Part V
Generasi Emas
Bek lawan tidak bergerak, mereka tak menyangka ada aku yang melesat kencang dengan sisa tenaga terakhir tak terkejar oleh mereka, tinggal berhadapan satu lawan satu dengan kiper.
Kiper bergerak maju menyongsongku, bola bergulir lebih cepat dari perkiraanku, kakiku lemas tenagaku sudah hampir habis, satu momen terakhir bola kucungkil lembut dengan ujung sepatuku. Dan melambung manis di atas tangan penjaga gawang yang telah bergerak jatuh.
Pllooooosssss bola masuk ke gawang. Suporter timku histeris, bahkan sampai masuk ke dalam lapangan menindihku hingga aku sulit bernafas.
Saat aku bangkit kuarahkan pandangan ke Dina dan aku dihadiahinya senyuman manis dan dua jempol tangan yang mengacung. Hatiku mendadak lumer, padahal dia suporter tim lawan, namun seolah tak peduli pada kemenangan timnya dia memotivasiku sedari awal.
Pertandingan telah usai, kelasku juara. Aku diarak di lapangan bak pahlawan oleh teman - temanku. Bajuku basah oleh keringat, dan kakiku terasa lemas. Perlu pijatan sepertinya. Saat akan balik menuju sekolah tiba - tiba ada yang mengelap keringat di leher dan kepalaku.
"Ciiieeehhh pahlawan anak kelas 3."
Sambil ngelap kerinatku tanpa ijin.
"Eeehh apaan sih, kok seenaknya gosok - gosok kepala orang." Aku sewot.
"Ya elah, dikit doang biar pernah gosokin kepala pahlawan anak kelas 3 tuh." Jawabnya makin kurang ajar.
"Sialan ni anak." Spontan aku toyor kepalanya.
Aku percepat langkahkundan meninggalkannya dibelakang, namun ini anak semakin kurang ajar pake acara jalan sambil meluk lenganku.
"Iiiihh apaan ni,Jan lepasin oiy, malu dilihatin orang banyak, dikiranya ada apa - apa lagi."
"Bodddoooo weeee." Dia semakin cuek dan malah memiringkan kepalanya di bahuku sambil berjalan. Aku jadi salah tingkah, semua siswa dari kelas satu sampai kelas tigas melototin kami.
Terutama ekspresi teman - teman setimku yang menunjukkan "itu pacarmu?". Yang kubalas dengan gerakan tangan "tidak". Kuamati sekeliling dan ketakutanku benar, kulihat Dina tersenyum ke arahku namun dengan senyum yang berbeda, tetap manis, tapi sinis. Mati aku.
Setelah pertandingan kemarin aku jadi makin dikenal di sekolah ini. Anak - anak dari kelas satu sampai angkatanku semua kini menyapaku, kadang di kantin aku dengar mereka membicarakan penampilanku bertanding kemarin. Jujur aku agak sedikit tidak nyaman karena malah capek meladeni pertanyaan anak - anak kelas satu yang sering kali kepo. Terlebih kini ada ekstrakulikuler baru yaitu jurnalistik, jadi anak kelas satu yang baru direkrut nguber - nguber sasaran beritanya, ganas macam paparazzi.
Aku lebih tak nyaman lagi karena kebanyakan dari mereka nanyain hubunganku dengan January, dia mendadak populer di kalangan anak kelas satu. Bukannya malu dia tambah pede main peluk tiba - tiba dari belakang dimanapun ketemu aku. Aku jadi kelagapan dengan tingkahnya. Namun jujur tidsk ada perasaan istimewa antara kami, diapun juga tak menunjukkan perasaan yang bagaimana, lebih ke seperti sahabat. Bagaimana dengan Dina ?.
Dia sedikit menjauh dariku, mungkin setelah melihat Jan semakin akrab denganku. Hari ini jam pelajaran kosong, teman sekelasku pada kumpul di kantin tapi aku sendiri memutuskan untuk nongkrong di markasku menikmati sepi sendiri. Ada sedikit perubahan di markasku, Pak Badeg penjaga sekolah membuat kursi panjang dari sisa kayu dan diletakannya tepat di bawah pohon menghadap ke sungai, tambah asyik. Aku duduk di kursi itu dengan kepala bersandar di pohon dan kaki kunaikkan ke pagar besi tipis, selonjoran.
Lagi asyik melamun, tiba - tiba suara yang tak asing menyapaku dari arah belakang.
"Udah famous, masih aja menyendiri ?."
Aku menoleh. "Eh, Din, apa kabar? Tumben main ke markas."
"Hehehe, iya belakangan ini banyak kegiatan jurnalistik."
"Wuiihh kamu ikutan?"
"Hihihi, khan aku ketuanya Yo."
Senyum manisnya muncul.
"Woaaalahhh ini toh biang gosipnya, sini tak toyor bolak balik dulu."
Jawabku bercandain.
"Hahahaha, itu sih inisiatif adik kelas Yo, abisnya kalian khan romantis, pake dilapin keringet gitu deh."
"Asemmm, si Jan aja tu yang sok - sokan perhatian, caper iya. Padahal kerjaan kita konflik mulu macem anjing ama kucing" Aku makin sewot.
"Cieeehh, berarti udah jadian dong? Traktiran Yo..."
"Eh eh eh ngga, ngga ada jadian, ngga ada perasaan gimana - gimana juga kali." Aku membela diri.
"Tapi kalian cocok lho, udah kayak pasangan Victoria sama David Beckham."
"Haaadeehhh..."
"Aku jadi takut ni ngobrol bareng kamu." Nadanya meragu.
"Lho kenapa? Aku ngga ada hubungan spesial sama si Jan. Oh iya thanks banget ya kamu malah ngasi dukungan ke aku waktu final kemarin. Eh itu buat aku ya? Jangan - jangan aku kege-eran."
"Maunya buat siapa hayooo?" Candanya.
"Buat aku donggg.." jawabku pongah.
"Lihat kamu di lapangan gitu keren deh Yo. Aku jadi diledekin temen - temen karena dukung kamu. Tambah diledekin lagi waktu si Jan ngelapin keringet kamu tu."
"Eh Din, Porsenijar kan bentar lagi nih, aku kayaknya dipilih lagi sama Pak Subandrio masuk tim. Padahal kelas 3 mestinya udah selesai. Kamu mau dateng ya kalau kita bertanding.
Hehehe" jawabku mengalihkan pembicaraan.
"Iya, pasti Yo. Oiya ini ada sesuatu, tapi dibaca nanti ya." Katanya sembari menyodorkan secarik kertas.
"Ini apaan Din? Siap deh nanti aku baca." Kataku penasaran.
Setelah menyerahkan kertas itu Dina berlalu pergi, kubuka dengan cepat lipatan kertas itu ada semacam susunan organisasi dan tabel - tabel yang sudah berisi nama - nama. Ada beberapa yang kukenal termasuk namaku sendiri ada di sana. Beberapa bagian di kertas fotocopyan itu tampak buram dan tak terbaca. Namun ada tulisan tangan di pojok kanan atas kertas, nomer telepon rumah dan ada pesan di bawahnya "Telp aku Leo from Dina".
Sepulang sekolah setelah menyiapkan pakaian bola dan perlengkapannya untuk kupakai latihan sore ini guna persiapan Porsenijar, segera kuraih gagang telepon rimah dan menghubungi nomer tadi.
"Halo..."
"Halo Dina?"
"Leo? Langsung bisa tahu aku?."
"Iya suara kamu khan ngga asing banget buat aku. Ada apa Din tumben nyuruh nelp ?
"Hihihi, aku malu bilangnya, kamu bisa jemput aku ngga Yo ? Aku pengen lihat tim bola latihan."
"Ehh, serius? Ini aku udah siap, kamu bisa aku jemput sekarang?"
"Jemput aja Yo, Jalan Tunggul Ametung nomer 35 ya."
"Siaaappp".
Motorku melaju pelan tapi pasti, padahal untuk ke rumahnya dari rumahku aku mesti melewati lapangan tempat latihan. Tapi entah kenapa semangatku membara, di samping itu aku penasaran kenapa tumben - tumbenan si Dina pengan ikutan.
Sampai di depan rumahnya ternyata Dina sudah menungguku di depan pagar, Jersey Basket Chicaggo Bulls Hitam, hot pants jeans dan sneakers. Wah cantik banget. Kamipun berangkat ke lapangan. Sesampai di lapangan aku heran kenapa dia bisa akrab dengan Pak Subandrio pelatihku, selidik punya selidik ternyata Dina manajer tim bola kami. Sialan kenapa ngga bilang dari awal.
Banyak wajah baru di latihan kali ini, anak kelas satu juga ikut diseleksi untuk bisa masuk ke 23 pemain yang didaftarkan nanti. Anak - anak kelas dua yang sudah tak asing bagiku juga ada, Axel rising star itu juga tampak. Angkatanku yang agak berkurang, hanya sekitar 7 orang dari pemain inti kemarin yang tampak. Luhur playmaker kelas 3C, Indra striker 3C, Saleh sayap kiri 3D, Guntur bek kanan 3A, Bejo gelandang 3D, Sutapa kiper 3E dan aku sendiri. Pak Subandrio menyayangkan kenapa Komang Wiarta bek dari kelasku dan Cipta bek kelas 3B yang notabene pemain inti mengundurkan diri. Temanku Sukadana juga memutuskan tidak ikut.
Latihan kali ini lebih banyak porsi untuk mengembalikan stamina dan sentuhan, karena kami baru bisa berkumpul kembali. Tapi untuk anak kelas satu dan kelas dua yang diseleksi ada latihan tambahan. Yang gugur tetap latihan biasa. Sembari memantau pemain - pemain baru, aku berbincang dengan Pak Subandrio tentang pemain mana saja yang potensial. Bayu Aji anak kelas satu posisi penjaga gawang bermain bagus, Suta kelas satu bek kiri juga bagus. Di kelas dua malah makin bikin bingung mereka berkembang pesat. Anggoro gelandang sangat bagus sekali, namun yang paling menonjol adalah dua orang spesies langka, Axel yang sangat cepat dan berbahaya, satu lagi Sabda yang flamboyan dan benar - benar ajaib bocah satu ini.
Pak Subandrio senyum - senyum sendiri karena mungkin di otaknya sudah menemukan skema dan bayangan yang pas akan tim nanti. Dina tampak serius mengecek perlengkapan latihan dan kesediaan air mineral, sesekali aku meliriknya, sungguh cantik dengan outfit itu.
Selepas latihan Dina mengajakku untuk membeli perlengkapan tim, jersey, kaos kaki dan dekker untuk Porsenijar nanti. Sampai di toko sport dia memilih beberapa sampel desain jersey yang akan digunakan untuk tim sekolahku nanti. Ada tiga sampel yang dipilih, pertama warna putih dengan tiga strip di pundak mirip jersey jerman, kedua garis biru langit dan kombinasi garis putih mirip Argentina dan yang terakhir biru azzuri sangat mirip desain jersey Italia yang fenomenal di Euro 2000 waktu itu Kombat 2000.
Kombat2000
"Kamu prefer yang mana Yo?" Tanya Dina padaku.
"Aku yang mirip Jerman oke, tapi Kombat2000 unik juga."
"Aku juga pengennya yang mirip Italia itu, nanti nomer 10-nya buat kamu ya Yo. Biar mirip pemain idolaku Del Piero."
"Eh, kalau itu terserah Pak Subandrio aja." Jawabku.
Aku sebenarnya ngincer nomer 7 mirip pemain idolaku David Beckham. Tapi kembali lagi ke pelatih. Intinya aku cuman pengen bisa jadi pemain inti lagi kayak tahun kemarin, apalagi saingan sekarang makin ngeri.
Latihan makin keras menjelang Porsenijar bergulir, anak kelas satu banyak yang tumbang dan gagal seleksi. Anak kelas dua yang sudah pasti terpilih adalah Anggoro, Axel dan sudah pasti Sabda. Anggoro dan Axel juga makin ngeklik, kemanapun Axel berlari umpan Anggoro pasti menanti. Tapi yang paling menyita perhatian jelas Sabda, sangat sulit menghadangnya, drible pendeknya sukit dibaca, akselerasinya sangat baik, skillmya di atas rata - rata, namun sayang dia bermasalah di penyelesaian akhir dan hanya kuat pada satu kaki, kanan. Jika ingin menggambarkan permainannya di jaman sekarang, gaya permainannya sangat mirip Egy Maulana Vikri striker timnas u19 namun dengan kaki kanan. Tapi jika dia masih bermain sekarang dia kira - kira seumuran Messi. Gaya permainan mirip padahal waktu itu Messi belum muncul juga.
Pagi ini kami dikumpulkan di ruang serba guna sekolah, ada sedikit wejangan khusus dari Kepsek sekaligus pembacaan pemain - pemain terpilih. Akhirnya tiba saatnya Pak Subandrio membacakan para pemain yang dipilihnya sekaligus pembagian Jersey dan kelengkapan lain.
Penajaga gawang :
1. Bayu Aji (Kelas 1C)
12. Sutapa ( Kelas 3E)
22. Werdi (Kelas 2D)
Pemain belakang :
6. Setya (Kelas 2E)
5. Ngurah (Kelas 2E)
3.Guntur (Kelas 3A)
2. Suta (Kelas 1E)
13. Wilyana (Kelas 2C)
16. Subali (Kelas 2C)
17.Nanik (Kelas 2D)
Gelandang :
7.Anggoro (Kelas 2A)
8. Luhur (Kelas 3C)
11.Saleh (Kelas 3D)
14. Bejo (Kelas 3D)
15.Lubdaka (Kelas 2D)
4. Viktor (Kelas 1E)
21.Septiawan (Kelas 2A)
18. Adi Putra ( Kelas 2B)
23. Kristian ( Kelas 1C)
Striker :
9. Indra ( Kelas 3C)
10. Sabda ( Kelas 1E)
19.Axel (Kelas 2B)
20.Leo (Kelas 3D)
Semua nama sudah dipanggil ke depan satu persatu, jersey dan kelengkapan sudah dibagikan. Jersey dengan logo sekolahku di dada kiri model Combat2000 dengan nomer punggung 20 kini berada di tanganku. Kulirik Dina yang duduk di bangku depan, dia menoleh ke arahku, ada ekspresi kurang puas di dirinya. Pertemuan dibubarkan, saat keluar ruang serba guna aku mendengar Dina memprotes Pak Subandrio mengenai pemberian nomer punggung. Dia menginginkan agar aku yang menggunakan nomer 10, namun Pak Subandrio punya alasan tersendiri, akupun kali ini setuju dengan keputusannya. Pak Subandrio pergi berlalu, Dina masih diam di sana, kemudian aku melihatnya terisak, segera aku menghampirinya.
"Din kamu kenapa?"
"Aku kesel, aku pengennya kamu yang Nomer 10, biar mirip idolaku Del Piero."
"Udah Din, sampai segitunya kamu, aku asal bisa jadi tim inti aja udah seneng dah. Nomer 20 juga keren dipake Totti, bakal jadi saingan Del Piero tuh. Hehehehe"
"Huh, ngga bakal, Del Piero tetep paling hebat." Jawabnya ketus.
"Aku sih ngga masalah Din, aku juga ngerasa tahun ini anak - anak kelas dua dan kelas satu hebat - hebat banget. Aku jadi ragu nih."
"Kamu ngga boleh pesimis ya Yo.Nanti aku ngga bakal capek nyemangatin kamu."
"Siappp manajer cantik, semoga nanti aku bisa cetak goal, baju dalemannya aku tulisin nama kamu deh."
"Iiihhhh Leo bisa romantis juga deh."
"Eh, itu romantis ya?" Jawabku blo'on.
"Semoga sekolah kita juara Yo, walau ini baru tahun kedua sekolah kita ngirim tim sepak bola tapi yakin tahun ini kita kuat. Mungkin di paduan suara kita juga kuat, tapi kalau juara di sepak bola rasanya beda banget."
"Hebat banget kata - katamu, siap aku bakal bikin mbak manajer yang cantik ini nyumbang emas buat sekolah, biar namanya masuk hall of fame sekolah."
"Aaaaaa Leo, keren,romantis banget."
Wajahku merona merah.
Latihan terakhir kami mendadak riuh oleh anak - anak dari kelas satu dan kelas tiga yang menonton kami di pinggir lapangan. Dina tampak makin cantik dengan jersey Manchester United dengan nameset Beckhamnya. Jan juga muncul dan mendadak dia jadi akrab dengan Dina dan berdiri disebelahnya. Aku tak menyangka dia juga mengerti sepakbola, aku juga kaget melihat dia datang dengan jersey Inter Milan dan snapback putih, cantik juga.
Masuk ke sesi latihan terakhir sebelum pendinginan yaitu latih tanding babak kedua, tim sebelumnya dibagi menjadi dua, Tim A dan Tim B, kekhawatiranku muncul, aku tergeser ke Tim B yang kemungkinan menjadi tim cadangan. Namun Pak Subandrio menegaskan hasil dari pertandingan babak kedua ini menentukan susunan tim inti. Aku harus berusaha, apalagi duetku Axel sekarang, aku akan kirim terobosan nikmat buatnya.
Pertandingan berjalan alot dan saling serang seolah semua ingin merebut tempat di tim inti. Apalagi duet playmaker di Tim A memang yahud, Anggoro - Luhur. Mereka selalu punya cara untuk mengirim umpan matang ke duet striker ganas mereka Indra dan Sabda. Di 5 menit pertama gawajng Tim B sudah kebobolan oleh Indra, kombinasi Anggoro - Luhur mengirim umpan ke Sabda, Sabda seolah kesetanan mengobrak abrik pertahanan Tim B, tiga orang dilewati sebelum akhirnya melepas assist ke Indra, dengan tenang Indro mencocor bola ke sela kaki Sutapa. Suporter bersorak, Pak Subandrio senyum - senyum.
Dua menit kemudian giliran Sabda yang beraksi, menerima umpan Saleh di sisi kiri, Sabda melewati dua orang pemain bertahan sebelum melepas tembakan melengkung ke sisi kiri bawah gawang Sutapa. Aku makin jengah, kubisikkan pada Axel agar berlari diagonal, aku berencana akan melepas umpan ke sisi kosong tempatnya akan berlari dan tampaknya sesuai rencana. Axel terlepas, dan berlari kencang Satya dan Ngurah mengejar namun dengan satu gerakan Axel membuat mereka bertiga malah bertabrakan, bola lepas, aku segera menyongsongnya, one on one dengan Bayu Aji sang kiper, dia bergerak maju, aku feint bola ke kiri, tapi tangannya yang panjang masih sempat mendorong bola menjauhi kaki kiriku yang tingggal menyontek bola.
Tak mau kehilangan momen, kulakukan gerakan menyepak dengan kaki kanan menyilang di belakang kaki kiri, Rabona, plossssss bola masuk dengan sempurna. Penonton meneriakkan namaku, jadi bangga, Diana memberikan dua jempolnya padaku, sementara Jan tak mau kalah membuat gerakan mencium tangan dan meniupnya.
Kedudukan masih 2-1, satu momen aku mendapat bola liar, Axel berlari cepat dan dengan timing yang tepat aku melepas umpan lob ke atas kepala para bek. Mereka kaget Axel menyambutnya dengan tembakan mendatar yang tidak bisa dijangkau Bayu Aji. 2-2 sama kuat. Waktu akan segera habis, Tim A lebih menekan, ini soal endurance, ketenangan dan pengalaman. Dan perbedaan itu terlihar, Anggoro dan Luhur melakukan kombinasi segitiga dengan Sabda, pertahanan Tim B berantakan, Indra berlari menjadi decoy dan menggiring bek terakhir mengikutinya dan membuat Sabda lepas melenggang sendiri tinggal berhadapan dengan kiper, dan dengan cungkilan yang luar biasa bola melewati kepala Sutapa dan masuk ke gawang. Waktu habis Tim B kalah.