THE LUCKY BASTARD – PART 26
----------------------------------------
Gila. Aku terbangun. Mendapati tubuh Val yang telanjang tidur di sebelahku. Anggia mana? Aku memeriksa handphoneku. Sudah pukul 3 pagi.
"Gue tidur diatas ya fuckboy... XOXO" pesan singkat dari Anggia.
Gila. Di kepalaku masih terbayang bayangan Val dan Anggia yang berciuman dengan sperma membasahi muka dan dada mereka. Aku berusaha bangkit. Tapi Val mendadak memegang tanganku. "Where are you going?" bisiknya tanpa membuka mata. "Outside... Smoking..." balasku. "Come here..." dia menarik lemah diriku, dengan sisa tenaganya. Dia berusaha memelukku hangat. Aku menyerah. Aku berpelukan sangat erat dengan Val.
"Last night was crazy" bisiknya.
------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------
Aku terduduk dengan lemas di kursi rotan itu. Memandangi kolam renang, dengan Anggia berenang di dalamnya dengan pelan. Pagi yang dingin. Aku dan Anggia benar-benar excited semalam. Pengalaman baru bagi kami. Kegilaan baru bagi kami. Aku benar-benar tidak menyangka kalau yang semalam itu nyata. Rendy mendadak keluar dengan muka sangat mengantuk.
"Semalem gue denger suara aneh" celetuk Rendy, saat menghampiriku di pinggir kolam renang. Val masih tidur di kamarku. Lucas juga belum bangun. "Suara orang ML" bisiknya. "Elo ya?"
"Iya..." aku menelan ludah.
"Sama Valerie?" tanyanya lagi.
"Iya"
"Gila temen kita Nggi.... ke Bali malah dia yang dapet, kita ga dapet apa-apa" celetuknya ke Anggia. Aku dan Anggia hanya saling melihat, tersenyum dalam hati.
------------------------------------------
Hari ini semua menyebar. Lucas dan Val akhirnya mendapatkan mobil ganti mereka. Sehingga mereka dapat melanjutkan rencana mereka liburan, jadi mereka sudah pasti tidak ikut kami. Rendy, entah kemana dia. Jadi yang dimaksud dengan "kami" hari ini adalah aku dan Anggia. Kami berdua sedang di dalam mobil menuju GWK.
"Geblek ya semalem...." celetuk Anggia.
"Iya" senyumku
"Asik deh, lo jadi ceria lagi gitu..."
"Masa?"
"Makanya... Untung jadi ikut kesini kan??" senyum Anggia.
"Jadi udah ga mikirin Lucas lagi?"
"Siapa tuh..." tawa Anggia.
"BTW pas lo bete seharian kemaren itu gw seharian ngobrol banyak sama Val..." lanjutku
"Soal?"
"Banyak... Salah satunya Nica."
"Oh ya?"
"Iya"
"Bagian apanya soal Nica?"
"Soal sikap dia yang jadi over setelah kejadian di RS"
"Kok bisa cerita ke Val"
"Dia yang ngebongkar gue"
"Lah emangnya dia psikolog"
"Baru lulus memang..."
"Wow... Kebetulan banget ya..."
"Dan tadi dia bilang untuk lanjutin ngobrol..."
"Gw musti makasih banyak ama dia nih" senyum Anggia.
"Makan dulu ya sebelom ke GWK..." ajak Anggia
"Jangan yang mahal2 dong..."
"Bodo" seru Anggia sambil meledek
------------------------------------------
"Jadi gak sabar balik Jakarta" Anggia membuka percakapan.
"Ngapain?"
"Elo harusnya dah bisa tegas ama Nica entar. Dan siapa tau Dian bisa ilang dari kepala lo" aku hanya tersenyum kecut. "Dan gue udah janjian ama Adrian"
"Gila" balasku
"Kan gue beliin oleh-oleh, kudu ketemuan dong..."
"Itu namanya ngumpanin Nggi..."
"Itu bedanya orang pinter ama bukan kalo mau deketin cowok" balasnya.
Pelayan mendadak menaruh sepasang minuman di meja kami.
"Eh kita gak pesen ini deh" seru Anggia
"Oh iya, itu free cocktail buat couple, ada tulisannya di depan" jawab pelayan.
"Yaudah ambil lagi aj...."
"Makasih ya..." Anggia memotong ucapanku sambil memegang tanganku.
Setelah pelayan itu berlalu, aku protes. "Apaan sih Nggi"
"Gapapa kali" jawabnya.
"Gapapa apaan..."
"Kali ini pura2 jadi couple. Kan gue belom pernah pacaran sama elo. Itung itung test drive" seringai Anggia.
"Terserah"
"Asik"
------------------------------------------
Perempuan cantik itu ada di sisiku. Dengan kemeja flanel, tank top dan hot pants jeansnya. Dengan straw hat dan kacamata hitamnya. Rambut hitam legam yang acak-acakan. Anggia.
"Kesitu yuk. Duduk dulu" lalu ia melangkah sambil menarik tanganku. Kami lantas duduk, dan dia bersender pada tubuhku. "Ini patung kapan jadinya sih?" tanyanya sambil menunjuk kepala sang Wisnu. "Mana gue tau..."
"Dih... Judes amat ama gue" ledeknya. Tangan kami saling menggenggam.
Kami berjalan jalan di komplek GWK layaknya kekasih. Bergandengan, dengan kemanjaan Anggia yang sangat terlihat dimataku. Terbayang ucapan ucapannya dulu "Coba agama kita sama" "Coba lo seagama ama gue" hal-hal itu yang terngiang kalau aku mencoba mengingat Anggia.
--
Pertemuanku pertama dengannya adalah waktu dikampus, 10 tahun yang lalu. "Mahasiswi barunya cakep amat" "Kenalan yuk" "Ih tinggi kayak model" "Wiiih cantiknya" seperti itu suara-suara yang kudengar waktu itu. Sampai-sampai timbul keretakan di panitia ospek. Panitia yang cowok jadi terlalu lemah di hadapan Anggia. Panitia yang cewek jadi kesal. Apalagi ternyata Anggia super nekat dan pemberani. Senior yang galak tak jarang malah jadi adu mulut dengannya karena dia selalu melawan.
"Maaf mas, Pak Antonnya ada?" teguran Anggia membuyarkan lamunanku waktu itu.
"Oh lagi keluar..." jawabku yang sedang di ruangan studio waktu itu.
"Oke saya tunggu disini ya" dia langsung duduk di salah satu kursi dihadapanku. Anak remaja baru masuk kuliah di jurusan seni rupa. Tampangnya judes. Sangat cantik. Celana jeans belel. Sneakers belel. T shirt incubus. Lengannya digulung. Rambut Anggia masih sebahu saat itu.
Aku yang sedang di depan komputer lantas menyalakan rokok.
"Mas emang disini boleh ngerokok?"
"Biasanya juga gitu" jawabku
"Bukannya gak boleh"
"Pak Anton juga suka ngerokok disini"
"Orang salah kok ditiru"
"Kebiasaan"
"Kebiasaan buruk"
"Udah biasa disini"
"Bodo. Pokoknya kalo ga boleh ngerokok disini ya gak boleh" sinisnya. Buset. Belum kenal padahal.
"Kamu siapa sih..." gusarku
"Anggia"
"Bukan maksud saya kenapa kok kamu sok sok ngatur disini"
"Peraturannya kan gitu"
"Peraturannya konyol"
"Tetep aja peraturan"
"Gak ada bahayanya ngerokok di studio grafis"
"Bahaya buat kesehatan mas"
"Bukan urusan kamu"
"Bodo!"
"Lho siapa ini berantem... Katanya ada mahasiswa cari saya ya" Pak Anton menyela kami. Jadilah pertengkaran kami dipotong oleh asistensi tugas Anggia ke dosen tersebut. Aku gusar dan segera keluar dari ruangan studio. Pantesan yang namanya Anggia terkenal. Judes banget. Cantik banget sih emang. Tapi judes. Gila. Gak akan mau gue pacarin. Setidaknya seperti itu pemikiranku dulu.
Ingatanku lari lagi ke kejadian lain dengan Anggia. Sebulan setelah pertemuan pertama. Ada acara kampus, acara band. Angkatan Anggia yang jadi panitia. Aku datang menonton. Sudah jadi rahasia umum kalau ada acara seperti itu, panitia biasanya menyelundupkan minuman keras ke kampus.
"Sendirinya belum cukup umur sudah minum. Pake ngelarang-larang orang ngerokok" ledekku ketika aku menemukan Anggia sedang duduk sendiri di pojokan. Dengan gelas plastik yang berisi bir.
"Biarin" jawabnya ketus. Mukanya merah.
"Jangan mentang-mentang famous terus ngesok" ketusku.
"Jangan mentang-mentang tua terus ngesok" balasnya kasar. Sialan.
"Kampret... Mulutnya ga bisa dijaga ya ni anak..." kesalku sambil menyalakan rokok.
"Eh halo! Anggia ya?" mendadak Rendy muncul, entah dari mana. "Gue mau cari makan nih... Kalian ikut yuk!" ajak Rendy. Kami berdua dengan enggan ikut. Sampai tempat makan bertengkar lagi. Tapi setelah itu mengobrol. Jadi teman. Proyekan bareng. Sahabat. Teman curhat. Teman mabuk. Teman sekantor. Teman main. Friend with benefits. Threesome. Dan sekarang. Aku melihat dia dalam gandenganku.
--
"Kenapa?" tanyanya bingung melihat ekspresiku.
"Inget jaman dulu"
"Jaman kapan?"
"Kuliah"
"Jaman elo masih gondrong culun kan" ledeknya
"Jaman elo masih sok galak" balasku
"haha" senyumnya sangat manis. Dia menggenggam tanganku erat. Kami berjalan berdua mengelilingi tempat itu. GWK. Tempat dimana aku menyatakan ke Dian kalau aku akan menikahinya. Apakah sudah seharusnya aku menempatkan Dian di belakang? Meninggalkan semua kekesalan dan kehancuran hatiku?
"Tempat ini kan?"
"Maksudnya?"
"Tempat lo ngajak Dian nikah" senyumnya. Aku tersenyum kecut. "Gue tau lo berusaha ngelupain dia. Tapi gimana kalo lo ga usah usaha..." lanjutnya.
"Ga usaha? Gimana tuh?" tanyaku.
"Ya ga usah lo lupain. Jalanin aja. Ketemu orang baru. Pengalaman baru" senyum Anggia.
"Ada benernya juga sih.... Gw udah nyobain kayak gitu sama Nica. Tapi ancur total abis dari rumah sakit. Jelasku.
"Anggap aja itu kecelakaan"
"Nica korbannya dong"
"Dan lo harus sembuhin dia"
"Gw harus coba. Gw gak bisa larang dia sayang ama gw, tapi dia gak boleh bertindak yang ngerugiin dirinya sendiri. Minimal itu"
"Janji ya" bisik Anggia.
"untuk?"
"Balik ke Jakarta, lo beresin semuanya. Entah caranya gimana"
"Janji"
"Gue juga mau janji"
"Apaan?"
"Gue pengen serius dalam hubungan gue. Udah capek gue kayak biasa. Gue butuh hubungan yang steady dan serius. Gak tau sama siapa, tapi gak mau ngasal lagi" Anggia menjelaskan panjang lebar dan menggandeng lenganku untuk kemudian berjalan kembali.
------------------------------------------
Hari ke 7. Pertemuan dengan Val dan banyak kontemplasi bisa kurasakan telah merefresh diriku. Kepalaku tidak hanya untuk Dian. Tetapi harusnya untuk kepentinganku, kebahagiaanku dan kehidupanku ke depan. Memang mungkin salah selalu berusaha memikirkan bagaimana cara melupakan Dian. Tapi mungkin benar, aku tidak harus melupakannya. Aku hanya harus terus maju ke arah yang baik untuk kehidupanku.
Beberapa hari kebelakang memang aku habiskan banyak mengobrol dengan Val. Aku mencoba membuka masalahku dengan Nica dan Dian. Yang menyenangkannya adalah, sama sekali tidak ada judgement atas semua kejadian itu. Entah kenapa dia berhasil meyakinkanku bahwa semua itu terjadi karena waktu dan situasi yang salah. Aku semakin yakin bisa bicara dengan gamblang dengan Nica. Aku akan jujur bahwa aku melukainya. Dan aku akan tegas bahwa aku tidak bisa memperbaiki hubunganku dengannya dan akan berusaha move on dari Dian. Aku tidak sabar menjadikan kedua hal tersebut masa laluku.
Malam yang indah dan tenang. Aku sudah packing dan siap untuk pulang besok. Val dan Lucas masih akan melanjutkan liburan mereka di Bali. Mereka sudah dapat penginapan yang layak untuk seminggu kedepan.
Sepi. Pukul 11 malam. Mereka semua sudah pasti tertidur. Aku masih merokok, menatap ke kolam, duduk di kursi rotan lebar itu, atau lebih tepatnya bersandar dan tenggelam di dalamnya. Sejak kejadian threesome kemarin, tidak ada satupun lagi diantara kami yang berhubungan seks. Tampaknya memang kejadian itu menguras fisik dan mental. Kami bertiga tidur di kamar masing-masing. Aku meluruskan kakiku dan bersandar malas di kursi rotan itu.
"Hey... I thought you already sleeping.." Val menyapaku. Dia mencepol rambutnya, memakai baju terusan bermotif etnis yang sangat Bali sekali. Dia membawa dua kaleng bir. Setelah menyerahkan satu kepadaku, dia langsung duduk di sampingku, di kursi yang sama.
"What's up?" sapaku.
"Beautiful night, isn't it" sambung Val. Kami bertatapan dan tersenyum. Otomatis kami bersulang dengan kaleng bir. What a holiday.
------------------------------------------
BERSAMBUNG