Part III
Cinta Kera
Trisa
"Halo, tunggu Om panggilkan Trisa."
Sahut suara di seberang sana. Iya itu suara Papa Trisa, Om Weda. Beliau sudah sangat hapal karena sudah hampir dua minggu ini aku rutin menelepon Trisa sepulang sekolah. Dari hanya satu koin hingga sekarang berkembang empat hingga lima koin ratusan habis untuk ngobrol. Obrolan kami sudah semakin ngalor ngidul tak jelas, dari ngobrolin anime, manga, hobi lain hingga makanan favorit, sudah macam diari saja.
Ada perubahan disuaraku, ciri pria anak - anak meremaja. Sering Trisa ngeledekin suaraku yang katanya mirip Om - Om bengek. Namun aku tak marah, kesalpun tidak yang ada aku malah berbunga - bunga dikatain. Aneh bukan ?.
Bagaimana tidak berbunga - bunga, sekarang aku makin akrab dengan Trisa, bahkan tak jarang dia mengusir Arta teman sebangkuku untuk pindah duduk. Semua orang dikelaspun jadi godain kita semua, aku sering salah tingkah. Tapi Trisa cuek - cuek aja, melihat sikapnya aku yang tadinya salah tingkah jadi batal. Takut kege-eran.
Yang paling sebal denganku sudah pasti Arta, bos gengku, tapi selalu mau jemput aku berangkat dan pulang sekolah. Dengan postur Arta yang besar dia sudah bisa naik motor dan tidak terlihat seperti anak SMP. Aku yang diboncengnya ?, Ya, tepat mirip adik kecilnya. Semasa SMP ukuran tubuhku juga masih kecil namun masih normal untuk anak seumuranku, tidak sekecil Badu dan tidak sebesar Arta. Ah, Arta emang keduluan tua. Sudah dua minggu ini aku menolak dijemput Arta, alasannya aku pengen bersepeda saja, kasihan dia mesti repot menjemputku. Dia protes keras dan tak bicara padaku tiga hari, namun hari keempat dia terpaksa ngomong duluan itupun karena nyontek jawaban ulangan Agama Hindu.
Aku terpaksa bersepeda karena aku punya tugas rutin sekarang, pulang sekolah menelepon tuan putri Trisa. Bisa saja aku pulang dengan Arta dan sampai di rumah baru meluncur ke telepon umum. Tapi mengingat kebiasaan Arta pakai acara nongkrong segala selepas sekolah buat rokokan dulu, pasti jatuhnya kesorean neleponnya dan pasti tuan putri ngambek.
"Yo, ayo ikut nongkronglah sekali sekali. Si Made sering bawa arak tuh." Arta memrotesku disela - sela kita asyik dengan nasi bungkus Ibu Kantin.
"Iya iya nanti atur aja waktunya, tapi aku ngga minum dulu Ar, rokok bolehlah sebatang doang." Jawabku nyengir.
" Behhh, gitu banget kamu sekarang yo, sebotol saja eee." Arta makin protes, logat Balinya makin keras.
" Siiiappp komandan, kurangin mimiklah, kita masih kecil, kencing aja masih belok kayak tendangan Roberto Carlos." Celotehku agar reda marahnya.
" Nah gitu baru preeeennn, sabtu besok ya, tak jemput men kowe sambil cuci mata di Renon."
"Uhm sabtu ya ?" Aku mengernyitkan dahi.
"Emangnya kowe mau ke mana sabtu ?."
" Sebenernya aku ada janji Ar sama Trisa mau nonton bioskop. Hehehe. " Aku pura - pura blo'on.
"Alah bangke, jepit memek kowe sekarang." Dia ngatain aku dengan istilah yang artinya mau diatur cewek.
"Gini aja Bos, Sabtu aku nonton, Minggu slow dah, bebas sampai jam berapa aja." Jawabku diplomatis.
"Bener na'eeee !" Arta nyengir sumringah, ah kawanku itu gampang marah tapi gampang juga maafin.
Iya, Sabtu ini aku memang ada janji untuk nonton bioskop sama Trisa, ini memang bukan yang pertama kali buatku. Sebelumnya aku pernah nonton Titanic bareng satu kelas waktu SD dulu.
Aku mandi hingga dua kali hari ini, takut ngga pede. Baju sudah aku siapkan sejak kemarin malam. Baju model raglan lengan pendek dengan aksen misty dan variasi biru navy pada lengannya dengan gambar Alien di depannya. Celana ? Tetap celana butut kesayanganku itu. Beberapa kali kuguyur cologne badanku, sumpah ini semacam hari keramat buatku, aku gelisah, ini pertama kalinya aku keluar bareng cewek. Idola se almamater pula, aku mesti perfect. Ibuku sampai geleng - geleng kepala liat tingkah anaknya yang gelisah nunggu jam.
Akhirnya sekitar pukul 12 siang sebuah sedan Honda Genio muncul di depan rumahku, aku intip dari jendela ruang tamuku dan segera bergegas keluar menghampiri. Sebelumnya tak lupa aku pamit pada orang tuaku dan pamit di Merajan (tempat sembahyang orang Hindu) seperti kebiasaan kamiborang Bali agar selamat di jalan.
"Jeglleeeegg" suara pintu mobil dibuka dari dalam.
"Oh ini ya yang namanya Leo ?" Sambutan dari wanita cantik di ruang kemudi.
"Eh, iya mbak, saya Leo, salam kenal, maaf ngerepotin, sampai mesti muter balik jemput ke sini." Jawabku dengan perasaan tidak enak.
"Santai kali, aku Dwita, kakaknya Trisa."
"Eh iya mbak Dwita."
Aku kemudian duduk di belakang dan aku tidak menyangka Trisa juga duduk di belakang, aku bertanya kenapa dia tidak di depan ? Dan dia cuman pura - pura ngga denger tapi senyum - senyum menanggapiku.
Sepanjang perjalanan aku dihujani banyak pertanyaan oleh Mbak Dwita, dari daerah asal hingga tentang keluargaku termasuk menanyakan aku berapa bersaudara. Dan dari obrolan itu aku kemudiam mengetahui kalau Trisa tiga bersaudara. Yang pertama Bli Detra, yang kedua mbak Dwita dan Trisa paling bontot. Papa Trisa Om Weda seorang pengusaha meubel dan handmade artcraft sukses di daerahku, Mamanya tante Elisa seorang wanita Belanda, sudah meninggal dunia waktu Trisa kelas 5 SD.
Aku jadi paham kecantikan mereka pasti berasal dari darah campuran itu atau kerennya blasteran. Mbak Dwita cantiknya minta ampun, kelas 2 SMA, aura dewasanya sudah tampak, bodinya sangat bagus. Dijamin semua pria pasti jadiin dia bahan coli. Tapi bagiku tetap lebih cantik Trisa, hehehe.
Mobil sudah sampai di parkiran bioskop, kami akan menonton film di bioskop legendaris di kotaku ini "Wisata 21" dan fi yang dipilih Trisa adalah "The Matrix" yang dibintangi Keanu Reeves bercerita tentang dunia hologram seperti itu. Aku sih tidak paham, semua sudah Trisa yang atur. Aku dan Trisa keluar berbarengan, ternyata Mbak Dwita tidak ikut menonton. Dia ada janji sama temannya untuk pergi ke Kuta, sebelum pintu aku tutup Mbak Dwita nyeletuk.
"Itu ransel punya siapa ? Bawa bekel piknik Leo ?" Sial aku diledekin.
"Oh punya saya mbak, isinya parasut, siapa tahu kalau kebakaran aku bisa lompat dengan aman bareng adik Mbak." Candaku.
"Yeeeee, ada - ada aja kamu." Mbak Dwita ketawa dan Trisa kuamati diam - diam nyengir juga, cantik banget.
Dua jam kami disuguhi Special Effect yang luar biasa dari film itu, aku terpukau menikmati sajian berkualitas ala Hollywood yang memang bikin ngga habis pikir. Tapi sebenernya aku malah ngga ngerti jalan ceritanya, karena ga fokus nonton, fi pertengahan film tiba - tiba aja Trisa megang tanganku. Aku kaget tapi pura - pura cuek dan selanjutnya kuberanikan diri pegang tangan dia juga, Trisa diam saja tapi sesekali kulirik dia senyum. Ahhhh Cupid lepasin panahnya tepat sasaran nih.
Film telah usai dan kami bergegas keluar gedung bioskop. Namun di luar sana hujan sangat deras. Kami memutuskan untuk menunggu jemputan di dalam bioskop. Trisa sedari tadi diam saja, aku jadi tidak enak hati, apa gara - gara aku pegang tangannya ?.
"Kita pulang naik angkot aja yuk, kelamaan deh dijemputnya." Tiba - tiba Trisa ngomong dan aku dibuat kaget akan idenya.
"Ehh, nanti Mbak Dwita ngga bingung nyariinnya ?"
"Ngga papa, dia suka lupa tuh mesti jemput, sering banget deh kayak gini." Wajah Trisa cemberut buat aku jadi tak tega.
"Tapi hujan tuh, kasihan kamu kehujanan, kalau aku sih ngga masalah. Tapi ayolah kita naik angkot." Jawabku menenangkan hatinya, aku paling tak tega lihat cewek cemberut.
"Beneran ?" Entah kenapa dia malah antusias.
Jadilah kita pulang naik angkot, jarak dari bioskop sampai ke rumah Trisa lumayan jauh juga dan kita juga mesti jalan kaki dari jalan masuk perumahan sampai gang rumahnya. Hujan masih mengguyur, sebelum turun dari angkot aku keluarkan sweater hoodieku dari dalam tas kututupi kepala dan tubuh Trisa agar tak kehujanan, sejenak dia diam mematung namun selanjutnya tersenyum manis dan penuh arti padaku,aku berasa seperti meleleh.
Kuantar dia sampai depan rumahnya, dia menawarkan untuk masuk dan meminjamkan pakaian Bli Detra sekaligus nanti diantar pulang oleh sopirnya. Namun dengan halus kutolak, aku ingin naik angkot saja. Wajahnya sedih tapi tidak ingin memaksaku. Dia bergegas masuk ke dalam dan kembali dengan sebuah payung kecil, sweaterku ? Masih menutupi kepala dan tubuhnya.
"Nanti aku kembaliin, aku cuci dulu."
"Eh, ngga perlu, ngga papa, biarin aja."
"Bodo !!! Ngga mau tahu." Jika sudah jawaban ini yang muncul dari mulut cewek para cowok pasti keder.
Aku pamit, langkahku terasa mantap sekali, aku girang bukan kepalang, sampai - sampai genangan air di aspal aku hentak keras hingga nyiprat ke samping. Tak sadar aku ternyata cipratannya mengenai Bapak yang sedang neduh, wajahnya mengisyaratkan keinginan untuk "Sini Lu Gue Toyor !!!!".
Sampai di rumah aku segera mandi dan keramas dengan air hangat, tak sadar aku nyanyi - nyanyi dengan keras, mulai lagu Kahitna sampai opening Dragon Ball. Ibuku beberapa kali gedor - gedor pintu kamar mandi sambil ketawa ngeledekin dan ngngetin biar suaraku ga bikin adikku yang baru beberapa bulan lahir terbangun.
"Yo ada telepon ni." Teriak ibuku, dilanjutkan oleh Bapakku posisinya lebih dekat denganku.
"Iya bu" segera kuraih gagang telepon.
"Halo ?" Tak ada jawaban, aku bingung, siapa yang menelepon ya? Seingatku aku tidak pernah memberikan nomer telepon rumah.
"Hai yo, kamu udah di rumah ? Kamu ngga jadi sakit kan kehujanan ?." Suara di seberang sana dan aku langsung tahu itu suara Trisa.
"Ehhh, Trisaaa? Kenapa bisa tau nomer telpku?."
"Iya aku hub 108 buat minta nomer telp kamu."
"Eeehh, uhm anu, aku ngga sampai sakitlah, baru aja habis keramas." Jawabku sembari tak habis pikir kenapa Trisa bisa segitunya nyariin nomer telp rumahku.
"Kamu jangan sampai sakit ya, nanti aku sedih lho ?."
"Eehh iya iya, ngga sampai sakit kok, tenang aja." Entah kenapa detak jantungku mengencang, tak kusangka Trisa mengkhawatirkanku.
"Thanks banget ya yo buat semuanya, kamu ternyata bisa romantis juga ya, aku pikir kamu cowok cuek, slengekan, dan bandel macem si Arta, dkk".
"Romantis ?." Aku bingung.
"Iya kamu memang ikut nakalin kita cewek - cewek sih, tapi kamu milih cara nakalin aku dengan cium tangan, itu ngga bikin aku ngerasa dinakalin."
"Eehh, yang itu ssoo ssoorry banget Trisa." Tiba - tiba gugupku muncul.
"Apalagi tadi yo, thanks banget ya,kamu mau aja nurut demi jalanin ide aku naik angkot dan kamu rela ngasiin sweater kamu buat lindungin aku dari hujan, iti romantis banget yo."
Jujur anak seumuranku tahu apa tentang romantis ? Aku hanya spontan aja biar dia tidak kebasahan, kasihan khan mesti kehujanan begitu.
"Eh itu, iya masak aku biarin kamu kehujanan ?, Ngga tega deh aku."
"Tuhh kan kamu cowok romantis deh yo." Kemudian hening cukup lama.
"Eeehhmm Ttrriiss" aku ingin memulai pembicaraan.
"Yooo aku suka kamu." Trisa menyelaku.
"Saaa." Suaraku yang tertunda ikut muncul bareng kekagetanku.
Kuremas batang penisku keras - keras, sakit !! Ternyata bukan mimpi, itu cara terlebay memastikan mimpi atau tidak.
"See see rrr iiuusss ?." Aku gugup.
"Tuhh kan Trisa malu."
"Eeh kenapa malu?." Kutarik nafas dalam - dalam.
"Ini ngga bercanda kan Trisa?. Aku ngga mimpi khan ya ?."
"Pokoknya mulai besok dan seterusnya kamu jagain aku ya, met malem pacar".
Telepon ditutup, aku masih terpaku, mimpi apa aku semalem. Trisa cewek idola se-almamater malah nembak aku, cowok biasa - biasa aja. Hari itu Sun Go Kong kasmaran.
Hari - hari di sekolah selanjutnya jadi hari dimana aku selalu berdua dengan Trisa, sampai teman sekelas semua ngeledekin aku. Yang paling sentimen jelas Arta, dia ngerasa aku makin ngejauh dari geng. Ulangan umum kenaikan kelas sudah berakhir, tinggal menunggu hasil raport-an. Setelah raport dibagikan ternyata Trisa mendapat rangking pertama di kelasku. Aku sendiri naik rangking lima sebelumnya tujuh. Temen - temen malah makin nyorakin kami berdua. Menurut mereka kami jadi rajin belajar akibat pacaran. Aku nunduk malu, tapi Trisa malah senyum - senyum bangga.
"Yo, thanks ya, gara - gara deket kamu aku jadi motivasi belajar." Kata Trisa membuka obrolan sembari menanti jemputan.
"Ya elah, apaan kali Trisa, kamu kan emang dasarnya pinter aja."
"Jadi kamu ngga mau nih jadi motivasi aku ?" Jawab Trisa dengan wajah sok ngambek.
"Eehhh mau dong, mau jelas, siapa sih yang ngga mau?" Jawabku takut dia marah.
"Thanks anyway my sweety."
Cccuuuuupppp
Aku sangat kaget dan jadi salah tingkah, tubuhku kaku dan tidak bisa bergerak, menoleh saja aku tidak berani. Trisa mencium pipiku, memang situasi sudah sepi saat itu,tinggal kami berdua. Aku kemudian tersadar saat Trisa menyiku lenganku, kuberanikan diri memegang tangannya, lama sekali. Oohh cupid, tepat sasaran lagi.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Liburan sekolah akan segera berakhir , tahun ajaran baru akan dimulai dan aku akan pindah sekolah sesuai keinginan orang tuaku agar aku lebih mudah bersekolah karena angkot yang sejalur dengan sekolah baruku. Arta orang pertama yang aku ceritakan begitu mendengar keputusan ortuku dan dia mengumpat kecewa. Akupun meminta saran, bagaimana cara menyampaikannya pada Trisa. Dia menceramahiku, tumben dia bisa bijak, sedewasa perawakannya. Sampai kuberanikan diri untuk menelepon Trisa.
"Halo."
"Haiiii sweety, gimana liburanmu di kampung ? Bentar lagi kita bakal ketemu di sekolah, ngga sabar deh."
"Eeehmmmm anu." Aku jadi bingung tak tahu mesti ngomong apa.
"Ada apa yo?." Suaranya sangat halus membuat aku semakin berat.
"Kamu ngga papa khan yo ? Jangan bikin aku khawatir dong ?"
"Trisa, akkkuu, uuhmm aanuu, aakkuu bakal pindah sekolah. Awal kelas dua ini aku sudah ngga di SMP 80 lagi." Aku terbata merangkai kata.
"Maksud kamu yo ?" Kemudian mulai terhisak.
"Bukan mau aku Trisa, tiba - tiba saja orang tuaku memindahkanku, dengan alasan supaya memudahkanku naik angkot."
Lama dia tak bicara, aku hanya mendengar isakannya saja.
"Oke yo, kalau kamu memang pindah, kita putus aja yo !."
Telepon ditutup, hatiku remuk rasanya, aku tak menyangka kata - kata itu yang bakal keluar dari mulutnya. Aku jadi tak rasional dan gelisah. Jam dinding menunjukkan pukul 6 sore, segera aku berlari mengambil sepedaku, kukayuh sekuat tenaga menuju rumahnya. Tiba di sana, kupencet bel berkali - kali, pikiranku ke mana - mana menyebabkan aku jadi nekad. Pembantu Trisa muncul sambil setengah berlari dia menghampiriku.
"Mbok, Trisanya ada?" Tanyaku ngos - ngosan.
"Mbak Trisa nya lagi istirahat Bli, sakit, katanya ngga mau diganggu."
"Oh iya mbok bilangin saya nyariin ya, makasi mbok."
Aku kembali pulang, perasaanku hampa, entah kenapa kurasa kayuhan sepedaku sangat berat sekali. Mataku sulit terpejam, dadaku sesak rasanya, pikiranku hanya Trisa dan Trisa. Hal ini berlangsung berhari - hari, garis hitam di bawah mataku sudah sangat nampak, Bapakku sampai menyita SEGA-ku, akibat laporan Ibuku, dipikirnya aku begadang main game. Segala cara kulakukan agarbpaling tidak bisa mendengar suaranya, tapi hasilnya nihil. Sampai hari terakhir, hari Minggu, dimana besok liburan usai dan aku sudah tidak satu sekolah lagi dengannya.
Kukayuh sepedaku menuju rumah itu lagi, sampai di depan pintu, aku tekan bel sekali. Iya, sekali saja. Aku merasa harapanku tinggal seujung kuku, namun aku tetap berusaha. Akhirnya Trisa keluar menemuiku, setiap bicara denganku dia selalu membuang mukanya dariku. Kujelaskan semua hal dan mengupayakan agar kami tak putus. Tapi dia tetap pada pendiriannya. Terakhir dia mengembalikan sweater hoodie yang kugunakan melindunginya dari hujan. Ada jahitan tambahan pada dada kirinya, guntingan kain berwarna pink, ada namaku di sana ditulis dengan snowman permanent hitam, namun pada ada coretan memanjang di bawah namaku, dengan samar kubaca, Trisa. Aku pulang, kayuhanku tak bertenaga, dadaku sesak dan tak terasa aku menangis.
Kupikir - pikir sangat lucu dan tidak masuk akal, cuman karena aku pindah sekolah asmaraku mesti kandas, padahal ngga pindah pulau, masih bisa ketemu. Cuman begitulah logika anak abg baru tumbuh, ngga masuk akal, tapi harus kuakui putus cinta kera ternyata sakit juga.