Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Syahwat Birahi: Wanita-Wanita Idaman

Ayo hu,,,,,, ngebir sambil ngebibir,,,,,
Lancrotkan tiwi,,,,
 
sesi pelajaran dari bu dokter bisa diterapkan pada sasaran2 lain..hehe.
selalu menanti apdetanmu om..
 
PART VII
PEMBERHENTIAN KEDUA

"Aku nggak nyangka bisa melakukannya, Mas" setelah beberapa waktu, aku tak tahu berapa lama suasana hening, Dokter Ara membuka suara. Nafasnya sudah mulai teratur.

Dokter Ara bangkit. Dengan wajah basah kuyup, aku menerima ciumannya yang nampak gemas.

"Tapi jadi basah semua, maaf ya" ia memasang wajah menggemaskan. Kubalas dengan senyum sedikit sinis. Tak terima, dilahap lagi bibirku.

Kami berguling-guling mencari bagian ranjang yang tak terkena cairan vaginanya. Ia masih memakai kemeja yang tadi, aku sudah telanjang bulat. Ia tahu, aku belum orgasme, dan yang aku suka, ia orang yang sangat fair. Tangannya sudah pada posisinya, membelai, menyusuri tiap bagian si johny. Nafsunya seperti tak pernah habis. Matahari mulai hilang, langit berangsur gelap. Kami tak peduli, yang ada di pikiran kami hanya kepuasan dan kepuasan.

Dokter Ara sudah pindah posisi. Kini ia siap mengerjai si johny lagi. Kulirik, ia meludahi payudara bulat miliknya. Sejurus kemudian, si johny sudah berada diantaranya. Ah, ada yg baru lagi. Ia pintar memuaskan laki-laki memang. Dimintanya aku duduk, dan ia mulai beraksi. Dijepitnya si johny, ia mulai naik-turun. Ini sih hampir tak ada bedanya, rasanya seperti gesekan vagina dengan bentuk berbeda. Payudaranya yg besar jelas ikut andil. Penisku seperti dijepit dua gunung namun kenyal dan memabukkan. Aku merem melek, ia tak peduli, terus saja memainkan penisku. Adegan ini tak berlangsung lama, kutarik tubuhnya berdiri, aku sudah tak tahan. Kucium bibirnya, tak lupa payudara bulat itu juga kumainkan. Satu tanganku lainnya memeriksa vaginanya, dan tetap basah. Aku rasa ia siap kapanpun.

Kami seperti sudah saling paham keinginan masing-masing. Ia posisikan diri menghadap tembok, menungging. Gila. Aku belajar posisi baru lagi. Belum pernah aku bercinta dengan posisi seperti ini. Mari kita coba saja.

Kuelus bokong mulus itu dan sedikit memainkan vaginaya dengan jari tengahku. Dokter Ara mendesah, menggoyangkan pinggulnya keenakan. Tanganku yang lain jelas mendarat ke payudaranya. Mereka bekerja sama memanaskan mesin, demi kelancaran si johny. Tak tahan, Dokter Ara mencari-cari si johny. Tertangkap, dimasukkannya pelan-pelan menuju liang surganya. Sedikit kesulitan, kami mencari posisi yang pas. Terasa basah sekali vaginanya, kugesek-gesek, ia meringis. Perlahan-lahan, kumasukkan penisku, pelan, pelan, tekan.

"OOOOHHHHHHH" Dokter Ara melenguh, penisku sudah amblas di vaginanya.

Kami masih diam. Menyesuaikan penisku di vaginanya. Dengan posisi ini, vagina Dokter Ara lebih terasa jepitannya. Aku tak yakin bisa bertahan lama. Ini akan menjadi sensasi baru.

Mulai kuayun penisku, demikian juga dengan Dokter Ara. Ia tak mau kalah. Aku memegangi bokongnya. Sambil terus mengayun. Kecepatan konstan.

"Masss ohhhh" ia mulai berisik seperti biasa.

"Kenapa jadi lebih sempit gini, Dok" kupancing ia dengan pertanyaan nakal.

"Ahh. Emang gini ohh kalau posisi ini aaahhh" iseng kenaikkan tempoku ketika ia berbicara.

Tak kujawab, kecepatan kunaikkan. Ia mulai tak bisa mengontrol diri. Aku heran juga kenapa masih bertahan. Sambil kumainkan payudaranya, kutarik tubuh Dokter Ara sedikit naik, ia tak lagi menungging. Kugenjot terus. Ia mulai berteriak.

"Oohhhhhh enak massss"

"Ohhh mainin pentilku mainin ohhhh ssshhh"

"Iya gitu aaaah massss ohhh"

"Awwww tanganmu ohhhhh massss"

Aku sengaja memainkan klitorisnya. Si johny tetap memompa, klitorisnya dalam penguasaan jari-jariku. Ia nampak kesulitan menahan tubuhnya. Terlalu nikmat mungkin. Vaginanya sudah tak karuan bentuknya.

"OOOOHHHHHHHHHHHH" vaginanya menyembur lagi. Ia squirt lagi.

Penisku terlepas. Kami ngos-ngosan. Tak lama, kumasukkan lagi penisku. Kugenjot lagi. Tempo kunaikkan. Ia masih dalam posisinya. Lebih cepat. Lebih cepat. Dan serrrrr. Lagi. Begitu terus kami ulangi. Lepas. Masuk lagi. Genjot lagi. Sembur lagi. Lantai sudah ikut banjir, seperti vaginanya. Begitu terus. Kami mengulanginya hingga 5 kali dan aku makin tak kuat menahan orgasme. Kugenjot lebih cepat. Tubuhku membungkuk, mencari-cari bibirnya. Kami berciuman meski agak kesulitan. Aku tak peduli ia squirt lagi atau tidak, aku harus segera mengeluarkan spermaku. Benar-benar kecepatan tinggi, posisi tubuh kami juga tak karuan.

"Oohhh Bu Dokter aahh" aku mulai mengerang

"Terus masss ohhhhh jangan dilepas"

"Kamu binal Ohhhh shhhh"

"Terus mass shhh aku mau pejuhmu ohhhh aku mau kontolmu ohhhh"

Aku tak mampu berbicara lagi. Fokus. Genjot. Genjot. Genjot. Ada yang ingin keluar sepertinya.

"Bu Dokter ohhhh Dokk aaah aahhh OOHHHHHHHHHHHH" kuhentakkan penisku. Aku tak peduli apakah ia nyaman atau tidak. Nafsu sudah tak karuan lagi. Pandanganku gelap. Aku goyah. Semoga saja tubuh ini tak ambruk.

"Masssssss Ohhhhhhhh" samar-samar kudengar ia juga berteriak. Mungkin ia orgasme juga, aku tak tahu.

Kami limbung. Entah bagaimana caranya, kami ambruk di sofa. Masih dalam posisi tadi, aku menindih Dokter Ara dengan ia membelakangiku. Penisku sudah lepas dari sangkarnya. Setelah itu, aku tak ingat apa-apa lagi.

Nampaknya kami tertidur setelah pertempuran yang melelahkan tadi. Aku membuka mata dengan sangat berat. Posisi kami sudah berubah. Masih membelakangiku, tapi ia tak kutindih lagi. Tubuh kami masih lekat, menelungkup. Setengah sadar, kukecup tengkuknya. Aku tak tahu ia sudah bangun atau belum.

"Mas, aku laper" ah ia sudah bangun ternyata.

"Jam berapa ini?" aku berusaha memulihkan kesadaran.

"Nggak tahu," ya memang tak ada alat penunjuk waktu di sekitar kami, dan terlalu malas untuk mengambil hape kami masing-masing.

"Lengket banget ya Dok" aku sengaja memancing candaan.

"Uh banget. Nggak tahu tuh kondisi kamar kayak gimana. Gara-gara kamu nih," ia mencubit lenganku.

"Aku? Siapa tadi yg bikin banjir?" aku menggodanya.

"Kamu! Kamu yang bikin aku banjir," ia kembali mencubitku.

Kami tertawa. Puas sekali rasanya. Ada pengalaman baru. Ada kenikmatan baru. Kami melampaui batas diri masing-masing. Aku tak menyangka bisa membuatnya squirt dan bertahan cukup lama dalam persetubuhan tadi. Ia pun begitu. Ternyata, selama ini ia penasaran dengan squirt dan selalu gagal saat mencoba. Baik sendiri maupun dengan laki-laki. Dan ia mendapatkannya dariku. Satu hal lagi yang dapat kubanggakan perihal kemampuan seksku. Membuat wanita squirt. Tapi kemampuan masih perlu uji coba lebih lanjut. Harus dibuktikan dengan wanita-wanita lain juga Hehehe.

Kami memutuskan keluar mencari makan. Tentu setelah mandi. Bayangkan, entah cairan apa saja yang ada di tubuh kami. Mulai dari keringat, air liur, hingga cairan vagina Dokter Ara. Dan memberi kesempatan kepada housekeeping apartmen untuk membersihkan kamar kami. Aku tak peduli apa yang ada di pikirannya. Pasti mereka juga paham.

Kembali ke hotel, kami memutuskan untuk tidur. Rasanya tak ada tenaga lagi untuk bercinta setelah habis-habisan petang tadi. Setelah dikalkulasi, 2 jam lamanya kami bercinta. Saling memuaskan, saling mencari kenikmatan. Selalu ada pengalaman baru ketika bersetubuh dengan Dokter Ara. Hari ini aku belajar membuatnya squirt, dan ini juga pengalaman pertama baginya. Kami juga mencoba posisi doggy style, yang ternyata cukup nikmat meski amat melelahkan. Apalagi dilakukan dengan setengah berdiri. Petualangan bersama Dokter Ara benar-benar menakjubkan.

Aku tak akan menceritakan lagi detil persetubuhan kami selama 2 hari kemudian. Kami justru hanya bercinta 2 kali setelahnya. Dengan variasi gaya yang sudah kami coba sebelumnya. Tidak ada yang baru, tapi kenikmatannya tetap luar biasa. Kami lebih banyak jalan-jalan menikmati Kota S dan bermesraan di kamar. Berbincang tentang apapun, kami mengenal diri masing-masing lebih dekat. Aku akhirnya tahu bahwa sebenarnya ia puas-puas saja dengan permainan seks suaminya. Namun ia memang tipe wanita petualang yang selalu ingin merasakan sensasi lain dalam bercinta. Suaminya juga mengakui betapa besar nafsu yang dimilikinya hingga seringkali kewalahan melayani. Aku rasa aku juga begitu jika jadi suaminya. Ia tak tahu apakah suaminya curiga atau tidak selama mereka berjauhan bagaimana Dokter Ara memenuhi kebutuhan biologisnya. Rutin seminggu dua kali mereka melakukan video call yang tentunya ada agenda saling memuaskan di dalamnya. Kata Dokter Ara, sebenarnya ia tak terlalu suka, tapi ini dilakukan untuk meminimalisir kecurigaan suaminya karena sang suami paham besarnya nafsu yang ia miliki. Hubungan yang aneh. Dan inilah pelampiasannya. Ia selalu mencari laki-laki lain untuk memuaskannya. Sayangnya aku belum berhasil mengorek lebih dalam siapa saja lelaki yang pernah menidurinya. Ia nampak ingin menyimpan rapat-rapat masalah itu. Kuhargai. Toh, aku telah mendapatkan tubuhnya, yang ternyata menakjubkan.

Hari Minggu kami kembali ke rumah. Kami berpisah di terminal bus di kota P. Ia menaiki mobilnya, sedangkan aku lanjut dengan bus yang lain. Setiap perpisahan aku selalu pasrah tentang pertemuan kami selanjutnya. Kalaupun tak pernah terjadi, pengalaman yang kudapatkan sudah luar biasa. Tapi tentu tetap berharap semua ini bisa terulang.

Kehidupanku terus berjalan. Begitu pun dengan Dokter Ara. Sesekali kami berkirim pesan tapi tidak terlalu intens. Hampir dua minggu setelah peristiwa di Kota S, aku kembali dikirim untuk dinas luar ke Kota J. Aku memang selalu kebagian tugas luar kota sendirian. Tapi sayangnya aku tak bisa mengajak Dokter Ara turut serta. Tiba di Kota J pagi hari, kegiatanku dipenuhi oleh pekerjaan sehari penuh. Aku belum tahu akan bermalam di mana. Sendiri ini, mau tidur di mana pun juga tak masalah. Siapa tahu juga dapat rezeki nomplok penginapan gratis beserta selimutnya. Namanya juga harapan. Aku tersenyum sendiri saat berpikir itu. Kotor juga pikiranku. Gara-gara keberhasilan menaklukkan Dokter Ara kini pikiranku seringkali mengarah ke urusan selangkangan. Ah kita lihat saja nanti.

Sore menjelang petang, akhirnya kegiatan usai juga. Kami bubar menuju penginapan masing-masing. Aku memutuskan turun juga, ruangan kami ada di lantai 4. Keluar dari lift, aku melihat sosok yang lumayan familiar. Jelas itu adalah wanita. Kalau laki-laki buat apa kuceritakan disini. Wanita yang cukup tinggi, kurus dan potongan rambut agak pendek. Sepertinya aku tidak salah. Ia salah satu rekan kerjaku di kantor, meski beda bagian.

"Loh Mas Awang, hayo ngapain disini?" ia menyapa lebih dulu. Kami memang cukup akrab, dan sering saling menggoda. Orangnya memang supel dan mudah akrab dengan siapapun. Sayangnya Ia bersikap seperti ini bukan hanya denganku saja.

"Ya jelas ngikutin kamu lah. Kan kasihan kamu nggak ada yang jagain," tenang, percakapan seperti ini biasa kami lakukan kalau sedang di kantor.

"Uwuwuw. Sok sweet," ia memasang wajah menggemaskan, lalu memukul lenganku.

Kami tertawa bersamaan. Nampak beberapa orang memandang aneh percakapan kami. Kalau orang yang belum tau dia, pasti berpikir aneh. Tapi aku, dan orang-orang di kantor sudah biasa dengan kelakuannya.

Namanya Tiwi, tidak usah kusebutkan nama lengkapnya. Gadis Bali yang tidak asli Bali ini memang cukup menyenangkan. Selain ramah, ia juga tidak canggung berkomunikasi dengan lawan jenis atau orang baru. Aku yang terhitung baru kenal juga cepat sekali akrab. Bahkan sudah sering saling menggoda. Usianya mungkin 2 tahun dibawahku, kami masuk hampir bersamaan di kantor dengan jalur penerimaan yang berbeda.

"Sampai kapan Wi disini?" kucoba basa-basi membuka pembicaraan lain.

"Kamis sih, tapi Jumat rencananya ambil dispen Hahaha. Kamu gimana?" jawabnya diselingi dengan tawa yang cukup renyah.

"Sama dong. Males banget kan kalau jumat harus masuk?" aku memang berencana begitu.

"Banget. Biarin lah kerjaan di kantor. Kan bisa dilanjut senin" ia kembali tertawa.

Ia memang baru saja di pindah ke bagian lain yang membuatnya kesulitan. Beberapa kali ia bilang jika kesulitan mengikuti ritme pekerjaan di tempat baru tersebut. Sampai-sampai wajahnya nampak stres dan kusut.

"Betul itu. Perlu refreshing kamu. Lihat itu wajah udah kayak cucian nggak kering," kugoda lagi Tiwi.

Ia memasang wajah sebal. Sejurus kemudian ia memukul lenganku lagi.

"Terus ledek terus. Gara-gara pindah bagian ini," ia nampak kesal sekali.

"Sudah-sudah. Nanti tak ajak jalan-jalan ke ragunan deh" kugoda lagi. Ia memang menggemaskan untuk digoda.

Wajahnya kian kesal. Ia memasang tampang marah padaku. Tentu itu bercanda, kami cukup sering melakukannya.

"Kamu sendirian? Nginep dimana?" kualihkan topik untuk mencairkan suasana.

"Iya nih Mas. Aku nginep di hotel F. Temenku pada nggak bisa semua ditumpangi, padahal biar hemat ongkos hehehe. Kamu nginep dimana?" aku bingung jawab apa, aku tak ingin menjawab kalau belum mencari tempat menginap.

"Loh kok sama. Mau ke hotel kapan?" insting bajinganku nampaknya mulai terlatih. Padahal aku belum pesan, entahlah kalau ternyata disana penuh. Dipikir nanti saja.

"Abis ini sih Mas. Aku udah dari kemarin kan nginep sana. Kamu baru hari ini?" ia nampak tak curiga.

"Iya. Baru datang tadi pagi juga. Mau kesana bareng? Tapi aku ke toilet dulu ya," aku mencari alasan untuk segera memeriksa apakah masih ada kamar yang tersedia dian hotel F.

"Boleh. Lumayan ada temannya. Ya sudah cepetan lo ya," lagi-lagi ia tak menaruh curiga.

"Siap boss!" aku bergegas ke toilet.

Kuperiksa aplikasi pemesanan hotel segera. Dan Voila! Rezeki memang tak kemana. Meski sepertinya harga kamar sedikit naik tapi tak apa demi satu hotel sama Tiwi. Dan menghindari malu juga sih.

Kuhampiri lagi Tiwi di lobi. Aku sudah menyelesikan pemesanan. Hidupku lebih tenang dan siap sepik-sepik si Tiwi lagi. Siapa tahu iseng-iseng berhadiah kan.

"Kesana naik apa nih?" kubuka pembicaraan.

"Taksi online aja kali yak?" ia menawarkan

"Ya sudah tak pesankan dulu," aku berlagak jadi pahlawan dong. Namanya juga laki-laki.

Tak berapa lama mobil pesanan kami datang. Setelah berpamitan dengan beberapa rekan yang tersisa, kami menaiki mobil dan menuju hotel F. Aku sih berharap ada sesuatu yang terjadi, tapi pasrah saja lah. Kalau pun tidak ada apa-apa, ya disyukuri saja.

Sampai di hotel F, proses cek in kami lakukan bergantian. Namanya rezeki memang tak kemana. Mungkin resepsionis hotel tahu isi hatiku dan memahaminya. Ia memberikan kamar di lantai yang sama pada kami berdua. Ingin kupeluk rasanya mbak-mbak resepsionis itu. Apalagi ia cantik juga.

Dengan langkah gontai kami menuju kamar. Menaiki lift yang sama, menyusuri lorong yang sama.

"Mas nanti kalau mau makan bareng dong, yayaya?" Tiwi membuka pembicaraan dengan wajah yang menggemaskan.

"Iya Tiwi cantik. Nanti agak maleman aja ya. Aku mau tidur dulu haha" kurang rasanya kalau tak menggoda gadis ini.

"Dih. Awas kamu nanti nggak bangun-bangun. Tak gedor-gedor pintumu!" wajahnya galak sekali kalau begini.

Kujulurkan lidahku, kutinggal ia memasuki kamar. Kamar kami berdekatan, hanya berjarak 2 kamar. Ada perasaan gembira, ada perasaan bingung juga. Memikirkan bagaimana caranya mendapatkan sesuatu dari Tiwi, si gadis Bali. Ah dipikir nanti saja. Aku mau tidur dulu.

Aku terbangun dengan mata yang berat sekali. Kuperiksa hape ternyata sudah jam 19.30. Wah ada beberapa pesan dari Tiwi dan 2 kali panggilan tak terjawab. Ku telepon balik Tiwi.

"Haloo. Sori ya mbak baru bangun nih," dengan nada memohon kuucapkan maaf dulu sebagai awalan.

"Woh dasar kebo. Dari tadi ditelpon juga. Aku laper nih. Jadi makan di luar nggak?" ia menjawab dengan sedikit kesal.

"Aku mandi dulu 5 menit. Abis itu caw,"

"Cepetaaaan"

Kututup telepon. Cepat-cepat aku mandi, ganti baju, pakai parfum seperlunya, dan menuju kamar Tiwi. Kuketuk pintunya. Tak ada jawaban. Sekali lagi kuketuk.

"Iya bentar Mas," suaranya terdengar keras dari sini.

"Mau makan dimana kita?" aku sedikit gelagapan, di depan mataku ia memakai tank top dibungkus cardigan tipis dan celana longgar selutut. Ia nampak modis sedangkan aku ala kadarnya. Dengan cepat kusembunyikan kekagetanku.

"Mas Awang ngebir nggak?" ternyata belum selesai kejutannya.

Rezeki apa lagi ini. Ada wanita cantik yang biasa kugoda di kantor, bercanda sekenanya, kini mengajakku untuk minum bir. Aku memang bukan peminum, tapi kalau ajakan datang dari wanita seperti Tiwi, apakah ada alasan yang tepat untuk menolak?

"Sebenarnya nggak sih, tapi karena kamu yang ngajak, ya ayo berangkat!" tetap kita harus jual mahal.

"Ah alesan. Yuk ah cabut!"

Sepertinya petulangan sesi berikutnya sudah dimulai nih. Kencangkan ikat pinggang, siapkan jurus terbaik.
Terima kasih apdetnya Om Suhu @johnykecil .....
 
Keren neh cerita, stlh bosan dg cerita dokter ara yg terlalu lama, akhirnya ada yg baru hehee
 
Thx updatenya om

Keknya bakal terungkap kemampuan baru Awang di update berikutnya.... :pandaketawa:
Kuat minum alkohol mungkin? :pandajahat::pandapeace:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd