Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG That's Why I Love the Moon.

Status
Please reply by conversation.
EPISODE 3.1


Apakah kalian pernah merasakan momen saat mengira seseorang yang kalian harapkan untuk datang saat ini juga namun ternyata bukan? Kecewa ‘kan rasanya? Begitulah perasaanku saat ini. Di saat aku berharap Aa’ Angga datang mengetuk pintu kamarku dan menghabiskan sisa Purnama malam ini, seketika aku harus mengubur dalam-dalam harapan itu. Sesosok gadis yang terpaut lebih muda 1-2 tahun dariku, berambut pendek mendekati bahu dan... Matanya nampak sembab.

“Fey? ngapain ke sini jam segini?” Tanyaku pura-pura heran.

“Boleh gue nginep di sini?” balasnya berusaha menguasai dirinya. Suaranya sedikit bergetar seperti menahan tangis.

“Lo kenapa?”

“Pril... A-akang... akang mutusin gue...”

Fey pun menubrukku tiba-tiba dan memelukku erat, tangis Fey pun seketika meledak. I’m so caught off-guard. Untung saja aku bisa menguasai diriku agar tidak jatuh. Tunggu... aku tidak salah dengar ‘kan barusan? Aa’ Angga mutusin Fey? Haha... Entah aku harus turut bersedih atau aku harus gembira karena Fey telah putus dengan Aa’ sekarang. Ah, Lebih baik aku bersikap biasa saja.

“Eh... eh... Udah-udah, nangisnya diterusin nanti masuk dulu yuk...” ajakku sambil mengusap rambut pendeknya sekedar menenangkan dirinya. Ditambah sekarang sudah hampir pukul 3 pagi. Takut mereka terbangun dengan tangis Fey si anak manja yang terlihat kuat ini. Setelah menutup pintu, aku mengarahkan Fey untuk duduk di tepi ranjangku dan menuju arah pantry untuk mengambilkan minum untuknya.

“Nih, di minum dulu, biar agak tenang.” Aku menyodorkan segelas air putih pada Fey yang tengah duduk tertunduk di tepi ranjang spring bed-ku. Sesekali isakan masih terdengar dan beberapa kali ia menyeka air mata di kelopak matanya. Pada dasarnya Fey adalah gadis periang dan bersemangat. Saking semangatnya, ia kadang berlaku tidak jelas. Sudah tentu aku biasa menghadapinya... kecuali untuk kejadian saat ia menoyor kepalaku. Aku masih enggak terima! Sebel.

Dalam sekejap, Fey meneguk habis air di dalam gelas. Tampak sekali raut kekecewaan dan lelah yang teramat membebani. “Gimana? Mendingan?” tanyaku berbasa-basi, Fey hanya membalas dengan anggukan lemah. “Fey... Fey... baru kali ini gue liat seorang pemimpin tegas kayak lo nangis sesenggukan gini, kalah deh drama Korea favorit lo hahaha” ujarku setengah bercanda demi mencairkan suasana.

“Iiiih... lo mah! Gue lagi sedih tauuuk!” rengek Fey dengan nada manja sambil mendorong pundakku. Aku hanya bisa tertawa geli mendengarnya, apa lagi melihat bibirnya yang manyun. Maaf, Fey... bukannya aku tidak bersimpati akan kesedihan kamu, tapi aku justru senang kamu putus sama Aa’, bahkan aku baru saja memeluk tubuh Akangmu dan aku tidak menyesali pelukan itu, bahagia malah. Dan khusus untukmu, akan selalu ku pasang senyum terbaik di hadapanmu.

“Udah deh, katanya kapten... kok malah jadi lemah gini sih?” celotehku spontan berniat bercanda. Namun, Fey malah makin tertunduk lesu sesenggukan. “Tapi apa salah gue... ?” ucapnya lemah.

“Bukan maksud gue ngebela si akang, tapi gue yakin kalo akang punya pertimbangan yang matang tentang ini semua.” Kilahku sekedar menghibur Fey yang sedang bersedih. Alih-alih maksudku bersimpati, padahal sebenarnya aku sedang berusaha untuk melepaskan bayang-bayang Aa’ dari hidup Fey agar bisa seutuhnya jadi milikku. All is fair in love and war, right?

Fey lalu menatapku tajam. Memicingkan matanya yang sembab karena air mata. “Pertimbangan? Pertimbangan gimana? Gue sayang banget sama akang... gue bakal korbanin semuanya buat akang... gue bahkan udah...” Fey tiba-tiba menghentikan ucapannya. Raut wajahnya berubah drastis seakan menyembunyikan sesuatu dan membuatku sangat penasaran.

“Udah apa?” kataku menyelidik.

“Uhm... Enggak, udah... bukan hal penting juga...” bahasa tubuh Fey membuatku semakin yakin akan maksud perkataannya tadi.

“Iiih, enggak usah bikin gue kepo deh, udah apa? Jawab!” seruku semakin penasaran. Di dalam otakku sudah terpikirkan satu kemungkinan yang paling tidak ingin aku dengar dari mulut Fey.

“Apa sih, kok lo malah jadi ngotot gini sih?” kembali Fey masih berkeras tidak ingin berkata jujur padaku.

“Arrrrgh! Lo udah bikin gue gregetan dan gue enggak suka kalo dibikin kepo sama orang, ngerti? Huh!” sungutku seraya menekuk bibirku.

“Uhm... itu... itu urusan gue sama akang! Lo enggak perlu tahu.” Dasar keras kepala. Aku pun terang-terangan memancing Fey untuk berkata yang sebenarnya “Tunggu... jangan-jangan lo sama akang udah...”

“Ehm... yaaa... kita... udah... ya gitu deh...” jawabnya ragu tapi aku tahu arahnya ke mana.

“Tuh kan bener! Dasar cowok!” aku mengumpat sejadi-jadinya. Betapa kecewanya aku akan Aa’ yang ternyata telah merenggut “mahkota suci” Fey. Arrrgh!

“Apaan sih? Akang itu orang baik! Lo enggak kenal siapa dia. Lo enggak ada hak buat nge-judge akang sembarangan!” Tegas Fey sambil menunjuk ke arah wajahku. Emosinya meninggi seiring matanya yang makin berkaca-kaca ditimpa cahaya lampu kamarku.

“Terus apa yang terjadi sekarang? Buktinya dia mutusin lo kan?” jawabku membalikkan kata-kata Fey barusan. Fey pun terdiam. Aku membiarkannya merenungi kejadian yang telah menimpanya.

“Gue bingung, Pril...” kata Fey. “... semuanya serba mendadak... gue yakin ini pasti karena ada cewek lain.” Iya, Fey... cewek itu aku. Aku ingin sekali berkata itu tapi aku tidak ingin terjadi baku cakar dan jambak di kamarku. Kalau itu terjadi, bisa-bisa menarik perhatian penghuni kostku yang lain. Hancur sudah reputasiku. Aku bukan wanita seceroboh itu. “Ada pasti...” ucapku seakan setuju dengan agumen Fey.

“Eh? Kok lo bisa yakin kayak gitu?” tanya Fey keheranan.

“Jelas yakinlah! Kata lo akang udah punya istri kan? Udah pastilah dia bakal balik ke istrinya?” ujarku berbohong.

“Kalo itu...” Kata Fey yang memainkan ujung kaosnya. “Gue Cuma ngerasa ada yang beda aja... Kayak bukan Kang Angga yang gue kenal.” Sambungnya lagi. Fey kembali tertunduk lemas. Air mata kembali meleleh di pipi putih nan terawat milik Fey. Ia pun memelukku seketika. Aku pun mengusap punggungnya “Iya, Fey... gue di sini, keluarin semua kesedihan lo.” Ujarku menenangkannya. Walau sebenarnya di dalam hati aku sangat gembira penuh kemenangan karena berhasil mengalahkan Fey di tikungan terakhir.

Sejujurnya, di satu sisi aku merasa kesal karena tebakanku benar. Aku yakin Fey telah merelakan kegadisannya untuk Aa’. Ugh! Aa’ mah gitu... Semua cowok sama aja. Brengsek!

Tapi...

Aku sayang sama Aa’...

Gimana dong?

-o00o-
Bandung, seminggu kemudian...

“Sha...” panggilku pada seorang gadis yang usianya terpaut 10 tahun lebih muda dariku. Ia tengah berusaha menggumuliku di kamar kostnya. Ya, Alesha... Entah mengapa aku mau saja menghampiri dirinya setelah merengek setengah mati. “Kangen...” lenguhnya manja. Ia berusaha meraih bibirku untuk ia kecup. Aku berkeras menolaknya. Bukan aku tidak mau, tapi memang aku sedang tidak ingin bercinta dengannya sekarang.

“UHHHMMM! Jangan... Ahhh” aku tidak sengaja mendesah karena ia mulai meraba area selangkanganku.

Sial...

Sekeras apapun malaikat dalam diriku ini menolak... Setanlah yang memenangkannya. “Enggak mau... Biarin... Emmmhh” protes Alesha sambil mengecupi bagian leherku. Dengus nafasnya menyapu permukaan kulit leherku. Hal itu semakin membuat akal sehatku semakin mengabur.

“Ahhh... Sha... hhh... Nanti aku keluar duluan kalo kamu giniin terus!” protesku. “Justru aku mau kakak keluar berkali-kali, aku bakal bikin kakak minta ampun sama aku hehehe...” Ia terkekeh sambil terus memainkan kelaminku. Tangan kanannya menggenggam lembut batang kejantananku. Ia mengocoknya dengan irama yang konstan. Tidak kencang, namun juga tidak terlalu pelan.

“Terserah kamu, Sha... Ughhh... Uhmmm...” Aku hanya pasrah menerima perlakuannya. Logikaku menguap entah kemana berganti nafsu. Siksaan ini terlalu nikmat untuk dilewatkan begitu saja. “Aku buka ya celananya...” bisik Alesha tepat di telingaku dan membuat darahku semakin berdesir, mengalir melalui pembuluh menuju batang kejantananku yang kini telah tegak berdiri juga keras.

Alesha perlahan turun ke bawah. Membuka kancing celana jeans belelku dan menurunkannya bersamaan dengan celana dalamku. Aku menaikkan pantatku tanpa sadar, membantu Alesha yang sudah bernafsu untuk menelanjangi bagian bawah tubuhku. Kemaluanku seakan meloncat saking kerasnya. “Ughhhh... udah keras aja nih kak... udah enggak sabar ya?” godanya. Aku hanya diam berserah diri.

Kemudian Alesha bangkit berlutut. Ia mengangkat kaos tipis kebesarannya. Perlahan nampak perutnya yang sedikit membuncit. Aku menelan ludahku ketika kaosnya mulai terangkat di bagian dadanya yang ukurunannya di atas normal dari teman sebayanya. Menggunung penuh isi terbungkus oleh bra warna pink pastel. Aku rasa setiap laki-laki di luar sana pasti sangat ingin menyentuh dan memainkan kedua bongkahan payudaranya itu. Tiba-tiba, Alesha menuntun kedua tanganku ke arah payudaranya.

“Mmmmh... sentuh tetek aku, kak... remes sesuka kamu... Kamu suka kan sama tetek aku?” Ucap Alesha dengan nafas berat. Aku hanya mengangguk dan mulai memainkan “aset” milik Alesha. Empuk... Lembut... halus... Aku memainkannya sesukaku. “Auuuhhh... Mmmhhh... Iyahhh... Mainin sesuka kakakhhh... Tetek Alesha Cuma buat kakakhhh...” lenguh Alesha. Kedua tangannya membantu tanganku untuk meremas dadanya.

Hingga ia pun sejenak menyingkirkan tanganku. Alesha melepas kaitan bra-nya dan terpampang jelas di mataku payudara besarnya tanpa terhalang apa-apa. Puting kecil berwarna coklat muda itu mencuat saking bernafsunya. Mungkin ia merasa kurang puas sehingga ia melepas satu-satunya pelindung daerah dadanya. Kembali ia menuntun tanganku dan tanpa dikomandoi, aku lagi-lagi memainkan payudaranya.

“Mmmhhh... udah kak... aku mau mainin punya kakak...” ujarnya saat aku sedang asyik-asyiknya aku menikmati kelembutan payudara Alesha. Telapak tangannya menggenggam mantab pada batang kejantananku. Telapaknya sangat halus terasa di permukaan kulit. Alesha mengocok kejantananku dengan hati-hati dan tiba-tiba ujung kepala penisku terasa basah... “Ahhhh iyaaah... terus, Sha...” desahku menahan geli saat ia memainkan lidahnya. Naik... Turun... tanpa satu pun sudut permukaan alat kelaminku terlewat bahkan kedua biji testikelku tak luput dari sasaran lidahnya.

Sluuuurrrp.... mmmmhhh.... Sluurrpppph... clooppphhh... clooppphh....

Hanya suara itu yang terdengar dari mulut Alesha yang tengah melahap penisku. Terjejal penuh dalam rongga mulutnya. Sesekali ujung penisku menyentuh kerongkongannya. Aku takut ia tersedak namun rasanya ia tidak peduli. Ia hanya peduli pada nafsunya yang mulai menggelegak dalam dirinya. Kepalanya naik turun dengan tempo stabil sambil tangannya mengocok batang penisku. Seperti disihir oleh tindakannya, tanganku pun mengelus rambut panjang nan lurusnya, mengikatnya ke belakang agar tidak mengganggu konsentrasinya saat mengoral.

Sesekali ia menatapku dengan tatapan sayu. Sial... Bisa-bisa aku keluar duluan. “Akkkhhh Sha... Pelan-pelanhhh...” sungutku akibat perlakuan Alesha pada penisku yang berkilat ditimpa lampu kamar berwarna putih terang. Penisku sudah basah kuyup oleh liur Alesha. Nikmat sekali sampai-sampai aku menutup kelopak mataku...

Eh... Wajah ini...

Sial, kenapa harus di saat seperti ini kamu muncul, April? Ya, tiba-tiba saja otakku memproyeksikan wajah sendu April... Di tengah Alesha sedang bernafsu tinggi melahap setiap inci bagian penisku. Hatiku berkecamuk. Ku akui aku sangat bejat... Di saat ada wanita yang mengoral penisku, sempat-sempatnya aku memikirkan wanita lain yang sedang berharap cintanya dibalas olehku. I’m such an old-bastard.

Saat aku sedang mengawang menikmati hisapannya, Alesha tiba-tiba berhenti dan merangkak naik ke atas tubuhku. Tak lupa ia mengangkat kaos biru kesukaanku. Sedikit menciumi perut buncitku, naik ke bagian putingku dan memainkannya dengan lidah. Jujur aku kegelian namun sebisa mungkin aku tahan “Mmmmmh...” hanya lenguhan kecil tertahan yang terlontar dari mulutku dan Alesha pun dengan ganas menyerang bibirku.

Lidahnya berusaha menyusup di antara celah bibirku yang terkatup. Dengan isengnya ia meremas kemaluanku, mau tidak mau aku pun membuka bibirku. Kini bibir kami telah menyatu. Lidah kami saling mengait satu sama lain. Membelit di dalam rongga mulut kami masing-masing.

Cuppph... cloooppphhh... mmmhhh...

Cecapan liur kami menghasilkan suara-suara yang terdengar erotis. Membuat nafsuku makin memuncak. Aku sudah tidak peduli kalau mulut Alesha bekas mengoral penisku. Masa bodoh. Tangan kanan Alesha tidak diam begitu saja, ia tetap memainkan penisku. Mengocok pelan sehingga aku merasakan kenikmatan yang berlipat.

“Mmmmahhh... Jilatin memek aku kakhhh...” mohon Alesha. Ia pun buru-buru melepaskan hotpants-nya dan baru aku sadar ia tidak mengenakan apa-apa di dalamnya. Alesha kemudian memposisikan selangkangannya ke arah mulutku dengan membalik arah menjadi posisi angka 69. Aroma khas menyeruak dalam rongga hidungku. Bau yang makin membuatku hilang akal. Vaginanya sungguh terawat. Bulu-bulu tipisnya tercukur rapi. Tanpa ragu aku pun menyergap vaginannya yang sudah basah mengkilap.

“Ahhhh... Iyahhh... Jilat terus kakkkh... Mmmmhhhppp...” seru Alesha keenakan sambil mencoba menghisap kembali batang kemaluanku. Aku makin liar menjilat searah garis vaginanya... Ke atas... Kebawah... Membukanya lebar-lebar dengan jariku dan mengelitik klitorisnya.

“Arrrgghhh... terussssshhh... Yah begitu... Mmmmppphhh!” lenguhan Alesha semakin binal saat lidahku menghisap klitorisnya. Dipadu dengan jari tengahku yang mengorek lubang peranakannya dan mengocoknya dengan cepat. Perlakuanku ini pun direspon dengan hisapan kuat Alesha di penisku saking gemasnya. “Arggggh, Sha!!!! Jangan digigit!” Protesku karena penisku digigit. Rasanya sangat ngilu.

“Nngggghhh jangan berhenti.... Mmmhhh... A-ku... Aku... Mauuuh... Arrrggghhh!”

Crot! Crot! Srrrrr! Crot! Crot! Crot!

Alesha pun mencapai orgasmenya. Cairan kewanitaannya pun menyembur tepat di wajahku. Tubuh Alesha mengejang-mengejang bagai tersengat listrik voltase tinggi. “Mmmhhh... hhhhh... hhhhh... mmmmhhh” Nafas Alesha terdengar jelas menggema di seluruh sudut kamar ini. Aku pun membiarkannya menikmati puncak kenikmatan yang baru saja ia dapatkan.

-o00o-
Baru beberapa saat setelah orgasme pertamanya, Alesha bangun dengan susah payah. Lagi-lagi ia menyerang bagian wajahku. Menjilat cairan orgasmenya sendiri yang membasahi wajahku dengan liarnya. Seakan itu hanya air biasa. Tak lupa ia kembali mencumbu bibirku. Sedikit terasa asin ketika kami lidah kami salin bertaut.

“Mmmmphhh... maaf kakhhh... Aku keluar di muka kakak... Aku enggak tahan tadi... Kakak jago banget soalnya” iba Alesha setengah memanja.

“Enggak apa-apa. Udah ya? Udah puaskan?” balasku yang sudah ingin cepat-cepat kembali ke kedai dan menyeduh kopi untuk pelangganku. Aku pun berusaha bangun, menyingkirkan tubuh Alesha yang sintal itu dari atas badanku

“Iiiih... nanti dulu!” Alesha mendorong pundakku hingga kembali terlentang di atas kasur dan menduduki perutku agar aku tidak kabur. “... Aku masih belum puas. Ini kakak belum masuk ke memek aku...” katanya sambil memainkan penisku yang masih menegang. Tanpa aba-aba dariku Alesha mengangkat pinggulnya dan mengarahkan kemaluanku ke lubang vaginanya.

“Mmmmhhh... Ahhhh!” Alesha mendesah saat perlahan batang penisku memasuki liang vaginanya. “Nghhhh!” lenguh tertahan. Menahan kenikmatan dinding vagina Alesha yang mengedut-ngedut saat berusaha memasukkan penisku dan...

Blesssh!

Penisku sudah memasuki liang surga Alesha.

“Nggghhh! Mentok kakkkh... Aku goyanggghhh ya kak... Ough!” Alesha pun menggoyang pinggulnya yang ramping dan meliuk. “Ahhhh... ngggghh... Sha... Ough!” aku pasrah menerima deraan kenikmatan goyangan Alesha. Ia memang sudah tidak perawan lagi, namun vaginannya terasa sempit dan menjepit dengan mantab. Ia pernah bercerita bahwa ia sangat sering bercinta dengan pacarnya sendiri. Tapi ia selalu beralasan bahwa ia lebih memilih bercinta denganku dibanding dengan pacarnya. Beda rasanya kalau menurut pengakuan dia.

Payudara besarnya pun ikut bergoyang seiring dengan gerakan liar Alesha. Hal itu mengundangku untuk meraih kedua payudara Alesha dengan kedua tanganku. Meremasknya dengan kasar. Terkadang mencubit puting imutnya yang menegang. “Ahhaaaah! Iya, kak! Remes... Remes yang kencenghhh! Awwwh!!!” Erangannya semakin membuatku bernafsu. Aku pun bangkit dari posisi terlentangku menjadi posisi setengah duduk. Aku pun tidak tinggal diam, aku mengikuti irama goyangan Alesha sambil menghisap puting susunya.

“Oughhmmph! Kenyotin terus susu aku kakhhh... Ini punya kamuhhh! Arrrghmmmp!” Desahan Alesha pun tertahan oleh ciumanku.

Tangan Alesha melingkar dibelakang leherku. Merengkuh ke arahnya hingga wajah kami hanya berjarak beberapa inci saja. “Mmmmhhhppp!” desahan tertahan keluar dari mulut kami disela cecapan bibir kami yang telah basah oleh ludah kami. Tubuh Alesha semakin aku rapatkan. Goyangan pinggulku makin tidak terkontrol. Payudara Alesha yang terhimpit pun bergesekan dengan dadaku. Menambah panas tubuhku untuk mengimbangi Alesha.

“Hngggghhh... Terus... terussshhh... Yahhh...” Alesha makin hilang kendali. Dekapannya makin kencang. “Mmmpphhh... Shaaa...” lenguhku di antara dada Alesha yang terpental tak tentu arah karena sentakan selangkanganku.

Plok! Plok! Plok! Plok!

Begitu keras suara yang dihasilkan oleh peraduan selangkangan kami. Paha kami terasa basah karena cairan pelumas Alesha yang telah membanjir. Aku rasa Alesha sangat bernafsu jika melihat dia sekarang... Sayangnya aku hanya mengikuti kemauannya saja. Tiba-tiba, aku merasa dinding vagina Alesha mulai berkedut-kedut.

“Ngggghhh, sha...” Kembali aku melenguh tertahan karena sensasi kedutan di kemaluanku akibat kedutan vagina Alesha

“Terusin... jangan berhenti... ahhh... hhhh aku... a... aku maugghhhh AAAAAHHH!” Teriak Alesha. Ia seakan tidak peduli dengan suaranya terdengar oleh teman satu kost yang lain. Ia hanya ingin menuntaskan nafsunya. Seketika tubuhnya bergetar pasca orgasmenya. Vaginanya serasa ingin melumat penisku. Mulutnya terbuka tanpa mengeluarkan suara dan kepalanya mendongak. Saat gelombang orgasmenya akan berlalu, Alesha pun lemas dan akan terjatuh. Aku menahan tubuh sintalnya dan membaringkannya hati.

“Hhhh... hhhh... Kakhhh... Aku lemes... istirahat bentar yah... hhh...” ibanya dengan nafas tersengal-sengal. Aku pun merasa kasihan “Hhhh... udah ya, Sha... kamu istirahat aja... Aku juga capek...” balasku yang ingin mencabut kemaluanku dari vagina Alesha. Namun Alesha menolaknya dan menahan pantatku. “Jang... annnh... Tuntasin dulu... Hhhh... Angghhh... ayo sodok lagihhh...” Alesha masih berkeras ingin aku menyelesaikan permainan.

Baiklah, aku akan main cepat saja agar aku bisa cepat pergi dari sini. Pinggangku bergerak perlahan. Pelan... Pelan...

“Nggghh... enak kakhhh...”

Perlahan tapi pasti, aku menaikkan kecepatan tusukanku...

“Oughhh... kencengin lagihhh...”

Aku menatap wajah Alesha dari atas. Matanya terpejam, dahinya mengerut seakan menahan sesuatu, tubuhnya bergerak maju mundur mengikuti tempo tusukanku.

“Annghhh! Cepetin lagi!” protes Alesha yang juga mendorong-dorong pantatku tanda menginginkan tempo tusukan yang lebih cepat. “Nghhhnggghh! Iya terus! Uuuuh... iya sayanghhh...” lenguhannya makin liar seiring kecepatan penetrasiku. Peluh sudah tidak kami pedulikan lagi, kami sedang sibuk memacu nafsu. Ah... sial, mau keluar!

Aku mempercepat tusukan penisku di lubang vagina Alesha agar cepat tuntas. “Sha... arghhh... Aku mau keluarhhh...” kataku memperingatkan Alesha. “Bareng kak! Ough... ahhhh!”

sialan, kenapa kakinya malah membelit pinggangku! “Shaaaa! Aku mau keluar... lepas kakinya!” Alesha tidak menggubris kata-kataku.

FUCK IT...

“NGGGGGHHH! HNGGGGHH! AHHHH! AHHHH! HHHHH... HHHH...”

Kami berdua orgasme bersamaan dan... Aku keluar di dalam liang vagina Alesha. Aku terhuyung dan terjatuh ke dalam pelukan Alesha yang terlentang dengan pasrah. Aku merasakan spermaku keluar dari antara celah-celah vaginanya yang tersumpal penisku. Alesha mengelus punggungku yang sudah lembab karena keringat. Nafas Alesha berhembus di telingaku...

“Sha...”

“Tenang aja kak... aku lagi aman kok...”

Alesha tersenyum dengan polosnya. Aku merasakan ketulusan dari senyuman itu. Namun senyumanmu tidak membuatku nyaman. Aku lelah. Aku hanya ingin menutup mataku sejenak. Alesha... maaf.

-o00o-
Mataku menatap langit-langit kamar berwarna putih nan monoton sedari tadi. Aku terbangun dari tidur singkatku sembari mengembalikan kesadaranku. Sejenak aku memutar ingatanku... Oh, ya... Aku baru saja bercinta dengan seorang wanita muda sementara ada seorang pemimpi yang tak pernah menyerah dan lelah mengharap cintanya dibalas olehku.

Wanita muda itu sekarang sedang memelukku, tertidur nyaman. Dengkuran halusnya terdengar lirih di telingaku. Wajahnya sangat polos saat ia tertidur seperti ini. Dengan hati-hati, aku memindahkan tangannya dari dadaku agar tidak terbangun lalu beranjak dari tempat tidur.

“Ada yang beda rasanya...” ujar Alesha dengan nada menyelidik. Aku yang tengah meraih pakaianku yang berserakan di lantai pun menengok padanya. Aku tidak tahu kalau ia terbangun. Ia duduk bersandar pada tembok, menatapku dengan pandangan penuh kecurigaan. Tubuh sintalnya yang tadi aku rengkuh terbalut oleh selimut.

“Apanya?” balasku heran sembari memakai kaos biru kesukaanku.

“Abis pulang dari Jakarta, kamu teh jadi dingin sama aku.” Sahut Alesha dengan ekspresi cemberut.

Aku menghela nafasku sejenak. “... Biasa aja ah, tapi jujur aku capek sekarang...” kilahku yang sedang berusaha mengancingkan celana pendek jeansku. Perut buncitku ini memang butuh sedikit olahraga agar aku tidak kesusahan memakai celana. “Aku pergi dulu, Sha. Aku harus cepat-cepat ke kedai karena ada barista kakak enggak masuk hari ini...” ujarku.

“KAKAK!” Teriakan Alesha memekakan telingaku. Aku yang sedikit terkejut mencoba untuk mengatur emosiku. Bagaimana tidak? Ketika kamu sedang lelah dengan semua kehidupanmu dan seseorang meneriakimu, emosi siapa yang tidak terpancing? “Hhhhh... Kenapa?” balasku datar.

“Kakak gitu banget sih! Nyebelin!” ucapnya penuh rasa kekecawaan. Alesha membuang pandangannya ke arah jendela kamarnya. Aku mencoba mendekatinya lalu mendekapnya hangat. Aku mencium keningnya lembut untuk memberikannya ketenangan. Sayangnya itu gagal.

“Jahat! Udah dapet enaknya langsung mau pergi gitu aja! Jahat! Jahat!” sergah Alesha sambil memukul dadaku bertubi-tubi.

“Aku udah bilang dari awal, aku enggak mau! Kamu yang maksa aku buat ke sini!” balasku membela diri. Emosiku sedikit tersulut karena kelakuannya ini. Ya, aku memang berengsek. Aku meraih kedua pergelangan tangan Alesha mencoba untuk membuatnya diam.

“Semua ini gara-gara cewek yang namanya April kan? Iya kan?”

Tunggu... dari mana ia tahu soal April?

“Ehmmm... itu...” Aku tercekat. Seakan ada sesuatu yang menahan diriku untuk membela diri.

“Iya kan? Lesha tahu kok beberapa hari ini aku lihat kakak suka chatting dan teleponan sama seseorang, itu April kan? Jawab!” cecarnya yang semakin membuatku mati kutu. Aku tidak berani melihat wajah Alesha saat ini. “Bukan urusanmu juga kan? Dasar kepo!” hanya itu yang bisa aku ucapkan menutupi kesalahanku.

“Kakak enggak tahukan perasaanku waktu kakak cuekin aku sementara kakak sibuk chatting dan manja-manja di telepon sementara Lesha ada di sebelah kakak? Bikin bete tahu!” geramnya.

“Hei... Hei... kamu sendiri juga punya cowok kan? Apa aku pernah protes? Apa aku pernah pengen tahu? Enggak kan?” dengan berengseknya aku membela diri atas segala kegeramannya.

“Iya tapi kan... Ah, pergi sana!” Alesha mendorongku sekuat yang ia bisa dan membuat genggamanku pada pergelannya terlepas. Ia pun melemparkan bantal ke arahku namun aku berhasil menghindarinya. Seketika ia memunggungiku dan memukul-mukul kasurnya melampiaskan kekesalannya.

Aku bergegas meninggalkan kamar Alesha. Membiarkannya sendirian untuk berintrospeksi. Aku tidak ingin menambah masalah dan makin membuatku terjerat dalam simpul rumit yang sulit terurai antara kami berdua.


 
Terakhir diubah:
Matahari sedang bersinar dengan teriknya. Membuat udara Bandung siang ini sangat menyengat di kulit dan minuman dingin menyegarkan menjadi pilihan tepat untuk melepaskan dahaga. Kini, aku tengah menyiapkan segelas Japanese Ice Coffee pesanan pelangganku. 80 gram es batu telah aku masukkan ke dalam saringan atas Syphon. Dengan cermat, aku mulai menyeduh biji kopi dataran tinggi Flores yang cukup langka di pasaran sesuai permintaan pelangganku ini. Gilingan kasar aku rasa cukup untuk membuat Japanese Ice Coffee yang ringan dan menyegarkan di tengah udara panas siang ini.

Yellow Caturra!” seruku sambil membunyikan bel, memanggil pegawaiku yang sedang sibuk lalu lalang di antara meja pelanggan. Tak lama, ia bergegas menghampiri meja barista untuk menyajikannya.

“Tumben baru datang, bos...” sapanya sembari menyiapkan saucer atau piring kecil untuk tatakan gelas kopi.

“Iya, tadi ada urusan sebentar. Ngomong-ngomong, stok beans cuma 250 gram aja nih? Sedikit banget.” Ujarku setelah menyadari persediaan biji kopi lokalku telah menipis.

“Jadi, mau dipatok harga berapa?”

“25 ribu aja kalo gitu.”

“Okelah kalo begitu...” kemudian pegawaiku berjalan menuju meja 14 untuk mengantarkan kopi pesanannya.

Ah... lama-lama gerah juga di kedai. Aku memutuskan untuk membeli minuman bersoda di warung sebelah kedaiku. Aku sedang tidak berselera untuk meneguk kopi siang ini. Setelah aku membayar minuman, lantas aku duduk di bangku kayu sederhana di depan warung, menyalakan sebatang rokok dan mengamati keadaan sekitar.

Sekitar 30 menit aku menikmati beberapa batang rokok dan meneguk habis minuman sodaku, tiba-tiba aku melihat mobil yang tidak asing yang baru saja diparkirkan tepat di depan kedaiku. Aku mendekatinya sekedar memenuhi rasa penasaranku.

Pandanganku tertuju pada plat mobil Terios berwarna Abu-abu... Bogor? Tunggu, jangan-jangan... Aku celingukan mencari-cari seseorang yang sangat aku takutkan keberadaannya saat ini. Dan benar saja...

Orang itu sudah duduk manis di depan meja bar. Seorang gadis manis berkulit putih khas tanah Sunda, rambut coklatnya yang tidak begitu panjang tergerai, mengenakan kaos hitam polos yang tidak terlalu ketat yang berpadu dengan jeans denim warna biru muda.

Dan yang mengejutkannya lagi, ia sudah duduk bersebelahan dengan Alesha. Pertanyaan-pertanyaan pun muncul di dalam pikiranku saat ini... kok bisa? Apakah mereka datang bersamaan? Apakah aku harus menghampiri mereka? Atau aku menghindar saja? Hahaha... menghindar? Tidak ada dalam kamus hidupku. Maju!

“Siang nona-nona cantik, ada yang bisa aku bantu?” sapaku ditengah-tengah mereka. Mereka berdua terkejut dengan caraku menyambut mereka.

“Duh, bikin kaget aja sih! Hey, kak!” senyum terkembang di wajah Alesha, menguasai dirinya yang tadi kaget oleh keberadaanku. Ia seperti ingin meloncat untuk memelukku namun ia sedikit ragu karena tersadar ini tempat umum. Berbeda dengan gadis satunya lagi...

“Hai, Aa’...” ucapnya lalu menggenggam tanganku lalu mencium punggung tanganku layaknya Istri yang berbakti pada Suaminya... Dan itu sukses membuatku sedikit canggung. “Oh... Hai April, kapan datangnya?” ucapku berbasa-basi menutupi kecanggunganku.

“Dari tadi pagi... kebetulan aku ada kegiatan promo di salah satu radio dekat-dekat sini. Sekalian deh mampir...” balasnya lembut. Tak lupa menyematkan senyum manis yang membuat mata bulatnya menyipit tertutup kelopak matanya.

“Oh, mau dibikini kopi?”

“Mauuuuu...”

“Eh, bukannya kamu enggak suka kopi ya?”

“Udah tahu, nanya... gimana sih? Gemesin deh si Aa’...” April mencubit perutku dan itu tidak bisa aku hindari. Mataku sedikit menangkap gestur tidak nyaman dari Alesha. Raut wajahnya nampak kelabu dan matanya menatap tajam pada April tanpa sadar. Tanpa berlama-lama, aku segera bergerak menuju belakang meja bar. Mengambil bubuk Dark Chocolate dari wadahnya. Aku meyeduhnya dengan susu yang sudah aku steam hangat.

Tunggu, bukannya Alesha sudah tahu siapa April? Kenapa mereka nampak damai-damai saja sedari tadi? Aku bingung... Sangat-sangat bingung.

“Nih, Cokelat hangat aja ya?” Kataku sambil menyajikan 2 cangkir Cokelat Hangat di hadapan mereka berdua.

“Makasih, Aa’...” April sangat senang saat cokelat hangatnya tersaji. Perlahan ia meniup-niup uap panas cokelatnya dan menyeruputnya. Ia mengangguk-ngangguk entah apa maksudnya.

“Uhmmm... Udah kenal sama sebelahnya?” tanyaku ragu-ragu sekedar memastikan.

“Eh, iya belum hahaha... Padahal dari tadi kita udah ngobrol-ngobrol, ya enggak?” Ucap April pada Alesha. Alesha hanya mengangguk dengan senyum yang sangat dipaksakan.

“Hai, aku Alesha...”

“Aku April, salam kenal...”

“Kayak sering lihat...” Dahi Alesha mengerut, alisnya yang tebal pun terangkat salah satunya, seperti sedang menyelidiki sesuatu.

“Eh? Masa sih? Salah orang kali, aku mah cewek biasa aja...”

“Kayaknya aku pernah lihat kamu di acara TV atau di mana gitu... Eh, kenal Kak Angga udah lama?

“Lumayanlah, Iya enggak A’?” ucap April seraya mengerlingkan sebelah matanya. Aku yang sedang membersihkan meja bar menjadi sedikit salah tingkah. Aku merasa tidak nyaman dengan suasana ini.

“Biasanya kalau kenal Kak Angga lama, pasti bakal jatuh cinta... Betul kan, Kak?” Giliran Alesha yang makin membuatku makin canggung, ditambah mimik wajahnya yang seakan menghakimi segala kesalahanku. April terkekeh dengan pernayataan Alesha barusann.

“Ya... Ya... Ya... mungkin aja... Jauh-jauh dari Jakarta Cuma buat ketemu sama Aa’...”

“Eh, bukannya tadi bilang ada acara di radio ya?” aku menyela tiba-tiba

“Ups... Ketahauan deh hehehe” April memeletkan lidahnya seakan tidak punya kesalahan. Aku makin tidak nyaman dengan suasana ini. Aku harus menyingkir sejenak dari ketegangan 2 gadis yang sama-sama punya perasaan padaku. “Bentar ya, aku mau ke toilet dulu” ujarku beralasan. Aku pun segera menuju toilet di lantai 2. Toilet di sini tidak sering dipakai oleh tamu, bahkan pegawai pun jarang memakainya.

Setelah aku selesai buang air kecil, terdengar langkah kaki setapak demi setapak. Tepat saat aku membuka pintu toilet, aku mendapati Alesha berdiri mematung. Memandangku dengan wajah bengis, matanya tajam seakan ingin menerkamu damn...

PLAAAAK!

Tamparan Alesha telak mendarat di pipi kiriku... Baiklah, aku terima ini.

“Jahat...” Lirih Alesha. Setitik air mata mulai menggenang di ujung kelopak matanya.

“Bukan aku yang meminta dia datang ke sini... aku juga tidak tahu kalau dia di Bandung...”

“Aku tahu! Oke, aku kalah... Aku kalah segalanya dari dia... April cantik dan dia... ARTIS!” emosi Alesha semakin memuncak. “Tapi aku sayang kakak...”

“Ingat komitmen kita...” kembali aku mengingatkannya soal komitmen yang seharusnya tidak perlu aku katakan. Karena dari awal kami berhubungan pun sudah salah.

“Aku mau lebih dari itu! Kalau perlu aku bakal putusin pacar aku...”

“Enggak semudah itu, Sha... Ingat, aku udah berkeluarga!”

“Terus apa bedanya aku sama April? Apa karena dia lebih cantik dari aku lantas Kakak bisa seenaknya tinggalin aku gitu aja?” Alesha tertunduk dan mulai terisak. Kembali aku terjebak dalam situasi yang sama untuk kesekian kalinya, di mana seorang wanita mulai menaruh perasaan tulusnya padaku dan aku tidak bisa menerima ketulusan itu. Aku tidak tega... dan aku pun memeluk Alesha erat.

“Lesha sayang kakak... jangan tinggalin Lesha...” ucapnya pelan. Kepalanya bersandar nyaman di dadaku. Tangannya pun tidak kalah erat melingkar di pinggangku.

“Aku enggak kemana-mana kok... aku ada di sini terus kok...” balasku lembut, mengusap-usap punggungnya untuk membuatnya lebih tenang.

“Tapi... April sepertinya... Aku harus gimana, kak? Apa aku juga harus bilang ke April kalau aku juga cinta sama kakak?” Alesha menengadahkan kepalanya dan menatapku penuh harapan. Mata bulatnya telah tergenang oleh air mata.

“Biar itu urusan aku sama April... Aku juga belum bisa memutuskan semua ini”

“Kakak enggak sayang dia? Aku tahu dari sorot mata April kalau dia benar-benar suka sama kakak...”

“Biarkanlah seperti itu... Yang penting gimana akunya ke dia, kan?”

"Nnnggg... Tapi kakak sayang aku kan?” rajuk Alesha, melepas pelukannya dari tubuhku.

“Maaf, Sha... aku belum bisa bilang apa-apa. Biar semesta yang mengatur... kita jalani dulu semuanya...”

“Iya, kak...” Alesha tertunduk lesu. “Boleh aku peluk kamu lagi, kak?” Lanjutnya. Aku hanya bisa tersenyum dan mengabulkan permintaannya... 20 detik... tidak lebih. Setelah berpelukan, kami pun turun dengan jeda waktu yang berbeda agar tidak memancing kecurigaan pelanggan atau pegawai-pegawaiku... dan terlebih April.

“Aa’, makasih ya?” celetuk April. Jelas itu membuatku bingung. “Eh... kenapa gitu?” balasku.

“Cokelatnya enak...”

“Oh... iya, sama-sama... kirain ada apa” Aku lega. Sungguh situasi saat ini tidak membuatku nyaman. Saat April bisa berbasa-basi dengan senyum lepas, Alesha hanya bisa menyimak dengan wajah datar sambil memainkan telunjuknya di tepi cangkir Cokelat hangatnya yang sedari tadi belum ia teguk. Aku rasa Cokelatnya sudah tidak lagi hangat. Seperti sikapnya saat ini... Tidak seperti Alesha yang aku tahu selama ini.

“Aku pulang dulu ya, kak...” kata Alesha sambil memasukkan handphone ke dalam tas jinjingnya.

“Lho, mau ke mana? Bentar dulu...” balasku.

“Mau cari yang adem-adem dulu... Mendadak gerah nih” ucapnya bernada sarkas. Tentu saja aku makin merasa tidak enak dengan Alesha. “Oh, gitu... ya udah, hati-hati di jalan ya?” Jawabku sekenannya. Aku tidak ingin menambah buruk suasana hati Alesha saat ini.

“Iya, besok aku kesini lagi...” Aku mengangguk dan Alesha pun berjalan menuju kasir dan menyerahkan beberapa lembar uang pada pegawaiku untuk minumannya tadi. Ia melambaikan tangannya sambil berlalu.

Maaf, Alesha... Beginilah aku.

-o00o-

“Sering ke sini ya A’?” Suara lembut April membuyarkan lamunanku.

“Siapa?”

“Itu, Alesha...”

“Hmmm...” aku menghindari bertatapan mata langsung pada April.

“Aku iri A’...”

“Iri? Iri kenapa?

“Alesha bisa ketemu Aa’ tiap hari... Aku? Aku harus menempuh perjalanan jauh hanya untuk melepas rindu...”

“Ssst! Banyak orang di sini, kamu enggak khawatir apa kalau salah satu dari mereka itu fans kamu atau fans grup kamu?” April hanya melirikkan matanya acuh tak acuh.

“Hhhh... Alesha cantik ya, korban Aa’ juga?” Pertanyaan macam apa itu. Aku hanya menggelengkan kepala dan tersenyum kecut. Aku tidak ingin menjawab pertanyaan retoris macam itu.

“Nih...” aku menawarkan sekantung kacang Almond dari display pada April sekedar untuk teman mengobrol sambil menikmati secangkir cokelat panasnya.

“Hmmm... mau mengalihkan pembicaraan ya?” Ah... April, bisa juga dia membaca pikiranku dan aku tertawa tidak jelas menutupi rasa maluku.

“Kapan ke Jakarta lagi?” tanya April yang tengah mengunyah kacang Almond.

“Duh, belum tahu nih... Akhir-akhir ini kebutuhan Aa’ banyak, pengeluaran harus dihemat juga.” Ujarku beralasan.

“Kalau aku sibuk terus kangen gimana dong?”

“Udah kamu fokus kerja aja, jangan mikir aneh-aneh.”

“Aku Cuma mikirin Aa’ kok...” rayu April sambil menyentuh punggung tanganku. Aku yang gugup karena sikapnya itu berusaha menyingkirkan tanganku dan pura-pura menggaruk kepala. “Ya ampun, aku digombalin artis. Jadi ge-er...” ya, aku memang jadi ge-er karena rayuan April tadi.

“Hahaha... abisnya Aa’ aku tungguin di Jakarta enggak dateng-dateng. Ya udah, aku susul deh ke sini.”

“Segitunya ya kamu. Eh, emang kamu enggak ada jadwal manggung?”

“Aa’ ku sayang... ini kan Senin, jadi aku libur kegiatan. Suka gitu deh, mantannya juga satu grup sama aku. Pura-pura lupa... nyebelin!”

“Oh iya lupa... udah, enggak usah dibahas. Ngomong-ngomong apa kabar Fey?” kembali aku berbasa-basi karena kehabisan bahan pembicaraan.

“Katanya enggak usah dibahas, kok nanya kabar? Kangen ya?” air muka April berubah cemberut. Sungguh menggemaskan ketika pipinya digembungkan.

“Bukan begitu, Aa’ udah block semua kontaknya. Akun twit**ternya aja yang aku follow. Tapi setahu Aa’ sosmed kaliandiawasi menejer kan?”

“Ya gitu deh, namanya juga akun dinas. Eh, April aman kan di sini? Takut Teh Dya tiba-tiba muncul...”

“Lho, kok kamu tahu teh Dya?”

“Fey udah cerita semuanya...”

“Baguslah... Jadi Aa’ enggak perlu repot-repot ceritain semua” kembali April menggenggam tanganku. Kali ini aku tidak bisa menghindar.

“Apapun kondisinya... mau dengan siapa Aa’ sekarang... April tetap sayang sama Aa’...” April tersenyum padaku. Senyuman manis itu entah mengapa membuat jantung sedikit berdegup lebih kencang dari biasanya.

“Uhmmm... Ini apa sih... kita belum pacaran... eh...” sial, kenapa aku jadi salah tingkah begini? Buru-buru aku melepas genggaman April dari tanganku.

“Ya udah kita pacaran saja mulai sekarang...” sial, apa-apan ini? “... Lagi pula masa berkabung dengan Fey udah lewat, kan? Udah bisa lupain dia kan? Mau?” cerocos April. Ia mengacungkan jari kelingkingnya padaku. Ini sebuah De Javu... tatanan rambut ini, kulit putih khas Pasundan, pandangan penuh cinta dan usia yang tidak begitu jauh saat Vio mengacungkan jari kelingkingnya di hadapan makam Caroline... sama persis. Apakah semesta memberikan tanda kuasa-Nya lewat April? Atau takdir setan yang akan membuatku terlibat lika-liku percintaan yang melelahkan kembali?

“Bukannya itu kode pertemanan ya?” sengaja aku mengalihkan pembicaraan dengan pernyataan tidak jelas.

“Iiiiih... ya udah sini peluk...” ucap April dengan membuka lebar kedua lengannya.

“Eh, ini tempat umum!”

“Cari tempat sepi atuuuh...”

“Hih! Bandel banget sih kalo dibilangin, nakal ya...”

“Kalo nakalnya buat Aa’ aja enggak apa-apa kan?”

“Di sini enggak boleh nakal!”

“Nnnnnggg! April pengen berduaan sama Aa’!” April merengek sambil menarik-narik lenganku layaknya anak kecil meminta mainan mahal pada orang tuanya... Dasar keras kepala.

“Iya, iya... ya udah nanti sore ikut Aa...” akhirnya aku mengalah dan menuruti kemauan gadis keras kepala ini. “Kemana?” mata bulat April berbinar seketika.

“Taman Cibeunying”

“Ngapain ke taman ih! Ke tempat sepi atuh...”

“Di sana tempat Aa’ ngegalau, kalo sore menjelang petang sepi kok”

“Ya udah asal berdua sama Aa’ aja sih aku... Terus sekarang aku di sini ngapain coba?”

“Bebas. Mau lihatin orang-orang ngopi mangga, mau leyeh-leyeh di sofa butut pojokan juga boleh, sok...”

“Ih enggak asik banget sih... Ya udah aku ke toko sebelah aja deh. Mau lihat-lihat parfum.”

“Sok, mangga... Aa’ kerja dulu ya...”

“Iya Aa’ sayang... mmuach!” April memberikan gestur cium yang menggemaskan. April memang sangat pintar membuat laki-laki salh tingkah. Pantas saja banyak fans-nya yang bertekuk lutut padanya dan menghamburkan banyak dana untuk membuatnya berada pada urutan terdepan grupnya.

“Aa’ apa bilang tadi? Inget kamu siapa dan di mana sekarang...” kataku sedikit tegas dan sok keren demi menutupi kegugupanku. “Hahaha... iya, iya...” tawa April dan segera berlalu menuju toko parfum tepat di sebelah kedaiku.

-o00o-​

Berpacaran? Aku bahkan tidak mengiyakan atau punya alasan kuat untuk menolaknya. April hanya menyatakannya secara sepihak. Oh, April... meski kamu ounya mata yang dapat menaklukkan pria-pria yang akan mendukung karirmu, tapi bagiku semuanya saja. Semua hanyalah sebuah lingkaran yang tidak akan terputus jika aku sudah berhadapan dengan wanita dan memeluknya.

Dua jam telah berlalu dan aku belum melihat sosok April kembali ke kedai. Kemana ya dia? Ah, kenapa aku harus khawatir. Toh dia bukan siapa-siapaku. Hanya seorang gadis yang kebetulan jatuh cinta kepadaku. Lagipula, kedaiku juga sedang ramai-ramainya dan aku takut salah satunya adalah fans garis keras April.

Menjelang senja, April kembali ke kedai dengan tergopoh-gopoh. Ia kerepotan membawa banyak tas belanjaan. Duh, kenapa enggak disimpan di mobilnya saja sih?

“Aa’... hehehe” sapanya sambil terkekeh lalu menaruh barang belanjaannya i atas meja bar. “Dari mana?” tanyaku yang tengah mengelap gelas-gelas kopi yang baru saja aku cuci bersih. “Dari mall situ tuh...” tunjuk April ke arah depan Kedaiku. Memang kedai kopiku terletak di kawasan yang sangat strategis. Tepat berada di tepi jalan utama dan terdapat mall yang selalu ramai dikunjungi oleh warga Bandung tanpa terkecuali.

“Oh, banyak banget belanjaannya?”

“Hehehe... maklumlah. Harus banyak ganti baju biar kalo aku foto, bajunya enggak itu-itu aja.”

“Jangan boros-boros, nabung buat masa depan.”

“Iya Aa’... Nih, April beliin jaket. Dipake ya...” April mengeluarkan jaket berbahan semi kulit berwarna coklat pastel dari kantong belanja salah satu brand ternama. Melihat merk-nya saja aku sudah ingin menolaknya, aku merasa tidak pantas dibelikan barang-barang mewah bermerk seperti ini dan aku masih mampu untuk membelinya sendiri di kawasan Ciwastra. “Jaket kita samaan lho hehehe...” imbuhnya lagi.

“Duh, jangan kayak gini, Pril... Aa’ enggak biasa”

“Terima enggak?!” kata April sambil memelototiku sedetik setelah aku mencoba menolak pemberiannya. “Eh, iya... iya...” dan aku sudah tidak bisa menolaknya.

“Hehehe... Ini A’... Cobain dulu. Takutnya enggak pas, soalnya aku belum tahu ‘ukuran’ Aa’.” Kata April sambil menggerakan kedua jari telunjuk dan tengahnya, seakan mengkonotasikan “ukuran” yang lain. Lalu aku pun memakai jaket itu dengan hati-hati.

“Hmmm... oke, aku coba ya... pas sih... nyaman di bahu... nuhun, ya?”

“Sama-sama, Aa’ sayang... Aku juga mau pake aaah...” April lemudian membuka satu kantong plastik lain berisi jaket serupa dengan milikku dan memakainya. Sangat cocok dengan tubuhnya yang mungil meski sedikit kebesaran.

“Beneran sama ya hahaha, couple...”

“Kan kita emang couple sekarang, gimana sih Aa’?”

“Ya udah, Aa’ siap-siap dulu, pakai aja jaketnya. Kita jalan pakai motor”

“Apa?” April sedikit keheranan mendengar bahwa kami akan mengunakan motor menuju taman. Ia menggaruk-garuk belakang kepalanya seperti ingin menyatakan “Duh, kenapa harus pakai motor?”. “Iya, pakai motor, kenapa? Ah, lupa... kamu mah artis. Enggak pernah naik motor. Takut nanti kulit kamu jadi item” ujarku.

“Bukan gitu haha... April juga suka pesen ojek online kalau kesiangan” April seperti beralasan menutupi ketidaknyamanannya.

“Jadi, enggak masalah, kan?”

“Sama sekali enggak. Malah aku seneng bisa peluk perut buncit Aa’ hihihi...” goda April menutupi kikikannya. “Tapi sebelumnya aku harus pakai masker demi keamanan kita bersama hehehe” hmmm... pintar juga anak ini. Aku segera mengambil helmku di loker dan meminjam helm lain milik pegawaiku untuk April. Tanpa berlama-lama lagi, kami menuju motorku yang terparkir di depan kedai dan segera menuju Taman Cibeunying.

-o00o-​

Motor 110 cc berlogo sayap buatan Jepang berjalan perlahan. Menyusuri jalan Buah Batu ke arah tengah. Jalanan cukup padat di penghujung Senin sore, mengingat hari ini adalah hari pertama warga Bandung kembali dari tempat mereka bekerja atau berkegiatan.Namun semua itu tidak terasa karena April memelukku erat sambil bercerita tentang apa saja. Meski hanya mendengarnya samar-samar karena tertutup oleh masker medisnya.

Aku menyempatkan diri untuk mampir di kios sekitaran Taman Pramuka. Memesan satu Matcha dan Cokelat Dingin. Mengingat Bandung sangat panas dari tadi siang dan menjelang matahari senja mulai tenggelam, kami sampai di Taman Cibeunying. kami mendapati tidak terlalu banyak orang di sana. Hanya ada beberapa pedagang yang mulai mempersiapkan jajanan malam.

Aku mengajak April duduk di salah satu bangku taman yang menghadap instalasi tulisan besar berbunyi “CIBEUNYING PARK”. Lampu-lampu taman bergaya Eropa klasik sudah menyala menyambut malam, memendarkan cahanya di atas trek batu coral yang cocok untuk terapi rematik.

“Aaah... seger ya, A’... jujur April sering ke Bandung tapi baru pertama kali ke sini. Padahal aku sering denger kalo taman di Bandung itu bagus-bagus semua” celoteh April mengagumi taman yang dulunya dijadikan bursa tanaman hias pada tahun 1980-an dan kini diremajakan kembali, menjadi lebih tertata dan segar oleh walikota Bandung yang sekarang menjabat.

“Biasanya Aa’ sering ke sini kalau capek kerja atau banyak pikiran” ujarku mengawang ke arah langit.

“Sendirian?” aku menoleh ke arah April dan menyunggingkan sebuah senyum. Andai dia tahu kalau dia bukan satu-satunya wanita yang aku ajak ke tempat ini.

“Balik ke Jakarta kapan?”

“Besok. Ada konser juga sih di JCC...”

“Konser gede?”

“Bukan. Cuma ngeramein booth pameran sponsor aja.”

“Kalo gitu pulangnya jangan malam-malam, bahaya. Takut nanti nyetirnya enggak konsen” kataku berbasa-basi. Seketika April menyenderkan kepalanya di pundakku dan mengapit lenganku.

“Aku mau di sini lebih lama lagi. Aku pengen peluk Aa’... berduaan sama Aa’...”

Tenggorokanku terasa kering tiba-tiba entah kenapa. “Mmmh... Enggak boleh nakal ah...” ucapku berusaha menenangkan degup jantungku yang membuat darahku berdesir.

“Iya... iya... Kalo aku kangen sama Aa’ aja, boleh kan?” rajuk April manja. Aku mengusap kepalanya dan tersenyum. “Iya, boleh.” Tukasku singkat.

Tubuhnya makin merapat pada tubuhku. Pelukan April semakin erat dan menggenggam tanganku. Jemari mungilnya mengisi setiap ruang kosong di antara jemariku seakan hanya boleh terisi dengan jemari miliknya. Entah mengapa kepalaku seperti memproyeksikan sebuah adegan film romantis dengan latar musik band Post-Rock Explosions in the Sky berjudul “Your Hand in Mine”.

“Aa...” Suara lembutnya mengembalikan kesadaranku yang sedang mengawang.

“Hmmm...”

“Sering-sering ke Jakarta buat ketemu aku ya? Janji?”

“Mudah-mudahan Aa’ diberi rezeki yang melimpah ya...” jawabku sekenanya sekedar membuatnya tenang karena aku sendiri juga tidak akan tahu kemana arah hubungan ini melangkah. “Amiiin...” ucap April penuh harap.

Malam semakin gelap, cahaya lampu taman semakin berpendar menyelimuti kami berdua. Taman ini tidak terlalu ramai. Hanya beberapa orang duduk-duduk di kursi taman di sekitar kami. Sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Aku tidak khawatir dengan keamanan taman ini. Beberapa kamera CCTV di beberapa sudut taman siap mengawasi. Tidak usah khawatir jika lapar atau haus, bergeser sedikit beberapa puluh meter, pusat kuliner malam kaki lima di kota Bandung siap memanjakan lidah dan mengisi perut hingga kenyang.

Tiba-tiba muncul sebuah ide iseng untuk sedikit menghibur April “Hoaaaahmmm... Pril, yuk ikut Aa’...” kataku sambil berdiri dan membuat pelukan April mengendur.

“Eh, kemana?” April yang tengah nyaman memeluk lenganku sedikit kebingungan. “Udah ikut aja...” jawabku.

Aku menarik pelan tangan April ke arah trek batu coral lalu membuka sepatu Converse bulukku. Seakan tahu apa mauku, April pun ikut membuka sepatunya lalu berdiri sejajar denganku.

“Berani?” ucapku dengan nada sedikit mengejek.

“Siapa takut. April kan hampir setiap hari latihan fisik terus” ujarnya tak mau kalah. Kami pun memasang kuda-kuda layaknya pelari Olimpiade.

“Sakit lho ini...”

“Hehehe... we’ll see. Yang tua kan Aa’ haha, bye!”

“Hey, curang! Nyolong start!” aku tidak menduga ia akan berlari dulu sebelum aku memulai aba-aba.

April melangkah lebih dahulu. Langkahnya ringan seakan di bawah telapak kakinya bukan bebatuan coral melainkan lantai biasa. Aku? Aku tidak mau membicarakannya. Tubuh tua ini sudah terlampau lama menumpuk penyakit. Tiap langkah adalah siksaan bagiku. Menjalar dari telapak kaki hingga ke ujung kepalaku. Susah payah aku mengejar April yang masih muda dan prima tapi tetap saja aku yang kalah. Tak jarang aku mendengar April meledekku. Seakan gembira melihatku tersiksa seperti ini.

“Yeay! Aku menang hahaha... Ayo sini A’... Semangat!” teriaknya meregangkan kedua tangannya, mengundangku untuk masuk kedalam pelukkannya. Keringat dingin sudah membasahi keningku, susah payah aku menahan sakit di telapak kaki dan akhirnya ambruk di pelukkan April dengan nafas terengah-engah.

“Yeay, Aa’ berhasil! Hahaha masa tuan rumah kalah sama tamu? Udah dibilang April itu sehat, A’...Tapi aku seneng kalo Aa’ kalah. April jadi bisa peluk Aa’...” selorohnya sambil memeluk tubuh tua ini.

“Kamu ya... tungggu aja nanti. Aa’ enggak bakal kalah sama kamu. Aa’ Cuma kurang olahraga” ujarku membela diri dengan nafas tak teratur.

“Halah, alesan... Capek ya?”

“Sakit tau! Bukan capek”

“Dasar orang tua... Ehmmm... Makasih A’...” aku menatap April keheranan “... terima kasih... April seneng banget hari ini, meski Cuma diajak ke taman, April suka dengan kesederhanaan Aa’ yang bikin aku terpikat...” ujar April sambil menyeka keringat di dahiku dengan telapak tangannya yang halus terawat. Aku hanya bisa menatap mata bulatnya yang indah ditimpa sinar lampu taman. Sejenak aku terlena dalam tatapannya.

“Ah, biasa aja... eh, duduk yuk” ujarku menutupi kegugupanku. April menuruti ajakanku dan kembali ke bangku taman kami tadi. Kami menikmati sisa minuman yang kami beli tadi saat perjalanan menuju taman ini. Aku meyulut sebatang rokok dan April tidak keberatan akan hal itu. Aku pernah mendengar jika seorang wanita tidak keberatan saat kamu merokok di depannya, berarti ia menyukai kamu apa adanya. Entah benar atau tidak.

“Aa’...” ucapnya saat aku menghembuskan asap rokok dari rongga mulutku. Mataku tertuju pada April yang sedang menatap kosong ke arah depan.

“Suatu ketika di alam mimpiku, saat itu hujan turun di luar sana...”

“Eh...” aku merasa tidak asing dengan kata-kata itu

“Suatu ketika di alam mimpiku, Aa’ menghujaniku dengan ribuan ciuman...

“Tunggu... itu kan...”

Mulutku dikatupkan dengan telunjuknya, menghentikan perkataanku yang sudah berada di ujung lidah, matanya menatapku dalam-dalam...

“April sayang, Aa’...”

Dan sebuah pelukan erat dari April menyelimuti tubuhku. April seakan tidak peduli dengan beberapa pasang mata di seberang remang malam yang memperhatikan kami berdua saat ini. De Javu... kata-kata yang tidak asing ini memunculkan tanda tanya besar dalam kepalaku. Aku sangat ingin berkata “Siapakah dirimu sebenarnya, April?” tetapi ku tidak mau merusak momen ini. Momen yang sangat berarti bagi April.

Angga, sudah... Jangan terlalu dalam memikirkannya.

To Be Continued.
 
Terakhir diubah:
Fiuuuuhhh... Akhirnya update juga setelah sekian lama. Oh, iya... sebelumnya saya mau mengucapkan selamat idul fitri buat yang (masih) merayakan. Mohon maaf lahir dan batin.

Kembali update episode kali ini dipotong menjadi 2 bagian... Entah kenapa saking asyiknya nulis tau2 word count membengkak. Tapi malah jadi keresen sih pake desimal gitu episodenya kayak serial Mr. Robot haha...

Hmmm, kali ini Angga perlahan masuk ke dalam pusaran perasaan April. Bagaimana ya kisah selanjutnya? Tunggu saja nanti.

Dan kali ini gue nyisipin salah satu lagu yang ada di playlist buat menemani gue nulis episode kali ini...

=======================

Turut serta mengundang @BHDB dan mamah @VionaDewi
 
Terakhir diubah:
Ada cerita menarik nih..banyak ketinggalan..
Ijin pantengin cerita ini ya om.. @INSYFCL

Silahkan mengambil seat terbaik, semoga betah

Bagus ceritanya....tapi saya malah jatuh cinta sama feydora

Thank you. Jadi #TeamFey nih?

Aarrggh, April, kamu keterlaluan nikungnya, kamu menikung FR Fey...:hammer:

Eh, aku gak terima kamu bilang semua cowok sama.....

Aku gak brengsek, koq....:pandapeace::pandaketawa:

Kalo ga brengsek, ga bikin akun di sini, mas... Eh gimana?

Ah Aleshaa~~

Sudah crot mas? Bersihin dulu itu pejunya.

------

Kok Frozen-nya State Champs nempel di otak mulu ya...
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd