Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Teh Euis (TAMAT)

11. Kejutan

Dalam gelegak nafas yang memburu, amarah Asep bergolak membuncah-buncah. Otot-otot dan urat pada lengan, leher serta dada remajanya menegang bertonjolan. Panas dari pusarnya menghangatkan seluruh otot-otot di badan hingga tubuhnya mengepulkan uap ketika tersaput hawa dingin halimun yang menyakitkan. Giginya berdecit dan gemeletuk menahan nafsu amarah yang tak menemui musuh untuk diluapkan. Didalam dadanya amarah itu mengental membentuk dendam yang keras bagai batu menyesakkan.

Didalam kepalanya teringat bagaimana nasib Teh Euis yang selalu lemah lembut memanjakannya dengan tulus hati ? Apa nasib Adang sang keponakan yang belum dapat melawan jika terjadi apa-apa pada dirinya ?

Sakit.
Sakit sekali hatinya.

Mengingat mereka berdua, Asep tak mampu lagi menahan perih dalam dada. Di kampung ini hanya ada mereka bertiga, tak ada sanak saudara atau orang tua. Hatinya menjerit memanggil sang abah, dia merasa gagal menjaga keluarga. Air mata mulai mengambang pada pelupuk mata.

Samar-samar didalam udara tercium sesuatu yang wangi, entah wangi apa, bunga-kah itu ? Asep menajamkan penciumannya. Wangi itu masuk kedalam hidung dan mengalir ke paru-paru menyebar di seluruh pembuluh saraf, sebuah wangi yang menenangkan memberi rasa nyaman. Tak mampu dicernanya wangi itu berasal dari apa, belum pernah wangi seperti itu dikenal dalam hidupnya. Dirinya berkonsentrasi memusatkan perhatian pada aroma itu, dan perlahan aroma itu semakin terasa kuat bahkan dirinya dapat menentukan arah sumber aroma tersebut.

Kakinya mulai bergerak perlahan menuju sumber wangi itu. Hidungnya mengendus-endus bak serigala mengendus musuh. Asep melangkahkan kaki menapaki rumput dan masuk kedalam gelapnya hutan. Wangi yang nyaman itu menuntunnya.

Sebentar-sebentar diangkatnya kepala lalu tengadah menghirup udara di sekelilingnya yang pekat oleh kabut. Setelah berhasil menentukan arah, kakinya melangkah lagi masuk lebih jauh kedalam hutan. Asep tak tahu bagian dari hutan yang dimasukinya, nampaknya adalah hutan tutupan yang belum pernah dijelajahnya.

Dari kejauhan nampak berkelebat sesuatu yang besar berkaki empat berekor panjang tebal. Sesaat dirinya kaget melihat kelebatan hewan berwarna hitam dengan mata hijau menyala itu. Tapi Asep menguatkan diri, jika dirinya harus menjadi santapan hewan itu biarlah dia mati demi mencari teteh dan keponakannya.

Kakinya kembali melangkah.
Macan hitam itu mengikuti dari balik bayang pepohonan dan rimbun dedaunan.
Bibir Asep menggumamkan sesuatu untuk menenangkan hati.

... lain ngusik ula mandi-na,
... lain ngahudang macan turu-na.

(tiada niat mengusik mandi-nya sang ular,
tiada maksud membangunkan tidur-nya sang macan)

Tetapi macan hitam itu terus mengikuti di sampingnya, di balik pepohonan.
Ketika Asep kehilangan arah atas aroma wangi yang diikutinya, macan hitam itu loncat ke satu arah seakan-akan menunjukkan jalan.

Ahh.... kamu menunjukkan jalan untukku rupanya.

Menyadari itu, Asep mulai berlari mengikuti sang macan hitam.
Masuk jauh sekali kedalam hutan di puncak Gunung Halimun yang terlarang.

Dia meloncati semak, melangkahi akar pepohonan yang saling berjalin di tanah, merangkak pada sela-sela pohon yang tumbang. Macan hitam terus berada di depannya.

Nafasnya terengah ketika macan itu diam merangkak perlahan seakan sedang mendekati buruan didepannya, memandang ke depan, ke sebuah gubuk di tengah hutan. Tak lama kemudian sang macan hitam menggeram lalu melompat hilang kedalam hutan yang kelam. Aroma wangi yang tadi menuntunnya pun sekarang tak tercium lagi.

Dari situ tahulah Asep, bahwa yang harus dituju adalah gubuk itu.
Gubuk yang berdiri tepat di samping sebuah mata air bening yang membentuk solokan, untuk kemudian mengalir berkilometer menuruni lembah, membesar menjadi sungai yang jatuh ke jurang sebagai dua buah air terjun yang bersisian.

Ini adalah sumber mata air Curug Panganten.




*******************


Seorang lelaki tua berbaju hitam dengan ikat kepala yang juga berwarna hitam bersila memusatkan panca indranya. Tangannya menyentuh air yang keluar dari mata air. Bergumpal-gumpal kabut yang dingin keluar dari mata air dan sepanjang solokan yang sedang disentuhnya. Kabut itu jauh lebih dingin dari Halimun Bajra yang biasa datang.

Lelaki tua itu menghentikan ritualnya yang baru saja tamat lalu wajahnya berpaling kearah sesosok tubuh yang tergeletak tak jauh darinya dalam kondisi kering bagai telah tersedot seluruh cairan tubuhnya. Tubuh lelaki berbaju hitam itu gemetar kedinginan, pada ujung-ujung kumisnya terdapat bulir-bulir air yang telah menjadi es.

Sang lelaki berbaju hitam bangkit dari sila, berjalan menuju gubuk melewati tubuh yang tergeletak mati dalam keadaan kering kerontang.

"Betapa beraninya kamu datang ke tempat ini, Ajum."

Lelaki itu puas melihat Hansip Ajum telah tewas akibat bertempur dengan dirinya.

"Tanpa seijinku, kamu berniat menambah kekuatan ilmu yang kau curi dariku." Desisnya dengan geram.

Lelaki berbaju hitam itu yakin bahwa Hansip Ajum yang telah mati tergeletak di tanah tak akan sanggup melawan dirinya lagi. Apalagi barusan dirinya telah melakukan ritual untuk menyerap tenaga lebih besar dari mata air Curug Panganten. Dia sadar bahwa ritual itu akan menimbulkan efek samping yang sepadan dengan yang telah diberikan. Tubuhnya telah mulai gemetaran dingin tak tertahankan. Tapi dia telah siap menerima efek sampingnya.

Dia ingat sesuatu yang akan dapat menjadi pengobat dari efek samping itu, dan itu membuatnya terkekeh. Segera saja dia melangkah masuk kedalam gubuk.

"Untung kamu membawa bekal pengobat efek samping ini, Ajum." Dan lelaki berbaju hitam itu terkekeh berkepanjangan.


Didalam gubuk, ada dua tubuh tergeletak. Yang satu adalah seorang perempuan berkulit putih dengan wajah cantik khas perempuan Sunda. Yang satu lagi seorang anak kecil berusia sekitar dua tahun. Dua-duanya tergeletak tak sadarkan diri pada bale-bale bambu.

Lelaki itu terkekeh lagi. Dia lalu mendekati perempuan cantik yang tergolek didepannya.
Rasa dingin yang dideritanya seketika mulai terhangatkan pancaran hawa hangat yang menguar dari tubuh perempuan cantik berhijab itu.

Euis... terpaksa kureguk kehangatan darimu.

Dengan gigi gemeletuk menahan dingin yang luar biasa akibat ritual tadi, lelaki tua itu rebah di samping tubuh Euis yang tak sadarkan diri. Tangan lelaki tua itu meraba wajah cantik Euis lalu menarik hijab crinkle warna putih yang tengah ia kenakan.

Euis... ngapain kamu sekarang pakai hijab segala, buka aja ya.

Dia tercekat melihat wajah cantik berkulit putih bening terpampang di hadapannya. Kulit tangan keriputnya yang hitam terlihat kontras di kulit putih bening dan kencang di wajah Euis. Dari wajah, tangan keriput itu turun ke bibir Euis yang memerah dadu dengan bentuk yang indah dan penuh daya tarik sensual.

Tangan itu terus turun ke leher jenjang yang menawan, lalu semakin turun merayapi dua bukit di dada Euis yang turun naik seiring dengan irama nafasnya yang teratur. Ditekannya sedikit bukit itu, terasa kenyal dan hangat. Akhirnya tangannya terus turun ke perut Euis yang rata, dan berhenti sesaat pada gundukan bukit dibawah perut. Kehangatan terasa amat kuat terpancar dari sana. Tetapi tangan sang lelaki tua itu terus turun ke paha hingga betis.

Dengan jarinya, dia menjawil ujung gamis yang tengah dikenakan Euis. diangkatnya perlahan keatas.

Glek

Ditelannya ludah, karena tak tahan ingin segera menggumuli perempuan cantik bertubuh langsing namun padat itu. Gamis Euis semakin terangkat memamerkan dua paha yang sangat sangat sangat indah.

Glek

Tubuh sang lelaki tua gemetaran, selain karena rasa dingin dari dalam tubuhnya sendiri, juga karena nafsu yang mulai terbit menagih kehangatan perempuan. Tangannya terus menarik ujung gamis itu hingga bagian terlarang Euis yang membukit terpampang. Akhirnya dengan cepat diloloskannya gamis yang dikenakan Euis melalui kepalanya. Tubuh itu setengah telanjang, menguarkan kehangatan, mengundang nafsu setan.

Dan sang lelaki tua segera membuka seluruh baju pangsi hitamnya hingga tak bersisa satu helai benangpun di tubuhnya yang hitam keriput. Satu bagian tubuhnya terlihat tegang, bergoyang-goyang. Dia pun akhirnya naik ke tubuh Euis, menindihnya dengan rapat.

Aaaaaaahhhhhh

Mulutnya mendesiskan kenikmatan yang dirasakan dari mengalirnya kehangatan dari tubuh perempuan muda beranak satu itu. Kulitnya yang kedinginan bersentuhan langsung dengan kulit di sekujur tubuh Euis yang begitu halus dan mulus memabukkan menularkan kehangatan.

Bibir lelaki tua itu monyong dan menghirup bibir Euis yang sedikit terbuka. Tak kuasa lagi menahan nafsu dan menahan dingin, lelaki tua itu menindihkan seluruh berat tubuhnya diatas tubuh Euis. Kedua lengannya masuk ke bawah tubuh Euis, memeluknya erat.

Dia begitu bernafsu mencumbu bibir Euis yang harum. Lidahnya menyelinap masuk dan bersentuhan dengan lidah Euis yang basah menggiurkan. Lidahnya mengait-ngait ke seluruh bagian, mereguk kenikmatan.

Kedua tangan yang berada di balik punggung Euis mencari kaitan, dan berakrobat membukanya. Beha putih Euis terlempar ke lantai tanah. Mulutnya sekarang bersarang pada payudara Euis yang besarnya tidak berlebihan, pendek kata besarnya pas dalam genggaman tangan lelaki dewasa. Kekenyalan buah dada Euis membuatnya tak henti henti menyucup puting payudaranya yang sebesar ujung kelingking.

Lama-lama puting payudara Euis yang berwarna coklat muda kemerahan menjadi keras memucuk tegang walaupun yang punya puting sedang tak sadarkan diri. Lelaki tua itu dengan gemas menggigitinya bergantian kiri dan kanan.

Secara berangsur-angsur perlahan, rasa dingin yang menggigitnya kini mengendur berkat kehangatan tubuh kencang Euis yang digumulinya dengan penuh nafsu. Dia makin tak kuasa menahan birahi yang memuncak dengan cepat.

Kecupan mulut lelaki tua itu turun ke perut Euis dan akhirnya tertegun pada selangkangan indah yang terbalut celana dalam putih polos berbahan poliester dengan satu bunga kecil di tengah karet pada bagian perut.

Mulutnya turun menempel ketat bagai lintah pada gundukan bukit selangkangan Euis yang memancarkan kehangatan paling kuat. Bahkan udara di sekitar selangkangan itu menjadi hangat dan masuk kedalam setiap hirupan lelaki tua keriput yang telanjang itu. Lelaki tua lintah darat itu menyedot habis seluruh sari-sari beraroma memabukkan pada sebuah celah yang merekah.

Birahinya tak tertahankan.

Dia merobek celana dalam Euis dengan satu hentakan yang kuat.

Oh Dewa...... mahlukmu ini begitu indah tak terduakan.

Matanya nyalang melihat paha Euis terkangkang, membuat gundukan lunak hangat itu terpampang sempurna.

Aaaaaaaaahhhhh......

Saking tak tahan lagi, tubuhnya yang baru saja mulai menghangat akhirnya merangsek memeluk tubuh telanjang Euis yang tergolek tak berdaya. Dengan berguling-guling seraya memeluk tubuh perempuan muda nan cantik dan mulus itu sang lelaki tua mendengus-dengus menyeruputi pucuk payudara Euis yang tegang. Tak ada seorangpun yang dapat mengganggunya dalam menikmati tubuh perempuan muda itu, pikirnya. Dia menggunakan waktunya secara tak terburu-buru.

Satu cupangan bersarang.
Dua cupangan dibuatnya.

Dipandanginya buah dada kenyal yang telah berhias dua cupang itu, dan dengan terkekeh dia membuat dua cupang tambahan pada payudara Euis yang satu lagi. Sang lelaki tua memuaskan diri bermain-main dengan tubuh padat kenyal perempuan tercantik di kampungya.

Setelah merasa cukup bermain-main memuaskan diri dengan tubuh perempuan itu, sebagian besar rasa dingin telah tergantikan oleh rasa yang segar dan hangat. Tinggal sedikit menggigil saja.

Sang lelaki tua terkekeh lagi lalu dibantingnya lagi tubuh Euis hingga telentang. Kedua kakinya menyelinap diantara paha Euis yang terkangkang. Dia mulai mencari-cari.

Ah...... heunceut si Euis empuk banget, batinnya ketika kepala kejantanannya yang tengah menegang menempel disana.

Lelaki tua itu bergoyang, pantatnya ke kiri dan kekanan berusaha mengepaskan kepala kejantanannya yang sudah teramat sensitif pada bibir kemaluan euis yang terbuka. Setelah ditemukan posisi yang pas, dia mulai sedikit menekan.

Aduuuuuh..... baru di permukaan heunceutnya saja perempuan ini begitu nikmat.

Aaaaaaaaah.....

Di usianya yang lebih dari 60 tahun, kalau diingat-ingat maka sudah lama sekali dia mendapatkan perempuan semuda Euis. Sudah puluhan tahun lamanya. Hal itu membuat dirinya tak mampu mengontrol diri.

Lelaki tua itu menekan.
Kepala kejantanannya yang membonggol menyelinap.

AAAAAAAAAAAaaaaaahhhh...

Euiiiiiissss aku ngga tahan dengan nikmat heuncetmu......

Belum lagi dia menekan dengan penuh, baru sedikit dari kepalanya yang masuk ke celah yang nikmat itu, gelombang puncak menghampirinya.

Sang lelaki tua berusaha bertahan, rasanya terlalu sayang kalau sampai dia hancur berantakan dibuat KO hanya karena kepala kejantanannya masuk satu senti saja disana.

Dia berjuang bertahan, tetapi usianya tak mampu lagi menerima kenikmatan yang terlalu luar biasa dari daging yang masih muda nan segar.

Dia berkerenyit diam bertahan, tak mampu bergerak.

"AKI-AKI CABUL..... !!!!" Sebuah suara membentaknya hingga dirinya kaget. Tetapi lelaki tua itu bimbang antara melepaskan tubuh Euis untuk melihat sumber bentakan itu atau terus mereguk puncak kenikmatan yang sedang berjuang ditahannya.

Terdengar suara berkesiur.
Lelaki tua itu akhirnya melepaskan tubuh Euis dengan enggan untuk menyambut serangan.
Tubuhnya loncat dan memasang kuda-kuda dalam keadaan bugil dan kejantanannya bergoyang. Ada penyesalan dalam dirinya karena tidak sempat menuntaskan mereguk puncak kenikmatan yang mungkin tak akan pernah lagi ditemui sampai akhir hidupnya.

Plak !

Tangan kirinya menahan serangan sebuah tendangan dengan membuangnya kearah kiri. Tendangan itu terbuang tetapi dilanjutkan dengan serangan kaki satunya lagi yang mengarah pada selangkangannya yang terbuka. Penyerangnya mengikuti hempasan tenaga dari tangan kiri lelaki tua itu dengan menjatuhkan diri sambil memasukkan kakinya yang satu lagi.

Tapi...

Plak !
Lelaki tua itu berhasil melindungi dirinya dengan menggunakan tangan kanannya. Penyerangnya bergulung ke belakang lalu dengan anggun berdiri memasang kuda-kuda dengan dua tangan melindungi dada.

"Pak Tua Kampung !!!!"
Asep kaget melihat siapa yang tengah menggumuli tetehnya yang tak sadarkan diri dalam keadaan bugil.

Tua Kampung tak menjawab, karena dia juga kaget melihat Asep berhasil sampai ke tempat ini tanpa bantuan siapapun.

"Apa yang sudah bapak perbuat sama Teh Euis ???" Asep meluapkan amarahnya.

"Belum sampai apa-apa... keburu kamu datang." Tua Kampung menjawab dengan kesal.

Sekilas Asep melirih pada Teh Euis yang telentang dengan kaki mengangkang.

"Kamu mau... Sep ? kita bisa hentikan gelut ini dan sama-sama menikmati tetehmu." Tua Kampung berusaha negosiasi.

"Setan !" Seru Asep.

"Jangan pura-pura, Sep. Aku tahu kamu butuh perempuan akibat ilmu yang kuberikan." Pak Tua terkekeh membayangkan berdua Asep berbagi daging segar yang hangat.

Tapi Asep tak sudi.

"Bejat !" Teriaknya sambil loncat penuh amarah melayangkan satu pukulan 'Banteran' yang luar biasa cepat ke arah muka Tua Kampung. Tetapi Tua Kampung bukanlah orang sembarangan, dirinya telah malang melintang makan asam garam di dunia pergelutan. Dengan satu tangan diterimanya serangan Asep sambil terkekeh kekeh.

"Kamu belum coba nikmatnya heunceut tetehmu... Sep." Katanya sambil beradu tenaga dengan Asep di tangan.

Bluk.

Tubuh kurus Tua Kampung terdorong ke belakang dan terjengkang di bale-bal dimana ada Teh Euis terlentang dengan posisi menantang. Tangannya Pak Tua terasa sakit.

"Haram Jadah !" Makinya.

Anak ini luar biasa, desisnya dalam hati.

Asep mengalami hal yang lebih parah. Tubuhnya mencelat jauh ke belakang menabrak dinding bambu dan membuat dinding bambu berpatahan. Gubuk tua berkreotan dibuatnya.

"Hekkkkkk....." Nafas Asep tertahan di dada. Seluruh tubuhnya sakit. Dengan lengan kanan diusapnya mulutnya yang hangat. Merah darah.

Tak ingin menyerah, dia bangkit lagi dan tanpa banyak bicara tubuhnya loncat kembali melayang dengan kaki terarah ke leher Tua Kampung yang juga telah memasang kuda-kuda.

BLUG !

Tua Kampung kembali terdorong ke belakang, dirinya belum sepenuhnya siap memasang kuda-kuda.

Blek. Tubuhnya terduduk pada bale-bale, menimpa tubuh Euis dengan cukup kuat.

"Hekkkk...." Teh Euis terhenyak karena hentakan tubuh Tua Kampung pada dadanya. Badan Teh Euis menggeliat.

Tua kampung langsung berdiri lagi, dia sudah merasa cukup melawan Asep secara fisik. Walau bagaimanapun tenaga fisiknya yang sudah aki-aki tak akan mampu bertahan cukup melawan tenaga remaja Asep yang luar biasa.

"Bedebah." Gumam Asep, merasa puas telah mendaratkan serangan kaki dengan telak.

Tua Kampung berdiri dalam posisi kuda-kuda mendatar, lutut ditekuk dua-duanya sejajar, tubuh agak turun, kedua kepalan tangan berada di pinggangnya menekan bagian pusar. Dari mulutnya dia membacakan sebuah mantra.

Seketika ruangan didalam gubuk itu menjadi dingin menusuk tulang.

Teh Euis menggeliat lagi lalu matanya terbuka. Demi menyadari dirinya telah tak berbusana sedikitpun maka dia langsung duduk meringkuk sambil matanya memandang ke arah dua lelaki yang sedang saling serang. Matanya terbuka lebar penuh rasa takut. Dilihatnya Pak Tua Kampung tak berbusana sedikitpun seperti dirinya, dan secara naluri Euis langsung memeriksa tubuhnya terutama pada bagian selangkangan. Tak dirasa ada sesuatu cairan kental disana. Dirinya agak merasa lega. Dia kembali duduk meringkuk menutupi tubuh telanjangnya dengan kedua tangan.

Di ujung sana dia melihat adiknya tengah memasang kuda-kuda, dari bibirnya terlihat darah segar mengalir.

"Asep !!!!!" Teriaknya khawatir akan keadaan adiknya yang tersayang.

Yang dipanggil tak menjawab.

"Huaaaaahhhhhh !" Dengan satu teriakan nyaring, Tua Kampung mendorong kedua tangannya dari pinggang ke arah depan. Dua telapak tangannya terarah ke dada Asep.

Asep berusaha melakukan gerakan suliwa untuk membanting dua tangan Tua Kampung yang sedang meluncur deras ke arah dadanya.

Bukkk.

Tangan Asep bagaikan beradu dengan tembok beton yang tak mungkin dihancurkan. Gerakan suliwa yang dilakukannya berantakan, sementara dua telapak tangan Tua Kampung terus meluncur dengan deras.

DUGGGG ! pukulan dua telapak tangan yang dingin menerpa dada Asep.

"Aaaaaaaaahhhhh....." Tubuh Asep tak mampu bergerak terkena pukulan dingin. Dadanya serasa beku sampai bernafaspun sulit dilakukan. Rasa dingin yang luar biasa menyebar dari dadanya ke seluruh tubuh. Tubuh Asep mulai membiru beku. Tak mampu bergerak.

"Hahahaha.... cicak mau ngelawan buaya." Ledek Tua Kampung.

"Uwooook......" Asep terbungkuk lalu memuntahkan darah segar yang langsung membeku di lantai tanah.

Tua Kampung tak memberi ampun, dia merangsek dengan serangan lututnya yang juga dingin.

BUGGGGG ! Tendangannya bersarang di perut Asep yang sedang terbungkuk.

"Hoekkkkkkk !" Asep kembali muntah darah begitu banyak.

Tendangan itu membuat tubuhnya tambah membiru. Asep terjengkang ke belakang lalu terjatuh dengan posisi telentang. Tak sadarkan diri.

"Cucungah siah !" Pak Tua Kampung mengeluarkan makian. Melihat Asep tak mampu lagi melawan, dirinya memasang sikap dua tangan didepan sambil menggumamkan rajah pamunah sebagai penutup agar ilmunya kembali masuk bersarang di tubuhnya.

Tua Kampung akhirnya tertawa terkekeh sambil menghampiri Euis yang meringkuk.

"Jangan Pak... ampun...." Euis memohon, tapi permohonannya tak didengar Tua Kampung.

Dengan satu hentakan, tubuh Teh Euis yang telanjang didorongnya hingga terkangkang. Tua Kampung sendiri langsung menerkam, menindih Teh Euis yang tak mampu melawan.


*********************

Asep membuka mata.

Dirinya ada di sebuah pinggiran hutan di tepi pantai. Beberapa orang dalam pakaian celana hitam sebatas lutut dengan kain batik tersampir di pinggang sedang duduk dengan kepala tunduk di hadapan seseorang yang bertelanjang dada. Orang itu mungkin berusia belum terlalu tua, berkumis tebal dan berjanggut rapi memancarkan wibawa. Orang itu begitu gagah walaupun dia sedang duduk pada sebuah tunggul pohon yang tumbang, satu tangannya di pinggang. Namun raut wajah orang itu memancarkan kesedihan yang begitu dalam.

Asep tak mengerti, sedang berada dimana dia ? Padahal baru saja dia menerima serangan beruntun dari Tua Kampung yang membuatnya muntah darah dan tak sadarkan diri.

Lelaki gagah itu sedang berbicara pada orang-orang yang duduk menekung di bawahnya.

(pun sapun....
ka para karuhun,
kula neda pangampura,
deuk nginjeum ngaran,
dina ieu carita.
Pun !
*Maaf saya mohon izin dulu sebelum melanjutkan tulisan)



Lelaki gagah itu berbicara dengan suara yang serak dan berat, penuh kesedihan :

Sakabéh turunan dia ku ngaing bakal dilanglang.
Tapi, ngan di waktu anu perelu.
Ngaing bakal datang deui,
nulungan nu barutuh,
Mun ngaing datang
teu ngarupa teu nyawara,
tapi méré céré ku wawangi.



Artinya :
Semua keturunan kalian akan kukunjungi
Tapi hanya di waktu yang mendesak
Aku akan datang lagi
menolong yang sedang memerlukan
Kalau aku datang
tanpa rupa tanpa suara
tapi memberi tanda dengan keharuman yang wangi



Selesai berbicara, orang itu memalingkan wajah ke arah Asep yang tak mengerti berada dimana dan siapa yang sedang berbicara.

Mereka berpandangan.

Asep tak sanggup beradu pandang sorot mata yang penuh wibawa.
Dirinya tertunduk seakan tersedot kedalam bumi
Tersedot.....

Dan Asep membuka mata. Dia telentang di dalam gubuk.
Samar-samar didengarnya suara Teh Euis memohon ampun.
Samar-samar juga hidungnya mencium sesuatu yang wangi.
Persis seperti keharuman yang menuntunnya ke tempat ini.
Wangi itu menyegarkan tubuhnya yang sedang kepayahan.

Dengan satu tarikan nafas, Asep berkonsentrasi lalu bangkit berdiri. Dua tangannya menekan kedua pinggang membangkitkan tenaga yang terpendam jauh didalam. Sambil berjalan perlahan, Asep menghampiri dua tubuh yang sedang bergumul di bale-bale.

Satu tangan Asep terangkat di udara.

"PAEH DIA !" Teriaknya sambil menghentakan satu pukulan sekuat tenaga.

BUGGGGGG !

Pukulan itu tepat mengenai tengkuk Tua Kampung yang tengah menindih Teh Euis dengan rapat, berusaha mempergasa.

"Hekkkk...." Tua Kampung yang tengah diselimuti nafsu langsung roboh, pelukannya di tubuh Teh Euis terlepas.

Teh Euis langsung bangkit berdiri dan berlindung dibalik tubuh Asep yang sedang berdiri dengan gagah.

Tua Kampung yang cabul tak bangkit lagi.

"Asep... !" jerit Teh Euis.

Tapi tenaga Asep hilang sudah ketika itu. Tubuhnya juga rubuh di lantai tanah tanpa daya. Dua serangan yang tadi diterimanya dari Tua Kampung masih menyisakan dingin yang menyiksa. Asep terluka dalam, yang kalau menurut istilah dari Kho Ping Ho adalah Amsiong.


**********


Euis memandang punggung orang-orang yang baru saja pulang. Para tetangganya setiap malam datang untuk sekedar menengok kondisi Asep yang telah tiga hari tak sadarkan diri. Luka dalam yang diderita oleh Asep membuat tubuhnya tak berdaya. Untunglah malam itu Asep masih bisa memaksakan diri berjalan dengan dipapah oleh Euis yang menggendong Adang untuk keluar dari hutan tutupan. Mereka tersaruk-saruk sepanjang malam berusaha pulang.

Luka luar dan luka dalam serta sisa tenaga yang tinggal sedikit membuat Asep rubuh tak sadarkan diri tepat di pinggiran kampung. Para penduduk kampung membantu mereka untuk pulang ke rumah dengan cara menggotongnya bersama-sama. Penduduk seakan tak percaya bahwa Hansip Ajum dan Tua Kampung ternyata dua orang yang telah berbuat jahat demi kesempurnaan ilmu Halimun Bajra.

Teh Euis merawat Asep selama tiga hari itu nyaris tak lepas dari sampingnya. Tak disadari oleh Euis bahwa tangannya yang selalu memegang telapak tangan Asep yang terluka parah mampu mengalirkan hawa hangat yang teramat dibutuhkannya untuk mementahkan hawa dingin yang membekukan tubuh Asep.

Teh Euis menutup pintu rumah dan menggendong Adang masuk ke kamar.

"Adang... yuk bobo..." Katanya sambil menidurkan adang di ranjang, bersebelahan dengan Asep. Euis juga merebahkan diri di samping Asep.

"Asep.... cepatlah sembuh...." Katanya sambil memeluk tubuh adiknya yang belum juga sadarkan diri.

Pelukan Euis kembali mengalirkan hawa yang hangat.

Mata Asep terbuka.

"Asep... !" seru Euis, dirinya gembira melihat Asep akhirnya sadar.

Asep terbatuk-batuk lalu menarik nafas panjang.

"Teteh...." Katanya. "Adang selamat ?"

Euis begitu terharu pada perhatian adiknya yang dalam keadaan terluka parah masih menaruh perhatian begitu dalam pada Adang padahal dia baru saja tersadar setelah tiga hari pingsan. Euis juga merasa sangat berhutang budi pada Asep yang mau mengorbankan diri demi menyelamatkannya dari sepak terjang dua aki-aki cabul yang berilmu tinggi.

"Jangan khawatir Sep... kita semua selamat, berkat pertolongan kamu." Kata Teh Euis sambil memeluk Asep lebih erat.

"Teteh bikinin teh manis hangat ya." Euis langsung ke dapur dan membawa segelas teh hangat yang manis.

"Nih minum dulu biar kuat."

Asep nurut, dengan susah payah dia duduk lelu menyeruput teh hangatnya.

"Asep... kamu teh punya ilmu kaya gitu dari mana ?" Teh Euis tak sanggup menahan kepenasaran yang sudah dia tahan beberapa hari.

"Kamu meni hebat sep, teteh mah ngga nyangka."

Dengan didahului tarikan nafas panjang, Asep menerawang ke langit-langit lalu dengan pelan-pelan menceritakan hal-hal yang dialaminya.

"Gustii... ngga nyangka ternyata Hansip Ajum yang selama ini kita sangka sebagai Sandikala yang meneror kampung kita teh. Ih pikasebeleun." Teh Euis bersungut-sungut menyatakan kekesalannya.

"Tapi alhamdulillah berkat kamu, mereka berdua sudah tewas." Teh Euis makin bangga pada adiknya.

"Jadi, ilmu itu harus kamu buang Sep. Ilmu jahat itu mah kalau menuntut pemiliknya untuk memuaskan diri dengan tubuh perempuan." Kata Teh Euis lagi.

Asep menganggukkan diri, bertekad untuk membuangnya saat telah sembuh nanti.

"Terus kamu waktu pertama baru diisi ilmu jahat itu kok bisa bertahan ?" Teh Euis penasaran.

"Asep nyaris ngga tahan Teh, Asep waktu itu hampir saja lupa diri melakukannya pada teteh. Untungnya Asep keburu sadar, dan Asep terlalu sayang sama teteh." Asep menumpahkan pengakuan dosa nya pada teh Euis.

"Ih Asep.... teteh jadi tambah sayang sama kamu." Teh Euis memeluk lagi Asep dengan tambah erat, tambah bangga pada adiknya, dan bersyukur punya adik yang sangat menyayanginya.

"Ya udah sekarang Asep istirahat lagi sambil dipeluk teteh biar lebih cepat sembuh atuh." Teh Euis menawarkan diri untuk memeluk Asep setelah mengerti bahwa Asep butuh kehangatan dari tubuh perempuan.

Tapi ternyata kesembuhan tak kunjung datang. Waktu telah berlalu beberapa minggu dan Asep masih tetap berbaring di tempat tidur. Luka dalam yang dideritanya tak kunjung membaik, padahal hampir setiap waktu dia memeluk tubuh adiknya itu untuk memberikan kehangatan. Batin Euis menangis memikirkan bagaimana kalau Asep seperti ini terus seumur hidupnya ? cacat karena serangan Halimun Bajra ?

Tepat jam 12 malam saat itu ketika Teh Euis masuk ke kamar. Telapak tangannya membawa sesuatu di nampan.

"Asep.... Selamat Ulang Tahun ke 17 ya." Teh Euis menghampiri Asep di ranjang.

"Eh si teteh mah.... jadi ngerepotin begini." Tak disangka oleh Asep bahwa di ulang tahunnya yang ke 17 tetehnya membuatkan kue ulang tahun. Dia sebagai laki-laki jadi malu dipperlakukan seperti ini.

"Tapi ngga pake lilin Sep, teteh lupa beli." Kue itu ditaruhnya di pangkuan Asep yang telah duduk bersandar pada dinding.

Teh Euis naik ke ranjang, duduk berhadapan dengan Asep. Dipotongnya kue lalu sambil bercanda-canda menyuapi kue itu ke mulut Asep dan sesekali ke mulutnya juga.

Setelah habis satu potong, Teh Euis bertanya.
"Asep masih mau kuenya ?"

Asep menggeleng.
"Cukup teh, terima kasih."

Teh Euis menyingkirkan kue ulang tahun ke bagian ranjang yang jauh dari mereka. Teh Euis kembali ke depan Asep lalu duduk sambil memeluk lututnya dengan kedua tangan. Mata Asep langsung menangkap pemandangan didepannya karena daster Teh Euis langsung tertarik sampai ke pangkal paha. Asep menelan ludah melihat paha Teh Euis yang mulus bening sampai celana dalamnya terlihat.

Teh Euis juga melihat arah tatapan Asep yang sesaat melihat ke selangkangannya yang terbuka, dan akhirnya dia bersila dan merapikan dasternya agar tak terbuka lagi. Mereka jadi rikuh serba salah. Asep malu karena tertangkap basah melihat selangkangan Teh Euis yang terbuka, sementara Teh Euis juga malu.

Tapi malu kenapa ? pikirnya. Asep sudah melihat dirinya bugil tanpa sehelai benangpun sewaktu di pondok hutan. Asep juga sudah melihat dirinya digumuli aki-aki cabul itu walaupun tak berhasil mempergasanya.

Euis jadi ingat hutang budi yang luar biasa pada Asep. Entah bagaimana cara membalas itu semua. Menyembuhkan Asep saja dia tidak bisa.

Tidak bisa ? Tanyanya dalam hati.

Euis merenung cukup lama.

Aku bisa menyembuhkan Asep, katanya lagi dalam hati.

Dia merenung lagi mempertimbangkan.

Mereka berdiam diri lagi.

"Asep.... teteh janji ngasih hadiah buat kamu kan ?" Tatapnya pada adiknya.

"Ngga usah dipikirin teh, Asep mah ngga butuh hadiah." Jawab Asep.

Teh Euis tertawa kecil lalu "Kamu rebahan lagi Sep. Biar teteh peluk lagi sampai kamu sembuh." Katanya.

Asep rebah lagi.

"Adang dimana, Teh ?"

"Ada, tidur di kasur kamu di depan." Kata Teh Euis sambil bangkit dari ranjang dan berdiri di lantai papan.

"Oooh gitu, tidur sendirian atuh." Asep masih memikirkan Adang, matanya belum melihat Teh Euis yang sedang berkutat membuka kancing dasternya.

Perlahan daster itu ditariknya keatas hingga lolos dari kepala. Teh Euis berdiri mematung, Asep terbelalak dan tercekat tenggorokannya tak mampu berkata-kata.

Dalam temaram lampu pijar 5 watt berwarna kuning, tubuh Teh Euis berkilatan ditimpa sinar redup dari lampu di kamar. Mata Asep seakan ingin keluar mencelat dari lobang matanya.

Dalam usianya yang 27 tahun, Teh Euis sedang cantik-cantiknya. Cantiknya bukan cantik seperti artis ibukota, melainkan cantik yang matang khas wanita Sunda di kampung yang sederhana namun tak kalah menariknya dengan perempuan kota.

Teh Euis senyum sambil matanya mengerling pada Asep, ada rona merah yang tak terlalu kentara pada pipinya. Sederet giginya yang putih dan rapi membuat wajahnya menjadi tambah menarik. Beberapa waktu lalu Asep pernah mengambil foto Teh Euis yang sedang tersenyum seperti ini pada saat Teh Euis malu-malu menyumbangkan lagu pada acara adat syukuran panen. Suara Teh Euis merdu sekali kalau nyanyi. Asep masih menyimpan foto itu di handphone-nya.


Senyum dan tawa Teh Euis yang bersemu malu itu malah membuat Asep makin tercekat di tenggorokannya.

Glek

"Ih Asep meni gitu ngeliatnya." Teh Euis tertawa kecil sambil melempar daster yang baru saja dilepasnya ke wajah Asep. Daster berbahan satin halus itu nampol wajah Asep, lalu jatuh di pangkuannya. Asep masih melotot dengan mulut menganga.

Coba lihat itu dadanya yang cukup besar itu mumbul keatas tertekan oleh beha warna marun. Sembulan dadanya yang membukit mengkilap tertimpa cahaya lampu kamar, menggambarkan kepadatan yang membuat lelaki manapun ingin segera meremasnya. Asep hanya sanggup meremas seprai di kasur tanpa dapat berkata-kata, bahkan menutup mulutnyapun dia lupa.

Tangan lentik Teh Euis yang mengenakan gelang berwarna merah meraih ke balik punggungnya. Teh Euis kembali melemparkan beha warna marun ke muka Asep yang masih saja nganga seperti anak kurang gizi. Beha itupun jatuh di pangkuan Asep tepat diatas daster yang tadi.

Tubuh ramping Teh Euis dengan perut yang begitu rata walaupun sudah melahirkan, sangat serasi dengan dua buah dada indah yang menggelayut seiring gerakan tubuhnya yang baru saja melempar beha. Putingnya sebesar ujung kelingking, berwarna cokelat muda memerah jambu. Lingkaran areolanya berwarna cokelat lebih muda lagi cenderung pink, sangat berpadu manis dengan daging buah dadanya yang putih bersih tak bernoda.

Teh Euis melangkah mendekati ranjang dimana Asep sedang duduk bersandar di dinding sambil terbengong-bengong. Pinggulnya montok oleh sedikit lemak yang setiap lelaki manapun tua maupun muda tak keberatan dengan lemak itu karena pinggulnya jadi terlihat empuk lunak namun kenyal. Pinggul itu melenggok dengan hanya sepotong celana dalam yang juga berwarna marun.

Bidadari dari manakah yang sedang turun dari langit ?

Teh Euis naik ke ranjang, melemparkan daster berikut beha dari pangkuan Asep dan langsung duduk di pangkuannya.

"Teteh......" panggil Asep tanpa tahu harus berkata apa.

"Sssh..... jangan bicara...." Jawab Teh Euis sambil menundukkan wajah dan menempelkan bibirnya yang membulat ke bibir Asep yang nganga.

"Hmmpppp...." Bibir Asep tertimpa bibir sensual Teh Euis yang lalu menyedot bibir bawahnya.

Nafas Teh Euis harum sekali dan begitu menghangatkan.

Dua gumpal daging lunak menempel lekat di dada Asep. Begitu juga buah pantat Teh Euis yang empuk terasa hangat pada kejantanan Asep yang tengah membuat sebuah tenda ukuran pleton di celana.

Tangan Teh Euis melingkar di leher Asep yang tengadah menikmati kecupan bibir Teh Euis.

"Teh....." Desah Asep di sela-sela bibir ranum basah Teh Euis yang terus mengecupi bibir bawahnya.

"Sssh..... biar Asep sembuh....." Bisik Teh Euis.

Tubuh Teh Euis sekarang bergerak menggeliat meliuk turun naik membuat gumpalan dadanya menggeseki dada Asep. Jemari Teh Euis merayap membuka satu persatu kancing kemeja yang dikenakan Asep. Dan gumpalan hangat itu melekat di dada telanjangnya. Kulit yang begitu halus menempel pada kulitnya. Asep bergetar.

Teh Euis menggeser pantatnya sampai ke paha Asep sehingga dua payudara lunaknya menekan kejantanan Asep di balik celana yang nyaris tak muat lagi karena kejantanannya begitu membengkak. Kecupan bibir hangat Teh Euis turun ke dada Asep yang terdengar berdetak dengan kencang.

Asep merasakan geli-geli yang nyaman atas elusan dari ujung-ujung rambut Teh Euis yang jatuh menimpa perutnya yang mengencang menahan rasa yang luar biasa. Tangan Asep bergerak dan hinggap di kepala Teh Euis lalu mengelus rambutnya dengan penuh perasaan.

Mimpi apa Asep semalam ?

Tubuh kenyal yang diimpikan sekian banyak lelaki desanya itu kini berada di pelukan. Tak disangka-sangka Aseplah yang akhirnya kejatuhan rejeki dapat menikmati kehangatannya. Seluruh tubuh Teh Euis begitu halus bahkan kulit punggungnyapun terasa amat halus di telapak tangan. Pantas saja Hansip Ajum dan Tua Kampung sampai tergila-gila mempertaruhkan kewibawaan demi menikmati tubuh ini.

Asep masih ingat betapa melototnya Atoy melihat dada dan pantat Teh Euis. Apa kabar kamu Atoy ? silahkan Anah untukmu saja karena di pelukanku sekarang ada seorang wanita dewasa yang matang dengan segala kelebihannya.

"Nggggghhhhhh....."
Asep melenguh keras karena ada sesuatu yang lunak dan hangat menyelimuti kejantanannya. Waktu dilihat ke bawah ternyata Teh Euis sudah berada disana, ritsluiting celana pendeknya telah terbuka dan bibir ranum Teh Euis sedang menyelomoti kepala kejantanannya.

Menurut para pemuda kampung yang sering bercanda dengannya, rasanya seperti dicabut nyawa kalau sedang diselomoti. Tapi menurut Asep, rasanya seperti melayang jatuh dari awang-awang membuat hatinya 'nyesss'. Terutama saat lidah lunak Teh Euis bergerak melingkari kepala kejantanannya. Asep hanya dapat meremas seprai sewaktu menikmati rasa geli yang luar biasa namun disertai kenikmatan yang luar biasa pula. Pantat Asep sampai mengempot-ngempot tak karuan, ngilu-nya minta ampun.

"Teeeh... geliiii...." Desahnya.

Mendengar itu, Teh Euis bukannya berhenti tetapi langsung menelan kejantanan Asep hingga tembus ke tenggorokannya yang sempit. Tubuh Asep bergetar dibuatnya.

"Ahhhhhhh......" Desah Teh Euis seraya mencabut kejantanan Asep dari mulutnya.

"Ngga panjang tapi gede banget Sep...." Kata Teh Euis sambil memandang Asep dari bawah sana.

Asep hanya nganga.

"Kamu belum pernah ?" Tanya Teh Euis lagi.

Asep menggeleng lemah.

Dilihat dari atas begini, wajah Teh Euis sungguh cantiknya. Pantatnya yang berbalut celana dalam warna marun mumbul keatas seperti biola.

Teh Euis menyampirkan rambut yang jatuh ke wajahnya dan memegang rambut itu di bahunya. Sambil bertatapan dengannya, Teh Euis membuka bibir dan.... kejantanannya masuk perlahan memenuhi mulut Teh Euis, dan terus masuk kedalam hingga tenggorokannya lagi.

Asep kembali jatuh melayang di awang-awang. Pantatnya mengangkat-angkat sambil mengempot-ngempot tersiksa dalam kenikmatan. Tubuh Asep basah oleh keringat, padahal dia hanya duduk diam tak bertenaga.

Teh Euis menghentikan selomotannya lalu sambil tetap nungging tangannya beregerak melepaskan celana dalam marun. Sambil menatap matanya, Teh Euis tersenyum maniiiiiis sekali. Tubuhnya merayap mendekati Asep lalu memeluk lehernya.

Pantat kenyal Teh Euis turun. Ujung kejantanan Asep menyentuh sesuatu yang lunak, licin dan hangat.

Inikah rasanya kemaluan perempuan ? Pantas saja sampai banyak lelaki melupakan segala harta benda dan jabatan demi perempuan. Padahal, Asep baru menyentuh luarnya saja tapi rasanya sudah seperti didalam surga.

Tangan kanan Teh Euis turun kebawah, memegang batang kejantanan Asep yang keras. Kejantanannya dioles-oleskan pada sebuah celah yang licin hangat. Kaki Asep berkejat-kejat tak kuat menahan rasa nikmat.

Setelah dirasa pas, Teh Euis menekan pantatnya.

Perlahan kepala kejantanan Asep yang sudah sangat sensitif itu melesak kedalam celah yang lunak.

Teh Euis berhenti sesaat waktu kepala kejantanan itu sudah melesak. Pantatnya ditarik lagi sampai kejantanan Asep keluar dari celah nikmatnya. Kejantanan Asep meronta-ronta di tangan Teh Euis yang terus memegangi, karena ingin segera masuk lagi.

Pantat Teh Euis menekan lagi, dan kejantanan Asep melesak lebih dalam. Saluran vagina wanita itu konon katanya mencengkeram dengan erat batang lelaki sampai keenakan, tapi nyatanya sekarang Asep baru tahu kalau itu tidak tepat.

Yang lebih tepat adalah bahwa kemaluan Teh Euis diawali dengan dua daging empuk di kiri kanannya membentuk gundukan empuk. Begitu empuknya sampai Asep merasa kalau empuknya mirip dengan lidah yang tadi menyelomoti dirinya. Licinnya juga sama, karena ternyata cairan seorang wanita akan membuat seluruh bagian dalam vaginanya menjadi lembab bahkan kelembaban itu akhirnya turun menetes di kedua daging empuk tadi dalam bentuk lelehan lendir bening.

Pada saat pantat Teh Euis menekan, maka kejantanan Asep merasa ada sebuah pintu yang terbuat dari otot kencang menyambutnya, menjepit leher kejantanannya yang dipenuhi jaringan syaraf sensitif.

Menekan lagi lebih dalam, maka ada sebuah saluran yang teramat licin menyelimuti batang kejantanannya. Saluran itu berimple-rimple, berlipat-lipat, dan lipatan rimple itulah yang ternyata membelai lembut di sepanjang batang kejantanan yang tengah meluncur masuk kedalam.

Lalu di bagian paling dalam, ada sesuatu yang bulat seperti kelereng memijati kepala kejantanannya yang super sensitif. Dan Asep pun mengerang-ngerang sewaktu seluruh batang kejantananya masuk penuh sementara pinggul Teh Euis bergerak memutar.

Kenikmatan yang mendera Asep bukan hanya pada saat kejantanannya masuk ke vagina Teh Euis. Bahkan pada saat didiamkan mengeram disanapun otot-otot vagina Teh Euis yang berimple-rimple terus bergerak menyelimuti.

Tak kalah nikmatnya waktu pantat Teh Euis naik keatas, dan kejantanan Asep tepatnya pada bagian bawah helm yang berbatasan dengan leher (itu bagian paling merasa enak) keluar bergesekan dengan lorong hangat lembut licin berlendir. Uahhhh pokoknya.

Rasanya sungguh luar biasa, tangan kalian yang sering masturbasi tak akan mampu menandingi betapa jauhnya perbedaan rasa nikmat yang dihasilkan oleh tangan kalian dan oleh kemaluan perempuan. Apalagi perempuan itu adalah Teh Euis yang cantik dengan tubuh mulus sempurna serta berkarakter lemah lembut anggun tetapi goyangannya sungguh binal menggoda bak pelacur seharga dua juta.

Para suhu sekalian, kalau masih ingin bisa bekerja keluar rumah dan mencari uang, jangan pernah menikah dengan perempuan di kampungku karena dijamin tak ingin keluar rumah untuk bekerja. Inginnya di rumah terus sambil sarungan dan membiarkan istri dasteran biar gampang eweyan. (wkwkwk)

Setelah berulangkali kejantanannya masuk keluar, sekarang Teh Euis memegang tangan Asep dan membimbing ke dadanya. Meminta untuk diremas. Senyum Teh Euis tersungging sambil bertatapan dekaaat sekali.

"Memek Teteh ngga enak ya Sep ?"
Pertanyaan itu sungguh sangat bertolak belakang dengan apa yang dirasakan Asep. Jadi Asep menggelengkan kepala.

"Uuuh adik teteh jahat... masa memek teteh ngga enak...." Tubuh atas teh euis bergoyang ke kiri ke kanan berikut juga kepalanya. Matanya terpejam merengek karena kecewa disebut ngga enak. Teh Euis yang terus merengek seperti itu malah membuat Asep makin terbang ke surga karena ketika merengek-rengek itu kewanitaannya menjadi berputar-putar.

"Eh... enak... teh...." Jawab Asep meyakinkan Teh Euis.

Teh Euis berhenti merengek, tapi berhenti bergerak juga. Tatapannya tajam ke mata Asep.

"Bohong !" Rengeknya lagi.

Aduuuh kenapa serba salah begini ? Apakah semua permem...eh... perempuan seperti ini, ataukah hanya Teh Euis aja ? Asep bingung.

"Bener teh...." Asep kembali meyakinkan.

"Bener ngga enak ?" Manja sekali pertanyaannya.

"Beneran enak...." Aduuh drama sekali, kata Asep dalam batinnya.

"Kok diem aja ngga bersuara ?" Kata Teh Euis manja sambil pantatnya terangkat ke atas, lalu tiba-tiba menghunjam dan bergerak turun naik ke atas ke bawah dengan cepat sampai di bawah sana terdengar suara kocokan.

crok crok crok crok crok

Asep yang diprotes diam saja tak bersuara tanpa ampun lagi berteriak lepas menyatakan rasa sedap nikmat yang sedang dideritanya.

"AAAAAAAAHHH.... AAAAAHHH... ADUUUUUH.... OOOOH....ENGGGGHHH..."

Teh Euis tersenyum bahagia. Suara teriakan Asep tak berbohong. Miliknya dibawah sana memang rasanya pasti enak.

SLEP..
NYESSSS.

Teh Euis berhenti mengocokkan pantat ketika kejantanan Asep menyisakan kepalanya didalam cengkramat mulut vagina. Disitulah dia memutarkan pantat menggerus helm kejantanan Asep.

"HUAAAAA.........." Asep melotot menikmatinya.

"Hmmmpppf..." Teh Euis sekarang menggeliat bagai ular.

Kletek

Helm kejantanan Asep serasa mau copot karena patah, tetapi kok rasanya luar biasa ?
Helm nya yang dijepit disana seakan tak kuasa menahan lagi.

Kedua tangan Asep lepas dari gerakan meremas di dada kenyal Teh Euis, lalu memegangi samping kiri kanan pinggul yang empuk. Asep memegang erat lalu menariknya seketika.

Slep.

Kejantanannya masuk sedalam-dalamnya, lalu Asep bertahan tak mau melepas.

"Mau keluar yah ?"
Aduuh teteh kenapa nanya..... Asep sudah mengejang-ngejang begini kakinya pasti ga bisa jawab.

"Teteh juga da mau keluar." Bisiknya.

Teh Euis langsung bergoyang seperti pantat penari jaipong. Memang Teh Euis ini selain pandai bernyanyi juga pinter nari jaipong.

Asep bertahan.
Teh Euis bergoyang.

Asep bertahan lebih kuat.
Teh Euis bergoyang lebih kuat lagi.

Tiba-tiba

Sleb.
Teh Euis menekan kejantanan Asep dalam sekali.
Dan pertahanan Asep jebol.

Sambil kelojotan memuncratkan air mani di rahim Teh Euis, Asep melolong menikmati ejakulasi pertamanya bersama perempuan.

"Aaaaaaaaaaaaaaaakkkkhhhh....."

Kepala Teh Euis mendekat, bibirnya menempel di telinga Asep.

"Asep adik teteh..... selamat ulang tahun.... ini hadiah dari teteh." bisiknya sambil memeluk Asep dengan kuat.

Asep terus terlonjak-lonjak menikmati gelombang kenikmatan yang bergulung-gulung dan memuntahkan isi kantung spermanya terus dan terus.

Muncratan air mani Asep di rahimnya membuat Teh Euis juga terlarut dalam gelombang.

"Aaaah... teteh juga sampai....." jeritnya.

Tubuh Teh Euis bergetar dalam pelukan.
Keringat mereka membasahi badan.
Cairan lengket berlelehan.
Membasahi sprei kusut tak karuan.
Asep dan Teh Euis rubuh dalam rebahan.


TAMAT.

Catatan penulis :

Bagi yang tak berkenan karena namanya telah saya pinjam untuk menjadi jejer cerita, saya memohon beribu maaf. Mungkin beberapa bagian dari kisah ini tidak sesuai dengan yang anda inginkan, atau tidak sesuai dengan standar budaya dan kesopanan. Sekali lagi penulis memohon beribu maaf.

Mohon maaf juga buat Teh Yesi yang karakter wajah, tingkah polah, dan gaya bicaranya menjadi inspirasi terdalam saya dalam menggambarkan Teh Euis. Pokonya mah I Love you.

Semoga masih bisa menulis cerita lain pada kesempatan lain.
Rahayu !
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd