Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT Sketsa

CHAPTER.23
MENGEJAR JEJAK


MINGGU 24 JUNI

Penerbangan singkat antara Jogja dan Jakarta di sore hari membawaku kembali. Aku menumpang KRL lalu disambung dengan taksi ke apartment kami. Aku sedikit gugup, tapi aku ga sabar ingin ketemu Mira lagi. Sudah lima hari yang terasa begitu panjang sejak dia kembali ke Jakarta mendahuluiku. Lima hari yang membuatku menyadari rasa rinduku padanya, rindu seorang pria pada wanita yang dicintainya. Lima hari yang membuatku berpikir keras tentang apa yang sudah kulakukan dan membuatnya marah, apa yang seharusnya kulakukan dengan cara berbeda dan kenapa aku ga lebih peka pada perasaannya.

Kalau masih memungkinkan, aku sangat ingin memperbaiki hubungan kami. Aku rela menuruti aturan apa pun yang ingin dia pakai asalkan dia tetap ada di dekatku. Aku ga bisa membayangkan hidup tanpanya. Ga bisa membayangkan ga tinggal bersamanya. Kepalaku dibanjiri pikiran tentang segala kemungkinan dan resiko.

Begitu aku membuka pintu apartemen aku tahu Mira sudah pergi. Bukan hanya karena ketidakhadiran di ruang tamu ini, tapi juga ketidakhadirannya di apartement ini secara keseluruhan.

Aku menjatuhkan tasku dan berjalan ke kamarnya. Segera setelah aku membuka pintu, aroma yang sudah kukenal menghantamku, aroma khasnya sehari-hari, semua bagian yang membentuknnya, parfum yang dia pakai dengan ringan dioleskan di lehernya, sabun dan sampo yang dia pakai, bau pakaiannya dan, yang paling penting, hal itu yang bikin aku ereksi tiap kali aku mengendusnya, aroma alamiah Mira, yang melandasi segalanya, keringatnya, aroma samar kewanitaannya, keberadaannya.

Aku membuka lemari pakaiannya dan aromanya kuat, tapi ada celah di gantungan yang memperkuat bukti kepergiannya.

Aku berjalan keluar, berbalik, merasa tersesat di tempat yang kusebut rumah. Beberapa gambar disangga di ruang kerja dan aku melangkah ke sana. Dia sepertinya mulai membuat beberapa gambar, tapi semuanya ga diselesaikan, ini ga seperti kebiasaanya. Garis-garis sudah dibuat dengan cepat dan kasar, bahkan saat itu mereka sudah menampilkan gairah hidup yang sampai sekarang belum bisa kutandingi.

Beberapa gambar menampilkan Mira... begitu juga aku ... dan hatiku terasa tergores saat aku mempelajarinya satu per satu. Ini adalah hal yang nyata. Alami. Hidup. Mengalirkan seks ke kertas dan dari situ langsung ke ulu hatiku. Aku langsung ereksi .

Setiap sketsa menunjukkan apa yang kulakukan sejak saat aku pindah dengan Mira. Saat aku bertumbuh dewasa untuk tahu bahwa wanita berbeda dengan pria dan apa yang bisa mereka lakukan satu sama lain. Aku selalu menginginkannya, tapi selalu khawatir apa yang kulakukan akan membuatnya takut dan menjauh.

Gambar-gambar itu berteriak minta perhatian, menuntut aku melihat mereka, gambar penisku yang keras di dalam mulut Mira, di tangannya, di antara payudaranya. Mira telentang saat aku menindihnya. Mira berlutut ... saat aku menyetubuhinya dari belakang ... beberapa goresan cepat menunjukkan wajahnya yang sedang merasakan kenikmatan yang dia rasakan saat penisku memasukinya. Tentu semua adalah hasil tambahan dari kegiatan pura-pura yang kami lakukan, tapi Mira selalu bisa membuatnya seperti benar-benar terjadi.

Aku duduk merosot di sofa lama yang kami bawa dari apartemennya yang dulu. Aku ingat saat kami berdua tertawa saat becanda diatas sofa ini, saling ledek, saling goda. Aku menebak-nebak kemana Mira pergi - dia bisa kemana saja dia mau. Aku ingat obrolan kami menjelang liburan di atas sofa ini, obrolan tentang tamasya bersama, ke Eropa mungkin. Mira ingin melihat dan berdiri di depan beberapa lukisan terkenal di dunia. Apa mungkin dia pergi kesana?

Aku berdiri, bermaksud untuk mengambil bir di lemari es, tapi saat mengarah kesana aku melihat laptop Mira, layarnya terangkat terbuka.

Aku mengubah arah dan duduk di meja kerjanya, menyalakan laptop.

Setelah berapa saat, dengan sendirinya layar menunjukkan halaman untuk memasukkan pasword. Shit.

Aku duduk, melihat kursor yang berkedip, mencoba berpikir.

Aku bangkit dan berjalan, berdiri memandang ke luar jendela saat cahaya matahari meredup dan lampu-lampu jalan menyala di kejauhan.

Aku kembali ke komputer dan mengetik: mirage.

Terlalu sederhana. Ga mungkin segampang itu.

Aku berjalan lagi. Lalu aku ingat Mira bilang sejak dulu dia selalu naksir ibuku.

Aku kembali dan mencoba lagi: VinaWahyudi, lalu vinawahyudi. Gagal.

Aku menatap monitor, menatap kursor yang berkedip-kedip, berharap laptop ga akan mati otomatis kalau aku terlalu sering memasukkan password yang salah.

Aku mencoba v1n4w4hyud1, mengganti beberapa kali lagi tapi tetap gagal.

Sial. Aku bangkit dan mengambil bir, sekarang lebih menginginkannya dibanding tadi.

Aku mencoba lagi, kali ini jantungku berdebar-debar saat aku mengetik: YohanWahyudi ... tapi komputer mengeluarkan bunyi bip dan kursor terus berkedip.

Oke, lagi: yohanwahyudi. bukan.

Lalu: y0#4nw4#yud1. Jariku bergetar saat aku menekan Enter.

Kali ini bunyi bip berbeda dan layar berubah menampilkan desktop Mira.

Sial, pikirku. Aku adalah password laptop Mira.

Aku meletakkan birku dan membuka browser. Beberapa tab, dan aku lihat salah satunya akun email Mira masih login. Aku membuka inbox, dan di sanalah jejaknya kelihatan.

Di bagian atas adalah pemberitahuan dari bank bahwa ada penarikan tunai lebih dari lima juta dari rekeningnya.

Empat email dibawahnya adalah email dari maskapai pemerintah yang menunjukkan tiket penerbangan Jakarta-Roma. Tanggalnya tiga hari lalu. Berarti dia terbang naik pesawat bergambar burung biru itu saat aku dirumah, memikirkan apa aku akan mengundang Karin datang lagi. Hubungan seks singkat dan liar setelah kepulangan Mira terasa hambar bagiku, dan aku sadar, itu ga adil buat Karin karena aku berhubungan badan dengannya saat membayangkan wanita lain, dan aku paham hanya ada satu wanita yang kuinginkan, hanya satu wanita yang pernah kuinginkan. Dan sekarang dia ada di Italia, sepuluh ribu kilometer lebih jauhnya dari sini.

Aku kembali ke google dan iseng melihat waktu di Roma, sekarang masih siang hari disana. Apa yang dilakukan Mira disana, keliling ke museum seni? Dengan siapa dia disana? Apa dia akan ketemu gadis Italia yang cantik dan menemaninya?

Aku mengklik bookmark Mira, menemukan satu halaman yang menunjukkan rincian rekening korannya dan membukanya.

Layar login muncul.

Aku mencoba password yang sama dan berhasil masuk.

Aku mencari transaksinya seminggu terakhir. Ada pembayaran untuk tiket pesawatnya. Lalu, transaksi untuk hotel, restoran, beberapa transaksi kecil, satu tarikan sekitar € 600 yang tentu sudah diubah ke dalam kurs Rupiah dari suatu money changer di Roma.

Aku mencatat nama hotel, logout dari laptopnya dan membuka laptopku sendiri.

Ga ada penerbangan langsung ke Roma sampai besok jam delapan malam, tapi aku menemukan penerbangan dari Jakarta ke London besok pagi, lalu penerbangan lanjutan ke Roma satu jam setelah sampai di London. Aku menghubungi biro travel mencari informasi tentang perjalanan ke Roma dan diberitahu bahwa khusus Bulan ini berkaitan dengan Hari Kemerdekaan Italia, wisatawan tidak membutuhkan visa untuk kesana. Karena itu aku sekaligus memesan tiket di Travel itu, mengirimkan scan passport, lalu menutup laptopku. Lalu mengambil lagi tas yang tadi kutinggal di ruang tamu.

Setelah itu aku berjalan masuk ke kamar Mira dan duduk di tempat tidurnya, menghubungi ponselnya. Telepon berdering tujuh kali lalu terhubung ke voicemail.

"Mir, ini aku. Kita perlu bicara. Kamu tahu kita harus bicara. Hubungi aku."

Aku menutup telepon, mengambil bir lagi dan meminumnya, lalu menelepon telepon Mira lagi. Kali ini langsung tersambung ke voicemail - teleponnya dimatikan.

Aku mencoba lagi, dengan hasil yang sama.

Aku tahu malam ini aku harus tidur lebih awal agar lebih segar untuk penerbangan jauh besok dan mulai berjalan ke kamarku, tapi saat aku baru saja melepas baju ada ketukan di pintu.

Aku keluar, mengintip melalui spyhole dan melihat Cindy berdiri didepan pintu. Aku membuka pintu dan dia menyeringai, masuk dan mencium mulutku.

"Gimana liburanmu, Yohan? Apa Mira ada, aku harus bicara dengan kalian berdua."

"Dia ga ada," kataku.

"Kapan dia pulang? Ada suatu hal yang harus kalian bicarakan."

Dia berjalan ke lemari es dan mengambil bir, membuka tutupnya dan meneguknya langsung, lehernya yang panjang bergerak saat dia menelan.

"Dia..., dia pergi ... Aku ga tahu kapan dia akan pulang."

"Pergi?"

Aku mengangguk.

Cindy mengamatiku. "Kalian berdua bertengkar ya, Yohan?"

"Aku ga tahu," kataku, dan suaraku terdengar sedikit serak. Cindy juga mendengarnya dan datang mendekat, memelukku.

"Yohan ... itu ga mungkin... aku selalu tahu kalian berdua tercipta untuk satu sama lain."

Aku mencoba tertawa. "Ya. Aku dan lesbian idolaku."

Cindy memelukku lebih erat. "Bukan - ya, oke, aku tahu dia suka perempuan, tapi aku sudah lihat caranya memandangmu, caranya bertingkah di sekitarmu. Caramu bertingkah di sekitarnya juga. Suatu hari nanti kalian berdua akan jadi pasangan sungguhan, cepat atau lambat."

"Dia sudah pergi," kataku, dan sekarang air mataku mulai keluar, isak tangis mengguncang bahuku. Cindy menarik kepalaku dan menempelkannya di bahunya. Dia memelukku, membelai pundakku, ga bilang apa pun saat aku membiarkan emosi keluar.

Akhirnya aku berhenti terisak dan berdiri tegak lagi, menatap wajah Cindy yang cantik. "Maaf, bukan untuk ini kamu kesini."

Wajahnya terlihat sangat sedih sehingga hampir membuatku menangis lagi.

"Kamu sangat mencintainya," katanya, dan aku hanya bisa mengangguk, ga yakin harus bilang apa. Lalu dia tersenyum. "Tapi ga apa-apa, Yohan, karena dia juga mencintaimu sama seperti kamu mencintainya."

Aku menggelengkan kepala. "Aku ga tahu."

Cindy menuntunku ke sofa dan duduk di sampingku. "Ceritakan apa yang terjadi..."

Jadi aku menuruti permintaannya. Aku menceritakan tentang acara pernikahan, tentang malam kami di honeymoon suite walaupun tidak secara detail, tentang waktu kami di rumah lamaku, tentang Karin, tentang apal yang kami lakukan bertiga. Cindy duduk memegang tanganku, mendengarkan dengan sabar, dan saat aku selesai, dia menghela napas dalam-dalam.

"Kalian berdua pada akhirnya akan melakukan semua itu," katanya. "Menurutku Ini justru akan membuatnya lebih cepat terjadi. Sekarang kalian tahu perasaan kalian satu sama lain. Sebelumnya dia sedikit lebih siap dibanding kamu. Atau dia sudah berharap tapi kamu terganggu dengan kehadiran Karin itu. Dasar cowok," kata Cindy. "Terkadang kalian sangat bodoh!"

"Aku sudah siap sejak dulu, Cindy. Sudah siap menerimanya sejak... Aku ga tahu, sepertinya sudah terlalu lama."

“Pasti dia juga begitu. Kenapa kalian sampai sekarang belum ngelakuin itu, aku juga ga tahu, aku ga habis pikir."

"Aku sudah mengacaukannya. Ya Tuhan, aku sudah bikin kacau."

Dia menggelengkan kepalanya. "Ga. Percayalah dia akan kembali lagi. Dia ga bisa menjauh dan sembunyi seterusnya darimu."

"Aku tahu dia di mana," kataku.

"Kamu tahu?"

"Dia di Roma. Aku lihat konfirmasi tiket penerbangannya di email, aku bahkan tahu di hotel mana dia tinggal. Aku sudah pesan penerbangan menyusulnya..." Aku melirik jam, "Lima jam lagi aku berangkat. Aku akan menemukannya."

"Oke." Cindy meremas tanganku. "Tapi kamu gapapa kan, Yohan? Apa kamu mau aku temani disini?"

Aku tertawa pelan. "Bukan ide yang bagus, Cind. Ga sekarang. Terima kasih."

Dia mengangkat bahu.

"Oh iya, kamu butuh sesuatu," kataku. "Kenapa kamu datang ke sini malam-malam?"

"Sekarang aku jadi ga tahu harus berbuat apa," katanya. "Aku punya sesuatu ini..." Dia meraih ke dalam tasnya dan mengeluarkan sebuah amplop besar, memegangnya seolah-olah dia ragu sebaiknya memberikannya padaku atau ga.

"Apa itu?" Aku bertanya.

"Aku ga yakin kamu tertarik melihatnya dalam situasi sekarang, Yohan. Ini masalah bisnis. Persoalan bisnis penting. Dan itu butuh keputusan kalian berdua."

Aku bersandar pada bantal. “Gimanapun, bilang saja, Cind. Aku sebenarnya perlu mengalihkan pikiranku pada hal lain."

Dia menatapku, matanya menyelidik, lalu menyerahkan amplop itu padaku.

"Yang kamu pegang itu proposal tawaran untuk bisnis website kalian, Yohan. Tawarannya bagus. Tawaran yang sangat bagus menurutku."

"Tawaran?" Kata-kata itu tidak kupahami maksudnya.

"Ada yang ingin membelinya. Faktanya, ada tiga penawaran berbeda. Aku dan Tu sudah kontak dengan perwakilan mereka selama minggu kemarin, bertatap muka dengan mereka membicarakan ini."

Aku menarik beberapa map dari amplop, menatapnya sekilas.

"Katamu ini mungkin akan terjadi dalam beberapa tahun lagi. Kenapa cepat banget?"

"Kita sudah tumbuh sangat cepat, Yohan. Kamu tahu itu. Pertumbuhan cepat dalam suatu bisnis mendapatkan perhatian yang luar biasa di luar sana."

Aku mulai membuka map untuk melihat isinya, tapi aku menggelengkan kepala. “Aku ga bisa memahami ini sekarang. Kasih tahu poin-poinnya saja, Cindy."

"Oke. Intinya dari semua, ada satu penawaran yang paling bagus. Seratus lima puluh milyar."

Aku menatapnya. "Apa?"

"Seratus lima puluh milyar. Itu tawaran yang mereka buat untuk membeli websitemu. Itu tawaran yang bagus, Yohan, dan kamu dan Mira juga bisa tetap terlibat dalam operasional selanjutnya kalau kalian mau. Mereka ingin kamu terus menghasilkan gambar, tapi mereka punya rencana lain untuk mengembangkannya lebih besar... "Dia menatapku. "Apa kamu akan melepasnya?"

Aku balas menatap. "Menjualnya?"

Dia mengangguk.

"Seharga Seratus lima puluh milyar?"

Dia mengangguk lagi.

"Kalian dapat bagian berapa?" Aku bertanya.

"Tujuh setengah milyar," katanya. "Untuk kami masing-masing. John dan aku dapat lima belas milyar. Kamu dan Mira masing-masing dapat enam puluh milyar."

"Sial... Kalian sudah ga perlu nabung lagi buat beli rumah kalau gitu." Kataku tersenyum

"Ini tawaran yang bagus, Yohan. Bagus banget."

"Apa yang harus kulakukan, Cindy?"

Dia menatapku. "Sebenarnya dalam hal ini aku ga berhak berpendapat, Yohan. Kamu benar-benar harus bicarain ini sama Mira. Kalian yang harus mutusin."

"Setidaknya kalau kamu diposisiku, apa kamu akan terima tawaran ini?"

"Kalau aku diposisi kalian, ya, aku akan terima."

"Dan kalau kami tolak tawaran ini, kalian ga dapat apa-apa."

"Kami masih dapat bayaran seperti sebelumnya. Tapi ya, selain itu kami ga dapat yang apa-apa, apalagi dalam jumlah sebesar itu."

"Aku ga mau itu terjadi, Cindy." Aku melihat kertas di tangan aku. "Harus diapain berkas-berkas ini?"

Dia mengambilnya dariku dengan lembut. "Ini berisi sebagian besar persyaratan, detail dari perjanjian. Kamu cuma harus paraf di bagian bawah setiap halaman dan tanda tangan di halaman terakhir setiap duplikat perjanjiannya." Dia ambil salah satu duplikat dan membuka halaman terakhir, memutarnya agar bisa kulihat. "Kami semua sudah paraf dan tanda tangan, tapi terutama kamu dan Mira juga harus tanda tangan."

Kulihat tanda tangan mereka sudah ada di sana, dengan tinta biru tua. Ada ruang untuk tanda tanganku, dan tanda tangan Mira.

"Kamu harus tanda tangan semua itu dan kembalikan ke sini... paling lambat sepuluh hari."

"Sepuluh hari," kataku.

"Dari Jumat lalu," katanya.

"Jadi, aku punya waktu sampai tanggal..."

"Sampai Selasa 3 Juli. Semua harus sudah ditanda tangan dan sampai disini paling lambat 3 Juli."

"Sial..." Aku melihat ke sekeliling, mencari sesuatu, apapun yang bisa membantuku bikin keputusan. Cuma ada Cindy. "Apa yang kulakukan?"

"Temukan Mira," katanya.

Aku mengangguk. Masuk akal.

"Dan kalau dia masih ngambek?"

"Bilang saja padanya soal tawaran ini. Ini urusan bisnis, Yohan, bukan pribadi. Bilang padanya dan putusin apa yang kalian berdua mau."

"Ya Tuhan, aku perlu tidur," kataku. "Aku akan terbang dalam beberapa jam, dan aku ga bisa mikir."

"Tidurlah," katanya. "Aku akan disini sampai kamu berangkat."

"Ga perlu," kataku. "Kamu ga harus ngelakuin itu."

Dia tertawa. "John tahu aku akan kesini. Dia ga akan menungguku pulang sebelum pagi. Dia tahu kalian seharusnya pulang hari ini. Dan tadinya aku berharap aku akan dapat kenikmatan lagi disini."

"Maaf," kataku. "Kayaknya aku ga bisa..."

Cindy tertawa lagi. "Aku paham. Tapi aku ingin tetap di sini, supaya kamu ga sendirian. Boleh kan, Yohan?"

Aku memandangnya. "Terima kasih, Cindy."

Kami berbaring berdampingan di tempat tidurku, sama-sama telanjang, saling memeluk, dan aku kaget karena penisku sepertinya cukup sopan walaupun berada didekat wanita telanjang seperti Cindy. Kulit lembut Cindy menempel di kulitku saat dia bergerak di sampingku. Kami berciuman sebentar, lalu dia memeluk kepalaku di dadanya saat aku mencoba tidur.

Jam dua pagi aku masih terjaga. Cindy bernapas lembut disebelahku, dan aku bergerak perlahan turun dari tempat tidur dan berjingkat-jingkat ke ruang tamu.

Aku mengambil tas ransel besarku. Aku membuka resleting atas dan menyelipkan amplop berkas penawaran dan laptop Mira.

Aku berpakaian dan keluar tanpa kembali ke be kamar tidur.


SENIN 25 JUNI

Sebuah taksi biru membawaku ke Soekarno-Hatta dan aku membuka tiketku di ponsel, check in, mengurus bagasi dan imigrasi dengan cepat, lalu menunggu di ruang tunggu.

Jam enam lebih sepuluh pesawat lepas landas. Sinar matahari yang baru terbit menyinari jendela dan aku menurunkan penutup jendela, menurunkan sandaran kursiku dan tidur selama beberapa jam sampai pramugari membangunkanku untuk sarapan.

Aku mendarat di London jam sebelas malam waktu Jakarta, jam lima sore waktu London, dan satu jam kemudian aku terbang lagi menuju Roma.

Lagi-lagi waktu berubah, dan sekarang waktu menunjukkan pukul sepuluh malam saat sebuah taksi mengantarku melewati jalan-jalan sempit dan menurunkanku di luar hotel yang kutahu adalah tempat terakhir Mira menginap. Aku sudah menghabiskan seharian penuh di udara, ditambah perjalanan sebelumnya dari Purworejo, dalam kondisi hampir ga tidur sama sekali dan kakiku sudah hampir menyerah menopangku. Aku ga mungkin menemui Mira sekarang, ini bukan waktu yang tepat.

Saat aku mendekati meja resepsionis, seorang wanita muda menatapku dan tersenyum, menyapaku dalam bahasa Inggris, "Can i help you, Sir?"

"I know it’s late," kataku, "But do you have a room for tonight?"

"A moment, please?" Dia memeriksa layar monitor di meja, mengetik beberapa tombol, lalu melihat ke atas lagi, tersenyum. "We have a vacancy. For one night only?"

"It may be longer. I’m not sure yet."

"That’s perfecly fine, Sir. You can let me know in the morning if you wish to extend your stay. If I could have you credit card and passport, please?"

Aku menyerahkan yang dibutuhkannya, ga peduli berapa harga kamar.

Aku melihat dia melihat paspor, menatapku. Perutku bergejolak. Dia pasti mengenali nama belakangku. Mira, sejak tinggal bersama kami dulu menggunakan tambahan nama belakang Wahyudi, nama keluargaku di belakang namanya, dan dia selalu memakainya sejak itu, termasuk dalam passport. Aku seharusnya bertanya pada resepsionis ini, tapi pada akhirnya aku hanya diam. Aku menunggu, kelelahan, saat dia mencatat identitasku, menggesek kartu kreditku, lalu mengembalikannya beserta kartu kunci kamar.

"Enjoy your stay, Mr. Wahyudi. I'm afraid the restaurant is closed at this time, but you can call for room service until midnight."

Aku mengucapkan terima kasih dan naik lift ke kamarku.

Aku lapar, tapi ga menelepon room service. Sebaliknya aku membuka bajuku dan mandi lalu setelah itu berbaring di tempat tidur.



SELASA 26 JUNI

Aku bangun kesiangan, sinar matahari menerobos kaca jendela dan pintu yang tembus ke balkon. Kakiku terasa hangat saat matahari menyinari mereka dan aku berguling dari tempat tidur, mandi dan memakai pakaianku semalam. Aku baru ingat tidak membawa tas pakaianku, jadi aku akan perlu beli beberapa baju baru selama disini, tas baru, dan lalu mencari Mira.

Jam 11 siang aku sampai ke meja resepsionis. Gadis cantik yang sama seperti semalam masih bertugas dan tersenyum padaku saat aku mendekat menunjukkan giginya yang putih sempurna.

"I believe a relation of mine staying here," kataku. "Miranda Wahyudi. Would it be possible to put me through to her room?" Aku ingin dia menghubungkanku ke kamar Mira

Jarinya mengetik sesuatu, matanya tertuju pada layar. Alisnya berkerut mencari informasi yang muncul.

"Miss Wahyudi. She arrived five days ago, but I am afraid she checked out early this morning. " Aku terlambat.

"This morning?" Aku bilang.

Resepsionis itu mengangguk.

"Did she leave forwarding adress?" tanyaku, berharap dia punya informasi kemana Mira pergi.

"Let me check..." jari-jarinya bergerak lagi. "I am sorry, i have no information."

Dia kelihatan baik. Aku percaya pada kata-katanya, jadi aku berterima kasih padanya dan bukannya berbelanja seperti yang sudah kurencanakan, aku kembali ke kamarku dan menyalakan laptop.

Aku harus menelepon ke resepsionis lagi untuk login wi-fi, lalu memeriksa transaksi rekening bank Mira lagi.

Ada transaksi dari hari sebelumnya yang menunjukkan dia makan di sebuah restoran di Roma, tapi untuk hari ini belum ada. Tubuhku gemetaran karena frustrasi, aku tahu aku hanya bisa menunggu petunjuk selanjutnya, tapi aku ingin buru-buru, melakukan sesuatu, walaupun kalau itu ga ada gunanya.

Aku logout dan meninggalkan hotel. Aku menghabiskan waktu seharian berbelanja. Aku beli baju baru, celana, pakaian dalam, perlengkapan mandi dan koper beroda untuk membawa semuanya. Aku masih bisa belanja lebih lama, mengalihkan perhatian dari kekhawatiranku, tapi menjelang tengah malam toko-toko mulai tutup. Jadi aku berhenti di sebuah kafe di sebuah jalan kecil dan memesan bir dan pasta yang entah bagaimana semua yang masuk ke mulutku terasa hambar.

Aku membawa belanjaanku kembali ke hotel, tersenyum pada resepsionis dan di kamar aku menyalakan laptop lagi.

Ada tiga transaksi baru di rekening Mira. Yang pertama konfirmasi check out hotel ini. Yang kedua adalah untuk sewa mobil, yang ketiga hanya satu jam yang lalu dia beli bensin di selatan kota Roma.

Aku membuka google map dan mengetik kode pom bensin itu. Itu di Capua, sebuah kota kecil tak jauh dari jalan raya A1 yang menghubungkan Roma ke Napoli. Apa dia kesana, atau apa dia hanya melintas ke tujuan yang lebih jauh, mungkin ke Pulau Sisilia?

Rincian rekening bank Mira masih terbuka di tab lain dan aku menekan F5 untuk me-refresh. Transaksi baru muncul yang menunjukkan pembayaran biaya ke hotel lain. Aku membuka tab lain dan mengetik nama sebuah hotel di Napoli dan sebuah situs web muncul. Aku skip video intro dan layar area lobby yang mewah sebelum digantikan oleh ruang makan, teras, dan kamar tidur.

Ada link untuk booking online dan aku mengkliknya untuk memesan kamar.

Resepsionis kelihatan sedih saat aku check out dan pergi begitu cepat. Setelah itu aku mengikuti jejak Mira dengan menyewa mobil dan lalu keluar dari Roma ke arah selatan.

Berbahaya mengemudi di tengah malam dalam kondisi lelah, ditambah aku tidak mengenal wilayah ini dengan baik, tapi kali ini aku ga akan bikin kesalahan yang sama, aku harus menemukan Mira dulu.

Butuh waktu tiga jam untuk sampai di hotel di tepi laut, lima belas menit berikutnya untuk cari tempat parkir dan check-in. Matahari sudah hampir terbit saat aku berjalan memasuki pintu loby besar

Kali ini seorang pria, berjas gelap, yang menyambutku di meja resepsionis.

"I hope you can help me," kataku. "I believe my cousin stay here, Miranda Wahyudi? Miranda Grace Effendi Wahyudi? Would it be possible to put me through to her room?"

Dia melirik layar komputernya, "We have a reservation for a Signora Wahyudi, but it appears she has not checked in yet. Would you like me to call you when she arrives? "

Ternyata dia belum check in, aku belum terlambat. Aku merasa bahuku rileks dan memintanya menghubungiku saat Mira datang. "Great. Just call my room."

Dia mengangguk. "Certainly, Signore. Would you like a porter to help you with your bags?"

"No need," kataku, menolak bantuan porter dan menarik koper baruku ke atas.

Aku sudah memesan kamar dengan pemandangan laut dan berdiri di balkon kecil menonton perahu di kejauhan. Udara cukup hangat, lembab, hanya angin sepoi-sepoi yang sesekali menyejukkan.

Aku masuk, membuka pakaian menyisakan celana dalam lalu berbaring di tempat tidur, tertidur, menunggu telepon.

Saat aku terbangun, langit sudah gelap lagi. Aku keluar lagi ke balkon, udara malam yang sejuk terasa lebih nyaman. Lampu-lampu berkilauan di tepi pantai. Aku bisa mendengar peralatan makan dan piring berdenting dari balkon restoran besar beberapa lantai di bawahku. Aku sadar aku berdiri cuma memakai celana dalam dan melangkah masuk kembali ke kamar.

Aku menelepon resepsionis dan bertanya tentang Signora Wahyudi dan diberi tahu bahwa dia belum check in.

Aku membuka laptop dan masuk ke rekening bank Mira.

Dua transaksi baru menunjukkan bahwa dia sudah memesan penyeberangan feri dari Napoli ke Pulau Ischia, yang kedua pembayaran € 4.200 yang dikurs kan ke Rupiah dengan keterangan singkat yang mengatakan "Ischia Villas".

Dia berubah pikiran. Mustahil dia tahu aku mengejarnya, tapi sepertinya dia berusaha menghilangkan jejaknya dari pengejaranku.

“Fuck.” Lalu aku memutuskan untuk mandi, berdiri di bawah shower hangat, membiarkan air jatuh di bahuku. Aku bersandar di dinding keramik, kepala menunduk, memikirkan Mira. Ingin tahu apa yang sedang dia lakukan saat ini.

Aku membayangkan dia makan di sebuah kafe kecil. Membayangkan dia berenang di lautan yang diselimuti malam, air menetes dari tubuhnya memantulkan cahaya bulan dan bintang. Membayangkannya seperti aku, berdiri di kamar mandi, air mengalir ke tubuhnya yang sempurna, membasahi lipatan dan lekukan serta tempat-tempat rahasia di tubuhnya.

Aku merasa penisku semakin keras, tetap bersandar di dinding, semakin aku mencoba mengabaikannya, semakin banyak bayangan Mira datang padaku, Mira telanjang, Mira setengah telanjang, Mira terbungkus gaun sutra yang dipakainya di pesta pernikahan ibuku, kain menempel erat di tubuhnya.

Penisku terasa sakit, berdiri tegak hampir menunjuk keatas, air menyiram kulitku.

Aku memikirkan Mira yang terus-menerus menampilkan dirinya di dekatku, dengan sengaja memperlihatkan payudara, pinggulnya, mencondong tubuh ke depan sehingga jubahnya terangkat memperlihatkan pantatnya yang bulat sempurna, vaginanya yang kencang dan dicukur bersih di antara kedua pahanya, berulang-ulang.

Aku mematikan air dan melangkah keluar dari kamar mandi, mengeringkan diri dengan handuk lalu berbaring di tempat tidur, mencoba memikirkan sesuatu yang lain. Tapi yang bisa kupikirkan hanyalah Mira. Di kamar hotel setelah pernikahan, kami berdua telanjang, berkeringat.

Aku ingat Mira di bathtub, bersandar padaku, penisku terhimpit diantara kami. Tahu bahwa saat itu dia ingin aku menyetubuhinya, tidak, bukan hanya saat itu, bahkan sebelumnya, kenapa kami saling mengoda, karena kami berdua menginginkan yang lain tidak bisa menahan diri, karena kami berdua menginginkan hal yang sama, aku berpikir kenapa kami masih saja belum melakukan itu.

Aku bangkit dan berjalan lagi ke kamar mandi, menyalakan air dingin dan berdiri dibawah shower, dan diam di sana sampai penisku menyusut.


RABU 27 JUNI

Hari berikutnya aku naik feri dan masuk ke sebuah hotel kecil di wilayah Lacco Ameno. Ischia adalah sebuah pulau kecil, tapi mencari satu orang di sebuah pulau bukanlah perkara gampang, pulau sekecil ini bisa terasa sangat besar.

Ketika hari mulai menjelang malam aku duduk di sebuah restoran di samping sebuah lapangan dengan kolam air mancur yang airnya kering ditengah-tengah, mengambil makanan di piringku yang sebenarnya ga ingin kumakan, aku minum anggur lebih banyak dari seharusnya.

Aku menatap sepintas orang-orang yang berlalu lalang di lapangan tanpa benar-benar memperhatikan. Dan saat aku akhirnya mengamati seseorang, aku melihatnya. Aku melihat Mira.

Dia berjalan ke arahku jauh di seberang kolam dan walaupun alkhohol mempengaruhiku tapi aku 100% yakin itu Mira. Awalnya aku pangling karena dia memotong rambutnya, sekarang rambutnya sangat pendek. Dia ada di pulau ini. Selain rambutnya, sosoknya benar-benar Mira yang selama ini kukenal.

Aku tetap di tempatku, ga berteriak memanggil, hanya menyaksikan saat dia berjalan melintasi lapangan dan duduk di sebuah restoran di sisi lain.

Aku yakin dia ga bisa melihatku. Aku duduk di meja kecil di ujung belakang, sinar matahari akan langsung menyorot ke matanya, dan dia ga akan menyangka aku disini.

Dia bicara dengan seorang pelayan, dan aku terus memperhatikannya dari jauh saat dia menunggu pesanannya datang.

Dia mungkin berjarak seratus meter dariku, terlihat kecil karena jarak, tapi seolah-olah aku memakai teropong. Aku bisa melihatnya dengan jelas dan terus mengawasinya, lupa pada makanan dan minumanku.

Aku mengamatinya, mencoba menafsirkan bahasa tubuhnya. Dia tampak santai, memakai rok ringan dan atasan pendek yang memperlihatkan perutnya yang rata. Kulitnya merah karena terbakar matahari, sedikit terlihat kecoklatan.

Seorang lelaki dari salah satu meja didekatnya mendekatinya, dan aku menyaksikan saat dia menolaknya.

Pelayan datang dan mengambil piringnya, mengajaknya ngobrol sebentar, tapi Mira juga kelihatan ga tertarik padanya.

Aku mengambil ponselku dan menekan tombol quick call untuk Mira. Dia terlalu jauh untuk bisa kudengar suara ringtonenya, tapi aku melihat gerakannya saat dia meraih ke dalam tasnya dan mengeluarkan teleponnya. Dia menatapnya, jelas mengenali nomorku, lalu dengan cepat meletakkan ponselnya lagi didalam tasnya. Jarak menyamarkan wajahnya dan aku ga bisa menebak ekspresi apa pun.

Telepon tersambung ke Voicemail, dan aku mencari kata-kata yang ingin kusampaikan.

"Mir ... Aku tahu kamu ga mau bicara padaku, dan aku ga benar-benar tahu alasannya, tapi aku ingin bilang kalau aku mencintaimu. Bukan mencintaimu sebagai sepupu lesbianku. Aku mencintaimu dengan seluruh jiwa dan ragaku. Tolong, hubungi aku."

Ga menyadari pesanku, Mira memesan segelas anggur lagi dan meminumnya perlahan sampai matahari mulai terbenam. Dia menghabiskan anggurnya dan bangun, meninggalkan uang di atas meja dan berjalan kembali melewati jalan sebelumnya.

Aku meletakkan uang kertas euro di mejaku dan mengikutinya. Dia menyusuri gang sempit dan keluar di lapangan tempat parkir, dia langsung naik ke mobil sewaannya. Beruntung aku juga parkir di lapangan yang sama. Tidak banyak tempat parkir di sini.

Aku berpaling saat dia lewat di depanku, lalu berlari ke mobil dan mengejarnya.

Mobilnya berwarna kuning cerah dan mencolok, hampir satu-satunya yang berwarna kuning di pulau ini, membuatnya mudah untuk diikuti.

Dia melaju perlahan-lahan meliuk-liuk di jalan yang ga dikenal, lalu menuju ke barat laut. Kami melewati dua desa kecil, lalu mulai turun, kembali jalan menyusuri pantai.

Di sebelah kananku terbentang laut Mediterania, di depan tampak bukit-bukit yang mengering, rumah-rumah dan bangunan berdiri di semua tempat yang lebih datar.

Lampu sen Mira berkedip dan dia melambat, berbelok menyusuri jalan sempit diantara dua buah dinding menuju ke arah laut.

Aku berhenti sebelum belokan di atas bukit, keluar dari mobilku yang terlalu lebar untuk jalan itu dan berdiri di atas sebuah batu besar ditepi jalan, memandang mobil kuning yang berjalan menjauh, gumpalan debu bergulung dibelakangnya.

Dia menghilang dan ga muncul lagi. Aku menunggu sebentar. Lalu aku mulai menyusuri jalan setapak.

Aku melewati beberapa vila kecil, lalu berbelok ke tempat Mira menghilang. Jalan menanjak naik. Di puncak tanjakan, aku bisa melihat pemandangan laut yang dekat, dan agak jauh di sebelah kiri ada sebuah villa kecil berdiri di tepi tebing. Ada tangga akses dari halaman vila ke pantai kecil di bawahnya, dan ga ada rumah-rumah lain, hanya air biru tua yang menyapu lembut ke pantai saat matahari tenggelam sepenuhnya.

Aku berjalan ke arah pantai di bawahnya, merasa aman terlindung oleh kegelapan malam, dan berjalan diam-diam sampai aku hampir di dekat air dan bisa melihat ke villa diatas tebing.

Aku melihat Mira bergerak didalamnya dan jantungku berdebar kencang. Dia menghilang sebentar, lalu muncul lagi untuk berdiri di balik pintu kaca ke arah balkon. Rasanya seolah dia menatap langsung ke arahku, tapi di tempatku berdiri sudah sangat gelap dan dia tidak akan bisa melihatku. Tapi aku bisa melihatnya walau samar, wajahnya teduh, cahaya lampu dibelakangnya membingkai sosoknya.

Dia berdiri diam disana beberapa menit, menempelkan dahinya di kaca. Akhirnya dia berbalik dan hilang dari pandangan.

Aku tetap di tempatku, menunggu, tapi dia ga muncul lagi.

Aku melihat sekeliling, mencari tempat untuk duduk dalam gelap, menemukan sebuah cekungan batu di pinggir jalan yang tadi kulewati.. Aku duduk di dalamnya, menemukan batu yang terasa hangat cukup nyaman untuk beristirahat. Aku menyandarkan kepalaku dan menatap langit yang bertabur bintang-bintang cerah.

Aku bisa memandang ke bagian samping vila dari sini, kulihat jendela yang menyala, terus memandang sampai lampu mati. Di suatu tempat di dalam vila yang kecil dan rapi, Mira akan pergi tidur. Aku belum tahu apa yang akan kulakukan, atau bagaimana aku akan mendekatinya. Aku menghela nafas dalam-dalam dan menutup mataku, hanya sesaat.



KAMIS 28 JUNI

Saat aku membuka mata setelah yang aku yakin hanya beberapa menit, ternyata langit sudah terang. Jelas efek dari kepanikanku untuk mencari Mira sudah membuatku kelelahan dan tertidur.

Aku berbaring di bawah naungan tebing. Sinar matahari menyinari vila kecil itu. Aku melihat jam tanganku menunjukkan sekarang sudah hampir jam 9 pagi. Tapi aku merasa nyaman, jadi aku tetap berbaring di tempatku, membiarkan hari semakin siang, dan setelah beberapa saat pintu teras balkon terbuka dan Mira melangkah keluar. Dia memakai jubah dan sandal - bukan jubah sutra yang biasa dia pakai di rumah, tapi jubah handuk biru pudar yang mungkin disediakan di vila.

Dia meregangkan tubuh, mengangkat lengannya tinggi-tinggi, lalu berjalan menuruni tangga batu ke air.

Aku bergeser ke satu sisi, masih terlindung di balik tebing, ga akan bisa terlihat dari tempat Mira berada.

Saat dia sampai di air dia melepaskan jubahnya dan meletakkannya diatas batu besar. Di balik jubah itu dia telanjang. Melepas sandalnya lalu melangkah dengan hati-hati melewati bebatuan ke air yang lebih dalam, lalu menyelam dan muncul lagi lima belas meter dari pantai.

Dia menyelam lagi lalu berenang menjauh. Tubuhnya yang basah berkilauan. Aku menatap, merasakan penisku bereaksi di dalam celanaku.

Mira berenang sejajar dengan garis pantai sampai dia menjadi titik kecil, lalu menghilang di balik sebuah tanjung. Aku menunggu. Lima belas menit kemudian dia muncul lagi di kejauhan, lebih dekat dengan pantai sekarang. Dia berenang lurus ke batu tempatya meletakkan jubah, lalu berdiri dan memeras air dari rambutnya yang baru dipotong pendek, air mengalir turun dari tubuhnya, menelusuri payudaranya yang indah, mengalir di perutnya dan vaginanya yang dicukur bersih, menuruni kakinya yang panjang dan ramping.

Dia mengambil jubahnya dan berjalan kembali ke vila, memegangi jubah itu di lengannya. Penisku membesar lagi.

Mira menghilang ke dalam vila. Aku menunggu, mungkin dia sedang mandi.

Aku berdiri dan memakai kesempatan itu untuk pergi secepat yang kubisa kembali ke mobil sewaanku.

Sekarang aku tahu di mana dia tinggal dan aku bisa kembali kapan saja aku mau. Tapi sekarang, aku perlu berpikir.

Aku kembali ke kota dan masuk ke kamar hotelku, lalu mandi dengan air panas membasuh kotoran dari tubuhku. Setelah itu aku bercukur di depan sebuah cermin besar. Aku melirik ke bawah, ragu-ragu, lalu mencukur rambut kemaluan juga. Aku tahu Mira suka jika kemaluanku bersih dari bulu. Apa pun akan kulakukan untuk mendapatkannya kembali. Apa saja yang dibutuhkan.

Masih telanjang aku keluar dari kamar mandi dan berbaring di tempat tidur, bermaksud beristirahat sebentar, tapi sekali lagi kelelahan membuatku ketiduran.

Aku bangun karena suara kunci di pintu. Aku membuka mataku dan menemukan petugas room service sedang mendorong masuk troli yang berisi bahan pembersih dan handuk baru. Aku lalu sadar aku masih telanjang bulat, dan sepertinya penisku bangun saat aku tidur dan sekarang sedang berdiri menunjuk ke langit-langit kamar. Aku bangkit dan mulai duduk, ingin mengambil selimut tepat saat dia menoleh dan melihatku.

Matanya melebar dan mulutnya membentuk huruf O.

Dia masih muda, sepertinya belum sampai dua puluh tahun, memakai seragam pelayan warna biru yang dilapis celemek rapi di bagian depan dan rok pendek, menampilkan kakinya yang telanjang.

Aku melihat matanya memandangi ketelanjanganku, melihatnya melirik ke bawah dan wajahnya memerah.

"Dispiace Signore," katanya panik, tangannya terangkat ke dadanya, membuat gesture meminta maaf.

Aku akhirnya meraih buku menu di atas meja untuk menutupi penisku.

"It’ ok," kataku, mengangkat tanganku sendiri menenangkannya.

"I will comeback later, yes?" katanya.

"Thank you."

Tapi dia ga bergerak, cuma berdiri di samping troli, masih menatapku. Aku sadar aku sudah berhasil menutupi penisku, tapi buku menu ini tidak cukup menutupi sisanya.

"Are you in Ischia for long, signore?"

Apa apaan ini? Sekarang bukan waktu yang tepat untuk ngobrol. Disaat yang sama aku sadar ini adalah salah satu fantasi seorang laki-laki, berdiri telanjang di kamar hotel dengan hanya selembar kertas kecil yang berusaha menutupi penisnya yang ereksi penuh, bersama seorang pelayan Italia yang masih muda dan cantik di depan mata.

"I'm not sure yet, but i don’t think so."

"That is a shame. Maybe we can meet again before you leave?" Dia mulai berbalik dan aku menghela nafas lega.

Dia ingin ketemu denganku lagi? Jantungku berdebar hanya membayangkan kemungkinan itu, "Maybe," kataku.

Dia menarik troli keluar, tapi berhenti dan ragu-ragu saat dia sampai di ambang pintu, menenggok ke belakang, ekspresi nakal menghiasi wajahnya yang cantik.

"Are you sure i cannot do anything for you before i go, signore?” katanya sambil menggulung ujung roknya yang sudah pendek

"Thanks, but no thanks.”

Dia mengangkat alis, mungkin kaget dengan jawabanku, lalu menutup pintu dan meninggalkanku sendirian.

Aku berdiri, berjalan ke pintu dan memasang gerendel di pintu, lalu tertawa sendiri menginggat kejadian barusan, penisku masih berdiri tegak dan berayun saat aku berjalan.

Aku menggelengkan kepala, berjalan ke kamar mandi dan mandi lagi dengan air dingin, diam dibawah shower selama 5 menit sampai penisku mengecil lalu keluar dan berpakaian.

Aku sepertinya tadi tidur cukup lama dan sekarang hari sudah mulai sore. Aku mengambil dompetku, kunci mobil sewaan dan amplop yang diberikan Cindy padaku, lalu keluar menuju tempat parkir.

Sore ini aku berjalan menyeberangi alun-alun ke restoran tempat Mira makan kemarin. Aku tahu kebiasaannya, begitu dia menemukan tempat yang disuka, dia akan kembali kesana lagi dan lagi. Aku mengingat-ingat lagi dimana dia kemarin duduk, lalu mencari meja yang paling jauh dan duduk menghadap mejanya kemarin. Aku memesan pasta dan snack lalu duduk menunggu sambil membaca buku menu, tiba-tiba lapar saat aku sadar tidak banyak makanan yang masuk ke perutku selama aku mengejar jejak Mira.

Pesananku baru saja datang saat ponselku berdering. Aku menjawab tanpa melihat nomor penelepon, mengira Cindy menelepon dan menanyakan apa aku sudah menemukan jejak Mira.

"Hai," kataku.

Ga ada suara. Ga, bukan ga ada suara, ada suara mesin mobil, derit saat bagian-bagian bergerak pada permukaan yang ga rata.

"Halo...?" Kubilang. "Mir? Apa itu kau?"

Belum ada jawaban.

"Aku rindu kamu, Mir," kataku. "Aku merindukanmu lebih dari yang kamu tahu."

Keheningan berlanjut, untuk waktu yang lama. Aku bisa mendengarnya bernapas di atas suara latar belakang mesin, dan kemudian suaranya berkata, "Oh, aku tahu seberapa banyak kamu rindu," lalu dia menutup telepon.

Aku menatap teleponku, berharap akan berdering lagi, mencoba mengartikan kata-katanya. Apa dia marah? Sedih? Kesal? Merasa bersalah? Aku ga tahu. Tapi hanya mendengar suaranya sudah meluapkan emosi di dadaku, menghilangkan kemampuan untuk menganalisis kata-katanya yang sebenarnya.

Aku memandangi makananku di atas meja, ga lagi merasa lapar, tapi tahu aku butuh energi dan harus makan jadi aku mengangkat garpu dan memutar-mutar pasta dan meletakkannya di mulutku dan setelah aku mencicipi saus krim pastaku, rasa lapar aku kembali, dan aku makan dengan cepat.



Bersambung... Chapter.24
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd