Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG The Journey Of Leo

Berandalklimis

Adik Semprot
Daftar
1 Sep 2017
Post
115
Like diterima
362
Bimabet
Halo para suhu dan agan - agan semproters yang luar biasa, ijinkan nubie sharing karya perdana nubie. Semoga dapat meramaikan forum tercinta ini.

Cerita ini akan berkisar seputar kisah perjalanan hidup tokoh utama, dari cinta monyet, beranjak sma, mengenal sex, terjerumus lembah hitam narkoba dan perlahan menjadi seseorang yang dewasa, dalam urusan cinta maupun sex. 90% isi cerita ini merupakan real story namun dengan nama-nama tokoh yang disamarkan.

Mungkin cerita agak sedikit lambat dan panjang, karena nubie ingin benar-benar detail menceritakan petualangan tokoh utama disini. Hingga pemilihan mulustrasinyapun Nubie usahakan memang semirip mungkin. Nubie berharap karya ini bisa sampai tamat dan harus tamat. Karena ini mungkin jadi karya pertama dan terakhir nubi. Mohon maaf bila nantinya nubie kurang bisa aktif membalas komen dari para semproters karena kesibukan nubie di RL.

Selamat menikmati karya nubie yang jauh dari kata sempurna ini.
Note : Author berusaha menampilkan mulustrasi yang paling mendekati aslinya, agar lebih menguatkan cerita ini, sebenernya bisa saja Author menggunakan foto asli tapi rasanya ngga etis. Jika ada yang mengenal foto mulustrasi yang penulis gunakan dicerita ini mohon dimaafkan dan tidak ada niat buruk apalagi melecehkan.

I N D E X
Part I : PROLOG
Part II : AWAL MULA
Part III : CINTA KERA
Part IV : ATMOSFIR BARU
Part V. : Generasi Emas
Part VI : MENUJU PUNCAK TERTINGGI
Part VII : USAHA MELAMPAUI BATAS
Part VIII: PATAH TUMBUH HILANG BERGANTI
Part IX : SISA CERITA PUTIH BIRU
Part X. : DINAMIKA PUTIH ABU
Part XI : METAFORMOSIS SEEKOR SINGA
Part XII : ROLLER COASTER
Part XIII : JANUARY DI JANUARI
Part XIV : DANCING WITH A WOLF
Part XV. : BIARKAN DALAM RESAH
Part XVI : ADA HARGA YANG DIBAYAR
Part XVII: BERJALAN LEBIH JAUH
Part XVIII: KAU & AKU MENUJU RUANG HAMPA
Part XIX : KALI KEDUA
Part XX. : SENANDUNG MAAF
Part XXI : BENCI UNTUK MENCINTA
Part XXII. : BUTA HATI
Part XXIII : HIDUP ADALAH SINEMA
Part XXIV : AMAI OMOIDE
Part XXV :
PLASTIC LOVE (Updated)

The Journey Of Leo



Part I

PROLOG

Aku Leonard, orang mengenalku dengan nama Leo. Ya, aku memang lahir di bulan milik zodiak berlambang singa tersebut. Wajahku biasa - biasa saja, tidak terlalu ganteng dan tidak juga jelek. Tapi kata teman - teman cewekku aku punya daya tarik tersendiri, anggap saja "charming". Sedikit nyombong, hehehe.

Aku memiliki postur yang bisa dikatakan ideal, karena kegemaranku bermain sepak bola, tapi ga sixpack juga, tinggi 180cm dan berat 80kg, berisi tapi tidak gemuk dan tidak kerempeng juga.

Aku dikenal supel dan mudah bergaul, ini terbukti dengan banyaknya kenalanku di berbagai kalangan dan komunitas. Aku juga gemar mengikuti hal-hal terkini dan suka ngelucu, nah mungkin itu jadi salah satu daya tarikku, termasuk dalam hal menggaet lawan jenis, peace, hehehe.

Namun karakterku ini akhirnya aku temukan melalui perjalanan dan pengalaman panjang. Awalnya aku hanya pria pemalu yang benar-benar tidak percaya diri. Apalagi untuk berbicara dengan cewek, mendadak mati kutu, Diam seribu bahasa.

Aku akan ceritakan perjalanan hidupku dari SMP hingga bekerja, dari muda belia, mengenal cinta, berbahaya dan kemudian mendewasa. This is my life journey.
 
Terakhir diubah:
Part II

Awal Mula


Trisa


Hari ini, hari pertamaku masuk sekolah, liburan sekolahku telah usai, aku kini sudah naik kelas 2 SMP, namun aku tak menuju ke sekolahku SMP 80, melainkan le sekolah baruku SMP 10 November. Ya, Bapakku memutuskan untuk memindahkanku dari sekolah lama ke sekolah baru. Sebenarnya masih tetap di satu kota, alasan Bapakku agar aku lebih mudah cari angkutan umum dan sekolah baruku punya reputasi lebih baik dari sekolah sebelumnya. Aku akan bercerita sedikit tentang kenanganku di sekolah lama.

Aku bukan termasuk murid bermasalah di sekolahku sebelumnya, tapi bukan juga murid yang cupu dan teladan. Aku termasuk bengal juga, tapi aku selalu punya cara untuk lolos dari masalah dan bisa dibilang sedikit lucky.

Contohnya ketika aku kepergok ngerokok bareng kawan - kawanku di kantin belakang sekolah. Guru BP ku dengan semangat membara menciduk kita berempat. Satu persatu kami diinterogasi dan bahkan diancam akan memanggil orang tua kami. Yang pertama di interogasi temanku namanya Arta, perawakannya besar, gemar berantem, bisa dibilang dia ketua geng kami. Kenapa dia yang diceramahi pertama ?, Karena memang reputasinya paling buruk dari kami semua. Arta tenang - tenang saja sekalipun diancam oleh guru BP akan memanggil ortunya, dia bahkan menantang balik guru BP tersebut untuk segera memanggil ortunya, ibu guru BP geleng kepala dan kehabisan kata, jitak kepala Arta dan menyuruhnya balik ke kelas.

Selanjutnya Doni, dia jadi pelampiasan Ibu guru BP yang sedari tadi hopeless menangani Arta, 3x cubitan dan 3x jeweran mantap diterimanya, belum lagi hinaan fisik buat Doni, kata ibu guru BP ngga cocok orang kerempeng ngerokok, ngga bakal kelihatan preman , sampai aku hampir ketawa ngakak denger kata - kata ibu guru itu, apa sinerginya coba?.

Setelahku giliran Badu, temanku bertubuh pendek kecil, diantara kami berempat, dia yang paling pendek, perawakannya masih seperti anak SD kelas 5. Sebenarnya dia cuman korban bullying dari kejahatan sahabatku Arta. Badu yang tak sengaja lewat kantin dan mendapati kami lagi asyik ngepulin asap Marlboro merah langsung di sandera Arta. Otaknya sangat bekerja jika sudah hal menjahili teman seperti ini, beda jika masalah pelajaran, nol besar.

Badu tidak berani mengelak, jika menolak Arta tak segan - segan lebih membully Badu lagi, terakhir celana Badu dilolosi di depan kelas, semua temanku ketawa ngakak, karena motif cd nya Winnie The Pooh. Bahkan cewek tercantik di kelasku Trisa ikut ngegodain si Badu dengan manggil "my lil winnie" sambil nyubit pipi Badu dan ngasi gerakan ciuman gitu. Hancur harga diri Badu. Arta memaksa Badu duduk, dan mencolok batang rokok yang tinggal setengah ke mulut Badu.

"Hisap !!" Perintah Arta.

"Uhuuuuuukkkk aadduuh Ar, aku nnggaa bissaa meeerookok". Wajah Badu memrah dan matanya berair.

"Sedot ngga? Atau kowe harus jadi model tar di depan kelas !! Pilih mana?" Bentak Arta.

"Sssiiaaapp boss,ssesee dott sesedott aja". Jawab Badu.

Hisapan panjang dari Badu hingga matanya mendelik dan bibirnya mengembung.

"Pwwwaaahhhh hooeeeekkk aaadduuhh panaaass" Teriak Badu.

Saking panjangnya hisapan Badu hingga tembakau habis dan menyulut filternya yang tentu saja menimbulkan sensasi tersengat panas di mulut. Aku tak tega menyaksikannya, tapi lain halnya Arta, dia tertawa ngakak terguling guling hingga berair mata. Saking kerasnya ketawa Arta sampai memancing Bu Suci si guru BP tersebut datang ke tkp dan menciduk kami. Arta posisi tertawa ngakak sampai bungkuk tangan kanan memegang rokok, tangan kiri memegang perut. Doni posisi pas mengepulkan asap rokok bersamaan dengan semburan tawanya. Badu ngibas - ngibas mulut tapi tangan satunya masih memegang puntung rokok. Aku sendiri, sekali lagi lucky sangat kebetulan rokokku sudah habis, dan puntungnya sudah aku injak dan kubuang ke semacam selokan di sana tepat sebelum Bu Suci landing. Jadi aku tak tertangkap tangan.

Balik ke ruang BP, Bu Suci sudah siap melanjutkan interogasinya dan beliau memilih Badu, mungkin dipikirnya lebih baik interogasi Badu yang berwajah polos lebih dulu, kemudian terakhir menghancurkan aku.

"Kamu, yang kecil, siapa nama kamu ? Kecil - kecil ikutan ngerokok, mau jadi berandalan kamu?" Hardik Bu Suci galak.

"Ssssaaayyaaa Bbb baaaa dduu bbbu" Badu tergagap gemetaran.

"Di mana rumah kamu?"

"Sssaayyaa, ddii anuu, ddii annngaanntaaaga bbu"

"Angantaga mana ? Siapa nama Bapakmu ? " Bu Suci tiba - tiba memicingkan mata dan wajahnya makin menakutkan.

"Bbbaaanjjaar ummaaddeewaa bbu, bbaapaak ssaaya ppaaak bbuuddiiaaanaa" Badu sudah mulai ingin menangis. Buat yang belum tahu, di daerahku Bali, di setiap desa dibagi menjadi beberapa Banjar dan tiap banjar dipimpin oleh Kelian atau mungkin mirip dengan Kepala Desa jika di daerah lain.

"Ibu dari angantaga juga, kamu anaknya Budi ? Budi teman Ibu dari SMP dulu. Ibu bakal laporin kamu ke Bapakmu, ayo ambil tas kamu sekarang, Ibu antar pulang dan sekalian ngomong sama Bapak kamu".

"Jjjjaaaaanggaaann bbbuuu, sssaaayyaa mmooohoon, jaaannggaan bbu, hikss hikkss" pecah sudah tangis Badu. Aku jadi benar - benar tidak tega, dalam hati aku mengutuk si Arta juga.

"Sudah, ikut Ibu ! " Bu Suci wajahnya merah kelihatan sangat kesal.

"Kamu balik ke kelas, sekali lagi kamu kena masalah, Ibu panggil ortumu !" Bu Suci ngomel sambil menunjuk ke mukaku.

"Eh ?, Saya bu? Ehh.. iyaa Bu, saya ngga bakal bikin masalah kok". Sautku sumringah. Dalam hati tak tega dengan Badu, tapi disisi lain aku bersyukur lolos dari maut.

Selanjutnya hari - hariku di sekolah lama ya seperti anak SMP pada umumnya, kadang semangat belajar, kadang bolos, kadang masih rokokan bareng, kadang berantem juga. Tapi selalu lolos dari masalah dan ruang BP.

Terakhir sebelum aku pindah, Arta dan gerombolan anak - anak cowok di kelasku menggrepe cewek - cewek di kelas saat jam pelajaran kosong. Korbannya Trisa, Dian dan Yoanita mereka semua cewek paling cantik di kelas. Dengan pongahnya Arta meremas toket Dian, si Jaya menggenjot Yoanita saat dia dalam posisi nungging sembari ngobrol dengan Dini selayaknya gerakan Doggy Style. Sedangkan Darmawan dengan tangkas meremas bokong Trisa yang cantiknya ga nahan. Cewek - cewek tersebut pada protes dan marah besar. Aku sendiri ? Aku sebenarnya ikutan, aku sempet meluk pinggang Dian, terus nyentuh bokong Yoanita dan cium tangan Trisa. Saat mereka melapor ke BP aku sangat waswas, karena aku yang paling banyak beraksi. Tapi anehnya hanya Arta, Jaya dan Darmawan yang dipanggil ke ruang BP. Jujur aku bingung sekaligus bersyukur pastinya.

Tak ada wajah kesal dari mereka para cewek - cewek padaku, namun entah kenapa ada tatapan yang beda dari Trisa padaku. Namun walau demikian aku tetap saja beranikan diri secara gentele menanyakan pada mereka masing - masing kenapa mereka tak melaporkan aku sekaligus meminta maaf. Dua orang menjawab, tidak ada yang tidak sopan dari apa yang aku lakukan pada mereka dan mereka juga tidak mempermasalahkan sama sekali. Syukurlah pikirku. Tiba saat aku meminta maaf pada Trisa, jujur aku sangat grogi, bagaimanapun Trisa cewek paling cantik di kelas, atau bisa dibilang tercantik satu angkatan, idaman semua cowok di sekolahku mungkin.

"Eeehhmm Trisa, aku minta maaf ya, udah ngga sopan sama kamu. Pake cium - cium tangan kamu lagi, tapi aku udah kumur Listerin kok sebelum nyium" Bodohnya aku kenapa pakai acara sok ngelucu saat minta maaf begitu.

"Ohh gitu" jawab Trisa, tapi wajahnya terlihat menahan senyum dan senyumnya luar biasa manis sekali.

"Eeehh, kamu masih marah ya ? Tapi thanks banget ya, kamu ga laporin aku juga ke Bu Suci". Jawabku grogi, terlebih setelah melihat senyumnya.

"Aku punya hukuman buat kamu kok, sabtu besok bantuin aku ngerjain PR kesenian dari Pak Purwa." Dia kelihatan pura - pura jutek, tapi itu menambah nilai cantiknya.

"Eh, aku? Ehh iya iya, siap. Terus aku bantuinnya gimana ?"

Dia menyodorkan aku sobekan kertas yang dilipat kecil.

"Baca nanti, sementara maafnya dipending". Jawabnya galak, tapi nahan senyum.

Aku makin bingung, tapi kuputuskan kembali ke bangkuku. Kubuka sobekan kertas itu, ada tulisan tangannya. Dan isinya " telp nanti pulang sekolah, ini nomer telpku 0361 461xxx". Aku makin bingung dengan tingkahnya.

Sepulang sekolah aku gelisah memikirkan isi tulisan di kertas tersebut, pikiranku berkecamuk antara hukuman bikinin tugas dan apalagi maksudnya menyuruhku meneleponnya. Aku bangkit dari yempat tidur masih dengan seragam sekolah yang belum aku ganti aku berlari ke ruang tengah rumahku, ke tempat di mana telepon rumahku berada. Namun sial bagiku, telepon rumahku dikunci. Seandainya waktu itu sudah ada handphone pasti ngga pakai acara bingung, tinggal calling.

Kukayuh sepeda BMX-ku dengan sigap, sesekali melakukan gerakan Ollie macam Matt Hoffman legenda BMX. Sasaranku telepon umum terdekat dari rumahku, kusiapkan uang recehan dari saku celana, tiga koin seratusan cukuplah pikirku, lagian ga mungkin ngobrol banyak. Kutekan nomer di kertas, dan menanti suara diseberang sana.

Tuutt tuuttt ttuutt klekkk

"Halo." Suara Pria dewasa.

"Hhhaaa lllooo, selamat siang om, Tri Trisanya, bisa bicara dengan Trisa ?" Jawabku gugup.

"Dari siapa?"

"Saya Leo Om, temen sekelasnya"

"Oh tunggu, Trisaaaaa"

"Iya, Pa."

"Ada telepon dari teman kamu"

"Hei, kirain ngga bakal berani nelepon aku" saut Trisa.

"Eh ? Berani dong, kenapa mesti ngga berani coba ?" Aku masih belum paham.

"Baguslah, besok hukumanmu harus dijalanin. Jam 1 siang, kamu ke rumahku, kerjain tugas itu."

"Uhhm okelah, alamatnya ?."

"Jalan Sekar Cendana II nomer 20 rumah terakhir pagar cokelat. On time, kalau telat ngga dimaafin."

"Ehh jangan, siap besok sebelum jam 1 deh udah sampai."

"Terserah, tapi jam 1 baru boleh masuk."

"Eehhh.. oke deh." Aku makin bingung, tapi persetanlah yang penting urusan kelar.

Keesokan harinya, setelah selesai makan aku siap - siap mandi dan memilih outfit terbaik yang aku punya, maklum ketemu idola se-almamater paling tidak aku ngga kelihatan kumel. Hari ini hari Sabtu, jadi sekolah libur. Sejak pagi BMX-ku sudah aku cuci dan mengkilat, disaat serbuan sepeda Federal entah kenapa aku lebih gemar BMX. Tak lepas juga dari kegemaranku akan Extreme Sport macam Motocross,BMX dan Skateboard selain Sepakbola tentu saja. Kendaraan sudah siap, aku sudah necis, kuputuskan memakai t-shirt kesayanganku berwarna biru dengan logo Superman meleleh. Namun aku ragu dengan celanaku, jeans hitam pembelian ayahku yang aku potong selutut sengaja tak aku jarit agar masih ada benang - benangnya masih berjuntai, you know what I mean lah. Aku memang tak suka celana panjang, hanya celana pendek ini yang aku nyaman gunakan, tapi aku sedikit khawatir terlihat urakan sama ortu Trisa.

Kukayuh sepedaku, ransel dan perlengkapan gambar dipunggung, sweater hoodie, rambut berlumuran Tancho. Tak lupa aku selipkan handuk kecil di saku belakang celanaku, karena dengan jarak yang lumayan pasti itu Tancho meleleh kena keringat dan ngalir putih di jidatku. Jarak dari rumahku dan rumah Trisa tidak terlalu jauh tapi tidak juga dekat, tengah - tengah lah, kurang lebih 5 Kilometer. Setelah masuk ke areal perumahan, kupelankan laju sepedaku, entah kenapa nafasku makin berat, perpaduan capek dan grogi berat tentunya.

Aku tiba di rumah nomer 20, rumah besar berlantai 2, halamannya luas, cukup untuk upacara bendera. Kondisi perumahan sangat sepi, cuman ada beberapa kendaraan berlalu lalang, itupun penjual es krim yang ada bebunyiannya. Sangat Ikonik.

"Trisaaa Trisaaaa."

Aku memanggil beberapa kali, dari pelan, agak keras, hingga teriak. Namun nihil. Kuketok ketok pagar rumahnya, goyang - goyang, juga nihil. Sampai aku menemukan kotak kecil dengan logo bel berwarna putih. Ah ndesonya aku. Aku pencet tombol itu beberapa kali, sampai seorang Bapak berpakaian Satpam membukakan pintu. Dia mempersilahkan aku masuk setelah sedikit ads perdebatan, dipikirnya aku anak kecil iseng, tapi setelah aku menyebut nama Trisa dia malu.

Aku berjalan pelan dan ragu - ragu, rumahnya sangat besar. Mirip tipe rumah di sinetron era 90-an. Trisa tak juga kelihatan batang hidungnya, celingak - celinguk dengan takjubnya aku kini di ruang keluarga Trisa, lukisan besar, foto - foto keluarga, guci - guci besar, dan televisi segede gaban ada di sana. Kuputuskan duduk di sofa depan TV, takjubku tak habis ketika melihat Laser Disc Player di rak TV. Ada beberapa sampul besar kepingan Laser disc tercecer di lantai tanpa cover hanya judul ciri khas kepunyaan rental. Lamunanku buyar ketika suara pembantu Trisa memanggilku.

"Bli Leo ya? Ditunggu mbak Trisa di kamarnya, langsung naik aja ke lantai atas ya, kamarnya yang sebelah kiri." Katanya sembari menyerahkan nampan berisi 2 gelas kosong, dan seteko minuman berwarna kuning, dan setoples astor.

"Oh baik mbok, terima kasih ya" jawabku, kemudian bergegas naik ke lantai atas.

Kamar Trisa dua kali besar kamarku ada kamar mandi di dalamnya, interior kamarnya khas kamar cewek dan sangat bersih sekaligus wangi. Samar kudengar suara Trisa di kamar mandi. Kunyalakan TV, tak ada acara bagus. Ku ambil beberapa komik Kungfu Boy yang tercecer di tempat tidur dan kubaca. Baru beberapa halaman kubaca, Trisa muncul dari kamar mandi dengan tank top pink dan celana pantai pendek. Luar biasa cantik. Aku terpukau melihatnya dan kelamaan bengong hingga dia ngeledekin.

"Wooyyy, belum pernah lihat barbie nyata ya ?."

"Eh, pernah ini." Jawabku spontan sembari menunjuknya. Entah kenapa setiap bicara dengannya aku selalu mengucap kata "eh".

Trisa yang niatnya ngeledekin malah wajahnya merona. Trisa kemudian mengambil peralatan gambarnya dan segera saja kami mengerjakan tugas itu,kami ? Aku saja, Trisa sibuk dengan Game Boy nya, gambar ornamen seperti batik berbentuk bunga. Tidak butuh waktu terlalu lama aku sudah selesai mengerjakannya.

"Nih, hukumanku udah beres kan?"

"Enak aja, belum lah." Dia hanya memalingkanwajah sebentar kemudian kembali asyik dengan gamenya.

"Terus apa lagi ? " Kataku ketus.

"Ihhh ni anak, tunggu aku belum selesai main." Jawabnya kesal dan segera mematikan game boynya.

"Sekarang kamu mesti ulangin lagi kejadian waktu itu, nih cium tangan aku lagi, tapi bergaya pangeran gitu." Katanya tapi tak berani menolehku.

"Whhhhaaaaattttt" batinku dalam hati, ini bagaimana maksudnya.

"Lha? Kok nambah lagi hukumanku, aku lupa kumur Listerine tadi dari rumah." Aih kenapa jawaban aneh yang keluar dari mulutku.

"Cepet ngga?, Kalau ngga terpaksa Senin aku lapor Bu Suci".

"Waddduhh, iya iya iya."

Segera aku lakukan gerakan berlutut dan memegang tangannya, kulihat wajahnya menunduk. Segera saja aku cium tangannya dengan cepat. Dia tak menoleh, namun jawabannya ketus dan aku harus mengulang lagi dengan lebih lembut dan romantis, aaah apalagi ini, romantis aja aku tidak paham, anak seumuran aku mana tahu.

Ccccuuupppppp

Bibirku mencium selembut mungkin tangan putihnya, wajahnya merona merah, dan dia masih tertunduk. Wangi, sangat wangi tangannya. Jantungku berdebar, ah kenapa jadi begini, aku sendiri tak mengerti. Setelah itu kami ngobrol sebentar, membicarakan hobi masing - masing. Beberapa kali aku lihat senyum manis dan ketawanya setelah mendengar celetukanku yang sebenarnya tidak lucu. Jam 4 sore aku pamit, dia mengantarku hingga ke gerbang dan sedikit takjub dengan sepedaku, dipikirnya aku naik taxi atau diantar. Boro - boro duit bekalku hanya cukup buat main dingdong doang.

Sampai di rumah, kurebahkan tubuh di kasur, capek juga pikirku. Sebelum aku ketiduran aku keluarkan isi tasku dulu, peralatan gambarku dan lain-lain. Namun ada sesuatu yang aneh, dilipatan buku gambarku ada secarik kertas. Kubuka, ada tulisan tangan yang tak asing di sana.

"Mulai besok dan seterusnya setiap pulang sekolah telepon aku, bodo, pokoknya ngga mau tahu."

Aiiih apalagi ini.
 
Part III

Cinta Kera


Trisa


"Halo, tunggu Om panggilkan Trisa."

Sahut suara di seberang sana. Iya itu suara Papa Trisa, Om Weda. Beliau sudah sangat hapal karena sudah hampir dua minggu ini aku rutin menelepon Trisa sepulang sekolah. Dari hanya satu koin hingga sekarang berkembang empat hingga lima koin ratusan habis untuk ngobrol. Obrolan kami sudah semakin ngalor ngidul tak jelas, dari ngobrolin anime, manga, hobi lain hingga makanan favorit, sudah macam diari saja.

Ada perubahan disuaraku, ciri pria anak - anak meremaja. Sering Trisa ngeledekin suaraku yang katanya mirip Om - Om bengek. Namun aku tak marah, kesalpun tidak yang ada aku malah berbunga - bunga dikatain. Aneh bukan ?.

Bagaimana tidak berbunga - bunga, sekarang aku makin akrab dengan Trisa, bahkan tak jarang dia mengusir Arta teman sebangkuku untuk pindah duduk. Semua orang dikelaspun jadi godain kita semua, aku sering salah tingkah. Tapi Trisa cuek - cuek aja, melihat sikapnya aku yang tadinya salah tingkah jadi batal. Takut kege-eran.

Yang paling sebal denganku sudah pasti Arta, bos gengku, tapi selalu mau jemput aku berangkat dan pulang sekolah. Dengan postur Arta yang besar dia sudah bisa naik motor dan tidak terlihat seperti anak SMP. Aku yang diboncengnya ?, Ya, tepat mirip adik kecilnya. Semasa SMP ukuran tubuhku juga masih kecil namun masih normal untuk anak seumuranku, tidak sekecil Badu dan tidak sebesar Arta. Ah, Arta emang keduluan tua. Sudah dua minggu ini aku menolak dijemput Arta, alasannya aku pengen bersepeda saja, kasihan dia mesti repot menjemputku. Dia protes keras dan tak bicara padaku tiga hari, namun hari keempat dia terpaksa ngomong duluan itupun karena nyontek jawaban ulangan Agama Hindu.

Aku terpaksa bersepeda karena aku punya tugas rutin sekarang, pulang sekolah menelepon tuan putri Trisa. Bisa saja aku pulang dengan Arta dan sampai di rumah baru meluncur ke telepon umum. Tapi mengingat kebiasaan Arta pakai acara nongkrong segala selepas sekolah buat rokokan dulu, pasti jatuhnya kesorean neleponnya dan pasti tuan putri ngambek.

"Yo, ayo ikut nongkronglah sekali sekali. Si Made sering bawa arak tuh." Arta memrotesku disela - sela kita asyik dengan nasi bungkus Ibu Kantin.

"Iya iya nanti atur aja waktunya, tapi aku ngga minum dulu Ar, rokok bolehlah sebatang doang." Jawabku nyengir.

" Behhh, gitu banget kamu sekarang yo, sebotol saja eee." Arta makin protes, logat Balinya makin keras.

" Siiiappp komandan, kurangin mimiklah, kita masih kecil, kencing aja masih belok kayak tendangan Roberto Carlos." Celotehku agar reda marahnya.

" Nah gitu baru preeeennn, sabtu besok ya, tak jemput men kowe sambil cuci mata di Renon."

"Uhm sabtu ya ?" Aku mengernyitkan dahi.

"Emangnya kowe mau ke mana sabtu ?."

" Sebenernya aku ada janji Ar sama Trisa mau nonton bioskop. Hehehe. " Aku pura - pura blo'on.

"Alah bangke, jepit memek kowe sekarang." Dia ngatain aku dengan istilah yang artinya mau diatur cewek.

"Gini aja Bos, Sabtu aku nonton, Minggu slow dah, bebas sampai jam berapa aja." Jawabku diplomatis.

"Bener na'eeee !" Arta nyengir sumringah, ah kawanku itu gampang marah tapi gampang juga maafin.

Iya, Sabtu ini aku memang ada janji untuk nonton bioskop sama Trisa, ini memang bukan yang pertama kali buatku. Sebelumnya aku pernah nonton Titanic bareng satu kelas waktu SD dulu.

Aku mandi hingga dua kali hari ini, takut ngga pede. Baju sudah aku siapkan sejak kemarin malam. Baju model raglan lengan pendek dengan aksen misty dan variasi biru navy pada lengannya dengan gambar Alien di depannya. Celana ? Tetap celana butut kesayanganku itu. Beberapa kali kuguyur cologne badanku, sumpah ini semacam hari keramat buatku, aku gelisah, ini pertama kalinya aku keluar bareng cewek. Idola se almamater pula, aku mesti perfect. Ibuku sampai geleng - geleng kepala liat tingkah anaknya yang gelisah nunggu jam.

Akhirnya sekitar pukul 12 siang sebuah sedan Honda Genio muncul di depan rumahku, aku intip dari jendela ruang tamuku dan segera bergegas keluar menghampiri. Sebelumnya tak lupa aku pamit pada orang tuaku dan pamit di Merajan (tempat sembahyang orang Hindu) seperti kebiasaan kamiborang Bali agar selamat di jalan.

"Jeglleeeegg" suara pintu mobil dibuka dari dalam.

"Oh ini ya yang namanya Leo ?" Sambutan dari wanita cantik di ruang kemudi.

"Eh, iya mbak, saya Leo, salam kenal, maaf ngerepotin, sampai mesti muter balik jemput ke sini." Jawabku dengan perasaan tidak enak.

"Santai kali, aku Dwita, kakaknya Trisa."

"Eh iya mbak Dwita."

Aku kemudian duduk di belakang dan aku tidak menyangka Trisa juga duduk di belakang, aku bertanya kenapa dia tidak di depan ? Dan dia cuman pura - pura ngga denger tapi senyum - senyum menanggapiku.

Sepanjang perjalanan aku dihujani banyak pertanyaan oleh Mbak Dwita, dari daerah asal hingga tentang keluargaku termasuk menanyakan aku berapa bersaudara. Dan dari obrolan itu aku kemudiam mengetahui kalau Trisa tiga bersaudara. Yang pertama Bli Detra, yang kedua mbak Dwita dan Trisa paling bontot. Papa Trisa Om Weda seorang pengusaha meubel dan handmade artcraft sukses di daerahku, Mamanya tante Elisa seorang wanita Belanda, sudah meninggal dunia waktu Trisa kelas 5 SD.

Aku jadi paham kecantikan mereka pasti berasal dari darah campuran itu atau kerennya blasteran. Mbak Dwita cantiknya minta ampun, kelas 2 SMA, aura dewasanya sudah tampak, bodinya sangat bagus. Dijamin semua pria pasti jadiin dia bahan coli. Tapi bagiku tetap lebih cantik Trisa, hehehe.

Mobil sudah sampai di parkiran bioskop, kami akan menonton film di bioskop legendaris di kotaku ini "Wisata 21" dan fi yang dipilih Trisa adalah "The Matrix" yang dibintangi Keanu Reeves bercerita tentang dunia hologram seperti itu. Aku sih tidak paham, semua sudah Trisa yang atur. Aku dan Trisa keluar berbarengan, ternyata Mbak Dwita tidak ikut menonton. Dia ada janji sama temannya untuk pergi ke Kuta, sebelum pintu aku tutup Mbak Dwita nyeletuk.

"Itu ransel punya siapa ? Bawa bekel piknik Leo ?" Sial aku diledekin.

"Oh punya saya mbak, isinya parasut, siapa tahu kalau kebakaran aku bisa lompat dengan aman bareng adik Mbak." Candaku.

"Yeeeee, ada - ada aja kamu." Mbak Dwita ketawa dan Trisa kuamati diam - diam nyengir juga, cantik banget.

Dua jam kami disuguhi Special Effect yang luar biasa dari film itu, aku terpukau menikmati sajian berkualitas ala Hollywood yang memang bikin ngga habis pikir. Tapi sebenernya aku malah ngga ngerti jalan ceritanya, karena ga fokus nonton, fi pertengahan film tiba - tiba aja Trisa megang tanganku. Aku kaget tapi pura - pura cuek dan selanjutnya kuberanikan diri pegang tangan dia juga, Trisa diam saja tapi sesekali kulirik dia senyum. Ahhhh Cupid lepasin panahnya tepat sasaran nih.

Film telah usai dan kami bergegas keluar gedung bioskop. Namun di luar sana hujan sangat deras. Kami memutuskan untuk menunggu jemputan di dalam bioskop. Trisa sedari tadi diam saja, aku jadi tidak enak hati, apa gara - gara aku pegang tangannya ?.

"Kita pulang naik angkot aja yuk, kelamaan deh dijemputnya." Tiba - tiba Trisa ngomong dan aku dibuat kaget akan idenya.

"Ehh, nanti Mbak Dwita ngga bingung nyariinnya ?"

"Ngga papa, dia suka lupa tuh mesti jemput, sering banget deh kayak gini." Wajah Trisa cemberut buat aku jadi tak tega.

"Tapi hujan tuh, kasihan kamu kehujanan, kalau aku sih ngga masalah. Tapi ayolah kita naik angkot." Jawabku menenangkan hatinya, aku paling tak tega lihat cewek cemberut.

"Beneran ?" Entah kenapa dia malah antusias.

Jadilah kita pulang naik angkot, jarak dari bioskop sampai ke rumah Trisa lumayan jauh juga dan kita juga mesti jalan kaki dari jalan masuk perumahan sampai gang rumahnya. Hujan masih mengguyur, sebelum turun dari angkot aku keluarkan sweater hoodieku dari dalam tas kututupi kepala dan tubuh Trisa agar tak kehujanan, sejenak dia diam mematung namun selanjutnya tersenyum manis dan penuh arti padaku,aku berasa seperti meleleh.

Kuantar dia sampai depan rumahnya, dia menawarkan untuk masuk dan meminjamkan pakaian Bli Detra sekaligus nanti diantar pulang oleh sopirnya. Namun dengan halus kutolak, aku ingin naik angkot saja. Wajahnya sedih tapi tidak ingin memaksaku. Dia bergegas masuk ke dalam dan kembali dengan sebuah payung kecil, sweaterku ? Masih menutupi kepala dan tubuhnya.

"Nanti aku kembaliin, aku cuci dulu."

"Eh, ngga perlu, ngga papa, biarin aja."

"Bodo !!! Ngga mau tahu." Jika sudah jawaban ini yang muncul dari mulut cewek para cowok pasti keder.

Aku pamit, langkahku terasa mantap sekali, aku girang bukan kepalang, sampai - sampai genangan air di aspal aku hentak keras hingga nyiprat ke samping. Tak sadar aku ternyata cipratannya mengenai Bapak yang sedang neduh, wajahnya mengisyaratkan keinginan untuk "Sini Lu Gue Toyor !!!!".

Sampai di rumah aku segera mandi dan keramas dengan air hangat, tak sadar aku nyanyi - nyanyi dengan keras, mulai lagu Kahitna sampai opening Dragon Ball. Ibuku beberapa kali gedor - gedor pintu kamar mandi sambil ketawa ngeledekin dan ngngetin biar suaraku ga bikin adikku yang baru beberapa bulan lahir terbangun.

"Yo ada telepon ni." Teriak ibuku, dilanjutkan oleh Bapakku posisinya lebih dekat denganku.

"Iya bu" segera kuraih gagang telepon.

"Halo ?" Tak ada jawaban, aku bingung, siapa yang menelepon ya? Seingatku aku tidak pernah memberikan nomer telepon rumah.

"Hai yo, kamu udah di rumah ? Kamu ngga jadi sakit kan kehujanan ?." Suara di seberang sana dan aku langsung tahu itu suara Trisa.

"Ehhh, Trisaaa? Kenapa bisa tau nomer telpku?."

"Iya aku hub 108 buat minta nomer telp kamu."

"Eeehh, uhm anu, aku ngga sampai sakitlah, baru aja habis keramas." Jawabku sembari tak habis pikir kenapa Trisa bisa segitunya nyariin nomer telp rumahku.

"Kamu jangan sampai sakit ya, nanti aku sedih lho ?."

"Eehh iya iya, ngga sampai sakit kok, tenang aja." Entah kenapa detak jantungku mengencang, tak kusangka Trisa mengkhawatirkanku.

"Thanks banget ya yo buat semuanya, kamu ternyata bisa romantis juga ya, aku pikir kamu cowok cuek, slengekan, dan bandel macem si Arta, dkk".

"Romantis ?." Aku bingung.

"Iya kamu memang ikut nakalin kita cewek - cewek sih, tapi kamu milih cara nakalin aku dengan cium tangan, itu ngga bikin aku ngerasa dinakalin."

"Eehh, yang itu ssoo ssoorry banget Trisa." Tiba - tiba gugupku muncul.

"Apalagi tadi yo, thanks banget ya,kamu mau aja nurut demi jalanin ide aku naik angkot dan kamu rela ngasiin sweater kamu buat lindungin aku dari hujan, iti romantis banget yo."

Jujur anak seumuranku tahu apa tentang romantis ? Aku hanya spontan aja biar dia tidak kebasahan, kasihan khan mesti kehujanan begitu.

"Eh itu, iya masak aku biarin kamu kehujanan ?, Ngga tega deh aku."

"Tuhh kan kamu cowok romantis deh yo." Kemudian hening cukup lama.

"Eeehhmm Ttrriiss" aku ingin memulai pembicaraan.

"Yooo aku suka kamu." Trisa menyelaku.

"Saaa." Suaraku yang tertunda ikut muncul bareng kekagetanku.

Kuremas batang penisku keras - keras, sakit !! Ternyata bukan mimpi, itu cara terlebay memastikan mimpi atau tidak.

"See see rrr iiuusss ?." Aku gugup.

"Tuhh kan Trisa malu."

"Eeh kenapa malu?." Kutarik nafas dalam - dalam.

"Ini ngga bercanda kan Trisa?. Aku ngga mimpi khan ya ?."

"Pokoknya mulai besok dan seterusnya kamu jagain aku ya, met malem pacar".

Telepon ditutup, aku masih terpaku, mimpi apa aku semalem. Trisa cewek idola se-almamater malah nembak aku, cowok biasa - biasa aja. Hari itu Sun Go Kong kasmaran.

Hari - hari di sekolah selanjutnya jadi hari dimana aku selalu berdua dengan Trisa, sampai teman sekelas semua ngeledekin aku. Yang paling sentimen jelas Arta, dia ngerasa aku makin ngejauh dari geng. Ulangan umum kenaikan kelas sudah berakhir, tinggal menunggu hasil raport-an. Setelah raport dibagikan ternyata Trisa mendapat rangking pertama di kelasku. Aku sendiri naik rangking lima sebelumnya tujuh. Temen - temen malah makin nyorakin kami berdua. Menurut mereka kami jadi rajin belajar akibat pacaran. Aku nunduk malu, tapi Trisa malah senyum - senyum bangga.

"Yo, thanks ya, gara - gara deket kamu aku jadi motivasi belajar." Kata Trisa membuka obrolan sembari menanti jemputan.

"Ya elah, apaan kali Trisa, kamu kan emang dasarnya pinter aja."

"Jadi kamu ngga mau nih jadi motivasi aku ?" Jawab Trisa dengan wajah sok ngambek.

"Eehhh mau dong, mau jelas, siapa sih yang ngga mau?" Jawabku takut dia marah.

"Thanks anyway my sweety."

Cccuuuuupppp

Aku sangat kaget dan jadi salah tingkah, tubuhku kaku dan tidak bisa bergerak, menoleh saja aku tidak berani. Trisa mencium pipiku, memang situasi sudah sepi saat itu,tinggal kami berdua. Aku kemudian tersadar saat Trisa menyiku lenganku, kuberanikan diri memegang tangannya, lama sekali. Oohh cupid, tepat sasaran lagi.

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Liburan sekolah akan segera berakhir , tahun ajaran baru akan dimulai dan aku akan pindah sekolah sesuai keinginan orang tuaku agar aku lebih mudah bersekolah karena angkot yang sejalur dengan sekolah baruku. Arta orang pertama yang aku ceritakan begitu mendengar keputusan ortuku dan dia mengumpat kecewa. Akupun meminta saran, bagaimana cara menyampaikannya pada Trisa. Dia menceramahiku, tumben dia bisa bijak, sedewasa perawakannya. Sampai kuberanikan diri untuk menelepon Trisa.

"Halo."

"Haiiii sweety, gimana liburanmu di kampung ? Bentar lagi kita bakal ketemu di sekolah, ngga sabar deh."

"Eeehmmmm anu." Aku jadi bingung tak tahu mesti ngomong apa.

"Ada apa yo?." Suaranya sangat halus membuat aku semakin berat.

"Kamu ngga papa khan yo ? Jangan bikin aku khawatir dong ?"

"Trisa, akkkuu, uuhmm aanuu, aakkuu bakal pindah sekolah. Awal kelas dua ini aku sudah ngga di SMP 80 lagi." Aku terbata merangkai kata.

"Maksud kamu yo ?" Kemudian mulai terhisak.

"Bukan mau aku Trisa, tiba - tiba saja orang tuaku memindahkanku, dengan alasan supaya memudahkanku naik angkot."

Lama dia tak bicara, aku hanya mendengar isakannya saja.

"Oke yo, kalau kamu memang pindah, kita putus aja yo !."

Telepon ditutup, hatiku remuk rasanya, aku tak menyangka kata - kata itu yang bakal keluar dari mulutnya. Aku jadi tak rasional dan gelisah. Jam dinding menunjukkan pukul 6 sore, segera aku berlari mengambil sepedaku, kukayuh sekuat tenaga menuju rumahnya. Tiba di sana, kupencet bel berkali - kali, pikiranku ke mana - mana menyebabkan aku jadi nekad. Pembantu Trisa muncul sambil setengah berlari dia menghampiriku.

"Mbok, Trisanya ada?" Tanyaku ngos - ngosan.

"Mbak Trisa nya lagi istirahat Bli, sakit, katanya ngga mau diganggu."

"Oh iya mbok bilangin saya nyariin ya, makasi mbok."

Aku kembali pulang, perasaanku hampa, entah kenapa kurasa kayuhan sepedaku sangat berat sekali. Mataku sulit terpejam, dadaku sesak rasanya, pikiranku hanya Trisa dan Trisa. Hal ini berlangsung berhari - hari, garis hitam di bawah mataku sudah sangat nampak, Bapakku sampai menyita SEGA-ku, akibat laporan Ibuku, dipikirnya aku begadang main game. Segala cara kulakukan agarbpaling tidak bisa mendengar suaranya, tapi hasilnya nihil. Sampai hari terakhir, hari Minggu, dimana besok liburan usai dan aku sudah tidak satu sekolah lagi dengannya.

Kukayuh sepedaku menuju rumah itu lagi, sampai di depan pintu, aku tekan bel sekali. Iya, sekali saja. Aku merasa harapanku tinggal seujung kuku, namun aku tetap berusaha. Akhirnya Trisa keluar menemuiku, setiap bicara denganku dia selalu membuang mukanya dariku. Kujelaskan semua hal dan mengupayakan agar kami tak putus. Tapi dia tetap pada pendiriannya. Terakhir dia mengembalikan sweater hoodie yang kugunakan melindunginya dari hujan. Ada jahitan tambahan pada dada kirinya, guntingan kain berwarna pink, ada namaku di sana ditulis dengan snowman permanent hitam, namun pada ada coretan memanjang di bawah namaku, dengan samar kubaca, Trisa. Aku pulang, kayuhanku tak bertenaga, dadaku sesak dan tak terasa aku menangis.

Kupikir - pikir sangat lucu dan tidak masuk akal, cuman karena aku pindah sekolah asmaraku mesti kandas, padahal ngga pindah pulau, masih bisa ketemu. Cuman begitulah logika anak abg baru tumbuh, ngga masuk akal, tapi harus kuakui putus cinta kera ternyata sakit juga.
 
Terakhir diubah:
Ijin pasang patok di mari suhu....

Seperti nya bakalan menarik cerita dan kisah nya... Ane ijin neduh dan memantau cerita suhu ini.

Salam kenal dari ane.... semoga cerita nya terus lancar hingga ending.
 
Ijin pasang patok di mari suhu....

Seperti nya bakalan menarik cerita dan kisah nya... Ane ijin neduh dan memantau cerita suhu ini.

Salam kenal dari ane.... semoga cerita nya terus lancar hingga ending.
Salam kenal hu.. semoga ngga bosen mantenginnya..
Ijin :baca: dulu yaa om TS...:ampun:

Fiuuuuh...wajib lanjut niih....enak bacanya. :jempol:

Tetep :semangat: ..dan di nanti kelanjutanya...:)
Siap grak.. ditunggu updatenya hu....
Lanjut lagi suhu...
Siap laksanakan....
 
Preview Next Chapter....

"Kiri, Pak !" Perintahku pada sopir angkot, karena lamunanku aku jadi turun agak lewat dari sekolahku, sekolah baruku.

Sesaat aku mematung di depan gerbang sekolah, kupandangi plang nama sekolah yang melengkung di atas pintu masuk, SMPN 10 November Denpasar. Kutarik nafas dalam dan perlahan kuhembuskan, aku melangkah pelan, mengamati sekitar, tak ada murid yang berkeliaran. Sekitar dua puluh langkah Bapak Satpam Sekolah menyapaku.


Bagaimanakah petualangan baru Leo di sekolah barunya ? Ditunggu updatenya hu.... Slow cooking ya, update tipis - tipis.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd