lain, aroma kewanitaan Karin. Dengan sangat ringan, aku menyentuh paha luarnya yang menempel di lenganku dengan ujung jariku.

"Cuma sketsa cepat," kataku.

"Ini ... apa aku memang terlihat seperti ini, Yohan?" Dia mencondongkan tubuh lebih dekat, dan aku merasakan ujung putingnya yang keras menekan lengan atasku. Aku terus membelai kakinya, menjangkau lebih jauh dengan jariku.

Mira berdiri dan datang ke sisiku yang lain.

"Dia menangkapmu dengan sempurna," katanya.

"Tapi aku terlihat ... aku terlihat cantik."

"Kamu memang cantik, Karin. Kamu tahu itu."

"Oh ya, aku tahu aku cantik. Aku bisa tahu dari reaksi orang lain saat melihatku. Tapi ini bikin aku terlihat lebih dari sekedar cantik."

"Kamu memang lebih dari sekedar cantik," kataku.

"Gombal," kata Karin. Lalu, "Boleh kusimpan?"

"Itu punyamu," kataku, dan merobek kertas dari sketch pad. "Kalau kamu mau, aku bisa pasangin."

"Pasangin?" Karin terdengar bingung.

"Ya. Pasang itu dalam bingkai. Kamu bisa gantung di kamarmu."

"Jangan repot-repot deh."

“Ga kok."

"Oke, terserah kamu kalau gitu," dia mengangguk, lalu membungkuk dan mencium pipiku. Aku bereaksi dengan sedikit menoleh kearahnya, dia ga menarik diri, wajahnya masih sangat dekat dengan kepalaku, dan aku menunggu, lalu dia bergerak mendekat dan aku mencium bibirnya. Rasanya seperti yang kubayangkan. Kami berciuman beberapa saat sebelum dia menarik diri.

"Woah," katanya, duduk, wajahnya memerah, dan dia memandang melewatiku ke arah Mira yang duduk di lengan kursiku yang lain dan ada sesuatu di matanya yang ga bisa kutafsirkan.

"Terlalu cepat?" Aku bertanya. "Aku ingin ngelakuin itu sejak lama."

"Ga, gapapa Yohan. Aku juga. Denganmu," tapi dia juga melirik Mira dan aku bertanya-tanya apa yang ada di benaknya.

Aku memandangnya, terpana pada betapa cantiknya dia, terpana memandang salah satu gadis yang menjadi imajinasiku saat SMU, lalu berkata, "Aku ingin menciummu lagi. Apa boleh?"

Dia menggigit bibir bawahnya dan membuat anggukan yang hampir tak terlihat. "Aku juga ingin itu."

"Kamu mau...jadi sedikit lebih nyaman? Mir, boleh kami pakai sofanya?"

Mira bangkit dan memberi isyarat. "Silahkan. Aku akan nyamar jadi obat nyamuk."

Karin tertawa pelan. "Kamu ga pantas jadi obat nyamuk, Miranda."

Mira balas tertawa. "Baiklah kalau gitu. Aku mau ambil kamera video Yohan dan merekam kalian berdua bermesraan." Dia mengatakannya dengan santai, tapi aku merasakan sedikit ketegangan dalam suaranya.

"Oke," kata Karin, tiba-tiba rasa malunya menguap. "Ga masalah untukku."

"Oh ya?" Aku bilang.

Karin pindah ke sofa dan aku duduk di sebelahnya. Aku sedikit bingung bagaimana memulainya, tapi dia bergeser mendekatiku dan meletakkan tangannya di belakang leherku dan menarikku ke mulutnya.

Kami berciuman cukup lama, saling mengeksplorasi, lalu secara bertahap Karin mulai bersandar kebelakang membuatku harus membungkuk dan segera dia sudah berbaring di sofa dan aku setengah menindihnya.

Kami berhenti berciuman sebentar dan menyesuaikan posisi agar lebih nyaman. Karin mengangkat satu kaki dan meletakkannya di sandaran sofa. Aku berbaring di antara kedua kakinya, menopang berat badanku dengan satu lengan, lalu menyentuh pahanya dengan tangan yang lain.

"Mmm," kata Karin.

Aku sadar Mira sudah mengambil kameraku dan sedang merekam kami.

"Bilang saja kalau kamu mau obat nyamuk itu berhenti merekam," kataku.

Karin memandang Mira. "No problem," katanya.

Aku tertawa. "Ini bikin kamu terangsang, kan." kataku.

Dia menggigit bibirnya lagi dengan caranya yang seksi. "Apa yang bikin kamu berpikir gitu?"

Aku mengangkat tangan, menyentuh perutnya, lalu menyentuh payudaranya.

"Putingmu makin keras," kataku.

"Mm-hm," kata Karin. "Rasanya enak, saat kamu menyentuh mereka seperti itu."

"Boleh aku lepas?"

Dia mengangguk dan mengangkat lengannya. Aku menggeser tanktop kecil itu ke atas melewati kepalanya. Karin berbaring, payudaranya yang besar sekarang terbuka. Bahkan dengan berbaring mereka tetap padat, hampir ga kendur sama sekali. Putingnya panjang, merah muda gelap, areolanya cokelat jauh lebih gelap.

Aku menyentuhnya lagi dan dia melengkungkan punggungnya, menghela nafas. "Rasanya menyenangkan saat kamu melakukan itu," katanya.

Aku menundukkan kepalaku dan menghisap puting susu ke mulutku, menghisapnya keluar-masuk, memilinnya dengan bibirku, menyentilnya dengan lidahku dan lalu menggigitnya lembut dengan gigiku.

"Ooh, kamu pernah ngelakuin ini sebelumnya, Yohan."

"Beberapa kali," aku mengaku.

Mira masih di kursi, dengan kamera menutupi matanya, dan aku melihatnya mengatur zoom. Aku kembali fokus ke payudara Karin.

Tangannya menyelinap di bawah kausku, membelai punggungku, mencari-cari di perutku, bergerak ke atas dan menemukan putingku. Lalu dia menarik bajuku ingin aku melepasnya. Aku duduk dan melepas kausku lalu melemparkannya ke samping. Karin meletakkan tangannya di perutku dan menatapku.

"Apa kamu akan meniduriku, Yohan?"

Aku mengangguk. "Aku berencana begitu."

"Aku juga," katanya.

Aku melirik Mira, dan dia tahu apa yang kumaksud.

"I’m good," kata Mira.

"Beneran?"

Dia mengangguk.

Aku kembali mencium bibir Karin.

"Aku mau menjilat vaginamu dan membuatmu orgasme, Karin," kataku.

"Rencana yang bagus," katanya.

Aku menyelipkan jariku ke pinggang celana pendek mungilnya dan menariknya turun. Saat mereka meluncur turun vaginanya mulai terlihat dan aku menyadari dia ga pakai celana dalam. Aku memandangnya sambil mengangkat alisku dengan ekspresi bertanya.

"Kupikir aku ga butuh itu, Yohan," katanya.

Aku menyeringai. "Setelah itu, setelah aku menjilat vaginamu, aku akan menyetubuhimu dan bikin kamu orgasme lagi."

"Rencanamu jadi makin bagus," katanya.

"Dan lalu," kataku, menarik daun telinganya dengan bibirku, berbisik padanya, "Mungkin kita lihat apa Mira juga ingin membuatmu orgasme juga."

Aku merasa Karin menggigil dibawahku. "Apa yang membuatmu mengira aku akan biarin dia ngelakuin itu?"

Aku mencium lehernya. "Kalau kamu ga ingin Mira ngelakuin itu, kamu harus bilang dari sekarang, Karin."

"Sekarang?"

"Sekarang," kataku. "Kalau kamu ga bilang ga, aku akan biarin Mira ngelakuin itu."

Aku mendorong jariku kedalam vaginanya. Dia sudah basah kuyup dan terasa panas. Kepalanya menoleh ke arah Mira, nafasnya terengah-engah saat jariku keluar masuk di vaginanya.

"Berapa lama aku punya kesempatan, untuk bilang ga?" dia bertanya, terbata-bata di antara nafasnya.

"Sampai aku mengganti jariku dengan lidah," kataku.

"Ooh..."

Aku mencium telinganya, menghadapkan wajahnya padaku dan mencium mulutnya, lalu bergerak turun ke payudaranya, terus menuruni perutnya. Aku sampai di pusarnya dan berhenti.

"Masih mempertimbangkan?" Aku bertanya.

"Tentang apa?" dia berkata. Tangannya mendorong pundakku.

Aku tersenyum. "Mira akan dengan senang hati membuatmu orgasme. Apa kamu ngelakuin hal yang sama ke Mira?"

"Aku belum pernah ngelakuin hal seperti itu," kata Karin.

"Jangan khawatir. Ini gampang," kataku, dan melanjutkan kebawah, mempraktekkan caranya.

Karin mengerang dalam-dalam dan mengangkat kakinya yang panjang ke atas pundakku. Jari-jarinya meremas rambutku, mendorong wajahku ke vaginanya, aku bisa merasakan dia hampir orgasme.

Aku menangkap gerakan kecil dan melihat Mira mendekat. Dia berlutut di sebelah sofa dan tangannya meraih payudara Karin lalu membelainya. Karena Karin ga keberatan, dia mencondongkan tubuh ke depan dan mulai memakai mulutnya juga.

Karin mengerang. Pinggulnya mendorong ke mulutku. Lidahku dilicinkan karena cairan vaginanya, dan jariku mengelitik klitoris kecilnya yang menonjol.

Karin melawan dan menjerit, aku merasakan perutnya bergetar di lenganku, merasakan tubuhnya menyentak ke atas dan dia menjerit lagi saat orgasmenya datang, pahanya menjepit kepalaku dengan erat.

Saat dia mulai rileks, aku duduk dan menonton saat Mira menciumnya. Mira memegang kedua sisi wajah Karin dan menempelkan bibirnya ke bibir gadis yang lebih muda. Meskipun Karin menutup matanya, dia tahu siapa yang menciumnya. Dia tampak ragu-ragu, tapi cuma sesaat, seolah ingin memastikan bahwa itu menyenangkan, dan lalu aku melihatnya merespons, membalas ciuman Mira.

Aku berdiri dan melepas celana dan celana dalamku lalu berbaring miring di samping Karin. Aku mengarahkan penisku ke vaginanya, menarik kaki kanannya terbuka dan mendorong penisku masuk.

"Mmph," Karin melenguh, tertahan bibir Mira yang masih menempel di bibirnya, saat penisku memasukinya.

Aku mulai bergerak perlahan, di saat yang sama tanpa sadar aku meraih paha Mira, menyingkap dressnya dan menemukan celana dalamnya.

Jari-jariku meraba pinggiran celana dalamnya, bergerak ketengah, menemukan bagian yang terasa lembab, dan aku menekannya, merasakan responsnya, pinggulnya bergerak sehingga vaginanya yang terbungkus sutra menggesek jemariku.

Tanganku berpindah ke pinggang Karin dan menariknya, mendorong penisku lebih dalam. Mira melepas ciumannya lalu duduk dan berbalik untuk melihat penisku terbenam dalam vagina Karin yang sempit.

Lalu dia menatapku.

"Kamu akan tetap berpakaian lengkap, atau telanjang seperti kami?" Tanyaku padanya

"Rasanya aku akan ikut kalian," katanya.

"Aku ingin menjilat vaginamu, Mira." Kata Karin, sepertinya dia orang yang cepat belajar.

Mira berdiri dan melepas dressnya, lalu melemparkannya ke kursi. Dia membuka bra-nya dan melemparkannya juga, melepas celana dalamnya lalu berdiri, telanjang bulat.

Karin mengulurkan tangannya ke Mira, tapi ga sampai.

Miranda mendekat hingga lututnya menempel di sofa, dan Karin menyelipkan tangan ke antara kaki Mira dan menyelipkan jarinya ke dalam vagina Mira.

Aku mendengar Mira mendesah, dan melihat kepalanya tersentak ke belakang.

Karin menggerakkan jarinya dengan cepat di dalam tubuh Mira, lalu menariknya keluar dan menjilati cairan yang menempel dijarinya.

"Kamu beneran belum pernah ngelakuin ini sebelumnya?" Kata Mira, dan Karin terkikik.

"Aku ingin menjilat vaginamu," kata Karin.

Mira menyeringai lalu naik ke sofa, berlutut di atas payudara Karin, lalu bergerak ke atas sampai vaginanya tepat diatas leher Karin.

Aku ingin menonton apa yang terjadi, tapi terhalang tubuh Mira. Jadi kutarik kemaluanku keluar dan bergeser ke samping sehingga aku bisa menonton saat Karin mengangkat kepalanya dan mendorong lidahnya ke vagina Mira.

Kemudian Karin menoleh dan bilang, "Jangan berhenti, Yohan."

"Aku mau lihat," kataku.

Mira mengangkat dirinya dan berbalik, sehingga dia menghadap ke arahku lalu dia merendahkan vaginanya ke mulut Karin.

Mira menatap mataku. "Sekarang kamu bisa nonton sambil menyetubuhinya," katanya.

Aku ga bisa menahan diri. Aku mencium Mira, dia membalas, tanganku bergerak ke payudaranya dan menangkupnya. Dia membiarkanku menciumnya sebentar sebelum mendorongku menjauh.

"Cukup, Yohan. Kita ga ngelakuin itu. Setubuhi dia. Aku juga mau nonton."

Aku bergeser lagi ke antara kaki Karin, memandang Mira dan melihat dia menonton saat penisku menghilang perlahan di antara bibir vagina Karin.

Aku berpegangan pada payudara Karin, memompa kemaluanku padanya, menyaksikan saat lidah Karin bergerak liar di vagina Mira.

Mira terengah-engah, satu tangannya mencengkeram sandaran sofa, yang satunya bergantung canggung di samping.

Aku meraih tangannya dan meletakkannya di bahuku. Dia menatapku, lalu memindahkan tangan satunya ke pundakku juga. Aku melakukan hal yang sama, jadi kami berpegangan satu sama lain, saling menopang. Aku melihat ke bawah dan Karin hampir terkubur diantara kaki Mira, semoga dia bisa bernafas.

"Yohan," Mira mendesah, kepalanya mengeleng.

Aku memandangnya, menunggu.

"Oh, sial, Yohan, tolong cium aku lagi."

Aku mencondongkan tubuh ke depan dan dia memiringkan kepalanya, dan kurasa untuk pertama kalinya kami sungguh-sungguh berciuman, sepenuh hati. Mulut Mira terbuka, lidahku menjelajah kedalam.

Karin hilang kendali, mulai mendengus dan bergetar lagi. Aku bisa merasakan tubuh Mira juga gemetar, tahu dia juga sudah dekat.

Mira menciumku lagi dan dia mulai menggigil. Dia menggigit bibirku, sakit, tapi aku membiarkannya.

Aku mencengkeram payudaranya yang berayun indah, menarik-narik putingnya, lalu dia melepas ciumannya untuk menatap mataku, menatap jauh ke dalam saat klimaks menguasai sekujur tubuhnya.

Teriakan tertahan Karin yang memaksaku untuk mengalihkan pandangan dari sepupuku. Dia mengelinjang di bawahku, mengerakkan pinggulnya lebih cepat menggesek penisku saat dia mencapai puncak disaat yang hampir sama.

Dia masih gemetar saat dia mengangkat pinggul Mira dari mulutnya, mendorong perutku dan penisku menyelinap keluar darinya.

"Mira, bantu aku bikin dia orgasme," Katanya terengah-engah.

Karin bergerak di bawahku, berguling ke lantai dan menarikku sehingga aku duduk di sofa. Dia mengenggam penisku dan menggosoknya cepat, menunduk dan membungkus penisku dengan mulutnya, menggosok dan menghisapku di saat yang sama.

Dia tegak lagi, menatap Mira, tangannya memeluk pinggang Mira dan menariknya turun ke lantai. "Kamu juga mau penis Yohan, Mir?"

Mira menggelengkan kepalanya, tapi matanya menatapku, menunggu ajakanku, tapi aku hanya menatapnya balik.

Karin mengangguk, mengembalikan penisku ke mulutnya.

Mira bersandar padanya, mencium bahu dan lehernya, lalu tangannya terulur dan aku merasakannya membungkus pangkal penisku lalu menggosokku. Dia memiringkan kepalanya agar bisa menonton, bisa melihat saat tangganya menggosok, melihat saat penisku tersedot di antara bibir Karin.

Aku mendorong pinggulku ke atas, menuntut pelepasan.

Karin merasakan itu dan mengangkat kepalanya. Dia bergeser ke satu sisi, memberi ruang untuk Mira bisa mendekat. Mereka duduk berhimpitan, tangan mereka di penisku, keduanya menggosokku keras.

Karin menjilatku, lalu duduk lagi. Wajahnya berkerut menatap penisku, mengawasiku saat aku mengangkat pinggulku lagi dan mendengus, "Oh, sial!" saat aku menembak, satu semburan dari orgasme terbaik yang pernah kurasakan dan spermaku memercik ke payudara Karin lalu Karin mengarahkan semburan kedua ke Mira, mendarat di mulutnya, lalu Karin menurunkan mulutnya dan menampung sisanya di dalam dan menelannya semuanya.

Aku masih gemetaran karena nafsu saat Karin mengeluarkan penisku dari mulutnya dan menoleh lalu mencium Mira. Aku melihat sisa spermaku mengantung dari bibir Karin, melihatnya ditransfer ke Mira, dan kemaluanku terasa sakit, menuntut orgasme lagi, masih keras.

Karin menggigit bibir bawah Mira dan menoleh padaku. "Kamu mau menyetubuhi Mira sekarang, Yo?"

Aku menggeleng, melirik Mira. "Kami ga ngelakuin itu," kataku.

"Bahkan sekarang?" Kata Karin.

Aku menggeleng lagi, menunggu dukungan Mira, untuk membuatnya lebih mudah.

"Kenapa ga?"

"Ya memang ga," kataku.

"Sial," kata Karin. Lalu, "Ya sudah seolah-olah saja."

"Maksudmu?"

Karin berbaring telentang di karpet, kakinya terbuka. Dia meraih Mira dan menariknya ke atas tubuhnya. Karin tahu persis apa yang diinginkannya, membimbing Mira sehingga dia mengangkang pinggulnya, payudara mereka saling menempel.

"Gini saja, Yo. Kamu masukin ke vaginaku, tapi seolah-olah kamu masukin ke Mira dari belakang."

Aku memandang Mira, yang melihat ke belakang ke arahku, berharap sesuatu, tapi tetap membisu.

Aku mengangguk, berbaring di antara kaki mereka yang terjalin, dan mendorong penisku yang masih keras langsung ke vagina Karin. Perutku menempel ke pantat Mira.

"Ya, Yohan, seperti itu," kata Karin.

Aku mencondongkan tubuh ke depan di bahu Mira dan mencium Karin, mundur sedikit, mencium punggung dan leher Mira.

Aku mulai bergoyang, dan setiap kali aku mendorong perutku membentur pantat Mira. Mira mengangkat pinggulnya lebih tinggi, seolah-olah mengundangku dan godaan itu begitu besar untuk menarik keluar dari Karin dan memasukkannya ke vagina sepupuku.

Karin mengulurkan tangan dan jari-jarinya mulai bekerja di vagina Mira, menggosok klitorisnya, dan sekarang saat perutku bergerak kedepan, kadang membentur vagina Mira dan kadang di tangan Karin.

"Fuck," Karin mendengus, dan aku memandangnya, tapi teralihkan oleh Mira. Pinggulku terus terayun di vagina Karin, tapi aku memandangi Mira, dan rasanya, hampir, seperti aku menyetubuhinya, dan aku merasa bersalah, seperti aku sudah mengkhianatinya, tapi disaat yang sama rasanya luar biasa dan aku ga bisa berhenti, ga mau berhenti, ga ingin menahan diri, dan aku bisa melihat mereka lepas kendali juga. Aku memegang pinggang Mira, mendorong keras ke Karin, menarik Mira kebelakang dan itu terjadi begitu cepat sehingga aku ga siap. Aku mengerang, ejakulasi lagi, di dalam Karin, di dalam Mira, aku ga tahu siapa, ga peduli, lepas kendali.



----------0----------​



Karin menginap, kami bertiga tidur di kamar Ibu, dan di pagi hari aku terbangun, hanya berdua dengan Karin. Lalu aku keluar, dan menemukan Mira duduk di meja dapur menangis.

Aku menarik kursi dan duduk di sampingnya, meletakkan tanganku di bahunya dan dia menepisnya.

"Mir," kataku. "Ada apa?"

Dia menatapku. "Kau tahu ada apa, Yohan. Aku sangat ingin kamu menyetubuhiku semalam. Kau seharusnya ngelakuin itu."

Aku menatapnya. "Tapi aku ga ngelakuin itu," kataku.

"Kenapa ga?"

"Kamu tahu alasannya."

Dia menggelengkan kepalanya dengan liar, rambutnya yang panjang terurai. "Ga. Aku ga tahu. Dulu aku tahu kenapa, tapi ga lagi. Aku mau balik ke Jakarta, Yo. Aku ga bisa tinggal di sini."

"Ga," kataku. "Kamu ga bisa pergi."

"Aku ga bisa tinggal di sini," katanya. "Kalau aku di sini, kita berdua tahu apa yang akan terjadi, aku terlalu mencintaimu dan kalau aku di sini kita akan merusak idealisme, kita akan merusak semuanya."

Aku merangkulnya, menarik kepalanya ke bahuku, dia menolak tapi aku tetap menahannya dibahuku dan akhirnya dia menurut tapi mulai menangis lebih keras.

"Aku sangat mencintaimu, Yohan," katanya, memeluk bahuku.

"Aku mencintaimu juga, Mira. Lebih dari yang bisa kukatakan."

"Ini kacau," katanya. "Aku seharusnya ga boleh menginginkanmu. Aku butuh waktu. Perlu waktu untuk berpikir."

"Aku ga bisa ..." Aku sadar aku mulai menangis juga. "Aku ga bisa kehilanganmu, Mir," kataku.

"Aku juga ga ingin kehilanganmu," dia terkesiap. Dia mengangkat kepalanya dan menciumku, bibir kami basah oleh air mata kami.

"Ga," kataku. "Aku serius. Aku ga bisa kehilanganmu, Mir. Aku ga bisa bayangin tanpa kamu. Bahkan kalau itu berarti frustrasi seumur hidup. Bahkan kalau itu berarti ga pernah menyentuhmu lagi, ga pernah melihat tubuh telanjangmu yang indah, aku rela. Tapi aku ga bisa kehilanganmu, Mir, aku ga bisa."

Dia menciumku lagi, wajahnya sedih. "Kamu ga akan kehilangan aku, Yohan."

Dia duduk lagi, mendorongku menjauh dan menyeka wajahnya dengan lengan jubahnya.

"Aku mau pesan tiket. Kamu tinggal di sini, tinggal sama Karin. Dia gadis liar, kan?"

Aku mencoba tersenyum. "Dalam beberapa hal," aku setuju.

Mira mengangguk. "Tetap di sini, tunggu ibumu dan Sarah datang, pulanglah minggu depan dan kita akan mulai lagi dari awal. Kita buat aturan baru."

Aku mengangguk. "Apa pun yang kamu mau, Mir. Apapun."

Mira menggelengkan kepalanya. "Bukan apapun yang aku mau. Karena, sekarang, aku mau kamu. Tapi aku akan buat aturan baru, dan minggu depan kita mulai lagi dari awal, laki-laki dan perempuan yang baik, ga ada lagi saling goda, ga ada lagi main-main, ini akan jadi titik balik dari semuanya."

"Wow," kataku. "Seserius itu."

"Memang," katanya.



Bersambung...
Terima Kasih Update nya, aku suka part ini
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd