Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Tidak Seperti yang Ku Bayangkan

Chapter 2 : Sayur Nangka

Hari – hari Ku lalui dengan sangat bosan. Kapan musim hujan datang. Jika panas begini, halaman rumah pasti berdebu. Jika sudah berdebu, Aku harus membersihkan halaman. Baru pulang sekolah sudah harus bekerja lagi. Tak apalah, daripada bosan. Setelah membersihkan halaman, Aku masuk ke dalam dan sejenak duduk di ruang tamu.

“Ibu mana?” tanya Bapak yang baru masuk ke rumah.

“Pak, bisa kali itu tangan dicuci dulu di depan.”

“Iya, nanti.” jawabnya sambil menuju ke kamar.

Aku segera ke lantai atas untuk mandi, ganti baju dan istirahat. Inginku segera tidur.

Ku lihat di depan cermin ada seorang laki – laki pemalas sedang mengamati dirinya. Lumayan tegap juga gw.

“Dio…!”

“Auch!” segera Ku tutup diriku dengan handuk. Tiba – tiba Ibu memanggilku dari pintu kamar. Kepalanya jelas terlihat masuk. Ibu mengagetkanku.

“Ibu! Kenapa gak ngetok dulu sih?!” protes ku.

“Kamunya yang pintunya gak ditutup. Kamu tuh Nak.. Nak… mandi siang – siang. Mmh, nanti jam empat nanti anterin Tante Mu pulang ya. Bapak gak mau. Bapak langsung balik lagi ke bengkel pas Ibu minta.” pinta Ibu.

“Lah, sejak kapan Tante dateng?”

“Tadi jam sepuluh. Ya ? Jam empat loh.”

“Mau tidur Bu.”

“Eeh…. (terlihat Ibu menatapku tajam). Kamu makan dulu di bawah. Ibu buatin sayur nangka.”

“Okey.” jawabku pasrah.

Aku tak pernah bisa membantah Ibu. Ibu selalu menguasai semuanya. Tapi karena itu, semuanya aman, makanan, belanja, kebutuhan. Aku pun menutup pintu kamar. Tapi, saat Aku menutup pintu jantungku berdegup kencang. Ibu memanggilku dengan hanya mengenakan sarung, itu pun tidak dililitkan, hanya dipegang oleh satu tanganya. Terlihat punggung Ibu. Deg! Sekilas terlihat bagian samping payudaranya. Segera saja Ku tutup pintu.

***​

Sehari setelahnya, Aku kembali mengunjungi rumah Zima. Kami selalu mengobrol tentang banyak film sejak tempo lalu. Zima yang orangnya kalem, ternyata punya hobi sama. Kami pulang menggunakan angkutan umum. Zima sebenarnya memiliki mobil, tapi enggan ia gunakan karena bisa macet dan parkiran di sekolah juga terbatas. Setelah sampai, Kami masih harus berjalan ke dalam perumahan. Ya lumayan.

“Siang, Tante.” sapaku pada Ibunya Zima.

“Eh, Dio. Gimana? Baik?” ramahnya Ibunya Zima ini.

“Baik Tante.”

“Itu, Kalian makan dulu. Tante udah masakin ayam sama sayur nangka kesukaan Zima.” rayu Ibunya Zima.

Sejenak Kami makan, Ku lihat Zima hanya mengambil sedikit sayur nangka.

“Dikit amat Zim sayurnya. Ini kan kesukaan Lo.”

“Nyokap gw yang suka. Semua sayur dibilang kesukaan gw.”

Mendengar jawabanya, Aku pun sama. Kemarin sayur nangka, sekarang? Yah…makan sajalah.

“Ini, tambahin tahu. Ini juga ada sosis. Ini kiriman dari Ayahnya Zima, Dio. Beda ya, sosisnya dengan yang di sini. Ini baru sosis namanya.” jelas Ibunya Zima.

Wah, ini baru pertama kalinya Aku melihat sosis begitu besarnya. Rasanya pun beda. Penuh dan dagingnya terasa sekali.

“Ya, beginilah Dio. Setiap hari cuma makan berdua sama Zima. Kakakya udah tiga tahun lalu gak ada. Papa Zima kerja di luar, pulangnya setahun sekali, kadang dua kali. Itu pun paling lama sebulan, kadang juga dua minggu. Yah, namanya nyari rezeki….”

Sepanjang makan, hanya Ibunya Zima yang berbicara. Aku dan Zima hanya mendengarkan. Dari ceritanya, ayahnya sudah bekerja di luar sejak delapan tahun lalu. Pilihan sulit sebenarnya, tapi profesi dan pendapatan yang ditawarkan tak bisa ditolak. Awalnya Ibunya Zima tidak tenang, tapi lama – lama terbiasa. Kepergian Kakaknya Zima pun tak dapat membuat Ayahnya berubah pikiran.

“….Ya asal Ayahnya selalu rutin ngasih pendapatannya, Tante gak masalah. Rumah, kendaraan, dan sekolahnya Zima nanti aman bisa Tante maklumi. Jajan juga gak masalah.” jelasnya sambil membersihkan piring dan membawanya ke dapur.

Lama juga Aku mengobrol dengan Zima. Ia banyak bercerita tentang film, game, dan lainnya. Zima anaknya hommy , sekolah, pulang, makan, nonton, main game, tidur. Gitu – gitu aja kehidupannya. Sepi.

Sudah jam lima. Aku kemudian pamit kepada Zima. Zima pun segera mengantarkanku ke depan rumah. Zima beberapa kali memanggil Ibunya, tetapi Ibunya tak menyahut.

“Gw anterin Lo ke depan ya. Gw sekalian mau beli makanan di minimarket. Apa Gw anterin ke rumah sekalian?” tawarnya padaku.

“Wah, gak usahlah. Di depan aja.”

“Buku gw udah Lo bawa kan?” tanya Zima memastikan Aku membawa buku yang akan Ku pinjam.

“Bentar (memeriksa di dalam tas). Wah, masih di kamar kayaknya.”

“Yeh, untung Gw nanya. Udah ambil sana di kamar. Gw nyalain mobil sekalian nurunin.”

Segera Aku masuk lagi ke dalam. Dengan langkah agak sungkan Aku berjalan ke kamar Zima dan mengambil buku. Saat akan kembali keluar, Aku melewati kamar Ibunya Zima, pintunya hanya tertutup setengah. Deg! Ku lihat Ibunya baru saja melepaskan handuk dan memakai kimono. Kulitnya terpendar oleh cahaya lampu kamar. Sesaat mengenakan kimono, Ibunya menangkap Aku yang mematung di depan pintu. Awalnya Aku ingin pamit, tapi keadaannya Ibunya baru saja mandi. Aku juga salah, kenapa mematung, bukannya langsung pergi. Aku terpergok dan terperangkap tatapannya.

“Eh, eh…Saya pamit…Tt…Tante (menelan ludah).” jawabku gugup.

Ia hanya tersenyum. “Sini, pamit sama Tante.” panggilnya.

Perlahan Aku masuk dan mencium tangan Ibunya Zima. “Maaf Tante…”

“Hati – hati ya. Temenin Zima, Dia gak ada temannya.”

Kemudian Aku pun pulang dan diantar sebentar oleh Zima. Di dalam mobil Aku tak banyak bicara. Aku pun agak gugup. Bisa mampus gw klo ketahuan. Hal yang membayangiku sepanjang perjalanan pulang adalah senyuman Ibunya Zima yang tersirat banyak makna. Ah....
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd