Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG The Journey Of Leo

Mantap... Ga tau musti bilang apa,:Peace:


Maksud gue mulustrasinya muantap:p
Hahaha



Lanjut bli klimis, bikin penasaran... Oy
 
fantastic journey bli...dengan pengalaman buruk diusia muda bisa menjadi dorongan dimasa depan, toh namanya juga abg pasti labil dan lemah
 
Update kali ini lagi" bli Leo merasakan kesedihan, tapi itu masih wajar karena masih muda, dari pengalaman ini bisa membentuk bli Leo jadi karakter lebih kuat lagi, ddi tunggu next ny bli..
 
Sialan gw ketinggalan cerita yang bagus. Kayaknya mantep kisah hidupmu kisanak, layak diangkat ke layar semprot.
Lancrooot......
 
Part XXIII
Hidup Adalah Sinema


Retno Yulandari, R.A.

Semakin hari kita semakin mengerti bahwa hidup itu bagaikan kepingan puzzle yang terpisah. Dan kita diharuskan untuk mencari kepingan tersebut lalu kemudian menyusunnya menjadi satu kesatuan.

Kita tidak pernah tahu gambar seperti apa yang akan terangkai jika semua puzzle itu telah lengkap. Misteri. Seperti teori gerak sejarah, manusia wajib berusaha namun pada akhirnya semua kembali pada rencana Tuhan.

Hal ini yang aku rasakan sekarang. Semua malaikat yang mengisi hari dan hatiku semasa SMP kini silih berganti pergi dan enggan untuk kembali. Sesuatu yang sama sekali tidak pernah aku bayangkan sebelumnya.

Terkadang aku mengutuk pertemuan jika hanya akan menghasilkan perpisahan. Tapi mulai dari sini aku belajar bahwa apapun yang datang dariNya suatu saat akan kembali padaNya.

Setelah Trisa hilang di benua seberang, giliran Dina yang harus terbenam karena luka. Dan kini Jan pun harus pergi berlalu dan hanya menyisakan sejarah saja, bahwa dia pernah ada dihidupku.

Untuk Trisa itu sesuatu yang sangat dapat ditoleransi, untuk Dina itu murni kesalahanku dan aku pantas menerimanya. Tapi kehilangan Jan aku benar-benar tak bisa terima, setelah apa yang aku berusaha lakukan padanya. Aku hanya berusaha menyelamatkannya dari keburukan, tapi itu dianggap sebuah dosa. Sampai sekarang aku tak mengerti.

Segala daya dan upaya aku lakukan untuk bisa kembali dekat dengannya, namun itu kini bagaikan harapan kosong. Seketika itu juga dia menjadi sangat membenci, aku hanya bisa pasrah. Hyang Widhi tahu apa yang telah aku lakukan.

~~~~O~~~~

Aku merenung di tempat tidurku, baru setengah empat pagi aku sudah terjaga. Aku memimpikan Jan malam itu, mimpi pertama kali bertemu dengannya hingga kenangan menjamahi tubuhnya dengan rasa cinta.

Kupandangi layar hapeku dengan mata yang masih sepet, berharap ada sms darinya tapi tidak juga. Mungkin sudah puluhan kali aku mengirim sms kata maaf.

Kunyalakan tv tidak ada acara yang menarik, hari ini juga tidak ada jadwal Liga Champion. Kumatikan lagi tvku, menikmati suasana hening, dalam hati aku membatin. Apa ada yang salah denganku ? Hingga aku berulang kali merasakan kehilangan.

Aku bangun kesiangan, aku lupa menset alarmku di jam 6 pagi seperti biasanya. Buru-buru aku mandi dan segera berhamburan berangkat ke sekolah. Ibuku hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah anaknya.

Aku telat 15 menit, gerbang sudah ditutup namun tidak sepenuhnya. Masih ada celah, segera saja aku masuk. Belum selesai celingak-celingukku mengawasi keadaan Pak Kepala Sekolah sudah muncul dihadapanku dengan wajah se sangar Penguin, musuh Batman.

Kuparkir motorku segera, dipanggilnya aku ke tempat beliau berdiri. Aku berjalan menunduk bukan karena takut, tapi memang sudah sepantasnya seoramg murid segan dan menghormati pendidiknya, terlebih lagi aku memang berbuat salah.

"Sini kamu !!!"

"Iya pak" aku berjalan ragu.

"Kenapa telat ?"

"Maaf pak, saya bangun kesiangan."

"Kenapa? Habis ngapain kamu begadang?"

"Ngga pak, cuman kebangun tadi dini hari, terus susah tidur lagi pak." Aku lebih baik jujur dan tetap menunduk.

"Ya baguslah kamu jujur, kamu belum pernah saya lihat telat juga. Ya sudah balik ke kelas sana !!." Hardik Pak Kepala Sekolah.

Aku ngeloyor pergi menuju motorku, belum ada lima langkah, aku sudah membeku kembali.

"Stooopp kamu !!! Kesini lagi !!!."
Ada apa lagi ini ? Bathinku.

Plaaaaaakkkk plaaaaaakkkk ctttaaaakkkk

Dua tamparan keras bolak balik mengenai pipiku dan telingaku, ditambah sekali sabetan penggaris kayu pada kepalaku membuat kepalaku nyut-nyutan. Aku kaget dan hampir bereaksi keras, tapi mampu kutahan.

"Kamu !!! Kenapa ada tindikan di telingamu? Mau jadi bajingan kamu !!!."

Oh My God, aku lupa melepas piercingku. Bukan piercing dari metal sebenarnya, hanya potongan batang cotton bud yang aku jejali di kedua daun telingaku yang kulubangi agar lubangnya itu tidak sempit dan menutup. Biasanya jika aku melepas piercingku aku pasangi batang cotton bud itu, yang aku potong pendek sehingga tidak menonjol keluar.

Tapi karena tadi aku buru-buru melepas helmku mungkin jadi terdorong, dan batang cotton budnya menonjol di daun telingaku.

Tamparan Pak Kepala Sekolah masih terasa panas di wajah dan telingaku. Segera kulepas piercing buatan itu aku tak berani menoleh sama sekali. Sampai diijinkan balik ke kelas. Ah pagi yang sial.

Aku bergegas menuju kelasku, perjalanan menuju kelasku mau tidak mau melewati kelas Dina. Tadinya aku berniat untuk tidak menoleh, beberapa anak cowok di kelas Dina yang kukenal mulai memanggil manggil. Akhirnya aku melirik ke arah kelas juga, Dina membuang muka dan Putri teman duduknya melotot sambil mamerin bogem.

Aku masuk ke kelas dan segera melapor ke guru bahwa aku telat dan menghadap Kepsek barusan. Aku dipersilahkan duduk, untung saja hari ini pelajaran Antropologi, gurunya lumayan baik.

Begitu aku duduk, Retno segera melemparkan pandangan padaku, dia menatap iba. Kami berkomunikasi dengan isyarat tubuh yang dengan mudah kumengerti. Kuberi tahu bahwa aku digampar kepsek padanya. Dia menunjukkan ekspresi yang disedih-sedihkan.

Sewaktu istirahat siang Retno mengajakku makan bareng di kantin. Entah kenapa hari ini dia begitu baik dan perhatian padaku, aku takut kege-eran.

"Yo nanti anter Retno pulang ya."

"Ehh siap, tumben ngga dijemput cowoknya?"

"Taulah lagi males, ngga usah bahas cowok deh !" Dia sewot.

"Eh siaap laksanakan."

Sepulang sekolah aku langsung mengantarnya pulang, sempat berencana untuk nongkrong atau makan siang tapi dia bilang lagi capek. Namun dia mengajakku untuk jalan malam nanti, lumayan mengejutkan, tapi kenapa tidak?

Malamnya sesuai planning aku dan Retno jadi jalan. Dan tujuan kami adalah sebuah resto bbq di bilangan petitenget. Kami memilih lokasi duduk di bagian depan resto dan paling ujung.

Setelah pesanan tiba kami segera melahap makanan sembari ngobrol macam-macam. Kombinasi daging wagyu yang empuk dan diolah dengan baik plus bir dingin membuat obrolan jadi asyik.

Makanan di resto ini tergolong cukup mahal karena memang premium. Tapi berhubung aku masih punya tabungan yang rencananya kugunakan untuk dinner dengan Jan jadinya bisa buat traktir Retno sekarang.

Obrolam makin lama makin mengalir, tiga tahun sekelas membuatku cukup enak untuk obrolin apa saja termasuk urusan pacaram dan sex. Retnopun begitu walaupun masih ada yang ditutupi.

"Kamu ngga papa aku ajakin jalan gini?"

"Emangnya kenapa?"

"Tar prahara lah rumah tanggamu, hehe"

"Tuh kan dibilangin jangan bahas mantanku." Dia mendadak ketus.

"Eh, mantan? Emang udah putus lagi? Gile deh mau dong dijadiin koleksi tante." Aku bercanda.

"Beneran mau? Awas ntar lama-lama kabur."

"Ngga lah, cowok mana yang bisa nolak kamu?."

"Yeee pasti adalah..."

Retno tiba-tiba memandang kosong ke arah jalan. Lama dia melamun dan terdiam. Kuberanikan diri bertanya.

"Kok malah bengong?" Aku berusaha membuyarkan lamunannya.

"Hehehe, ngga papa. Lagi kesel sama sedih aja." Retno seperti akan menceritalan sesuatu.

"Udah cerita aja, ngga usah pake ditahan begitu, santai lah."

"Uhm males sih, tapi udah ah, aku percaya sama kamu Yo.. Aku udah putus sama cowokku."

"Lho? Kenapa? Bukannya belum lama?"

"Iya baru jalan dua bulan sih.. kamu gimana sama cewek kamu yang kemarin itu?"

"Yah begitulah, dia ngilang aja, padahal aku cuman marah gara-gara dia neken (baca:ngineks) itu."

"Oh gitu, yah ikhlasin aja Yo..." Sejenak hening.

"Yo.. aku hamil." Retno tiba-tiba ngomong.

"Eh?..."

"Iya Yo aku hamil, sama Rama. Cowok aku yang terakhir."

"Terus? Kenapa kalian putus? Dia ngga mau tanggung jawab?." Nada suaraku sedikit meninggi.

"Awalnya dia ngga percaya, terus aku liatin aja test packnya, dia bilang belum siap nikah, belum kerjalah, apalah."

"Bangsat banget sih, ayo sini samperin ke rumahnya, biar dia punya rasa tanggung jawab sedikit."

"Udah Yo ngga usah gitu juga, biarin aja, aku bakal besarin ni anak sendiri, atau kalau ngga aku bakal gugurin."

"Jangan gila Retno !!! Bayi itu ngga punya salah apa-apa." Aku memegang kedua tangannya dan menghusapnya halus.

Retno menangis, sendu sekali, seolah berteriak pada dunia jika dia saat ini benar-benar tak berdaya. Segera aku ambil tisu dan menyeka air matanya, aku pegang erat kedua tangannya. Mengisyaratkan bahwa dia tidak sendirian ada aku yang siap diajak berbagi beban.

Gelagat kami berdua memancing perhatian beberapa pengunjung dan terutama para pelayan resto, kulihat beberapa dari mereka senyum-senyum, bahkan ada yang bibirnya bergerak tak bersuara tapi aku tahu kata-katanya, "So Sweet". Mereka pikir kami pacaran.

Hari sudah mulai malam, kuantar Retno pulang. Jarak rumah Retno dengan tempat tadi tidak begitu jauh, jadi sengaja kupelankan laju sepeda motorku, agar bisa lebih lama dengannya.

Diperjalanan dia memelukku dan kepalanya bersandar dipunggungku. Dari ceritanya diperjalanan aku tahu usia kehamilannya kini memasuki dua bulan. Aku berusaha menghiburnya dengan jokes-jokes basi dan cerita-cerita awal sekolah untuk paling tidak mengalihkan pikirannya dari masalahnya itu.

Malam itu ada perasaan yang beda menghampiriku, aku sayang dengannya. Tapi bukan sayang dengan kekasih, melainkan seperti sayang ke sahabat. Aku berjanji akan menemaninya sampai masalah ini selesai.

~~~~O~~~~

Hari-hari berikutnya Aku dan Retno makin nempel di sekolah. Kemana-mana berdua, sampai temen-temen di kelas pada minta traktiran. Tapi ngga aku ngga berniat memacarinya, aku tampaknya ngga ada niat pacaran sama sekali saat ini.

Sudah tiga hari belakangan aku selalu mengantarnya pulang dan sore nanti dia meminta tolong untuk menemaninya mencari beberapa novel. Karena dia tahu aku suka baca jadilah aku yang ditugasi menemaninya, aku curiganya dia ngga baca terus buntut-buntutnya aku yang nyeritain.

Sore menjelang sandikala (maghrib) aku sudah tiba di rumahnya. Beberapa kali kupanggil, tak ada yang menyahut. Sampai akhirnya pembantunya membukakan pintu.

"Langsung masuk ke kamarnya aja bli, mbak Retno lagi mandi. Saya tinggal dulu ya, lagi ada keperluan keluarga."

"Oh iya mbak, makasih."

Aku langsung masuk ke kamarnya, sejenak aku ragu dan sempat duduk di ruang tamunya. Takut ada ortunya terus aku main nyelonong ke kamar anak gadis orang, ngga sopan.

Tapi rumahnya benar-benar sepi, aku beranikan masuk ke kamarnya. Dan aku benar-benar canggung di dalam sana, terpaksa kunyalakan tv saja. Tak lama Retno keluar dari kamar mandi dan dengan handuk yang masih dilingkarkan di dadanya.

"Ehh Romeonya Retno udah datang."

"Wuih aku mesti hadap mana ni? Ngga enak ngga ngeliatin, eh ngeliatin maksudnya." Aku pura-pura menutup mata.

"Ihhh pake gituan segala, liat deh Yo, perut Retno sekarang segini."

Retno melolosi handuknya hingga jatuh ke lantai. Kini tak sehelai benangpun menutupi tubuh mulusnya. Aku bisa melihat dua buah payudara yang sempurna itu, terbaik yang pernah kulihat. Bulat sempurna, kutaksir 36B, areola cokelat muda agak kemerahan dan outing yang tidak terlalu besar.

Gleeekkk... Aku menelan ludah tak sanggup berkata-kata melihat pemandangan ini. Pinggang retno yang kecil berpadu manis dengan bokongnya yang bulat besar. Tampak memeknya yang tembem dan baru saja di brazilian wax alias dicukur abis, membuat penisku berontak di bawah sana.

Tapi aku tak berani menoleh, hanya sesekali curi-curi pandang saja. Retno makin mendekat ke arahku. Dan menghempaskan tubuhnya di ranjang sangat dekat denganku.

"Paling enak habis mandi itu bobo telanjang Yo, kayak ngga ada beban gitu, adem banget."

"Eh iya mungkin emang manusia itu lebih nyaman telanjang ya, karena lahirnya aja begitu." Aku asal bicara.

"Kamu mau? Kenapa ngga telanjang juga, ayo dong, biar adem."

"Ehh? ? Masak iya aku telanjang depan kamu?."

"Ihh Leo emang kenapa? Emang cewek-cewek itu doang yang boleh liat kamu telanjang? Huh!!." Retno malah ketus.

"Ehhh yang bener ni?"

"Buka ngga? Kalo ngga aku ngambek, kita musuhan."

Aku terpaksa menurutinya, malu juga mesti telanjang di depan cewek yang bukan pacar. Bukannya pernah sama Mbak Shanty, ah tapi itu beda ini sahabat sendiri.

Akhirnya aku telanjang bulat, kututupi penisku yang menegang, tapi masih sedikit lewat-lewat. Retno ketawa cekikikan.

"Ahh apaan tu pake ditutupin gitu."

"Malu lah, tegang ni?"

"Huahahahaha tegang yang mana hayo??"

"Sialan ni anak, sini tak toyor !!!"

Aku berusaha menangkapnya dan menggelitikinya tapi berhasil menghindar, terjadilah adegan saling balas gelitikan. Hingga entah bagaimana tubuhku sudah di atasnya dengan posisi seperti sedang push up. Dia ketawa cekikikan, sambil melirik ke arah penisku kemudian dia menyentil penisku hingga aku rebah menyamping.

"Wihh gede banget Yo, belum pernah deh liat yang gede sama panjangnya pas gitu, hihihi."

"Hadeh, apaan coba."

Aku jadi salah tingkah, aku tidur disampingnya sembari menutupi penisku yang masih tegang. Retno sama sekali tidak menutupi bagian terlarang tubuhnya, dia biarkan semuanya terekspos. Kami berdua mendongak menatap langit-langit kamar dan menikmati dinginnya AC.

"Terus gimana rencana kamu? udah berusaha hubungin Rama?"

"Ngga ah, aku males, biarin aja kayak gini, abis ujian aku baru bakal ngomong sama orang tua, apapun hasilnya aku hadapin aja sendiri."

Kulirik dia, air mata mulai mengalir, tapi dia berusaha menahan isaknya.
Kudekap dia dan meletakkan tangan kiriku untuk alas tidurnya, dia makin mendekat dan kepalanya sudah didadaku.

"Aku aja yang tanggung jawab, aku aja yang nikahin kamu." Tiba-tiba saja kata-kata itu meluncur dari mulutku, tapi aku benar-benar tulus.

"Eh Leo?" Retno menatapku penuh arti.
Aku memeluknya lebih erat, aku sudah bertekad menyelamatkan hidup cewek ini. Sekalipun aku tak tahu akan bagaimana nasibku nanti.

Retno bergerak ke atasku, aku sedikit kaget baru saja mulutku terbuka ingin bicara, tiba-tiba bibirnya melumat bibirku. Lidahnya berusaha menerobos ke dalam bibirku, ciumannya penuh perasaan dan nafsu.

Aku tak ingin menolak ini, kubalas pagutannya. Bibir kami sudah saling memagut. Sesekali bibirku bergerak menjauhi bibirnya, namun bibirnya segera melahap bibirku lagi.

Ccuuuppp cuppppp

"Enak ternyata ciuman sama kamu Yo. Kamu sabar banget memperlakukan cewek. Ngga kayak mantan-mantan aku."

"Eh aku ngga begitu paham, ciuman ya begitu aja, ngalir, hehehe."

Hanya berhenti sebentar bibirnya kembali melumat bibirku, ciuman kami memanas, namun aku tetap berusaha sopan untuk tidak menyentuhnya, padahal aku beneran ngga tahan.

Dia mulai menciumi leherku, aku menahan geli dan dadaku serasa berdesir. Retno bergerak turun dan menciumi leherku, kemudian dadaku hingga perutku. Lama dia menciumi pusarku, aku menahan geli.

Kini dia semakin bergerak turun, wajahnya sudah tepat berada di depan penisku yang sedari tadi tegang maksimal. Diciuminya penisku, tangannya mulai mengocok-ngocok pelan. Diludahinya sedikit ujung penisku dan mulai mengulumnya sembari tangannya mengocok-ngocoki teratur.

"Eeehmm eehmmm ggeede baangg eemm" suaranya tak jelas.

"Eerghhh enak banget blowjobmu argghh"

Retno makin ganas memblowjob penisku, kini dia menjilati mulai dari batang penis hingga ke testis. Rasa geli menjalar ke seluruh tubuhku.

"Eerrgghhh errrghhh aku mau keluar."
Retno mempercepat ritme kocokan dan kepalanya naik turun makin cepat, hingga aku sudah tak tahan lagi, tubuhku menegang, penisku sudah ingin muntah.

Crooottt crootttt croottt

Aku mengejan, spermaku berhamburan di dalam mulut Retno. Dia makin keras menyedot penisku hingga bibirnya kempot. Kemudian dia memperlihatkan spermaku di bibirnya sembari tersenyum nakal dan selanjutnya menelannya.

"Enak banget blowjob kamu."

Retjo tersenyum manja, kutarik tangannya dan tubuhnya mengikuti. Sekarang posisinya sudah berjongkok tepat di depan wajahku. Tampak vagina yang tembem tanpa bulu itu. Segera saja aku lumat dah hisap-hisap vagina itu, Retno mulai mendesah. Ditambah permainan jariku menekan-nekan dan menggesek klitorisnya.

Cukup lama ada di posisi itu hingga sepertinya Retno pegal, selanjutnya kurebahkan dia dan segera melanjutkan tugasku. Vaginanya sudah basah oleh liur dan cairan kewanitaannya. Lidahku makin aktif menyapu seluruh bagian vaginanya, jari-jariku kini mengaduk-aduk vaginya.

"Aaaauucchhhh aaaagghhh saayyaangg aaaghhhh."

Desahan manjanya semakin membuatku bersemangat, kupercepat kobelan dan permainan lidahku hingga dia makin meracau.

"Aaarrgghhhh tteeruuss diisituuu, ddiikittt laaggi yyaangg aaagghhhh"
Tubuh Retno menegang, dia meremas-remas payudaranya yang besar, wajahnya memerah dan akhirnya tubuhnya bergetar hebat, Retno mencapai orgasmenya. Dia menarikku dan memelukku erat di atas tubuhnya.
"Enak banget sayang." Dia berbisik di telingaku dan menciumnya.

Aku mencium keningnya, ada perasaan sayang terhadap wanita ini tapi entah berbeda. Kutatap matanya dalam-dalam.

"Aku yang tanggung jawab, kamu mau?"

Dia tak menjawab hanya tersenyum, sesaat kemudian dia membalik tubuhku dan kini sudah berada di atasku. Kami mulai berciuman, dia mengarahkan tanganku menuju payudara sempurnya. Luar biasa sekali payudara itu, putih, kenyal dan halus sekali kulit pembungkusnya.

Kumainkan putingnya dia makin ganas melumat bibirku. Sepertinya sudah tidak tahan lagi, dia menggapai-gapai penisku yang kembali tegak. Kemudian mengarahkannya ke vaginanya yang sudah basah.

Digesek-gesekkannya ujung penisku di bibir vaginanya untuk memudahkan akses masuk. Dia mendorong sedikit, mengangkatnya lagi, kemudian mendorong lagi. Bleeesssss, penisku sudsh masuk sempurna di vaginanya.
Luar biasa rasa vagina wanita ini, sekalipun sudah sering ngentot tapi masih rapet. Didiamkannya penisku di dalam sana sembari diberi sensasi kedutan. Aku makin ganas dan bergerak melahap payudaranya.

Retno mulai menggerakkan pinggulnya, tempo lambat, lebih cepat, dan lebih cepat lagi. Goyangan pinggul itu sungguh membuai titik kenikmatanku. Retno seperti mencari posisi agar penisku menyentuh titik nikmatnya. Dia juga memainkan jarinya di klitorisnya.

"Aaaauuccchhh aaarrggghh oooogghh ennaaakk ssaayyaaanng."

Retno seperti mengejar orgasme keduanya sedikit lagi, dia mempercepat goyangannya, aku menahan-nahan agar tak segera ngecrot juga. Dan kemudian Retno mendesah panjang dan keras sekali.

"Aaaaaaaarrrggghhhhhhh arrrgghhhhh."

Tubuhnya menegang dan kemudian gemetaran kepalanya mendongak ke atas. Sepertinya dia sudah sampai, aku tak tinggal diam kugenjot dia dari bawah hingga tubuhnya bergoyang-goyang. Retno tak kuasa menahan nikmat.

"Eeehhhmm uuuhhmm aaarrghhh saaaynggg aaargghh."

Pinggulku pegal karena posisi itu, segera aku cabut penisku dan menyuruhnya nungging. Retno sudah sangat lemas, dia hanya menjatuhkan diri, pantatnya diangkat dan kepalanya tiduran di kasur.

Blesss....

Dalam satu hentakan aku sudah memasukkan penisku lagi, kugenjot dengan cepat vagina nikmat itu, aku seperti tak ingin melewatkan sedikitpun kenikmatan yang diberikan Retno.

Tanganku mencengkram pinggangnya kuat-kuat.

Plok plok plok plok

Suara kelamin beradu memenuhi ruangan disusul erangan kenikmatan kami berdua, aku sudah hampir ngecrot. Kupercepat lagi genjotanku, ah nikmat sekali memek ini. Testisku sudah mengirim sinyal akan segera ngecrot.

"Eeegghh ssayang akuu mau keluaar."

"Di dalem ajaa sayang.."

Crooot croott crott

Aku memuntahkan spermaku hingga tetes terakhir di dalam vagina Retno, nikmat sekali rasanya. Aku tak pernah membayangkan akhirnya fantasiku kejadian juga, aku ngentot dengan wanita idolaku. Retno.

Aku rebah di kasur, Retno tidur di atas kepalaku, keringat membasahi kami berdua. Kondisi kasur Retno sudah tak karuan, kubelai halus rambutnya.

"Enak banget sayang." Dia menoleh padaku.

"Kamu luas biasa banget." Aku memuji.

"Kenapa kamu ngga pernah mau jadi pacarku Leo?."

"Eh? Aku daridulu suka kamu malah, tapi boro-boro jadi pacar, kesempatan buat deketin aja ngga pernah punya."

"Yeee usaha dong." Ledeknya.

"Kalah saing aku, kamu belum apa-apa udah ganti pacar mulu. Ngga papa deh ngga jadi pacar, tapi jadi suamimu aku siap kok."

Retno menatapku dalam senyuman. Aku bergerak menciumi keningnya.

"Kamu ngga perlu ngelakuin itu Leo, aku tau kamu baik banget, aku juga tau kamu ngga cuman sekedar ngomong aja. Tapi ini bukan tanggung jawab kamu."

"Ngga papa aku siap kok, aku ngga bisa biarin kamu gini, aku sayang kamu."

"Aku juga sayang, tapi biar ini jadi tanggung jawabku sendiri." Dia meraih jemariku dan menciumnya.

Hampir sebulan kami bersama, aku menemaninya ke mana-mana. Ke dokter kandunganpun aku temani. Sampai-sampai dokternya menatapku curiga kalau kami belum menikah karena kelihatan masih sangat muda. Jadilah aku sedikit dapat omelan dari dokter.

Di suatu hari, Retno mengabariku bahwa Rama telah datang ke rumahnya bersama orang tuanya untuk membicarakan masalah kehamilannya. Dan mereka sepakat akan menikah setelah tamat SMA. Masih ada waktu sekitar 3 bulan lagi. Aku berdoa semoga perut Retno tidak mencolok sehingga tidak harus berhenti sekolah dan bisa ikut ujian akhir.

Aku masih sering menemani Retno, kadang Retno yang ke rumahku dan kadajng aku yang mengantarkannya pulang jika Rama tidak bisa. Rama menganggap aku sahabat Retno dan bisa dipercaya.

Padahal kami masih sering ngesex dan makin intens. Aku sebenanya tak ingin mengambil kesempatan di situasi seperti ini. Tapi Retno yang memaksa mengajakku ML. Aku jelas tak menolak.

Retno bisa mengikuti ujian kelulusan, dengan bantuan korset dan seragam yang lebih besar. Tak ada yang tahu di kelas tentang kehamilan Retno selain aku. Aku sempat khawatir, takutnya memakai korset malah membahayakan perut Retno. Tapi dia sudah konsultasi dengan saudaranya yang dokter kandungan katanya aman.

Akhirnya kami lulus semua, semua bergembira karena sudah lolos dari lubang jarum. Aku juga lega tapi ada kesedihan mesti berpisah dengan teman-temanku. Mesti kehilangan momen berwarna di masa putih abu. Mesti kehilangan Retno yang akan menikah dan semakin jauh dari Dina. Hidup memang layaknya sebuah sinema dengan segala lakon dan jalan ceritanya.

Retno mengucapkan perpisahan padaku dia memelukku menangis tersedu dan tak henti mengucapkan terima kasih. Aku balas dekapannya, lagi-lagi aku harus merelakan sesuatu. Tapi kali ini aku tak sakit hati, aku tak merasa seperti kehilangan pacar. Aku merasa seperti kehilangan sahabat atau mungkin saudara.

Sepertinya aku sudah tidak semudah itu lagi untuk jatuh cinta.
 
Thx updatenya hu
Leo tidak mudah jatuh cinta ato sudah tidak mau mencintai hu?
Semoga bukan trauma karena selalu menemukan kepahitan cinta ya hu?
 
Trms dah abdet ..yo..semangat kisah mu bagus dan gak baik klo di pendam sendiri ...lanjut terus
 
Bimabet
Untung Retno masih ada sedikit nasib baik....
Masih ada sahabat yang menemani.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd